Sabtu, 15 Juli 2017



Surat Mendesak

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg

 
PADA umur tiga puluh delapan tahun, Yagyu Munenori dianggap pemain pedang terbaik di antara mereka semua. Tetapi hal itu tidak mencegah ayahnya merasa terus kuatir dengan anak kelimanya itu. "Dia harus dapat mengendalikan kebiasaan kecil itu," demikian ia sering berkata pada dirinya sendiri. Atau, "Dapatkah orang sekeras kepala itu memegang jabatan tinggi?"

Sampai sekarang, sudah empat belas tahun berlalu sejak Tokugawa Ieyasu memberikan perintah pada Sekishusai untuk menyediakan guru pribadi bagi Hidetada. Sekishusai melewati saja anak-anak lainnya, cucu-cucu, dan kemenakan-kemenakannya. Munenori memang tidak terlalu cemerlang dan tidak pula terlalu jantan, tapi ia memiliki pertimbangan yang baik dan mantap, orang yang praktis dan kemungkinan tidak bakal terlalu terbenam dalam lamunan. Ia memang tidak setaraf ayahnya yang menjulang atau sejenius Hyogo, tapi ia dapat diandalkan, dan yang paling penting, ia memahami asas utama Gaya Yagyu, yaitu bahwa nilai sejati Seni Perang terletak dalam penerapannya di dalam pemerintahan.

Sekishusai tidak salah tafsir mengenai harapan-harapan Ieyasu. Jenderal penakluk itu tidak suka bahwa seorang pemain pedang hanya mengajarkan keterampilan teknis kepada ahli warisnya. Beberapa tahun sebelum Pertempuran Sekigahara, Ieyasu sendiri telah belajar di bawah pimpinan seorang pemain pedang ahli bernama Okuyama, dengan tujuan-seperti sering dikatakannya sendiri-untuk "memperoleh mata yang dapat mengawasi negeri."

Namun Hidetada sekarang seorang shogun, dan tidak tepatlah kalau instruktur shogun kalah dalam pertarungan yang sebenarnya.

Seorang samurai dengan kedudukan seperti Munenori itu diharapkan dapat mengalahkan semua penantang, dan dapat memperlihatkan bahwa permainan pedang Yagyu tidak ada taranya. Munenori juga merasa bahwa ia selalu diperhatikan dan dicoba. Orang-orang lain menganggapnya beruntung terpilih menduduki tempat terhormat itu, padahal ia sendiri sering kali merasa iri kepada Hyogo, dan ingin dapat hidup seperti kemenakannya itu.

Hyogo sendiri sekarang ini sedang menyusuri gang luar yang menuju kamar pamannya. Rumah itu memang besar dan menghampar luas, tapi bentuknya tidak anggun dan perlengkapannya tidak mewah. Munenori tidak mempekerjakan tukang-tukang kayu dari Kyoto untuk menciptakan rumah kediaman yang anggun dan manis, melainkan dengan sengaja mempercayakan pekerjaan itu kepada para pembangun setempat, yaitu orang-orang yang terbiasa dengan gaya Kamakura yang spartan dan gagah. Sekalipun pohon di sini relatif jarang dan bukit-bukit tidak terlalu tinggi, Munenori memilih gaya arsitektur yang kasar dan pejal, seperti ditunjukkan oleh Rumah Utama yang sudah tua di Koyagyu itu.

"Paman," kata Hyogo lembut dan sopan, ketika ia berlutut di beranda, di luar kamar Munenori.

"Hyogo, ya?" tanya Munenori tanpa mengalihkan mata dari halaman. "Apa boleh saya masuk?"

Sesudah mendapat izin, Hyogo masuk kamar dengan berlutut. Ia sebetulnya bersikap cukup bebas dengan kakeknya, yang cenderung memanjakannya, tapi ia tidak berani berbuat demikian dengan pamannya. Munenori memang bukan orang yang keras tata tertibnya, tapi ia biasa berpegang teguh pada sopan santun. Sekarang pun, seperti biasanya, ia duduk dengan gaya resmi yang keras itu. Kadang-kadang Hyogo kasihan kepadanya.

"Otsu?" tanya Munenori, yang seakan diingatkan kepada Otsu karena kedatangan Hyogo itu.

"Sudah kembali. Dia cuma pergi ke Tempat Suci Hikawa, seperti sering kali dilakukannya. Dalam perjalanan pulang, dia biarkan kudanya berkeliling sesuka hati sebentar."

"Engkau pergi mencarinya?"

"Betul, Paman."

Munenori diam saja beberapa waktu lamanya. Cahaya lampu lebih menegaskan raut mukanya, dengan bibirnya yang dirapatkan itu. "Aku prihatin juga ada wanita muda tinggal di tempat ini tanpa batas waktu. Kita tidak tahu, apa yang mungkin terjadi. Aku sudah minta Sukekuro mencari kesempatan untuk menyarankannya pergi ke tempat lain."

Dengan nada sedikit merenung, Hyogo berkata, "Saya diberi tahu, dia tidak tahu mau ke mana." Perubahan sikap pamannya ini mengherankannya, karena ketika Sukekuro membawa pulang Otsu dan memperkenalkannya sebagai wanita yang pernah melayani Sekishusai dengan baik, Munenori menerimanya dengan hangat dan mengatakan Otsu bebas untuk tinggal di situ semaunya. "Apa Paman tidak kasihan kepadanya?" tanyanya.

"Ya, tapi pertolongan kita kepada orang lain itu ada batasnya."

"Tadinya saya kira Paman punya pandangan baik tentang dia."

"Oh, ini tak ada hubungannya dengan itu. Kalau seorang wanita muda tinggal di rumah yang penuh pemuda, banyak lidah akan bergoyang. Dan kedudukan orang-orang lelaki jadi sukar. Seorang dari mereka bisa saja melakukan hal ceroboh."

Kali ini Hyogo terdiam, tapi bukan karena ia menerima ucapan pamannya itu secara pribadi. Ia berumur tiga puluh tahun, dan seperti samurai muda lain, ia masih lajang, tapi ia percaya benar bahwa perasaannya terhadap Otsu terlampau murni, untuk diragukan mat baiknya. Ia sudah cukup berhati-hati meniadakan perasaan waswas pamannya itu, dengan membukakan rahasia tentang rasa sayangnya kepada Otsu. Dan tidak hanya sekali ia pernah mengungkapkan bahwa perasaannya terhadap Otsu itu melebihi persahabatan.

Hyogo merasa masalah itu mungkin ada hubungannya dengan pamannya sendiri. Istri Munenori berasal dari keluarga yang sangat terhormat dan berkedudukan baik. Sejenis keluarga yang menyerahkan anak-anak perempuan mereka kepada suami masing-masing di hari pernikahan dengan menaikkan mereka dalam joli bertabir, agar orang luar tak dapat melihat. Kamar-kamarnya dan kamar-kamar wanita lain terletak di bagian rumah yang terpencil, hingga hampir tak seorang pun tahu apakah hubungan antara tuan rumah dan istrinya selaras. Tidak sukar dibayangkan, kalau nyonya rumah bisa suram pandangannya jika melihat perempuan-perempuan muda, cantik, dan memenuhi syarat berada begitu dekat dengan suaminya.

Hyogo memecahkan kesunyian itu dengan berkata, "Serahkan saja soal itu pada Sukekuro dan saya, Paman. Kami akan mencari pemecahan yang takkan memberatkan Otsu."

Munenori mengangguk, katanya, "Lebih cepat lebih baik."

Justru pada waktu itu Sukekuro memasuki kamar depan. Ia meletakkan kotak surat di atas tatami, berlutut, dan membungkuk. "Yang mulia," katanya hormat.

Sambil menoleh ke kamar depan, kata Munenori, "Apa itu?" Sukekuro maju dengan berlutut.

"Seorang kurir dari Koyagyu baru datang dengan kuda cepat."

"Kuda cepat?" tanya Munenori cepat, tapi tidak terkejut.

Hyogo menerima kotak dari Sukekuro dan menyerahkannya kepada pamannya. Munenori membuka surat yang dikirim oleh Shoda Kizaemon. Surat itu ditulis dengan tergesa-gesa, dan bunyinya, Yang Dipertuan Tua mendapat serangan lagi, lebih parah daripada sebelumnya. Kami kuatir beliau takkan bisa bertahan lama lagi. Beliau berkeras menyatakan bahwa penyakitnya bukan alasan cukup bagi Anda untuk meninggalkan tugas. Namun sesudah membicarakan soal ini sendiri, kami para abdi memutuskan untuk menulis surat dan menyampaikan keadaannya pada Anda.

"Keadaan beliau gawat," kata Munenori.

Hyogo mengagumi kemampuan pamannya untuk selalu tetap tenang. Ia menduga Munenori tahu pasti apa yang akan dilakukannya, dan sudah mengambil keputusan-keputusan yang perlu.

Sesudah beberapa menit diam, kata Munenori, "Hyogo, bisakah kau pergi ke Koyagyu atas namaku?"

"Tentu, Paman."

"Hendaknya kau yakinkan Ayah, tak ada yang perlu dikuatirkan di Edo. Dan jagalah beliau olehmu sendiri."

"Baik, Paman."

"Kukira semuanya ada di tangan dewa-dewa dan sang Budha sekarang. Yang terbaik bagimu adalah bertindak segera, dan mencoba tiba di sana sebelum terlambat."

"Saya akan berangkat malam ini, Paman."

Dari kamar Yang Dipertuan Munenori, Hyogo segera pergi ke kamarnya sendiri. Dalam waktu singkat, selagi ia mempersiapkan barang-barang yang akan diperlukannya, berita buruk itu sudah menyebar ke segenap penjuru rumah.

Otsu diam-diam masuk ke kamar Hyogo. Hyogo heran, karena Otsu mengenakan pakaian perjalanan. Mata Otsu basah. "Ajaklah aku ke sana," mohonnya. "Aku memang tak bisa mengharapkan dapat membalas kebaikan Yang Dipertuan Sekishusai karena sudah menerimaku di rumahnya, tapi aku ingin berada di sampingnya sekarang. Barangkali aku dapat membantu-bantu. Kuharap kau tidak menolak."

Hyogo beranggapan ada kemungkinan pamannya menolak permintaan Otsu, tapi ia sendiri tak sampai hati menolaknya. Barangkali suatu berkah bahwa kesempatan untuk membawa pergi Otsu dari rumah di Edo itu kini datang dengan sendirinya.

"Baik," katanya menyetujui, "tapi kita mesti jalan cepat."

"Aku janji tak akan menghambat." Otsu mengeringkan air matanya dan membantu Hyogo merapikan barang-barangnya, kemudian pergi menyatakan hormat kepada Yang Dipertuan Munenori.

"Oh, jadi kau akan menemani Hyogo?" kata Munenori, sedikit kaget. "Kuucapkan terima kasih. Aku yakin Ayah akan senang sekali melihatmu." Ia memberikan uang jalan yang besar jumlahnya pada Otsu, juga kimono baru sebagai hadiah perjalanan. Ia yakin kepergian Otsu merupakan hal terbaik, namun hal itu membuatnya sedih juga.

Otsu membungkuk meninggalkan Munenori. "Jaga dirimu baik-baik," kata Munenori dengan penuh perasaan, ketika Otsu sampai di kamar depan.

Para pengikut dan pembantu berbaris sepanjang jalan menuju pintu gerbang, untuk mengantar mereka berdua. Sesudah Hyogo mengucapkan "Selamat tinggal", mereka pun berangkat.

Otsu melipatkan kimononya ke bawah obi, sehingga tepi kimono itu hanya lima betas sentimeter di bawah lututnya. Ia kenakan topi perjalanan yang bertepi lebar dan berpernis, dan ia pegang tongkat dengan tangan kanan. Sekiranya bahunya dihiasi bunga-bunga, akan cocoklah ia untuk gambaran Gadis Wisteria yang demikian sering kelihatan pada cap balok kayu.

Karena Hyogo memutuskan untuk menyewa kendaraan di pos-pos sepanjang jalan raya, sasaran mereka malam itu adalah kota penginapan Sangen'ya di selatan Shibuya. Dan sana rencananya mereka akan menyusuri jalan raya Oyama ke Sungai Tama, mengambil perahu tambang di seberang, kemudian mengikuti Sungai Tokaido ke Kyoto.

Di tengah kabut malam itu, topi Otsu yang berpernis tampak berkilau karena basah. Sesudah berjalan melintasi lembah sungai yang berumput, sampailah mereka di sebuah jalan yang agak lebar, yang semenjak zaman Kamakura merupakan salah satu jalan paling penting di daerah Kanto. Malam hari suasana tenang dan sepi. Pohon-pohon tumbuh rimbun di kedua tepi jalan.

"Gelap, ya?" kata Hyogo sambil tersenyum, dan sekali lagi melambatkan langkahnya yang memang panjang-panjang itu, agar Otsu dapat mengejarnya. "Ini Lereng Dogen. Biasanya banyak bandit di sekitar tempat ini," tambahnya.

"Bandit?" Dalam suara Otsu terasa kekuatiran yang membuat Hyogo tertawa.

"Tapi itu dulu. Orang yang namanya Dogen Taro dan masih ada hubungan keluarga dengan pemberontak Wada Yoshimori, kabarnya menjadi kepala gerombolan pencuri yang tinggal di gua-gua sekitar tempat ini."

"Jangan bicarakan hal itu."

Suara tawa Hyogo menggema dalam kegelapan; mendengar suara itu, ia merasa bersalah, karena telah berbuat sembrono. Namun ia sendiri tak dapat menahannya. Sekalipun sedih, ia senang juga, karena berharap akan bersama-sama Otsu selama beberapa hari.

"Oh!" pekik Otsu sambil mundur beberapa langkah.

"Ada apa?" Dan secara naluriah tangan Hyogo pun merangkum bahu Otsu.

"Ada orang di sana."

"Di mana?"

"Seorang anak, duduk di tepi jalan sana, bicara sendiri dan menangis. Anak kecil yang malang!"

Ketika sudah cukup dekat, Hyogo mengenali anak yang petang kemarin dilihatnya bersembunyi dalam rumput di Azabu.

Iori meloncat berdiri dengan napas tergagap. Sejenak kemudian, ia sudah menyumpah dan menuding Hyogo dengan pedangnya. "Rubah!" teriaknya, "Itulah kau, rubah!"

Otsu menghela napas dan membungkam jeritannya sendiri. Wajah Iori tampak liar, hampir-hampir seperti setan, seakan-akan anak itu kesurupan roh jahat. Bahkan Hyogo pun ikut mundur dengan hati-hati.

"Rubah!" teriak Ion lagi. "Kuhabisi kalian!" Suaranya terdengar parau, seperti suara perempuan tua. Hyogo menatapnya heran, tapi hati-hati ia menghindari pedang anak itu.

"Bagaimana kalau begini?" teriak Iori sambil menebas puncak sebuah rumpun tinggi, tak jauh dari sisi Hyogo. Kemudian ia runtuh ke tanah, kehabisan tenaga akibat perbuatannya itu. Dengan napas kembang-kempis, tanyanya, "Apa pikirmu, rubah?"

Sambil menoleh kepada Otsu, Hyogo berkata sambil menyeringai, "Anak kecil yang malang. Dia rupanya kesurupan rubah."

"Barangkali kau benar. Matanya buas." "Seperti mata rubah."

"Apa tak bisa kita menolongnya?"

"Kata orang, tak ada obat untuk orang gila atau bodoh, tapi kukira ada obat untuk penyakit anak ini." Ia mendekati Iori dan menatapnya garang.

Sambil menengadah, anak itu lekas-lekas memegang pedangnya lagi. "Kau masih di sini, ya?" teriak Iori. Tapi, sebelum ia dapat berdiri kembali. telinganya sudah terserang jeritan ganas dari dalam perut Hyogo.

"H-o-o-o!"

Iori rupanya ketakutan setengah mati. Hyogo menangkap pinggangnya dan mengangkatnya, lalu sambil menggendong anak itu, ia berjalan menuruni bukit, ke jembatan. Ia tunggingkan anak itu, ia pegang tumitnya, dan ia gantungkan di luar susuran jembatan.

"Tolong! Ibu! Tolong, tolong! Sensei, tolong aku!" Jeritan itu lambat laun berubah menjadi lolongan.

Otsu bergegas datang menolong. "Sudah, Hyogo. Lepaskan dia. Jangan kejam begitu!"

"Kukira cukup sudah sekarang," kata Hyogo sambil menurunkan anak itu baik-baik di jembatan.

Iori sudah tak keruan sikapnya, berteriak-teriak dan tercekik-cekik, karena yakin tak ada manusia di dunia ini yang dapat menolongnya. Otsu pergi ke sampingnya dan memeluk bahunya yang menguncup itu dengan rasa sayang. "Di mana kau tinggal, Nak?" tanyanya pelan.

Di tengah sedu-sedannya, Iori menggagap, "Di sana," dan menudingkan jarinya.

"Apa maksudmu di sana itu?"

"B-ba-bakurocho."

"Lho, Bakurocho itu berkilo-kilometer jauhnya dari sini. Bagaimana kau bisa sampai di sini?"

"Saya disuruh. Saya tersesat."

"Kapan itu?"

"Saya berangkat dari Bakurocho kemarin."

"Dan kau berkeliaran saja sepanjang malam dan hari ini?" Iori setengah meng-gelengkan kepala, tapi tidak mengatakan apa-apa. "Oh, ini mengerikan. Coba katakan, ke mana kau mesti pergi?"

Karena sudah sedikit tenang sekarang, Iori dapat menjawab cepat, seakanakan ia memang sudah menantikan pertanyaan itu. "Ke rumah kediaman Yang Dipertuan Yagyu Munenori dari Tajima." Ia meraba-raba ke bawah obi-nya, mencengkeram surat yang sudah kusut itu, dan mengibarkannya dengan bangga di depan mukanya. Sambil mendekatkannya ke mata, katanya, "Surat ini buat Kimura Sukekuro. Saya mesti menyampaikan dan menunggu balasannya."

Otsu melihat bahwa Iori menanggapi tugas itu dengan sangat sungguhsungguh, dan siap melindungi surat itu dengan hidupnya. Iori memang bertekad tidak menunjukkan surat itu pada siapa pun, sebelum ia sampai pada yang dituju. Baik Otsu maupun Iori tak menduga ironi keadaan itu. Suatu kesempatan yang datangnya salah. Suatu peristiwa yang lebih jarang terjadi daripada pertemuan Anak Gembala dan Gadis Pemintal di seberang Sungai Langit.

Sambil menoleh kepada Hyogo, Otsu berkata, "Dia rupanya membawa surat buat Sukekuro."

"Tapi dia sudah salah arah, kan? Untung tidak begitu jauh." Lalu ia panggil Iori dan ia beri petunjuk. "Ikuti saja sungai ini, sampai persimpangan jalan yang pertama, kemudian ke kiri dan naik bukit. Kalau kau sampai di tempat bertemunya tiga jalan, di situ akan kaulihat sepasang pohon pinus besar di sebelah kananmu. Rumah itu ada di sebelah kiri, di seberang jalan."

"Dan hati-hati, jangan sampai kesurupan rubah lagi," tambah Otsu.

Iori memperoleh kembali rasa percaya dirinya. "Terima kasih," serunya, sesudah itu ia berlari menyusuri sungai. Sampai di persimpangan jalan, ia setengah menoleh, teriaknya, "Dari sini ke kiri?"

"Betul," jawab Hyogo. "Jalan itu gelap, jadi mesti hati-hati." Sampai semenit-dua menit, Hyogo dan Otsu masih berdiri memperhatikan dari jembatan. "Anak aneh," kata Hyogo.

"Ya, tapi kelihatannya cukup cerdas." Diam-diam Otsu pun membandingkannya dengan Jotaro yang hanya sedikit lebih besar dari Iori, ketika terakhir kali mereka bertemu. Jotaro mestinya sudah tujuh belas tahun sekarang, renungnya. Ingin juga ia mengetahui, seperti apa Jotaro sekarang, dan tak terhindarkan lagi, ia pun merasa rindu pada Musashi. Sudah bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar tentang Musashi! Walaupun kini ia terbiasa hidup dengan penderitaan yang dituntut oleh cinta, toh ia berharap bahwa dengan meninggalkan Edo, ia akan bertambah dekat dengan Musashi, dan bahkan mungkin bertemu dengan Musashi di tengah perjalanan itu.

"Ayo jalan terus," kata Hyogo cepat, ditujukan sekaligus pada dirinya sendiri dan Otsu. "Tak ada yang mesti kita lakukan malam ini, tapi kita mesti hati-hati, agar tidak membuang-buang waktu lagi."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP