Sabtu, 15 Juli 2017



Perintis

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg









PADA suatu hari, dekat akhir bulan kelima, ketika Osugi sampai di Edo, udara panas dan lembap, seperti biasa terjadi pada musim hujan, tapi tidak datang hujan. Selama hampir dua bulan sejak meninggalkan Kyoto, ia berjalan dengan langkah santai, sambil sekali-sekali mengobati rasa sakit dan nyeri yang dideritanya, atau mengunjungi tempat-tempat suci dan kuil.

Kesan pertama yang diperolehnya tentang ibu kota shogun itu tidak menyenangkan. "Kenapa mesti membangun rumah di rawa-rawa macam ini?" ujarnya menghina. "Rumput liar dan rumput mendong bahkan belum dibersihkan."

Karena kemarau yang salah musim, kabut debu mengambang di atas jalan raya Takanawa, dengan pohon-pohonnya yang baru ditanam dan tanda-tanda jarak yang belum lama didirikan. Dataran antara Shioiri dan Nihombashi penuh dengan gerobak sapi bermuatan batu dan balok. Sepanjang jalan, rumah-rumah baru bermunculan cepat.

"Bajingan...!" gagap Osugi sambil menengadah marah ke arah sebuah rumah yang baru setengah jadi. Segumpal tanah liar basah dari ember seorang tukang plester secara kebetulan mendarat di kimononya.

Para pekerja meledak tertawa.

"Berani-berani kalian lempar lumpur pada orang lain, lalu berdiri tertawa-tawa? Kalian mesti berlutut minta maafl"

Kalau di Miyamoto, beberapa patah kata tajam saja darinya akan membuat para penyewa tanah atau orang desa yang lain gemetar ketakutan. Tetapi pekerja-pekerja yang hanya merupakan sebagian kecil dari ribuan pendatang baru dari seluruh negeri itu hampir tidak menoleh dari pekerjaan mereka.

"Apa yang diocehkan perempuan jelek itu?" tanya seorang pekerja.

Osugi yang sudah naik darah itu berteriak, "Siapa bilang itu? Kenapa kau..."

Makin banyak Osugi menggerutu, makin keras tawa orang-orang itu. Para penonton mulai berkumpul dan saling bertanya, kenapa perempuan tua itu tidak bersikap sesuai umurnya dan menerima saja soal itu dengan tenang.

Osugi menyerbu ke dalam rumah, mencengkeram ujung papan tempat berdiri tukang-tukang plester, dan menyentakkannya dari tiangnya. Beberapa orang beserta ember penuh tanah liat runtuh ke tanah.

"Perempuan brengsek!"

Mereka bangkit dan mengepung Osugi dengan sikap mengancam.

Osugi tak beranjak. "Keluar kalian!" perintahnya dengan muka cemberut. Tangannya meraba pedang pendeknya.

Para pekerja terpaksa berpikir dua kali. Cara perempuan itu memandang dan membawa diri menunjukkan bahwa ia dari keluarga samurai. Mereka bisa mendapat kesulitan, kalau tidak berhati-hati. Maka sikap mereka pun melunak.

Melihat perubahan itu, Osugi dengan agung berkata, "Mulai sekarang takkan kubiarkan kekasaran orang-orang macam kalian." Dengan wajah puas ia keluar dan turun kembali ke jalan, meninggalkan para penonton yang ternganga memandang punggungnya yang lurus dan keras itu.

Belum lagi ia sempat berjalan kembali, seorang magang dengan kaki berlumpur, yang anehnya penuh serutan dan debu gergaji, berlari di belakangnya, membawa seember tanah liat yang kotor.

Ia meneriakkan, "Bagaimana kalau ini, nenek sihir?" Ia tumpahkan isi ember itu ke punggung Osugi.

"O-w-w-w!" Lolongan itu memang baik untuk paru-paru Osugi, tapi sebelum ia dapat membalikkan badan, magang itu sudah lenyap. Ketika ia sadar betapa kotor punggungnya, ia memberengut sedih, air mata kejengkelan memenuhi matanya.

Orang-orang bersorak gembira.

"Apa yang kalian tertawakan, orang-orang goblok?" berang Osugi. "Apa lucunya perempuan tua disiram kotoran? Apa begini cara kalian menyambut orang tua di Edo ini? Kalian pun manusia, bukan? Ingatlah, kalian semua akan tua juga nanti."

Semburan kata-kata ini lebih menarik lagi bagi para penonton.

"Begini ini yang namanya Edo!" dengus Osugi. "Kalau dengar omongan orang, kita pikir ini tadinya kota terbesar di seluruh negeri. Tapi apa kenyataannya? Cuma tempat penuh kotoran dan kemesuman. Di manamana orang meruntuhkan bukit dan menimbun rawa-rawa, menggali parit dan menimbun pasir pantai. Bukan hanya itu, kota ini penuh jembel yang takkan pernah dapat ditemukan di Kyoto atau di mana pun di barat." Sesudah mengucapkan semua itu, ia membelakangi orang banyak yang tertawa dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Memang kebaruan kota merupakan hal yang paling menonjol. Kayu dan plester rumah-rumah semuanya tampak cemerlang dan segar, banyak tanah bangunan yang baru sebagian saja diratakan. Tahi rubah dan kuda mencolok mata dan mengganggu lubang hidung.

Belum lama berselang, jalan ini cuma jalan setapak di tengah sawah, antara Desa Hibiya dan Chiyoda. Sekiranya Osugi pergi sedikit ke barat, dekat Benteng Edo, ia akan menemukan daerah yang lebih tua dan lebih tenang, di mana para daimyo dan pengikut shogun membangun tempat persemayaman, segera sesudah Tokugawa Ieyasu menduduki Edo pada tahun 1590.

Dalam keadaannya sekarang, sama sekali tak ada yang dapat menggugah hati Osugi. Ia merasa tua. Setiap orang yang dilihatnya-tukang warung, para pejabat yang naik kuda, para samurai yang jalan-jalan mengenakan topi anyaman-semuanya masih muda, seperti halnya para pekerja, tukang, pedagang, serdadu, bahkan juga jenderal.

Di depan sebuah rumah yang masih dikerjakan oleh tukang-tukang plester tergantung papan nama toko, dan di belakangnya duduk seorang perempuan berpupur tebal yang sedang mengecat alisnya, sambil menanti langganan. Di gedung-gedung lain yang baru setengah digarap, orang menjual sake, mengatur barang-barang tekstil yang hendak dipamerkan, atau mengatur perbekalan ikan kering. Seorang lelaki sedang menggantungkan papan obat-obatan.

"Sekiranya aku tidak mencari orang," gumam Osugi masam, "satu malam pun aku takkan mau tinggal di tong sampah ini."

Sampai di sebuah bukit tanah galian yang menghalangi jalan, ia berhenti. Di kaki jembatan yang menyeberangi parit yang masih belum berair, berdiri sebuah pondok. Dindingnya terdiri atas tikar gelagah yang diikat tali-tali bambu, tapi sebuah spanduk menyatakan bahwa pondok itu sebuah tempat mandi umum. Osugi menyerahkan sekeping mata uang tembaga, dan masuk untuk mencuci kimononya. Sesudah membersihkan semampunya, ia meminjam galah pengering dan menggantungkan pakaian itu di samping gubuk. Hanya mengenakan pakaian dalam yang ditutup jubah mandi ringan, ia berjongkok di dalam bayangan rumah mandi dan memandang kosong ke jalan.

Di seberang jalan, setengah lusin orang lelaki berdiri melingkar sambil tawar-menawar dengan suara cukup keras, hingga Osugi dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Berapa meter persegi itu? Saya tidak keberatan mempertimbangkan, kalau harganya betul."

"Ada dua ribu tujuh ratus meter persegi. Harga seperti saya sebut sebelumnya. Tak bisa turun."

"Ah, terlalu mahal. Tahu sendiri."

"Sama sekali tidak mahal. Menimbun tanah itu makan banyak uang. Dan jangan lupa, tak ada lagi tanah lain sekitar sini."

"Ah, pasti ada. Di mana-mana orang sedang menimbun."

"Sudah terjual. Orang berebut tanah seperti apa adanya, termasuk yang masih rawa-rawa dan segalanya itu. Sekarang tak ada lagi tanah tiga puluh meter persegi yang masih dijual. Tentu saja kalau kita mau ke jurusan Sungai Sumida, masih bisa kita dapat yang lebih murah."

"Kau menjamin ada dua ribu tujuh ratus meter persegi?"

"Tak perlu kausuruh aku berjanji. Ambil tali dan ukur olehmu sendiri."

Osugi heran sekali; angka yang disebut untuk sepuluh meter persegi cukup untuk membeli ribuan meter persegi tanah sawah yang baik. Tetapi percakapan serupa itu terjadi di seluruh kota, karena memang banyak saudagar yang berspekulasi dengan tanah. Osugi jadi terpesona. "Kenapa semua orang menghendaki tanah di sini? Tempat ini tidak baik untuk padi dan tak dapat juga disebut kota."

Segera kemudian persetujuan di seberang jalan itu ditutup dengan cara bertepuk tangan, agar nasib baik memberkahi semua yang bersangkutan. Selagi Osugi iseng memperhatikan perginya bayangan orang-orang itu, terasa olehnya sebuah tangan meraba bagian belakang obi-nya. "Copet'" jeritnya sambil menangkap pergelangan tangan pencopet itu. Tapi ternyata kantong uangnya sudah hilang, dan pencopet itu sudah sampai di jalan.

"Copet!" jerit Osugi lagi. Ia segera mengejar orang itu, dan berhasil melingkarkan tangan ke pinggang si pencopet. "Tolong! Copet"

Si pencopet memberontak dan memukul muka Osugi beberapa kali, tapi tak dapat melepaskan cengkeraman Osugi. "Lepaskan aku, sapi!" teriaknya sambil menendang tulang rusuk Osugi. Osugi jatuh disertai omelan keras. tapi ia berhasil mencabut pedang pendeknya dan melukai tumit orang itu.

"Ow!" Darah menyembur dari luka itu. Orang itu berjalan pincang beberapa langkah, kemudian terguling ke tanah.

Kaget oleh keributan itu, para penjual tanah menoleh. Seorang dari mereka berseru. "Hei, apa itu bukan si sampah dari Koshu itu?" Yang mengatakan itu Hangawara Yajibei, kepala gerombolan besar pekerja bangunan.

"Kelihatannya dia," salah seorang anak buahnya membenarkan. "Apa yang ada di tangannya itu? Kelihatannya kantong uang."

"Betul, kan? Dan barusan ada orang teriak copet. Lihat! Ada perempuan tua menggeletak di tanah. Lihat sana, apa yang terjadi dengannya. Aku sendiri akan mengurusi orang itu."

Pencopet itu berdiri dan lari lagi, tapi Yajibei menyusulnya dan membantingnya ke tanah, seperti menepuk belalang.

Kembali mendapatkan majikannya, anak buah Yajibei melaporkan, "Seperti kita duga. Dia mencopet kantong uang wanita itu."

"Kantong itu ada padaku sekarang. Bagaimana dengan perempuan itu."

"Tak begitu parah lukanya. Dia tadi pingsan, tapi sudah bisa teriak pembunuh!"

"Dia masih duduk di sana. Apa dia tak bisa berdiri?"

"Saya kira tak bisa. Pencopet itu menendang tulang rusuknya."

"Oo, bajingan!" Sambil terus menatap pencopet itu, Yajibei mengeluarkan perintah kepada bawahannya. "Ushi, dirikan tiang."

Kata-kata itu membuat si pencopet gemetar, seakan-akan ujung pisau ditekankan ke tenggorokannya. "Jangan, jangan!" mohonnya sambil menyembah-nyembah di tanah, pada kaki Yajibei. "Lepaskan saya, kali ini saja! Saya janji takkan melakukan lagi."

Yajibei menggelengkan kepala. "Tidak. Kau harus dapat ganjaran."

Ushi—nama ini diberikan menurut rasi bintang waktu ia lahir, sesuai kebiasaan para petani, kembali bersama dua pekerja dari tempat pembangunan jembatan, tidak jauh dari situ.

"Di sana," katanya sambil menuding ke tengah tempat kosong.

Sesudah kedua pekerja itu menghunjamkan tiang berat ke dalam tanah, seorang di antaranya bertanya, "Sudah cukup baik?"

"Bagus," kata Yajibei. "Sekarang ikatkan dia ke situ, dan pakukan papan di atas kepalanya."

Ketika semua itu sudah dilakukan, Yajibei meminjam wadah tinta dari tukang kayu dan menuliskan di papan itu, "Orang ini pencopet. Belum lama dia masih bekerja pada saya, tapi dia melakukan kejahatan, dan untuk itu dia harus dihukum. Dia mesti diikat di sini, agar kena hujan dan panas, tujuh hari tujuh malam lamanya. Diperintahkan oleh Yajibei dari Bakurocho."

"Terima kasih," katanya, mengembalikan tempat tinta. "Nah, kalau tidak terlalu merepotkan, kasih dia makanan sekali-sekali. Sekadar supaya dia tidak mati. Yah, sisa makan siangmu cukuplah."

Kedua pekerja dan orang-orang lain, yang sementara itu berkerumun di situ, menyatakan persetujuan mereka. Sebagian pekerja berjanji menjamin agar si pencopet mendapat jatah ejekan. Tidak hanya para samurai yang takut dipertontonkan pada umum karena kejahatan atau kelemahannya. Bagi penduduk kota zaman itu, ditertawakan adalah hukuman paling berat.

Menghukum penjahat tanpa proses hukum sudah merupakan praktek yang diterima dengan baik. Karena para prajurit terlalu sibuk dengan peperangan, hingga tak sempat menjaga ketertiban, orang-orang kota mengambil alih tindakan terhadap para penjahat, demi keamanan mereka sendiri. Walaupun Edo sekarang memiliki hakim resmi dan ada satu sistem yang dikembangkan, di mana warga kota terkemuka di tiap daerah berfungsi sebagai wakil pemerintah, namun masih juga terjadi penghakiman langsung macam itu. Dan dalam keadaan yang masih sedikit kacau itu, para penguasa tak banyak melihat alasan untuk campur tangan.

"Ushi," kata Yajibei, "kembalikan kantong uang wanita tua itu. Sayang sekali peristiwa ini terjadi pada orang setua dia. Rupanya dia sendirian di dunia ini. Apa yang terjadi dengan kimononya?"

"Dia bilang kimononya dicuci dan dijemur."

"Ambilkan kimononya, kemudian bawa dia. Kita bisa juga membawanya pulang. Tak banyak artinya kita menghukum si pencopet, kalau kita tinggalkan dia di sini untuk dimangsa bajingan lain."

Beberapa waktu kemudian, Yajibei berangkat. Ushi mengikutinya dari belakang, sambil membawa kimono Osugi, sedangkan Osugi sendiri digendongnya.

Segera mereka sampai di Nihombashi, "Jembatan Jepang." Dari jembatan itulah sekarang diukur semua jarak jalan dari Edo. Batu penopang mendukung busur jembatan yang terbuat dari kayu, dan karena jembatan itu dibangun hanya sekitar setahun sebelumnya, susurannya masih kelihatan baru. Perahu-perahu dari Kamakura dan Odawara ditambatkan sepanjang tepi sungai. Di pinggiran terdapat pasar ikan kota.

"Oh, sakit pinggangku," Osugi mengerang keras.

Para pedagang ikan menegakkan kepala, untuk melihat apa yang terjadi.

Yajibei tak suka menjadi tontonan. Ia menatap Osugi, katanya, "Kita segera sampai. Coba dulu bertahan. Hidup Ibu tak lagi dalam bahaya."

Osugi meletakkan kepalanya ke punggung Ushi dan menjadi setenang bayi.

Di daerah kota paling ramai, para pedagang dan tukang membentuk lingkungan sendiri. Ada daerah tukang besi, daerah pembuat lembing, daerah-daerah lain untuk tukang celup, penganyam tatami, dan sebagainya. Rumah Yajibei tampak paling mencolok di antara rumah-rumah tukang kayu lain, karena setengah atap bagian depan ditutup genting. Semua rumah lain beratap papan. Sebelum terjadi kebakaran beberapa tahun silam, hampir semua atap terbuat dari lalang. Secara kebetulan, Yajibei memperoleh nama keluarganya dari atap ini, Hangawara berarti "setengah bergenting".

Ia datang dari Edo sebagai ronin, tapi karena pandai dan sekaligus ramah, ia membuktikan dirinya seorang pengelola yang terampil. Tak lama kemudian, ia mampu bertindak sebagai kontraktor yang mempekerjakan sejumlah besar tukang kayu, tukang atap, dan pekerja tidak terampil. Dari sejumlah daimyo, ia memperoleh cukup modal untuk menjangkau juga usaha real estate. Karena sudah terlalu kaya untuk bekerja dengan tangan sendiri, ia memainkan peranan sebagai majikan. Di antara sejumlah besar majikan yang berdiri sendiri di Edo, Yajibei termasuk salah seorang yang paling terkenal dan paling dihormati.

Penduduk kota menghormati para majikan dan juga prajurit, tapi dari keduanya itu, para majikan lebih mereka kagumi, karena para majikan biasanya membela kepentingan rakyat banyak. Sekalipun para majikan Edo memiliki gaya dan semangat sendiri, mereka tidaklah unik bagi ibu kota yang baru itu. Sejarah mereka bermula dari zaman akhir ke-shogun-an Ashikaga yang penuh kekacauan, ketika gerombolan-gerombolan penjahat kejam bergelandangan di pedesaan, seperti kawanan singa yang menjarah semau-maunya dan sama sekali tak kenal kendali.

Menurut seorang penulis dari zaman itu, pakaian mereka waktu itu tidak lebih dari cawat merah terang dan kain penutup perut yang lebar. Pedang mereka sangat panjang-hampir empat kaki—dan bahkan pedang pendeknya lebih dari dua kaki panjangnya. Banyak di antaranya menggunakan senjata lain dari jenis yang lebih kasar, seperti misalnya kampak perang dan "cakar besi". Mereka membiarkan rambut mereka tumbuh liar, menggunakan tali besar untuk ikat kepala, dan sering kali menutup betisnya dengan pembalut kaki.

Karena tidak mengabdi pada orang-orang tertentu, mereka bertindak sebagai serdadu bayaran, dan sesudah perdamaian ditegakkan, mereka disingkirkan, baik oleh para petani maupun samurai. Pada zaman Edo, orang-orang yang tak suka menjadi bandit atau penyamun sering mencari peruntungan di ibu kota baru. Banyak dari mereka mendapat sukses, dan pemimpin-pemimpin jenis ini pernah dilukiskan sebagai "bertulang kebajikan, berdaging kecintaan pada rakyat, dan berkulit ksatriaan." Singkatnya, mereka betul-betul pahlawan rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP