Rabu, 12 Juli 2017



 Bagian Satu 


Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya.

“Dunia sudah gila,” pikirnya samar. “Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup  angin musim gugur.”

Ia sendiri seperti satu di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di  sekitarnya. Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat mengangkatnya beberapa inci  dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah. “Sudah berapa lama aku di  sini?” ia bertanya-tanya.

Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan  tangan untuk mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh,  seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama tadi aku pingsan,”  pikirnya sambil menggerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum begitu sadar bahwa  dirinya sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya.
Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Malam sebelumnya, kira-kira antara  tengah malam dan fajar, hujan deras mengguyur daratan Sekigahara. Sekarang ini lewat  tengah hari, tanggal lima belas bulan sembilan tahun 1600. Sekalipun topan telah  berlalu, sekali-kali siraman hujan segar masih menimpa mayat-mayat itu, termasuk wajah  Takezo yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup mulutnya seperti  ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu. “Seperti air yang dipakai mengusap bibir  orang sekarat,” kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang. Kepalanya sudah  hilang rasa, sedangkan pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas.

Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu. Kobayakawa Hideaki, yang dikiranya sekutu,  ternyata diam-diam telah bergabung dengan Tentara Timur. Ketika ia menyerang pasukan  Ishida Mitsunari pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang  tentara panglima-panglima yang lain – Ukita, Shimazu, dan Konishi. Maka sempurnalah  keruntuhan Tentara Barat. Hanya dalam setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan  siapa yang sejak itu akan memerintah negeri. Dialah Tokugawa Ieyasu, daimyo Edo yang  perkasa.
Bayangan kakak perempuannya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan  matanya. “Aku akan mati,” pikirnya tanpa rona sedih. “Jadi, beginikah rasanya?” Dan ia  pun merasa tertarik ke arah kedamaian maut, seperti anak-anak yang terpesona oleh nyala  api.
Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala, “Takezo!”
Bayang-bayang dalam kepala Takezo menghilang. Seolah terbangun dari mati, ia pun menoleh  ke arah suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya. Dengan segenap kekuatan, ia  mengangkat tubuhnya sedikit dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tidak  terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan. “Matahachi, kaukah itu?” Lalu ia  rebah, terbaring diam, mendengarkan.
“Takezo! Betul-betul kau masih hidup?”
“Ya, hidup!” serunya, tiba-tiba keluar pongahnya. “Dan kau? Kau sebaiknya jangan mati  juga. Jangan berani-berani!” Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain  di bibirnya.
“Mana bisa aku mati! O, tidak!” Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan  dengan susah payah, Matahachi pun mendekati sahabatnya setapak demi setapak.  Ditangkapnya tangan Takezo, tapi yang ia cengkeram dengan kelingkingnya sendiri hanyalah  kelingking temannya itu. Sebagai sahabat, sejak kanak-kanak mereka sering mematrikan  janji dengan cara itu. Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian menggenggam tangan  sahabatnya itu seluruhnya.
“Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat!”
“Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri.”
“Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!”
Tapi tiba-tiba saja Takezo menarik Matahachi ke tanah dan menggeram, “Pura-pura mati!  Celaka lagi!”
Bumi pun mulai menderum seperti kawah gunung. Lewat tangan mereka berdua tampak angin  pusaran sedang mendekat. Dan semakin mendekat. Baris-baris penunggang kuda sehitam  jelaga meluncur langsung menuju mereka berdua.
“Bajingan! Mereka kembali!” kata Matahachi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah  bersiap melompat. Takezo langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir  mematahkannya, serta merenggutnya ke bumi.
Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus  kaki kuda yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan  para samurai yang sudah tewas. Sambil memperdengarkan pekikan-pekikan perang, dan dengan  zirah serta senjata berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.
Matahachi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga  mereka tidak terinjak-injak, sedangkan Takezo menatap tanpa berkedip ke langit.  Kuda-kuda itu begitu dekat dengan mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya.  Kemudian semuanya berlalu.
Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya  keduanya tinggal diam tak percaya.
“Selamat lagi!” kata Takezo sambil mengulurkan tangan kepada Matahachi. Masih merangkum  bumi, pelan-pelan Matahachi memutar kepala, memperlihatkan seringai lebar yang sedikit  bergetar. “Ada yang berpihak pada kita, itu pasti,” katanya parau.
Kedua sahabat itu saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi  medan pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan  berangkulan. Di sana mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka  mencari-cari makanan. Dua hari mereka hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan yang  dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di Gunung Ibuki. Makanan itulah yang membuat  mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Takezo jadi sakit, dan usus Matahachi tersiksa.  Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat menghilangkan  dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit.
Badai tanggal lima belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam  sesudahnya, bulan yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah, dari langit yang tak  berawan.
Mereka berdua mengerti, betapa berbahayanya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang.  Bayangan mereka akan tampak seperti bayangan sasaran, yang dapat dengan jelas dilihat  oleh patroli yang sedang mencari orang-orang yang berkeliaran. Keputusan untuk mengambil  resiko itu datang dari Takezo. Melihat keadaan Matahachi yang begitu jelek – katanya  lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan – agaknya memang tidak banyak  pilihan lain. Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka harus menemukan  tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka pun  berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah kecil Tarui.
“Bisa kau bertahan?” Tanya Takezo berulang-ulang. Dilingkarkannya tangan temannya itu ke  bahunya sendiri, untuk membantunya berjalan. “Kau baik-baik saja, kan?” Napas berat  temannya itulah yang mengkhawatirkannya. “Mau beristirahat?”
“Aku baik-baik saja.” Matahachi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat  daripada bulan di atas mereka. Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat  pun hampir tidak dapat melangkahkan kaki.
Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, “Maaf, Takezo. Aku tahu, akulah yang  melambatkan jalan kita. Betul-betul aku minta maaf.”
Beberapa kali pula Takezo hanya menjawab dengan kata-kata, “Lupakan itu.” Tapi akhirnya,  ketika mereka sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada temannya dan  cetusnya, “Coba dengar, akulah yang mestinya minta maaf. Pertama-tama, akulah yang  menjerumuskanmu ke sini, ingat tidak? Kau ingat, bagaimana aku menyampaikan rencanaku  padamu, bahwa akhirnya aku aku akan melakukan sesuatu yang bakal betul-betul mengesankan  ayahku? Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai meninggalnya, Ayah tetap  yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya! Ha!”
Ayah Takezo, Munisai, dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Begitu Takezo  mendengar bahwa Ishida Mitsunari sedang membentuk tentara, ia pun yakin bahwa kesempatan  yang hanya sekali seumur hidup akhirnya datang baginya. Ayahnya seorang samurai. Apakah  tidak sewajarnya kalau ia pun menjadi samurai? Ingin sekali ia memasuki kancah  keributan, untuk membuktikan keberaniannya, untuk membikin berita tersebar seperti api  kebakaran melintas dusun: ia telah memenggal jenderal musuh. Ia sangat ingin membuktikan  dirinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati – bukan hanya sebagai perisau  dusun.
Takezo mengingatkan Matahachi tentang semua itu, dan Matahachi mengangguk. “Aku tahu.  Aku tahu. Tapi aku merasa begitu juga. Bukan hanya kau.”
Takezo melanjutkan, “Aku minta kau mengawaniku, karena kita memang selalu bersama-sama  melakukan semuanya. Tapi perbuatan ibumu itu sungguh mengerikan! Dia berteriak-teriak  mengatakan pada semua orang bahwa aku gila dan brengsek! Dan tunanganmu Otsu, saudara  perempuanku, dan semua orang menangis. Katanya pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di  dusun. Ya, barangkali mereka benar juga. Kita ini anak laki-laki satu-satunya, dan kalau  kita terbunuh, tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Tapi peduli apa? Apa begitu  mestinya hidup?”
Mereka berhasil menyelinap keluar dusun tanpa kelihatan orang, dan merasa yakin tidak  ada lagi penghalang yang memisahkan mereka dengan kehormatan pertempuran. Namun ketika  sampai di perkemahan Shimmen, mereka berhadapan dengan kenyataan perang. Mereka langsung  diberitahu bahwa mereka tidak akan menjadi samurai dalam waktu singkat, bahkan tidak  dalam beberapa minggu, tak peduli siapa ayah mereka. Bagi Ishida dan jenderal-jenderal  lain, Takezo dan Matahachi hanyalah sepasang orang udik, tidak banyak lebihnya dari  anak-anak yang kebetulan memegang sepasang lembing. Paling banyak yang dapat mereka  peroleh adalah izin untuk tinggal di sana sebagai prajurit biasa. Tanggung jawab mereka,  kalaupun dapat dinamakan demikian, hanyalah mengangkut senjata, periuk nasi, dan  alat-alat rumah tangga lainnya, memotong rumput, mempengaruhi geng-geng jalanan, dan  sesekali bertugas sebagai pandu.
“Samurai, ha!” kata Takezo. “Lelucon macam apa pula. Kepala jenderal! Mendekati samurai  musuh saja tidak, apalagi jenderal. Tapi setidak-tidaknya semua itu sudah lewat.  Sekarang apa yang mau kita lakukan? Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian.  Kalau itu kulakukan, bagaimana aku akan menghadapi ibumu dan Otsu?”
“Takezo, aku tidak menyalahkanmu karena kita celaka. Bukan salahmu kita kalah. Kalaupun  ada yang mesti disalahkan, Kobayakawa-lah orangnya. Kobayakawa yang bermuka dua itu.  Betul-betul aku ingin menangkapnya. Akan kubunuh bangsat itu!”
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berdiri di tepi dataran kecil, menyaksikan lautan  miskantus yang serupa buluh, sudah berantakan dan patah-patah terkena badai. Tak ada  rumah. Tak ada cahaya.
Di sini pun banyak mayat, bergelimpangan seperti waktu jatuhnya. Kepala salah satu mayat  itu tergeletak dalam rumput tinggi. Ada juga yang menengadah di sungai kecil. Lainnya  lagi tersangkut dengan anehnya pada seekor kuda mati. Hujan telah membasuh darah, dan  dalam sinar bulan daging mati itu tampak seperti sisik ikan. Di sekitar semua itu, yang  terdengar hanyalah litani giring-giring dan jangkrik musim gugur yang sepi.
Aliran air mata membentuk jalur putih menuruni wajah suram Matahachi, dan ia  memperdengarkan keluhan seorang yang sakit parah.
“Takezo, kalau aku mati, maukah kau mengurus Otsu?”
“Apa yang kau omongkan ini?”
“Aku merasa seperti mau mati.”
Takezo membentaknya, “Nah, kalau memang itu yang kau rasakan, barang kali kau memang  akan mati.” Ia jengkel, karena sesungguhnya ia ingin temannya itu lebih kuat, hingga ia  sendiri dapat menyandarkan diri kepadanya sekali-kali, bukan secara fisik, melainkan  sebagai pendorong.
“Ayolah Matahachi! Jangan seperti bayi cengeng begitu.”
“Kalau ibuku pasti ada yang mengurus, tapi Otsu, dia sendirian di dunia ini. Selamanya  begitu. Kasihan aku padanya, Takezo. Berjanjilah kau akan mengurusnya, kalau aku tak  ada.”
“Kau mesti percaya pada diri sendiri! Tak ada orang mati karena mencret. Cepat atau  lambat kita akan menemukan rumah, dan kalau kita sudah menemukan rumah itu, kutidurkan  kau dan akan kudapatkan obat. Sekarang hentikan rengekan tentang mati itu!”
Lebih jauh sedikit, sampailah mereka di tempat bertumpuknya tubuh-tubuh tanpa nyawa,  hingga kelihatan seolah satu divisi penuh telah disapu habis. Waktu itu sudah hilang  perasaan mereka melihat darah kental. Mata mereka berkaca-kaca menangkap pemandangan itu  dengan sikap masa bodoh yang dingin. Mereka berhenti lagi, beristirahat.
Selagi mereka mengatur napas, terdengar ada yang bergerak di antara mayat-mayat itu.  Keduanya undur ketakutan, dan secara naluriah merundukkan badan dengan mata terbuka  lebar dan perasaan diwaspadakan.
Sosok tubuh itu membuat gerakan melejit cepat, seperti gerakan seekor kelinci yang  terkejut. Dan ketika mata mereka sudah terpusat ke arahnya, terlihat oleh mereka orang  yang entah siapa itu sedang berjongkok rendah. Semula mereka menduga ia seorang samurai  yang tersesat, karena itu mereka menabahkan diri untuk menghadapi pertemuan yang  berbahaya. Tapi alangkah kaget mereka, karena ternyata prajurit dahsyat itu hanyalah  seorang gadis muda. Gadis itu agaknya berumur sekitar tiga belas atau empat belas tahun,  mengenakan kimono dengan lengan digulung. Obi sempit yang membelit pinggangnya sudah  bertambal-tambal di beberapa tempat, namun terbuat dari brokat emas. Di tengah himpunan  mayat itu, ia betul-betul merupakan pemandangan yang ganjil. Ia melayangkan pandang dan  menatap mereka dengan penuh kecurigaan, dengan mata kucing yang licik.
Takezo dan Matahachi heran akan hal yang sama: apa yang menyebabkan gadis itu dating di  malam buta itu?
Sekejap keduanya hanya balas memandang gadis itu. Kemudian Takezo berkata, “Siapa kau?”
Gadis itu mengerdip beberapa kali, berdiri, lalu enyah dari situ.
“Stop!” seru Takezo. “aku cuma mau mengajukan satu pertanyaan padamu. Jangan pergi  dulu!”
Tapi gadis itu sudah pergi, seperti kilasan kilat di tengah malam. Dan bunyi  giring-giring kecil pun menghilang ke dalam ngeri kegelapan.
“Apa kemungkinan itu hantu?” renung Takezo keras, sementara ia memandang kosong ke dalam  kabut tipis.
Matahachi menggigil sedikit, tapi memaksakan diri tertawa. “Kalau ada hantu di sini,  tentunya hantu serdadu-serdadu itu, kan?”
“Sayang aku telah membikin takut gadis itu,” kata Takezo. “Tentunya ada dusun di  dekat-dekat sini. Dan dia tentunya bisa memberikan petunjuk pada kita.”
Mereka berjalan terus, mendaki bukit pertama dari dua bukit yang ada di hadapan mereka.  Di cekungan sebelah sana terdapat paya-paya yang menghampar ke selatan Gunung Fuwa. Dan  tampak cahaya, hanya setengah mil jauhnya.
Ketika mendekati rumah pertanian itu, terasa oleh mereka bahwa rumah itu bukan sekedar  rumah biasa. Kelihatan dari tembok tanah tebal yang mengelilinginya. Juga dari pintu  gerbangnya yang boleh dikatakan megah. Atau setidaknya sisa-sisanya, karena pintu  gerbang itu sudah tua dan sudah sangat memerlukan perbaikan.
Takezo mendekati pintu dan mengetuk-ngetuk pelan. “Permisi!”
Karena tidak ada jawaban, ia mencoba sekali lagi. “Maaf kami mengganggu pada jam seperti  ini, tapi temanku ini sakit. Kami tak ingin menyusahkan – dia perlu istirahat sedikit.”
Mereka mendengar orang berbisik-bisik di dalam, dan akhirnya terdengar bunyi orang  berjalan ke pintu.
“Kalian yang berkeliaran di Sekigahara, kan?” Suara itu datang dari seorang gadis muda.BAGIA
“Betul,” kata Takezo. “Kami bawahan Lord Shimmen dari Iga.”
“Menyingkirlah! Kalau kalian ditemukan orang di sini, kami bisa celaka.”
“Betul-betul kami minta maaf telah mengganggu seperti ini, tapi kami telah lama sekali  berjalan. Temanku ini butuh sedikit istirahat, hanya itu, dan …”
“Pergilah. Menyingkirlah!”
“Baiklah, kalau memang itu yang Anda kehendaki. Tapi apa tak bisa temanku ini diberi  obat? Perutnya sakit sekali sekali, hingga sukar bagi kami berjalan terus.”
“Entahlah….”
Beberapa waktu kemudian, mereka mendengar langkah-langkah kaki dan bunyi dering kecil  menjauh ke dalam rumah, makin lama makin lemah.
Baru pada waktu itulah mereka melihat wajah itu. Wajah itu tampak di jendela samping,  wajah seorang wanita, dan wajah itu memperhatikan mereka terus.
“Akemi,” serunya, “biar mereka masuk. Mereka prajurit biasa. Patroli Tokugawa tak akan  membuang-buang waktu buat mereka. Mereka tak dikenal.”
Akemi membuka pintu, dan wanita yang memperkenalkan diri sebagai Oko itu pun datang  untuk mendengarkan cerita Takezo.
Maka disetujuilah bahwa mereka tidur di lumbung. Untuk mengobati sakit perutnya,  Matahachi mendapat tepung arang magnolia dan bubur beras encer dengan campuran bawang.  Beberapa hari berturut-turut ia tidur terus-menerus, sedangkan Takezo duduk berjaga-jaga  di sampingnya, sambil mengobati luka-luka peluru di pahanya dengan minuman keras murah.
Pada suatu malam, kira-kira seminggu kemudian, Takezo dan Matahachi duduk mengobrol.
“Mereka tentunya punya usaha tertentu,” kata Takezo.
“Aku tak peduli dengan kerja keras mereka. Aku senang mereka telah menerima kita.”
Tetapi rasa ingin tahu Takezo telah bangkit. “Ibunya belum begitu tua,” sambungnya.  “Aneh, bahwa mereka berdua hidup sendiri di pegunungan ini.”
“Hm. Apa menurut pendapatmu gadis itu agak mirip Otsu?”
“Memang ada sesuatu padanya yang membuat aku ingat Otsu, tapi kukira mereka tidak  betul-betul serupa. Keduanya manis, titik. Menurutpendapatmu, apa yang sedang dia  lakukan waktu pertama kali kita melihatnya itu? Merangkak-rangkak di antara mayat-mayat  itu di tengah malam? Dan kelihatannya pekerjaan itu tidak mengganggunya sama sekali. Ha!  Masih terbayang olehku hal itu. Wajahnya tenang dan tenteram, seperi boneka buatan  Kyoto. Sungguh gambaran yang luar biasa!”
Matahachi memberi isyarat pada Takezo untuk diam.
“Ssst! Kudengar giring-giringnya.”
Ketukan ringan Akemi di pintu terdengar seperti ketukan burung pelatuk. “Matahachi,  Takezo,” panggilnya lembut.
“Ya?”
“Ini aku.”
Takezo berdiri dan membuka kunci. Gadis itu membawa sebaki obat-obatan dan makanan, dan  bertanya tentang kesehatan mereka.
“Jauh lebih baik. Terima kasih untukmu. Juga untuk ibumu.”
“Ibu bilang, biar kalian sudah sehat, kalian jangan bicara terlalu keras atau pergi  keluar.”
Takezo pun menjawab atas nama mereka berdua. “Kami minta maaf sudah membikin repot  kalian.”
“Oh, tidak apa-apa. Cuma kuminta kalian berhati-hati. Ishida Mitsunari dan beberapa  jenderal lain belum tertangkap. Mereka mengawasi daerah ini dengan ketat, dan  jalan-jalan penuh dengan pasukan Tokugawa.”
“Betul?”
“Makanya, biar kalian cuma prajrit biasa. Ibu bilang, kalau kami tertangkap  menyembunyikan kalian, kami akan ditahan.”
“Kami tak akan bikin rebut,” janji Takezo. “Malahan muka Matahachi akan kututup kain,  kalau dia mendengkur terlalu keras.”
Akemi tersenyum, membalikkan badan untuk pergi, dan katanya, “Selamat malam. Aku akan  datang lagi besok pagi.”
“Tunggu!” kata Matahachi. “Apa salahnya kau datang ke sini, bicara dengan kami sedikit?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Ibu nanti marah.”
“Peduli apa dengan ibumu? Berapa tahun umurmu?”
“Enam belas.”
“Kalau begitu, badanmu terlalu kecil, ya?”
“Terima kasih atas komentar itu.”
“Di mana ayahmu?”
“Tidak punya lagi.”
“Maaf. Lalu bagaimana kalian hidup?”
“Kami bikin moxa.”
“Obat yang dibakar di kulit buat menghilangkan sakit itu?”
“Ya, moxa daerah ini terkenal. Musim semi kami memotong mugwort di Gunung Ibuki. Musim  panas mengeringkannya, lalu musim gugur dan dingin membuatnya jadi moxa. Kami jual di  Tarui. Orang datang dari mana-mana hanya untuk beli moxa itu.”
“Kiranya kalian tidak butuh lelaki untuk mengerjakan itu.”
“O, kalau itu yang ingin kalian ketahui, lebih baik aku pergi.”
“Nanti dulu, sedikit lagi,” kata Takezo. “Ada satu pertanyaan lagi.”
“Apa itu?”
“Malam ketika kami datgn kemari itu, kami melihat seorang gadis di medan pertempuran,  dan dia mirip sekali denganmu. Apa itu kau?”

Akemi cepat membalikkan badan dan membuka pintu.
“Apa kerjamu di sana?”
Gadis itu membanting pintu di belakangnya. Dan ketika ia berjalan ke rumah itu,  giring-giring kecil pun berdering dengan iramanya yang aneh dan sumbang.۩








































Sisir



Dengan tinggi sekitar 1,75 meter, Takezo cukup jangkung untuk orang sezamannya. Tubuhnya  seperti tubuh kuda yang indah: kuat dan lentur, dengan kaki panjang berotot. Bibirnya  penuh, berwarna merah tua, dan alisnya yang hitam tebal jadi tampak tidak lebat karena  bentuknya yang indah. Karena jauh melampaui sudut-sudut luar matanya, alis itu pun  menambah kejantanannya. Orang-orang kampung menyebutnya anak tahun yang gemuk, suatu  ungkapan yang hanya dipakai untuk anak dengan badan lebih besar dari rata-rata. Sebutan  itu jauh dari maksud menghina, tapi bagaimanapun membuatnya ada jarak dengan anak-anak  muda lain, dan itu membuatnya cukup malu pada masa kanak-kanaknya.
Ungkapan itu tidak pernah dipergunakan untuk menggambarkan Matahachi, namun dapat pula  dikenakan padanya. Ia agak lebih pendeka dan pejal daripada Takezo, dadanya bidang dan  besar, dan wajahnya bulat, memberikan kesan periang, kalau bukan sifat badut sejati.  Matanya yang besar dan sedikit menonjol itu cenderung bergerak ketika ia berbicara, dan  kebanyakan lulucon yang dibuat orang untuk merendahkannya berpusat pada kemiripannya  dengan katak yang yak henti-hentinya berdengkung pada malam-malam musim panas.
Kedua pemuda itu sedang berada di puncak usia pertumbuhan mereka, dan karenanya cepat  pulih dari sebagian besar penyakit. Ketika luka-luka Takezo sudah sepenuhnya sembuh,  Matahachi pun tidak dapat lagi menahan hambatan yang dirasakannya. Mulailah ia berjalan  mondar-mandir di seputar lumbung, dan tak henti-hentinya mengeluh karena merasa  terkurung. Tidak hanya sekali ia membuat kesalahan, dengan mengatakan bahwa ia merasa  seperti jangkrik di dalam lubang yang gelap dan jangrik memang suka pada suasana hidup  seperti itu. Matahachi tentunya telah mulai mengintip kedalam rumah, karena pada suatu  hari ia mendekatkan mulutnya kepada teman seselnya itu, seolah hendak menyampaikan  berita yang mengguncangkan dunia. Tiap malam, bisiknya genting, janda itu membedaki  mukanya dan mempercantik diri! Muka Takezo pun jadi seperti anak umur dua belas tahun  yang benci anak gadis, melihat pengkhianatan teman karibnya yang makin tertarik kepada  mereka itu. Matahachi sudah menjadi pengkhianat kini, dan pandangan mata Takezo pun  tidak salah lagi mengungkapkan kemuakan.
Matahachi mulai kerap pergi ke rumah itu, duduk-duduk di dekat perapian bersama Akemi  dan ibunya yang masih muda. Sesudah tiga atau empat hari mengobrol dan berkelakar dengan  mereka, tamu yang ramah itu pun sudah menjadi anggota keluarga. Ia tidak kembali ke  lumbung, juga pada malam hari, dan kalau kadang-kadang pulang, napasnya berbau sake. Ia  mencoba membujuk Takezo datang ke rumah itu, dengan menyanyikan puji-pujian terhadap  kehidupan yang baik, yang hanya beberapa meter jauhnya dari tempat itu.
Gila kau! jawab Takezo gusar. Kau bisa bikin kita terbunuh, atau setidaknya  tertangkap. Kita ini sudah kalah, jadi gelandangan – apa kau belum juga mengerti? Kita  mesti berhati-hati dan bersembunyi, sampai keadaan mereda.
Tapi dengan segera ia bosan mencoba mengajak temannya yang cinta kenikmatan itu untuk  berpikiran sehat, dan mulailah ia menghentikan omongan temannya dengan jawaban-jawaban  ringkas.
Aku tidak suka sake, atau kadang-kadang, Aku lebih suka di sini. Santai.
Tapi Takezo sendiri akhirnya mulai sinting juga. Ia merasa bosan bukan kepalang, dan  mulai memperlihatkan tanda-tanda mengalah. Apa betul-betul aman? tanyanya. Maksudku  sekitar sini? Apa tak ada tanda-tanda patroli? Apa kau yakin?
Maka, sesudah terkubur dua puluh hari lamanya dalam lumbung itu, akhirnya ia keluar  seperti tawanan perang yang setengah kelaparan. Kulitnya tampak jernih pucat, seperti  mayat, lebih-lebih ketika ia berdiri di samping temannya yang sudah terbakar matahari  dan sake itu. Dipandangnya langit biru yang terang, dan sambil merentangkan kedua  tangannya lebar-lebar, ia pun menguap dengan nikmatnya. Ketika mulutnya yang besar itu  akhirnya menutup kembali, terlihatlah bahwa alisnya waktu itu mengait. Wajahnya tampak  resah.
Matahachi, katanya sungguh-sungguh, kita terlalu memaksakan keinginan pada  orang-orang ini. Mereka sekarang menghadapi resiko besar gara-gara kita di sini. Kupikir  kita harus berusaha pulang sekarang.
Kau benar, kata Matahachi. Tapi tak seorang pun dapat melewati rintangan itu tanpa  pemeriksaan. Jalan ke Ise dan Kyoto tak bisa ditempuh, menurut janda itu. Katanya, kita  mesti bertahan sampai salju turun. Gadis itu juga bilang begitu. Dia yakin mesti tetap  bersembunyi. Dan kau tahu, dia selalu pergi ke mana-mana setiap hari.
Kau bilang duduk di dekat api sambil minum itu bersembunyi?
Tentu. Tahu tidak, apa yang sudah kulakukan? Beberap hari yang lalu orang-orang  Tokugawa datang mengintai; mereka masih mencari Jenderal Ukita. Dan aku bisa melepaskan  diri dari bajingan-bajingan itu hanya dengan keluar dan menyapa mereka. Mata Takezo  membelalak tak percaya mendengar itu, sedangkan Matahachi tertawa terbahak-bahak.  Setelah tawanya reda, ia pun melanjutkan. Kau lebih selamat di tempat terbuka daripada  meringkuk di lumbung, sambil mendengarkan langkah-langkah kaki orang dan dibikin gila  olehnya. Inilah yang mau kukatakan padamu. Matahachi tertawa terpingkal-pingkal,  sedangkan Takezo mengangkat bahu.
Barangkali kau benar. Itu bisa jadi cara terbaik untuk mengatasi persoalan.
Takezo masih juga mengajukan persyaratan, tapi sesudah percakapan itu, ia pun ikut pergi  ke rumah tersebut. Oko, yang agaknya senang kalau ada orang lain, terutama laki-laki,  berusaha membuat mereka betul-betul kerasan. Namun sekali-kali ia membuat kedua pemuda  itu terlonjak dengan sarannya agar seorang dari mereka mengawini Akemi. Tapi ini agaknya  lebih membikin bingung Matahachi daripada Takezo. Takezo mengabaikan saja saran itu,  atau menandinginya dengan kata-kata lucu.
Waktu itu musim matsutake yang lezat dan harum, yang tumbuh di pangkal-pangkal  pohon-pohon pinus, dan Takezo cukup terhibur mencari jamur-jamur besar di gunung yang  berhutan, di belakang rumah itu. Sambil memegang keranjang, Akemi mencari jamur itu dari  pohon ke pohon. Setiap kali tercium baunya, suaranya yang tanpa dosa itu pun menggema di  tengah hutan.
Takezo, sini! Banyak di sini!
Dan kalau sedang mencari-cari di dekatnya, Takezo pun selalu menjawab, Di sini juga  banyak!
Sinar matahari musim gugur menerobos tipis dan miring ke arah mereka, lewat  ranting-ranting pinus. Babut daun pinus di tempat teduh yang sejuk di bawah  pohon-pohonan itu bagaikan bunga mawar yang lunak berdebu. Setelah lelah, Akemi pun  menantang Takezo sambil terkikik, Mari kita lihat, siapa yang paling banyak!
Aku! jawab Takezo pasti. Mendengar itu, Akemi pun mulai memriksa keranjang Takezo.
Hari ini tidak beda dengan hari-hari lain. Ha, ha! Aku tahu! teriak Akemi. Dengan rasa  kemenangan penuh kegembiraan yang hanya bisa terjadi pada gadis semuda itu, dan tanpa  kesadaran diri ataupun sikap sopan yang dibuat-buat, ia pun menunduk ke keranjang  Takezo. Yang banyak kau dapat itu jamur payung! Lalu ia pun membuangi jamur beracun  itu satu per satu, bukan sambil menghitungnya keras-keras, melainkan diiringi gerakan  yang begitu pelan dan disengaja, hingga Takezo hampir tidak dapat mengabaikannya,  sekalipun dengan mata terpejam, Akemi melontarkan masing-masing jamur itu  sejauh-jauhnya. Selesai dengan tugas itu, ia pun menengadah dengan wajah membinarkan  rasa puas diri.
Sekarang lihat, aku dapat jauh lebih banyak daripada kau!
Sudah siang sekarang, gumam Takezo. Mari pulang.
Kau marah karena kalah, kan?
Akemi pun berlari kencang seperti ayam pegar menuruni sisi bukit, tapi sekonyong-konyong  ia berhenti, wajahnya dipenuhi rasa terkejut. Seorang lelaki raksasa datang lurus  mendekat lewat belukar, setengah jalan menuruni lereng bukit; langkah-langkhanya panjang  dan tenang, matanya yang tajam menatap langsung kepada gadis muda yang rapuh di  hadapannya. Orang itu tampak primitif luar biasa. Segala sesuatu pada dirinya bernada  perjuangan untuk tetap hidup, dan ia menampakkan ciri suka berkelahi: alis yang lebat  dan ganas, dan bibir atas yang tebal melingkar; pedang berat, jubah zirah, dan kulit  binatang melengkapi dirinya.
Akemi! raungnya seraya mendekati gadis itu. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan  giginya yang kuning melapuk, tapi wajah Akemi tetap saja menyiratkan kengerian belaka.
Apa ibumu yang hebat itu ada di rumah? tanyanya dengan ejekan yang dibuat-buat.
Ya, cicit Akemi.
Nah, kalau nanti kau pulang, ceritakan sesuatu padanya. Mau tidak? Ejekan itu  diucapkannya dengan sopan.
Ya.
Dan kini nadanya berubah kasar. Katakan padanya, jangan mempermainkan aku dengan  menimbun uang tanpa sepengetahuanku. Katakan aku akan datang segera untuk mengambil  bagianku. Mengerti?’
Akemi diam saja.
Dia pikir barangkali aku tidak tahu, tapi orang yang dijuali barang-barang itu datang  langsung padaku. Aku berani bertaruh, kau pergi juga ke Sekigahara, bukan, Nak?
Ah, tidak! protes Akemi lemah.
Ya, tak apalah. Cuma sampaikan padanya apa yang kukatakan tadi. Kalau dia main tidak  jujur lagi, akan kutendang dia keluar dari daerah ini. Ia menyorot gadis itu sesaat  dengan matanya, kemudian pergi dengan lamban ke arah paya.
Takezo mengalihkan matanya dari orang asing itu kepada Akemi, dengan penuh minat. Siapa  orang itu?
Dengan bibir masih menggeletar Akemi menjawab lesu, Namanya Tsujikaze. Dia dari kampung  Fuwa. Suara Akemi hampir tak lebih dari bisikan.
Dia bandit, kan?
Ya.
Kenapa dia begitu marah?
Akemi berdiri saja tanpa menjawab.
Tak akan kuceritakan itu pada orang lain, kata Takezo, mencoba meyakinkan Akemi. Apa  tak bisa kau menceritakannya padaku?
Akemi, yang jelas merasa tak senang, agaknya sedang mencari-cari kata. Dan tiba-tiba ia  pun menyandarkan diri ke dada Takezo dan memohon, Kau janji taka akan bercerita pada  orang lain?
Siapa yang akan kuceritai? Samurai Tokugawa?
Ingat waktu kau pertama kali melihatku malam itu? Di Sekigahara?
Tentu saja ingat.
Nah, apa belum kau bayangkan, apa yang kulakukan waktu itu?
Belum, aku belum pernah memikirkannya, kata Takezo dengan wajah sungguh-sungguh.
Nah, waktu itu aku mencuri! Lalu ia pun menatap Takezo dekat-dekat, untuk menaksir  reaksi Takezo.
Mencuri?
Sesudah pertempuran, aku pergi ke medan, mengambili barang-barang serdadu yang tewas:  pedang, hiasan sarung pedang, kantong kemenyan –– apa saja yang dapat kami jual. Ia  memandang Takezo lagi untuk menangkap tanda-tanda sikap tidak setuju, tetapi wajah  Takezo tidak memperlihatkannya sama sekali. Pekerjaan itu mengerikan, keluhnya  kemudian, lalu berubah bersikap pragmatis, tapi kami butuh uang untuk makan. Kalau aku  bilang tak mau pergu, Ibu marah.
Matahari masih cukup tinggi di langit. Atas saran Akemi, Takezo duduk di rumput. Lewat  pohon-pohon pinus, mereka dapat memandang ke bawah, ke rumah di tengah paya itu.
Takezo mengangguk pada diri sendiri, seolah sedang membayangkan sesuatu. Sejenak  kemudian ia berkata, Kalau begitu, cerita tentang memotong mugwort dan membuat moxa itu  bohong semuanya?
O, tidak. Kami mengerjakan itu juga! Tapi selera Ibu begitu mahal. Tak mungkin kami  dapat hidup dari moxa saja. Ketika ayahku masih hidup, kami tinggal di rumah terbesar di  kampung ini, malahan boleh dibilang di tujuh dusun yang ada di Ibuki. Kami punya banyak  pelayan, dan Ibu selalu punya barang-barang bagus.
Apa ayahmu pedagang?
O, tidak. Dia pemimpin bandit setempat. Mata Akemi bersinar penuh kebanggaan.  Jelaslah, ia tidak lagi takut akan reaksi Takezo, dan kini ia melepaskan perasaan  sebenarnya. Rahangnya mantap, tangannya yang kecil mengepal pada waktu bicara.  Tsujikaze Temma, orang yang baru kita jumpai tadi, itulah yang membunuhnya. Paling  tidak, begitulah kata semua orang.
Maksudmu, ayahmu dibunuh?
Sambil mengangguk diam, Akemi mulai menangis, sekalipun ia berusaha menahannya. Takezo  merasa sesuatu yang berada jauh di dalam dirinya mulai mencair. Semula ia tidak menaruh  simpati pada gadis itu. Sekalipun gadis itu lebih kebanyakan dari gadis yang sudah  berumur enam belas tahun, namun bicaranya seperti wanita dewasa, dan sering kali ia  membuat gerakan cepat yang membuat orang lain berjaga-jaga. Tapi ketika air mata mulai  menitik dari bulu matanya yang panjang, tiba-tiba Takezo pun jadi meleleh oleh rasa  kasihan. Ia ingin mendekap gadis itu untuk melindunginya.
Gadis itu bukanlah gadis yang dibesarkan seperti biasa. Agaknya tak pernah ia  pertanyakan, apakah di dunia ini tidak ada yang lebih mulia daripada pekerjaan ayahnya.  Ibunya telah meyakinkannya bahwa tak ada salahnya melucuti mayat, bukan untuk makan,  melainkan untuk hidup layak. Banyak pencuri sejati enggan melakukan pekerjaan itu.
Selama bertahun-tahun berlangsungnya perselisihan kaum feodal, keadaan telah menjadikan  semua manusia, sampai yang pemalas di pedesaan, terhanyut oleh cara hidup seperti ini.  Orang banyak pun lebih-kurang memang telah minta mereka melakukan hal itu. Ketika perang  pecahn para penguasa militer setempat bahkan memanfaatkan jasa-jasa mereka dan  memberikan imbalan melimpah pada mereka atas jasa membakar perbekalan musuh, menyebarkan  desas-desus bohong, mencuri kuda dari kamp-kamp musuh, dan lain-lain hal seperti itu.  Yang paling sering terjadi adalah jasa-jasa mereka dibeli orang. Tapi, sekalipun tidak  dibeli, perang menawarkan banyak kesempatan. Di samping berkelaiaran di antara  mayat-mayat untuk mengumpulkan barang-barang berharga, kadang-kadang mereka berhasil  mendapat hadiah dari menyerahkan kepala samurai yang kebetulan tersandung oleh mereka  dan kemudian mereka pungut. Satu saja pertempuran besar sudah cukup bagi para pencuri  bejat ini hidup senang enam bulan atau setahun.
Pada waktu-waktu bergolak, petani atau pembelah kayu biasa pun sudah tahu mengambil  keuntungan dari kesengsaraan orang dan pertumpahan darah. Perkelahian di luar kampung  sendiri sudah bisa membuat orang-orang sederhana ini meninggalkan pekerjaan, dan dengan  cakapnya mereka menyesuaikan diri dengan situasi, dan menemukan cara untuk memunguti  sisa-sisa hidup manusia lain, seperti burung pemakan bangkai. Sebagian karena gangguan  inilah para penjarah professional menetapkan perlindungan keras atas wilayah  masing-masing. Sudah menjadi peraturan keras bahwa para pemburu liar, yaitu  perampok-perampok yang melanggar hak-hak yang telah dimiliki para penjahat kejam ini  dapat dikenai pembalasan dendam.
Akemi pun menggigil, dan katanya, Apa akal kita? Orang-orang bayaran Temma sedang dalam  perjalanan kemari sekarang. Aku tahu itu.
Jangan khawatir, kata Takezo meyakinkannya. Kalau mereka nanti muncul, aku sendiri  yang akan menyambut mereka.
Ketika mereka turun bukit, senja telah turun di atas paya itu, dan segalanya sunyi.  Jejak asap api pemandian di rumah itu merayap di area puncak jajaran rumput mendong,  seperti ular yang melenggok-lenggok di langit. Oko sedang berdiri santai di pintu  belakang, seusai melakukan riasan malam. Ketika melihat anak perempuannya datang bersama  Takezo, ia pun berseru, Akemi, apa kerjamu sampai begini larut?
Terasa benar tajamnya mata dan suaranya. Gadis itu pun segera tersadar, sesudah begitu  lama ia berjalan dengan kepala kosong. Ia memang lebih peka terhadap suasana hati ibunya  daripada apa pun di dunia ini. Ibunya telah menanamkan kepekaan ini dan telah berhasil  memanfaatkannya, mengendalikan anak gadis itu seperti boneka, hanya dengan pandangan  atau gerak-geriknya. Cepat-cepat Akemi menjauh dari sisi Takezo, dan dengan wajah  memerah ia pun mendahului dan masuk rumah.
Hari berikutnya, Akemi menyampaikan pada ibunya tentang Tsujikaze Temma. Oko naik pitam.
Kenapa tidak cepat-cepat kau ceritakan? raungnya sambil menyeruduk ke sana kemari  seperti perempuan gila, menarik-narik rambutnya, mengeluar-ngeluarkan barang dari laci  dan lemari dan mengonggokkan semuanya di tengah kamar.
Matahachi! Takezo! Bantu aku! Semua ini mesti kita sembunyikan.
Matahachi menggeser sebuah papan yang ditunjukkan oleh Oko, lalu ia menempatkan diri di  atas langit-langit. Tak banyak ruangan antara langit-langit dan kasau itu. Orang hampir  tidak dapat merangkak di situ, tapi cukuplah itu untuk memenuhi kebutuhan Oko, dan  terutama agaknya kebutuhan almarhum suaminya. Takezo berdiri di atas bangku, di antara  ibu dan anak, dan mulai mengulurkan barang-barang itu satu persatu kepada Matahachi.  Jika Takezo tidak mendengar cerita Akemi hari sebelumnya, tidak bakal ia tidak merasa  kagum melihat keanekaragaman barang-barang yang sekarang dilihatnya.
Takezo tahu ibu dan anak ini sudah lama melakukan pekerjaan itu, namun demikian sungguh  mengagumkan. Betapa banyaknya barang yang mereka timbun. Ada belati, umbai lembing,  lengan baju zirah, helm tanpa mahkota, kuil mini yang dapat dibawa-bawa, tasbih Budha,  tiang bendera. Bahkan ada sandal berlak berukir indah dan bertatah emas, perak, dan  indung mutiara.
Dari lubang di langit-langit, Matahachi mengintip keluar dengan wajah bingung. Sudah  semua?
Tidak, ada satu lagi, kata Oko seraya pergi cepat-cepat. Sesaat kemudian ia sudah  kembali membawa sebilah pedang, satu seperempat meter panjangnya, dari kayu ek hitam.  Takezo mulai mengeluarkan barang itu pada Matahachi, tetapi bobot, lengkung dan  sempurnanya keseimbangan senjata itu demikian mengesankannya, sampai tak dapat ia  melepaskannya.
Ia pun menoleh kepada Oko dengan pandangan tersipu. Apa tak bisa Ibu menghadiahkan ini  padaku? tanyanya dengan mata memancarkan kepasrahan. Ia memandang kakinya sendiri,  seakan-akan hendak mengatakan bahwa ia memang belum melakukan sesuatu yahg pantas  mendapat ganjaran pedang itu.
Apa kau betul-betul menginginkannya? jawab nyonya itu dengan lembut, dengan nada  seorang ibu.
Yaya tentu!
Sekalipun wanita itu tidak benar-benar mengatakan Takezo boleh memilikinya, namun ia  tersenyum, memperlihatkan dekik pipinya, dan tahulah Takezo bahwa pedang itu sudah  menjadi miliknya. Matahachi melompat turun dari langit-langit, meledak oleh rasa iri. Ia  pun meraba-raba pedang itu dengan tamaknya, membuat Oko tertawa.
Coba lihat, orang kecil ini merajuk karena tidak dapat hadiah! Ia mencoba  menenteramkan hati Matahachi dengan memberikan pundit-pundi kulit yang manis dan berbatu  akik. Matahachi tidak tampak terlalu senang. Matanya terus tertuju kepada pedang kayu ek  hitam itu. Perasaannya terluka, dan pundit-pindi itu hanya sedikit dapat menyembuhkan  harga dirinya yang terluka.
Keika suaminya masih hidup, Oko rupanya punya kebiasaan mandi uap secara santai tiap  malam, merias diri, dan kemudian minum sedikit sake. Singkatnya, ia menghabiskan waktu  untuk merias diri sebanyak yang dihabiskan geisha yang terbesar bayarannya. Ini bukanlah  jenis kemewahan yang dapat dikembangkan oleh orang biasa, tetapi ia berkeras  melakukannya, bahkan ia telah mengajar Akemi mengikuti kebiasaan yang sama itu,  sekalipun gadis itu menganggapnya menjemukan, dan alasannya tidak dapat ia pahami. Oko  tidak hanya suka senang; ia pun berketetapan untuk tetap muda selama-lamanya.
Malam itu, selagi mereka duduk di sekitar perapian ceruk, Oko menuangkan sake untuk  Matahachi dan mencoba meyakinkan Takezo untuk juga mencobanya. Ketika Takezo menolak, ia  letakkan mangkuk itu ke tangan Takezo, ia tangkap pergelangan tangannya, dan ia paksa  Takezo mengangkat mangkuk itu ke bibirnya.
Laki-laku sudah sewajarnya minum, umpatnya. Kalau kau tidak dapat melakukannya  sendiri, akan kubantu.
Berulang kali Matahachi menatap Oko denga perasaan tak enak. Sada akan pandangan  Matahachi itu, Oko bahkan semakin berani terhadap Takezo. Sambil meletakkan tangannya  secara main-main di lutut Takezo, mulailah ia mendendangkan lagu cinta yang sedang  popular.
Sampai di sini, Matahachi pun merasa sudah sampai batas kesabarannya. Sambil tiba-tiba  menoleh kepada Takezo, ia berucap, Kita mesti lekas meneruskan perjalanan!
Ucapan ini mencapai sasarannya. Tapi tapi ke mana kalian akan pergi? Tanya Oko  terbata-bata.
Kembali ke Miyamoto. Ibuku dan tunanganku tinggal di sana.
Oko hanya sekejap terkejut; sebentar kemudian ia sudah dapat menguasai dirinya kembali.  Matanya menyempit, senyumnya membeku, dan suaranya menjadi getir. Nah, harap dimaafkan  karena aku telah menghambat kalian, telah menerima kalian, dan memberikan tempat pada  kalian. Kalau memang ada gadis yang menanti kalian, lebih baik kalian lekas-lekas saja  pulang. Jangan kiranya aku menahan kalian!

Sesudah menerima pedang ek hitam itu, Takezo tak pernah lagi terpisah darinya.  Memegangnya saja merupakan kenikmatan yang tak terlukiskan baginya. Sering ia meremas  gagang pedang itu erat-erat, atau menggesekkan sisinya yang tumpul pada telapak  tangannya, hanya untuk merasakan betapa sesuai lengkung dengan panjangnya. Bila tidur ia  dekap pedang itu ke tubuhnya. Sentuhan dingin permukaan kayu itu pada pipinya  mengingatkannya pada lantai dojo, di mana ia pernah mempraktekkan teknik-teknik main  pedang pada musim dingin. Alat yang hampir sempurna, dan sekaligus merupakan benda seni  dan maut ini, membangkitkan kembali di dalam dirinya semangat tempur yang telah ia  warisi dari ayahnya.
Takezo mencintai ibunya, tetapi ibu itu telah meninggalkan ayahnya dan pergi ketika  Takezo masih kecil, meninggalkannya sendirian dengan Munisai, seorang ayah yang gila  tata tertib, yang tak tahu bagaimana memanjakan anak dalam suasana yang tidak  menguntungkan seperti itu. Apabila ayahnya ada, anak itu selalu merasa kikuk dan  ketakutan, tidak pernah merasa santai. Ketika berumur sembilan tahun, begitu besar  hasratnya akan kata manis ibunya, hingga ia pernah melarikan diri dari rumah dan nekat  pergi ke Propinsi Harima, tempat ibunya tinggal. Takezo tak pernah mengerti mengapa ibu  dan ayahnya bercerai, dan pada umur sekian, penjelasan tentang itu pun tidak akan banyak  menolong. Ibunya telah kawin dengan samurai lain, dan mendapat seorang anak lagi.
Begitu pelarian kecil itu sampai di Harima, ia tidak membuang-buang waktu lagi untuk  menemukan ibunya. Ibunya lalu membawanya ke daerah hutan di belakang kuil setempat,  supaya tidak kelihatan orang, dan di sana sambil berurai air mata ia pun memeluk anaknya  itu erat-erat dan menyuruhnya kembali kepada ayahnya. Takezo tak pernah melupakan adegan  itu; setiap detailnya akan tetap hidup dalam kenangannya, sepanjang umurnya.
Sebagai seorang samurai, tentu saja Munisai mengirimkan orang-orangnya untuk memperoleh  kembali anaknya, begitu ia mengetahui anaknya hilang. Sudah jelas ke mana perginya anak  itu. Takezo pun dikembalikan ke Miyamoto seperti seikat kayu bakar, diikat di punggung  kuda yang tidak bersadel. Sebagai pembuka, Munisai menyebutnya anak bandel yang kurang  ajar, dan dengan keberangan yang hampir mencapai histeris, ia sabet anaknya sampai ia  tak kuat menyabet lagi. Takezo ingat lebih gamblang daripada apa pun di dunia ini,  betapa sengit ultimatum ayahnya waktu itu. Kalau sekali lagi kau pergi ke ibumu, tak  akan kuakui kau sebagai anak.
Tidak lama sesudah kejadian itu. Takezo mendengar kabar bahwa ibunya jatuh sakit dan  meninggal. Kematian itu berakibat berubahnya Takezo dari seorang anak pendiam dan  pemurung menjadi anak kampung yang jail. Munisai pun akhirnya menjadi takut. Ketika ia  mendatangi anak itu dengan pentung, anak itu menantangnya dengan tongkat kayu.  Satu-satunya orang yang bisa menandinginya adalah Matahachi, yang juga anak seorang  samurai; semua anak lain tunduk pada perintah Takezo. Waktu ia berumur dua belas atau  tiga belas tahun, badannya sudah hampir setinggi orang dewasa.
Pada suatu kali, seorang pemain pedang pengembara bernama Arima Kihei menaikkan  panji-panji berhias emas, dan menyatakan siap melawan siapa saja penantang dari kampung  itu. Takezo berhasil membunuh orang itu tanpa kesukaran, dan mendapat pujian dari  orang-orang kampung atas keberaniannya.
Namun penghargaan itu singkat saja umurnya, karena bersamaan dengan bertambahnya umur,  ia pun jadi semakin tak dapat dikendalikan dan brutal. Banyak orang yang menganggapnya  sadis, dan apabila ia muncul di suatu tempat, orang pun segera menyingkir. Sikap Takezo  terhadap mereka semakin menjelaskan sikap dingin mereka terhadapnya.
Ketika ayahnya yang tetap keras dan kasar akhirnya meninggal, unsur kejam di dalam diri  Takezo lebih membesar lagi. Kalau tidak karena kakak perempuannya, Ogin, Takezo  barangkali sudah lebih tak bisa dikendalikan lagi dan telah diusir dari kampung oleh  penduduk yang marah. Untunglah ia menyayangi kakaknya, dan karena tak tahan melihat air  mata kakaknya, biasanya ia pun melakukan apa saja yang diminta kakaknya.
Pergi perang bersama Matahachi merupakan titik balik bagi Takezo. Hal itu menunjukkan  bahwa bagaimanapun ia mau merebut kedudukan di tengah masyarakat, sejajar dengan  orang-orang lain. Tetapi kekalahan di Sekigahara sekonyong-konyong telah menghilangkan  harapan-harapan seperti itu, dan ia pun mendapati dirinya sekali lagi tercebur ke dalam  kenyataan gelap yang menurut anggapannya telah ia tinggalkan. Namun ia seorang pemuda  yang diberkati sifat riang yang mulia, yang hanya dapat berkembang di zaman perjuangan.  Selagi tidur, wakjahnya setenang wajah bayi, sama sekali tak terusik oleh  pikiran-pikiran hari esok. Memang ia mengalami juga mimpi-mimpi, baik di waktu tidur  maupun terjaga, tapi tidak banyak ia mengalami kekecewaan yang sebenar-benarnya. Karena  modalnya hanya sedikit, maka hanya sedikit pula ia kehilangan; sekalipun dalam makna  tetentu ia sudah tercerabut, namu ia terbebaskan juga dari belenggu.
Melihat napasnya yang dalam dan tetap, sementara ia memeluk erat pedang kayunya itu,  barangkali Takezo sedang bermimpi; senyuman halus tersungging pada bibirnya, sedangkan  bayangan kakak perempuannya yang lembut dan kota kelahirannya yang damai berpancaran  turun seperti air terjun dari gunung, di hadapan matanya yang terpejam dan berbulu lebat  itu, Oko menyelinap ke dalam kamarnya sambil membawa lampu. Sungguh wajah yang damai,  bisik Oko dengan kagum, lalu ia pun mengulurkan tangan dan menyentuh sedikit bibir  Takezo dengan jemarinya.
Kemudian ia mematikan lampu dan berbaring di samping Takezo. Seraya meringkuk seperti  kucing, sedikit demi sedikit ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Takezo, sementara wajahnya  yang putih dan gaun malam warna-warni yang betul-betul terlampau muda untuknya itu  terbenam dalam kegelapan. Yang kedengaran saat itu hanyalah titik-titik embun yang jatuh  di ambang jendela.
Ingin tahu juga, apakah dia masih perjaka, kagumnya sambil mengulurkan tangan untuk  menyingkirkan pedang kayu itu.
Tapi begitu ia menyentuh pedang itu, Takezo langsung berdiri dan berteriak, Pencuri!  Pencuri!
Oko terlempar ke lampu, hingga bahu dan dadanya luka, dan Takezo memelintir tangannya  tanpa ampun lagi. Oko menjerit kesakitan.
Karena kagetnya, Takezo pun melepaskannya. O. jadi ini tadi Ibu? Aku pikir pencuri.
Oooh, rintih Oko. Sakit!
Maaf, aku tidak tahu.
Kau ini tak kenal kekuatan badan sendiri. Hampir lepas tanganku.
Aku sudah minta maaf. Mau apa Ibu di sini?
Oko tak menghiraukan pertanyaan Takezo yang polos itu; ia tidak merasakan lika  tangannya; dicobanya melingkarkan anggota badannya itu ke leher Takezo, dan gumamnya,  Kau tak perlu minta maaf. Takezo …” Ia pun menggosokkan punggung tangannya  lembut-lembut ke pipi Takezo.
Hai! Apa pula ini? Apa Ibu gila? teriak Takezo sambil meloloskan diri dari sentuhan  wanita itu.
Jangan ribut begitu, tolol. Kau tahu perasaanku padamu. Oko terus mencoba membelai  Takezo, tapi Takezo menepak-nepaknya, seperti orang diserang gerombolan lebah.
Ya, dan aku sangat berterima kasih. Kami berdua tak akan melupakan betapa besar  kebaikan Ibu, yang telah menerima kami dan segalanya itu.
Maksudku bukan itu, Takezo. Aku bicara tentang perasaan wanitaku – tentang perasaan  yang indah dan hangat terhadapmu.
Tunggu dulu, kata Takezo sambil melompat berdiri. Akan kunyalakan lampu.
Oh, bagaimana kau bisa begini kejam, rengek Oko, dan bergerak lagi akan memeluk  Takezo.
Jangan! teriak Takezo marah. Hentikan, sungguh! Hentikan!
Ada sesuatu dalam suara Takezo yang membuat Oko takut dan menghentikan serangannya,  sesuatu yang tegas dan mantap.
Takezo merasa tulang-tulangnya bergoyang dan giginya gemeretuk. Tidak pernah ia  menghadapi lawan yang demikian berat. Bahkan ketika telentang di bawah kuda-kuda yang  mencongklang lewat di Sekigahara, tak pernah jantungnya demikian berdentam. Ia pun duduk  ngeri di sudut kamar
Kuminta ibu pergi dari sini, mohonnya. Kembalilah ke kamar ibu sendiri. Kalau tidak,  akan kupanggil Matahachi. Akan kubangunkan seisi rumah!
Oko tidak beranjak. Ia duduk saja di kegelapan dengan napas berat, dan dengan mata  menciut ia pun menatap Takezo. Ia tak mau ditolak. Takezo, gumamnya lagi. Apa kau  tidak memahami perasaanku?
Takezo tidak menjawab.
Tidak memahami?
Ya, tapi apa Ibu memahami perasaanku: diserang selagi tidur, dibikin takut setengah  mati, dan dianiaya seekor macan dalam gelap?
Kini giliran Oko yang diam. Dari kedalaman kerongkongannya keluar bisikan seperti suara  geraman, dan ia pun mengucapkan setiap suku katanya ini dendam. Begitu tega kau  mempermalukan aku?
Aku mempermalukan ibu?
Ya ini sungguh membikin malu.
Keduanya begitu tegang waktu itu, hingga tak terdengar oleh mereka ketukan pintu, yang  agaknya sudah berlangsung beberapa lama. Ketukan itu dipertegas lagi oleh  teriakan-teriakan. Ada apa di dalam? Apa kau tuli? Buka pintu!
Berkas cahaya tampak di celah daun jendela. Akemi terbangun. Kemudian langkah kaki  Matahachi terdengar mendekat, dan suaranya berseru, Ada apa?
Kemudian dari gang rumah, Akemi berseru resah, Ibu! Apa Ibu di situ? Jawab, Bu!
Oko menyerobot cepat kembali ke kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar Takezo. Ia  menjawab dari situ. Orang-orang lelaki di luar rupanya mendobrak daun jendela dan  menyerbu ke dalam. Sampai di kamat perapian, Oko melihat enam atau tujuh pasang bahu  lebar menyerbu dapur yang berdekatan dan berlantai kotor. Letaknya agak di bawah, karena  memang dibuat lebih rendah dari ruangan-ruangan lain.
Seorang di antaranya berteriak, Tsujikaze Temma di sini. Kasih lampu!
Orang-orang itu menyerobot masuk ke dalam ruang tamu. Mereka bahkan tidak melepas  sandal, suatu tanda kekasaran yang sudah melekat. Mereka mulai melongok ke sana kemari  –– ke lemari, ke laci-laci, ke bawah tatami jerami tebal tang menutup lantai. Temma  mendudukkan diri denga megahnya di dekat perapian, sambil mengawasi kaki tangannya  menggeldah ruangan-ruangan itu dengan sistematis. Ia betul-betul menikmati pekerjaan  itu, tapi dengan segera ia bosan karena tidak melakukan apa-apa.
Terlalu lama! geramnya sambil menghantamkan tinju ke tatami. Kau pasti menyimpannya  sebagian di sini. Di mana barang itu?
Aku tak merngerti apa yang kau bicarakan, jawab Oko sambil melipat dengan sabar kedua  tangannya di perut.
Jangan bicara begitu, perempuan! lenguh Temma. Mana barang itu? Aku tahu barang itu  ada di sini!
Aku tak punya apa-apa!
Tak punya?
Tak punya.
Kalau begitu, barangkali memang kau tidak memilikinya. Barangkali salah infrmasi yang  kuterima. Ia pun memandang Oko dengan tajam, sambil menarik-narik dan menggaruk-garuk  jenggotnya. Cukup, anak-anak! gunturnya.
Sementara itu, Oko sudah duduk di kamar sebelah. Pintu dorongnya terbuka lebar,  seakan-akan hendak mengatakan bahwa Temma dapat memeriksa terus tempat yang  dicurigainya.
Oko, panggil Temma kasar.
Apa maumu? terdengar jawaban dingin
Bagaimana kalau minum sedikit?
Mau sedikit air?
Jangan paksa aku, ancam Temma memperingatkan.
Sake ada di sana. Minumlah kalau mau.
Ai, Oko, kata Temma melunak. Ia hampir-hampir mengagumi Oko karena sikap keras  kepalanya yang dingin. Jangan begitu. Aku sudah lama tak berkunjung. Apa begini caranya  menyambut teman lama?
Berkunjung!
Sudahlah kau ikut bersalah juga. Sudah banyak yang kudengar tentang apa yang dilakukan  ‘janda tukang moxa dari berbagai orang, sampai rasanya tak mungkin semua itu bohong.  Kudengar kau menyuruh anakmu yang cantik itu memereteli mayat-mayat. Nah, kenapa dia  mesti melakukan hal seperti itu?
Tunjukkan padaku buktinya! jerit Oko. Mana buktinya!
Kalau ada rencanaku menggalinya, mana mungkin aku mengingatkan Akemi sebelumnya? Kau  tahu sendiri aturan permainannya. Ini wilayahku, dan aku harus memeriksa rumahmu. Kalau  tidak, semua orang akan menyangka mereka bisa lepas begitu saja sesudah melakukan hal  seperti itu. Kalau begitu, di mana nanti tempatku? Aku harus melindungi diriku, tahu!
Oko menatap Temma dalam kediaman baja, kepalanya setengah tertoleh kepadanya, sedangkan  dagu dan hidungnya terangkat bangga.
Baiklah, akan kulepaskan kau kali ini. Tapi ingat, aku bersikap baik sekali kepadamu  sekarang.
Baik kepadaku? Siapa? Kau? Menggelikan!
Oko, bujuk Temma, ke sinilah, dan tuangkan minuman untukku.
Tapi ketika Oko tidak juga memperlihatkan tanda-tanda akan bergerak, ia pun meledak,  Anjing gila kau! Apa kau tidak tahu, kalau kau bersikap baik padaku, tidak bakal kau  hidup seperti ini?
Temma mereda sedikit, kemudian nasihatnya, Pikirlah dulu.
Aku memang tenggelam dalam kebaikan hati Tuan, terdengar jawaban yang berbisa.
Kau tak suka padaku?
Coba jawab pertanyaan ini: Siapa yang membunuh suamimu? Aku yakin kau ingin aku percaya  bahwa kau tidak tahu, kan?
Kalau kau mau membalas dendam pada pelakunya , aku akan membantumu dengan senang hati.  Aku bisa membantu dengan jalan apa pun.
Jangan berlagak bodoh!
Apa maksudmu?
Kau sudah banyak mendengar dari orang banyak. Apa mereka tidak mengatakan padamu bahwa  kau sendirilah yang membunuhnya? Apa kau belum mendengar bahwa Tsujikaze Temma itulah  pembunuhnya? Semua orang tahu. Boleh saja aku janda seorang bandit, tapi aku belum jatuh  begitu rendah sampai mau main ke sana kemari dengan pembunuh suamiku.
Kau rupanya memang harus mengatakannya: tak bisa kau membiarkan saja hal itu, ya!  Sambil tertawa, Temma mengosongkan sakenya dalam sekali teguk, dan menuang lagi. Kau  tahu, mestinya kau tidak mengatakan hal-hal seperti itu. Itu tak baik untuk kesehatanmu  atau kesehatan anakmu yang manis!
Aku akan mendidik Akemi dengan semestinya, dan sesudah dia kawin, aku akan kembali  menghadapimu. Ingat kata-kataku ini!
Temma tertawa lagi hingga bahu dan seluruh tubuhnya berguncang. Setelah mereguk seluruh  sake yang dapat ditemukannya, ia pun memberi isyarat kepada salah seorang kaki-tangannya  yang ditempatkan di sudut dapur, tombaknya tegak sejajar dengan bahunya. He, kau,  katanya dengan suara menggelegar, geser papan langit-langit itu dengan pangkal  tombakmu!
Orang itu tunduk pada perintah Temma. Ia mengitari kamar sambil menyodok-nyodok  langit-langit, dan kekayaan Oko pun berjatuhan ke lantai, seperti hujan es.
Seperti sudah kuduga, kata Temma sambil berdiri dengan kikuknya. Coba lihat,  anak-anak. Bukti! Dia telah melanggar peraturan, tak sangsi lagi. Bawa dia keluar dan  kasih hukumannya!
Orang-orang itu pun berduyun-duyun ke kamar perapian, tapi sekonyong-konyong mereka  terhenti. Oko berdiri mematung di pintu, seakan menantang mereka untuk menjamahnya.  Temma, yang telah turun ke dapur, memanggil tak sabar, Apa yang kalian tunggu? Bawa dia  kemari!
Tak ada yang bergerak. Oko terus menatap orang-orang itu dari atas, dan orang-orang itu  tetap saja seperti lumpuh. Temma pun memutuskan untuk mengambil alih. Sambil mendecapkan  lidahnya ia mendekati Oko, tetapi ia pun tiba-tiba terhenti di depan pintu. Di belakang  Oko, tidak kelihatan dari dapur, berdiri dua pemuda berwajah ganas. Takezo menggenggam  rendah pedang kaunya, siap mematahkan tulang kering pendatang pertama atau siapa pun  yang cukup bodoh untuk mengikutinya. Di pihak lain, Matahachi menggenggam pedang  tinggi-tinggi, siap menebaskannya ke leher pertama yang berusaha menerobos pintu masuk.  Akemi tidak kelihatan.
O, jadi begitu ya, rintih Temma, yang tiba-tiba ingat adegan di sisi gunung. Aku  pernah lihat orang itu berjalan bersama Akemi beberapa hari yang lalu – yang memegang  tongkat itu. Siapa yang satunya?
Matahachi ataupun Takezo tidak menjawab. Ini berarti mereka bermaksud menjawab dengan  senjata. Ketegangan memuncak.
Mestinya tidak ada lelaki di rumah ini, raung Temma. Hai, kalian berdua Kalian pasti  dari Sekigahara! Hati-hatilah kalian – kuperingatkan kalian.
Kedua pemuda itu sama sekali tidak bergerak.
Tak ada di daerah ini yang tidak kenal nama Tsujikaze Temma! Akan kutunjukkan pada  kalian, apa yang kami lakukan terhadap gelandangan!
Sunyi. Temma memberi isyarat pada kaki-tangannya untuk menyingkir. Seorang di antaranya  terjatuh ke perapian. Ia menjerit, dan ranting-ranting menyala yang kejatuhan tubuhnya  menjadi bunga api ke langit-langit. Dalam beberapa detik saja, ruangan sudah penuh oleh  asap.
Aarrrghh!
Temma menerjang ke ruangan itu, Matahachi pun menebaskan pedang dengan kedua tangannya,  tapi orang tua itu terlalu cepat baginya, hingga tebasan itu mental mengenai sarung  pedang Temma. Oko telah melarikan diri ke sudut terdekat, sementara Takezo menanti  dengan edang kayu eknya yang terpasang horizontal. Ia mengincar kaki Temma, lalu  mengayunkan pedangnya dengan segenap kekuatan. Pedang itu mendecit di kegelapan, tapi  tidak terdengar suara benturan. Manusia lembu itu telah melenting ke udara pada  waktunya, dan ketika turun ia menerjang Takezo derngan kekuatan batu besar.
Takezo merasa seakan berkelahi dengan seekor beruang. Inilah orang terkuat yang pernah  dihadapinya, temma mencengkeram lehernya dan mendaratkan dua-tiga pukulan yang membuat  tengkorak Takezo seperti pecah. Kemudian Takezo mendapat kesempatan lagi, sehingga Temma  terlempar ke udara. Ia mendarat ke dinding, mengguncangkan rumah dan segala isinya.  Ketika Takezo mengangakt pedang kayunya untuk dihantamkan ke kepala Takezo, bandit itu  berkelit, langsung berdiri dan melarikan diri, dikejar oleh Takezo.
Takezo sudah memutuskan untuk tidak membiarkan Temma lolos. Itu berbahaya. Hatinya sudah  bulat. Kalau berhasil menangkap orang itu, ia takkan setengah-tengah membunuhnya. Ia  akan memastikan benar bahwa tak ada sepenggal nafas pun tertinggal.
Itulah sifat Takezo. Ia makhluk ekstrem. Waktu kecil pun sudah ada sifat primitif dalam  darahnya, sifat yang mengingatkan orang pada prajuritu-prajurit ganas jepang kuno, sifat  yang sekaligus liar dan murni. Sifat itu tak kenal cahaya peradaban ataupun tempaan  pengetahuan. Tidak kenal pula sikap lunak. Itu ciri alamiah, suatu ciri yang membuat  ayahnya tak bisa menyukai anak itu. Munisai telah mencoba dengan cara apa pun yang khas  bagi golongan militer untuk mengatasi kebuasan anaknya dengan menghukumnya keras-keras  dan sering-sering, tetapi akibatnya hanya membuat anak itu lebih liar, seperti celeng  liar yang kebuasan sejatinya muncul pada waktu ketiadaan makanan. Semakin orang kampung  menghinakan pemuda kasar itu, semakin ia bersikap seolah ia berkuasa atas mereka.
Ketika anak alam itu sudah besar, ia pun mulai bosan dengan berlagak sebagai pemilik  dusun itu. Terlampau mudah baginya mengancam orang-orang dusun yang sifatnya  takut-takut. Ia mulai memimpikan hal-hal yang lebih besar. Sekigahara telah memberikan  kepadanya pelajaran pertama tentang apa sebenarnya dunia ini. Impian-impian di masa muda  porak-poranda – meski ia tak punya banyak impian. Baginya tidak ada yang namanya  merenungkan kegagalan dalam usaha ‘sejati’ yang pertama ataupun mempertanyakan suramnya  masa depan. Ia belum tahu arti disiplin pribadi, dan ia menerima seluruh bencana  berdarah itu dengan tenang saja.
Dan kini, kebetulan saja ia tertumbuk pada kakap yang sungguh besar – Tsujikaze Temma,  pemimpin para bandit! Inilah lawan yang ia hasratkan bertanding di Sekigahara.
Pengecut! bentaknya. Jangan lari! Dan ayo lawan aku!
Takezo berlari seperti kilat, melintasi lapangan yang gelap kelam, sambil meneriakkan  kata-kata ejekan. Sepuluh langkah di depannya Temma melarikan diri seperti terbang.  Rambut Takezo menyapu telinganya. Ia merasa bahagia – lebih bahagia daripada kapan pun  dalam hidupnya. Makin jauh ia berlari, makin dekat ia pada kegairahan binatang  semata-mata.
Maka ia pun melompat ke punggung Temma. Darah menyembur di ujung pedang kayu itu, dan  jeritan yang membekukan darah mengoyak malam yang tenang. Tubuh bandit yang besdar dan  berat itu jatuh ke bumi dengan suara yang berdebam dan terguling. Tengkoraknya hancur,  matanya lepas dari ceruknya. Dua-tiga pukulan berat dijatuhkan lagi ke tubuh itu, dan  tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat dari kulitnya.
Takezo mengangkat tangan, menghapus banjir keringat yang turun dari keningnya.
Puas, Kapten? tanyanya penuh kemenangan.
Dengan sikap acuh tak acuh, kembalilah ia ke rumah. Orang yang tidak tahu kejadian  barusan akan menyangka ia hanya keluar malam untuk jalan-jalan, sama sekali tanpa urusan  di dunia ini. Ia merasa bebas, tidak menyesal karena tahu kalau orang itu yang menang,  ia sendiri akan terbaring di sana, tanpa nyawa dan sendirian.
Dari kegelapan terdengar suara Matahachi, Takezo, kaukah itu?
Ya, jawab Takezo kering. Ada apa?
Matahachi berlari mendekat dan katanya sambil terengah-engah, Aku bunuh satu! Bagaimana  denganmu?
Aku bunuh satu juga.
Matahachi mengangkat pedangnya yang berlumuran darah sampai kepangan gagangnya. Sambil  melebarkan bahunya, dengan penuh kebanggaan ia berkata, Yang lain-lain lari.  Bajingan-bajingan pencuri ini pengecut! Tak punya nyali! Cuma bias melawan mayat, ha!  Ini baru perkelahian, ha-ha-ha!
Kedua pemuda itu penuh percikan darah kental, dan mereka puas seperti sepasang anak  kucing yang makan kenyang. Sambil berkeciap senang, mereka pun menuju lampu yang tampak  dari jauh. Takezo dengan pedang berdarah, Matahachi dengan pedang yang juga berdarah.


Seekor kuda gelandangan melongokkan kepalanya ke jendela dan melihat-lihat sekitar  rumah. Dengusnya membangunkan kedua orang yang sedang tidur. Sambil memaki binatang itu,  Takezo menampar telak hidungnya. Matahachi meregangkan badan, menguap, berucap betapa  enak tidurnya.
Matahachi sudah cukup tinggi, kata Takezo.
Apa kau kira sudah sore?
Tidak mungkin!
Sesudah tidur nyenyak, peristiwa-peristiwa malam sebelumnya sudah terlupakan sama  sekali. Untuk kedua orang ini, yang ada hanya hari ini dan besok.
Takezo berlari ke belakang rumah dan melepas baju sampai pinggang. Sambil merundukkan  badan di sisi sungai gunung yang bersih dan sejuk itu ia memercikkan air ke wajahnya,  membasahi rambutnya, dan membasuh dada dan punggungnya. Seraya menengadah ia menarik  napas dalam-dalam beberapa kali, seakan-akan mencoba mereguk sinar matahari dan seluruh  udara yang ada di langit. Masih mengantuk, Matahachi masuk ke kamar perapian. Ia  mengucapkan selamat pagi kepada Oko dan Akemi dengan riang.
He, kenapa pula kalian, wanita-wanita yang manis ini, cemberut begitu?
Apa betul begitu kelihatannya?
Ya, betul sekali. Kelihatannya seperti kalian sedang berkabung. Apa yang mesti  dirisaukan? Kami telah membunuh pembunuh suami ibu dan menghantam kaki-tangannya; mereka  tidak akan lekas lupa.
Kekecewaan Matahachi tidak sukar diterka. Semula ia pikir janda dan anak gadisnya itu  akan senang sekali mendengar berita kematian Temma. Memang malam sebelumnya Akemi  bertepuk tangan gembira ketika pertama kali mendengar tentangnya. Tetapi Oko dari semula  sudah tampak tidak enak, dan hari ini, ketika membungkuk kesal di dekat api, ia tampak  lebih muram lagi.
"Ada apa dengan Ibu?" tanya Matahachi. la berpendapat Oko adalah wanita yang paling  sukar disenangkan hatinya di dunia ini. "Inilah balasannya!" katanya pada diri sendiri  sambil mengambil teh pahit yang dituangkan Akemi untuknya dan berjongkok.
Oko tersenyum lesu, iri kepada anak muda yang belum banyak mengecap asam garam kehidupan  di dunia ini. "Matahachi," katanya letih, "kau rupanya belum mengerti. Temma punya  beratus-ratus pengikut."
"Tentu saja. Orang brengsek seperti dia selalu punya banyak pengikut. Kami tidak takut  akan macam orang-orang yang ikut dengan orang seperti itu. Kalau kami dapat membunuh  dial kenapa kami mesti takut kepada anak buahnya? Kalau mereka mencoba menyerang kami,  Takezo dan aku akan..."
"... tak berbuat apa-apa!" sela Oko.
Matahachi membusungkan dadanya clan katanya, "Siapa bilang begitu? Datangkan mereka  sebanyak-banyaknya! Mereka tak lebih dari serombongan cacing. Atau Ibu pikir Takezo dan  aku ini pengecut? Mau merangkak mengundurkan diri? Ibu kira siapa kami ini?"
"Kalian bukan pengecut, tapi kalian kekanak-kanakan! Bahkan terhadap aku! Temma punya  adik lelaki bernama Tsujikaze Kohei, dan kalau dia datang mencari kalian, kalian berdua  jadi satu pun tak akan punya kesempatan menang!"
Ini bukan macam pembicaraan yang suka didengar oleh Matahachi, tapi sementara Oko  meneruskan pembicaraannya ia mulai berpikir barangkali Oko ada benarnya. Tsujikaze Kohei  agaknya memiliki gerombolan besar pengikut di sekitar Yasugawa di Kiso. Dan bukan hanya  itu, ia ahli berkelahi dan luar biasa mahir dalam menangkap orang yang lepas dari  tangkapannya. Sebegitu jauh belum ada orang yang dapat hidup normal sesudah Kohei secara  terbuka menyatakan akan membunuhnya. Jalan pikiran Matahachi hanyalah, kalau orang  menyerang kita di tempat terbuka, itu mudah. Tapi lain sekali halnya kalau orang itu  menyerang selagi kita tidur nyenyak. ,
"Itulah kelemahanku," demikian diakuinya. "Aku tidur seperti orang mati
Sementara duduk bertopang dagu dan berpikir, Oko pun sampai pada kesimpulan bahwa tidak  ada lagi yang dapat dilakukannya kecuali meninggalkan rumah itu beserta cara hidupnya  dan pergi jauh dari situ. Ia pun bertanya pada Matahachi, apa yang hendak dilakukannya  beserta Takezo.
"Aku akan membicarakannya dengan dia" jawab Matahachi. "Ke mana pula dia pergi tadi?"
Ia pun berjalan ke luar clan mencari ke sekitar situ, tapi Takezo tidak tampak di mana  pun. Sejenak kemudian ia memayungi matanya dengan tangan, memandang ke kejauhan, dan  melihat Takezo sedang menaiki kuda. ۩











Pesta Bunga





PADA abad tujuh belas, jalan raya Mimasaka merupakan jalan utama. Jalan itu membentang  dari Tatsuno di Provinsi Harima, berkelok-kelok melewati dataran yang dalam peribahasa  dilukiskan sebagai "berbukit-bukit". Seperti halnya pancang-pancang yang menandai  perbatasan Mimasaka-Harima, jalan itu menelusuri rangkaian pegunungan yang seakan tanpa  akhir. Para musafir yang muncul dari Celah Nakayama biasa memandang ke lembah Sungai  Aida, dan di situ sering kali mereka terkejut melihat sebuah kampung yang cukup besar.
Sebetulnya Miyamoto lebih tepat dinamakan perserakan dusun daripada sebuah kampung yang  sesungguhnya. Sekelompok rumah berderet di sepanjang sisi-sisi sungai, yang lain  berkerumun jauh di atas perbukitan, dan yang lain lagi mengambil tempat di tengah  dataran terbuka berbatu-batu, sehingga sukar dibajak. Jika dilihat secara keseluruhan,  jumlah rumahrumah itu cukup memadai untuk suatu pemukiman pedesaan pada waktu itu.
Sampai kira-kira setahun sebelum itu, Yang Dipertuan Shimmen dari Iga memiliki sebuah  puri, tak sampai satu mil jauhnya dari sungai-sebuah puri kecil sebagaimana puri-puri  lain, tapi puri yang memikat para tukang clan pedagang untuk selalu datang. Lebih jauh  ke utara terdapat tambang perak Shikozaka yang kini sudah lewat zaman keemasannya, tapi  dahulu pernah memiliki daya tarik bagi para penambang dan mana-mana.
Para musafir yang bepergian dari Tottori ke Himeji atau dari Tajima ke Bizen lewat  pegunungan itu biasanya menggunakan jalan raya tersebut, dan biasanya mereka juga  singgah di Miyamoto. Miyamoto memiliki rona eksotik sebuah kampung yang sering  dikunjungi oleh penduduk yang datang dari beberapa provinsi dan dapat membanggakan tidak  hanya losmennya, melainkan juga toko pakaiannya. Rombongan perempuan malam juga berlabuh  di sana.
Leher mereka dipupur putih seperti mode waktu itu. Mereka biasa mondar-mandir di depan  rumah usahanya, seperti kelelawar putih di bawah tepi atap. Itulah kota yang  ditinggalkan oleh Takezo clan Matahachi untuk pergi berperang.
Sambil memandang puncak-puncak atap Miyamoto, Otsu duduk melamun. Ia gadis lembut,  berkulit terang clan berambut hitam mengilat, sosok tubuh dan anggota badannya indah dan  kelihatan rapuh. Sosoknya itu menyiratkan kesan kudus, hampir-hampir seperti peri. Tidak  seperti gadis-gadis petani yang tegap dan merah sehat, yang bekerja di sawah di bawah  sana, gerak-gerik Otsu halus. Jalannya anggun, lehernya jenjang dan kepalanya tegak.  Kini, selagi duduk di ujung emperan kuil Shippoji, ia tampak bagai patung porselen.
Sebagai bayi temuan di kuil gunung ini, ia punya sifat menyendiri yang jarang ditemukan  pada gadis umur enam belas tahun. Keengganannya bergaul dengan gadis-gadis lain  seumurnya clan dari dunia kerja, membuat matanya memancarkan pandangan kontemplatif dan  sungguh-sungguh tajam, yang cenderung menolak lelaki yang terbiasa dengan perempuan  sembarangan. Matahachi, tunangannya, hanya satu tahun lebih tua darinya, dan sejak ia  meninggalkan Miyamoto bersama Takezo pada musim panas sebelumnya, Otsu tidak mendengar  kabar apa-apa tentangnya. Bahkan sampai bulan pertama dan kedua tahun baru ini la  merindukan berita tentang Matahachi, namun kini bulan keempat sudah dekat, dan ia tidak  lagi berani berharap.
Dengan malas pandangannya mengawang ke awan-awan, dan pelan-pelan muncullah pikiran di  kepalanya. Sebentar lagi sudah satu tahun penuh.
"Saudara perempuan Takezo pun tidak mendengar berita tentang Takezo. Bodoh aku, kalau  aku menyangka di antara mereka ada yang masih hidup." Sekali-kali ia mengucapkan  kata-kata itu pada seseorang, dengan harapan atau dengan suara dan mata mengimbau, agar  orang lain itu membantahnya dan memintanya untuk tidak berputus asa. Tapi tak seorang  pun memperhatikan keluhannya. Bagi orang kampung yang bersahaja, yang sudah terbiasa  dengan pasukan Tokugawa yang menduduki kuil Shimmen sederhana itu, tidak ada alasan lagi  untuk menyimpulkan bahwa mereka masih hidup. Tak seorang pun anggota keluarga Yang  Dipertuan Shimmen pulang dari Sekigahara, dan itu wajar sekali. Mereka keluarga samurai;  mereka telah kalah. Tak akan mereka berkehendak memperlihatkan wajahnya kepada  orang-orang yang mengenalnya. Tapi bagaimana dengan prajurit biasa? Apakah tidak wajar  kalau mereka pulang? Bukankah mereka sudah akan pulang lama berselang, kalau mereka  memang masih hidup?
"Kenapa," demikian tanya Otsu, entah untuk keberapa kalinya, "kenapa orang-orang pergi  berperang?" Kini ia sudah bisa menikmati kesenduan duduk sendiri di emperan kuil clan  merenungkan hal yang muskil itu. Ia dapat menyendiri berjam-jam lamanya di tempat itu,  tenggelam dalam angan-angan murung. Tiba-tiba ada suara lelaki menyerbu pulau  kedamaiannya. Otsu!"


Gelandangan yang telah membangunkan mereka dengan ringkiknya itu, berputar-putar di kaki  gunung, bertelanjang punggung.
"Seperti tak ada masalah di dunia ini baginya," kata Matahachi pada diri sendiri dengan  rasa iri. Dengan tangan mencorong di depan mulut ia berseru, "Hei, Takezo! Pulang! Kita  mesti bicara!"
Sesaat kemudian mereka sama-sama berbaring di rumput sambil mengunyah-ngunyah rumput,  membicarakan apa yang akan mereka lakukan kemudian.
Matahachi berkata, "Jadi, menurut pendapatmu kita mesti pulang?"
"Ya, memang begitu. Kita tak dapat tinggal dengan kedua wanita ini selamanya."
"Ya, memang tidak."
"Aku tak suka perempuan." Setidak-tidaknya itulah keyakinan Takezo. "Baik. Kalau begitu,  ayo kita pergi."
Matahachi berguling dan memandang ke langit. "Sekarang, sesudah bulat pikiran kita,  ingin rasanya aku cepat-cepat pulang. Tiba-tiba aku menyadari sangat kehilangan Otsu.  Sungguh aku ingin melihatnya segera. Lihat di atas itu! Ada awan yang bentuknya seperti  raut muka Otsu. Lihat! Bagian itu seperti rambutnya sesudah dikeramas." Matahachi  menjejak-jejak tanah sambil menunjuk langit.
Mata Takezo mengikuti bayangan kuda menjauh, yang baru saja dilepaskannya. Seperti  kebanyakan pengembara yang diam di padang-padang, kuda gelandangan dianggapnya makhluk  yang baik wataknya. Apabila kita tidak membutuhkannya lagi, ia pun tidak meminta apa-apa  dari kita; begitu saja ia pergi sendiri ke tempat lain.
Dari rumah, Akemi memanggil mereka makan malam. Mereka pun berdiri.
"Ayo balapan!" teriak Takezo.
"Ayo!" Matahachi menimpali.
Akemi bertepuk tangan gembira ketika kedua pemuda itu sama-sama berlari melintasi rumput  yang tinggi, meninggalkan awan debu di belakang mereka.
Sesudah makan malam, Akemi termenung. la baru saja mendengar bahwa kedua orang itu telah  memutuskan untuk kembali ke rumah mereka. Sungguh menyenangkan bahwa mereka tinggal di  rumah itu, dan ia ingin hal itu berlangsung selamanya.
"Tolol kau!" umpat ibunya. "Kenapa pula kau sedih?" Oko sedang mengatur riasannya, sama  rumitnya seperti biasa. Sementara memaki anak gadisnya, ia pun menatap Takezo di dalam  cermin. Takezo menangkap pandangannya, dan tiba-tiba teringatlah ia akan bau harum tajam  wanita itu ketika menyerbu ke dalam kamarnya.
Matahachi menurunkan guci sake besar dari sebuah rak, lalu mengempaskan diri di samping  Takezo dan mulai mengisi sebuah botol pemanas
kecil, seolah-olah ia adalah tuan rumah. Karena malam itu malam terakhir, mereka  merencanakan untuk minum sepuas-puasnya. Oko pun agaknya mencurahkan perhatian khusus  kepada wajahnya.
"Jangan sampai ada setetes pun yang tak terminum!" katanya. "Tak ada gunanya menyisakan  sesuatu untuk tikus-tikus di sini."
"Atau cacing-cacing!" sambut Matahachi.
Dalam waktu singkat mereka telah mengosongkan tiga guci besar. Oko menyandarkan badan  pada Matahachi dan mulai membelainya sedemikian rupa, hingga Takezo memalingkan kepala  karena malu.
"Aku... aku... tak bisa berjalan," gumam Oko mabuk.
Matahachi mengawalnya ke kasurnya, sementara kepala Oko tersandar berat ke bahunya.  Sampai di sana, Oko menoleh pada Takezo dan katanya dengki, "Kau, Takezo, tidurlah  sendirian. Kau suka tidur sendiri. Betul, kan?"
Tanpa gumaman apa pun Takezo merebahkan diri asal saja. Ia sudah sangat mabuk, dan hari  sudah larut malam.
Ketika ia terbangun, hari telah tinggi. Begitu membuka mata, ia pun merasakannya. Terasa  olehnya rumah itu kosong. Barang-barang yang hari sebelumnya ditumpukkan Oko dan Akemi  untuk perjalanan telah hilang. Tidak ada pakaian, tak ada sandal-dan Matahachi pun tak  kelihatan.
la memanggil, tapi tak ada jawaban, clan ia pun tidak mengharapkannya lagi. Rumah yang  kosong memancarkan suasananya sendiri. Tak ada orang di halaman, tak ada orang di  belakang rumah, tak seorang pun di lumbung. Satu-satunya jejak teman-temannya hanyalah  sisir merah terang yang tergeletak di samping mulut pipa air yang terbuka.
"Matahachi babi!" katanya pada diri sendiri.
Mencium bau sisir, kembali ia teringat bagaimana Oko mencoba menggodanya malam hari  belum lama ini. "Inilah yang mengalahkan Matahachi," pikirnya. Memikirkan hal itu saja  darahnya menggelegak.
"Hai, tolol!" teriaknya keras. "Bagaimana dengan Otsu? Apa yang akan kauperbuat dengan  dia? Apa tidak sudah terlalu sering dia kautinggalkan, babi?"
Diinjaknya sisir merah itu. la ingin berteriak berang, bukan untuk diri sendiri,  melainkan karena rasa kasihan pada Otsu, yang dapat dibayangkannya dengan jelas sedang  menanti di kampung sana.
Selagi ia duduk sedih di dapur, kuda gelandangan itu melongok tenang di pintu. Karena  Takezo tidak menepuk hidungnya, ia pun pergi ke meja cuci dan dengan malasnya menjilati  butir-butir padi yang menempel di sana.


Otsu menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertampang muda datang mendekati dari sumur.  Orang itu hanya mengenakan cawat yang hampir tidak dapat memenuhi fungsinya, dan  kulitnya yang tertempa cuaca berkilau seperti emas redup patung Budha. Ia biarawan Zen  yang tiga-empat tahun lalu datang ke tempat itu dari Provinsi Tajima. Sejak itu ia  tinggal di kuil itu.
"Akhirnya datang musim semi," kata biarawan itu, puas pada diri sendiri. "Musim semi  suatu berkah, tapi berkah campuran. Begitu keadaan sedikit panas, kutu-kutu busuk itu  pun melanda negeri. Mereka mencoba mengambil alih negeri, persis seperti Fujiwara no  Michinaga, si bangsat lihai, anak buah seorang regent." Sebentar kemudian ia pun  meneruskan monolog itu.
"Aku baru saja mencuci pakaianku, tapi di mana akan kukeringkan jubah tua yang sudah  compang-camping ini? Aku tak dapat menggantungkannya di pohon prem. Dosa besar sekali  clan menghina alam, kalau aku menutup bunga-bunga itu. Cobalah pikir, aku orang yang  punya selera, tapi aku tak dapat menemukan tempat menggantungkan jubah ini! Otsu!  Pinjami aku kayu jemuran."
Wajah Otsu memerah melihat biarawan bercawat cekak itu. Ia pun berseru, "Takuan! Bapak  tak bisa ke mana-mana setengah telanjang begitu, sebelum pakaian Bapak kering!"
"Kalau begitu, aku akan tidur. Bagaimana kalau begitu?"
"Oh, Bapak ini keterlaluan!"
Sambil mengangkat satu tangannya ke langit dan satu lagi menunjuk tanah, Takuan  menirukan gaya patung kecil Budha yang setiap tahun sekali biasa diurapi para pemujanya  dengan teh khusus.
"Sebenarnya aku menanti saja sampai besok! Karena hari ini tanggal delapan, hari ulang  tahun sang Budha, aku bisa berdiri saja seperti ini dan membiarkan orang-orang menunduk  hormat padaku. Kalau mereka menuangkan teh manis ke badanku, akan kukejutkan mereka  dengan menjilat bibirku." Dan dengan wajah saleh ia pun melagukan sabda pertama sang  Budha, "Di langit sana dan di bumi ini hanya aku yang suci." •
Otsu pun tertawa geli melihat lagak Takuan yang kurang pantas itu. "Bapak betul-betul  mirip, lho!"
"Tentu saja mirip. Aku ini titisan Pangeran Sidharta."
"Kalau begitu, berdiri saja baik-baik di situ. Jangan bergerak! Aku akan ambil teh untuk  pengurapannya."
Pada saat itu seekor tawon menyambar kepala Takuan, dan gaya reinkarnasinya pun seketika  berganti dengan gerak tangan yang kacau. Melihat celah dalam cawatnya yang longgar itu,  sang tawon menukik lagi, dan Otsu pun tertawa terbahak-bahak. Sejak datangnya Takuan  Soho, nama yang diberikan kepadanya sesudah menjadi pendeta, bahkan bagi Otsu yang  pendiam itu pun tak ada hari tanpa hiburan berupa apa yang dilakukannya atau  dikatakannya.
Namun sekonyong-konyong Otsu berhenti tertawa. "0, saya tak bisa lagi membuang-buang  waktu sepezti ini. Ada ha1-hal penting yang harus saya kerjakan:'
Sementaca ia memasukkakan kakinya yang putih kecil itu ke dalam sandal, Takuan bertanya  polos, "Kerjaan apa?"
"Kerjaan apa? Apa Bapak sudah lupa juga? Pertunjukan pantomim Bapak tadi yang  mengingatkan saya. Saya harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok. Pendeta tua  menyuruh saya mengambil bunga untuk menghias kuil bunga. Kemudian saya harus menyiapkan  segalanya untuk upacara pengurapan. Dan malam ini saya harus membuat teh manis."
"Di mana kau mengambil bunga?"
"Dekat sungai, di lapangan bawah."
"Aku akan mengawanimu."
"Tanpa pakaian?"
"Kau tak akan bisa memetik bunga secukupnya, kalau sendirian. Kau perlu bantuan. Lagi  pula, manusia dilahirkan tanpa pakaian. Ketelanjangan itu sifat alamiahnya."
"Mungkin saja, tapi saya tidak menganggap itu alamiah. Sudahlah, lebih balk saya pergi  sendiri."
Dengan harapan dapat menghindar, Otsu pun bergegas memutar ke belakang kuil. Sebuah  keranjang ia sandangkan ke punggung. la ambil sebuah sabit, lalu la pun menyelinap ke  luar pintu samping, tapi beberapa saat kemudian ia sudah melihat kembali Takuan menempel  di belakangnya. Sekarang ia mengenakan kain pembalut besar, semacam yang biasa digunakan  orang untuk membawa tilam.
"Apa ini lebih cocok untukmu?" serunya sambil menyeringai.
"Tentu saja tidak. Bapak kelihatan lucu. Orang bisa mengira Bapak gila." "Kenapa?"
"Entahlah. Cuma, jangan jalan di samping saya!"
"Tapi sebelum ini tak pernah rasanya kau keberatan berjalan di samping seorang pria."
"Takuan, Bapak ini betul-betul mengerikan!" la pun berlari jauh ke depan, diikuti  langkah-langkah panjang Takuan, seperti sang Budha turun dari pegunungan Himalaya. Kain  pembalutnya mengepak-ngepak liar ditiup angin.
"Jangan marah, Otsu! Kau tahu, aku hanya menggoda. Dan lagi temanteman lelakimu tak suka  kalau kau terlalu banyak cemberut."
Delapan atau sembilan ratus meter di bawah kuil itu, bunga-bunga musim semi bermekaran  di kedua tepi Sungai Aida. Otsu meletakkan keranjangnya di tanah, dan di tengah lautan  kupu-kupu yang sedang berterbangan mulailah ia mengayunkan sabitnya dengan gerakan  setengah lingkaran, memotong bunga-bunga itu di dekat akarnya.
Sejenak kemudian Takuan pun terpekur. "Sungguh damai di sini," desahnya, yang kedengaran  religius dan kekanak-kanakan sekaligus. "Nah, kalau kita dapat menghabiskan hidup kita  di surga penuh bunga, kenapa kita semua ini lebih suka menangis, menderita, dan tersesat  dalam pusaran derita dan kemarahan, dan menyiksa diri dalam nyala api neraka? Kuharap  setidak-tidaknya kau tak usah mengalami segalanya itu."
Otsu secara berirama mengisi keranjangnya dengan bunga-bunga rumput yang kuning  cemerlang, seruni, aster, apiun, dan violet musim semi. Ia menjawab, "Takuan, daripada  berkhotbah, lebih baik Bapak waspada terhadap tawon-tawon itu."
Takuan menganggukkan kepala sambil mendesah putus asa. "Aku bukannya bicara tentang  tawon, Otsu. Aku cuma mau menyampaikan padamu ajaran sang Budha tentang nasib  perempuan."
"Nasib perempuan sama sekali bukan urusan Bapak!"
"O, kau keliru! Sudah tugasku sebagai pendeta untuk mencampuri kehidupan orang banyak.  Aku setuju, ini jenis pekerjaan yang suka mencampuri urusan orang, tapi tidak lebih  sia-sia daripada urusan seorang pedagang, penjual pakaian, tukang kayu, atau samurai.  Pekerjaan ini ada karena dibutuhkan."
Otsu pun melunak. "Rasanya Anda benar."
"Memang demikianlah yang terjadi selama ini. Golongan pendeta tidak bagus hubungannya  dengan kaum perempuan, selama kira-kira tiga ribu tahun. Kau tahu, agama Budha  mengajarkan bahwa perempuan itu jahat. Iblis. Utusan neraka. Bertahun-tahun aku  menggeluti kitab suci, karena itu bukan kebetulan bahwa kau dan aku selamanya  berselisih."
"Dan menurut kitab suci Bapak, kenapa perempuan itu jahat?"
"Karena dia menipu lelaki."
"Apa lelaki tidak menipu perempuan juga?"
"Ya, tapi... sang Budha sendiri lelaki."
"Apa menurut Bapak, kalau dia perempuan, keadaannya akan sebaliknya?" "Tentu saja tidak!  Bagaimana mungkin seorang iblis dapat menjadi
Budha?"
"Takuan, itu tidak masuk akal."
"Kalau ajaran agama itu hanya pikiran sehat, kita tak akan membutuhkan nabi-nabi untuk  menyampaikannya pada kita."
"Nah, itu, sekali lagi Bapak memutarbalikkan semuanya untuk keuntungan diri sendiri!"
"Komentar khas perempuan. Kenapa mesti menyerangku pribadi?"
Otsu menghentikan ayunan sabitnya lagi, wajahnya memperlihatkan sikap jemu.
"Takuan, kita hentikan saja omongan ini. Saya sedang tak senang bicara hari ini."
"Diam, perempuan!"
"Kan dari tadi Bapak yang terus bicara?"
Takuan memejamkan mata, seolah-olah mengerahkan kesabaran. "Biar kujelaskan sekarang.  Ketika sang Budha masih muda, dia duduk di bawah pohon bodhi. Iblis-iblis perempuan  menggodanya siang-malam. Dengan sendirinya dia lalu tidak menghargai tinggi perempuan.  Sekalipun begitu, karena dia memang maha pengampun, di masa tuanya dia mengambil  beberapa murid perempuan."
"Karena dia sudah bijaksana atau pikun?"
"Jangan menghujat!" Takuan memperingatkan dengan tajam. "Dan jangan lupa Bodisatwa  Nagarjuna yang juga membenci-maksudku takut-pada perempuan, seperti juga sang Budha.  Bahkan dia pun sampai mengagungkan empat jenis perempuan, yaitu saudara perempuan yang  patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan pembantu yang tunduk.  Berulang-ulang dia memuji kebajikan mereka itu dan menasihatkan pada orang laki-laki  untuk memperistri perempuan-perempuan jenis itu tadi."
"Saudara perempuan yang patuh, teman perempuan yang penuh kasih, ibu yang baik, dan  pembantu yang tunduk.... Saya lihat Bapak sudah menyusun semua itu untuk keuntungan  lelaki."
"Itu cukup wajar, bukan? Di India kuno lelaki lebih dihormati dan perempuan kurang  dihormati dibandingkan dengan di Jepang. Tapi kuminta kaudengarkan nasihat yang  diberikan Nagarjuna pada perempuan."
"Nasihat apa?"
"Dia mengatakan, 'Hai, perempuan, jangan kamu mengawini laki-laki..."
"Itu lucu!"
"Masih ada kelanjutannya. " Dia mengatakan, 'Hai, perempuan, kawinlah dengan  kebenaran."'
Otsu memandangnya dengan hampa.
"Lihat tidak?" kata Takuan sambil mengibaskan tangannya. "Kawinlah dengan kebenaran, itu  berarti kau tak boleh diberahikan semata-mata oleh makhluk hidup, tapi harus mencari  yang abadi."
"Tapi, Bapak," kata Otsu tak sabar, "apa sih 'kebenaran' itu?"
Takuan menjatuhkan kedua tangannya ke samping dan memandang ke tanah. "Yah, kalau  dipikir-pikir," katanya sambil berpikir, "aku sendiri tidak begitu yakin."
Tawa Otsu pun pecah, tapi Takuan tidak mengacuhkannya. "Ada yang aku tahu pasti. Kalau  diterapkan pada kehidupanmu, kawin dengan kejujuran artinya kan tak boleh berkeinginan  pergi ke kota, melahirkan anak-anak yang lemah dan sentimental. Kau mesti tetap di  kampung, yang jadi milikmu, dan di situlah kau mesti menelurkan anak-anak yang bagus dan  sehat."
Otsu mengangkat sabitnya tak sabar. "Takuan," bentaknya jengkel, "Bapak datang kemari  ini untuk membantu saya memetik bunga atau tidak?" "Tentu saja. Karena itulah aku di  sini." "Kalau begitu, jangan berkhotbah lagi, dan pegang sabit ini."
"Baiklah, kalau kau memang tidak menginginkan bimbingan spiritual dariku, aku pun tak  akan memaksakannya padamu," katanya berpura-pura tersinggung.
"Sementara Bapak bekerja, saya akan lari ke rumah Ogin, untuk melihat apa dia sudah  menyelesaikan obi yang akan saya pakai besok."
"Ogin? Kakak perempuan Takezo itu? Aku sudah pernah melihatnya, kan? Bukankah dia pernah  datang ke kuil denganmu?" Dan Takuan pun menjatuhkan sabitnya. "Aku ikut."
"Dengan pakaian begitu?"
Takuan berpura-pura tidak mendengar. "Dia barangkali akan menyuguhi kita teh. Aku sudah  haus setengah mati."
Karena sudah capek sekali berdebat dengan biarawan itu, Otsu pun mengangguk lemah, dan  bersama-sama mereka berjalan menyusuri sungai.
Ogin, seorang gadis berumur dua puluh lima; tidak lagi dianggap orang sedang  mekar-mekarnya, tapi sama sekali tidak jelek tampangnya. Walaupun para calon cenderung  mundur karena reputasi adik lelakinya, tapi tak kurang orang yang melamarnya. Pembawaan  dan pendidikannya yang baik segera tampak oleh semua orang. la menolak semua pinangan,  semata-mata karena ia ingin mengurus adik lelakinya lebih lama lagi.
Rumah yang ditinggalinya dibangun oleh ayah mereka, Munisai, ketika masih memegang  tanggung jawab latihan militer keluarga Shimmen. Sebagai hadiah atas kerjanya yang  sangat baik, ia dianugerahi hak utama menggunakan nama Shimmen. Rumah itu menghadap ke  sungai, dikitari oleh tembok kotor yang tinggi, didirikan di atas pondasi batu, dan jauh  lebih besar dari yang diperlukan oleh seorang samurai biasa di pedesaan. Dahulu rumah  itu megah, tapi kini telah reyot. Bunga-bunga iris liar berkecambah dari atapnya, dan  dinding dojo, di mana Munisai dahulu biasa mengajarkan seni perang, kini terlapisi  seluruhnya oleh kotoran burung layang-layang putih.
Ketika Munisai tak disukai lagi, ia kehilangan status dan mati sebagai orang miskin.  Suatu kejadian yang bukan tidak umum di zaman yang penuh kekalutan. Segera sesudah  kematiannya, para pembantunya pun pergi, tapi karena mereka semua orang asli Miyamoto,  banyak yang masih sering singgah. Apabila singgah, mereka meninggalkan sayur-sayuran  segar, membersihkan kamar-kamar yang tidak dipakai, mengisi guci-guci air, menyapu  jalanan, dan dengan cara-cara lain yang tak terhitung jumlahnya mereka berusaha  memelihara rumah tua itu. Mereka juga senang mengobrol dengan anak perempuan Munisai.
Ketika Ogin yang sedang menjahit di kamar dalam mendengar pintu belakang terbuka, ia  menyangka yang datang adalah salah seorang dari bekas-bekas pembantu itu. Karena sedang  tenggelam dalam pekerjaannya, ia pun terlompat ketika mendengar Otsu menyalaminya.
"Oh," katanya. "Kamu rupanya. Bikin kaget aku saja. Aku baru menyelesaikan obi-mu. Mau  kaupakai besok, kan?"
"Betul. Ogin, aku mau mengucapkan terima kasih, karena kau sudah mau bersusah payah.  Sebetulnya aku bisa menjahitnya sendiri, tapi di kuil begitu banyak pekerjaan, sampai  tak ada waktu lagi."
"O, aku senang bisa membantu. Aku punya lebih banyak waktu dari yang kubutuhkan. Kalau  tak ada kesibukan, aku mulai melamun."
Otsu mengangkat kepala, dan terlihat olehnya altar keluarga. Di atasnya menyala lilin,  di atas piring kecil. Dalam cahaya suram itu la melihat dua tulisan gelap yang dilukis  sangat saksama dengan kuas. Keduanya dilekatkan di papan, dengan sesajian air clan bunga  di depannya:

Roh Shimmen Takezo yang telah pergi, Umur 17.
Roh Hon'iden Matahachi yang telah pergi, Umur sama.

"Ogin," kata Otsu resah. "Apa kau sudah mendapat kabar bahwa mereka terbunuh?"
"Ah, belum.... Tapi apa lagi yang lain dari itu? Aku sudah pasrah. Aku yakin mereka  tewas di Sekigahara."
Otsu menggelengkan kepala keras-keras. "Jangan katakan itu! Bikin sial! Mereka belum  mati, belum! Kurasa mereka akan muncul hari-hari ini."
Ogin memandang jahitannya. "Apa kau mimpi tentang Matahachi?" tanyanya lembut.
"Ya, selalu. Kenapa?"
"Itu artinya dia sudah mati. Aku sendiri tidak mimpi yang lain kecuali adikku."
"Ogin, jangan bilang begitu!" Otsu pun berlari ke altar dan mencabut tulisan itu dari  papannya. "Kusingkirkan barang-barang ini. Cuma mengundang yang jelek-jelek."
Air mata melelehi wajahnya ketika la mengembus lilin itu. Tak puas dengan itu,  dicengkeramnya bunga dan mangkuk air, lalu ia berlari melintasi kamar sebelah, menuju  beranda. Di sana dilontarkannya bunga itu sejauhjauhnya clan dituangkannya air di  pinggir sana. Air tumpah tepat di kepala Takuan yang sedang jongkok di bawah.
"Aaii! Dingin!" lengking Takuan sambil melompat, dan dengan kalutnya ia mencoba  mengeringkan rambut dengan salah satu ujung kain pembalutnya. "Apa pula yang kaulakukan  ini? Aku datang kemari mencari secangkir teh, bukan mandi!"
Otsu pun tertawa sampai keluar air mata. "Maaf, Takuan. Betul-betul minta maaf. Saya tak  lihat."
Sebagai tanda minta maaf, ia pun membawakan Takuan teh yang sudah dinantikannya. Ketika  ia kembali ke dalam, Ogin yang memandang tajam ke beranda itu bertanya, "Siapa itu?"
"Biarawan musafir yang tinggal di kuil. Yang kotor itu. Kau pernah melihatnya, denganku,  ingat tidak? Waktu dia sedang berjemur telungkup sambil memegang kepala, memandang ke  tanah. Ketika kita bertanya kepadanya apa yang dilakukannya, dia mengatakan kutu-kutunya  sedang mengadakan pertandingan gulat. Dia bilang dia telah melatih kutu-kutu itu untuk  menghiburnya."
"0, dia!"
"Ya, dia. Namanya Takuan Soho."
"Aneh ya."
"Ya, begitulah paling tidak."
"Apa yang dipakainya itu? Kelihatannya bukan jubah pendeta."
"Memang bukan. Itu kain pembalut."
"Kain pembalut? Eksentrik. Berapa umurnya?"
"Katanya tiga puluh satu tahun, tapi kadang-kadang aku merasa seperti kakaknya; dia  begitu tolol. Salah seorang pendeta mengatakan, biarpun kelihatannya begitu, dia  biarawan hebat."
"Mungkin saja. Kita tak dapat selalu menilai orang dari tampangnya."
"Dari mana dia itu?"
"Dia lahir di Provinsi Tajima, dan mulai mempersiapkan diri menjadi pendeta ketika umur  sepuluh tahun. Kemudian dia masuk kuil sekte Zen Rinzai, kira-kira empat tahun kemudian.  Pergi dari sana dia menjadi pengikut pendeta sarjana dari Daitokuji dan melakukan  perjalanan bersamanya ke Kyoto dan Nara. Belakangan dia belajar dengan pimpinan Gudo  dari Myoshinji, Itto dari Sennan, dan satu deretan panjang orang suci lain yang  terkenal. Dia menghabiskan banyak sekali waktu untuk belajar!"
"Barangkali itu sebabnya dia agak lain."
Otsu melanjutkan ceritanya. "Dia diangkat menjadi pendeta tetap di Nansoji dan ditunjuk  sebagai kepala biara Daitokuji dengan maklumat Kaisar. Tak pernah aku tahu alasannya  dari siapa pun. Dia sendiri tak pernah menceritakan masa lalunya. Tapi, karena beberapa  alasan, tiga hari sesudahnya dia melarikan diri."
Ogin menggelengkan kepala.
Otsu melanjutkan. "Orang bilang jenderal-jenderal terkenal seperti Hosokawa dan  orang-orang bangsawan macam Karasumaru sudah berulang-ulang mencoba meyakinkannya untuk  tinggal menetap. Mereka malahan sudah menawarkan membangun kuil untuknya dan  menyumbangkan uang untuk perawatannya, tapi dia tidak tertarik. Dia bilang lebih suka  mengembara di pedesaan seperti pengemis, hanya berteman kutu-kutunya. Kurasa dia agak  sinting."
"Barangkali menurut anggapannya kita ini yang aneh."
"Memang begitu yang dikatakannya." "Berapa lama dia akan tinggal di sini?"
"Mana bisa tahu? Dia biasa muncul suatu hari, dan menghilang hari berikutnya."
Seraya berdiri di dekat beranda, Takuan berseru, "Aku bisa mendengar semua yang kalian  bicarakan!"
"Tapi rasanya kami tidak membicarakan yang jelek," jawab Otsu riang.
"Kalaupun kalian membicarakan yang jelek, aku tak peduli, kalau itu menghibur kalian,  tapi setidak-tidaknya kalian dapat memberiku kue manis untuk teman minum teh ini."
"Itu dia," kata Otsu. "Dia memang seperti itu sejak dulu."
"Apa maksudmu, aku seperti itu?" Mata Takuan pun berseri-seri. "Dan kau sendiri? Kau  kelihatannya saja tidak tega melukai seekor lalat, tapi tindakanmu jauh lebih kejam dan  bengis daripadaku."
"O, betul begitu? Dan bagaimana saya bisa kejam dan bengis begitu?"
"Kau meninggalkan aku di luar sini tanpa daya, tanpa apa-apa kecuali teh, sedangkan kau  duduk merintihkan kekasihmu yang hilang. Kejam!"

Di kuil Daishoji dan Shippoji lonceng berdentang-dentang. Lonceng mulai berdentang  selewat subuh, dan kadang-kadang masih terdengar dentangnya sampai jauh lepas tengah  hari. Pada pagi hari orang-orang berduyun-duyun ke kuil: gadis-gadis dengan obi merah,  istri-istri pedagang dengan warna kimono yang lebih lembut, dan di sana-sini wanita tua  dengan kimono warna gelap menggandeng tangan cucu-cucu mereka. DI kuil Shippoji, ruang  utama yang kecil penuh dengan umat. Tetapi para pemudanya kelihatannya lebih tertarik  mencuri-curi pandang ke Otsu daripada mengikuti upacara keagamaan ini.
"Dia ada di sini," bisik seorang pemuda.
"Semakin cantik saja," bisik pemuda lain.
Di dalam ruang itu ada sebuah kuil mini. Atapnya dari daun-daun potion jeruk dan  tiang-tiangnya dililit bunga-bunga liar. Di dalam "kuil bunga" ini ada patting Budha  berwarna hitam, setinggi kira-kira setengah meter. Tangannya yang satu menunjuk ke  langit dan satunya lagi ke tanah. Patting ini berdiri di dalam semacam baskom dari tanah  liar. Orang-orang melewati patung itu sambil mengguyurkan teh manis ke kepalanya dengan  menggunakan sendok besar dari bambu. Takuan berdiri di dekatnya, membawa minyak suci dan  mengisikannya ke dalam tabung-tabung bambu kecil untuk dibawa pulang para pengunjung  sebagai pembawa berkah. Sambil menuangkan minyak ia menghimbau mereka untuk memberikan  sumbangan.
"Kuil ini miskin, maka tinggalkan sumbangan sebanyak yang Anda sanggup. Terutama  Anda-anda yang kaya. Saya tahu siapa Anda, Anda memakai sutra halus dan obi bersulam.  Anda punya banyak uang. Anda pasti punya banyak kesusahan juga. Jika Anda meninggalkan  uang sebanyak lima puluh kilo, kesusahan Anda akan berkurang lima puluh kilo juga."
Di sebelah lain kuil bunga itu, Otsu duduk menghadap meja berplitur hitam. Wajahnya  memancarkan rona merah muda, seperti bunga-bunga yang ada di sekitarnya. Ia mengenakan  obi baru. Ketika menuliskan kata-kata pesona di atas kertas lima warna, ia memainkan  kuas dengan terampilnya. Sekali-sekali ia mencelupkannya ke dalam kotak tinta berlak  emas di sebelah sana. la menulis:

Dengan cepat dan saksama,
Pada hari yang sebaik-baiknya ini, Yaitu tanggal delapan bulan empat, Jatuhlah hukuman  bagi
Para serangga yang menghabiskan panen.

Entah sejak kapan orang di daerah ini menganggap bahwa menggantungkan sajak bernada  praktis itu di dinding akan melindungi mereka dari hama, penyakit, dan juga nasib siaL  Otsu menuliskan sajak itu sudah berpuluh kali-ya, sudah demikian seringnya, hingga  pergelangan tangannya mulai berdenyut dan tulisan tangannya mulai mencerminkan  kelelahan.
Setelah berhenti sejenak, ia pun menegur Takuan, "Hentikanlah usaha merampok orang-orang  ini. Terlalu banyak Bapak mengambil."
"Aku bicara kepada mereka yang sudah terlalu banyak harta. Itu jadi beban mereka. Itulah  inti amal, yaitu meringankan mereka dari beban," jawab Takuan.
"Dengan jalan pikiran itu, pencuri biasa pun bisa jadi orang suci semuanya."
Takuan terlalu sibuk mengumpulkan mata uang emas untuk menjawab. "Sini, sini," katanya  kepada orang banyak yang berdesak-desak. "Jangan berdesakan, pelan-pelan, antrelah. Anda  sekalian akan segera mendapat kesempatan mengosongkan pundi-pundi Anda."
"Hei, Pendeta!" kata seorang pemuda yang mendapat peringatan karena mendesakkan diri ke  tengah.
"Maksud Anda saya?" kata Takuan sambil menunjuk hidungnya.
"Ya. Bapak terus menyuruh kami menunggu giliran, tapi Bapak mendahulukan perempuan."
"Saya suka perempuan sama dengan lelaki di belakangnya."
"Bapak ini mestinya salah seorang biarawan bejat yang selalu kami dengar ceritanya itu."
"Cukup, berudu! Kaukira aku tidak tahu kenapa kau di sini! Kau tidak datang untuk  menghormat sang Budha atau membawa pulang kebaikan. Kau datang untuk bisa memandang Otsu  lebih jelas! Nah, akuilah sekarang betul, kan? Tak bakal kau mendapat perempuan, kalau  kau berlaku seperti orang kikir."
Wajah Otsu berubah merah tua. "Takuan, hentikan. Hentikan sekarang juga, kalau tidak,  saya betul-betul marah!"Untuk mengistirahatkan matanya, Otsu kembali menghentikan pekerjaannya, lalu melayangkan  pandang kepada orang banyak. Tiba-tiba terpandang olehnya sesosok wajah.

 bersambung ke bagian 2


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP