Dataran
Hannya
JOTARO
berjalan sedih pelan-pelan di belakang gurunya, karena takut setiap langkah
yang diambilnya akan semakin mendekatkan mereka kepada maut. Sebelum itu, di
jalan yang lembap dan teduh di dekat Todaiji, sebutir embun yang menjatuhi
kerahnya hampir saja membuatnya berteriak. Burung-burung gagak hitam yang
dilihatnya sepanjang jalan ikut menimbulkan rasa ngeri padanya.
Nara sudah
jauh mereka tinggalkan. Lewat baris-baris pohon kriptomeria di sepanjang jalan,
mereka dapat melihat dataran yang melandai berombak-ombak menuju Bukit Hannya.
Di sebelah kanan, mereka melihat puncak-puncak Gunung Mikasa. Di atasnya langit
yang damai.
Bahwa ia dan
Musashi sedang berjalan langsung menuju tempat pencegatan para jago tombak
Hozoin baginya betul-betul tak masuk akal. Banyak tempat untuk bersembunyi
kalau bermaksud demikian. Dapat saja mereka masuk salah satu kuil yang banyak
jumlahnya di sepanjang jalan itu dan menanti kesempatan yang baik. Itu sudah
tentu lebih masuk akal.
Ingin ia
mengetahui, apakah Musashi bermaksud meminta maaf kepada para pendeta itu,
sekalipun tak pernah ia berbuat salah kepada mereka. Jotaro sudah memutuskan,
kalau Musashi minta maaf pada mereka, ia juga akan berbuat demikian. Sekarang
bukan waktunya berdebat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
"Jotaro!"
Mendengar
namanya dipanggil, anak itu terkejut. Alisnya naik ke atas dan tubuhnya jadi
tegang. Karena merasa barangkali mukanya pucat akibat takut, dan karena tak
ingin kelihatan kekanak-kanakan, ia menatapkan matanya dengan berani ke langit.
Musashi memandang ke langit juga, dan anak itu merasa lebih kecil hati lagi.
Ketika
Musashi melanjutkan bicaranya, kata-kata yang diucapkannya bernada gembira
seperti biasanya. "Nyaman, bukan, Jo? Sepertinya kita sedang berjalan
diiringi lagu burung bulbul."
"Apa?"
tanya anak itu kaget.
"Burung
bulbul, kataku."
"Oh, ya,
burung bulbul. Ada beberapa ekor di sekitar tempat ini, kan?" Musashi
dapat melihat dari pucatnya bibir anak itu bahwa ia sedih sekali. Ia merasa
kasihan. Betapapun, bisa saja dalam beberapa menit lagi tiba-tiba anak itu
menjadi sebatang kara di tempat yang asing. "Kita sudah dekat Bukit
Hannya, ya?" kata Musashi.
"Betul."
"Nah,
lalu apa sekarang?"
Jataro tidak
menjawab. Hanya nyanyian burung bulbul dingin saja yang terdengar oleh
telinganya. Tak dapat ia mengusir firasat yang dirasakannya bahwa mereka berdua
segera akan berpisah untuk selamanya. Mata yang pernah nyalang gembira ketika
mengejuti Musashi dengan topeng itu kini tampak gelisah dan sedih.
"Lebih
baik kau tinggal di sini," kata Musashi. "Kalau kau jalan terus, kau
bisa terluka. Tak ada alasan buatmu untuk membahayakan diri sendiri."
Jotaro pun
pecahlah tangisnya. Air mata meleleh di pipinya, seperti bendungan jebol.
Punggung tangannya diusapkannya ke mata, dan bahunya menggeletar. Tangisnya
ditambah pula dengan sentakan-sentakan kecil, seakan-akan ia sedang tersedak.
"Apa
pula ini? Kaubilang mau belajar Jalan Samurai? Kalau nanti aku menerobos dan
lari, kau mesti ikut lari ke jurusan yang sama. Kalau aku terbunuh, kau kembali
ke toko sake di Kyoto. Tapi sekarang kau pergi ke bukit kecil di sana itu, dan
perhatikan dari sana. Dari sana akan tampak segala yang terjadi."
Sesudah
mengusap air mata, Jotaro mencengkeram lengan kimono Musashi, dan ucapnya,
"Ayo kita lari!"
"Bukan
begitu cara samurai bicara! Kau mau jadi yang begitu, ya?"
"Saya
takut! Saya tak mau mati!" Dengan tangan gemetar ia menariki lengan kimono
Musashi agar kembali. "Pikirkan saya," demikian ia memohon.
"Ayolah pergi dari sini, mumpung masih bisa!"
"Kalau
kamu bicara seperti itu, aku jadi ingin lari juga. Kamu tak punya orangtua yang
akan mengurusmu, seperti aku ketika seumur kamu. Tapi..."
"Kalau
begitu, ayolah. Apa yang kita tunggu?"
"Tidak!"
Musashi membalikkan badan, dan sambil mengangkangkan kakinya ia menghadapi anak
itu. "Aku samurai. Kamu anak samurai. Kita tak akan lari."
Mendengar
kepastian dalam nada Musashi itu, Jotaro menyerah dan duduk. Air mata kotor
meleleh di pipinya ketika ia menghapus matanya yang merah bengkak dengan kedua
tangannya.
"Jangan
kuatir!" kata Musashi. "Aku tak mau kalah, aku harus menang!
Segalanya akan beres nanti."
Jotaro tidak
sedikit pun senang mendengar kata-kata itu. Ia tak dapat percaya sepatah kata
pun. Karena tahu bahwa para jago tombak Hozoin itu lebih dari sepuluh orang jumlahnya,
ia sangsi apakah Musashi akan dapat mengalahkan mereka satu-satu, apalagi
semuanya sekaligus. Apalagi Musashi terkenal sebagai orang lemah.
Musashi
sendiri sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia suka pada Jotaro dan kasihan
kepadanya, tetapi sekarang ini bukan waktunya memikirkan anak-anak. Para jago
tombak sudah menanti dengan satu tujuan: membunuhnya. Ia harus siap menghadapi
mereka. Jotaro merupakan gangguan baginya sekarang.
Suaranya pun
jadi tajam. "Jangan nangis lagi! Kalau begitu kelakuanmu, tak bakal kamu
jadi samurai. Kenapa kamu tidak kembali saja ke toko sake itu?" Dengan
tegas dan agak keras ditolaknya anak itu.
Jotaro
terkena batunya dan tiba-tiba berhenti menangis dan berdiri regak, mukanya
kelihatan kaget. Dilihatnya gurunya berjalan terus menuju Bukit Hannya. Ia
ingin memanggil, tapi dilawannya dorongan keinginan itu. Sebaliknya ia paksa
dirinya tinggal diam beberapa menit lamanya. Kemudian ia berjongkok di bawah
sebuah pohon tak jauh dari situ, menutup muka dengan tangan, dan menggeretakkan
giginya.
Musashi tidak
menoleh, walaupun sedu-sedan Jotaro menggema di telinganya. Ia merasa dapat
melihat anak kecil yang malang dan ketakutan itu melalui tengkuknya, dan ia
menyesali telah membawanya serta. Melindungi diri sendiri saja sudah lebih dari
cukup beratnya; dalam keadaan belum matang seperti sekarang, ia hanya bisa
mengandalkan diri kepada pedang dan tak tahu ia apa yang bakal terjadi
esok-jadi, apa perlunya teman baginya?
Pohon-pohon
mulai menjarang. Ia mendapati dirinya sudah berada di tengah dataran terbuka.
Sebuah datarannya agak tinggi dan pegunungan di kejauhan sana. Di jalan yang
memecah menuju Gunung Mikasa, seorang lelaki mengangkat tangan menyapanya.
"Hei,
Musashi! Mau ke mana?"
Musashi dapat
mengenali orang yang datang ke arahnya itu. Dia Yamazoe Dampachi. Walaupun
Musashi segera merasa bahwa tujuan Dampachi adalah menjebaknya, namun ia
menyambut juga dengan sungguh-sungguh.
Dampachi
berkata, "Aku senang bertemu denganmu. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat
menyesali urusan kemarin itu." Nada bicaranya wrlalu sopan, dan selagi
bicara jelas ia memperhatikan wajah Musashi sebaik-baiknya. "Kuharap
engkau bisa melupakannya. Semua itu kekeliruan."
Dampachi
sendiri belum begitu tahu bagaimana harus bersikap terhadap Musashi. Ia memang
sangat terkesan oleh apa yang disaksikannya di Hazoin. Ya, mengingat hal itu
saja sudah membuat tulang punggungnya dingin. Tapi biar bagaimana, Musashi
hanyalah seorang ronin provinsi yang tidak akan lebih dari dua puluh satu atau
dua puluh dua tahun umurnya. Dan Dampachi masih jauh dari siap untuk mengakui
bahwa orang seumur dan dengan status seperti Musashi itu dapat lebih baik dari
dirinya.
"Mau ke
mana?" tanyanya lagi.
"Rencananya
lewat Iga ke jalan raya Ise. Dan kau?"
"Oh, ada
pekerjaan di Tsukigase."
"Kalau
tak salah, itu tidak jauh dari Lembah Yagyu?"
"Tidak,
tidak jauh."
"Di
situlah kuil Yang Dipertuan Yagyu, kan?"
"Ya,
dekat Kuil Kasagidera. Engkau mesti pergi ke sana nanti. Yang Dipertuan
Muneyoshi sekarang hidup pensiun sebagai ahli upacara minum teh, dan anaknya
Munenori ada di Edo, tapi kau mesti singgah di sana dan melihat
keadaannya."
"Tak
yakin aku bahwa Yang Dipertuan Yagyu mau memberikan pelajaran kepada musafir
seperti diriku."
"Ada
kemungkinan. Tentu saja lebih baik kalau kau punya pengantar. Kebetulan aku
kenal seorang tukang senjata di Tsukigase yang bekerja pada Keluarga Yagyu.
Kalau kau suka, aku bisa tanya, apa dia mau memperkenalkanmu."
Dataran itu
menghampar luas beberapa mil jauhnya. Garis langit di sana-sini diselingi pohon
kriptomeria tunggal atau pinus hitam Cina Namun di sana-sini dataran itu menaik
lembut, dan jalan pun ikut naik dan turun. Di dekat kaki Bukit Hannya, Musashi
melihat asap api berwarna cokelat mengepul di belakang sebuah bukit rendah.
"Apa
itu?" tanyanya.
"Apa
yang apa?"
"Asap di
sana itu."
Selama itu
Dampachi terus menempel di sisi kiri Musashi, dan ketika ia memandang wajah
Musashi, wajahnya sendiri mengeras.
Musashi
menuding, "Asap di sana itu mencurigakan," katanya. "Apa
menurutmu tidak begitu?"
"Mencurigakan?
Mencurigakan bagaimana?"
"Yah,
mencurigakan, seperti pandangan matamu sekarang ini," kata Musashi tajam.
Sekonyong-konyong ia menyapukan jarinya ke tubuh Dampachi.
Bunyi orang
bersuit melengking memecahkan kesunyian dataran itu. Dampachi tersengal-sengal
terkena hantaman Musashi. Karena perhatiannya tertuju pada jari Musashi, ia tak
sadar bahwa Musashi sudah menarik pedangnya. Tubuhnya melambung, melayang ke
depan, dan mendarat dengan wajah ke bawah. Dampachi tak akan bangkit lagi.
Dari kejauhan
terdengar teriakan tanda bahaya. Dua orang muncul di puncak bukit. Seorang
memekik, lalu keduanya memutar badan dan angkat kaki, tangan diacung-acungkan
di udara.
Pedang yang
ditudingkan Musashi ke tanah berkilauan oleh sinar matahari. Darah segar
menetes dari ujungnya. Ia berjalan langsung ke arah bukit itu. Sekalipun angin
musim semi bertiup lembut ke kulitnya, Musashi merasa otot-ototnya menegang
selagi mendaki. Dari puncak bukit ia melihat ke bawah, ke arah api yang
menyala.
"Dia
datang!" seru seorang dari kedua orang yang tadi lari menggabungkan diri
dengan yang lain-lain. Semuanya ada sekitar tiga puluh orang. Musashi dapat
mengenali pengikut Dampachi, yaitu Yasukawa Yasubei dan Otomo Banryu.
"Dia
datang!" kata yang lain membeo.
Mereka tadi
sedang bermalas-malasan di bawah sinar matahari. Sekarang semua bangkit
berdiri. Setengahnya pendeta, dan setengahnya lagi ronin yang sukar dilukiskan.
Ketika Musashi tampak, terdengar hiruk-pikuk hebat tanpa kata di tengah
gerombolan itu. Mereka melihat pedang yang bernoda darah, dan tiba-tiba
sadarlah mereka bahwa pertempuran sudah dimulai. Bukannya menantang Musashi,
mereka malah cuma duduk-duduk mengitari api dan membiarkan Musashi yang
menantang.
Yasukawa dan
Otomo bicara cepat, menjelaskan dengan gerak-gerik cepat, bagaimana Yamazoe
sudah terbantai. Ronin itu melolong berang, sementara para pendeta Hozoin
menatap Musashi dengan pandangan mengancam. Mereka menyusun diri menghadapi
pertempuran.
Semua pendeta
itu membawa tombak. Dengan lengan baju hitam tersingsing mereka siap beraksi
dengan tekad membalas kematian Agon dan memulihkan kehormatan kuil. Mereka
tampak aneh, seperti setan-setan neraka.
Para ronin
membentuk setengah lingkaran, hingga mereka dapat menyaksikan pertunjukan itu
dan sekaligus mencegah Musashi melarikan diri.
Namun
tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu, karena Musashi tidak
memperlihatkan tanda-tanda akan lari atau mengundurkan diri. Sebaliknya, ia
berjalan mantap dan langsung ke arah mereka. Pelan-pelan, langkah demi langkah,
ia maju, seakan-akan siap menerkam setiap saat.
Untuk sesaat
berkecamuk kesunyian yang menyesakkan. Kedua belah pihak menyadari semakin
mendekatnya maut. Wajah Musashi menjadi pucat pasi. Lewat matanya menyorot mata
dewa pembalasan dendam, berkilat-kilat penuh kesengitan. Ia sedang memilih
korbannya.
Baik kaum
ronin maupun kaum pendeta tidak setegang Musashi. Jumlah mereka yang besar
memberikan keyakinan, dan optimisme mereka tak tergoyahkan. Namun tak seorang
pun ingin menjadi orang pertama yang diserang.
Seorang
pendeta di ujung barisan memberikan isyarat, dan tanpa merusak formasi mereka
menderas mengepung Musashi dari kanan.
"Musashi!
Aku Inshun," seru pendeta itu. "Aku diberitahu bahwa kau datang
ketika aku sedang pergi, dan kau membunuh Agon. Lalu kau secara terbuka
menghina kehormatan Hozoin. Kau mengejek kami dengan memasang poster-poster di
seluruh kota. Benar?"
"Tidak!"
seru Musashi. "Kalau kau memang pendeta, kau tidak boleh hanya percaya
pada yang kau lihat dan kau dengar. Kau mesti menimbang segala sesuatu dengan
pikiran dan jiwamu."
Kata-kata itu
seperti menuangkan minyak ke dalam nyala api. Tanpa menghiraukan pemimpinnya,
para pendeta mulai berteriak-teriak, menyatakan tak ada gunanya berbicara, dan
sudah saatnya kini bertempur.
Mereka
didukung penuh semangat oleh kaum ronin yang telah menyusun diri dalam formasi
rapat di sebelah kiri Musashi. Sambil memekik-mekik, memaki-maki, dan mengayun-ayunkan
pedang ke udara, mereka mendesak para pendeta untuk bertindak.
Karena yakin
para ronin cuma bermulut besar dan tak berani berkelahi, Musashi tiba-tiba
menghadap mereka dan berseru, "Baik! Siapa di antara kalian akan maju
dahulu?"
Kecuali
dua-tiga orang, mereka semua mundur selangkah, karena masingmasing yakin bahwa
mata setan Musashi mengarah kepadanya. Dua-tiga orang yang berani itu bersiap
dengan pedang diacungkan, seraya mengumandangkan tantangan.
Dalam sekejap
mata Musashi sudah menerpa seorang di antaranya, seperti jago aduan. Terdengar
bunyi seperti letupan sumbat botol, dan tanah pun merah oleh darah. Kemudian
terdengar suara mengerikanbukan teriakan perang, bukan kutukan, tetapi lolongan
yang benar-benar membekukan darah.
Pedang
Musashi mendesing ke sana kemari di udara, sedangkan gaung di dalam tubuhnya
sendiri menjadi petunjuk bahwa ia sedang bertumbukan dengan tulang manusia.
Darah dan otak berpercikan dari pedangnya. Jari dan tangan berterbangan di
udara.
Kaum ronin itu
rupanya datang untuk menyaksikan penyembelihan besar-besaran, bukan untuk ambil
bagian di dalamnya. Kelemahan mereka telah menyebabkan Musashi menyerang mereka
lebih dahulu. Mula-mula sekali mereka merapatkan diri dengan cukup baik, karena
menurut pikiran mereka para pendeta akan segera datang menyelamatkan. Tapi
ternyata para pendeta itu hanya berdiri diam tak bergerak, sementara Musashi
dengan cepat membantai lima atau enam ronin serta membikin kacau yang
lain-lain. Tak lama kemudian mereka saling menyerang ke segala jurusan dan
saling melukai.
Hampir
sepanjang waktu itu Musashi tidak sadar benar, apa yang sedang diperbuatnya. Ia
seperti kesurupan, dalam mimpi penuh pembunuhan, di mana tubuh dan jiwanya
terpusat hanya pada pedangnya yang semeter panjangnya. Tak disadarinya bahwa
seluruh pengalaman hidupnya-mulai dari pengetahuan yang ditempatkan kepadanya
oleh ayahnya, sampai pada apa yang dipelajarinya di Sekigahara, teori-teori
yang pernah didengarnya di berbagai perguruan seni pedang, serta pelajaran-pelajaran
yang diberikan kepadanya oleh pegunungan dan pepohonan-semuanya itu serentak
bermain dalam gerak cepat tubuhnya. Ia menjadi tiupan angin pusaran yang
menerjang kawanan ronin, yang karena kebingungan menjadi sasaran empuk serangan
pedangnya.
Singkatnya
pertarungan dihitung salah seorang pendeta dengan tankan dan embusan napasnya.
Pertarungan sudah selesai sebelum ia sempat mengambil napas kedua puluh.
Musashi basah
kuyup oleh darah korbannya. Beberapa ronin yang masih tinggal pun bermandikan
darah kental. Tanah, dan bahkan udara, penuh dengan darah. Seorang di antara
mereka menjerit, dan ronin yang masih hidup bertebaran di mana-mana.
Sementara
pertarungan berlangsung, Jotaro tenggelam dalam doa. Kedua tangannya terlipat
di dada dan matanya tertengadah ke langit. Ia memohon, "Ya, Tuhan yang di
surga, bantulah dia! Guruku di dataran sana tak berdaya, karena kalah jumlah.
Dia lemah, tapi dia bukan orang jahat. Tolonglah dia!"
Walaupun
Musashi memerintahkannya pergi, tak dapat ia pergi. Tempat yang akhirnya
dipilihnya untuk duduk, dengan topinya dan topeng di sampingnya, adalah sebuah
bukit kecil. Dari situ ia memperhatikan pemandangan di sekitar api di kejauhan
itu.
"Hachiman!
Kompira! Dewa Kuil Kasuga! Lihat! Guruku langsung menyongsong musuh. Oh,
dewa-dewa langit, lindungilah dia. Saat ini dia bukan dirinya. Biasanya dia
lunak dan lembut, tapi dia sedikit aneh sejak tadi pagi. Dia tentunya gila.
Kalau tidak, tak akan dilayaninya orang sebanyak itu sekaligus! Oh, aku mohon,
aku mohon, tolonglah dia!"
Sesudah
berseru-seru kepada para dewa seratus kali atau lebih, ia lihat usahanya itu
tak ada hasil, dan mulailah ia marah. Akhirnya ia berseru, "Apa sudah tak
ada dewa di negeri ini? Apa akan kalian biarkan orangorang jahat menang, dan
membiarkan orang baik terbunuh? Kalau memang begitu, semua yang selalu
dikatakan orang padaku tentang benar dan salah itu bohong! Kalian tak bisa
membiarkan dia terbunuh! Kalau kalian biarkan, akan kuludahi kalian!"
Ketika
dilihatnya Musashi terkepung, doa-doanya pun berubah menjadi kutukan yang
diarahkannya tidak hanya kepada musuh, tapi juga kepada dewa-dewa sendiri.
Kemudian, ketika disadarinya bahwa darah yang tertumpah di dataran itu bukan
darah gurunya, mendadak ia mengubah lagu. "Lihat! Guruku ternyata bukan
orang lemah! Dia menghajar mereka!"
Itulah
pertama kali Jotaro menyaksikan orang bertempur seperti binatang, sampai mati,
dan itulah pertama kali ia melihat darah sebanyak itu. la merasa seolah berada
di sana, di tengah kancah, dan dirinya cemar juga oleh darah mengental. Hatinya
berubah jungkir balik, ia merasa ringan dan pening.
"Lihat
dia! Dia bisa melawan! Bukan main serangan itu! Dan lihat pendeta-pendeta tolol
itu, yang cuma berbaris seperti gerombolan gagak berkaok-kaok, tetapi takut
maju!"
Tapi yang terakhir
itu terlalu dini diucapkannya, karena ketika ia mengucapkan itu, para pendeta
Hozoin mulai menyerbu Musashi.
"Oh, oh!
Gawat kelihatannya. Mereka ramai-ramai menyerang dia. Musashi gawat
sekarang!" Lupa akan segalanya, semata-mata karena kecemasannya, Jotaro
meluncur seperti bola api ke tengah kancah bencana yang sedang menghampiri itu.
Kepala Biara,
Inshun, memberikan perintah menyerang, dan sesaat kemudian para jago tombak itu
segera beraksi, diiringi raungan gegap gempita. Senjata mereka yang berkilauan
bersuit-suit di udara, sementara para pendeta berpencar seperti tawon yang
menghambur dari sarangnya. Kepala mereka yang gundul itu membuat mereka tampak
lebih barbar lagi.
Tombak yang
mereka bawa berlain-lainan, dan lempeng tombaknya pun sangat berbeda-beda-yang
lancip, yang berbentuk kerucut, yang papak, yang berbentuk silang, atau yang
bengkok-tiap pendeta menggunakan jenis yang paling disukainya. Hari ini mereka
mendapat kesempatan untuk melihat bagaimana teknik-teknik yang mereka asah
dalam latihan dapat mereka gunakan dalam perkelahian yang sebenarnya.
Sementara
mereka maju menyebar, Musashi melompat mundur dan berdiri siap menantikan
serangan muslihat. Letih dan sedikit pusing oleh pertarungan sebelumnya,
dicengkeramnya gagang pedangnya erat-erat. Gagang pedang itu lengket oleh darah
kental, campuran darah dan keringat mengaburkan pandangannya, tapi ia bertekad
untuk mati dengan cemerlang, kalau memang ia harus mati.
Tetapi
sungguh ia heran, serangan itu tidak juga datang. Para pendeta bukannya
melakukan serangan yang memang dinanti-nantikan itu ke arahnya, melainkan
menyerang bekas sekutunya seperti anjing gila. Mereka mengejar para ronin yang
telah melarikan diri dan menyerang mereka tanpa kenal ampun, sementara para
ronin menjerit-jerit memprotes. Para ronin yang tak menduga itu sia-sia saja
mencoba mengerahkan para jago tombak agar melawan Musashi. Mereka diiris,
ditusuk, ditikam mulutnya, dibelah dua, atau dibantai, sampai tak seorang pun
di antaranya tetap hidup. Pembunuhan besar-besaran itu betulbetul sempurna dan
sekaligus menunjukkan sifat haus darah.
Musashi tak
percaya akan matanya. Kenapa para pendeta itu menyerang pendukung mereka? Dan
kenapa demikian kejam? Baru beberapa saat sebelumnya ia berkelahi seperti
binatang liar. Sekarang hampir tak dapat ia menahan diri melihat kebuasan para
pendeta itu dalam menyembelih ronin. Setelah sesaat lamanya berubah menjadi
seekor binatang yang tak berpikiran, sekarang ia pulih kembali pada keadaannya
yang biasa, setelah melihat orangorang lain mengalami perubahan juga.
Pengalaman itu membuatnya sadar.
Kemudian
sadarlah ia bahwa tangan dan kakinya ditarik-tarik orang. Dan ketika ia melihat
ke bawah, tampak olehnya Jotaro sedang mengucurkan air mata puas. Dan untuk
pertama kali waktu itu la merasa santai.
Setelah
pertempuran berakhir, Kepala Biara mendekatinya, lalu berkata dengan sikap
sopan dan mulia, "Tentu Anda Miyamoto. Suatu kehormatan bertemu dengan
Anda." Kepala Biara itu jangkung dan berwajah cerah. Musashi agak
terpengaruh oleh kehadirannya, juga oleh sikapnya yang tenang. Dengan sedikit
bingung ia hapus pedangnya dan la sarungkan, tapi sesaat lamanya tak dapat ia
mengucapkan kata-kata.
"Izinkan
saya memperkenalkan diri," sambung pendeta itu. "Saya Inshun, Kepala
Biara Hozoin."
"Jadi,
Andalah ahli tombak itu," kata Musashi.
"Sayang
saya tak ada ketika Anda mengunjungi kami baru-baru ini. Saya juga merasa malu
bahwa murid saya, Agon, memperlihatkan perkelahian yang demikian jelek."
Menyayangkan
perbuatan Agon? Musashi merasa barangkali telinganya perlu dibersihkan. Ia
tetap diam sesaat lamanya, karena sebelum ia dapat memutuskan cara yang cocok
untuk menjawab nada sopan Inshun itu, ia harus menghapuskan dahulu kekacauan
dalam pikirannya. Ia masih belum dapat mengerti kenapa para pendeta itu
kemudian melawan para ronin tak dapat ia mencari jawaban yang masuk akal. Ia
bahkan sedikit heran bahwa dirinya masih hidup.
"Ayolah,"
kata kepala biara itu, "bersihkan sebagian darah itu. Anda butuh
istirahat." Inshun mengantarnya ke dekat api, sedangkan Jotaro menguntit
di belakang.
Para pendeta
menyobek-nyobek secarik kain katun lebar menjadi potongan-potongan kecil dan
menghapus lembing mereka. Berangsur-angsur mereka semua berkumpul di sekitar
api, duduk bersama Inshun dan Musashi, seolah-olah tak suatu pun yang aneh
telah terjadi. Dan mereka mulai mengobrol.
"Lihat
ke sana," kata seseorang, menunjuk ke atas.
"Aaa,
gagak-gagak sudah mencium bau darah. Sudah berkaok-kaok mencari mayat
mereka."
"Kenapa
burung-burung itu tidak turun?"
"Mereka
akan turun nanti, begitu kita pergi. Dan mereka akan berebutan melahap makanan
besar itu."
Olok-olok
mengerikan itu berlangsung terus dengan nada santai serupa. Musashi memperoleh
kesan bahwa ia tak akan mendapatkan keterangan apa pun, kecuali kalau ia
bertanya. Ia memandang Inshun, dan katanya, "Tadi saya pikir Anda dan orang-orang
Anda datang kemari untuk menyerang saya, dan saya sudah bertekad mengirim
sebanyak-banyaknya dari antara Anda sekalian ke negeri orang mati. Tak mengerti
saya, kenapa Anda sekalian memperlakukan saya seperti ini."
Inshun
tertawa. "Nab, kami memang tak perlu menganggap Anda sekutu, tapi tujuan
kami yang sebenarnya hari ini adalah sedikit 'bersih rumah'."
"Anda
namakan semua ini 'bersih rumah'?"
"Betul,"
kata Inshun sambil menuding ke arah kaki langit. "Tapi saya pikir lebih
baik kita menanti dan mempersilakan Nikkan menjelaskan pada Anda. Saya yakin
titik hitam di tepi dataran itu dia."
Pada saat itu
juga, di sisi lain dataran itu berkatalah seorang penunggang kuda kepada
Nikkan, "Anda cepat sekali berjalan kalau melihat umur Anda."
"Bukan
saya yang cepat. Anda yang lambat."
"Anda
lebih gesit daripada kuda."
"Kenapa
tidak? Saya lelaki."
Pendeta tua
yang berjalan kaki sendiri itu melangkah menyamai para penunggang kuda yang
sedang maju ke arah asap api. Kelima penunggang kuda itu pejabat.
Ketika
rombongan itu mendekat, para pendeta saling berbisik, "Itu Guru Tua."
Mereka membenarkan, mundur mengambil jarak yang sesuai, dan membariskan diri
dengan penuh upacara, seakan-akan menghadapi suatu acara suci, untuk menyambut
Nikkan dan pengiringnya.
Yang pertama
dikatakan Nikkan adalah, "Sudah kalian urus semuanya?"
Inshun
membungkuk dan menjawab, "Seperti Bapak perintahkan." Kemudian ia
menoleh kepada para pejabat, "Terima kasih atas kedatangan
Tuan-tuan."
Para samurai
melompat turun satu demi satu dari kuda. Pimpinan mereka menjawab, "Tak
apa-apa. Terima kasih, Anda sekalian sudah melaksanakan kerja hebat.... Mari
kita periksa, kawan-kawan."
Para pejabat
berjalan ke sana kemari memeriksa mayat-mayat dan membuat beberapa catatan.
Kemudian pimpinannya kembali ke tempat berdirinya Inshun. "Akan kami kirim
kemari orang dari kota untuk membersihkan semua ini. Anda sekalian boleh merasa
bebas meninggalkan segalanya ini sebagaimana adanya." Dengan itu kelima
orang tersebut menaiki kembali kuda mereka dan pergi.
Nikkan
memberitahu para pendeta bahwa tenaga mereka tidak diperlukan lagi. Mereka
membungkuk dan meninggalkan tempat itu diam-diam. Inshun mengucapkan selamat
tinggal pada Nikkan dan Musashi, lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu
orang-orang itu berangkat, terdengarlah hiruk-pikuk besar. Burung-burung gagak
turun, mengepak-ngepakkan sayap dengan riangnya.
Sambil
menggerutu karena bunyi ribut itu, Nikkan berjalan ke sisi Musashi, dan katanya
ringan saja, "Maafkan kalau saya sudah melukai hati Anda beberapa hari
lain."
"Sama
sekali tidak. Bapak sudah berbuat baik sekali. Sayalah yang harus berterima
kasih." Musashi berlutut dan membungkuk dalam-dalam di depan pendeta tua
itu.
"Bangkitlah,"
perintah Nikkan. "Padang ini bukan tempat untuk membungkuk."
Musashi
bangkit berdiri.
"Apakah
pengalaman di sini memberikan pelajaran kepadamu?" tanya pendeta itu.
"Saya
bahkan tidak begitu mengerti, apa yang sudah terjadi ini. Apa Bapak dapat
menceritakannya pada saya?"
"Dengan
senang hati," jawab Nikkan. "Para pejabat yang baru pergi tadi itu
bekerja di bawah Okubo Nagayasu yang baru-baru ini dikirim kemari untuk
memerintah Nara. Mereka masih asing dengan daerah ini, dan para ronin mengambil
keuntungan dari asingnya mereka itu dengan tempat inimencegati musafir yang tak
berdosa, memeras, berjudi, melarikan perempuan, memasuki rumah-rumah
janda-menimbulkan segala macam kesulitan. Pemerintah tak dapat mengendalikan
mereka, tapi mereka sudah tahu bahwa ada sekitar lima belas pentolannya,
termasuk Dampachi dan Yasukawa.
"Kau
tahu Dampachi dan pengikutnya tak suka padamu. Karena takut menyerangmu
sendiri, mereka membuat rencana yang menurut mereka jitu. Para pendeta
Hozoin-lah yang berkelahi untuk mereka. Pernyataan-pernyataan fitnah tentang
kuil yang dituduhkan padamu itu pekerjaan mereka. Begitulah juga poster-poster
itu. Mereka berjanji segalanya akan dilaporkan padaku, agaknya dengan perkiraan
aku bodoh."
Mendengar itu
Musashi tertawa.
"Maka
kupertimbangkan hal itu sebentar," kata Kepala Biara, "dan terpikir
olehku, ini kesempatan ideal untuk mengadakan 'bersih rumah' di Nara.
Kubicarakan rencana itu dengan Inshun. Dia setuju menjalankan, dan sekarang
semua orang pun senang-para pendeta, para pejabat, juga burung-burung gagak
itu. Ha, ha!"
Ada satu
orang lagi yang senang bukan buatan. Cerita Nikkan itu telah menghapuskan sama
sekali segala kesangsian dan rasa takut Jotaro, dan anak itu gembira luar
biasa. Ia menyanyikan lagu populer karangannya sendiri, sambil menari-nari
seperti burung yang mengepak-ngepakkan sayapnya:
Bersih rumah, oh, Bersih rumah!
Mendengar suaranya yang tak dibuat-buat ini,
Musashi dan Nikkan menoleh memandangnya. Jotaro waktu itu mengenakan topengnya
sambil tersenyum ajaib clan menudingkan pedang kayunya ke tubuh-tubuh yang
berserakan. Sambil sekali-sekali melayangkan pukulan ke arah burungburung, ia
melanjutkan:
Ya, ya, burung gagak, Sekali-sekali
Memang perlu
bersih rumah
Tidak hanya
di Nara.
Memang
kebiasaan alam
Membikin baru
semuanya.
Supaya musim
semi dapat naik dari bumi.
Kami bakar
dedaunan.
Kami bakar
ladangan.
Terkadang
kami butuhkan salju turun.
Terkadang
kami butuhkan bersih rumah.
Wahai,
kalian, burung gagak!
Berpestalah!
Dan memilihlah!
Sop langsung
dari ceruk mata.
Juga sake
merah pekat.
Tapi
jangan terlalu banyak.
Sebab kalian
bisa mabuk.
"Sini,
Nak!" seru Nikkan tajam.
"Ya,
Pak," Jotaro berdiri diam memandang wajah Kepala Biara.
"Jangan
seperti orang tolol. Ambilkan beberapa batu."
"Macam
ini?" tanya Jotaro, memungut sebuah batu yang terletak dekat kakinya dan
mengacungkannya.
"Ya,
macam itu. Ambil yang banyak!"
"Baik,
Pak!"
Anak itu
mengumpulkan batu-batu. Nikkan duduk dan menuliskan kata-kata Namu Myoho
Renge-kyo, doa suci sekte Nichiren, pada tiap batu itu. Kemudian ia berikan
batu-batu itu kembali pada anak itu dan ia perintahkan anak itu menyebarkannya
di antara mayat-mayat. Sementara Jotaro melakukan suruhannya, Nikkan
mengatupkan kedua tangannya dan menyanyikan bagian dari Sutra Bunga Teratai.
Selesai
melakukan hal itu, ia menyatakan, "Doa itu akan melindungi mereka. Sekarang
kalian berdua bisa jalan terus. Aku kembali ke Nara." Dan sama mendadaknya
dengan waktu ia datang, ia pun berangkat dengan kecepatan hebat, seperti
kebiasaannya, sebelum Musashi sempat mengucapkan terima kasih atau membuat
janji untuk bertemu lagi dengannya.
Sesaat
Musashi hanya menatap tubuh yang makin menjauh itu, kemudian tiba-tiba ia
melesat mengejarnya, "Bapak Pendeta!" panggilnya. "Apa tak ada
yang Bapak lupakan?" Ia menepuk-nepuk pedangnya selagi mengatakan itu.
"Apa?"
tanya Nikkan.
"Bapak
belum memberikan petunjuk, dan karena tak ada jalan untuk mengetahui kapan kita
akan bertemu lagi, saya akan senang jika mendapat sedikit nasihat dari
Bapak."
Mulut Kepala
Biara yang tak bergigi itu memperdengarkan tawa terbahakbahak yang terkenal
itu. "Jadi, kamu belum mengerti?" tanyanya. "Satu satunya yang
harus kuajarkan padamu adalah kamu terlalu kuat. Kalau kamu terus juga
membanggakan dirimu dengan kekuatanmu, kamu tak akan hidup sampai umur tiga
puluh. Hari-hari ini mudah sekali kamu terbunuh. Pikirkan itu, dan putuskan
sendiri bagaimana membawa diri nanti."
Musashi diam.
"Kamu
sudah melaksanakan sesuatu hari ini, tapi belum baik, sama sekali belum. Karena
kamu masih muda, tak dapat aku menyatakan kamu benar, tapi suatu kesalahan
besar kalau kamu menyangka Jalan Samurai itu hanya terdiri atas pameran
kekuatan.
"Tapi
aku sendiri cenderung memiliki kesalahan yang sama, karena itu aku tidak berhak
bicara padamu tentang soal ini. Kamu mesti mempelajari jalan yang ditempuh oleh
Yagyu Sekishusai dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Sekishusai dulu guruku,
dan Yang Dipertuan Koizumi gurunya. Kalau kamu mencontoh mereka dan mencoba
mengikuti jalan yang sudah mereka tempuh, kamu bisa mencapai kebenaran."
Suara Nikkan
tidak kedengaran lagi. Musashi, yang selama itu memandang ke tanah dan
tenggelam dalam pemikiran, menengadah. Pendeta tua itu sudah menghilang.
Tanah
Perdikan Koyagyu
LEMBAH Yagyu
terletak di kaki Gunung Kasagi di sebelah timur Laut Nara. Di awal abad ketujuh
belas, tempat itu merupakan wilayah kediaman masyarakat kecil yang sejahtera.
Ia terlalu besar untuk dilukiskan sebagai kampung semata-mata, namun tidak
cukup berpenduduk atau ramai untuk dapat disebut kota. Tentu saja ia dapat
disebut Kampung Kasagi, tetapi penduduk tempat itu sendiri menyebutnya Kambe
Demesne, sebuah nama yang diwarisi dari zaman tanah perdikan.
Di tengah
masyarakat kecil itu berdiri Wisma Utama, sebuah puri yang menjadi lambang
kemantapan pemerintah maupun pusat budaya daerah itu. Kubu-kubu batu, yang mengingatkan
orang kepada benteng kuno, mengelilingi Wisma Utama. Rakyat wilayah itu,
demikian juga nenek moyang Yang Dipertuan, hidup senang di sana semenjak abad
kesepuluh. Penguasa yang sekarang seorang tuan tanah desa yang baik. Ia
menyebarkan kebudayaan di antara rakyatnya, dan sepanjang waktu siap melindungi
wilayahnya dengan taruhan nyawa. Namun, bersamaan dengan itu, secara hati-hati
ia menghindari keterlibatan serius dalam perang dan permusuhan antara tuan-tuan
feodal di daerah-daerah lain. Singkatnya tempat itu merupakan tanah perdikan
yang damai dan diperintah dengan cara yang bagus.
Di sini orang
tidak melihat tanda-tanda kekurangan atau kemerosotan moral yang ada
hubungannya dengan samurai bebas. Wilayah ini sama sekali tidak mirip dengan
Nara, di mana kuil-kuil kuno yang ternama dalam sejarah dan kesusastraan rakyat
dibiarkan telantar. Unsur-unsur yang mengganggu tidak dibiarkan memasuki
kehidupan masyarakat.
Lingkungan
itu sendiri memang tak kenal keburukan. Gunung-gunung dalam jajaran Kasagi tidak
kurang indahnya pada waktu senja dibandingkan pada waktu matahari terbit.
Airnya murni dan bersih. Orang bilang air itu air ideal untuk membuat teh.
Kembang prem Tsukigase tidak jauh turnbuhnya dari tempat itu, dan burung-burung
bulbul menyanyi dari musim melelehnya salju sampai musim datangnya angin ribut
berguntur. Suaranya sejernih kristal, seperti jernihnya air sungai gunung.
Seorang
penyair pernah menuliskan bahwa di tempat lahirnya seorang pahlawan,
pegunungan, dan sungai-sungai biasanya segar dan jernih. Jika tak ada pahlawan
dilahirkan di Lembah Yagyu, maka kata-kata penyair itu kosong saja kiranya.
Tetapi tempat ini memang tempat kelahiran para pahlawan. Tak ada bukti yang
lebih meyakinkan daripada para Yang Dipertuan Yagyu sendiri. Di rumah besar
itu, para pegawai pun orang-orang bangsawan. Banyak di antara mereka yang
asalnya petani, tapi kemudian jadi menonjol karena pertempuran, kemudian
menjadi pembantu yang setia dan cakap.
Yagyu
Muneyoshi Sekishusai yang kini mengundurkan diri itu berdiam di sebuah rumah
pegunungan kecil, tak berapa jauh di belakang Wisma Utama. Ia tidak lagi
memperlihatkan minat kepada pemerintahan setempat, dan tidak memedulikan pula
siapa yang waktu itu memegang kekuasaan langsung. Ia punya sejumlah anak dan
cucu yang terampil, juga pegawai-pegawai yang dapat dipercaya untuk membantu
dan membimbing mereka. Selanjutnya ia dapat dengan bebas menganggap bahwa
rakyat diperintah dengan sebaik-baiknya, sama dengan ketika ia yang
mengurusnya.
Musashi
datang ke daerah itu sekitar sepuluh hari sesudah terjadi pertempuran di
Dataran Hannya. Di perjalanan ia telah menyaksikan barang-barang peninggalan
zaman Kemmu. Ia menginap di penginapan setempat dengan maksud bersantai
sementara, baik fisik maupun mental.
Dengan
pakaian tidak resmi, pada suatu hari ia keluar berjalan-jalan dengan Jotaro.
"Mengagumkan," kata Musashi, sementara matanya mengembara memandang
panenan di ladang dan para petani yang sedang bekerja. "Mengagumkan,"
ulangnya beberapa kali.
Akhirnya
Jotaro bertanya, "Apanya yang mengagumkan?" Baginya yang paling
mengagumkan adalah kenapa Musashi berbicara sendiri.
"Sejak
meninggalkan Mimasaka, aku sudah mengunjungi Provinsi Settsu, Kawachi dan
Izumi, Kyoto dan Nara, dan belum pernah aku melihat tempat seperti ini."
"Lalu
kenapa? Apanya yang lain?"
"Pertama,
di pegunungan ini banyak terdapat pohon."
Jotaro
tertawa. "Pohon? Di mana-mana ada pohon. Betul, kan?"
"Ya,
tapi di sini lain. Semua pohon di Yagyu ini tua. Ini berarti tidak pernah
terjadi perang di sini, tidak ada pasukan musuh yang membakar atau menebangi
hutan. Itu berarti juga tidak pernah terjadi kelaparan, setidak-tidaknya untuk
waktu yang sangat lama."
"Hanya
itu?"
"Tidak.
Ladang di sini juga hijau, dan gandum yang baru tumbuh itu diinjak-injak
bawahnya baik-baik untuk menguatkan akarnya dan membikin baik tumbuhnya. Dan
dengar itu! Apa tidak kau dengar bunyi roda pemintalan? Bunyi itu seperti
berasal dari tiap rumah. Dan apa tidak kau lihat bahwa kalau musafir lewat
dengan pakaian yang baik, para petani tidak melihatnya dengan perasaan
iri?"
"Ada
lagi?"
"Seperti
kaulihat, banyak gadis muda kerja di ladang. Ini berarti daerah ini makmur, dan
hidup di sini normal. Anak-anak tumbuh sehat, orang tua diperlakukan cukup
hormat, sedang pemuda dan pemudi tidak pergi ke tempat-tempat lain untuk
mencari hidup yang tak menentu. Aku berani bertaruh yang dipertuan daerah ini
kaya, sedangkan pedang dan senapan dalam gudang senjata tetap tergosok dan berada
dalam keadaan sebaik-baiknya."
"Rasanya
tak ada yang istimewa," keluh Jotaro.
"Betul,
kukira kau tak akan tertarik."
"Dan
lagi, Kakak datang kemari bukan untuk mengagumi pemandangan. Kakak mau melawan
samurai dalam Keluarga Yagyu, kan?"
"Berkelahi
itu bukan satu-satunya dalam Seni Perang. Orang-orang yang berpikir demikian
dan sudah puas hanya karena bisa makan dan punya tempat untuk tidur, sebenarnya
cuma gelandangan. Seorang pelajar yang serius jauh lebih berkepentingan melatih
pikirannya dan mendisiplinkan semangatnya daripada sekadar mengembangkan
keterampilan perang. Ia harus mempelajari segala macam hal—geografi, irigasi,
perasaan rakyat, tingkah laku dan adat kebiasaan mereka, hubungan mereka dengan
yang dipertuan di wilayah mereka. Dia ingin mengetahui apa yang terjadi di
dalam purl, tidak hanya yang terjadi di luarnya. Pokoknya, dia ingin pergi ke
semua tempat yang dapat didatanginya clan mempelajari segala yang dapat
dipelajarinya."
Musashi sadar
bahwa kuliah ini barangkali hanya sedikit artinya bagi Jotaro, tapi ia merasa
perlu bersikap jujur kepada anak itu, dan tidak hanya memberikan jawaban
setengah-setengah. Ia tidak memperlihatkan ketidaksabaran mendengar banyaknya
pertanyaan anak itu, maka selagi mereka berjalan itu ia terus memberikan jawaban-jawaban
yang mengandung pemikiran dan serius.
Sesudah
mereka melihat apa-apa yang bisa dilihat di bagian luar Puri Koyagyu, demikian
Wisma Utama itu biasanya disebut orang, dan sesudah melihat dengan saksama
segala sesuatu di sekitar lembah itu, mereka pulang ke penginapan.
Di tempat itu
hanya terdapat sebuah penginapan, tapi penginapan itu besar. Jalan di situ
bagian dari jalan raya Iga, dan banyak di antara orangorang yang berziarah ke
Kuil Joruriji atau Kasagidera itu menginap di situ. Pada malam hari, sepuluh
atau dua belas kuda beban selalu siap tertambat di pohon dekat pintu masuk atau
di bawah tepi atap depan.
Pembantu yang
mengikuti mereka ke kamar bertanya, "Sudah jalan-jalan, ya?" Kalau
tidak melihat obi merahnya, orang bisa menyangkanya anak lelaki, karena ia
mengenakan celana pendaki gunung. Tanpa menantikan jawaban lagi ia mengatakan,
"Kalau mau, sekarang bisa terus mandi."
Musashi
berangkat ke kamar mandi, sedangkan Jotaro yang merasa mendapat teman baru yang
seumur dengannya lalu bertanya, "Siapa namamu?"
"Tidak
tahu aku," jawab gadis itu. "Gila kamu, tidak tahu nama
sendiri."
"Kocha."
"Lucu
nama itu," Jotaro tertawa.
"Apanya
yang lucu?" tanya Kocha sambil meninju Jotaro.
"Dia
pukul aku!" pekik Jotaro.
Dari pakaian yang terlipat di lantai kamar
tamu, Musashi mengetahui bahwa di bak mandi ada orang-orang lain. Ia
menanggalkan pakaiannya dan membuka pintu masuk kamar mandi yang beruap. Ada
tiga orang sedang berbicara dengan riangnya, tapi ketika melihat tubuh Musashi
yang berotot, mereka berhenti bicara, seakan-akan ada unsur asing telah
menyerobot ke tengah mereka.
Musashi masuk
ke dalam bak mandi umum itu sambil melenguh nikmat. Tubuh yang tingginya 180-an
sentimeter itu menyebabkan air panas melimpah. Entah karena apa, hal itu
mengejutkan ketiga orang lainnya. Seorang di antaranya langsung menatap
Musashi, yang waktu itu sudah menyandarkan kepala ke tepi kolam dan menutup
mata.
Berangsur-angsur
mereka menyambung kembali percakapan yang terputus. Mereka membasuh diri di
luar kolam. Kulit punggung mereka putih dan otot-otot mereka lentur. Agaknya
mereka orang kota, karena cara bicaranya halus dan berbau kota.
"Siapa
namanya-samurai dari Keluarga Yagyu itu?"
"Kalau
tak salah, dia menyebut nama Shoda Kizaemon."
"Kalau
Yang Dipertuan Yagyu mengirim pegawai untuk menyampaikan penolakan bertanding,
tentunya dia tidak sebaik yang dikatakan orang."
"Menurut
Shoda, Sekishusai sudah mengundurkan diri dan tak pernah lagi bertarung.
Bagaimana pendapatmu, betul demikian, atau cuma mengarang-ngarang?"
"Ah,
kupikir tidak betul. Yang jauh lebih mungkin adalah ketika dia mendengar anak
kedua Keluarga Yoshioka menantangnya, dia memutuskan untuk tidak ambil
risiko".
"Setidak-tidaknya
dia cukup bijaksana dengan mengirim buah dan mengatakan dia berharap kita dapat
menikmati persinggahan kita di sini."
Yoshioka?
Musashi mengangkat kepala dan membuka mata. Ia sudah mendengar bahwa
Denshichiro sedang mengadakan perjalanan ke Ise sewaktu ia singgah di Perguruan
Yoshioka. Karenanya Musashi menyimpulkan ketiga orang itu sedang dalam
perjalanan pulang ke Kyoto. Salah seorang dari mereka tentunya Denshichiro.
Yang manakah?
"Aku
kurang beruntung dengan acara mandi rupanya," pikir Musashi sedih.
"Pertama, dulu Osugi menjebakku dengan mandi, dan sekarang, tanpa pakaian
sama sekali, aku bertemu dengan salah seorang Yoshioka. Dia tentu sudah
mendengar tentang apa yang terjadi di perguruannya. Kalau dia tahu namaku
Miyamoto, pasti dia keluar dari pintu itu dan kembali seketika dengan
pedang."
Tapi ketiga
orang itu tidak memperhatikannya. Dari percakapan mereka diketahui, begitu
tiba, mereka mengirim surat pada Keluarga Yagyu. Agaknya Sekishusai pernah
punya hubungan dengan Yoshioka Kempo, dulu, ketika Kempo menjadi guru para
shogun. Tak sangsi lagi, justru karena ini Sekishusai tidak membiarkan anak
Kempo pergi tanpa menjawab suratnya, dan karena itu pula ia mengirimkan Shoda
untuk melakukan kunjungan kehormatan ke penginapan.
Mengomentari
sikap Sekishusai itu, pemuda-pemuda kota tersebut mengatakan bahwa Sekishusai
"bijaksana", bahwa ia memutuskan untuk "tidak ambil
risiko", dan bahwa ia tidak mungkin "sebaik yang dikatakan
orang". Mereka rupanya puas sekali dengan diri mereka, tapi menurut
Musashi mereka itu lucu. Berlawanan dengan apa yang sudah ia lihat di Puri
Koyagyu dan keadaan penduduk daerah yang membikin iri hati itu, mereka bertiga
rasanya tidak memiliki apa pun selain kefasihan bicara.
Hal itu
mengingatkannya pada pepatah katak di dasar sumur, yang tak dapat melihat apa
yang terjadi di dunia luar. Kadang-kadang ia merasa pepatah itu dapat berlaku
sebaliknya. Anak-anak muda manja dari Kyoto ini punya kesempatan melihat apa
yang terjadi di pusat segala sesuatu dan mengetahui apa yang terjadi di
mana-mana. Tetapi yang terjadi pada mereka adalah: selagi mereka mengawasi
lautan terbuka luas, di tempat lain, di dasar sumur yang dalam, ada seekor
katak yang dengan mantap tumbuh makin lama makin besar clan kuat. Di sini, di
Koyagyu, jauh dari pusat politik dan ekonomi negeri, para samurai tegap
berpuluh-puluh tahun lamanya menempuh kehidupan pedesaan yang sehat dengan
mempertahankan nilai-nilai kuno, memperbaiki segi-segi mereka yang lemah dan
semakin kukuh kelebihannya. '
Bersama dengan
berlalunya waktu, Koyagyu menghasilkan Yagyu Muneyoshi, seorang guru besar
dalam seni bela diri, dan anaknya Yang Dipertuan Munenori dari Tajima, yang
kegagahannya diakui oleh Ieyasu sendiri. Ada juga anak-anak Muneyoshi yang
lebih tua, Gorozaemon dan Toshikatsu, yang terkenal di seluruh negeri karena
keberaniannya, dan cucunya Hyogo Toshitoshi yang prestasi-prestasi luar
biasanya menyebabkan ia dapat menduduki jabatan yang besar gajinya di bawah
Jenderal Kato Kiyomasa dari Higo yang termasyhur. Dalam hal kemasyhuran dan
nama baik, Keluarga Yagyu belum setara Keluarga Yoshioka. Tetapi dalam hal
kecakapan, perbedaan itu hanyalah masa lalu. Denshichiro dan teman-temannya
buta karena keangkuhan sendiri. Namun demikian, Musashi merasa sedikit kasihan
pada mereka.
Ia pindah ke
sudut tempat disalurkannya air ke dalam kamar itu. Ditanggalkannya ikat
kepalanya, kemudian diambilnya segenggam tanah liat, dan mulailah ia menggosok
kulit kepalanya. Itulah pertama kali selama berminggu-minggu ia bermewah-mewah
dengan pencuci rambut yang baik.
Sementara
itu, orang-orang Kyoto itu menyelesaikan mandi.
"Uh,
enak."
"Memang
enak. Bagaimana kalau kita panggil gadis-gadis buat menuangkan sake kita?"
"Gagasan
bagus! Bagus, bagus!"
Ketiga orang
itu selesai mengeringkan dirt dan pergi. Sesudah mandi, membasuh badan
sepenuhnya, dan mengguyur badan lagi dengan air panas, Musashi mengeringkan
badan, mengikat rambut, dan kembali ke kamarnya. Di sana ia temukan Kocha yang
tampak seperti anak lelaki itu sedang menangis.
"Kenapa
kamu?"
"Anak
lelaki Tuan itu. Coba lihat, dia pukul saya!"
"Ah,
bohong!" teriak Jotaro marah, dari sudut yang lain.
Musashi baru
akan memakinya, Jotaro sudah memprotes, "Si tolol ini bilang Kakak
lemah."
"Itu tak
benar. Saya tidak bilang begitu."
"Kamu
bilang!"
"Tuan,
saya tidak bilang Tuan atau yang lain itu lemah. Anak bandel ini tadi membual
bahwa Tuan pemain pedang terbesar di negeri ini, karena Tuan sudah membunuh
berlusin-lusin ronin di Dataran Hannya, tapi saya katakan, di Jepang tak ada
yang lebih baik bermain pedang daripada yang dipertuan daerah ini, lalu dia
mulai menampar pipi saya."
Musashi
tertawa. "Oh, begitu. Memang tak boleh dia melakukan itu, dan aku akan
memarahinya. Kuharap kamu memaafkan kami. Jo!" katanya keras.
"Ya, Kak,"
kata anak itu, yang masih juga mendongkol.
"Pergi
mandi sana!"
"Saya
tak suka mandi!"
"Aku
juga tak suka," kata Musashi bohong. "Tapi kamu begitu berkeringat,
sampai bau."
"Saya
akan mandi di sungai besok pagi."
Anak itu jadi
semakin keras kepala, sesudah makin terbiasa dengan Musashi, tapi Musashi tidak
begitu keberatan. Bahkan ia menyukai watak Jotaro itu. Akhirnya anak itu tidak
jadi mandi.
Tak lama
kemudian Kocha membawakan makan malam dengan baki. Mereka makan tanpa bicara.
Jotaro dan pelayan saling pandang, sementara gadis itu menyediakan makanan.
Musashi sibuk
memikirkan maksud pribadinya untuk menemui Sekishusai. Melihat kedudukannya
yang rendah, barangkali usaha ini terlalu berlebihan, tapi kemungkinan, ya,
kemungkinan saja, hal itu bisa.
"Kalau
aku beradu senjata dengan seseorang," pikir Musashi, "haruslah dengan
orang yang kuat. Ada manfaatnya membahayakan hidup ini, untuk melihat apakah
aku dapat mengalahkan Yagyu yang bernama besar itu. Tak ada gunanya mengikuti
Jalan Pedang jika aku tak punya keberanian mencoba."
Musashi sadar
bahwa kebanyakan orang akan langsung menertawakannya, karena ia punya pikiran
seperti itu. Walaupun bukan salah seorang daimyo penting, Yagyu pemilik puri.
Anaknya dinas di istana shogun, dan seluruh keluarganya mendalami tradisi kelas
prajurit. Di zaman baru yang sedang terbit ini, merekalah yang mengendarai
puncak waktu.
"Ini
merupakan ujian sejati," pikir Musashi yang sudah mempersiapkan diri untuk
menghadapi pertarungan, sekalipun ia sedang makan nasi.
Bunga Peoni
KEMULIAAN
orang tua itu tumbuh bersama berlalunya waktu, hingga sekarang ia tak lain dari
menyerupai derek megah. Sementara itu, ia mempertahankan penampilan dan tingkah
laku samurai berpendidikan baik. Giginya masih lengkap dan matanya tajam luar
biasa. "Aku akan hidup sampai seratus tahun," demikian sering kali ia
meyakinkan semua orang.
Sekishusai
sendiri percaya benar akan hal ini. "Keluarga Yagyu selamanya berumur
panjang," demikian ia suka mengatakan. "Yang mati umur dua puluhan
dan tiga puluhan biasanya terbunuh dalam pertempuran. Lainnya hidup sampai
melebihi enam puluh tahun." Di antara peperangan yang tak terhitung
jumlahnya, ia ambil bagian dalam beberapa perang besar, termasuk pemberontakan
Miyoshi dan pertempuran-pertempuran yang menandai bangkit dan jatuhnya Keluarga
Matsunaga dan Oda.
Sungguhpun
misalnya Sekishusai tidak dilahirkan dalam keluarga seperti itu, jalan hidup
dan terutama sikapnya setelah ia mencapai umur tua menyebabkan orang percaya
bahwa ia akan dapat hidup sampai seratus tahun. Pada umur empat puluh tujuh,
karena alasan-alasan pribadi ia memutuskan untuk meninggalkan peperangan.
Semenjak itu belum ada yang dapat mengubah tekadnya. Ia menulikan telinga
terhadap desakan shogun Ashikaga Yoshiaki, maupun permohonan yang
berulang-ulang dari Nobunaga dan Hideyoshi untuk menggabungkan diri dengan
mereka. Sekalipun ia hidup hampir dalam bayangan Kyoto dan Osaka, namun ia
menolak untuk terlibat dalam pertempuran yang sering terjadi pada pusat-pusat
kekuasaan dan intrik itu. Ia lebih suka tinggal di Yagyu, seperti beruang di
dalam gua, dan ia merawat tanahnya yang berpenghasilan lima belas ribu gantang
itu demikian rupa hingga nanti ia dapat menyerahkannya pada keturunannya dalam
keadaan baik. Sekishusai pernah mengatakan, "Aku sudah berbuat
sebaik-baiknya dengan berkukuh pada tanah ini. Pada zaman tidak menentu ini,
ketika para pemimpin bangkit dan jatuh begitu cepat, hampir tak dapat dipercaya
bahwa puri kecil ini berhasil tetap tegak secara lengkap."
Ini tidak
dibesar-besarkan. Sekiranya ia dulu membantu Yoshiaki, ia mungkin menjadi
korban Nobunaga, dan sekiranya ia dulu membantu Nobunaga, kemungkinan ia
bertabrakan dengan Hideyoshi. Sekiranya ia menerima perlindungan Hideyoshi, hak
miliknya mungkin dicabut oleh Ieyasu sesudah Pertempuran Sekigahara.
Ketajaman
pandangannya yang dikagumi orang banyak itu memang merupakan satu faktor
kelebihan, tetapi untuk dapat tetap tegak dalam zaman yang demikian bergolak,
Sekishusai harus memiliki kekuatan dalam yang tidak dimiliki oleh samurai biasa
pada zamannya. Mereka semua cenderung berpihak pada seseorang di suatu hari dan
secara tak kenal malu meninggalkannya pada hari berikutnya, demi kepentingannya
sendiri tanpa memikirkan kesopanan ataupun ketulusan—atau bahkan membantai
sanak saudara sendiri yang mencampuri ambisi pribadi.
"Aku tak
dapat berbuat seperti itu," ujar Sekishusai dengan sederhananya. Dan apa
yang dikatakannya itu benar. Namun ia belum meninggalkan Seni Perang itu
sendiri. Dalam ceruk kamar duduknya tergantung sajak yang ditulisnya sendiri.
Bunyinya:
Tak ada padaku cara cerdik
Buat menempuh
hidup.
Aku hanya
mengandalkan diri
Pada Seni
perang.
Itu
perlindungan terakhirku.
Ketika diundang Ieyasu untuk mengunjungi
Kyoto, mau tak mau Sekishusai merasa harus menerimanya dan keluar dari keterpencilan
tenteram yang berpuluh tahun lamanya itu untuk melakukan kunjungan pertama ke
istana shogun. Ia membawa serta anaknya yang kelima, Munenori, yang berumur dua
puluh empat tahun, dan cucunya Hyogo yang waktu itu baru berumur enam belas.
Ieyasu tidak hanya membenarkan prajurit tua yang patut dimuliakan itu dalam hal
pemilikan tanah, tetapi memintanya menjadi guru dalam seni perang bagi Keluarga
Tokugawa. Sekishusai menolak kehormatan itu dengan alasan umur, dan minta
Munenori ditunjuk menggantikannya. Ieyasu setuju.
Warisan yang
dibawa Munenori ke Edo itu lebih dari sekadar kecakapan hebat dalam seni bela
diri, karena ayahnya juga menurunkan pengetahuan taraf tinggi dalam Seni
Perang, yang memungkinkan seorang pemimpin memerintah dengan bijaksana.
Menurut
Sekishusai, Seni Perang memang alat untuk memerintah rakyat, tetapi ia pun alat
untuk mengendalikan diri. Ini dipelajarinya dari Yang Dipertuan Koizumi, yang
sering dinamakan dewa pelindung rumah tangga Yagyu. Surat keterangan yang
diberikan kepadanya oleh Yang Dipertuan Koizumi untuk membuktikan penguasaannya
atas ilmu pedang Gaya Shinkage, selalu disimpan di sebuah rak kamar Sekishusai
bersama empat jilid buku pegangan teknik militer yang dihadiahkan kepadanya
oleh Yang Dipertuan. Pada ulang tahun meninggalnya Yang Dipertuan Koizumi,
Sekishusai tak pernah lupa menghaturkan persembahan makanan bagi semua harta
milik yang sangat berharga itu.
Di samping
gambaran tentang teknik-teknik pedang tersembunyi Gaya Shinkage, buku pegangan
itu berisi gambar-gambar ilustrasi, semuanya hasil tangan Yang Dipertuan
Koizumi sendiri. Bahkan dalam masa pensiunnya pun, Sekishusai senang
membuka-buka gulungan itu dan memeriksa isinya. Tidak henti-hentinya ia merasa
kagum dapat menemukan betapa terampil gurunya memainkan kuas. Gambar-gambar itu
menunjukkan orang-orang yang sedang bertarung dan bermain pedang dalam segala
posisi dan langkah yang mungkin. Apabila Sekishusai memandang gambar-gambar
itu, ia merasa para pemain pedang itu turun dari langit dan bergabung dengannya
di rumah pegunungan yang kecil itu.
Yang
Dipertuan Koizumi pertama kali datang ke Puri Koyagyu ketika Sekishusai berumur
tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun dan masih meluap-luap ambisi
militernya. Yang Dipertuan bersama dua kemenakannya, Hikida Bungoro dan Suzuki
Ihaku waktu itu sedang mengembara mencari ahli seni perang, dan pada suatu hari
ia tiba di Hozoin. Itulah zaman ketika In'ei sering kali berkunjung ke Puri
Koyagyu, dan In'ei pun menyampaikan pada Sekishusai tentang tamu itu. Itulah
permulaan hubungan mereka.
Sekishusai
dan Koizumi melakukan pertandingan tiga hari berturut-turut. Dalam pertandingan
pertama Koizumi menyebutkan di mana ia akan menyerang, dan mulailah ia
bertanding tepat sesuai yang dikatakannya.
Hari kedua
terjadi hal yang sama. Karena harga dirinya terluka, pada hari ketiga
Sekishusai memusatkan usahanya pada cara baru.
Melihat
langkah baru itu, Koizumi hanya mengatakan, "Oh, itu tak bisa. Kalau Anda
melakukan itu, saya akan melakukan ini." Tanpa berpanjang-panjang lagi ia
pun menyerang dan mengalahkan Sekishusai untuk ketiga kalinya. Sejak hari itu
Sekishusai meninggalkan pendekatan congkak atas ilmu pedang. Kemudian
diingatnya bahwa pada kesempatan itulah pertama kali ia melihat Seni Perang
sejati.
Atas desakan kuat
Sekishusai, Yang Dipertuan Koizumi tinggal di Koyagyu selama enam bulan, dan
selama itu Sekishusai belajar sepenuh hati bak seorang yang baru mulai. Ketika
akhirnya mereka berpisah, Yang Dipertuan Koizumi mengatakan, "Jalan ilmu
pedang saya masih belum sempurna. Anda masih muda, dan Anda mesti mencoba
mengusahakannya sampai sempurna." Kemudian ia memberi Sekishusai sebuah
teka-teki Zen: "Apakah artinya main pedang tanpa pedang?"
Bertahun-tahun
lamanya Sekishusai merenungkannya, meninjaunya dari segala penjuru, dan
akhirnya sampai pada jawaban yang memuaskan dirinya.
Ketika Yang
Dipertuan Koizumi datang lagi berkunjung, Sekishusai menyambutnya dengan mata
jernih tak terusik, dan menyarankan agar mereka bertanding. Yang Dipertuan
memperhatikannya dengan saksama sesaat lamanya, kemudian katanya, "Jangan,
akan sia-sia saja. Anda sudah menemukan kebenaran."
Kemudian ia
menghadiahi Sekishusai surat keterangan dan buku pegangan empat jilid itu.
Dengan ini lahirlah Gaya Yagyu. Pada gilirannya hal itu melahirkan cara hidup
damai Sekishusai di umur tuanya.
Sekishusai
tinggal di rumah pegunungan karena ia tidak lagi menyukai puri yang mencolok
dengan segala hiasannya yang rumit itu. Sekalipun ia mencintai hidup
mengasingkan diri menurut ajaran Tao, namun ia senang mendapat teman gadis yang
dibawa Shoda Kizaemon untuk bermain suling baginya, karena gadis itu penuh
perhatian, sopan, dan tidak pernah mengganggu. Tidak hanya dalam permainan
suling ia amat menyenangkan, gadis itu juga menambahkan sentuhan kemudaan dan
kewanitaan yang menyenangkan bagi rumah tangganya. Sekali-sekali gadis itu
mengatakan hendak pergi dari situ, tetapi ia selalu memintanya tinggal sedikit
lebih lama.
Sambil
mengatur letak terakhir bunga peoni tunggal yang dimasukkannya dalam jambangan
buatan Iga, Sekishusai bertanya kepada Otsu, "Bagaimana pendapatmu? Apa
susunan bungaku cukup hidup?"
Otsu yang
berdiri di belakang orang tua itu berkata, "Bapak tentunya pernah belajar
keras merangkai bunga."
"Sama
sekali tidak. Aku bukan bangsawan Kyoto, dan tak pernah aku belajar merangkai
bunga atau upacara minum teh dengan pimpinan seorang guru."
"Tapi
kelihatannya Bapak pernah belajar."
"Cara
yang kugunakan untuk bunga sama dengan cara untuk pedang." Otsu tampak
terkejut. "Apa betul Bapak menyusun bunga seperti menggunakan
pedang?"
"Ya,
Mengerti tidak, semua itu cuma soal semangat. Aku tidak menggunakan
peraturan-misalnya bagaimana memilih bunga-bunga itu dengan ujung jari atau
mencekiknya di leher. Soalnya cuma bagaimana menunjukkan semangat sewajarnya-bagaimana
membuatnya tampak hidup, sama seperti waktu dipetik. Lihat itu! Bungaku sama
sekali tidak mati."
Otsu merasa
orang tua yang cermat ini telah mengajarkan banyak hal yang perlu ia ketahui,
dan karena semua itu hanya diawali oleh pertemuan kebetulan saja di jalan raya,
ia merasa sangat beruntung. "Akan kuajarkan padamu upacara minum
teh," demikian katanya. Atau, "Bisa kau membuat sajak Jepang? Kalau
bisa, coba ajarkan padaku gaya sajak istana. Man'yoshu memang bagus dan apik, tapi
hidup di tempat terpencil ini, aku lebih suka mendengar sajak-sajak sederhana
tentang alam."
Sebagai
gantinya, gadis itu melakukan hal-hal kecil baginya, yang tak terpikirkan oleh
orang lain. Misalnya ia senang sekali ketika gadis itu membuatkannya topi kain
kecil seperti yang biasa dipakai tukang teh. Kini hampir sepanjang waktu ia
mengenakan topi itu dan sangat menghargainya, seakan-akan tak ada barang yang
lebih dari itu di mana pun. Permainan suling gadis itu pun sangat menyenangkan
hatinya. Pada malam-malam terang bulan, bunyi sulingnya yang indah mengalun itu
sering kali terdengar sampai ke puri.
Selagi
Sekishusai dan Otsu bicara tentang susunan bunga, diam-diam Kizaemon datang di
pintu masuk rumah pegunungan itu dan memanggil Otsu. Otsu keluar dan
mempersilakan Kizaemon masuk, tapi Kizaemon ragu-ragu.
"Tolong
sampaikan kepada Yang Dipertuan, aku baru saja kembali dari menjalankan
perintah," katanya.
Otsu tertawa.
"Oh, ini namanya terbalik."
"Kenapa?"
"Tuan
kan abdi utama di sini. Saya cuma orang luar yang diundang bermain suling. Tuan
jauh lebih dekat kepada beliau daripada saya. Apa tidak lebih baik Tuan
menghadap langsung kepada beliau daripada lewat saya?"
"Kukira
pendapatmu itu betul, tapi di rumah kecil ini kamu orang khusus. Sudahlah,
sampaikan kepada beliau." Kizaemon senang dengan perubahan yang terjadi di
situ. Ia melihat Otsu sangat disukai tuannya.
Hampir
seketika itu juga Otsu kembali untuk mengatakan bahwa Sekishusai minta Kizaemon
masuk. Kizaemon mendapati orang tua itu di kamar teh, mengenakan topi kain
buatan Otsu.
"Jadi,
kamu sudah kembali?" tanya Sekishusai.
"Ya.
Saya sudah mendatangi mereka dan menyampaikan surat dan buah itu kepada mereka,
seperti Tuan perintahkan.
"Apa
mereka sudah pergi?"
"Belum.
Begitu saya kembali di sini, seorang utusan datang dari penginapan, membawa
surat. Isinya, karena mereka telah datang di Yagyu ini, tak hendak mereka pergi
sebelum melihat dojo. Kalau mungkin, mereka akan datang besok. Mereka juga
mengatakan ingin bertemu dengan Tuan dan menyatakan hormat mereka."
"Lancang
benar orang tak tahu adat itu! Kenapa pula mereka begitu mengganggu?"
Sekishusai tampak jengkel sekali. "Apa sudah kamu jelaskan bahwa Munenori
ada di Edo, Hyogo di Kumamoto, dan tidak ada orang sama sekali di sini?"
"Sudah."
"Aku
benci orang seperti itu. Sudah kukirim orang, menyatakan tak bisa menerima
mereka, mereka tetap saja memaksa."
"Saya
tak tahu apa..."
"Tampaknya
anak-anak Yoshioka itu memang tak becus seperti yang dikatakan orang."
"Yang
ada di Wataya itu Denshichiro. Bagi saya dia memang tidak mengesankan."
"Oh, aku
heran kalau dia mengesankan. Ayahnya memang orang yang punya watak. Ketika aku
pergi ke Kyoto bersama Yang Dipertuan Koizumi, kami bertemu dia dua-tiga kali
dan minum sake bersama-sama. Kelihatannya keluarga itu merosot terus sejak itu.
Orang muda itu rupanya menyangka karena dia anak Kempo, dia punya hak untuk
tidak ditolak masuk sini, karena itu dia mendesakkan terus tantangannya. Dari
sudut pandang kita, tak ada artinya menerima tantangannya, kemudian
membiarkannya pergi membawa kekalahan."
"Denshichiro
ini rupanya terlalu percaya diri. Kalau dia memang ingin sekali datang,
barangkali saya sendiri yang akan melayani."
"Tidak,
berpikir seperti itu saja pun jangan. Anak-anak orang terkenal itu biasanya
terlalu tinggi menilai dirinya. Lagi pula, mereka itu cenderung mencoba dan
memutar balik segala sesuatu untuk keuntungan sendiri. Kalau kamu hendak
mengalahkannya, kamu mesti mengerti bahwa dia pasti akan mencoba menghancurkan
nama baik kita di Kyoto. Tentang diriku, tak ada persoalan, tapi tak ingin aku
membebani Munenori atau Hyogo dengan hal seperti itu."
"Kalau
begitu, apa yang hendak kita lakukan?"
"Yang
terbaik adalah kalau kita mencoba meredakan hatinya dan membuatnya merasa bahwa
dia diperlakukan sesuai perlakuan terhadap anak satu keluarga besar. Barangkali
keliru mengirim orang lelaki untuk bertemu dengannya." Sambil mengalihkan pandangan
kepada Otsu, ia melanjutkan, "Kupikir perempuan lebih baik. Otsu
kemungkinan orang yang tepat untuk itu."
"Baik,"
kata Otsu. "Apa saya mesti pergi sekarang?"
"Tidak,
tak usah buru-buru. Besok pagi saja."
Sekishusai
cepat menulis sepucuk surat sederhana, seperti surat yang ditulis seorang ahli
upacara minum teh, dan menyerahkannya kepada Otsu, disertai sekuntum bunga
peoni seperti yang ia susun dalam jambangan. "Berikan ini padanya, dan
katakan kamu datang mewakili aku karena aku sedang pilek. Mari kita lihat apa
jawabnya."
Pagi
berikutnya Otsu mengenakan kerudung panjang. Walaupun kerudung sudah tidak
model lagi di Kyoto, bahkan juga di lapisan masyarakat yang lebih tinggi, namun
perempuan-perempuan kelas atas dan menengah di daerah masih menghargainya.
Di kandang
kuda yang terletak di pekarangan luar puri itu, Otsu meminjam kuda.
Tukang kuda
yang sedang sibuk bersih-bersih bertanya, "Oh, kamu pergi, ya?"
"Ya,
saya harus pergi ke Wataya, disuruh Tuan."
"Saya
temani?"
"Tak
usah."
'Tak
apa-apa?"
'Tentu saja
tidak. Saya suka kuda. Kuda-kuda yang dulu biasa saya naiki di Mimasaka masih
liar, atau hampir-hampir liar."
Ketika Otsu
berkuda, kerudung cokelatnya yang kemerahan mengapung wrtiup angin di belakangnya.
Ia dapat mengendarai kuda dengan baik; dengan sebelah tangan ia memegang surat
dan bunga peoni yang sudah sedikit layu, dan dengan tangan lain mengendalikan
kuda dengan terampilnya. Para petani dan pekerja di ladang melambaikan tangan
kepadanya, karena dalam waktu yang singkat di sana itu Otsu sudah cukup dikenal
oleh rakyat setempat. Memang, hubungan mereka dengan Sekishusai jauh lebih
bersahabat daripada yang biasa terjadi antara tuan tanah dan para petani. Para
petani di situ semuanya tahu bahwa seorang perempuan muda yang cantik datang
untuk bermain suling bagi tuannya. Kekaguman serta rasa hormat kepadanya pun
menjalar kepada Otsu.
Sesampai di
Wataya, Otsu turun dan menambatkan kudanya ke pohon di halaman.
"Selamat
datang!" kata Kocha menyambutnya. "Mau menginap?"
"Tidak,
saya datang dari Puri Koyagyu membawa surat untuk Yoshioka Denshichiro. Dia
masih di sini, bukan?"
"Silakan
tunggu sebentar."
Dalam waktu
singkat selama ditinggalkan Kocha itu, Otsu telah membikin suasana jadi sedikit
hiruk di antara para musafir, yang waktu itu sibuk mengenakan legging dan
sandal serta mengikatkan bawaannya ke punggung.
"Siapa
itu?" tanya seorang.
"Menurutmu
siapa yang akan dia temui?"
Kecantikan
Otsu, dan keelokannya yang anggun dan jarang ditemui orang di pedesaan, membuat
para tamu yang hendak pergi berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh
perhatian, sampai kemudian ia mengikuti Kocha dan menghilang dari pandangan.
Denshichiro
dan teman-temannya baru saja bangun, karena malam harinya mereka minum sampai
larut. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa seorang utusan telah datang dari
puri, mereka menyangka utusan itu adalah orang yang datang hari sebelumnya.
Melihat Otsu membawa bunga peoni putih, mereka pun terkejut.
"Oh,
maaf. Kamarnya berantakan."
Dengan wajah
amat menyesal mereka meluruskan kimono dan duduk baik-baik, bersimpuh sedikit
kaku.
"Silakan
masuk, silakan masuk."
"Saya
datang kemari diutus oleh Yang Dipertuan Puri Koyagyu," kata Otsu
sederhana, sambil meletakkan surat dan bunga peoni itu di hadapan Denshichiro.
"Saya persilakan membaca surat ini sekarang juga."
"Ah,
ya.., ini suratnya? Ya, saya baca."
Ia membaca
gulungan yang tidak lebih dari sekaki panjangnya itu. Surat ditulis dengan
tinta tipis dan menyebarkan sedikit bau teh. Bunyinya: Maafkan saya, karena
telah mengirimkan salam lewat surat dan bukannya menjumpai Anda sendiri, tapi
sayang sekali saya sedang sedikit pilek. Saya pikir sekuntum bunga peoni yang
putih bersih akan lebih menyenangkan bagi Anda daripada hidung ingusan seorang
tua. Saya kirimkan bunga ini lewat tangan sekuntum bunga pula, dengan harapan
bahwa Anda akan menerima maaf saya. Tubuh saya yang sudah sangat tua ini kini
berada di luar kehidupan sehari-hari. Saya sangsi akan memperlihatkan muka.
Mudah-mudahan Anda dapat tersenyum maklum kepada orang tua ini.
Denshichiro
mendengus jijik dan menggulung surat itu. "Hanya ini?" tanyanya.
"Tidak,
beliau juga mengatakan, meskipun ingin minum teh dengan Anda, beliau ragu-ragu
mengundang Anda datang ke rumah, karena tak ada orang lain di sana kecuali
prajurit-prajurit yang tak kenal enaknya teh. Karena Munenori berada di Edo,
beliau merasa suguhan teh akan terasa kasar, sehingga bisa menimbulkan tawa di
bibir orang-orang ibu kota kekaisaran. Beliau minta saya menyampaikan maaf
kepada Anda, dan menyampaikan kepada Anda pula bahwa beliau berharap bertemu
dengan Anda pada kesempatan lain nanti."
"Ha,
ha!" ucap Denshichiro seraya memperlihatkan wajah curiga. "Kalau
benar penangkapan saya, Sekishusai mengira yang kami inginkan adalah
menyaksikan indahnya upacara minum teh. Terus terang saja, karena kami berasal
dari keluarga samurai, kami tak tahu apa-apa tentang teh. Maksud kami sebenarnya
adalah menanyakan secara pribadi kesehatan Sekishusai dan membujuk beliau untuk
memberikan pelajaran ilmu pedang pada kami."
"Beliau
mengerti benar soal itu, tentu saja. Tapi beliau sekarang sedang menghabiskan umur
tuanya dengan menyendiri, dan kini beliau punya kebiasaan mengungkapkan banyak
buah pikirannya dengan istilah-istilah upacara minum teh."
Dengan sikap
muak yang tampak jelas sekali, Denshichiro menjawab, "Yah, beliau tidak
memberikan pada kami pilihan lain kecuali menerima. Tolong sampaikan pada
beliau, bahwa kalau kami datang lagi nanti, kami ingin bertemu dengan
beliau." Dan dikembalikannya bunga peoni itu kepada Otsu.
"Anda
tak suka ini? Beliau merasa bunga ini akan menggembirakan dalam perjalanan.
Beliau mengatakan Anda dapat menggantungkannya di sudut joli Anda, atau kalau
Anda naik kuda, menggantungkannya di sadel."
"Beliau
maksudkan ini sebagai tanda mata?" Denshichiro menundukkan mata
seakan-akan terhina, kemudian dengan wajah masam ia berkata, "Aneh!
Sampaikan pada beliau, kami punya peoni sendiri di Kyoto!"
Kalau memang
demikian perasaannya, tak ada gunanya mendesaknya menerima hadiah itu, demikian
kesimpulan Otsu. Dengan janji akan menyampaikan pesan itu, Otsu meninggalkan
tempat itu dengan berat, seberat kalau ia mesti membuka perban dari luka yang
terbuka. Karena marah, tuan-tuan rumah itu hampir tidak melihat kepergian Otsu.
Begitu sampai
di lorong rumah, Otsu tertawa pelan sendiri. Dipandangnya lantai hitam
mengkilat yang menuju kamar tinggal Musashi, lalu ia membelok ke jurusan lain.
Kocha keluar
dari kamar Musashi dan berlari mengejarnya.
“Mau pulang?”
tanyanya.
“Ya, sudah
selesai urusan saya.”
“Oh, cepat
sekali, ya?” Melihat tangan Otsu, ia bertanya, “Apa itu bunga peoni? Saya baru
tahu ada yang putih warnanya.”
“Ya. Ini dari
halaman puri. Boleh ambil kalau kamu suka.”
”Oh, mau,”
kata Kocha sambil mengulurkan tangan.
Sesudah
berpisah dengan Otsu, Kocha pergi ke petak pembantu dan memperlihatkan bunga
itu pada semua orang di sana. Karena tak seorang pun mengaguminya, dengan
kecewa ia kembali ke kamar Musashi.
Musashi duduk
di jendela sambil bertopang dagu. Ia memandang ke arah puri dan berpikir keras
tentang tujuannya: bagaimana caranya agar, pertama, ia dapat bertemu dengan
Sekishusai, dan kedua, mengalahkannya dengan pedang.
“Tuan suka
bunga?” tanya Kocha ketika masuk.
“Bunga?”
Dan
ditunjukkannya bunga peoni itu.
“Hmm, bagus
ini.”
“Tuan suka?”
“Ya.”
“Ini namanya
peoni, peoni putih.”
“Betul?
Kenapa tidak kamu masukkan jambangan di sana itu?”
“Saya tak
bisa menyusun bunga. Tuan saja yang menyusun.”
“Tidak, kamu
saja. Lebih baik menyusunnya tanpa berpikir bagaimana jadinya.”
“Baik, saya
akan ambil air,” kata Kocha sambil membawa jambangan itu keluar.
Secara
kebetulan mata Musashi tertuju pada pangkal batang peoni yang terpapas.
Kepalanya miring terkejut, walaupun belum dapat ia memastikan apa gerangan yang
memikat perhatiannya itu.
Minat yang
hanya sambil lalu itu telah berubah menjadi pemikiran asyik ketika Kocha
kembali. Kocha meletakkan jambangan dalam ceruk kamar dan mencoba memasukkan
bunga itu ke dalamnya, tapi kurang berhasil.
“Batangnya
terlalu panjang,” kata Musashi. “Bawa kemari, biar kupotong. Nanti kalau kamu
dirikan, akan tampak pantas.
Kocha membawa
bunga itu dan menyampaikannya kepada Musashi. Belum lagi sadar akan apa yang
terjadi, ia sudah melepaskan bunga itu dan mencucurkan air mata. Sungguh ajaib,
karena dalam sekejap mata Musashi sudah menghunus pedang pendeknya, memekik
keras, memotong pangkal bunga yang ada di antara kedua tangan Kocha, dan
memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. Bagi Kocha, kilas baja dan bunyi
pedang yang mendetak masuk kembali ke dalam sarungnya itu seakan-akan terjadi
serentak.
Tanpa mencoba
menghibur gadis yang ketakutan itu, Musashi memungut potongan batang bunga yang
telah diirisnya dan mulai membandingkan ujungnya dengan ujung yang lain. Ia
tampak tenggelam sepenuhnya di situ. Akhirnya, ketika melihat gadis yang
kebingungan itu, ia minta maaf dan membelai-belai kepalanya.
Selesai
membujuk gadis itu agar tidak menangis lagi, ia bertanya, "Kamu tahu,
siapa yang memotong bunga ini?"
"Tidak.
Bunga ini pemberian orang."
"Siapa
yang memberi?"
"Orang
dari puri."
"Salah
seorang samurai itu?"
"Tidak,
seorang perempuan muda."
"Mm.
Lalu kamu pikir bunga itu dari puri?"
"Ya, dia
yang mengatakan."
"Maaf
aku sudah bikin kamu takut tadi. Kalau kubelikan kamu kue nanti, mau kamu memaafkan
aku? Biar bagaimana, bunga sudah bisa disusun sekarang. Coba masukkan dalam
jambangan."
"Begini?"
"Ya,
bagus itu."
Sebenarnya
Kocha menyukai Musashi, tapi kilasan pedangnya itu membikin tubuhnya dingin
sampai ke tulang sumsum. Ia meninggalkan kamar itu dan tak ingin kembali sampai
tugas benar-benar memaksanya.
Musashi jauh
lebih terpesona oleh potongan batang bunga yang delapan inci panjangnya itu
daripada oleh bunga di ceruk kamar. Ia yakin potongan yang pertama tidak dibuat
dengan gunting atau pisau. Batang bunga peoni itu lentur dan luwes, maka
potongan itu hanya mungkin dilakukan dengan pedang, dan hanya hantaman yang
sangat mantap saja dapat membuat irisan yang demikian bersih. Siapa pun yang
telah melakukannya, bukanlah orang biasa. Sekalipun ia sendiri baru saja
mencoba meniru potongan itu dengan pedangnya, waktu kedua ujung potongan itu
dibandingkan, segera ia sadar bahwa potongan yang dilakukannya masih kalah
jauh. Perbedaannya seperti patung Budha hasil ukiran ahli dan patung buatan
tukang kebanyakan saja.
Ia bertanya
pada diri sendiri, apa gerangan makna yang tersembunyi di situ. "Jika
seorang samurai yang bekerja di kebun puri dapat melakukan potongan seperti
itu, maka taraf Keluarga Yagyu tentunya lebih tinggi lagi daripada yang
kuduga."
Dan tiba-tiba
saja keyakinan dirinya buyar. "Aku sama sekali belum siap."
Namun
selangkah demi selangkah ia pulih kembali dari perasaan itu.
"Bagaimanapun, orang-orang Yagyu itu lawan yang layak. Kalaupun aku kalah
nanti, aku dapat menjatuhkan diri ke kaki mereka dan menerima kekalahan dengan
keanggunan. Aku toh sudah memutuskan bersedia menghadapi apa pun, termasuk
mati." Sementara duduk memanas-manaskan keberaniannya, ia merasa dirinya
jadi tambah bersemangat.
Tapi
bagaimana ia bisa melakukannya? Biarpun seorang siswa sudah datang di ambang
pintunya dan memperkenalkan diri baik-baik, belum tentu Sekishusai setuju
bertanding. Pemilik penginapan itu cukup banyak bercerita. Dan karena Munenori
maupun Hyogo tak ada di rumah, tak ada lagi yang mesti ditantang kecuali
Sekishusai sendiri.
Sekali lagi
ia mencoba mencari jalan untuk memperoleh izin masuk purl. Pandangan matanya
kembali ke bunga di dalam ceruk kamar. Mulailah terbentuk di hadapan matanya
bayangan seseorang, karena secara tak sadar ia diingatkan oleh bunga itu.
Memandang wajah Otsu dalam mata pikirannya itu menenangkan semangatnya dan
menyejukkan sarafnya.
Otsu sendiri
sedang dalam perjalanan pulang ke Puri Koyagyu, ketika tiba-tiba didengarnya
pekikan parau di belakangnya. Ia menoleh, dan kelihatan olehnya seorang anak
muncul dari rumpun pohon di kaki sebuah batu karang. Anak itu jelas datang
untuk menemui Otsu, tapi karena anak-anak di wilayah itu terlampau pemalu untuk
menyapa seorang perempuan muda seperti dirinya, maka Otsu sengaja menghentikan
kudanya, sekadar untuk memenuhi keingintahuannya.
Jotaro
telanjang bulat. Rambutnya basah dan pakaiannya digulung bulat terkepit di
ketiaknya. Tanpa malu, walaupun telanjang, ia berkata, "Anda kan Kakak
yang main suling itu. Apa Kakak masih tinggal di sini?" Ia memandang kuda
Otsu dengan sikap tak suka, kemudian langsung memandang Otsu.
"Kamu!"
seru Otsu, sebelum akhirnya memalingkan muka karena malu. "Anak kecil yang
menangis di jalan raya Yamato itu."
"Menangis?
Saya tidak menangis!"
"Ya
sudahlah. Sudah berapa lama kamu di sini?"
"Baru
kemarin datang."
"Sendiri?"
"Tidak,
dengan guru saya."
"O ya,
betul. Kamu bilang sedang belajar seni pedang, kan? Lalu kenapa pakaianmu kamu
tanggalkan?"
"Mana
mungkin saya terjun ke sungai dengan pakaian lengkap?"
"Sungai?
Tapi air sungai tentunya sedang membeku sekarang. Orang di sini bisa tertawa
mendengar orang berenang musim begini."
"Bukan
berenang; saya mandi. Guru saya bilang, keringat saya bau, karena itu saya ke
sungai."
Otsu
mendecap. "Di mana kamu tinggal?"
"Di
Wataya."
"Lho,
aku baru dari sana."
"Sayang
sekali Kakak tidak bertemu kami. Bagaimana kalau kembali lagi dengan saya
sekarang?"
"Tak
bisa sekarang. Aku sedang disuruh."
"Kalau
begitu, selamat berpisah!" kata Jotaro dan terus membalik untuk pergi.
"Jotaro,
datanglah ke tempatku di puri sekali-sekali."
"Apa
boleh saya datang?"
Baru saja
Otsu mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menyayangkannya, tapi katanya,
"Ya, boleh, tapi jangan sampai kamu tampil seperti sekarang ini.
"Oh,
kalau begitu pendapat Kakak, tak mau saya ke sana. Saya tak suka tempat-tempat
yang orangnya cerewet."
Otsu merasa
lega. Senyuman masih tampak pada wajahnya ketika ia mengendarai kudanya
melewati gerbang puri. Sesudah mengembalikan kudanya ke kandang, ia pergi
melapor ke Sekishusai.
Sekishusai
tertawa, katanya, "Jadi, mereka marah! Bagus! Biar mereka marah. Tak ada
yang bisa mereka perbuat dengan itu." Sejenak kemudian, seakan-akan
teringat sesuatu, ia bertanya, "Apa bunga peoni itu kamu buang?"
Otsu
menjelaskan bahwa bunga itu telah ia berikan kepada pembantu di penginapan, dan
Sekishusai mengangguk setuju. "Apa anak Yoshioka itu memegang bunga itu
dan melihatnya?" tanyanya.
"Ya.
Ketika dia membaca surat itu."
"Lalu?"
"Dia
cuma mengembalikannya pada saya."
"Dia
tidak melihat batangnya?"
"Setahu
saya tidak."
"Dia
tidak memeriksanya atau mengatakan sesuatu tentangnya?"
"Tidak."
"Kalau
begitu, memang sudah benar aku menolak bertemu dengan dia. Tak ada gunanya dia
ditemui. Jadi, Keluarga Yoshioka itu boleh dikatakan sudah berakhir dengan
matinya Kempo."
Dojo Yagyu
dapat dengan tepat dilukiskan: megah. Dojo itu terletak di pekarangan luar
puri, dan dibangun kembali kira-kira waktu Sekishusai berumur empat puluh
tahun. Balok kekar yang dipergunakan untuk membangunnya memberikan kesan tak
terhancurkan. Kilau kayu yang terbentuk bertahun-tahun lamanya itu mencerminkan
kekerasan orangorang yang telah memperoleh latihan di situ. Bangunan itu pun
cukup luas untuk dipakai sebagai barak para samurai di masa perang.
"Yang
enteng! Bukan dengan ujung pedang! Dengan tekad, dengan tekad!" demikian
Shoda Kizaemon meraungkan perintah-perintah marah kcpada dua pemain pedang yang
bercita-cita tinggi. Shoda Kizaemon duduk di podium yang ditinggikan sedikit
dan mengenakan jubah dalam dan hakama. "Sekali lagi! Tadi itu salah sama
sekali!"
Sasaran
cacian Kizaemon itu dua samurai Yagyu, yang sekalipun sudah setengah sadar dan
mandi keringat, namun terus juga beradu. Langkahhngkah diambil, senjata
disiapkan, dan keduanya bertemu lagi seperti api dengan api.
"A-o-o-oh!"
"Y-a-a-ah!"
Di Yagyu,
para pemula tidak diizinkan menggunakan pedang kayu. Sebagai gantinya, mereka
menggunakan tongkat yang dibuat khusus untuk Gaya Shinkage. Tongkat itu berupa
kantong kulit panjang tipis yang diisi belahan-belahan bambu. Sebetulnya benda
itu tongkat kulit tak bergagang dan tak berpelindung tangan. Tongkat ini kurang
berbahaya dibandingkan dengan pedang kayu, namun masih dapat menghilangkan
telinga atau mengubah hidung menjadi buah delima. Tidak ada batasan mengenai
bagian tubuh mana yang dapat diserang oleh petarung. Merobohkan lawan dengan
memukul kakinya mendatar diperbolehkan, dan tidak ada peraturan yang melarang
melabrak orang yang sudah jatuh.
"Ya,
terus begitu! Terus macam itu! Sama dengan yang tadi!" demikian Kizaemon
mendorong para siswanya.
Kebiasaan
yang berlaku di sini adalah tidak membiarkan orang meninggalkan tempat sebelum
la hampir roboh. Para pemula diajar sangat keras, tidak pernah dipuji, dan
dijadikan sasaran caci-maki yang tidak sedikit. Karena itu, rata-rata samurai
tahu bahwa bekerja pada Keluarga Yagyu bukanlah sesuatu yang mesti diterima
enteng. Para pendatang baru jarang bertahan lama, dan orang-orang yang kini
bekerja pada Yagyu adalah hasil saringan yang sangat cermat. Prajurit biasa dan
tukang kuda pun orang-orang yang sudah lanjut dalam mempelajari seni pedang.
Tak perlu
disebutkan lagi, Shoda Kizaemon adalah pemain pedang yang sudah jadi dan telah
menguasai Gaya Shinkage pada umur sangat muda. Di bawah pengawasan Sekishusai
sendiri ia kemudian mempelajari rahasia-rahasia Gaya Yagyu. Semua itu
ditambahnya dengan beberapa teknik pribadinya sendiri, dan kini ia dapat bicara
dengan bangga tentang "Gaya Shoda Sejati".
Pelatih kuda
Yagyu, Kimura Sukekuro, juga seorang ahli seperti halnya
Murata Yozo,
yang walaupun dipekerjakan sebagai penjaga gudang, kabarnya
lawan tangguh
Hyogo. Debuchi Magobei, seorang pejabat lain yang relatif
tak penting,
mempelajari seni pedang sejak kanak-kanak dan dapat
menggunakan
sebuah senjata yang perkasa. Yang Dipertuan Echizen telah
mencoba
membujuk Debuchi untuk bekerja padanya, dan Keluarga Tokugawa
dari Kii
telah mencoba memikat Murata pergi dari situ, namun kedua orang itu memilih
tinggal di Yagyu, meskipun keuntungan materilnya lebih kecil.
Keluarga
Yagyu yang kini mencapai puncak peruntungan itu sudah menghasilkan jajaran
pemain pedang besar yang kelihatannya tanpa henti. Lagi pula, para samurai
Yagyu belum diakui sebagai pemain pedang sebelum mereka membuktikan
kesanggupannya menempuh cara hidup yang tak kenal ampun.
"Hei, yang
di sana itu!" seru Kizaemon pada seorang pengawal yang lewat di luar. Ia
rupanya terkejut melihat Jotaro yang berjalan mengikuti samurai.
"Halo!"
seru Jotaro dengan seramah-ramahnya.
"Apa
kerjamu dalam puri ini?" tanya Kizaemon tajam.
"Orang
di pintu gerbang yang membawa saya masuk," jawab Jotaro sesuai dengan
kenyataannya.
"Betul
begitu?" Kemudian kepada pengawal, Kizaemon bertanya, "Kenapa kamu
bawa dia kemari?"
"Dia
bilang mau bertemu Tuan."
"Maksudmu,
kamu bawa anak ini kemari atas kehendak dia sendiri? Hei, Nak!"
"Ya,
Tuan."
"Ini
bukan tempat main. Pergi kamu dari sini."
"Tapi
saya datang bukan buat bermain. Saya bawa surat dari guru saya."
"Dari
gurumu? Kamu pernah bilang, dia murid yang mengembara itu, kan?"
"Silakan
Tuan lihat suratnya."
"Tak
perlu."
"Kenapa?
Apa Tuan tak bisa baca?"
Kizaemon
mendengus.
"Nah,
kalau Tuan bisa baca, silakan baca."
"Oh,
anak bandel yang pintar sekali kamu. Sebabnya aku tak perlu membaca surat itu,
karena aku sudah tahu isinya."
"Biar
begitu, apa tidak lebih sopan kalau membacanya?"
"Murid
di tempat ini meruap seperti nyamuk dan belatung. Kalau kusediakan waktu buat
berlaku sopan pada mereka semua, takkan dapat aku melakukan yang lain. Tapi aku
kasihan padamu, karena itu akan kusebutkan padamu apa isi surat itu. Baik?
Isinya, penulis ingin diizinkan melihat dojo yang sangat indah di sini, ingin
walaupun hanya sesaat bersenang-senang di bawah bayangan guru terbesar di
negeri ini, dan untuk kepentingan semua pengikut yang akan menempuh Jalan
Pedang, dia akan sangat berterima kasih mendapat pelajaran di sini. Kukira
itulah kira-kira isi surat itu."
Mata Jotaro
membundar. "Apa itu isi surat ini?"
"Ya.
jadi tak perlu aku membacanya, kan? Biar begitu, jangan sampai dikarakan Keluarga
Yagyu dengan darah dingin menolak orang-orang yang datang bertamu kepada
mereka." Ia berhenti bicara, kemudian melanjutkan, seakan-akan sudah
terlatih mengucapkan pidatonya. "Minta kepada penjaga di sana supaya
menjelaskan padamu semuanya. Kalau murid datang ke rumah ini. dia masuk lewat
gerbang utama, lalu terus ke gerbang tengah yang di sebelah kanannya ada
bangunan yang namanya Shin'indo. Ada papan nama tergantung di bangunan itu.
Kalau murid itu minta kepada pengurus di sana, dia bebas untuk beristirahat
sebentar, dan di sana ada tempat untuk menginap semalam-dua malam. Kalau dia
pergi, dia mendapat sedikit uang untuk bantuan dalam perjalanan. Sekarang, yang
mesti kamu lakukan adalah memberikan surat itu kepada pengurus di
Shin'indo-mengerti?"
"Tidak!"
kata Jotaro. la menggelengkan kepala dan mengangkat bahu kanannya sedikit.
"Coba Tuan dengar!"
"Ha?'
"Tuan
tak boleh menilai orang lain dari penampilannya. Saya bukan anak
pengemis!"
"Kuakui
kamu punya kecakapan menggunakan kata-kata."
"Kenapa
tidak Tuan lihat surat ini? Mungkin isinya lain sekali dari yang Tuan duga.
Lalu apa yang akan Tuan lakukan nanti? Apa akan Tuan suruh saya memotong kepala
Tuan?"
"Tunggu
dulu!" Kizaemon tertawa. Wajah dan mulutnya yang merah di balik jenggotnya
yang seperti paku itu tampak seperti bagian dalam buah berangan yang sudah
pecah. "Tidak, kamu tak dapat memotong kepalaku."
"Nah, kalau begitu Tuan lihatlah surat
ini."
"Coba
sini."
"Untuk
apa?" Jotaro pun merasa menyesal telah melangkah demikian jauh.
"Aku
kagum dengan tekadmu untuk tidak membiarkan pesan gurumu tak disampaikan. Aku
akan membacanya."
"Kenapa
pula tidak? Tuan pejabat paling tinggi dalam Keluarga Yagyu, kan?"
"Kamu
pintar sekali menggunakan lidahmu. Kita harapkan, kamu dapat berbuat sama
dengan pedangmu, kalau kamu besar nanti." Kizaemon melepaskan meterai
surat itu, dan dengan diam ia baca pesan Musashi. Selagi membaca, wajahnya
menjadi sunguh-sungguh. Selesai membaca ia bertanya, "Apa kamu bawa yang
lain disamping surat ini?"
"Oh, ya,
saya lupa! Saya mesti menyampaikan ini juga." Jotaro cepat-cepat
mengeluarkan batang peoni dari dalam kimononya.
Tanpa
mengatakan sesuatu, Kizaemon memeriksa kedua ujung batang itu. Wajahnya tampak
agak heran. Ia tidak sepenuhnya dapat memahami makna surat Musashi.
Surat itu
menjelaskan bahwa pelayan penginapan telah memberikan kepadanya sekuntum bunga
yang katanya berasal dari puri, dan ketika ia memeriksa batang bunga itu, ia
melihat bahwa potongan bunga itu dibuat oleh "orang yang bukan orang biasa".
Surat menyatakan lagi: Sesudah memasukkan bunga itu ke dalam jambangan, saya
merasa mendapatkan suatu semangat khusus darinya, dan saya merasa harus
menemukan orang yang telah melakukan pemotongan itu. Persoalan ini bisa saja
kelihatan remeh, tapi kalau Tuan tidak berkeberatan menyampaikan kepada saya,
siapakah di antara anggota rumah tangga Tuan yang sudah melakukannya, saya akan
sangat berterima kasih kalau Tuan mengirimkan balasannya lewat anak yang
membawa surat int.
Hanya itu-tak
ada disebutkan bahwa si penulis seorang murid, dan tak ada permintaan untuk
bertanding.
"Aneh
juga tulisan ini," pikir Kizaemon. Sekali lagi ia memandang batang peoni
itu, dan sekali lagi ia memeriksa kedua ujungnya baik-baik, namun ia tak dapat
membedakan apakah ujung yang satu berlainan dengan ujung yang lain.
"Murata!"
panggilnya. "Coba lihat ini. Apa bisa kamu melihat beda antara potongan di
kedua ujung batang ini? Apa barangkali yang satu tampak lebih tajam?"
Murata Yozo
mengamat-amati batang bunga itu, tapi la terpaksa mengaku tidak melihat beda
kedua potongan itu.
"Mari
kita perlihatkan kepada Kimura."
Mereka pergi
ke kantor di belakang bangunan itu dan mengajukan soal itu kepada rekan mereka
di sana, yang sementara itu sama kagumnya dengan mereka. Debuchi yang kebetulan
ada di kamar itu mengatakan, "Ini salah satu bunga yang dipotong oleh Yang
Dipertuan sendiri kemarin dulu. Apa engkau tidak bersama beliau waktu itu,
Shoda?"
"Tidak,
aku memang melihat beliau mengatur bunga. Tapi aku tidak melihat beliau
memotongnya."
"Nah,
ini satu dari dua bunga yang beliau potong. Beliau masukkan yang satu ke
jambangan di kamar beliau, dan yang lain beliau suruh Otsu bawa ke Yoshioka
bersama surat."
"Ya, aku
ingat," kata Kizaemon, ketika ia mulai membaca surat Musashi lagi. Tiba-tiba
ia menengadah dengan mata kaget. "Surat ini ditandatangani oleh 'Shimmen
Musashi'," katanya. "Apa menurutmu Musashi yang sudah membantu para
pendeta Hozoin membunuh semua jembel di Dataran Hannya itu? Tentunya dia!"
Debuchi dan
Murata berganti-ganti mengambil surat itu dan membacanya kembali.
"Tulisannya memang berwatak," kata Debuchi.
"Ya,"
gumam Murata. "Kelihatannya dia luar biasa."
"Kalau
apa yang dinyatakan surat itu benar," kata Kizaemon, "dan dia
betul-betul dapat menyatakan bahwa batang ini sudah dipotong oleh seorang ahli,
tentunya dia mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui. Guru Tua itu yang
memotongnya sendiri, dan rupanya hal ini cukup jelas bagi orang yang matanya
memang benar-benar dapat melihat."
Kata Debuchi,
"Hm. Ingin aku bertemu dengannya.... Dengan begitu kita dapat mengecek
soal itu, dan kita dapat juga meminta dia menceritakan peristiwa yang terjadi
di Dataran Hannya." Namun Debuchi tak hendak melibatkan dirinya seorang,
melainkan menanyakan pendapat Kimura. Kimura menyatakan bahwa karena mereka
tidak pernah menerima shugyosha, maka tidak dapat mereka menerimanya sebagai
tamu di ruangan praktek, namun tak ada alasan kenapa mereka tak dapat
mengundangnya makan atau menikmati sake di Shin'indo. Bunga-bunga iris sudah
berkembang di sana, katanya, dan bunga-bunga azalea liar mulai berkembang.
Mereka bisa mengadakan pesta kecil dan bicara tentang seni pedang dan hal-hal
lain seperti itu. Kemungkinan besar Musashi dengan senang hati datang, dan Yang
Dipertuan pasti tidak keberatan kalau beliau mendengar tentangnya.
Kizaemon
menepuk lututnya, dan katanya, "Saran yang baik sekali."
"Jadi,
pesta buat kita juga," sambung Murata. "Mari kita kirimkan jawaban
sekarang juga."
Selagi duduk
menulis jawaban, Kizaemon berkata, "Anak itu ada di luar. Suruh dia
masuk."
Beberapa
menit sebelumnya Jotaro memang sudah menguap dan menggerutu. "Lamanya
mereka itu." Sementara itu, seekor anjing hitam besar mencium baunya dan
datang mengendusnya. Merasa mendapat teman baru, Jotaro bicara dengan anjing
itu dan menarik telinganya supaya maju mendekat.
"Ayo
kita bergulat," desaknya, kemudian merangkum anjing itu dan
melemparkannya. Anjing suka dengan permainan itu. Jotaro menangkapnya lagi dan
melemparkannya dua-tiga kali lagi.
Kemudian,
sambil memegang kedua rahang anjing itu, Jotaro berkata, "Nah, menyalak
sekarang!"
Perbuatan itu
membuat si anjing marah. Sambil melepaskan diri ia gigit tepian kimono Jotaro
dan ia tarik sekuat-kuatnya.
Kim giliran
Jotaro yang jadi marah. "Kamu kira apa aku ini? Tidak boleh kamu lakukan
itu!" serunya.
Ia menarik
pedang kayunya dan mengancamnya ke kepala anjing. Anjing menganggapnya
sungguh-sungguh dan mulai menyalak keras-keras, hingga menarik perhatian para pengawal.
Sambil mengutuk, Jotaro menebaskan pedangnya ke kepala anjing. Kedengaran
seperti pedang itu menghantam karang. Anjing meloncat ke punggung anak itu,
menggigit obi-nya, dan menjatuhkan Jotaro ke tanah. Belum lagi Jotaro sempat
berdiri, anjing itu sudah menyerangnya lagi, dan Jotaro dengan bingung mencoba
melindungi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Ia mencoba
meloloskan diri, tapi anjing itu terus menempelnya. Gema salaknya
memantul-mantul melintasi pegunungan. Darah mulai mengalir dari antara
jari-jari yang menutup muka Jotaro, dan segera kemudian lolongan kesakitan anak
itu sudah mengalahkan lolongan si anjing.
sambung
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar