Minuman Susu
JALAN yang menuruni
lereng Gunung Hiei berakhir di Provinsi Omi, di suatu tempat di seberang
Miidera.
Musashi menuntun
lembu itu dengan tambang. Sambil menoleh ia berkata lembut, "Kalau Nenek
mau, kita bisa istirahat. Rasanya kita tidak tergesa-gesa." Tapi
setidak-tidaknya mereka sudah berjalan, demikian pikirnya. Semula Osugi menolak
mentah-mentah naik binatang itu, karena tidak terbiasa naik lembu. Terpaksa
Musashi mengerahkan segala kecerdikannya untuk meyakinkan perempuan itu. Alasan
yang akhirnya dapat diterima Osugi adalah bahwa ia tidak dapat terus-terusan
tinggal di benteng tempat hidup membujang bagi para pendeta itu.
Dengan wajah
menelungkup ke leher lembu, Osugi merintih kesakitan dan tiap kali menyesuaikan
kedudukannya. Setiap kali Musashi menunjukkan perhatian kepadanya, ia
mengingatkan diri akan dendamnya dan diam-diam menunjukkan kebenciannya karena
dirawat oleh musuh bebuyutannya ini.
Walaupun Musashi
sadar benar bahwa tidak ada alasan lain bagi Osugi untuk hidup, kecuali
membalas dendam kepadanya, ia tidak dapat menganggap perempuan tua itu sebagai
musuh sejati. Tak seorang pun pernah demikian banyak menimbulkan kesulitan atau
rasa malu kepadanya, bahkan juga musuh-musuhnya yang lebih kuat, selain Osugi.
Tipu daya Osugi pernah membawanya ke tepi bencana di desanya sendiri. Karena
Osugi juga, Musashi diejek-ejek dan dicaci maki orang di Kiyomizudera.
Berkali-kali perempuan itu menjegal dan menggagalkan rencananya. Berulang kali
juga, seperti tadi malam, Musashi menyumpahinya dan hampir saja menyerah pada
dorongan hati untuk memotong perempuan itu menjadi dua.
Namun Musashi tidak
sampai hati menjatuhkan tangan padanya, terutama sekarang, ketika perempuan itu
sedang sakit dan kehilangan semangat yang biasa dipunyainya. Anehnya, diamnya
lidah jahat perempuan itu justru membuat Musashi tertekan. Ia ingin melihat
perempuan itu kembali sehat, sekalipun hal itu akan berarti lebih banyak
kesulitan baginya.
"Berkendaraan
macam begitu, mestinya memang tak nyaman," kata Musashi. "Cobalah
tahan sedikit lagi. Kalau kita nanti sampai diOtsu, saya cari akal lain."
Pemandangan ke arah
timur laut bagus sekali. Danau Biwa terhampar tenang di bawah mereka, Gunung
Ibuki di seberangnya, sedangkan puncak-puncak Echizen menjulang di kejauhan. Di
sisi danau itu, Musashi dapat melihat Delapan Pemandangan Karasaki yang
terkenal itu di Desa Seta.
"Mari kita
berhenti sebentar," kata Musashi. "Nenek akan merasa lebih enak kalau
turun dan berbaring di bawah beberapa menit." Ia tambatkan binatang itu ke
sebatang pohon, ia angkat perempuan itu, dan ia turunkan.
Dengan menunduk,
Osugi menjulurkan tangannya ke samping dan mengerang. Wajahnya panas karena
demam dan rambutnya kusut masai.
"Nenek tak ingin
air?" tanya Musashi untuk kesekian kalinya, sambil menggosok punggung
Osugi. "Nenek juga mesti makan." Tapi dengan keras Osugi menggeleng.
"Nenek belum minum setetes air pun sejak tadi malam," kata Musashi
lagi. "Kalau Nenek terus begini, Nenek akan lebih menyusahkan diri
sendiri. Saya ingin mencari obat buat Nenek, tapi tak ada rumah di sekitar
sini. Oh ya, bagaimana kalau Nenek makan separuh makanan saya?"
"Memuakkan!"
"Ha?"
"Lebih baik aku
mati di ladang dan dimakan burung-burung. Tak bakal aku begitu rendah, sampai
mau menerima makanan dari musuh!" Osugi mengibaskan tangan Musashi dan
punggungnya dan mencengkeram rerumputan.
Musashi
bertanya-tanya dalam hati, apakah perempuan itu akan pernah bisa mengatasi
salah pengertian yang mendasar di antara mereka. Maka diperlakukannya perempuan
itu semesra ia memperlakukan ibunya sendiri. dan dengan sabar Musashi
menenangkannya tiap kali perempuan itu menyerangnya.
"Nenek kan tahu
sendiri, Nenek tak ingin mati. Nenek mesti hidup. Apa Nenek tak ingin melihat
Matahachi mencapai sukses?"
Osugi meringis dan
menggeram, "Apa hubungannya denganmu? Tak lama lagi Matahachi akan maju
tanpa pertolonganmu."
"Saya yakin.
Tapi Nenek mesti sembuh, supaya Nenek sendiri dapat mendorongnya."
"Munafik!"
jerit perempuan itu. "Menghabiskan waktu saja kalau kau pikir dapat
menjilatku supaya aku melupakan kebencianku padamu."
Karena sadar bahwa
apa pun yang dikatakannya akan disalahartikan, maka Musashi berdiri dan pergi.
Ia memilih tempat di belakang batu, dan di situ ia makan gumpal-gumpal nasi
berisi empleng kacang manis berwarna gelap yang dibungkus satu-satu dengan daun
ek. Separuhnya tidak ia makan.
Karena mendengar
suara-suara orang, Musashi memandang ke sekitar batu dan melihat seorang
perempuan desa sedang berbicara dengan Osugi.
Perempuan itu
mengenakan hakama seperti biasa dipakai perempuan Ohara, dan rambutnya terurai
di bahu. Dengan suara nyaring, perempuan itu berkata, "Di tempat saya ada
perempuan sakit. Sudah lebih ringan keadaannya sekarang, tapi dia akan sembuh
lebih cepat lagi kalau saya memberinya susu. Boleh saya memerah lembu
ini?"
Osugi mengangkat muka
dan memandang perempuan itu dengan nada bertanya-tanya. "Di tempat asalku
tidak banyak lembu. Apa betul-betul engkau bisa memerahnya?"
Kedua orang itu
bercakap-cakap lagi sedikit, sementara perempuan itu berjongkok dan mulai
menyemprotkan air susu ke dalam guci sake. Ketika guci sudah penuh, ia berdiri
dan memegangnya erat-erat, katanya, "Terima kasih. Saya pergi
sekarang."
"Tunggu!"
teriak Osugi dengan suara serak. Ia mengulurkan tangan dan menoleh ke sekitar,
untuk memastikan bahwa Musashi tidak memperhatikan. "Berikan dulu sedikit
susu itu padaku. Satu-dua hirupan saja cukup."
Perempuan itu
memandang heran ketika Osugi meletakkan guci ke bibir, memejamkan mata, dan
mereguk susu dengan serakahnya, hingga susu mengucur ke dagunya.
Selesai minum, Osugi
bergidik, kemudian menyeringai, seolah-olah akan muntah. "Memualkan sekali
rasanya!" cibirnya. "Tapi siapa tahu bisa bikin aku sembuh?
Mengerikan sekali rasanya, lebih busuk daripada obat."
"Ada apa? Apa
Ibu sakit?"
"Ah, tidak
begitu parah. Masuk angin dan sedikit demam." Ia cepat berdiri, seakan
semua penyakitnya telah hilang, dan sesudah sekali lagi meyakinkan diri bahwa
Musashi tidak melihatnya, ia mendekati perempuan itu dan bertanya dengan suara
rendah, "Kalau aku ikuti jalan ini, sampai ke mana aku?"
"Sampai di atas
Miidera."
"Itu di Otsu,
kan? Apa ada jalan lain yang bisa kuambil?"
"Ya, ada, tapi
ke mana Ibu mau pergi?"
"Ke mana saja.
Aku cuma mau lepas dari bajingan itu!"
"Kira-kira
delapan atau sembilan ratus meter mengikuti jalan ini, ada jalan setapak ke
utara. Kalau Ibu ikuti saja jalan itu, Ibu akan sampai di antara Sakamoto dan
Otsu."
"Kalau kau
ketemu orang lelaki mencariku," kata Osugi mencuri-curi, "jangan
katakan kau melihatku." Ia pergi dengan ributnya, seperti belalang sembah
pincang yang terburu-buru, sampai-sampai tersenggol olehnya perempuan itu
dengan kikuknya.
Musashi mendecap dan
keluar dari balik batu. "Kukira engkau tinggal sekitar tempat ini,"
katanya bersahabat. "Suamimu petani, penebang kayu, atau yang semacam
itu?"
Perempuan itu gemetar
ketakutan, tapi menjawab, "Tidak. Saya dari penginapan di atas celah
itu."
"Oh, lebih baik
lagi. Kalau kau kuberi uang, mau kau lari mengerjakan suruhanku?"
"Dengan senang
hati, tapi begini, di penginapan saya ada orang sakit."
"Aku bisa
membawa susu itu pulang untukmu dan menantimu di sana. Bagaimana? Kalau kau
pergi sekarang, engkau bisa kembali sebelum gelap."
"Kalau begitu,
saya kira bisa, tapi..."
"Tak perlu
kuatir! Aku bukan bajingan seperti dikatakan perempuan tua itu tadi. Aku cuma
mau menolongnya. Kalau dia bisa jalan sendiri, tak ada alasan menguatirkan dia.
Sekarang akan kutulis surat. Kuminta kau menyampaikannya ke rumah Yang
Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro. Tempatnva di bagian utara kota."
Dengan kuas yang
dikeluarkannya dari kantong tulisnya, Musashi cepat menuliskan kata-kata yang
sudah ingin sekali ditulisnya kepada Otsu selama ia menyembuhkan diri di
Mudoji. Selesai mempercayakan surat itu kepada perempuan tersebut, ia menaiki
lembunya dan berangkat. Diulang-ulangnya kata-kata yang telah ditulisnya, dan
menduga-duga bagaimana perasaan Otsu sewaktu membacanya. "Padahal semula
kupikir aku takkan pernah melihatnya lagi," gumamnya, tiba-tiba tersadar
kembali.
"Melihat kondisi
badannya yang lemah," demikian renungnya, "dia bisa terbaring sakit
lagi di tempat tidur. Tapi kalau dia menerima suratku, pasti dia bangun dan
datang secepatnya. Jotaro juga."
Ia biarkan lembu itu
berjalan seenaknya. Sekali-sekali ia berhenti, memberikan hewan itu kesempatan
merumput. Surat kepada Otsu itu sederhana. tapi ia cukup senang juga: "Di
Jembatan Hanada engkaulah yang menanti. Kali ini biarlah aku yang menanti. Aku
sudah mendahului. Akan kunanti engkau di Otsu, di Jembatan Kara, Desa Seta.
Kalau nanti kita berkumpul lagi, kita akan bicara tentang banyak hal." Ia
mencoba memberikan nada puitis kepada pesan itu sendiri, seraya merenungkan
kata-kata "bicara tentang banyak hal".
Sampai di penginapan
ia turun dari lembu, dan sambil memegang air susu dengan kedua tangan,
panggilnya, "Ada orang di sini?"
Sebagaimana biasa
pada bangunan tepi jalan jenis ini, di situ terdapat tempat terbuka di bawah
ujung atap depan, untuk para musafir yang berhenti untuk minum teh atau makan
makanan kecil. Di dalam terdapat ruang teh yang sebagian merupakan dapur.
Kamar-kamar tamu ada di belakang. Seorang perempuan tua sedang memasukkan kayu
ke dalam tungku tanah. Di atas tungku ada dandang kayu.
Ketika Musashi
mengambil tempat duduk di bangku depan, perempuan itu datang menuangkan
secangkir teh suam-suam kuku untuknya. Musashi kemudian memberikan keterangan
dan menyerahkan guci itu kepadanya.
"Apa ini?"
tanya perempuan itu sambil menatap Musashi ragu-ragu.
Karena menduga
perempuan itu tuli, Musashi mengulangi ucapannya.
"Susu, Anda
bilang susu? Untuk apa?" Masih dengan sikap heran menoleh ke dalam
penginapan dan serunya, "Pak, apa Bapak bisa keluar sebentar? Saya tak
mengerti, urusan apa ini."
"Apa?"
Seorang lelaki berjalan seenaknya lewat sudut penginapan dan bertanya,
"Ada apa?"
Si perempuan
menyorongkan guci ke tangan orang itu, tapi orang itu tidak melihat ataupun
mendengarkan apa yang dikatakannya. Matanya lekat pada Musashi, dan pada
wajahnya tergambar kesan tak percaya. Musashi sendiri terkejut, teriaknya,
"Matahachi!"
"Takezo!"
Kedua orang itu
bergegas saling mendekati, dan baru berhenti ketika akan bertubrukan. Musashi
mengulurkan tangannya, dan Matahachi berbuat demikian juga, hingga guci
terjatuh.
"Berapa
tahun!"
"Sejak
Sekigahara."
"Jadi,
sudah..."
"Lima tahun. Ya,
tentunya. Umurku sudah dua puluh dua sekarang."
Selagi keduanya
saling dekap, bau manis susu dari guci yang pecah menyelimuti mereka,
membangkitkan kembali kenangan akan masa-masa mereka berdua masih bayi di dalam
gendongan.
"Kau jadi
terkenal sekali, Takezo. Tapi... mestinya aku tak boleh memanggilmu Takezo
sekarang. Akan kupanggil engkau Musashi, seperti semua orang lain. Aku sudah
mendengar cerita keberhasilanmu di pohon pinus lebar itu... dan tentang
beberapa hal yang sudah kaulakukan sebelum itu."
"Jangan bikin
aku malu. Aku masih amatir. Hanya saja dunia ini rupanya penuh dengan
orang-orang yang tidak sebaik diriku. Omong-omong, apa kau tinggal di
sini?"
"Ya, aku di sini
sekitar sepuluh hari. Aku tinggalkan Kyoto dengan maksud pergi ke Edo, tapi ada
sesuatu yang menghalangi."
"Ada yang
bilang, di sini ada orang sakit. Yah, tak bisa aku berbuat apaapa soal itu
sekarang, tapi sebetulnya itulah sebabnya aku membawa susu itu tadi."
"Sakit? O ya...
itu teman perjalananku."
"Sayang sekali.
Tapi biar bagaimana, aku senang ketemu kau. Berita terakhir darimu adalah surat
yang dibawa Jotaro itu, ketika aku dalam perjalanan ke Nara."
Matahachi menundukkan
kepala, dengan harapan Musashi takkan menyebut-nyebut ramalan penuh bualan yang
ia buat waktu itu.
Musashi meletakkan
tangan ke bahu Matahachi. Terpikir olehnya alangkah senang bertemu lagi dengan
temannya ini, dan alangkah ingin ia berbicara panjang-lebar dengannya.
"Siapa yang
berjalan denganmu itu?" tanyanya polos.
"Ah, bukan
siapa-siapa, bukan orang yang menarik bagimu. Cuma..."
"Tak apa. Mari
kita mencari tempat buat berbicara."
Ketika mereka
berjalan meninggalkan penginapan, Musashi bertanya. "Bagaimana
penghidupanmu?"
"Maksudmu
pekerjaan?"
"Ya."
"Aku tak punya
bakat atau keterampilan khusus, karena itu sukar buatku mendapat kedudukan pada
daimyo. Tak dapat aku mengatakan sedang melakukan sesuatu yang khusus."
"Maksudmu, kau
bermalas-malasan saja bertahun-tahun ini?" tanya Musashi, yang samar-samar
sudah menduga apa yang sebenarnya terjadi.
"Sudahlah.
Mengatakan hal-hal seperti itu cuma membangkitkan kembali segala macam kenangan
tak enak." Rupanya pikiran Matahachi melayang ke masa mereka berada dalam
bayangan Gunung Ibuki. "Kesalahan besar yang kulakukan adalah bergaul
dengan Oko itu."
"Mari kita
duduk," kata Musashi sambil bersila di rumput. Ia merasa jengkel, kenapa
Matahachi bersikeras menganggap dirinya lebih rendah? Dan kenapa ia menyalahkan
orang lain untuk segala kesulitannya? "Kau ini menyalahkan semuanya pada
Oko," katanya tegas, "tapi apa itu cara bicara seorang dewasa? Tak
seorang pun dapat menciptakan hidup yang berguna buatmu, kecuali dirimu
sendiri."
"Aku mengaku
salah, tapi... bagaimana aku dapat menerangkannya? Rupanya aku tak mampu
mengubah nasibku sendiri."
"Pada zaman
seperti sekarang ini, kau takkan sampai ke mana-mana kalau kau berpikir seperti
itu. Pergilah ke Edo kalau mau, tapi sesampainva di sana, kau akan bertemu
orang-orang dari seluruh negeri ini, yang masing-masing haus akan uang dan
kedudukan. Kau takkan punya nama kalau cuma melakukan apa yang dilakukan orang
lain. Kau mesti membedakan dirimu dari yang lain, dengan caramu sendiri."
"Ketika masih
muda, mestinya aku belajar main pedang."
"Kebetulan
sekarang kau menyebut itu. Aku ragu-ragu, apakah patut kau menjadi pemain
pedang. Biar bagaimana, kau baru mulai. Barangkali kau perlu memikirkan
kemungkinan menjadi sarjana. Kukira itulah jalan terbaik buatmu mencari
kedudukan pada seorang daimyo."
"Jangan kuatir,
aku pasti akan berbuat sesuatu." Matahachi mencabut selembar rumput dan
menyelipkannya ke antara giginya. Perasaan malu menindasnya. Sungguh memalukan,
menyadari akibat dari bermalas-malasan lima tahun lamanya itu. Tadinya ia
selalu dapat menepiskan cerita-cerita yang didengarnya tentang Musashi dengan
cukup gampang. Tapi sesudah berhadapan benar-benar seperti ini, jelas kelihatan
perbedaan besar di antara mereka. Di depan Musashi yang perkasa, sukar
Matahachi mengenang kembali bahwa dahulu mereka berdua teman karib. Bahkan
sifat muka Musashi pun terasa menekan. Rasa iri maupun semangat bersaing tak
dapat menghilangkan perihnya menyadari
ketidakbecusannya sendiri.
"Besarkan
hatimu!" kata Musashi. Tapi bahkan ketika menepuk bahu Matahachi pun, ia
dapat merasa temannya itu lemah. "Yang sudah, sudahlah. Lupakan masa
lalu," desaknya. "Kalaupun sudah kauhamburkan lima tahun yang lalu
itu, apa salahnya? Yang penting, kau mulai untuk lima tahun berikutnya. Lima
tahun yang lalu itu, dengan caranya sendiri, sudah memberikan pelajaran
berharga."
"Tahun-tahun
yang sungguh brengsek."
"Oh, ya, aku
lupa. Aku baru meninggalkan ibumu tadi."
"Kau ketemu
ibuku?"
"Ya. Perlu
kukatakan, aku sungguh tak mengerti kenapa kau tidak lahir dengan banyak
kekuatan dan keuletan." Dan ia juga tak dapat mengerti, kenapa Osugi
memiliki anak seperti itu, anak yang begitu enggan bekerja dan begitu
mengasihani diri sendiri. Ia ingin mengguncang temannya itu, mengingatkannya,
betapa beruntung ia memiliki ibu. Sambil menatap Matahachi, ia bertanya pada
diri sendiri, bagaimana meredakan murka Osugi. Dan jawabannya pun datang segera
kalau Matahachi sendiri sudah berhasil....
"Matahachi,"
katanya khidmat. "Memiliki ibu seperti ibumu itu, apa tidak ingin kau mencoba
melakukan sesuatu untuk menyenangkannya? Sebagai orang yang tak punya orangtua,
terpaksa aku berpendapat bahwa kau tidak cukup menunjukkan rasa syukur.
Bukannya karena kau tidak cukup menunjukkan rasa hormat. Tapi biarpun
dikaruniai bekal terbaik yang mungkin dimiliki seseorang, rupanya kau
menganggapnya tak lebih dari kotoran. Kalau aku punya ibu seperti ibumu, aku
pasti jauh lebih ingin memperbaiki diriku dan melakukan sesuatu yang
betul-betul berguna, semata-mata karena akan ada orang yang bisa kuajak berbagi
kebahagiaan. Tak seorang pun merasa lebih gembira dengan sukses seorang manusia
daripada orangtuanya sendiri.
"Mungkin
kedengarannya aku cuma menyemburkan nasihat hampa. Tapi dari seorang pengembara
seperti diriku, bukan itu soalnya. Sukar bagiku menyatakan padamu, betapa sepi
rasaku apabila aku menjumpai pemandangan indah, kemudian tiba-tiba aku sadar,
tak ada orang lain yang bisa kuajak menikmatinya."
Musashi berhenti
untuk mengatur napas, dan memegang tangan temannya. "Kau tahu sendiri, apa
yang kukatakan ini benar. Kau tahu aku bicara sebagai teman lama, sebagai orang
yang datang dari desa yang sama. Mari kita mencoba menangkap kembali semangat
yang pernah kita miliki ketika kita berangkat ke Sekigahara. Sekarang tidak ada
lagi perang, tapi perjuangan untuk tetap hidup di dunia yang damai tidak kurang
sukarnya. Kau mesti berjuang, mesti memiliki rencana. Kalau kau mau mencoba,
aku mau berbuat segalanya untuk membantumu."
Air mata Matahachi
jatuh ke tangan mereka yang saling genggam. Walaupun kata-kata Musashi serupa
dengan khotbah-khotbah ibunya yang membosankan, ia betul-betul tergerak oleh
perhatian temannya.
"Kau
benar," katanya sambil menghapus air matanya. "Terima kasih. Akan
kulakukan apa yang kaukatakan itu. Aku akan menjadi orang baru sejak sekarang.
Aku sependapat, aku bukan jenis orang yang akan berhasil menjadi pemain pedang.
Aku akan pergi ke Edo dan mencari seorang guru. Kemudian aku akan belajar giat.
Aku bersumpah akan melakukan itu."
"Aku sendiri
akan membuka mata, mencari guru yang baik, juga majikan yang baik tempat kau
bisa bekerja. Kau bahkan bisa bekerja dan belajar sekaligus."
"Oh, itu bisa
seperti mulai hidup lagi. Tapi ada satu hal yang menggangguku."
"Ya? Seperti
kukatakan tadi, aku akan berusaha membantumu sebisaku. Setidaknya itulah yang
dapat kulakukan untuk menebus apa yang telah membuat ibumu begitu marah."
"Aduh, tapi
memalukan juga ini. Kau tahu, teman jalanku itu seorang perempuan. Dia... oh,
tak dapat aku menyebutkannya."
"Ayo, bicaralah
seperti lelaki!"
"Kau jangan
marah. Dia orang yang kau kenal."
"Siapa?"
"Akemi."
Musashi terkejut, dan
pikirnya, "Tak mungkin lagi dia memungut perempuan yang lebih gawat dari
itu." Tapi sebelum sempat mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menahan
diri.
Benar, secara seksual
Akemi tidak sebejat ibunya, setidaknya belum, tetapi ia sudah mengarah ke
sana-seperti burung yang terbang membawa obor kehancuran. Disamping peristiwa
dengan Seijuro, Musashi sangat curiga ada apa-apa juga antara perempuan itu
dengan Kojiro. Ia heran nasib jahat apa yang telah mengantar Matahachi kepada
perempuan-perempuan seperti Oko dan anaknya.
Matahachi salah
menafsirkan diamnya Musashi sebagai tanda cemburu. "Kau marah, ya? Aku
menceritakan ini dengan jujur padamu karena kupikir sebaiknya aku tidak
menyembunyikannya."
"Orang tolol!
Yang kukuatirkan itu kau! Apa kau sudah terkutuk sejak lahir, atau kau sengaja
meninggalkan jalanmu buat mencari nasib buruk. Kupikir kau sudah mengambil
pelajaran dari Oko."
Menjawab pertanyaan
Musashi itu, Matahachi bercerita bagaimana ia dan Akemi sampai dapat
bersama-sama. "Barangkali aku kena hukum karena meninggalkan Ibu,"
simpulnya. "Akemi sakit kaki ketika jatuh ke dalam ngarai, dan kaki itu
semakin buruk keadaannya, jadi..."
"Oh, jadi Bapak ada
di sini!" kata perempuan tua dari penginapan itu dalam logat setempat. Ia
sudah tak tentu tingkahnya dan pikun. Dengan tangan di belakang, sambil
memandang ke langit, seakan-akan sedang memerikn cuaca, ia berkata,
"Perempuan yang sakit itu tidak dengan Bapak," tambahnya. Nada
bicaranya tidak jelas, apakah ia bertanya atau memberi kabar.
Dengan wajah sedikit
merah, Matahachi berkata, "Akemi? Kenapa dia?"
"Dia tak ada di
tempat tidur."
"Betul?"
"Beberapa waktu
lalu dia masih ada, tapi sekarang tak ada."
Walaupun indra keenam
Musashi sudah tahu apa yang terjadi, ia hanya mengatakan, "Lebih baik kita
lihat."
Tilam Akemi masih
terhampar di lantai, tapi kamar itu kosong.
Matahachi memaki-maki
dan sia-sia mengelilingi kamar. Dengan wajah merah padam ia berkata. "Tak
ada obi, tak ada uang! Sisir dan peniti saja tak ada! Gila dia! Kenapa sih
dia... meninggalkan aku macam ini!"
Perempuan tua itu
berdiri di pintu masuk. "Brengsek," katanya, seakan pada diri
sendiri. "Saya barangkali tak boleh mengatakannya, tapi gadis itu tidak
sakit. Dia cuma pura-pura, supaya dapat tinggal di tempat tidur. Saya memang
tua, tapi saya dapat mengenali hal-hal seperti itu."
Matahachi berlari ke luar,
dan berdiri menatap jalan putih yang membelok sepanjang sisi bukit. Lembu yang
berbaring di bawah pohon persik memecahkan kesunyian dengan lenguhnya yang
panjang mengantuk. Kembang persik mulai menua warnanya dan berjatuhan.
"Matahachi,"
kata Musashi, "kenapa kau berdiri bermuram durja? Mari kita doakan dia
menemukan tempat menetap dan menempuh hidup damai, dan biarlah saja
demikian."
Seekor kupu-kupu
kuning terlontar tinggi ke udara oleh angin pusaran, dan akhirnya terjatuh di
ujung karang.
"Aku senang
sekali dengan janji yang kauberikan itu," kata Musashi. "Apa bukan
sekarang waktunya bertindak, yaitu kau betul-betul mencoba menggembleng
dirimu?"
"Ya, itu yang
mesti kulakukan, rasanya," gumam Matahachi tanpa semangat, sambil
menggigit bibir bawahnya agar tidak menggeletar.
Musashi memutarnya
agar tidak lagi memandang jalan kosong. "Dengar," katanya riang.
"Jalanmu sekarang terbuka. Ke mana pun Akemi pergi, itu tak cocok untukmu.
Sekarang pergilah, sebelum terlambat. Ambillah jalan yang berada di antara
Sakamoto dan Otsu. Kau masih dapat menjumpai ibumu sebelum malam. Kalau nanti
kautemukan, jangan lepaskan lagi dia."
Untuk menekankan
kata-katanya, Musashi mengambil sandal dan pembalut kaki Matahachi, kemudian ia
masuk penginapan dan kembali dengan barang-barang milik Matahachi yang lain.
"Kau punya
uang?" tanyanya. "Aku sendiri tak punya banyak, tapi kau bisa pakai
sebagian. Kalau menurutmu Edo cocok buatmu, aku akan pergi ke sana denganmu.
Malam ini aku ada di Jembatan Kara di Seta. Sesudah kau menemukan ibumu, cari
aku di sana. Kuharap kau membawa ibumu."
Sesudah Matahachi
berangkat, Musashi beristirahat menanti turunnya senja dan jawaban atas
suratnya. Ia membaringkan diri di bangku di belakang ruang teh, lalu memejamkan
mata, dan segera bermimpi tentang dua kupu-kupu yang mengapung di udara, sambil
bersenang-senang di antara cabang-cabang pohon yang saling berjalin. Seekor di
antara kupukupu itu dikenalinya—Otsu!
Ketika ia terbangun,
cahaya matahari yang condong sudah mencapai dinding belakang ruang teh. Ia
mendengar seorang lelaki berkata, "Dari segi mana pun, penampilan mereka
betul-betul brengsek."
"Maksudmu
orang-orang Yoshioka?"
"Betul."
"Orang terlalu
menghormati perguruan itu karena nama baik Kempo. Rupanya di bidang apa pun,
cuma angkatan pertama itu yang besar artinya. Angkatan berikut sudah tidak
semarak, dan pada angkatan ketiga semuanya berantakan. Jarang kita melihat
kepala angkatan keempat dikubur di samping pendirinya."
"Oh, aku
bermaksud dikubur di samping buyutku."
"Tapi kau kan
cuma seorang pembelah batu? Yang kubicarakan ini orang-orang terkenal. Kalau
kaupikir omonganku ini salah, coba lihat apa yang terjadi dengan ahli waris
Hideyoshi."
Para pembelah batu
itu bekerja di lubang galian di dalam lembah, dan. sekitar pukul tiga sore
mereka datang ke penginapan untuk minum teh. Sebelumnya, seorang dari mereka
yang tinggal dekat Ichijoji menyatakan bahwa ia melihat pertempuran itu dari
permulaan sampai penghabisan. Sesudah berlusin kali menyampaikan cerita itu,
sekarang ia dapat bercerita dengan kefasihan yang menggetarkan, dan dengan
pandainya ia membunga-bungai kenyataan dan meniru-nirukan gerak-gerik Musashi.
Sementara para
pembelah batu asyik mendengarkan ceritanya, empat orang lain datang dan
mengambil tempat duduk di depan: Sasaki Kojiro dan tiga samurai dari Gunung
Hiei. Wajah cemberut mereka membuat para pekerja merasa tak enak, karena itu
mereka mengangkat cangkir teh dan mengundurkan diri ke dalam. Tapi ketika kisah
jadi semakin seru. mulailah mereka tertawa-tawa dan berkomentar, dan sering
sekali mereka mengulang-ulang nama Musashi dengan penuh kekaguman.
Kojiro sampai pada
batas kesabarannya, dan ia berseru keras, "Hei kalian yang di sana!"
"Ya, Tuan,"
jawab mereka serentak, dan dengan sendirinya menundukkan kepala.
"Apa yang
terjadi di sini? Kamu!" Kojiro menudingkan kipasnya yang berkerangka baja
pada orang itu. "Kau bicara seperti orang yang tahu banyak. Coba ke sini!
Yang lain-lain juga! Takkan kuapa-apakan."
Ketika mereka
berjalan pelan kembali ke luar, Kojiro melanjutkan, "Dari tadi aku
mendengarmu menyanyikan pujian kepada Miyamoto Musashi„ dan sekarang aku sudah
bosan. Yang kau ceritakan itu omong kosong."
Orang pun memandang
bertanya-tanya dan berbisik-bisik keheranan.
"Kenapa
kauanggap Musashi pemain pedang besar? Hei kau... kau melihat pertempuran itu,
tapi percayalah, aku Sasaki Kojiro, juga melihatnya. Sebagai saksi resmi, aku
memperhatikan setiap bagian kecilnya. Kemudian aku pergi ke Gunung Hiei dan
memberikan kuliah pada murid pendeta, tentang apa yang sudah kulihat. Lebih
dari itu, atas undangan beberapa sarjana ulung, aku mengunjungi beberapa kuil
cabang dan memberikan kuliah lebih banyak lagi.
"Nah, tidak
seperti aku, kalian semua tidak tahu apa-apa tentang permainan pedang."
Nada menggurui menjalari suara Kojiro. "Kalian hanya melihat siapa menang
dan siapa kalah, kemudian kalian menggabungkan diri memuji Miyamoto Musashi,
seolah-olah dia pemain pedang terbesar yang pernah hidup.
"Biasanya aku
tak mau bersusah-susah menyangkal ocehan orang awam, tapi aku merasa perlu
melakukannya sekarang, karena pandangan-pandangan kalian yang keliru itu
merugikan masyarakat luas. Lebih dari itu, aku mau menunjukkan salahnya pikiran
kalian, untuk kepentingan para sarjana terkemuka yang menyertaiku hari ini.
Bersihkan telinga kalian dan dengarkan baik-baik. Akan kuceritakan apa yang
sebenarnya terjadi di pohon pinus lebar itu, dan manusia macam apa Musashi
itu."
Suara-suara tunduk
terdengar di antara hadirin yang terperangkap di situ.
"Pertama-tama,"
kata Kojiro muluk, "mari kita tinjau apa yang sebenarnya ada dalam pikiran
Musashi—maksudnya yang tersembunyi. Dilihat dari caranya memancing pertarungan
terakhir itu, aku hanya dapat menyimpulkan bahwa dia berusaha mati-matian
menjual namanya, menciptakan nama baik bagi dirinya. Untuk itu dia memilih
Keluarga Yoshioka, perguruan pedang paling terkenal di Kyoto, dan secara licik
membuka perkelahian. Keluarga Yoshioka menjadi korban tipu muslihat ini, dan
menjadi batu loncatan bagi Musashi menuju kemasyhuran dan keberhasilan.
"Apa yang
dilakukannya itu tidak jujur. Sudah umum diketahui bahwa zaman Yoshioka Kempo
sudah lewat, bahwa Perguruan Yoshioka telah merosot. Perguruan itu seperti
pohon layu atau orang cacat yang sudah menjelang ajal. Yang dilakukan Musashi
sekadar mendorong bangkai kosong itu. Siapa saja dapat melakukan hal itu, tapi
tak seorang pun melakukannya. Kenapa? Karena kami yang mengerti Seni Perang
sudah tahu bahwa perguruan itu sudah tak ada daya. Kedua, karena kami tak ingin
membikin suram nama Kempo yang terhormat. Namun Musashi sengaja memancing
insiden, memasang papan tantangan di jalan-jalan Kyoto, menyebarkan
desas-desus, dan akhirnya mengadakan pertunjukan besar dengan melakukan hal
yang oleh pemain pedang cakap mana pun dapat dilakukan.
"Tak bisa
rasanya aku menyebutkan satu demi satu tipu daya murah dan pengecut yang
digunakannya. Kita sebutkan misalnya dia datang terlambat menghadapi
pertarungan dengan Yoshioka Seijuro maupun dengan Denshichiro. Dia bukannya
menjumpai musuh-musuhnya langsung ke pohon pinus lebar, tapi datang dengan
jalan memutar dan menggunakan segala macam muslihat keji.
"Telah
ditetapkan bahwa dia hanya seorang diri melawan banyak orang. Itu benar, tapi
itu hanya bagian dari rencana setannya untuk membesarkan namanya. Dia tahu
benar bahwa karena dia kalah dalam jumlah, umum akan bersimpati kepadanya. Tapi
ketika pertempuran yang sebenarnya terjadi, yang ada tidak lebih dari permainan
kanak-kanak. Ini dapat kuceritakan pada kalian, karena aku menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Musashi berhasil sesaat menyelamatkan nyawanya dengan tipu
daya licik. kemudian ketika kesempatan lari datang, dia lari. Memang, aku
harus, mengakui sampai batas tertentu dia memperlihatkan semacam kekuatan
besar. Tapi itu tidak membuatnya menjadi seorang pemain pedang ahli. Tidak sama
sekali! Hak kemasyhuran terbesar yang dipunyai Musashi adalah kemampuannya
untuk lari kencang. Dalam lari cepat, dia tak punya tandingan."
Kata-kata itu
sekarang membanjir keluar dari mulut Kojiro, seperti air meluap dari bendungan.
"Orang biasa
berpendapat, sukar bagi pemain pedang yang sendirian bertempur melawan sejumlah
besar lawan, tapi sepuluh orang tidak mesti sepuluh kali lebih kuat dari satu
orang. Bagi orang yang ahli, jumlah tidak selamanya penting." Kojiro
kemudian memberikan kritik profesional tentang pertempuran itu. Tidak sukar
mengecilkan prestasi Musashi, karena sekalipun ia memiliki keberanian, setiap
pengamat yang berpengetahuan dapat menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam
penampilannya. Ketika ia akhirnya menyebutkan Genjiro, kata-kata Kojiro pedas
dan tajam. Ia mengatakan pembunuhan atas anak itu merupakan kekejian, suatu
pelanggaran atas etika permainan pedang yang tidak dapat diampuni dari sudut
mana pun.
"Sekarang
baiklah kusampaikan latar belakang Musashi!" teriaknya marah. Kemudian ia
mengungkapkan bahwa beberapa hari lalu ia berjumpa dengar Osugi sendiri di
Gunung Hiei dan mendengarkan cerita panjang dar, lengkap tentang sifat munafik
Musashi. Tanpa memberikan perincian, ia menguraikan berbagai pengalaman pahit
yang diderita oleh "wanita tua yang manis" itu. Ia mengakhiri cerita
itu dengan mengatakan, "Sungguh aku bergidik memikirkan bahwa ada
orang-orang yang berteriak memuji-muji bangsat. Akibatnya terhadap moral
masyarakat sungguh mengerikan, kalaian renungkan hal itu. Dan inilah sebabnya
aku bicara begini panjang. Aku tak punya hubungan dengan Keluarga Yoshioka, dan
aku pun tak punya dendam pribadi terhadap Musashi. Aku bicara pada kalian
secara adil tidak berat sebelah, sebagai orang yang setia kepada Jalan Pedang,
sebagai orang yang bertekad secara sepantasnya mengikuti jalan itu! Aku telah
menyampaikan kebenaran kepada kalian. Ingatlah itu!"
Ia terdiam, lalu
memuaskan dahaganya dengan secangkir teh lalu:menoleh kepada teman-temannya,
dan katanya pelan sekali, "Oh, matahari sudah hampir terbenam. Kalau Anda
sekalian tidak segera berangkat, bisa-bisa sesudah gelap pun Anda belum sampai
Miidera."
Para samurai dari
kuil itu bangkit untuk berangkat.
"Jaga diri
Anda," kata seorang dari mereka.
"Mudah-mudahan
kita bertemu lagi, kalau Anda kembali ke Kyoto."
Para pembelah batu
mendapat kesempatan pergi, dan seperti tawanan yang dibebaskan pengadilan,
mereka bergegas kembali ke lembah yang kini terselimut bayang-bayang keunguan
dan bergema oleh nyanyian burung bulbul.
Kojiro memperhatikan
kepergian mereka, kemudian berseru ke dalam penginapan, "Saya letakkan
uang teh di atas meja ya, apa Ibu punya sumbu bedil?"
Perempuan itu sedang
berjongkok di depan tungku tanah, menyiapkan rnakan malam. "Sumbu?"
tanyanya. "Ada satu ikat tergantung di sudut belakang sana. Ambil sebanyak
Tuan mau."
Kojiro melangkah ke
sudut. Ketika ia sedang menarik dua-tiga di antaranya dari ikatan, sumbu-sumbu
yang lain jatuh ke bangku di bawah. Dan ketika ia membungkuk akan mengambilnya,
terlihat olehnya dua kaki terentang di atas bangku. Pelan-pelan matanya menjalar
dari kaki itu ke rubuh, dan kemudian ke wajah orang tersebut. Guncangan yang
diperolehnya waktu itu sungguh seperti pukulan keras pada jaringan saraf
simpatis.
Musashi menatap
langsung kepadanya.
Kojiro meloncat
mundur selangkah.
"Ya, ya,"
kata Musashi sambil menyeringai lebar. Tanpa terburu-buru ia berdiri dan pergi
ke sisi Kojiro. Di situ ia berdiri tenang, wajahnya tampak riang dan maklum.
Kojiro mencoba
tersenyum membalas, tapi otot-otot wajahnya menolak runduk. Seketika ia sadar
bahwa Musashi tentunya sudah mendengar setiap patah kata yang diucapkannya,
karena itu rasa malunya pun semakin tak tertanggungkan lagi. Ia merasa Musashi
sekarang menertawakannya. Sebentar kemudian ia sudah memperoleh kembali rasa
percaya dirinya, tapi selama masa peralihan yang singkat itu, sikap bingungnya
tak dapat diragukan lagi.
"Terus terang,
Musashi, aku tak mengharapkan melihatmu di sini," katanya.
"Senang
melihatmu lagi."
"Ya, ya,
betul." Baru diucapkan pun kata-kata itu sudah disesalinya, namun ia tak
dapat berbuat lain, dan lanjutnya, "Mesti kukatakan, kau hetul-betul sudah
membuat tenar namamu sejak terakhir kita bertemu. Sukar dipercaya bahwa seorang
manusia dapat berkelahi seperti yang kaulakukan itu. Izinkan aku mengucapkan
selamat. Kau bahkan tetap kelihatan biasa-biasa saja."
Dengan sisa senyum di
bibirnya, Musashi berkata dengan sikap sopan dilebih-lebihkan, "Terima
kasih atas kesediaanmu menjadi saksi hari itu. Dan terima kasih juga atas
kritik yang baru saja kau berikan atas penampilanku. Tidak sering kita dapat
melihat diri sendiri menurut pandangan orang lain. Aku sangat berutang budi
padamu atas komentarmu. Percayalah. aku takkan lupa."
Sekalipun dalam nada
tenang dan tanpa dendam, pernyataan terakhir itu membuat bulu roma Kojiro
tegak. Ia memahami kata-kata itu sebagaimana adanya, suatu tantangan yang mesti
dilayani di masa depan.
Kedua orang itu, yang
sama-sama angkuh, sama-sama keras kepala, dan sama-sama yakin akan kebenarannya
sendiri, cepat atau lambat pasti akan bertumbukan. Musashi siap menanti, tapi
ketika ia mengatakan, "Aku takkan lupa," sebenarnya ia cuma
menyampaikan kebenaran belaka. Ia sudah menganggap kemenangannya yang paling
baru itu sebagai batu pengukur dalam kariernya sebagai pemain pedang, suatu
titik tinggi dalam perjuangannya menyempurnakan diri. Fitnah-fitnah Kojiro itu
takkan dibiarkan terus-terusan tanpa tantangan.
Sekalipun Kojiro
membumbui pidatonya untuk membuai para pendengarnya, sesunggahnya pendapatnya
sendiri tentang peristiwa itu sama dengan yang telah dilukiskannya, dan tidak
berbeda dengan yang sudah ia kemukakan. Dan ia tidak sangsi sama sekali
mengenai ketepatan penilaiannya terhadap Musashi.
"Aku senang
mendengarmu mengatakan itu," kata Kojiro. "Dan aku takkan ingin kau
melupakannya. Aku juga takkan lupa." Musashi masih tersenyum ketika ia
mengangguk setuju.
0 komentar:
Posting Komentar