Berlalunya
Seorang Pahlawan
"Paman
Gon!"
" Apa?
"
"Paman capek?"
"Ya,
sedikit."
"Kupikir
begitu. Aku sendiri hampir mogok, tapi biara ini bagus sekali gedung-gedungnya,
ya? Hei, apa ini bukan pohon jeruk yang disebut pohon rahasia Wakamiya Hachiman
itu?"
"Rupanya."
Barangkali
inilah barang pertama dari delapan puluh kapal upeti yang disampaikan Raja
Silla kepada Maharani Jingu, ketika maharani itu menaklukkan Korea."
"Lihat
kandang kuda-kuda suci itu! Apa bukan binatang yang elok itu? Pasti dia dapat
nomor satu dalam pacuan kuda tahunan di Kamo."
"Maksudmu
yang putih itu?"
"Ya. Hmm,
apa bunyi papan nama itu?"
"Katanya,
air rebusan kacang yang dicampur makanan kuda kalau diminum bisa menghentikan
teriakan dan kerotan gigi malam hari. Apa kau mau sedikit?"
Paman Gon
tertawa. "Jangan berbuat tolol macam itu!" Dan sambil menoleh ia bertanya,
"Apa yang terjadi dengan Matahachi?"
"Rupanya
ngeluyur."
"Oh, itu
dia, istirahat dekat panggung tarian suci."
Wanita tua
itu mengangkat tangan memanggil anaknya. "Kalau kita lewat jalan itu, kita
dapat melihat Tori Agung yang asli, tapi mari kita pergi ke Lentera
Tinggi."
Matahachi
mengikuti dari belakang dengan malasnya. Semenjak ibunya menangkapnya di Osaka,
ia selalu bersama mereka-jalan, jalan, dan sekali lagi jalan. Kesabarannya mulai
menipis. Lima atau sepuluh hari melihat-lihat pemandangan mungkin bagus dan
baik-baik saja, tapi ia takut memikirkan harus menyertai mereka membalas
dendam. Sudah dicobanya meyakinkan mereka, bahwa berjalan bersama-sama seperti
itu merupakan cara yang buruk. Lebih baik ia pergi mencari Musashi sendirian.
Tapi ibunya tak hendak mendengarkan.
"Sebentar
lagi Tahun baru," ujarnya. "Dan Ibu ingin kau menyambutnya bersama
Ibu. Sudah lama kita tidak bersama-sama merayakan Tahun Baru, dan ini
barangkali kesempatan kita yang terakhir."
Walaupun
Matahachi tahu tak dapat menolak ibunya, ia telah membulatkan hati untuk
meninggalkan mereka beberapa hari sesudah hari pertama Tahun Baru. Osugi dan
Paman Gon barangkali kuatir takkan lama lagi hidup, karena itu mereka demikian
tenggelam dalam agama, dan sedapat-dapatnya berhenti di setiap biara dan kuil
dengan meninggalkan persembahan dan mengajukan permohonan panjang-panjang
kepada para dewa dan Budha. Hampir seluruh hari ini mereka habiskan di Biara
Sumiyoshi.
Matahachi
sudah kalut oleh rasa bosan, ia berjalan menyeret kaki dan cemberut.
"Apa
kamu tak bisa jalan lebih cepat?" tanya Osugi marah.
Langkah
Matahachi tidak berubah. Ia jengkel sekali pada ibunya, sama seperti jengkel
ibunya kepadanya, dan gerutunya, "Ibu ini terus saja menyuruhku cepat dan
tunggu! Cepat dan tunggu, cepat dan tunggu!"
"Apa
yang mesti Ibu lakukan pada anak lelaki macam kamu? Orang datang ke biara,
sudah sewajarnya kalau dia berhenti dan berdoa kepada dewa-dewa. Belum pernah
Ibu lihat kamu membungkuk kepada satu dewa atau Budha pun. Ingat-ingatlah
kata-kata Ibu ini, kamu akan menyesal nanti. Kecuali itu, kalau kamu mau berdoa
bersama kami, takkan lama kamu menunggu."
"Menjengkelkan!"
geram Matahachi.
"Siapa
yang menjengkelkan?" teriak Osugi berang.
Dua-tiga hari
pertama segalanya semanis madu antara mereka, tapi begitu Matahachi sudah
terbiasa dengan ibunya lagi, mulailah ia tersinggung oleh segala yang dilakukan
dan dikatakan ibunya. Ia memperolok-olok Osugi setiap kali ada kesempatan. Apabila
malam tiba dan mereka kembali ke rumah penginapan, Osugi menyuruh Matahachi
duduk di depannya dan kemudian mengkhotbahinya, yang membuat Matahachi jadi
lebih murung lagi.
"Bukan
main pasangan ini!" keluh Paman Gon sendiri, sambil mencari-cari cara untuk
meredakan kekesalan perempuan tua itu dan mengembalikan sedikit ketenangan pada
wajah kemenakannya yang cemberut. Karena dirasanya akan terdengar khotbah lagi,
ia bergerak memintasinya. "Oh," serunya riang. "Rasanya aku
mencium bau enak! Orang menjual remis panggang di warung teh tepi pantai itu.
Mari kita ke sana makan remis."
Baik ibu
maupun anak tidak memperlihatkan kegairahan, tapi Paman Gon berhasil membawa
mereka ke warung tepi laut yang dipasangi kerai gelagah tipis itu. Sementara
kedua orang itu duduk seenak-enaknya di bangku luar, Paman Gon masuk dan keluar
lagi membawa sake.
Sambil
menawarkan mangkuk pada Osugi, katanya ramah, "Ini akan membikin Matahachi
riang sedikit. Barangkali kau sedikit terlalu keras kepadanya."
Osugi
memalingkan muka, tukasnya, "Aku tak ingin minum apa-apa."
Terjerat oleh
sarang labah-labahnya sendiri, Paman Gon menawarkan mangkuk pada Matahachi.
Matahachi masih marah-marah, dan segera mengosongkan tiga guci sake
secepat-cepatnya, karena tahu benar hal itu akan membuat ibunya pucat kelabu.
Ketika ia meminta guci keempat kepada Paman Gon, Osugi sampai pada batas
kesabarannya.
"Sudah
cukup kamu minum!" omelnya. "Ini bukan piknik, dan kita rancang
kemari bukan untuk mabuk! Kamu juga jaga dirimu, Paman Gon! kamu lebih tua
daripada Matahachi, mestinya tahu."
Paman Gon
menjadi malu, seolah-olah ia sendiri yang minum, dan mencoba menyembunyikan
wajahnya dengan menggosokkan tangan ke wajah itu. "Ya, kau benar,"
katanya menurut. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan pergi beberapa langkah
jauhnya.
Lalu semuanya
terjadi dengan sangat seru. Matahachi sudah menyinggung sedalam-dalamnya cinta
dan keprihatinan ibunya, rasa cinta yang dahsyat, walau rapuh. Osugi tak peduli
lagi apakah harus menanti sampai mereka kembali ke rumah penginapan.
Dimarahinya Matahachi dengan garang, tak peduli apakah orang lain mendengar
atau tidak. Matahachi menatapnya dengan pandangan ingkar yang muram, sampai
ibunya selesai.
"Baik,"
katanya. "Jadi, Ibu sudah menyimpulkan, aku orang dusun yang tak tahu
terima kasih dan tak punya rasa hormat diri, kan? Betul?"
"Betul!
Apa yang sudah kamu lakukan sampai sekarang, yang menunjukkan kamu punya rasa
bangga atau hormat diri?"
"Ibu,
aku bukan orang tak berharga seperti yang Ibu pikir, tapi Ibu takkan tahu soal
itu."
"Oh,
jadi Ibu tak bisa tahu? Coba dengar, Matahachi, tak seorang pun yang lebih
mengenal anak daripada orangtuanya, dan kupikir hari kelahiranmu itulah hari
buruk buat Keluarga Hon'iden!"
"Lebih
baik Ibu tunggu dan lihat! Aku masih muda. Suatu hari nanti, kalau Ibu sudah
mati dan dikubur, Ibu akan menyesal sudah mengatakan itu."
"Ha!
Kuharap memang demikian, tapi aku sangsi apa akan bisa terjadi meski seratus
tahun lagi. Sungguh menyedihkan, kalau dipikir-pikir."
"Kalau
Ibu sedih sekali punya anak seperti aku, tak banyak lagi gunanya aku ada di
sini. Aku pergi!" Mendidih karena marah, ia bangkit berdiri dan berjalan
pergi dengan langkah-langkah panjang dan mantap.
Karena
terkejut, perempuan tua itu mencoba memanggilnya kembali dengan suara bergetar
memilukan. Tapi Matahachi tak menghiraukannya.
Paman Gon
yang sebetulnya dapat berlari dan mencoba menghentikannya hanya berdiri
memandang tajam ke laut, agaknya kepalanya disibukkan oleh pikiran-pikiran
lain.
Osugi
berdiri, kemudian duduk kembali. "Jangan mencoba menghentikannya,"
katanya sia-sia kepada Paman Gon. "Tak ada gunanya."
Paman Gon
menoleh kepadanya, tapi bukan menjawab, melainkan mengatakan, "Gadis di
sana itu aneh sekali gerak-geriknya. Tunggu di sini sebentar!" Belum habis
kata-kata itu diucapkan, ia sudah melemparkan capingnya ke bawah tepi atap
warung dan berlari secepat anak panah ke air.
"Goblok!!"
teriak Osugi. "Ke mana kamu pergi? Matahachi..." Ia mengejar Paman
Gon, tapi sekitar dua puluh meter dari warung itu kakinya terantuk gumpalan
rumput laut dan ia jatuh tertelungkup. Sambil menggerutu marah ia bangun, wajah
dan bahunya penuh dengan pasir. Ketika terlihat kembali Paman Gon, kedua
matanya melotot seperti cermin.
"Hei,
orang tua goblok! Ke mana kamu pergi? Sudah kehilangan akal, ya?"
jeritnya. Ia begitu kalang kabut, hingga tampaknya ia sendiri sudah gila. Ia
lari kencang-kencang mengikuti Paman Gon, namun terlambat. Paman Gon sudah
masuk air sampai setinggi lutut, dan terus ke tengah.
Kelihatan la
sudah hampir kesurupan, terselimut buih putih. Lebih jauh lagi di tengah laut
kelihatan seorang gadis muda yang mati-matian berusaha masuk ke air dalam.
Ketika Paman Gon pertama kali melihatnya, gadis itu masih berdiri dalam
bayangan pohon-pohon pinus, memandang kosong ke laut, tapi kemudian tiba-tiba
ia berlari menyeberang pasir dan masuk air, sementara rambutnya yang hitam
berkibar di belakangnya. Air kini sudah sampai pinggangnya, dan dengan cepat ia
mendekati titik terjal di dasar laut.
Sambil
mendekatinya, Paman Gon berseru-seru kalut, tapi gadis itu terus dengan
tekadnya. Tiba-tiba tubuhnya menghilang diiringi bunyi aneh, meninggal-kan
pusaran di permukaan.
"Anak
gila!" teriak Paman Gon. "Sudah nekat bunuh diri, ya?" Ia
sendiri tenggelam ke bawah permukaan air, gelagapan.
Osugi berlari
ke sana kemari di tepian. Ketika dilihatnya kedua orang itu tenggelam,
jeritannya berubah menjadi seruan-seruan lantang minta tolong.
Sambil
melambai-lambaikan tangan, berlari, dan jatuh-bangun ia memerintahkan
orang-orang di pantai untuk menolong, seakan-akan merekalah penyebab terjadinya
kecelakaan. "Selamatkan mereka, goblok! Cepat, kalau tidak mereka
tenggelam."
Beberapa
menit kemudian, beberapa nelayan membawa tubuh mereka dan meletakkannya di atas
pasir.
"Bunuh
diri karena cinta?" tanya seorang.
"Kau
berkelakar?" kata yang lain tertawa.
Paman Gon
berhasil mencekal obi gadis itu dan masih menggenggamnya, tapi baik ia maupun
gadis itu sudah tidak bernapas lagi. Gadis itu menampilkan wajah aneh, karena
sekalipun rambutnya kusut dan kacau, pupur dan lipstiknya tidak terhapus, dan
ia tampak seakan masih hidup. Bahkan dengan giginya yang masih menggigit bibir
bawah itu, mulutnya yang ungu seperti menampakan gerak tawa.
"Saya
pernah melihat gadis ini," seseorang berkata.
"Apa
bukan dia yang cari kerang di pantai belum lama ini?"
"Ya,
betul! Dia tinggal di penginapan sana itu."
Dari arah
rumah penginapan ada empat atau lima orang yang datang mendekat. Di antara
mereka Seijuro yang dengan napas sesak menerobos kerumunan orang banyak itu.
"Akemi!"
teriaknya. Wajahnya menjadi pucat, tapi ia berdiri saja.
"Apa
bisa kita selamatkan dia?"
"Tidak
bisa, kalau Tuan cuma berdiri melongo."
Para nelayan
melepaskan cekalan Paman Gon, meletakkan kedua tubuh itu berdampingan. Mereka
mulai menampar-nampar punggung kedua orang itu dan menekan-nekan perutnya.
Akemi cepat sekali kembali bernapas. Karena ingin sekali menghindari tatapan
mata para penonton, Seijuro menyuruh orang-orang dari rumah penginapan membawa
Akemi pulang.
"Paman
Gon! Paman Gon!" panggil Osugi dengan mulut di telinga orang tua itu,
berurai air mata. Akemi dapat kembali hidup karena ia masih muda, tapi Paman
Gon... Ia tidak hanya tua, tapi ia pun telah minum sake cukup banyak sebelum
menyelamatkan gadis itu. Napasnya terhenti untuk selamanya. Seberapa banyak pun
usaha Osugi tak akan dapat membukakan matanya kembali.
Para nelayan
menyerah, "Orang tua itu telah pergi."
Osugi
berhenti menangis cukup lama untuk berpaling kepada mereka, seakan-akan mereka
musuh, bukan orang-orang yang telah membantu. "Apa maksud kalian? Kenapa
dia mesti mati, sedangkan gadis muda itu dapat selamat?" Sikapnya
menunjukkan seakan ia siap menyerang mereka secara fisik. Ditepiskannya
orang-orang itu, dan katanya mantap, "Akan kuhidupkan dia kembali! Akan
kutunjukkan pada kalian."
Dan mulailah
ia mencoba membangunkan Paman Gon dengan segala cara yang dapat
dipergunakannya. Tekadnya itu menimbulkan air mata orang-orang yang
menyaksikannya. Beberapa orang itu tinggal membantunya. Namun ia bukannya
menghargai bantuan mereka, malahan memerintah mereka melakukan ini-itu seperti
tenaga sewaan. Ia mengeluh bahwa mereka tidak menekan dengan cara yang benar,
bahwa yang mereka lakukan takkkan ada hasilnya, ia memerintah mereka membuat
api, dan ia menyuruh mereka pergi mencari obat. Apa pun yang ia lakukan, ia
kerjakan dengan air muka semasam-masamnya.
Bagi
orang-orang di pantai itu, ia bukan sanak ataupun teman, melainkan sekadar
orang asing, karena itu akhirnya orang yang paling bersimpati kepadanya pun
menjadi marah.
"Siapa
sih perempuan tua jelek ini?" geram satu orang.
"Hm! Tak
tahu bedanya orang pingsan dan orang mati. Kalau dia bisa menghidupkannya lagi,
biar saja."
Tak lama
kemudian, tinggallah Osugi sendirian dengan mayat itu. Di tengah kegelapan yang
mulai menyelimuti, kabut bangkit dari laut, dan yang tertinggal dari hari itu
hanyalah barisan awan jingga di dekat kaki langit. Osugi membuat api dan duduk
di dekatnya, memeluk tubuh Paman Gon erat-erat.
"Paman
Gon. Oh, Paman Gon!" lolongnya.
Ombak laut
menggelap. Ia mencoba dan mencoba lagi mengembalikan kehangatan tubuh yang
telah mati itu. Pandangan wajahnya menunjukkan betapa ia berharap sebentar lagi
Paman Gon membuka mulut dan bicara dengannya. Ia kunyah beberapa pil dari kotak
obat dalam obi-nya dan ia pindahkan kunyahan itu ke mulut Paman Gon. Ia peluk
Paman Gon dan ia guncang-guncangkan.
"Buka
matamu, Paman Gon!" mohonnya. "Katakan sesuatu! Tak bisa kau pergi
meninggalkan aku sendirian. Kita masih belum membunuh Musashi atau menghukum
Otsu yang bejat itu."
Di dalam
rumah penginapan, Akemi terbaring dalam tidur yang resah. Ketika Seijuro
mencoba membetulkan letak kepalanya yang demam itu di atas bantal, ia menggumam
mengigau. Untuk sesaat Seijuro duduk di sampingnya, diam seribu bahasa,
wajahnya lebih pucat daripada wajah Akemi. Ketika mengetahui penderitaan yang
telah ditimpakannya kepada gadis itu, ia pun menderita.
Ia sendiri
yang dengan nafsu binatangnya memangsa gadis itu dan memuaskan birahinya.
Sekarang ia duduk murung dan kaku, prihatin dengan denyut nadi dan napas gadis
itu, dan berdoa semoga hidup yang untuk beberapa waktu lamanya meninggalkan
gadis itu bisa dipulihkan kembali. Dalam satu hari yang singkat saja ia
sekaligus menjadi binatang dan manusia yang berperasaan belas kasihan. Tetapi
bagi Seijuro yang cenderung kepada ekstremitas, tingkah lakunya itu tidak
terasa tidak konsisten.
Matanya sedih
dan sikap mulutnya rendah hati. Ia menatap Akemi dan berbisik, "Cobalah
tenang, Akemi. Bukan cuma diriku seorang. Kebanyakan lelaki memang begitu....
Kau segera akan mengerti, walaupun kau tentunya dikejutkan oleh kekerasan
cintaku." Sukarlah ditentukan, apakah kata-kata ini benar-benar ditujukan
kepada gadis itu ataukah dimaksudkan untuk menenang-kan dirinya sendiri. Tapi
ia terus juga menyuarakan perasaan itu berulang-ulang.
Kegelapan
dalam kamar itu pekat seperti tinta. Shoji yang tertutup kertas meredam bunyi
angin dan ombak.
Akemi
bergerak, kedua tangannya yang putih menyelinap keluar dari bawah selimut.
Ketika Seijuro mencoba membetulkan letak selimut itu, Akemi meng-gumam,
"Tanggal berapa ini?"
"Apa?"
"Berapa...
berapa hari lagi... Tahun Baru?"
"Tinggal
tujuh hari lagi. Kau pasti sembuh sebelum waktu itu, dan kita akan kembali ke
Kyoto." Direndahkannya wajahnya ke Akemi, tapi Akemi menolak-nya dengan
telapak tangan.
"Berhenti!
Pergi! Aku tak suka padamu."
Seijuro
menarik diri, tapi kata-kata setengah gila menyembur dari bibir Akemi.
"Orang
tolol! Binatang!"
Seijuro
tinggal diam.
"Kau
binatang. Aku tak... aku tak ingin melihatmu."
"Maafkan
aku, Akemi, maafkan!"
"Pergi
dari sini! Jangan bicara padaku." Tangan Akemi melambai-lambai kacau dalam
kegelapan. Seijuro menelan ludah dengan sedih, tapi terus juga me-mandanginya.
"Tanggal...
tanggal berapa?"
Kali ini
Seijuro tak menjawab.
"Apa ini
belum Tahun Baru?... Antara Tahun Baru dan tanggal tujuh.... Tiap hari.... Dia
bilang akan ada di jembatan.... Kabar dari Musashi.... Tiap hari.... Jembatan
Jalan Gojo.... Tak lama lagi Tahun Baru.... Aku mesti kembali ke Kyoto....
Kalau aku pergi ke jembatan itu, dia akan ada di sana."
"Musashi?"
tanya Seijuro heran.
Gadis yang
sedang mengigau itu terdiam.
"Apa
Musashi ini ... Miyamoto Musashi?"
Seijuro
menatap wajah Akemi, tapi Akemi tidak mengatakan apa-apa lagi. Kelopak matanya
yang biru menutup. Ia tidur lelap.
Daun-daun
pinus kering mengetuk-ngetuk shoji. Seekor kuda meringkik. Cahaya muncul di
seberang penyekat, dan suara seorang pelayan terdengar mengatakan, "Tuan
Muda ada di sini."
Buru-buru
Seijuro masuk kamar sebelah, dengan hati-hati menutup pintu di belakangnya.
"Siapa?" tanyanya. "Aku di sini."
"Ueda
Ryohei," terdengar jawabannya. Ryohei masuk dan duduk, masih dalam pakaian
perjalanan lengkap dan penuh debu.
Selagi mereka
bertukar salam, Seijuro bertanya dalam hati, apa gerangan yang menyebabkan
orang itu datang. Karena seperti halnya Toji, Ryohei salah seorang siswa senior
yang diperlukan di rumah, maka Seijuro takkan membawanya dalam perjalanan
mendadak.
"Kenapa
datang kemari? Ada yang terjadi sepeninggalku?" tanya Seijuro.
"Ya, dan
saya harus minta Anda segera kembali."
"Ada
apa?"
Ketika Ryohei
memasukkan kedua tangannya ke dalam kimono dan meraba-raba, suara Akemi
terdengar dari kamar sebelah. "Aku tak suka padamu!... Binatang!...
Pergi!" Kata-kata yang diucapkan dengan jelas itu penuh nada takut. Siapa
pun akan mengira ia sedang terjaga dan dalam bahaya besar.
Dengan
terkejut Ryohei bertanya, "Siapa itu?"
"Oh,
itu? Akemi jatuh sakit ketika pulang. Dia demam, sekali-sekali dia sedikit
mengigau."
"Itu
Akemi?"
"Ya,
tapi tak apalah. Aku ingin mendengar kenapa kau datang."
Dari kantong
perut di bawah kimononya akhirnya Ryohei mengeluarkan sepucuk surat dan
menyerahkannya kepada Seijuro. "Ini," katanya tanpa memberikan
penjelasan lebih lanjut, kemudian mendekatkan lampu yang telah ditinggalkan oleh
pelayan itu ke sisi Seijuro. "Hmm. Dari Miyamoto Musashi."
"Ya!"
kata Ryohei tegas.
"Kau
sudah membukanya?"
"Ya.
Saya sudah membicarakannya dengan yang lain-lain, dan kami memutus-kan bahwa
kemungkinan surat ini penting, karena itu kami membuka dan mem-bacanya."
Seijuro
bukannya membaca sendiri isi surat itu, melainkan bertanya sedikit ragu,
"Apa katanya?" Walau tak seorang pun berani menyebutkan persoalan
kepadanya, namun di balik pikiran Seijuro sudah lama bersarang wujud Musashi.
Walau demikian, ia sudah hampir meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan bertemu
lagi dengan orang itu. Surat yang tiba-tiba datang, tepat sesudah Akemi
menyebut nama Musashi itu, membuat tulang punggung Seijuro panas dingin.
Ryohei
menggigit bibir, marah. "Akhirnya datang juga dia. Ketika dia pergi dengan
omongan besar musim semi lalu, saya yakin dia takkan menjejakkan kaki lagi di
Kyoto, tapi... coba Tuan bayangkan kesombongannya! Teruslah baca surat itu!
Isinya tantangan, dan dia punya nyali pula menunjukkan tantangan pada seluruh
Keluarga Yoshioka, dan menandatanganinya hanya dengan namanya sendiri. Dia
pikir dia dapat menghadapi kita semua sendirian!"
Musashi tidak
menuliskan alamat untuk balasan surat, dan dalam surat pun tak ada isyarat
tentang tempat ia berada. Tapi ia tidak melupakan janji yang telah ia tulis
kepada Seijuro dan murid-muridnya, dan dengan surat kedua ini dadu telah
dilemparkan. Ia mengumumkan perang pada Keluarga Yoshioka. Pertempuran akan
terjadi, dan ini akan merupakan pertempuran habis-habisan-pertempuran di mana
para samurai akan bertarung sampai mati untuk menjaga kehormatan dan memurnikan
keterampilan mereka dengan pedang. Musashi mempertaruhkan hidupnya dan
menantang Perguruan Yoshioka untuk melakukan hal yang sama. Apabila tiba
waktunya, kata-kata dan keterampilan teknik yang mahir pun akan sedikit saja
artinya.
Sumber bahaya
terbesar adalah bahwa Seijuro masih belum memahami kenyataan ini. Ia tidak
melihat bahwa hari perhitungan sudah tiba, dan bahwa sekarang bukanlah saat
untuk membuang-buang waktu dengan kesenangan-kesenangan kosong.
Ketika surat
itu tiba di Kyoto, di antara murid yang lebih teguh ada perasaan muak terhadap
cara hidup Tuan Muda yang tidak berdisiplin itu. Mereka menggerutu marah karena
ia tidak hadir justru pada saat yang demikian menentukan. Mereka gusar oleh
penghinaan yang dilontarkan oleh ronin tunggal ini, dan menyesal bahwa Kempo
tidak lagi hidup. Sesudah banyak membincang-kannya, mereka sepakat untuk
menyampaikan keadaan itu kepada Seijuro dan memutuskan bahwa Seijuro mesti
segera kembali ke Kyoto. Namun ketika surat sudah disampaikan sekarang,
ternyata Seijuro hanya meletakkannya di pangkuan dan tak bergerak membukanya.
Dengan
perasaan jengkel yang tampak jelas, Ryohei bertanya, "Apa Anda tak merasa
perlu membacanya?"
"Apa?
Oh, ini?" tanya Seijuro kosong. Ia membuka gulungan surat itu dan
membacanya. Jari-jarinya mulai menggeletar tak terkendalikan lagi, suatu tanda
ketidakmantapan yang disebabkan bukan oleh bahasa dan nada keras tantangan
Musashi, melainkan oleh perasaan lemah dan perasaan rendah pada dirinya
sendiri. Kata-kata penolakan kasar Akemi menghancurkan harga dirinya sebagai
samurai. Belum pernah ia merasa demikian tanpa daya. Surat Musashi sederhana
dan langsung,
Apakah Anda
dalam keadaan baik semenjak terakhir kali saya menyurati Anda. Sesuai dengan
janji saya terdahulu, kini saya menulis untuk menanyakan di mana, pada hari
apa, dan pada jam berapa kita akan bertemu. Saya tak punya pilihan khusus, dan
saya bersedia melaksanakan pertandingan yang telah kita janjikan pada waktu dan
tempat yang Anda tentukan. Saya mohon Anda memancangkan jawaban Anda di
jembatan Jalan Gojo, sebelum hari ketujuh Tahun Baru.
Saya percaya
Anda telah menggosok ilmu pedang Anda sebagaimana biasa. Saya sendiri merasa
bahwa sampai batas-batas tertentu telah mencapai perbaikan.
Shimmen Miyamota Musashi.
Seijuro
menjejalkan surat itu ke dalam kimononya, dan berdirl.
"Aku
akan kembali ke Kyoto sekarang," katanya.
Kata-kata ini
diucapkannya lebih karena perasaan sudah demikian kalut, hingga ia tidak dapat
lagi tinggal di tempat itu lebih lama; jadi, bukan karena ketabahan. Ia harus
pergi dan segera mungkin melupakan seluruh hari mengerikan itu.
Disertai
suasana hiruk-pikuk, pemilik rumah penginapan dipanggil dan diminta mengurus
Akemi, suatu tugas yang diterimanya dengan perasaan enggan, sekalipun menerima
uang Seijuro.
"Akan
kupakai kudamu," kata Seijuro pada Ryohei. Dan seperti seorang bandit yang
sedang melarikan diri, ia melompat ke pelana dan melarikan kuda itu
kencang-kencang melintasi baris-baris pohon gelap, meninggalkan Ryohei yang
mengikutinya dengan berlari setengah mati.
Galah
Pengering
"PEMUDA
yang membawa monyet? Ya, dia memang kemari belum lama ini."
"Apa
Anda lihat, ke mana perginya?"
"Ke
sana, ke arah Jembatan Nojin. Tapi dia tidak menyeberangi jembatan-sepertinya
dia masuk bengkel pandai pedang."
Setelah
berunding sebentar, murid-murid Yoshioka berangkat beramai-ramai, membuat orang
yang memberikan keterangan itu menganga heran menyaksikan segala keributan
tersebut.
Walaupun
waktu itu sudah lewat saat tutup bagi toko-toko sepanjang Parit Timur, toko
pedang masih buka. Seorang dari orang-orang itu masuk, mengadakan pembicaraan
dengan magang toko, kemudian keluar sambil berseru, "Temma! Dia menuju
Temma!" Dan ke sanalah mereka berduyunduyun.
Magang
mengatakan bahwa ketika ia baru akan menutup daun jendela menjelang malam,
seorang samurai berjambul panjang menurunkan monyet di dekat pintu depan, duduk
di bangku dan minta bertemu dengan pandai pedang. Ketika kepadanya disampaikan
bahwa pandai pedang sedang pergi, samurai itu mengatakan ingin menajamkan
pedangnya, tapi pedang itu terlampau berharga untuk dipercayakan kepada orang
lain di luar ahli pedang sendiri. Ia lalu mendesak minta melihat contoh-contoh
karya pedang.
Magang dengan
sopan memperlihatkan kepadanya beberapa bilah pedang, tapi sesudah mengamati,
yang diperlihatkan samurai itu tak lebih dari sikap muak. "Rupanya Anda
sekalian di sini cuma mengerjakan senjata-senjata biasa," katanya kering.
"Saya tidak yakin apakah akan menyerahkan pedang saya pada Anda. Pedang
saya terlampau bagus, karya seorang pandai pedang Bizen. Namanya Galah
Pengering. Lihat? Sempurna sekali." Ia mengangkat pedangnya, dan jelas
dengan perasaan bangga.
Tertarik akan
bualan orang muda itu, si magang bergumam mengatakan bahwa satu-satunya ciri
menonjol pedang itu adalah bentuknya yang panjang dan lurus. Samurai itu jelas
sekali tersinggung karenanya, dan mendadak berdiri dan minta keterangan tentang
bagaimana pergi ke pangkalan kapal tambangan Temma Kyoto.
"Akan
saya rawatkan pedang saya di Kyoto," tukasnya. "Semua pandai pedang
Osaka yang sudah saya kunjungi rupanya hanya mengurusi barang rombengan prajurit
biasa. Maaf, telah mengganggu."
Ia berangkat
dengan pandangan dingin.
Cerita magang
itu semakin membikin berang mereka. Itu bukti baru mengenai apa yang mereka
anggap kecongkakan luar biasa orang muda itu. Jelas bagi mereka, pengalaman
memotong gelungan Gion Toji membikin si pembual itu lebih congkak daripada
sebelumnya.
"Itu
pasti orang yang kita cari!"
"Jadi,
sudah kita temukan sekarang. Tertangkap dia sekarang."
Orang-orang
itu melanjutkan pengejaran tanpa satu kali pun berhenti untuk beristirahat,
sekalipun matahari mulai terbenam. Mendekati dermaga Temma, seorang dari mereka
berseru, "Ketinggalan kita!" Yang dimaksud adalah kapal terakhir hari
itu.
"Tidak
mungkin."
"Kenapa
kaupikir kita sudah ketinggalan?" tanya yang lain.
"Tidak
lihat, ya? Di sana itu," kata orang yang pertama tadi, menuding dermaga.
"Warung-warung teh sudah menumpuk bangkunya. Kapal tentunya sudah
berangkat."
Untuk sesaat
mereka semua berdiri terpaku, kehilangan semangat. Kemudian, ketika mereka
bertanya lagi pada orang lain, ternyata samurai itu memang sudah naik kapal
terakhir. Mereka juga mendapat keterangan, kapal itu baru saja berangkat dan
untuk beberapa lama tidak akan berhenti di perhentian berikut, Toyosaki.
Kapal-kapal yang berjalan mudik ke Kyoto umumnya pelan. Maka mereka punya waktu
banyak untuk menyusul kapal tambangan itu di Toyosaki, walaupun tanpa bergegas.
Tahu akan hal
ini, mereka memanfaatkan waktu dengan minum teh, makan kue betas, dan sedikit
gula-gula murahan, sebelum berangkat dengan langkah cepat menempuh jalan
sepanjang tepi sungai. Di hadapan sana, sungai tampak bagai seekor ular perak
yang melenggok-lenggok ke kejauhan. Sungai Nakatsu dan Temma bergabung menjadi
satu membentuk Sungai Yodo, di dekat percabangan ini cahaya berkelap-kelip di
tengah sungai.
"Itu
kapalnya!" seru seseorang.
Ketujuh orang
itu bangkit semangatnya, dan segera mereka lupa akan udara dingin yang menembus
kulit. Di ladang-ladang telanjang di tepi jalan, rumput merang kering yang
tertutup embun beku berkilauan seperti pedang-pedang baja ramping. Angin seolah
bermuatan es.
Ketika jarak
antara mereka dan cahaya mengapung itu memendek, mereka dapat melihat kapal itu
dengan sangat jelas. Tanpa pikir lagi, seorang dari mereka berteriak,
"Hei, yang di sana itu! Kurangi kecepatan!"
"Kenapa?"
terdengar balasan dari geladak.
Jengkel
karena perhatian orang jadi tertuju pada mereka, teman-temannya mengumpat orang
yang besar mulut itu. Namun kapal berhenti juga di perhentian berikut. Sungguh
suatu kebodohan besar, lebih dulu memberikan peringatan. Karena sudah telanjur,
semua sependapat bahwa langkah terbaik adalah menuntut penumpang itu seketika
itu juga.
"Dia
hanya sendirian. Jika kita tidak menantangnya sekarang juga, dia bisa curiga,
melompat ke air, dan menyelamatkan diri."
Sambil
berjalan mengikuti jalan kapal, sekali lagi mereka berseru pada orang-orang
yang ada di atas kapal. Sebuah suara berwibawa, yang tak sangsi lagi suara
Kapten, meminta keterangan apa yang mereka kehendaki.
"Rapatkan
kapal ke tepi!"
"Apa?
Apa kalian gila?" terdengar jawabannya, disertai tawa parau.
"Pinggirkan
di sini!"
"Mustahil"
"Kalau
begitu, kami tunggu Anda di perhentian berikut. Kami urusan dengan orang muda
yang ada di kapal Anda. Pakai jambul
bawa monyet. Katakan padanya, kalau dia punya hormat, dia mesti
menampakkan diri. Dan kalau Anda membiarkan dia pergi, akan kami seret kalian
semua ke darat."
"Kapten,
jangan jawab mereka!" mohon seorang penumpang.
"Apa pun
yang mereka katakan, abaikan saja," yang lain menasihati. "Mari jalan
terus ke Moriguchi. Di sana ada pengawal."
Kebanyakan
penumpang berkumpul-kumpul ketakutan dan berbicara dengan suara ditekan. Orang
yang berbicara dengan bebasnya kepada para samurai di pantai beberapa waktu
lalu kini berdiri diam. Baginya dan bagi orang-orang lain, keselamatan mereka
tergantung pada jarak antara kapal dan tepi sungai.
Ketujuh orang
itu tetap berada dekat kapal dengan lengan baju disingsingkan dan tangan
dilekatkan ke pedang. Sekali mereka berhenti mendengarkan, agaknya mengharapkan
jawaban atas tantangan mereka, tapi mereka tak men-dengar sesuatu.
"Apa
Anda tuli?" teriak seorang dari mereka. "Kami minta Anda menyampaikan
kepada pembual muda itu supaya datang ke susuran."
"Maksud
Anda, saya?" teriak sebuah suara dari kapal.
"Itu dia
di sana, kurang ajar seperti biasanya!"
Orang-orang
itu menudingkan jari dan memandang ke kapal, sedangkan celoteh pelan para
penumpang semakin hiruk-pikuk. Mereka itu setiap saat dapat melompat ke
geladak.
Orang muda
berpedang panjang itu berdiri tegap di lambung kapal, giginya berkilauan
seperti mutiara putih oleh pantulan sinar bulan. "Di kapal tak ada orang
lain yang bawa monyet, jadi saya kira sayalah yang Anda cari. Siapa kalian,
bromocorah malang? Gerombolan aktor lapar?"
Ketika adu
teriak semakin menghebat, kapal mendekati tanggul Kema yang memiliki
tiang-tiang tambatan dan juga gudang. Ketujuh orang itu berlari maju untuk
mengepung tempat mendarat, tapi belum lagi mereka sampai di sana, kapal sudah
berhenti di tengah sungai dan mulai berputar beberapa kali.
Wajah
orang-orang Yoshioka jadi pucat kelabu. "Apa yang kaulakukan?"
"Kalian
tak bisa tinggal di situ selamanya!"
"Sini
kamu, atau kami akan datang ke situ."
Ancaman-ancaman
terus berlangsung, sampai akhirnya haluan kapal mulai bergerak ke tepi. Sebuah
suara meraung di udara dingin, "Tutup mulut, orang-orang goblok! Kami akan
mendarat! Lebih baik siapkan diri kalian untuk mempertahankan diri."
Walaupun
dicegah oleh penumpang-penumpang lain, orang muda itu tetap merebut galah orang
kapal dan mendaratkan kapal tambangan itu. Ketujuh samurai segera berkerumun
sekitar tempat yang akan disentuh haluan kapal, sementara tubuh yang
menggerakkan kapal dengan galah itu semakin dekat dengan mereka. Tiba-tiba
kecepatan kapal meningkat, dan orang muda itu menyerang mereka sebelum mereka
mengetahuinya. Lunas kapal mencakar dasar sungai dan mereka undur serentak.
Pada waktu itulah sebuah benda hitam bulat melayang melintasi gelagah dan
menempelkan diri ke leher seorang di antara mereka. Sebelum mereka menyadari
bahwa benda itu hanya seekor monyet, secara naluriah mereka semua mencabut
pedang dan membabatkan ke udara kosong di sekitar mereka. Untuk menyembunyikan
rasa malu, mereka saling meneriakkan perintah mendesak.
Dengan
harapan akan terhindar dari keributan, para penumpang menggerombol di sebuah
sudut kapal. Aniaya yang diderita ketujuh orang di tepi sungai itu membesarkan
hati mereka, sekalipun agak menimbulkan tanda tanya, tapi tak seorang pun
berani bicara. Kemudian secara serentak semua kepala menoleh diiringi suara
menggagap. Orang muda itu menancapkan galahnya ke dalam sungai dan melompat
melintasi rumput mendoang, gerakannya lebih ringan daripada monyet tadi.
Kejadian ini
lebih mengacaukan lagi. Tanpa sempat menyusun diri kembali, orang-orang
Yoshioka segera menyerang musuh mereka dalam satu barisan. Serangan demikian
justru memberikan kedudukan menguntungkan bagi si orang muda untuk bertahan.
Orang pertama
sudah maju terlampau jauh untuk dapat mundur kembali, dan barulah ia menyadari
kebodohan langkahnya. Pada saat itu segala keterampilan perang yang pernah
dipelajarinya tak ada gunanya. Yang dapat diperbuatnya hanyalah memeringiskan
gigi dan secara ngawur mengayun-ayunkan pedang di depan dirinya.
Sadar akan
keuntungan psikologis yang dimilikinya, sosok pemuda tampan itu seakan tampak
makin besar. Tangan kanannya di belakang mernegang gagang pedang, dan sikunya
mencongak di atas bahunya.
°Oh, jadi
kalian dari Perguruan Yoshioka? Bagus. Saya memang merasa seperti sudah kenal
kalian. Seorang dari kalian sudah berkenan mengizinkan saya memotong
gelungannya. Rupanya itu tak cukup buat kalian. Apa kalian semua datang buat
potong rambut? Kalau memang begitu, saya yakin dapat membantu kalian. Kebetulan
sebentar lagi saya mesti menajamkan pedang ini, jadi sebaik-nya saya manfaatkan
kesempatan ini."
Ketika
kata-kata itu berakhir, Galah Pengering pun membelah udara, dan kemudian membelah
tubuh pemain pedang terdekat yang merunduk.
Melihat
kawannya terbantai demikian mudah, lumpuhlah otak mereka. Satu demi satu mereka
mundur saling tunjang, seperti bola-bola yang saling ber-tumbukan. Dan
mengambil keuntungan dari kedudukan mereka yang porak-poranda itu, si penyerang
pun mengayunkan pedang ke samping, ke arah orang berikutnya, dan menjatuhkan
pukulan demikian mantap hingga orang itu terjungkal ke rumput mendoang diiringi
suara jeritan.
Orang muda
itu membelalakkan mata kepada lima orang sisanya, yang sementara itu menyusun
diri di sekitarnya bagai daun bunga. Mereka saling meyakinkan bahwa taktik
mereka kali itu cukup aman, dan keyakinan mereka pulih, sampai-sampai berani
mengejek orang muda itu lagi. Namun kali ini kata-kata mereka gemetar dan
palsu.
Akhirnya,
disertai teriakan keras, seorang dari mereka meloncat ke depan dan mengayunkan
pedangnya. Ia yakin telah melakukan penebasan. Padahal ujung pedangnya masih
dua kaki penuh jaraknya dari sasaran, dan kemudian mengakhiri gerak lengkungnya
di sebuah batu karang dengan suara berdentang. Orang itu jatuh ke depan.
Tubuhnya terbuka lebar untuk serangan.
Orang muda
itu bukannya membantai mangsa yang demikian mudahnya. Ia melompat ke samping
dan mengayunkan pedang ke arah orang berikut. Jeritan perang masih mendering di
udara, tapi ketiga orang lain sudah angkat kaki seribu.
Dengan wajah
kejam, orang muda itu berdiri memegang pedang dengan kedua tangannya.
"Pengecut!" pekiknya. "Kembali ke sini dan ayo berkelahi! Apa
ini Gaya Yoshioka yang kalian banggakan itu? Menantang seseorang, lalu
melarikan diri? Tidak heran, Perguruan Yoshioka menjadi bahan tertawaan."
Bagi samurai
mana pun yang punya harga diri, penghinaan seperti itu lebih buruk daripada
diludahi, tetapi bekas-bekas pengejar orang muda itu sudah terlampau sibuk
berlari dan tidak memperhatikannya.
Justru pada
waktu itu dari sekitar tanggul terdengar dering giring-giring kuda. Sungai dan
embun beku di ladang memantulkan cukup banyak cahaya bagi pemuda itu untuk
melihat sosok tubuh di punggung kuda dan sosok tubuh lain berlari-lari di
belakangnya. Sekalipun napas beku mengepulngepul dari lubang hidungnya, mereka
kelihatan tidak memperhatikan dinginnya udara dan terus melaju ke depan. Ketiga
samurai yang melarikan diri hampir saja bertumbukan dengan kuda, ketika
penunggang kuda itu mendadak sontak mengekang kudanya.
Kenal akan
ketiga orang itu, Seijuro memberengut berang. "Apa yang kalian lakukan di
sini?" salaknya. "Ke mana kalian lari?"
"Oh...
oh, Tuan Muda!" seorang dari mereka menggagap.
Ueda Ryohei
yang muncul dari balik kuda itu menyerang mereka. "Apa artinya ini? Kalian
mestinya mengawal Tuan Muda, gerombolan tolol! Rupanya kalian terlalu sibuk
ribut sesudah minum lagi, ya?"
Ketiga orang
itu dengan marah memuntahkan cerita tentang bagaimana mereka mempertahankan
kehormatan Perguruan Yoshioka dan gurunya, dan betapa mereka mengalami
kegagalan berhadapan dengan samurai muda yang seperti setan itu. Jadi, mereka
bukannya berkelahi karena mabuk.
"Lihat
itu!" teriak seorang dari mereka. "Dia datang kemari."
Mata-mata
yang ketakutan memperhatikan musuh yang mendekat.
"Diam
kalian!" perintah Ryohei dengan suara muak. "Terlalu banyak kalian
bicara. Bagus sekali kalian melindungi kehormatan perguruan. Tak bakal kita
bisa menebus dengan perbuatan macam itu. Minggir semua! Aku yang akan
menghadapinya sendiri." Ia mengambil jurus menantang, dan menanti.
Pemuda itu
menuju ke arah mereka. "Berhenti kalian, dan ayo berkelahi!"
teriaknya. "Apa lari itu seni bela diri Yoshioka? Secara pribadi tak ingin
saya membunuh kalian, tapi Galah Pengering saya masih haus. Karena kalian
pengecut, paling sedikit yang dapat kalian lakukan adalah meninggalkan kepala
kalian." Ia lari menyusur tanggul dengan langkah-langkah besar dan yakin,
dan kelihatan akan melompati kepala Ryohei yang waktu itu sudah meludah ke
tangan dan menggenggam kembali pedangnya penuh kemantapan.
Pada saat
itulah pemuda itu terbang, sedangkan Ryohei mengeluarkan teriakan yang
memekakkan telinga, mengangkat pedang ke atas jubah warna emas pemuda itu dan
menebaskannya dengan ganas, tapi gagal.
Pemuda itu
mendadak menghentikan gerakan, menoleh, dan teriaknya. "Apa ini? Orang
baru?"
Ryohei
terhuyung ke depan, terbawa oleh kecepatan ayunannya, dan pemuda itu menyapunya
tanpa ampun lagi. Sepanjang hidupnya belum pernah Ryohei menyaksikan pukulan
yang demikian hebat. Ia memang berhasil mengelakkan-nya pada waktunya, tapi
terjungkal juga ia ke sawah. Untung baginya, karena tanggul itu cukup rendah
dan sawah itu membeku. tapi ketika jatuh ia kehilangan senjatanya, dan dengan
itu keyakinannya pula.
Ketika ia
merangkak kembali ke atas, pemuda itu sedang bergerak dengan kekuatan dan
kecepatan seekor macan yang sedang marah, memporak-porandakan ketiga murid itu
dengan kilasan pedangnya dan sedang mendekati Seijuro.
Seijuro belum
lagi merasa ngeri. Menurut pikirannya, segalanya akan berlalu sebelum ia
sendiri terlibat. Tapi sekarang bahaya menyerang langsung dirimya dalam bentuk
pedang yang tamak.
Terdorong
oleh suatu ilham yang tiba-tiba datang, ia berteriak, "Ganryu!
Tunggu!" ia lepaskan sebelah kakinya dari sanggurdi, ia naikkan ke pelana,
dan berdirilah ia lurus-lurus. Kuda melompat ke depan, ke arah kepala pemuda
itu, sedangkan Seijuro terbang ke belakang, mendarat dengan kedua kakinya
sekitar tiga langkah jauhnya.
"Bukan
main!" teriak orang muda itu kagum sekali, lalu mendekati Seijuro.
"Biarpun kau musuhku, perbuatan tadi betul-betul bagus! Kau tentunya
Seijuro sendiri. Jaga dirimu!"
Mata pedang
panjang itu menjadi perwujudan semangat juang. Ia semakin mendekati Seijuro,
namun sekalipun memiliki kelemahan-kelemahan, Seijuro adalah anak Kempo. Ia
dapat menghadapi bahaya itu dengan tenang.
Kepada pemuda
itu ia berkata yakin, "Kau Sasaki Kojiro dari Iwakuni. Benar seperti
dugaanmu, aku Yoshioka Seijuro. Tak ada keinginanku berkelahi denganmu. Kalau
benar-benar perlu, kita dapat mengundurkannya pada waktu lain. Sekarang ini aku
cuma ingin mengetahui, apa sebab semua ini. Singkirkan pedangmu."
Ketika
Seijuro menyebutnya Ganryu, pemuda itu jelas tidak mendengarnya. Tapi sekarang,
disebut Sasaki Kojiro itu ia pun terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu siapa
aku?" tanyanya.
Seijuro
menampar paha. "Aku tahu! Aku cuma menduga, tapi dugaanku betul!"
Kemudian ia maju ke depan, dan katanya, "Senang sekali bertemu denganmu.
Aku sudah banyak mendengar tentangmu."
"Dari
siapa?" tanya Kojiro.
"Dari
teman seniormu, Ito Yagoro."
"Oh,
jadi kau ini temannya?"
"Ya.
Sampai musim gugur lalu dia memiliki tempat pertapaan di Bukit Kagura di
Shirakawa, dan aku sering mengunjunginya di sana. Dia beberapa kali juga
berkunjung ke rumahku."
Kojiro
tersenyum. "Kalau begitu, ini tampaknya bukan pertemuan yang pertama lagi,
ya?"
"Tidak.
Ittosai agak sering menyebutmu. Dia mengatakan ada satu orang dari Iwakuni
bernama Sasaki yang sudah mempelajari gaya Toda Seigen, dan kemudian belajar di
bawah pimpinan Kanemaki Jisai. Dia mengatakan padaku, Sasaki murid termuda di
perguruan Jisai, tapi suatu hari nanti akan menjadi satu-satunya pemain pedang
yang dapat menantang Ittosai."
"Tapi
aku masih belum mengerti, bagaimana bisa Anda mengetahui ini begitu
cepat."
"Nah,
Anda muda dan cocok dengan gambaran itu. Melihat Anda mengguna-kan pedang
panjang itu, aku ingat Anda disebut juga Ganryu—'Pohon Dedalu di Tepi Sungai'. Aku lalu mendapat
firasat, tentu Anda-lah itu, dan aku benar."
Sementara
Kojiro mencecap gembira, matanya menoleh memandang pedangnya yang masih
berdarah, yang mengingatkan kepadanya bahwa telah terjadi perkelahian, dan itu
membuatnya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mereka akan menyelesaikan
urusan itu. Namun nyatanya ia dan Seijuro telah bertemu demikian baik, hingga
saling pengertian pun segera tercapai, dan beberapa menit kemudian mereka sudah
berjalan bahu-membahu seperti sahabat lama. Di belakang mereka berjalan Ryohei
dan tiga murid yang kesal hati. Rombongan kecil itu berjalan menuju Kyoto.
Kojiro
berkata, "Dari semula aku tak mengerti, gara-gara apa perkelahian itu
tadi. Aku tak punya soal dengan mereka."
Pikiran
Seijuro tertuju kepada tingkah laku Gion Toji baru-baru itu. "Aku muak
dengan Toji," katanya. "Kalau aku kembali nanti, akan kupanggil dia
supaya bercerita. Kuharap Anda tidak menganggap aku dendam terhadap Anda. Aku
betul-betul malu melihat orang-orang perguruanku kurang baik disiplinnya."
"Nah, Anda
sudah lihat sendiri, orang macam apa aku ini," jawab Kojiro.
"Bicaraku terlalu besar, dan aku selalu siap berkelahi dengan siapa saja.
Murid-murid Anda bukan satu-satunya orang yang mesti dipersalahkan. Bahkan
kukira Anda mesti memberikan pujian pada mereka karena telah berusaha
mempertahankan nama baik perguruan. Sayang mereka itu tidak seberapa sebagai
pejuang, tapi setidak-tidaknya mereka sudah mencoba. Aku sedikit kasihan pada
mereka."
"Aku
yang mesti dipersalahkan," kata Seijuro polos. Wajahnya menampakkan rasa
sakit yang sebenar-benarnya.
"Mari
kita lupakan semuanya."
"Tak ada
yang lebih menyenangkan bagiku."
Bersatunya
kedua orang itu mendatangkan kelegaan pada yang lain-lain. Siapa menyangka
bahwa anak lelaki yang tampan dan tumbuh lebih besar dari seharusnya ini Sasaki
Kojiro yang besar, yang oleh Ittosai dipuji-puji? ("Keajaiban
Iwakuni", begitulah yang dikatakannya). Tidak mengherankan kalau karena
ketidaktahuannya, Toji tergoda untuk mempermainkannya sedikit. Dan tidak
mengherankan bahwa akhirnya ia sendiri yang jadi tampak konyol.
Ryohei dan
ketiga orang temannya menggigil kalau ingat betapa mereka hampir kena berondong
Galah Pengering. Kini mata mereka telah terbuka. Melihat bidangnya bahu dan
tegapnya punggung Kojiro itu mereka heran, bagaimana mungkin mereka telah
berlaku demikian bodoh dengan menyepelekannya.
Tak lama
kemudian, mereka sampai kembali di tempat perhentian kapal. Mayat-mayat sudah
membeku, dan ketiga orang itu ditugaskan menguburnya, sedangkan Ryohei pergi
mencari kuda. Kojiro pergi bersiul-siul memanggil monyetnya. Tiba-tiba monyet
itu muncul entah dari mana dan melompat ke bahu tuannya.
Seijuro tidak
hanya mendesak Kojiro datang ke perguruannya di Jalan Shijo dan tinggal di sana
sejenak, tapi juga menawarkan kudanya. Kojiro menolak.
"Kurang
baik," katanya. Sikap hormatnya tidak seperti biasa. "Aku cuma
seorang ronin muda, sedangkan Anda guru sebuah perguruan besar, putra seorang
terhormat, pemimpin beratus-ratus pengikut." Sambil memegang kendali, ia
melanjutkan, "Silakan, Andalah yang naik. Aku memegang kendali ini saja.
Lebih mudah jalan begini. Kalau memang tidak keberatan, aku menerima tawaran
Anda tinggal dengan Anda sebentar di Kyoto."
Dengan sikap
sopan santun yang sama, Seijuro berkata, "Nah, kalau begitu, aku naik
sekarang, dan kalau kaki Anda lelah nanti, kita dapat bertukar tempat."
Seijuro
merasa ada baiknya pemain pedang seperti Sasaki Kojiro itu berada di
sampingnya, pada saat ia terpaksa bertarung dengan Miyamoto Musashi pada
permulaan Tahun Baru.
Gunung Rajawali
PADA tahun 1550-an dan 1560-an, pemain-pemain
pedang besar yang paling terkenal di Jepang Timur adalah Tsukahara Bokuden dan
Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, sedangkan saingannya di Honshu Tengah adalah
Yoshioka Kempo dari Kyoto dan Yagyu Muneyoshi dari Yamato. Disamping itu ada
Yang Dipertuan Kitabatake Tomonori dari Kuwana. seorang guru seni bela diri dan
gubernur terkemuka. Lama sesudah ia meninggal, orang Kuwana masih berbicara
tentang dirinya dengan rasa cinta, karena bagi mereka ia melambangkan hakikat
pemerintahan yang baik dan kemakmuran.
Ketika
Kitabatake masih belajar di bawah pimpinan Bokuden, yang terakhir ini
menurunkan kepadanya Ilmu Pedang Tertinggi, yaitu rahasia tertinggi di antara
jurus-jurus rahasia miliknya. Anak Bokuden, Tsukuhara Hikoshiro, mewarisi nama
dan tanah milik ayahnya, tapi tidak mendapat warisan jurus rahasia itu. Itulah
sebabnya mengapa Gaya Bokuden bukannya menyebar di timur, di mana Hikoshiro
bergiat, melainkan di daerah Kuwana, di mana Kitabatake memerintah.
Konon,
sesudah meninggalnya Bokuden, Hikoshiro datang ke Kuwana untuk mencoba
memperdayakan Kitabatake agar membukakan jurus rahasia itu. "Ayah
saya," demikian kabarnya ia mengatakan, "dahulu mengajarkannya pada
saya, dan saya diberitahu bahwa dia mengajarkannya juga pada Anda. Belakangan
ini saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah yang diajarkan pada kita itu
bukan barang yang sama. Karena rahasia-rahasia tertinggi dalam aliran kita jadi
kepentingan bersama, apakah tidak sebaiknya kita membandingkan apa yang telah
kita pelajari?"
Kitabatake
segera menyadari maksud kurang baik pewaris Bokuden itu. namun ia cepat menyetujui
memberikan demonstrasi. Rahasia yang diketahui Hikoshiro waktu itu hanyalah
bentuk luar Ilmu Pedang Tertinggi, dan bukan rahasia yang paling dalam. Maka
Kitabatake tetap merupakan satu-satunya guru Gaya Bokuden sejati, dan untuk
mempelajarinya para murid harus pergi ke Kuwana. Di sebelah timur, Hikoshiro
menurunkan kulit kosong lancung keterampilan ayahnya sebagai ajaran yang asli:
suatu bentuk tanpa inti.
Atau
demikianlah setidak-tidaknya cerita yang disampaikan pada setiap musafir yang
kebetulan menginjakkan kaki di daerah Kuwana. Bukan cerita yang jelek, karena
cerita-cerita seperti itu memang beredar, dan karena didasarkan pada fakta,
maka cerita itu lebih dapat diterima dan kurang ngawur dibandingkan lautan
cerita rakyat setempat yang disampaikan orang untuk menegaskan kembali keunikan
kota-kota dan provinsi-provinsi yang mereka cintai.
Musashi yang
sedang menuruni Gunung Tarusaka dalam perjalanan dari kota Kuwana mendengar
cerita itu dari tukang kudanya. Ia mengangguk, dan katanya sopan, "Betul
begitu? Menarik sekali!" Waktu itu pertengahan bulan terakhir. Sekalipun
iklim Ise relatif hangat, namun angin yang berembus dari Teluk Nako dingin
menggigit.
Ia hanya
mengenakan kimono tipis. Pakaian dalamnya dari katun dan jubah tak berlengan.
Berarti pakaian yang terlalu tipis untuk ukuran mana pun. Dan lagi jelas tampak
kotor. Wajahnya bukan lagi berwarna perunggu, melainkan hitam terbakar
matahari. Di atas kepalanya yang termakan cuaca, topi anyamannya yang sudah aus
dan berumbai tampak berlebihan. Sekiranya ia membuang barang itu di jalan, tak
seorang pun akan bersusah payah memungutnya. Rambutnya yang sudah berhari-hari
tak dicuci, diikat ke belakang, tapi tetap masih seperti sarang burung. Apa pun
yang dilakukannya selama enam bulan terakhir itu, menyebabkan kulitnya tampak
seperti kulit yang tersamak baik. Matanya bersinar seperti mutiara putih di
tengah lingkungannya yang segelap arang.
Tukang kuda
sudah kuatir semenjak membawa penunggang kuda yang acak-acakan itu. Ia sangsi
apakah akan menerima upah, dan yakin tak akan mendapat muatan pulang dari
tempat jauh di tengah pegunungan itu.
"Tuan,"
katanya agak takut-takut.
"Mm?"
"Kita
akan sampai Yokkaichi sebelum tengah hari, dan sampai Kameyama petang hari.
Sebelum sampai Desa Ujii, hari pasti sudah tengah malam."
"Mm."
"Tak
apa-apa?"
"Mm."
Musashi waktu itu lebih tertarik pada pemandangan teluk daripada berbicara,
hingga tukang kuda itu tidak memperoleh jawaban lebih dari anggukan kepala dan
kata "Mm" yang tak berisi pendapat itu.
Tukang kuda
mencoba lagi. "Ujii tak lebih dari dukuh kecil sekitar delapan mil masuk
pegunungan dari punggung Gunung Suzuka. Bagaimana ceritanya sampai Tuan pergi
ke tempat macam itu?"
"Saya
pergi untuk menemui seseorang."
"Tak ada
siapa-siapa di sana, kecuali petani dan penebang kayu."
"Di
Kuwana saya dengar ada satu orang yang pandai sekali main
rantaipeluru-sabit."
"Saya
kira Shishido."
"Itu
dia. Namanya Shishido apa?"
"Shishido
Baiken."
"Ya."
"Dia
pandai besi, biasa bikin sabit besar. Saya ingat pernah mendengar dia mahir
sekali bikin senjata itu. Apa Tuan belajar seni bela diri?"
"Mm."
"Oh,
kalau begitu, daripada menemui Baiken, saya sarankan Tuan pergi ke Matsuzaka.
Beberapa pemain pedang terbaik Provinsi Ise tinggal di sana."
"Siapa
misalnya?"
"Misalnya,
Mikogami Tanzen."
Musashi
mengangguk. "Ya, saya pernah dengar." Ia tidak mengatakan apa-apa
lagi, dan ini memberikan kesan bahwa ia kenal betul kemampuan-kemampuan besar
Mikogami.
Sampai kota
kecil Yokkaichi, ia berjalan terpincang-pincang kesakitan menuju sebuah warung,
dan di situ ia memesan makan siang dan duduk makan. Kura-kura sebelah kakinya
terbalut, karena telapak kakinya luka bernanah. Itulah sebabnya ia memilih
menyewa kuda dan bukan berjalan. Walaupun biasanya ia selalu berhati-hati
dengan tubuhnya, beberapa hari sebelumnya, di kota pelabuhan ramai Narumi
terinjak olehnya papan berpaku. Kakinya yang merah bengkak itu tampak seperti
kesemek asin, dan sejak kemarin ia demam.
Menurut jalan
pikirannya, ia bertempur dengan sebuah paku, dan paku itu menang. Sebagai murid
bela diri, ia merasa malu membiarkan dirinya kena paku tanpa sadar. "Apa
tak ada jalan buat melawan musuh macam itu?" tanyanya beberapa kali kepada
dirinya. "Paku itu mencongak ke atas dan kelihatan jelas. Aku menginjaknya
karena aku setengah tertidur-tidak, aku buta, karena semangatku belum lagi
aktif di seluruh tubuhku. Lebih dan itu, aku membiarkan paku itu menembus
dalam, dan ini terbukti gerak reflekku lamban. Sekiranya aku menguasai
sepenuhnya diriku, pasti aku sudah melihat paku itu begitu sandalku
menyentuhnya."
Persoalan
yang dihadapinya adalah ketidakmatangan, demikian kesimpulannya. Tubuhnya dan
pedangnya masih belum menjadi satu. Sekalipun kedua tangannya jadi semakin kuat
dari hari ke hari, semangatnya dan bagian lain tubuhnya tidak selaras. Dalam
kerangka pikiran yang mengecam diri pribadi ini, hal itu terasa olehnya sebagai
kelainan yang melumpuhkan.
Namun
demikian, ia tidak merasa membuang-buang waktu saja enam bulan lalu itu.
Sesudah melarikan diri dari Yagyu, pertama-tama ia pergi ke Iga, kemudian ke
jalan raya Omi, lalu menjelajahi Provinsi Mino dan Owari. Di setiap kota, di
setiap ngarai gunung, ia berusaha menguasai Jalan Pedang yang sejati.
Kadang-kadang ia merasa sudah mencapainya, tapi rahasianya tetap saja sukar
ditangkap; sesuatu yang tak dapat ditemukan tersembunyi di kota ataupun di ngarai.
Tak ingat
lagi ia, dengan berapa banyak prajurit ia telah berbentrokan. Jumlahnya
berlusin-lusin dan semuanya pemain pedang yang terlatih baik dan dari kelas
tinggi. Tidak sukar menemukan pemain-pemain pedang cakap. Yang sukar ditemukan
adalah manusia sejati. Dunia ini memang penuh orang, bahkan terlalu penuh, tapi
menemukan seorang manusia sejati tidaklah mudah. Selama perjalanannya, Musashi
menjadi yakin akan hal itu, seyakin-yakinnya, sampai terasa menyakitkan dan
semangatnya mengendur. Namun demikian, pikirannya selalu kembali kepada Takuan,
karena tak sangsi lagi dialah pribadi yang otentik, yang unik.
"Kukira
aku beruntung," pikir Musashi. "Setidaknya aku beruntung telah
mengenal seorang manusia sejati. Aku harus membuat pengalaman mengenal dia itu
membuahkan sesuatu."
Manakala
Musashi memikirkan Takuan, sejenis rasa nyeri menyebar dari pergelangan
tangannya ke seluruh tubuhnya. Perasaan itu aneh, suatu kenangan psikologis
akan saat ia terikat erat pada cabang pohon kriptomeria, "Tunggulah!"
sumpah Musashi. "Sebentar lagi akan kuikat Takuan di pohon itu juga, dan
aku akan duduk di tanah, mengkhotbahkan jalan hidup sejati kepadanya!"
Bukannya ia benci kepada Takuan atau punya hasrat membalas dendam. Ia cuma
ingin menunjukkan bahwa taraf yang dapat dicapai seseorang melalui Jalan Pedang
lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan mempraktekkan Zen. Musashi
tersenyum memikirkan kemungkinan bahwa pada suatu hari nanti ia akan ganti
menguasai biarawan eksentrik itu.
Tentu saja
bisa terjadi bahwa segala sesuatu tidak berlangsung tepat seperti yang
direncanakan, tapi sekiranya ia memang mendapat kemajuan besar, dan sekiranya
pada akhirnya ia dapat mengikat Takuan di atas pohon dan menguliahinya, apa
yang dapat dikatakan oleh Takuan? Sudah pasti ia akan berteriak girang dan
menyatakan, "Bagus sekali! Aku bahagia sekarang."
Tapi tidak,
Takuan tak akan pernah bersikap langsung macam itu. Sebagai Takuan, ia akan
tertawa dan katanya, "Bodoh kamu! Kau makin maju, tapi masih bodoh!"
Bagaimana
persisnya kata-kata tidaklah menjadi persoalan benar. Persoalannya Musashi
merasa, walaupun aneh, bahwa menghantam kepala Takuan dengan keunggulan
pribadinya merupakan suatu keharusan, semacam utang terhadap biarawan itu. Khayalan
itu cukup polos. Musashi telah menempuh jalannya sendiri, dan dari hari kehari
ia menemukan betapa paniang dan sukarnya jalan menuju kemanusiaan sejati. Kalau
sisi praktis dirinya mengingatkan ia betapa Takuan sudah jauh lebih lanjut
menempuh jalan itu dibandingkan dengannya, maka khayalan itu pun lenyap.
Lebih
mengguncangkan lagi apabila ia memikirkan betapa mentah dan tak layak dirinya
dibandingkan dengan Sekhishusai. Memikirkan guru Yagyu tua itu membuatnya
sinting dan sekaligus sedih. ia menjadi sadar sesadar-sadarnya akan
ketidakmampuannya bicara tentang Jalan Kesempurnaan, tentang Seni Bela Diri
atau yang lain lagi dengan penuh keyakinan.
Pada
waktu-waktu seperti ini, dunia yang pernah dikiranya penuh orang bodoh itu
kelihatannya besar menakutkan. Dan Musashi berkata pada diri sendiri bahwa
hidup ini bukanlah soal logika. Pedang bukan logika. Yang penting bukan bicara
atau berspekulasi, melainkan beraksi. Mungkin saja ada orang-orang lain yang
sekarang ini jauh lebih besar daripadanya, tapi ia pun bisa menjadi besar!
Apabila
kesangsian terhadap diri sendiri sudah mengancam akan menenggelamkannya, maka
Musashi biasa langsung pergi ke pegunungan dan hidup dengan dirinya dalam
kesendirian itu. Gaya hidupnya di sana tampak jelas dari penampilannya ketika
kembali ke peradaban-pipinya secekung pipi rusa, tubuhnya penuh cakaran dan
luka memar, rambutnya kering dan kaku karena berjam-jam tersiram air terjun
dingin. Ia jadi demikian kotor akibat tidur di tanah, sehingga giginya yang
putih seakan-akan tidak berasal dari dunia. Namun semua itu hanyalah permukaan
semata. Di dalam, ia menyala penuh keyakinan, hampir-hampir keangkuhan. dan
meledak-ledak dengan hasrat menjumpai lawan yang berarti. Dan pencarian ujian
atas keberanian inilah yang selalu membawanya turun dari pegunungan.
Ia dalam
perjalanannya sekarang karena ingin tahu apakah ahli rantaipeluru-sabit Kuwana
itu memang cakap. Dalam sepuluh hari yang masih tersisa sebelum ia memenuhi
janjinya di Kyoto, masih ada waktu untuk melihat apakah Shishido Baiken sungguh
seorang manusia sejati, ataukah sekadar cacing pemakan nasi juga, yang demikian
banyaknya menghuni bumi ini?
Larut malam
barulah ia sampai di tujuannya, jauh di pegunungan itu. Sesudah mengucapkan
terima kasih, dikatakannya bahwa tukang kuda itu bebas untuk pergi, tapi karena
sudah larut, si tukang kuda lebih suka mengawani Musashi ke rumah yang
dicarinya dan menginap di bawah tepi atap. Esok harinya ia akan dapat turun
dari Celah Suzuka, dan jika beruntung ia dapat mengambil penumpang kembali di
jalan. Bagaimanapun, cuaca waktu itu terlalu dingin dan gelap untuk mencoba
kembali sebelum matahari terbit.
Musashi
sependapat dengannya. Mereka berada di sebuah lembah yang tertutup tiga
sisinya. Jalan mana pun terpaksa mendaki pegunungan yang tertimbun salju
setinggi lutut. "Kalau begitu," kata Musashi, "ayolah ikut
saya."
"Ke
rumah Shishido Baiken?"
"Ya.."
"Terima
kasih, Tuan. Mari kita lihat, apa kita dapat menemukannya."
Karena Baiken
membuka bengkel, siapa pun di antara petani setempal dapat mengantar mereka ke
rumahnya, tapi pada waktu malam seperti itu seluruh desa sedang tidur.
Satu-satunya tanda kehidupan adalah bunyi godam yang secara teratur menghantam
blok. Sesudah berjalan melintas, udara dingin mendekati bunyi itu, akhirnya
mereka melihat cahaya.
Ternyata itu
rumah pandai besi. Di depan terdapat timbunan logam tua: dan sisi bawah ujung
atap hitam oleh asap. Atas perintah Musashi, tukang kuda membuka pintu dan
masuk. Api menyala di dapur api dan seorang perempuan yang membelakangi api
sedang menumbuk-numbuk kain.
"Selamat
malam, Nyonya! Oh! Nyonya ada api. Bagus sekali!" Tukang kuda langsung
menuju dapur api itu.
Perempuan itu
terlompat karena tukang kuda yang mendadak masuk itu, dan menghentikan
pekerjaannya. "Siapa pula ini?" tanyanya.
"Tunggu
sebentar, saya jelaskan," kata tukang kuda sambil memanaskan kedua
tangannya. "Saya membawa seseorang dari jauh untuk bertemu dengan suami
Nyonya. Kami baru saja sampai. Saya tukang kuda dari Kuwana."
"Ya,
tapi..." Perempuan itu memandang masam ke arah Musashi. Kerutan keningnya
jelas menunjukkan bahwa ia sudah lebih dari cukup menjumpai shugyosha dan sudah
tahu bagaimana menghadapi mereka. Dengan nada angkuh ia berkata kepada Musashi,
seperti kepada anak kecil, "Tutup pintu! Bayiku bisa masuk angin kalau
udara dingin itu masuk."
Musashi
membungkuk dan mematuhi perintah itu. Kemudian ia duduk di atas tunggul pohon
di samping dapur api dan mengamati sekitarnyadari daerah penuangan best yang
menghitam sampai ruangan tempat tinggal yang berkamar tiga. Pada sebuah papan
yang dipakukan ke dinding tergantung sekitar sepuluh senjata
rantai-peluru-sabit. Ia perkirakan itulah senjatanya, karena terus terang saja,
ia belum pernah melihatnya. Alasannya yang lain mengadakan perjalanan kemari
adalah karena ia berpendapat seorang murid semacam dirinya haruslah berkenalan
dengan segala jenis senjata. Maka berkilau-kilaulah matanya karena rasa ingin
tahu.
Perempuan yang
umurnya sekitar tiga puluh tahun dan agak manis itu meletakkan palunya dan
kembali ke daerah tempat tinggal. Musashi mengira ia akan membawakan teh, tapi
ternyata ia pergi ke tikar tempat tidur seorang bayi, lalu mengangkat anak itu
dan menyusuinya.
Kepada
Musashi ia berkata, "Kukira kau ini samurai muda lain lagi yang datang
kemari buat dibikin berlumuran darah oleh suamiku. Kalau betul begitu, kamu
beruntung. Suamiku sedang pergi, jadi kamu tak perlu kuatir cerbunuh." Ia
tertawa riang.
Musashi tidak
tertawa. Ia jengkel sekali. Ia datang ke desa terpencil ini bukan untuk
dipermainkan oleh seorang perempuan. Menurut renungannya, semua perempuan
cenderung keterlaluan melebihkan status suaminya. Perempuan ini lebih gawat
daripada kebanyakan istri. Ia rupanya mengira suaminya orang terhebat di bumi
ini.
Karena tak
ingin melukai perasaannya, Musashi berkata, "Saya kecewa suami Nyonya
tidak ada. Ke mana dia pergi?"
"Ke
rumah Arakida."
"Di mana
itu?"
"Ha, ha!
Kamu sudah datang di Ise, tapi belum tahu Keluarga Arakida?"
Waktu itu
bayi di dadanya mulai rewel, dan tanpa menghiraukan, tamunya, perempuan itu
menyanyikan lagu buaian dalam logat setempat.
Tidurlah,
tidurlah
Bayi tidur
sungguh manis.
Bayi jaga dan
nangis, itu nakal
Dan bikin
ibunya nangis juga.
Karena
menurut pikirannya, setidak-tidaknya ia bisa mempelajari sesuatu dari
memperhatikan senjata-senjata pandai besi itu, Musashi bertanya, "Apa ini
senjata yang digunakan begitu fasihnya oleh suami Nyonya?"
Perempuan itu
menggerutu, dan ketika Musashi minta dibolehkan memeriksanya, ia mengangguk,
dan menggerutu lagi.
Musashi
menurunkan satu senjata dari sangkutannya. "Jadi, inilah macamnya,"
katanya, setengah pada diri sendiri. "Saya dengar orang banyak
menggunakannya sekarang ini." Senjata di tangannya itu terdiri atas satu
batang logam yang panjangnya 60 cm (yang dengan mudah dapat disimpan di dalam
obi). Ujungnya memakai cincin tempat menyangkutkan rantai. Di ujung lain rantai
itu terdapat peluru logam yang berat, yang cukup kokoh untuk memecahkan
tengkorak manusia. Di lekuk yang dalam pada salah satu sisi batang logam itu
tampak punggung pisau. Ketika ia menarik benda itu dengan kukunya, benda itu
melenting ke samping, seperti mata sabit. Dengan senjata itu, tidaklah sukar
memotong kepala lawan.
"Kukira
begini memegangnya," kata Musashi seraya memegang sabit itu dengan tangan
kiri dan rantai dengan tangan kanan. Sambil membayangkan seorang musuh di
hadapannya, ia mengambil jurus dan menimbang-nimbang gerakan yang
diperlukannya.
Perempuan itu
mengalihkan matanya dari tempat tidur bayinya unruk memperhatikan, dan
umpatnya, "Bukan begitu! Salah sekali!" Sambil menjejalkan buah
dadanya kembali ke dalam kimononya, ia mendekat ke tempat Musashi berdiri.
"Kalau kamu memegangnya begitu, orang yang bersenjata pedang bisa
menebasmu tanpa kesulitan sama sekali. Pegang begini."
Ia merebut
senjata itu dari tangan Musashi dan memperlihatkan padanya bagaimana cara
berdiri. Musashi tak suka melihat seorang perempuan mengambil jurus tempur
dengan senjata yang demikian brutal. la memandang dengan mulut menganga. Ketika
menyusui bayinya tadi, perempuan itu tampak betul-betul seperti sapi, tapi
sekarang sesudah siap tempur ia tampak gagah, bermartabat, dan, ya, bahkan
cantik. Sementara memperhatikan, Musashi melihat bahwa pada pedang berwarna
biru kehitaman seperti punggung ikan makerel itu terdapat tulisan yang
bunyinya, "Gaya Shishido Yaegaki".
Perempuan itu
mengambil jurus tersebut hanya sesaat. "Yah, kira-kira seperti
itulah," katanya sambil melipatkan kembali pisau itu ke dalam gagangnya
dan menggantungkan senjata itu ke sangkutannya.
Musashi ingin
melihatnya menggunakan alat itu lagi, tapi perempuan itu jelas tak punya
keinginan melakukannya. Sesudah membersihkan dinding, ia kembali sibuk dengan
pekerjaan di dekat bak cuci. Ia mencuci pecah belah atau bersiap memasak
sesuatu.
"Kalau
perempuan ini dapat mengambil jurus demikian mengesankan," pikir Musashi,
"suaminya tentunya benar-benar patut dilihat." Maka hampir tak sabar
lagi ia ingin menjumpai Baiken, dan pelan-pelan ia bertanya kepada tukang kuda
mengenai Keluarga Arakida. Sambil bersandar ke dinding dan menghangatkan diri
pada panas api, tukang kuda menyatakan dengan suara gumam bahwa mereka itu
keluarga yang ditugaskan mengawal Biara Ise.
Kalau ini
benar, demikian pikir Musashi, tak akan sukar menemukan tempat mereka itu. Ia
mengambil keputusan untuk mencarinya, lalu melingkarkan diri di tikar dekat api
dan tidur.
Pagi-pagi,
magang pandai besi itu bangun dan membuka luar bengkel. Musashi bangun juga dan
minta kepada tukang kuda agar membawanya ke Yamada, kota terdekat dengan Biara
Ise. Puas karena telah dibayar hari sebelumnya, tukang kuda segera menyetujui.
Petang hari
mereka sudah sampai di jalan panjang berapit pohon yang menuju biara itu.
Warung-warung teh di situ tampak sangat sepi, bahkan juga untuk musim dingin.
Hanya sedikit orang berjalan, dan jalan itu sendiri dalam keadaan buruk.
Sejumlah pohon yang tumbang oleh badai musim gugur masih menggeletak di tempat
tumbangnya.
Dari rumah
penginapan di Yamada, Musashi mengirim seorang pesuruh untuk bertanya ke rumah
Arakida, apakah Shishido Baiken tinggal di sana. Jawaban yang datang menyatakan
bahwa tentunya telah terjadi kekeliruan. Tak seorang pun yang namanya demikian
ada di sana. Karena kecewa, Musashi mengalihkan perhatian kepada kakinya yang
luka, yang dalam semalam itu sudah sangat membengkak.
Ia gusar
karena tinggal beberapa hari lagi waktu yang tersisa baginya untuk berada di
Kyoto. Dalam surat tantangan yang dikirimkannya kepada Sekolah Yoshioka dari
Nagoya, ia menyerahkan pada mereka untuk memilih salah satu hari dalam minggu
pertama Tahun Baru. Ia tak dapat menolak sekarang dengan alasan kaki sakit.
Disamping itu, ia berjanji menjumpai Matahachi di jembatan Jalan Gojo.
Sepanjang
hari berikutnya ia gunakan untuk menerapkan obat yang pernah didengarnya. Ampas
tahu ia masukkan dalam kantong kain, ia peras sampai keluar airnya, dan ia
rendam kakinya dalam air itu. Namun tak ada perbaikan. Bahkan lebih buruk lagi
bahwa bau tahu itu memualkan. Sibuk mengurusi kakinya, ia mengeluh atas
kebodohannya telah menyeleweng pergi ke Ise. Mestinya ia langsung ke Kyoto.
Malam itu
kakinya ia bungkus di bawah selimut. Demamnya menanjak dan rasa nyerinya tak
tertahankan lagi. Pagi berikutnya dengan putus asa ia cobakan resep-resep lain,
termasuk mengoleskan obat seperti minyak pemberian pemilik rumah penginapan.
Orang itu berani bersumpah bahwa keluarganya telah menggunakannya beberapa
generasi. Namun bengkak tidak juga surut. Kakinya tampak seperti gumpalan tahu
besar membengkak. dan rasanya sudah seberat balok kayu.
Pengalaman
itu menyebabkan ia berpikir. Tidak pernah dalam hidupnya ia terbaring tiga hari
lamanya. Selain bisul yang pernah dipunyainya di kepala semasa kanak-kanak,
menurut ingatannya tak pernah ia sakit.
"Sakit
adalah sejenis musuh yang paling jahat," demikian pikirnya. "Namun
tak berdaya aku dalam genggamannya." Sampai sekarang ia menduga
musuh-musuhnya akan selalu datang dari luar, maka kenyataan bahwa ia dibikin
lumpuh oleh musuh dari dalam, baginya sungguh baru dan memaksanya untuk
berpikir.
"Tinggal
berapa hari lagi tahun ini?" demikian ia bertanya-tanya. "Tak bisa
aku hanya tinggal di sini membuang-buang waktu!" Dalam keadaan terbaring
dengan perasaan jengkel itu, tulang-tulang rusuknya terasa seperti menekan
jantungnya dan dadanya terasa mengerut. ia tendang selimut dari kakinya yang
bengkak. "Kalau menendang ini saja aku tak dapat, bagaimana bisa aku
mengalahkan seluruh Keluarga Yoshioka?"
Ia membayangkan
akan menghimpit dan mencekik setan di dalam dirinya. Ia memaksa dirinya duduk
bersimpuh dalam gaya resmi. Sakit rasanya, sakit sekali. Hampir-hampir pingsan.
Ia menghadap jendela, tapi dengan menutup mata.
Cukup lama
waktu berlalu, sebelum akhirnya warna merah pada wajahnya mulai berkurang dan
kepalanya mendingin sedikit. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah setan akan
menyerah pada kegigihannya yang pantang menyerah itu.
Ketika
membuka mata, tampaklah di hadapannya hutan sekitar Biara Ise. Di seberang
pepohonan terlihat olehnya Gunung Mai, dan sedikit ke timur Gunung Asama.
Menjulang di atas pegunungan di antara kedua gunung itu tampak sebuah puncak
yang menatap dengan pandangan merendahkan kepada gunung-gunung di sekitarnya,
dan menatap pula kepada Musash dengan kurang ajarnya.
"Itu
burung rajawali," pikir Musashi, tanpa mengetahui bahwa namanva memang
Gunung Rajawali. Penampilan puncak gunung yang congkak itu menyinggung
perasaannya. Gayanya yang sombong itu mengejeknya, hingga semangat juangnya
sekali lagi tergelitik. Maka terpikirlah olehnya Yagyu Sekishusai, pemain
pedang tua yang mirip dengan puncak angkuh ini. Lama-kelamaan mulai kelihatan
olehnya bahwa puncak itu memang Sekishusai yang sedang memandang kepadanya dan
atas awan-awan, menertawakan kelemahan dan kekerdilannya.
Selagi
memandang gunung itu, untuk sementara ia lupa akan kakinya, tapi segera
kemudian rasa nyeri mendesak kembali ke dalam kesadarannya. Sekiranya ia
hantamkan kakinya ke api bengkel pandai besi itu, pasti tak terasa sakit lagi,
demikian pikirnya sedih. Tanpa dikehendakinya, ia tarik kaki yang besar bulat
itu dari bawah dirinya dan ia tatap. Tak hendak ia menerima kenyataan bahwa
kaki itu benar-benar sebagian dari dirinya.
Dengan suara
keras ia panggil pesuruh. Ketika tidak cepat muncul, ia pukul tatami dengan
tinjunya. "Di mana saja semua orang ini?" pekiknya. "Aku mau
pergi dari sini! Mana rekening! Sediakan makanan-nasi gorengdan bawakan aku
tiga pasang sandal jerami yang berat!"
Sebentar
kemudian ia sudah ada di jalan, terpincang-pincang melewati lapangan pasar. Di
situlah tentunya dilahirkan prajurit terkenal Tairo no Tadakiyo, pahlawan
"Cerita Perang Hogen". Tapi sekarang sedikit saja yang mengingatkan
orang bahwa tempat itu tempat lahir para pahlawan. Sekarang rempat itu lebih
mirip bordil terbuka yang didereti warung-warung teh dan dikerumuni perempuan.
Lebih banyak perempuan penggoda berdiri di sepanjang jalan itu daripada pohon.
Mereka memanggil-maggil orang lewat dan mencekal lengan baju calon-calon korban
yang lewat, sambil mencumbu, membujuk, dan menggoda. Untuk sampai ke biara itu,
Musashi betul-betul harus berjuang melintasi mereka sambil merengut dan
menghindari pandangan mereka yang tak sopan itu.
"Kenapa
kakimu?"
"Apa mau
saya obati?"
"Sini,
biar saya gosoki!"
Mereka
menarik-narik pakaiannya, mencengkeram tangannya, menggenggam tangannya.
"Lelaki
tampan takkan sampai ke mana-mana dengan mengerutkan dahi macam itu!"
Musashi
menjadi merah mukanya dan menghuyungkan diri dengan membuta. Sama sekali tak
bisa ia bertahan terhadap serangan macam itu, dan ia minta maaf pada sebagian
dan mereka, dan dengan sopan menyatakan menyesal pada yang lain. Semua itu
hanya membikin perempuan-perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. Ketika seorang
dari mereka mengatakan bahwa Musashi "semungil anak macan tutul!",
serangan tangan-tangan putih itu menjadi gencar. Akhirnya ia tak peduli lagi
dengan segala macam topeng harga diri, dan ia pun lari, bahkan ia tak mau
berhenti memungut topinya ketika topi itu terlepas dari kepalanya. Maka
suara-suara mengikik mengikutinya di antara pepohonan di luar kota itu.
Tidak mungkin
bagi Musashi mengabaikan perempuan. Rangsangan yang ditimbulkan oleh
tangan-tangan yang mencakar-cakar itu lama baru bisa reda. Ingatan tentang bau
bedak putih yang tajam tentu saja sudah dapat membuat detak nadinya menggebu,
dan usaha mental macam apa pun darinya takkan dapat menenangkannya. Itu ancaman
yang lebih besar dibandingkan dengan musuh yang berdiri dengan pedang terhunus
di hadapannya. Betul-betul ia tak tahu bagaimana mengatasinya. Belakangan,
apabila tubuhnya menyala oleh birahi, sepanjang malam ia gelisah. Bahkan Otsu
yang polos itu pun kadang-kadang menjadi khayalnya yang penuh nafsu.
Hari ini
kakinya memaksanya melepaskan pikiran tentang perempuan, tapi melarikan diri
dari mereka dalam keadaan hampir tak dapat berjalan itu sama saja dengan
menyeberangi kancah logam cair panas. Setiap langkah yang diambilnya berarti
tikaman derita di kepala, yang berasal dari telapak kaki. Bibirnya memerah,
tangannya jadi selengket madu, dan bau rambutnya menyengat karena keringat.
Mengangkat kaki yang luka itu saja menghabiskan seluruh tenaga yang dapat ia
kerahkan. Kadang-kadang ia merasa seolah tubuhnya tiba-tiba akan pecah
berantakan. Bukannya ia berkhayal. Ia sudah tahu ketika meninggalkan rumah
penginapan itu bahwa ini akan merupakan siksaan baginya, dan ia bermaksud
mengatasinya. Bagaimanapun ia sudah berhasil tetap mengendalikan diri, walaupun
tiap kali menyeret kaki sial itu ia mengutuk pelan.
Menyeberangi
Sungai Isuzu dan memasuki pekarangan biara itu mendatangkan perubahan suasana
yang menyenangkan. Ia merasakan suasana suci dalam tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan,
bahkan juga dalam suara burung-burung. Apakah itu, pada hakikatnya, tak dapat
ia mengatakan, tapi ia ada di sana.
Ia rebah di
akar sebatang pohon kriptomeria besar, sambil merintih pelan kesakitan dan
memegangi kaki dengan kedua tangannya. Lama ia duduk di sana tak
bergerak-gerak, seperti batu karang. Tubuhnya menyala demam, sekalipun kulitnya
tersengat oleh angin dingin.
Kenapakah ia
tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melarikan diri dari rumah penginapan
itu? Orang normal mana pun akan tetap tinggal di sana tenang-tenang, sampai
kakinya terobati. Apakah itu tidak kekanak-kanakan. bahkan bodoh, bahwa seorang
dewasa membiarkan dirinya dikuasai ketidaksabaran?
Namun bukan
ketidaksabaran itu semata-mata yang menggerakkannya. Yang menggerakkannya
adalah kebutuhan spiritual, dan kebutuhan yang sangat dalam. Kendati dilanda
nyeri dan derita fisik, semangat Musashi pekat dan berdetak penuh daya hidup.
Ia angkatkan kepala, dan dengan mata nyalang ia pandang kehampaan di
sekitarnya.
Lewat rintihan
pohon-pohon besar yang suram dan tak henti-hentinya terdengar di hutan suci itu
telinga Musashi menangkap bunyi lain. Tidak berapa jauh, entah di mana,
seruling dan buluh menyuarakan musik kuno, musik persembahan bagi para dewa,
sementara suara anak-anak yang halus menvanyikan doa suci. Tertarik oleh bunyi
damai ini Musashi mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir ia memaksakan diri
berdiri, walau tubuhnya yang enggan itu menolak setiap gerak. Sesudah mencapai
dinding tanah gedung biara, diraihnya dinding itu dengan kedua tangan dan
berusaha merayap dengan gerakan kepiting yang kaku.
Musik itu
berasal dari bangunan yang agak lebih jauh letaknya. Seberkas cahaya bersinar
lewat jendelanya yang berkisi-kisi. Wisma Para Perawan ini dihuni gadis-gadis
muda yang mengabdi kepada dewa-dewa. Di sini mereka berlatih memainkan
alat-alat musik kuno dan belajar menarikan tari-tarian suci yang diciptakan
berabad-abad sebelumnya.
Musashi
mendekati pintu belakang bangunan itu. Ia berhenti dan memandang ke dalam, tapi
tak melihat seorang pun. Merasa lega karena tidak harus memberikan keterangan
tentang dirinya, ia melepaskan pedang dan bungkusan dari punggungnya. Semua itu
diikat bersama dan digantungkannya pada sangkutan di dinding dalam. Dalam
keadaan tanpa beban itu ia letakkan kedua tangannya di pinggul dan ia berjalan
terpincang-pincang kembali ke Sungai Isuzu.
Kira-kira
sejam kemudian, bertelanjang bulat, ia pecahkan es di permukaan sungai dan ia
ceburkan dirinya ke air dingin itu. Di sana ia diam, berkecipak, dan membasuh
badan, mencelupkan kepala dan memurnikan diri. Untung tak seorang pun ada di
sekitar. Pendeta yang lewat bisa-bisa menduga ia sudah gila dan mengusirnya.
Menurut
legenda Ise, seorang pemanah bernama Nikki Yoshinaga dahulu kala menyerang dan
menduduki sebagian wilayah Biara Ise. Merasa sudah mantap, ia memancing di
Sungai Isuzu yang suci dan menggunakan burung elang pemburu untuk menangkap
burung-burung kecil di hutan suci itu. Karena melakukan penjarahan yang
melanggar kesucian ini, demikian kata legenda itu, ia menjadi gila sama sekali.
Musashi yang berbuat seperti orang itu dapat dengan mudah dikira hantu orang
gila itu.
Ketika
akhirnya ia melompat ke atas batu, ia dapat melakukan lompatan itu dengan
ringannya, seperti seekor burung kecil. Sementara ia mengeringkan diri dan
mengenakan pakaian, helai rambut di sepanjang dahinya kaku menjadi kerat-kerat
es.
Bagi Musashi,
mencemplungkan diri ke sungai suci itu penting. Kalau tubuhnya tak dapat
menahan dingin, bagaimana mungkin ia bertahan terhadap halangan-halangan yang
lebih mengancam hidup? Dan pada saat ini persoalannya bukanlah kemungkinan masa
depan yang abstrak, melainkan kemungkinan menghadapi Yoshioka Seijuro yang
sangat nyata, beserta seluruh pengikutnya. Mereka akan mengerahkan setiap daya yang
ada pada mereka terhadapnya. Mereka harus berbuat demikian untuk menyelamatkan
muka. Mereka tahu bahwa mereka tak punya pilihan lain kecual membunuhnya, dan
Musashi tahu bahwa untuk menyelamatkan nyawanya ia harus menggunakan muslihat.
Menghadapi
kemungkinan seperti ini, samurai pada umumnya pasti akan bicara tentang
"berkelahi dengan segala tenaga" atau "siap menghadapi
maut", tapi menurut jalan pikiran Musashi semua itu omong kosong belaka.
Memenangkan perkelahian hidup atau mati dengan segala kekuatan tidaklah lebih
dari naluri binatang. Lagi pula, walau tidak kehilangan keseimbangan menghadapi
mati merupakan keadaan mental yang tinggi tarafnya, sesungguhnya tidaklah
begitu sukar menghadapi maut, kalau ia sudah tahu bahwa la harus mati.
Musashi tidak
takut mati, tapi tujuannya memang mutlak, bukan sekadar hidup, dan ia mencoba
membangun keyakinan untuk berbuat demikian. Biarlah orang lain gugur secara
heroik, kalau itu cocok buat mereka. Musashi hanya mau membereskan pertempuran
dengan kemenangan heroik.
Kyoto tidak
jauh, tidak lebih dari tujuh puluh atau delapan puluh mil. Kalau ia dapat
menjaga langkah, ia bisa sampai di sana dalam tiga hari. Namun waktu yang
dibutuhkan untuk mempersiapkan diri secara spiritual tidaklah dapat ditakar.
Apakah secara mental ia sudah siap? Apakah pikiran dan semangatnya sudah
benar-benar satu?
Musashi belum
dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini secara positif. Ia
merasa bahwa jauh di dalam dirinya terdapat kelemahan, yaitu karena ia tahu
dirinya belum matang. ia sadar, dan itu mengecewakannya, bahwa ia belum
mencapai taraf pikiran seorang guru sejati, bahwa ia masih jauh dari seorang
manusia yang lengkap dan sempurna. Apabila ia membandingkan dirinya dengan
Nikkan atau Sekishusai atau Takuan, tak dapat ia mengelak dari kebenaran
sederhana ini: ia masih hijau! Analisis yang dilakukannya sendiri atas
kemampuan dan sifat-sifat dirinya tidak hanya mengungkapkan kelemahan di
beberapa bidang, melainkan juga kekurangan dalam bidang-bidang lain.
Tubuhnya
bergetar ketika ia memekik, "Aku harus menang, aku harus menang!"
Sambil berjalan terpincang-pincang memudiki Sungai Isuzu, ia memekik lagi agar
semua pohon di hutan suci itu mendengar, "Aku harus menang!" Ia
melintasi air terjun yang tenang dan beku, dan seperti manusia primitif ia
merangkak ke atas batu-batu besar dan bersusah payah menerobos semak-semak
rimbun di ngarai yang dalam, yang sebelumnya tak banyak ditempuh orang.
Wajahnya
semerah wajah setan. Hanya dengan mengerahkan segala tenaga, baru ia dapat maju
selangkah, itu pun dengan bergayut pada batu dan tumbuhan menjalar.
Di seberang
tempat bernama Ichinose terdapat jurang yang panjangnya lima atau enam ratus
meter, penuh dengan tebing terjal dan riam, hingga ikan forsel pun tak dapat
melintasinya. Di ujungnya menjulang tebing yang hampir terjal. Orang bilang
hanya monyet dan peri dapat memanjatnva.
Musashi
memandang batu karang itu, dan katanya tanpa khayal, "Ini dia jalan ke
Gunung Rajawali."
Ia gembira
melihat tak ada rintangan tak tertembus di sini. Berpegangan pada tumbuhan
menjalar yang kuat, ia mulai mendaki permukaan batu karang, setengah memanjat
setengah berayun, seolah disangga oleh suatu gaya berat terbalik.
Sesampainya
di puncak karang meledaklah pekik kemenangan darinya. Dari sana terlihat
olehnya aliran sungai yang putih dan pesisir perak sepanjang pantai
Futamigaura. Dan di hadapannya, di seberang belukar jarang yang berselimut
kabut malam, tampak olehnva kaki Gunung Rajawali.
Gunung itu
Sekishusai. Dulu ia tertawa ketika Musashi terbaring di tempat tidur, dan kini
puncaknya melanjutkan ejekan itu. Maka semangat Musashi yang tak kenal menyerah
betul-betul tersengat oleh keunggulan Sekishusai. Serangan itu menindasnya,
menyeretnya mundur.
Berangsur-angsur
terbentuklah tujuan dalam dirinya: mendaki sampai puncak dan melampiaskan
dendam, menginjak-injak seenaknya kepala Sekishusai, untuk menunjukkan
kepadanya bahwa Musashi dapat dan harus menang.
Majulah ia
menentang perlawanan rumput liar, pohon, es—musuh-musuh yang mencoba
mati-matian menyeretnya mundur. Setiap langkah, setiap napas, merupakan
tantangan. Darahnya yang belum lama ini kedinginan kini mendidih dan tubuhnya
mengepul ketika keringat yang keluar dari pori-porinya berjumpa dengan udara
dingin. Musashi memeluk permukaan puncak yang merah warnanya itu sambil
mencari-cari pijakan kaki. Setiap kali ia merasa sudah ada pijakan itu,
batu-batu kecil menghujan, menimpa belukar di bawah. Seratus kaki, dua ratus,
tiga ratus—ia kini di tengah awan-awan. Apabila awan-awan itu bersibak, dari
bawah ia tampak seperti tergantung di awang-awang tanpa berat. Puncak gunung
menatap dingin kepadanya.
Kini, setelah
dekat ke puncak tertinggi, ia pegang teguh hidupnya tercinta. Satu saja gerakan
keliru akan membuatnya melayang ke riam karang dan batu-batu besar. Napasnya
terengah-engah, mendesir-desir, bahkan ia melahap udara dengan pori-porinya.
Demikian pekat tegangan yang dialaminya, hingga jantungnya serasa akan naik dan
meledak dari mulutnya. la hanya dapat memanjat beberapa kaki, lalu berhenti,
beberapa kaki, lalu berhenti lagi.
Seluruh dunia
terhampar di bawahnya: hutan besar yang memagari tempat suci, jalur putih yang tentunya
sungai, Gunung Asama, Gunung Mae, kampung nelayan Toba, dan lautan terbuka
luas. "Hampir sampai," pikirnya. "Sedikit lagi!"
"Sedikit
lagi." Alangkah mudah dikatakan, tapi alangkah sukar dicapai! Karena
"sedikit lagi" itulah yang membedakan pedang kemenangan dengan pedang
yang kalah.
Karena bau
keringat, ia mulai samar-samar merasa sedang bersarang di dada ibunya.
Permukaan gunung yang kasar mulai terasa seperti kulit ibunya, dan ia jadi
ingin sekali tidur. Tapi justru pada waktu itu sebutir batu di bawah ibu jari
kakinya terlepas dan membuatnya sadar kembali. Ia mencari-cari pijakan lain.
"Ini
dia! Hampir sampai!" Dengan kaki-tangan kejang dan sakit, kembali ia
mencakar gunung itu. Kalau tubuh dan daya kemauannya melemah, demikian
dikatakannya kepada dirinya, maka sebagai pemain pedang pasti pada suatu hari
ia akan terbunuh. Di sinilah pertandingan akan ditentukan, dan Musashi tahu itu.
"Ini
untukmu, Sekishusai! Untukmu, bajingan!" Dengan segala daya yang ada
padanya ia kutuki raksasa-raksasa yang dihormatinya, para superman yang telah
menyebabkannya datang kemari, para superman yang harus dan akan ditaklukkannya.
"Satu untukmu, Nikkan! Dan untukmu, Takuan!"
Ia panjati
kepala berhala-berhala itu, ia injak-injak dan ia tunjukkan pada mereka siapa
yang terbaik di antara mereka. ia dan gunung itu kini satu, tapi seolah-olah
heran melihat mahluk ini mencakarnya, gunung itu menggertak dan meludahkan
longsoran batu kerikil dan pasir. Napas Musashi terhenti, seakan seseorang
menepukkan tangan ke mukanya. Sementara ia bergayut pada batu karang itu, angin
berembus, mengancam meniupnya bersama batu karang dan segalanya.
Kemudian
tiba-tiba ia sudah tengkurap, matanya terpejam tak berani bergerak. Tapi dalam
hatinya ia menyanyikan lagu kegembiraan meluap. Dan setelah meluruskan badan,
ia memandang ke segala jurusan, dan cahaya fajar tiba-tiba tampak di tengah
lautan awan putih di bawahnya.
"Berhasil!
Aku menang!"
Begitu ia
sadar telah mencapai puncak, begitu daya kemauannya yang sudah menegang itu
mendetak seperti tali busur. Angin di puncak tertinggi menghujani punggungnya
dengan pasir dan batu. Di sinilah, di perbatasan antara langit dan bumi, Musashi
merasa bahwa kegembiraan yang tak terlukiskan membengkak memenuhi seluruh
dirinya. Tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat kini tersatukan dengan
permukaan gunung. Semangat manusia dan gunung kini sedang melaksanakan karya
cipta yang agung di keluasan alam tak terbatas di waktu fajar. Dan dalam
selimut kegembiraan meluap yang surgawi itu, tidurlah ia dengan damai.
Ketika
akhirnya ia mengangkat kepala, pikirannya pun semurni dan sejernih kristal.
Mendadak ia ingin melompat dan melejit ke sana kemari seperti ikan mino di
sungai.
"Tak ada
apa pun lagi di atasku!" teriaknya. "Aku sekarang berdiri di atas
kepala rajawali!"
Matahari pagi
yang baru muncul menyinarkan cahaya kemerahan kepadanya dan kepada gunung itu,
sementara ia merentangkan tangannya yang berotot dan liar ke langit. Ia pandang
kakinya yang terhujam teguh ke puncak tertinggi, dan waktu itu tampak olehnya
seolah seember penuh nanah kekuningan merembes dari kakinya yang cedera. Di
tengah kemurnian angkasa yang mengitarinya, membubunglah napas
kemanusiaan—napas manis kegelapan yang telah terhalau.
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar