bagian 12
Ngengat di
Musim Dingin
TIAP hari,
sesudah menyelesaikan kewajiban di biara, para gadis yang hidup di Wisma
Perawan dengan buku di tangan pergi ke ruang belajar di rumah Arakida. Di sana
mereka belajar tata bahasa dan berlatih menulis sajak. Untuk menarikan
tari-tarian keagamaan, mereka mengenakan kimono sutra putih dengan celana
bertepi lebar merah tua yang disebut hakama. Tapi sekarang mereka berkimono
lengan pendek dan berhakama katun putih, yang biasa mereka kenakan pada waktu
belajar atau melakukan pekerjaan rumah tangga.
Sekelompok
gadis menghambur keluar dari pintu belakang, dan tiba-tiba seorang di antaranya
berseru, "Apa itu?" dan menuding bungkusan serta pedang yang terikat
di sana, yang pada malam sebelumnya digantungkan Musashi.
"Punya
siapa itu menurutmu?"
"Mestinya
punya samurai."
"Sudah
pasti."
"Tidak,
bisa juga pencuri yang meninggalkannya di sini."
Mereka
berpandangan dan menahan napas, seakan-akan menemukan begal itu sendiri yang
berikat kepala kulit dan sedang tidur slang. "Barangkali kita mesti
memberitahu Otsu," saran seorang di antaranya, dan dengan persetujuan
bersama mereka berlari kembali ke asrama dan berseru dari bawah susuran tangga
di luar kamar Otsu.
"Sensei!
Sensei! Ada yang aneh di bawah sini. Coba lihat sini!"
Otsu
meletakkan kuas tulisnya di meja dan menjulurkan kepala ke luar jendela.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ada
pencuri meninggalkan pedang dan bungkusan. Keduanya di sana, tergantung di
dinding belakang."
"Ha?
Lebih baik itu kalian bawa ke rumah Arakida."
"Ah,
jangan! Kami takut memegangnya."
"Itu
namanya ribut tak keruan saja. Ayo belajar sana, dan jangan buangbuang waktu
lagi."
Begitu Otsu
turun dari kamarnya, gadis-gadis itu sudah pergi. Yang tinggal di asrama itu
hanyalah perempuan tua juru masak dan seorang gadis yang sakit.
"Barang-barang siapa yang tergantung di sini ini?" tanya Otsu kepada
juru masak.
Juru masak
tentu saja tidak tahu.
"Biar
kubawa ke rumah Arakida," kata Otsu. Ketika ia turun membawa bungkusan dan
pedang itu, hampir saja barang-barang itu terjatuh karena beratnya. Mengangkat
barang itu ia merasa heran, bagaimana kaum pria biasa berjalan membawa beban
seberat itu.
Otsu dan
Jotaro datang ke tempat itu dua bulan sebelumnya, sesudah mondar-mandir di
Jalan Iga, Omi, dan Mino mencari Musashi. Sesampai di Ise, mereka putuskan
untuk menetap selama menanti musim dingin, karena akan sukar berjalan menerobos
pegunungan selagi ada salju. Semula Otsu memberikan pelajaran suling di daerah
Toba, tapi kemudian ia menarik minat kepala Keluarga Arakida, yang sebagai
pemimpin upacara resmi menduduki tempat kedua sesudah pendeta kepala.
Ketika
Arakida meminta Otsu datang ke biara untuk mengajar gadis-gadis itu, ia pun
menerima, bukan karena ingin mengajar, melainkan karena berminat mempelajari
musik kuno, musik suci. Juga, kedamaian hutan tempat suci itu telah
mengimbaunya; dan lagi ia ingin tinggal beberapa waktu lamanya bersama
gadis-gadis di tempat suci itu, yang umurnya sekurang-kurangnya tiga betas atau
empat betas tahun, dan sebanyak-banyaknya sekitar dua puluh.
Jotaro
sebetulnya menjadi penghalang Otsu menerima jabatan itu, karena ada larangan
menerima lelaki tinggal di asrama anak-anak perempuan, sekalipun umurnya masih
muda. Akhirnya keputusan yang mereka ambil adalah, slang hari Jotaro menyapu
pekarangan suci dan malam hari menginap di gudang kayu Keluarga Arakida.
Ketika Otsu
melintasi halaman biara, angin yang menakutkan dan lain dari biasanya bersiul
di antara pepohonan yang tak berdaun. Seberkas asap naik dari sebuah belukar di
kejauhan. Terpikir oleh Otsu, barangkali Jotaro di sana sedang menyapu
pekarangan dengan sapu bambunya. Ia berhenti dan tersenyum, ia merasa senang
bahwa Jotaro yang wataknya sukar diubah, hari-hari itu patuh sekali dan dengan
penuh tanggung jawab menyesuaikan diri dengan pekerjaan, justru pada umur ketika
anak-anak lelaki hanya senang bermain dan menyenang-nyenangkan diri.
Bunyi
gemeretak keras yang didengarnya itu mirip bunyi cabang pohon yang patah. Bunyi
itu terdengar lagi, dan sambil mencengkeram barang bawaannya, Otsu berlari
menyusuri jalan setapak melintas belukar, panggilnya,
"Jotaro!
Jo-o-ota-ro-o-o!"
"Ya-a-a?"
terdengar jawaban gagah. Sebentar saja Otsu sudah mendengar langkah Jotaro.
Tapi ketika anak itu sudah berhenti di depannya, ia hanya mengatakan, "Oh,
kakak ini tadi."
"Kupikir
kau sedang kerja tadi," kata Otsu tajam. "Apa kerjamu dengan pedang
kayu itu? Dan pakai pakaian kerja putih lagi."
"Aku
sedang latihan. Latihan dengan pohon-pohon."
"Tak ada
orang yang keberatan dengan latihanmu, tapi bukan di sini Jotaro. Apa kau sudah
lupa, di mana kau sekarang? Halaman ini lambang kedamaian dan kemurnian. Ini
wilayah suci, suci buat dewi leluhur kita semua. Lihat ke sana itu, bahwa di
sini dilarang merusak pohon-pohonan, melukai, atau membunuh binatang? Memalukan
kalau orang yang bekerja di sini mematahkan cabang-cabang pohon dengan pedang
kayu."
"Ah,
sudah tahu aku semua itu," gerutu Jotaro dengan wajah jengkel.
"Kalau
sudah tahu, kenapa kaulakukan? Kalau Pak Arakida menangkap basah kamu, pasti
kita mendapat kesulitan!"
"Menurutku,
tak ada salahnya mematahkan dahan yang sudah mati. Tak ada salahnya kalau
memang sudah mati, kan?"
"Itu
kalau tidak di sini!"
"Itu
yang Kakak ketahui! Coba sekarang aku mau tanya."
"Tanya
apa?"
"Kalau
kebun ini begitu penting, kenapa orang tidak merawatnya lebih baik?"
"Memang
sayang sekali mereka tidak merawatnya baik-baik. Membiarkannya rusak seperti
ini sama saja dengan membiarkan rumput liar tumbuh dalam jiwa."
"Tidak
begitu jelek kalau cuma rumput liar, tapi lihat pohon-pohon itu. Pohon-pohon
yang disambar petir itu dibiarkan saja mati, dan pohon-pohon yang dirobohkan
badai bergeletakan saja seperti waktu robohnya. Di mana-mana begitu.
Burung-burung mematuki atap bangunan sampai bocor. Dan tak ada orang
memperbaiki lentera kalau rusak.
"Bagaimana
bisa Kakak mengatakan tempat ini penting? Coba, apa puri di Osaka itu tidak
putih menyilaukan kalau kita lihat dari Samudra di Settsu? Apa Tokugawa Ieyasu
tidak membangun purl-puri yang lebih megah di Fushimi dan selusin tempat lain?
Apa rumah-rumah baru daimyo dan saudagar-saudagar kaya di Kyoto dan Osaka tidak
mengilat karena perhiasan emasnya? Apa ahli-ahli upacara teh Rikyu dan Kobori
Enshu tidak mengatakan bahwa secercah kotoran di halaman warung teh bisa
merusak aroma teh?
"Kebun
ini sedang runtuh. Coba, yang kerja di sini cuma aku dan tiga atau empat lelaki
tua! Padahal, coba lihat berapa luasnya?"
"Jotaro!"
kata Otsu, memegang dagu Jotaro dan mengangkat wajahnya. "Yang kaukatakan
itu cuma jiplakan kuliah Pak Arakida."
"Oh,
jadi Kakak mendengar kuliah itu juga?"
"Tentu
saja," kata Otsu menyela.
"Wah,
kalau begitu aku tak pernah bisa menang."
"Membeokan
apa yang dikatakan Pak Arakida tak ada artinya buatku. Aku tak setuju dengan
cara itu, biarpun yang dikatakannya itu benar."
"Dia
memang benar. Waktu aku mendengarkan dia bicara, aku jadi berpikir, apa
Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu itu betul-betul orang besar. Aku tahu mereka
tentunya orang penting, tapi apa indahnya menguasai negeri kalau menurut kita,
kitalah satu-satunya orang yang berarti."
"Tapi
Nobunaga dan Hideyoshi itu tak seburuk orang-orang lain. Paling tidak, mereka
sudah memperbaiki istana kaisar di Kyoto dan mencoba mem-bahagiakan rakyat.
Biarpun seandainya mereka melakukan hal-hal itu hanya untuk membenarkan
tindakannya sendiri terhadap dirt sendiri dan orang-orang lain, mereka tetap
patut mendapat pujian. Shogun-shogun Ashikaga jauh lebih buruk."
"Bagaimana
buruknya?"
"Kau
pernah mendengar tentang Perang Onin, kan?" ,
"Hm."
"Ke-shogun-an
Ashikaga begitu tidak cakap, sampai terus-menerus terjadi perang. Para prajurit
selamanya saling perang untuk memperebutkan lebih banyak wilayah. Rakyat biasa
tidak mendapatkan kedamaian sedikit pun, dan tak seorang pun punya perhatian
sungguh-sungguh terhadap negeri secara keseluruhan."
"Maksud
Kakak pertempuran yang terkenal antara Keluarga Yaman dan Kosokawa?"
"Ya....
Waktu itulah, lebih seratus tahun lalu, Arakida Ujitsune menjadi pendeta kepala
Tempat Suci Ise, dan uang tak cukup untuk melanjutkan upacara-upacara kuno dan
ritus-ritus suci. Dua puluh tujuh kali Ujitsune mengajukan permohonan bantuan
kepada pemerintah untuk membetulkan bangunan-bangunan suci, tapi istana kaisar
terlalu miskin, ke-shogun-an terlalu lemah, dan para prajurit begitu sibuk
dengan pertumpahan darah, sampai mereka tak peduli dengan apa yang terjadi.
Walaupun demikian, Ujitsune pergi berkeliling juga memperjuangkan cita-citanya,
sampai akhirnya berhasil mendirikan tempat suci baru.
"Ini
cerita sedih, bukan? Tapi kalau kita pikirkan, waktu sudah dewasa orang suka
lupa bahwa mereka berutang sumber hidup kepada leluhurnya, sama seperti kita
semua berutang hidup kepada Dewi Ise."
Puas karena
sudah mendapat pidato panjang berapi-api dari Otsu, Jotaro melompat ke udara
sambil tertawa dan bertepuk tangan. "Sekarang siapa yang membeo Pak
Arakida? Kakak pikir aku belum pernah mendengar itu sebelumnya, kan?"
"Anak
bandel kau ini!" ujar Otsu sambil tertawa sendiri. Ingin sebetulnya ia
menampar Jotaro, tapi bungkusan yang dibawanya menghalanginya.
Maka sambil
terus tersenyum ia tatap saja anak lelaki itu. Waktu itulah Jotaro melihat
bungkusan yang lain dari yang lain.
"Punya
siapa itu?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
"Jangan
sentuh! Tak tahu kita punya siapa ini."
"Ah, aku
kan tak akan bikin rusak! Aku cuma mau lihat. Berani sumpah, ini mesti berat.
Pedang panjang ini besar sekali, ya?" Dan air liur Jotaro mengucur.
"Sensei"
Seorang di antara gadis tempat suci datang berlari-lari, berdetap-detap bunyi
sandal jeraminya. "Pak Arakida memanggil Sensei." Hampir tanpa
berhenti, gadis itu memutar badan dan berlari kembali.
Jotaro
menoleh ke sekitar dengan terheran-heran. Matahari musim dingin bersinar
melalui pohon-pohon, dan ranting-ranting berayun-ayun seperti ombak kecil. Mata
Jotaro memandang seolah melihat hantu di antara bercak-bercak cahaya matahari.
"Ada
apa?" tanya Otsu. "Apa yang kamu perhatikan?"
"Ah, tak
apa-apa," jawab anak itu kesal sambil menggigit jari telunjuknya.
"Waktu gadis itu memanggil 'guru', sesaat kupikir yang dia maksud
guruku."
Otsu
tiba-tiba merasa sedih dan sedikit kesal. Walaupun pernyataan Jotaro itu
diucapkan dengan penuh kepolosan, kenapa pula ia menyinggung Musashi?
Sekalipun
sudah mendapat nasihat Takuan, ia tak pernah bisa mengusir rasa rindu kepada
Musashi dari hatinya. Takuan orang yang begitu tanpa perasaan. Dalam hal
tertentu, Otsu kasihan pada biarawan itu dan pada ketidaktahuannya akan makna
cinta.
Cinta itu
seperti sakit gigi. Ketika Otsu sedang sibuk, perasaan cinta itu tidak
mengganggu, tapi apabila kenangan mendatanginya, ia tercengkam oleh keinginan
yang amat sangat untuk menyusuri jalan-jalan raya lagi, mencari dan
menemukannya, meletakkan kepala ke dadanya dan mengucurkan air mata bahagia.
Tanpa
mengatakan sesuatu, ia berjalan. Di manakah dia? Dari segala kesedihan yang
mungkin merundung mahluk hidup, yang paling menggerek, paling celaka, dan yang
paling menyengsarakan pastilah tak adanya kemampuan untuk memandang orang yang
dirindukan. Dan dengan air mata meleleh di pipi ia berjalan terus.
Pedang berat
dan perabot usang itu tak berarti apa-apa baginya. Bagaimana mungkin ia
memimpikan membawa barang-barang milik Musashi?
Karena merasa
telah berbuat salah, Jotaro ikut saja dengan sedih, agak jauh di belakang. Baru
ketika Otsu membelok masuk gerbang rumah Arakida, ia berlari mendekati Otsu,
dan tanyanya, "Kakak marah, ya? Karena kata-kataku?"
"Oh,
tidak, tak apa-apa."
"Maaf,
Kak. Betul-betul aku minta maaf."
"Ini
bukan salahmu. Aku cuma merasa sedikit sedih. Tapi jangan kuatir. Aku mau tahu,
apa yang dikehendaki Pak Arakida. Kembalilah kau bekerja."
Arakida
Ujitomi menyebut tempat tinggalnya Wisma Belajar. Ia mengubah sebagian rumah
itu menjadi sekolah, tidak hanya untuk gadis-gadis biara, melainkan juga untuk
empat puluh atau lima puluh anak lain dari tiga daerah yang termasuk daerah
Biara Ise. Ia coba memberikan kepada orang-orang muda itu sejenis pendidikan
yang sekarang tidak terlalu populer: mempelajari sejarah Jepang Kuno yang di
kota-kota besar dianggap tidak relevan. Sejarah awal negeri ini berhubungan
erat sekali dengan Biara Ise dan tanah-tanahnya, padahal sekarang zaman orang
banyak cenderung menganggap nasib bangsa ini adalah nasib kelas prajurit,
sehingga apa yang terjadi di masa lalu yang jauh itu tak banyak berarti.
Ujitomi berjuang seorang diri menanamkan benih-benih kebudayaan yang lebih awal
dan lebih tradisional di antara orang-orang muda daerah biara itu. Kalau orang
lain mungkin menyatakan bahwa daerah-daerah provinsi tak ada sangkut pautnya
dengan nasib bangsa, Ujitomi memiliki pandangan lain. Kalau ia dapat mengajar
anak-anak setempat mengenai masa lalu, maka menurut pikirannya barangkali
semangat masa lampau itu pada suatu hari akan tumbuh subur seperti pohon besar
di hutan suci.
Dengan penuh
keuletan dan pengabdian, tiap hari ia bicara pada anakanak itu tentang
karya-karya klasik Tionghoa dan Catatan Tentang Hal-hal Kuno, sejarah tentang
Jepang. Ia berharap anak-anak didiknya akhirnya akan menghargai buku-buku itu.
Ia melakukan hal tersebut lebih dari sepuluh tahun lamanya. Menurutnya,
Hideyoshi boleh memegang kendali negeri dan menyatakan diri dengan wali,
Tokugawa Ieyasu boleh menjadi shogun "penakluk orang barbar" yang
mahakuasa, tapi seperti halnya orangtuanya, anak-anak muda tidak boleh salah
membedakan bintang keberuntungan seorang pahlawan militer dengan matahari yang
indah. Kalau ia bekerja keras dengan sabar, orang-orang muda nantinya akan
mengerti bahwa Dewi Matahari yang agunglah yang menjadi lambang cita-cita bangsa,
bukan prajurit diktator yang tak tahu adat.
Arakida
keluar dari ruang belajarnya yang luas dengan wajah sedikit berkeringat. Ketika
anak-anak sudah menghambur keluar seperti kawanan lebah dan melejit cepat ke
rumah masing-masing, seorang gadis biara menyampaikan kepadanya bahwa Otsu
sedang menanti. Sedikit bingung, Arakida berkata, "Betul. Aku kan
memanggil tadi. Sudah lupa sama sekali. Di mana dia?"
Otsu berada
di luar. Sudah beberapa waktu ia berdiri di situ, mendengarkan pelajaran
Arakida.
"Saya di
sini," serunya. "Bapak memanggil saya?"
"Saya
minta maaf terpaksa membiarkan engkau menunggu. Silakan masuk."
Ia mengantar
Otsu masuk kamar belajar pribadinya, tapi sebelum duduk ia menuding
barang-barang yang dibawa Otsu dan bertanya apakah itu. Otsu menjelaskan
bagaimana ia sampai mendapat barng-barang itu. Arakida melirik, dan kemudian
dengan curiga memperhatikan kedua pedang itu. "Pemuda biasa takkan datang
kemari membawa barang-barang seperti itu," katanya. "Dan malam
kemarin barang itu belum ada di sana. Tengah malam tentunya orang datang masuk
pekarangan."
Kemudian
dengan wajah tak senang ia menggerutu, "Ini barangkali kelakar samurai.
Aku tak suka."
"Oh? Apa
menurut pendapat Bapak seorang lelaki telah masuk Wisma Perawan?"
"Ya,
tentu. Dan justru itu yang ingin kukemukakan padamu."
"Apa ini
ada hubungannya dengan saya?"
"Nah,
aku tak ingin engkau tersinggung tentang ini, tapi soalnya begini. Seorang
samurai menegurku karena memasukkan engkau ke asrama perawan—perawan suci. Dia
bilang, untuk kebaikanku sendiri, dia memperingatkan diriku."
"Apa
saya sudah melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada Bapak?"
"Tak ada
yang mengecewakanku. Cuma inilah... yah, kau tahu sendiri bagaimana omongan
orang. Sekarang kau jangan marah, biar bagaimana, kau memang bukan lagi
benar-benar perawan. Kau sudah ke sana kemari dengan lelaki, dan orang
mengatakan menyimpan perempuan yang bukan perawan bersama-sama gadis-gadis di
Wisma Perawan itu bisa menodai tempat suci." Sekalipun nada bicara Arakida
biasa saja, namun air mata marah membanjiri mata Otsu. Benar ia banyak
mengadakan perjalanan ke mana-mana, benar ia terbiasa menjumpai orang banyak,
benar ia mengembara dalam hidup ini membawa serta cinta lamanya; karena itu
barangkali sudah sewajarnya orang menganggapnya perempuan duniawi. Namun
sungguh merupakan pengalaman meremukkan hati dituduh tidak suci, padahal
kenyataannya ia masih suci.
Arakida
rupanya tidak terlalu mementingkan soal itu. Ia cuma terganggu bahwa orang
membicarakan yang bukan-bukan, dan karena waktu itu akhir tahun "dan lain
sebagainya itu", demikianlah dikatakannya, maka ia bertanya apakah Otsu
berkenan menghentikan pelajaran suling itu dengan meninggalkan Wisma Perawan.
Otsu cepat
menyetujui, bukan sebagai pengakuan kesalahan, melainkan karena ia memang tak
punya rencana tinggal terus di situ dan tak ingin menimbulkan kesulitan,
terutama bagi Pak Arakida. Sekalipun ia benci kebohongan desas-desus itu, ia
cepat mengucapkan terima kasih atas kebaikan Arakida selama ia tinggal di sana,
dan menyatakan bahwa ia akan pergi hari itu juga.
"Oh, tak
perlu secepat itu sebetulnya," Arakida berusaha meyakinkan Otsu, sambil
menjangkau rak buku kecil dan mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkus kertas.
Jotaro yang
tadi mengikuti Otsu memilih saat itu untuk menjengukkan kepalanya dari beranda,
dan bisiknya, "Kalau Kakak pergi, aku ikut. Kebetulan aku sudah jemu
menyapu kebun tua mereka ini."
"Ini ada
hadiah kecil," kata Arakida. "Tak banyak, tapi terimalah, dan
gunakanlah untuk perjalanan." Ia mengulurkan bungkusan yang berisi
beberapa keping mata uang emas.
Otsu menolak
menyentuhnya. Dengan wajah terkejut ia menyatakan pada Arakida bahwa ia tak
pantas mendapat bayaran, hanya karena memberikan pelajaran suling kepada
anak-anak gadis itu. Yang lebih tepat, dialah yang mesti membayar untuk makanan
dan penginapannya.
"Tidak,"
jawab Arakida. "Tak mungkin aku menerima uang darimu, tapi aku ingin minta
pertolonganmu, kalau kebetulan engkau pergi ke Kyoto. Jadi, bolehlah engkau
menganggap uang ini sebagai bayaran atas jasamu."
"Dengan
senang hati saya melakukan permintaan Bapak itu, tapi kebaikan Bapak sendiri
sudah merupakan bayaran buat saya."
Arakida
menoleh kepada Jotaro, katanya, "Bagaimana kalau uang ini kuberikan saja
pada anak ini? Dia dapat membelikan apa-apa buat kalian berdua di
perjalanan."
"Terima
kasih," kata Jotaro yang cepat mengulurkan tangannya untuk menerima
bungkusan itu. Tapi sesudah berpikir lagi ia memandang Otsu, katanya,
"Boleh, kan?"
Karena sudah
dipojokkan, Otsu akhirnya menyetujui dan mengucapkan terima kasih kepada
Arakida.
"Pertolongan
yang kuminta padamu," kata Arakida, "adalah menyampaikan bingkisan
kepada Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro yang tinggal di Horikawa,
Kyoto," Sambil berkata demikian, ia mengambil dua gulungan dari rak yang
sudah goyang di dinding. "Yang Dipertuan Karasumaru minta padaku dua tahun
lalu untuk melukis ini. Akhirnya lukisan-lukisan ini selesai. Beliau ada
rencana menulis komentar yang cocok dengan lukisan ini dan menghadiahkannya
pada Kaisar. Itu sebabnya aku tak ingin mempercayakan-nya kepada pembawa surat
biasa atau orang istana. Apa engkau bersedia membawanya dan menjaga supaya lukisan-lukisan
ini tak kena air atau minyak di jalan?"
Ini tugas
yang tak terduga-duga pentingnya, dan semula Otsu ragu-ragu menerimanya. Tapi
kurang pantas kalau ia menolaknya, dan sejenak kemudian ia menyatakan setuju.
Kemudian Arakida mengeluarkan kotak dan kertas minyak, tapi sebelum membungkus
dan memeterai gulungan itu, katanya, "Tapi barangkali ada baiknya
kutunjukkan dulu padamu lukisan ini." Ia duduk dan mulai membuka lukisan
itu di lantai di hadapannya. Ia kelihatan bangga akan karyanya, dan ia sendiri
ingin melayangkan pandangan terakhir sebelum berpisah dengan karya itu.
Otsu
tersengal melihat keindahan gulungan itu, sedangkan mata Jotaro melebar ketika
ia membungkuk memperhatikannya lebih saksama. Karena komentar untuk lukisan itu
belum lagi ditulis, mereka tidak mengetahui cerita apa yang dilukiskan di situ,
tapi ketika Arakida membuka gulungan itu adegan demi adegan, mereka saksikan di
hadapan mereka gambaran kehidupan istana kekaisaran kuno dalam coretan kasar
dan warna-warna indah serta sentuhan-sentuhan bubuk emas. Lukisan itu dibuat
dengan Gaya Tosa dan bersumber pada seni Jepang klasik.
Walaupun
Jotaro tak pernah mendapat pelajaran seni, terpukau juga ia oleh apa yang
dilihatnya. "Lihat apinya itu," ujarnya. "Kelihatan seperti
menyala betulan, ya?"
"Jangan
sentuh," tegur Otsu. "Lihat saja."
Selagi mereka
menatapkan mata dengan penuh kekaguman, seorang pesuruh masuk, siap
menyampaikan sesuatu kepada Arakida dengan suara pelan sekali; Arakida
mengangguk, dan jawabnya, "Ya-ya.... Kukira boleh. Tapi sebaiknya suruh
orang itu membuat surat tanda terima." Dan ia menyerahkan bungkusan dan
dua bilah pedang yang tadi dibawa Otsu.
Mendengar
guru suling mereka akan pergi, gadis-gadis Wisma Perawan pun jadi sedih. Selama
dua bulan Otsu tinggal bersama mereka, mereka telah menganggapnya sebagai kakak
sendiri, karena itu mereka tampak murung ketika berkumpul mengerumuni Otsu.
"Apa
betul?"
"Sensei
betul akan pergi?"
"Sensei
takkan kembali lagi?"
Dari seberang
asrama, Jotaro berteriak, "Aku sudah siap. Apa lagi yang ditunggu?"
Ia sudah menanggalkan jubah putih dan kembali mengenakan kimono pendek yang
biasa, dengan pedang kayu di pinggang. Kotak yang terbungkus kain berisi
gulungan disandang melintang di punggung.
Dari jendela,
Otsu balas berteriak, "Ah, cepat sekali!"
"Aku
selalu cepat!" jawab Jotaro pedas. "Belum juga Kakak siap? Kenapa ya,
perempuan begitu lama kalau berpakaian dan berkemas?" Waktu itu ia
berjemur di pekarangan sambil menguap. Tapi memang dasar tidak sabaran,
sebentar kemudian ia sudah bosan. "Apa belum juga siap?" serunya
lagi.
"Sebentar
lagi slap," jawab Otsu. Sebetulnya ia sudah selesai berkemas, tapi
gadis-gadis itu tak hendak melepaskannya. Dalam usahanya meloloskan diri, ia
berkata menghibur gadis-gadis itu, "Tak usah sedih. Saya akan datang
berkunjung hari-hari ini. Sementara itu, jaga diri kalian baik-baik." Tak
enak juga ia bahwa yang dikatakannya itu tidak benar, karena melihat keadaannya
kecil kemungkinannya ia akan kembali lagi.
Barangkali
gadis-gadis itu pun menerkanya demikian. Beberapa di antara mereka menangis.
Akhirnya seorang dari mereka mengusulkan agar mereka semua mengantar Otsu
sampai jembatan suci di seberang Sungai Isuzu. Mereka mengerumuninya dan
mengantarnya ke luar. Di sana Jotaro tidak segera tampak, karena itu mereka
corongkan tangan di mulut dan mereka panggil namanya, namun tak ada jawaban.
Otsu sudah hafal dengan cara-cara Jotaro; tanpa perasaan kuatir ia berkata,
"Barangkali dia capek menunggu, dan dia jalan duluan."
"Anak
brengsek!" ucap seorang gadis.
Seorang lagi
tiba-tiba memandang Otsu, dan tanyanya, "Apa dia anak Sensei?"
"Anakku?
Bagaimana kamu bisa berpikir begitu? Tahun depan aku belum lagi dua puluh satu.
Apa tampangku begitu tua dan pantas punya anak sebesar itu?"
"Tidak,
tapi ada yang bilang, dia anak Sensei."
Ingat akan
percakapannya dengan Arakida, wajah Otsu memerah, tapi kemudian ia menghibur
diri dengan pendapat bahwa yang dikatakan orang lain tak berarti, selama
Musashi setia kepadanya.
Pada waktu
itu Jotaro datang berlari-lari mendapatkan mereka. "Hei, ada apa sih
sebetulnya?" katanya memberengut. "Tadi Kakak suruh aku menunggu
berabad-abad, tapi sekarang Kakak berangkat tanpa aku!"
"Tapi
tadi kamu tak ada di tempat!" ujar Otsu.
"Tapi
mestinya Kakak bisa mencariku, kan? Tadi kulihat di jalan raya Toba sana itu
ada orang yang mirip guruku. Aku lari buat melihatnya, apa betul dia."
"Orang
yang seperti Musashi?"
"Ya,
tapi ternyata bukan dia. Aku mendekati sampai barisan pohon itu dan melihat
orang itu baik-baik dari belakang, tapi tak mungkin orang itu Musashi, karena
dia pincang."
Selamanya
seperti itu saja, kalau Otsu dan Jotaro mengadakan perjalanan. Tak ada hari
tanpa menyaksikan cahaya harapan, yang disusul kekecewaan. Ke mana pun mereka
pergi, mereka melihat orang yang mengingatkan keduanya kepada Musashi-orang
yang lewat jendela, samurai di perahu yang baru saja berangkat, ronin yang
menunggang kuda, musafir yang samar-samar kelihatan dalam joli. Dengan harapan
menjulang tinggi, mereka mengejar untuk memastikannya, tapi akhirnya hanya
saling pandang dengan sedih. Hal seperti ini sering terjadi berlusin-lusin
kali.
Karena itulah
sekarang Otsu tidak sekesal biasanya, sekalipun Jotaro sendiri patah hati.
Sambil menertawakan kejadian itu, katanya, "Sayang sekali kau keliru, tapi
jangan lalu uring-uringan karena aku jalan dulu. Kupikir aku akan menjumpaimu
di jembatan. Tahu tidak, orang bilang, kalau kita memulai perjalanan dengan
kesal, kita akan marah terus sepanjang jalan. Nah, tenanglah sekarang."
Walaupun
kelihatan puas, Jotaro masih juga melengos dan melontarkan pandangan kasar
kepada gadis-gadis yang berarak-arak di belakang.
"Apa
saja kerja mereka ini di sini? Apa akan pergi dengan kita?"
"Tentu
saja tidak. Mereka cuma sayang melihat aku pergi, jadi baik sekali mereka
mengawani kita sampai jembatan."
"Oh,
betapa baiknya mereka," kata Jotaro, meniru gaya kata-kata Otsu. Tingkah
Jotaro membuat semuanya tertawa terpingkal-pingkal. Kini, sesudah Jotaro
menggabungkan diri dengan rombongan, kesedihan karena perpisahan menjadi surut,
dan gadis-gadis itu pulih kembali semangatnya.
"Sensei,"
panggil seorang di antaranya, "keliru, itu bukan jalan ke jembatan."
"Aku
tahu," kata Otsu tenang. Ia memang membelok ke Gerbang Tamagushi untuk
menyatakan hormat ke kuil pusat. Sambil menangkupkan tangan satu kali, ia
menundukkan kepala ke arah tempat suci itu dan beberapa saat lamanya mengambil
sikap berdoa diam.
"Oh, begitu!"
gumam Jotaro. "Dia pikir tak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ucapan
selamat berpisah kepada dewi." Ia puas melihat dari kejauhan, tapi
gadis-gadis itu menyodok punggungnya dan bertanya kepadanya kenapa ia tidak
mencontoh yang dilakukan Otsu.
"Aku?"
tanya anak itu tak percaya. "Aku tak ingin membungkuk pada tempat suci tua
mana pun."
"Tak
boleh kau bicara begitu. Kau bisa kena hukum suatu hari nanti."
"Tolol
rasanya membungkuk macam itu."
"Apanya
yang tolol, menunjukkan hormat kepada Dewi Matahari? Dia tak seperti dewa-dewa
kecil yang dipuja orang di kota-kota itu."
"Aku tak
tahu!"
"Nah,
kalau begitu kenapa kau tidak menyatakan hormat?"
"Sebab
aku tak mau."
"Tidak
percaya, ya?"
"Diam,
kalian semua perempuan sinting!"
"Aduh,
aduh!" seru gadis-gadis itu serentak, kaget oleh kekasaran Jotaro.
"Jahat sekali!" ujar salah seorang gadis.
Waktu itu
Otsu sudah selesai sembahyang dan datang kembali ke dekat mereka. "Apa
yang terjadi?" tanyanya "Kalian kelihatan kesal."
Salah seorang
gadis mengungkapkan, "Dia sebut kami perempuan sinting. cuma karena kami
menyuruhnya membungkuk kepada dewi."
"Kau
tahu itu tidak baik, Jotaro," tegur Otsu. "Betul-betul kau mesti
berdoa."
"Buat
apa?"
"Apa kau
sendiri tak pernah cerita? Waktu Musashi akan dibunuh pendeta-pendeta dari
Hozoin itu kau mengangkat tanganmu dan berdoa sekeras-kerasnya! Kenapa di sini
tak bisa kamu berdoa?"
"Tapi...
mereka semua melihat."
"Baiklah,
kami akan membalikkan badan, supaya tidak melihat kamu."
Mereka pun membelakanginya,
tapi Otsu mencuri pandang kepadanya. Jotaro berlari ke arah Gerbang Tamagushi.
Sampai di sana ia menghadap tempat suci, dan dengan cara yang sangat
kekanak-kanakan ia membungkuk dalam-dalam secepat kilat.
Kincir Mainan
MUSASHI duduk
di beranda sempit sebuah warung makanan laut yang menghadap ke laut.
Keistimewaan warung itu adalah siput laut yang dihidangkan mendidih bersama
kerangnya. Dua perempuan penyelam dengan keranjang berisi kerang sorban yang
baru saja ditangkap dan seorang tukang perahu berdiri dekat beranda. Tukang
perahu itu menawarkan tamasya perahu ke pulau-pulau lepas pantai, sedangkan
kedua perempuan mencoba membujuknya membeli siput laut.
Musashi
sedang sibuk menanggalkan perban bernanah dari kakinya. Sesudah menderita
demikian hebat akibat luka itu, hampir tak dapat ia percaya bahwa demam maupun
bengkaknya akhirnya lenyap. Kaki itu kembali pada ukuran semula. Sekalipun
kulitnya menjadi putih dan mengerut, sedikit saja ia merasa sakit.
Dengan
lambaian tangan diusirnya tukang perahu dan penyelam, lalu ia menurunkan
kakinya yang rawan itu ke pasir dan berjalanlah ia ke pesisir untuk
membasuhnya. Kembali di beranda, ia nantikan gadis warung yang telah ia suruh
membelikan kaus kulit dan sandal baru. Waktu gadis itu kembali, dikenakannya
keduanya, lalu ia mulai melangkah dengan hati-hati. Jalannya masih sedikit
pincang, tapi tak lagi seperti sebelumnya.
Orang tua
yang memasak siput memandangnya. "Tukang tambangan menanyakan Tuan. Apa
bukan Tuan yang punya rencana menyeberang ke Ominato?"
"Ya.
Saya kira ada perahu yang jalan teratur dari sini ke Tsu."
"Memang
ada, dan ada juga perahu-perahu ke Yokkaichi dan Kuwana." "Tinggal
berapa hari lagi akhir tahun ini?"
Orang tua itu
tertawa. "Sungguh iri saya pada Tuan," katanya. "Jelas Tuan tak
punya kewajiban bayar utang akhir tahun. Hari ini tanggal dua puluh
empat."
"Betul?
Saya kira sudah lebih kemudian."
"Senang
sekali jadi orang muda!"
Musashi lari
berderap ke pangkalan perahu tambang. Ingin sekali ia terus berlari, makin lama
makin jauh, dan makin lama makin cepat. Peralihan dari sakit menjadi sehat itu
meningkatkan semangatnya, tapi yang menjadikannya jauh lebih bahagia adalah
pengalaman spiritual yang telah didapatnya pagi itu.
Perahu
tambang sudah penuh, tapi ia masih mendapat tempat. Di seberang teluk, di
Ominato, ia berpindah ke perahu yang lebih besar, yang menuju Owari.
Layar-layar menangkap angin, dan perahu meluncur di permukaan Teluk Ise yang
seperti kaca itu. Musashi berdiri berdesakan dengan penumpang-penumpang lain
dan memandang tenang ke seberang air di sebelah kiri-ke arah pasar lama, jalan
raya Yamada, dan Matsuzaka. Kalau ia pergi ke Matsuzaka, mungkin ia mendapat
kesempatan bertemu dengan pemain pedang Mikogami Tenzen yang luar biasa itu.
Tapi tidak. terlalu cepat untuk itu. Dan seperti direncanakannya, ia turun di
Tsu.
Begitu
meninggalkan perahu, ia perhatikan ada seorang lelaki berjalan di depannya,
membawa pentung pendek di pinggang. Pentung itu berlilit rantai dan di ujung
rantai terdapat peluru. Orang itu mengenakan juga pedang pendek bersarung
kulit. Kelihatannya umurnya empat puluh dua atau empat puluh tiga tahun.
Wajahnya gelap seperti Musashi dan bopeng-bopeng, sedangkan rambutnya yang
kemerahan digelung ke belakang.
Kalau bukan
karena anak lelaki yang mengikutinya, orang itu bisa disangka bromocorah. Pipi
anak itu hitam oleh jelaga dan ia membawa palu godam. Jelas ia magang pandai
besi.
"Tunggu
sebentar, Pak!"
"Ayolah
jalan terus!"
"Palu
saya ketinggalan di perahu."
"Ketinggalan
alat yang jadi penghidupanmu, ya?"
"Akan
saya ambil sekarang."
"Dan
kukira itu bikin kamu bangga, ya? Lain kali, kalau kamu lupa lagi, kupecahkan
tengkorakmu."
"Pak...,"
mohon anak itu.
"Diam!"
"Apa tak
bisa kita bermalam di Tsu?"
"Masih
terang sekarang ini. Kita bisa sampai rumah sebelum malam tiba."
"Tapi
ingin rasanya berhenti. Perjalanan begini harusnya dinikmati."
"Jangan
omong kosong!"
Jalan masuk
kota itu diapit barisan toko cindera mata dan penuh pencari pelanggan rumah penginapan,
seperti halnya kota-kota pelabuhan lain. Si magang sekali lagi kehilangan
penglihatan atas tuannya dan dengan cemas mencari-carinya di tengah orang
banyak, sampai akhirnya orang itu muncul dari sebuah toko mainan, membawa
sebuah kincir mainan yang bem,arna-warni.
"Iwa!"
serunya memanggil anak itu.
°Ya,
Pak."
"Bawa
ini. Dan hati-hati, jangan sampai pecah! Simpan dalam kerahmu."
"Hadiah
buat bayi Bapak?"
'"Mm,"
gumam orang itu. Sesudah beberapa hari pergi melaksanakan tugas, orang itu
ingin memandang anaknya menyeringai girang waktu ia menyerahkan barang itu.
Jadinya
seolah kedua orang itu menuntun arah jalan Musashi. Setiap kali ia hendak
membelok, mereka membelok juga di depannya. Terpikir oleh Musashi, barangkali
pandai besi itu Shishido Baiken, namun ia tak bisa memperoleh kepastian, karena
itu ia gunakan akal kecil untuk mendapat kepastian. Ia berpura-pura tidak
memperhatikan mereka, dan berjalan di depan mereka sebentar, kemudian
melambatkan jalan lagi sambil mendengarkan percakapan mereka. Kedua orang itu
melintasi kota puri, kemudian ke jalan gunung yang menuju Suzuka. Agaknya jalan
yang akan ditempuh Baiken pulang ke rumahnya. Kalau digabungkan dengan
potongan-potongan percakapan yang kebetulan didengarnya, Musashi menyimpulkan
orang itu memang Baiken.
Sebetulnya
Musashi bermaksud langsung pergi ke Kyoto, tapi pertemuan yang kebetulan ini
demikian menggodanya. Ia mendekat, dan katanya dengan nada ramah, "Kembali
ke Umehata?"
Tapi jawaban
orang itu kaku, "Ya, ke Umehata. Kenapa?"
"Dari
tadi saya bertanya dalam hati, apakah Bapak ini Shishido Baiken."
"Memang. Dan Anda siapa?"
"Nama
saya Miyamoto Musashi. Saya calon prajurit. Belum lama saya ke rumah Anda di
Ujii dan bertemu dengan istri Anda. Rupanya nasib mempertemukan kita di
sini."
"Oh,
begitu?" kata Baiken. Dengan wajah yang tiba-tiba menyatakan paham, ia
bertanya, "Apa engkau yang tinggal di penginapan Yamada dan ingin
bertarung denganku?"
"Bagaimana
Anda bisa dengar itu?"
"Kau
menyuruh orang ke rumah Arakida untuk mencariku, kan?"
"Ya."
°Waktu itu
aku sedang melakukan tugas untuk Arakida, tapi aku tidak tinggal di rumahnya.
Kupinjam tempat kerja di desa. Itu pekerjaan yang tak bisa dilakukan orang
lain, kecuali aku."
"Oh,
begitu. Saya dengar Anda ahli rantai-peluru-sabit."
"Ha, ha!
Tapi katamu tadi sudah ketemu istriku?"
"Ya. Dan
dia mendemonstrasikan satu jurus Yaegaki pada saya."
"Nah,
itu mestinya cukup buatmu. Tak ada alasan buat mengikutiku. Tentu saja aku
dapat memperlihatkan lebih banyak lagi daripada yang diperlihatkan istriku,
tapi begitu engkau melihatnya, begitu engkau sampai di jalan ke dunia
lain."
Bagi Musashi,
istri orang ini sudah berkesan amat sok menguasai, tapi orang ini sendiri
benar-benar angkuh. Musashi cukup yakin bahwa dari apa yang dilihatnya ia sudah
dapat mengukur kemampuan orang ini, namun ia mengingatkan diri untuk tidak
terburu-buru. Takuan telah mengajarkan kepadanya pelajaran pertama dalam hidup
ini, yaitu bahwa di dunia ini terdapat orang-orang yang kemungkinan lebih baik
dari diri kita. Pelajaran ini diperkuat oleh pengalaman-pengalamannya di Hozoin
dan Puri Koyagyu. Sebelum ia membiarkan rasa bangga dan keyakinan
mengkhianatinya dan menyebabkannya menyepelekan lawan, ia ingin mengukur lawan
itu dari segala segi. Sementara meletakkan landasan bagi dirinya, ia akan tetap
bersikap ramah, sekalipun kadang-kadang hal itu bisa memberikan kesan pengecut
atau tunduk kepada musuh.
Menjawab
ucapan Baiken yang merendahkan itu, dengan sikap hormat yang sesuai dengan
umurnya ia berkata, "Oh, begitu. Saya memang sudah banyak belajar dari
istri Anda, tapi karena saya sudah beruntung bertemu dengan Anda, saya akan
berterima kasih kalau Anda mau lebih banyak menerangkan senjata yang Anda
pergunakan."
"Kalau
yang engkau inginkan itu bicara, baik. Apa kau punya rencana menginap di
penginapan dekat perbatasan?"
"Itulah
yang tadinya saya maksudkan, kecuali kalau Anda berkenan menerima saya menginap
semalam lagi."
"Kau
boleh tinggal, kalau kau bersedia tidur di bengkel bersama Iwa. Tapi aku bukan
pengusaha penginapan, dan kami tak punya tilam ekstra."
Senja hari
mereka sampai di kaki Gunung Suzuka. Desa kecil yang dipayungi awan merah itu
tampak setenang danau. Iwa berlari mendahului untuk menyampaikan kedatangan
mereka, dan ketika mereka tiba di rumah itu, istri Baiken menanti di bawah
ujung atap, menggendong bayinya yang memegang kincir mainan.
"Lihat,
lihat, lihat!" dekut perempuan itu. "Bapak pergi, dan sekarang Bapak
pulang. Lihat, itu dia."
Dalam sekejap
mata saja si bapak sudah tidak lagi menjadi contoh keangkuhan; ia
memperlihatkan senyum kebapakan. "Ini, Nak, ini Bapak," celotehnya
sambil mengangkat sebelah tangan dan menari-narikan jari-jarinya.
Suami-istri
itu menghilang ke dalam dan duduk, hanya bicara tentang bayi dan soal-soal
rumah tangga, tanpa memperhatikan Musashi.
Akhirnya,
ketika makan malam siap, Baiken ingat akan tamunya. "Oh ya, kasih orang
itu makan," katanya kepada istrinya.
Musashi duduk
di ruang bengkel yang berlantai tanah, menghangatkan diri di dekat api. la
bahkan tidak melepas sandalnya.
"Baru
kemarin dia dari sini. Bermalam," jawab perempuan itu cemberut.
Ia
menghangatkan sake di perapian dengan suaminya. "Orang muda," panggil
Baiken. "Apa kau minum sake?"
"Saya
bukan tak suka sake."
"Nah,
minum semangkuk."
"Terima
kasih." Musashi mendekat ke ambang pintu kamar perapian serta menerima
mangkuk berisi minuman dan menghirupnya. Asam rasanya. Selesai meneguk, ia
kembalikan mangkuk itu kepada Baiken, katanya, "Mari saya tuangkan buat
Anda."
"Tak
usah, sudah ada." Ia memandang Musashi sesaat, dan bertanya, "Berapa
umurmu?"
"Dua
puluh dua."
"Asal
dari mana?"
"Mimasaka."
Mata Baiken
yang semula mengembara ke jurusan lain kini berayun kembali kepada Musashi dan
mengamat-amatinya kembali dari kepala sampai jari kaki.
"Nanti
dulu, apa yang barusan kaukatakan? Namamu... siapa namamu tadi?"
"Miyamoto
Musashi"
"Bagaimana
engkau menuliskan Musashi?"
"Ditulis
sama dengan Takezo."
Istri orang
itu masuk dan meletakkan sup, acar, supit, dan mangkuk nasi di tikar jerami di
depan Musashi. "Makanlah!" katanya tanpa basa-basi.
"Terima
kasih," jawab Musashi.
Baiken
menanti beberapa tarikan napas, kemudian katanya, seolah pada diri sendiri,
"Panas rasanya sekarang, sake itu!" Sambil menuangkan semangkuk lagi
untuk Musashi, ia bertanya biasa saja, "Artinya namamu Takezo waktu engkau
muda?"
"Ya."
"Apa
engkau masih bernama begitu waktu umur sekitar tujuh belas?"
"Ya."
"Waktu
umurmu sekitar itu, apa kebetulan engkau tidak berada di pertempuran
Sekigahara, dengan anak lain seumurmu?"
Kini Musashi
yang mendapat giliran terkejut. "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyanya
pelan.
"Oh, aku
tahu banyak hal. Aku di Sekigahara juga waktu itu." Mendengar ini, Musashi
merasa lebih senang pada orang itu. Baiken sendiri tiba-tiba kelihatan lebih
akrab.
"Kupikir
aku pernah melihatmu, entah di mana," kata pandai besi itu. "Mestinya
kita sudah berjumpa di pertempuran itu."
"Apakah
Anda pernah di kamp Ukita juga?"
"Aku
tinggal di Yasugawa waktu itu, dan aku pergi perang dengan rombongan samurai
dari sana. Kami ada di garis depan waktu itu."
"Oh,
begitu? Kalau begitu, barangkali kita pernah bertemu."
"Lalu
apa yang terjadi dengan temanmu itu?"
"Saya
tak pernah lihat dia lagi sejak itu."
"Sejak
pertempuran itu?"
"Tidak
tepat sejak itu. Kami tinggal sementara waktu di sebuah rumah di Ibuki,
menunggu sembuhnya luka-luka, dan berpisah di situ. Itulah penghabisan kali
saya melihatnya."
Baiken
memberitahu istrinya bahwa sake mereka habis. Istri Baiken sudah di tempat
tidur dengan bayinya, "Tak ada lagi yang lain," jawabnya.
"Aku
minta lagi. Sekarang!"
"Kenapa
mesti minum begitu banyak malam ini?"
"Percakapan kami menarik. Aku perlu
sake lagi."
"Tapi sake tak ada lagi."
"Iwa!"
panggil Baiken lewat papan rapuh di sudut bengkel.
"Ada
apa, Pak?" tanya anak itu. Ia membuka pintu dan memperlihatkan wajahnya
sambil membungkuk, karena rendahnya ambang pintu.
"Pergi
ke rumah Onosaku, pinjam sebotol sake."
Musashi sudah
cukup minum. "Kalau Anda tidak keberatan, saya akan makan," katanya
sambil memungut supitnya.
"Tidak,
tidak, tunggu," kata Baiken dan cepat menangkap pergelangan Musashi.
"Ini bukan waktu makan. Aku sudah mintakan sake, jadi minumlah sedikit
lagi."
"Kalau
sake itu buat saya, lebih baik tak usah. Rasanya saya tak bisa minum
lagi."
"Ah,
ayolah," desak Baiken. "Katamu kau ingin dengar lebih banyak tentang
rantai-peluru-sabit. Akan kuceritakan semuanya sekarang, tapi mari minum
sedikit selagi bicara."
Ketika Iwa
kembali membawa sake, Baiken menuangkannya sebagian ke guci pemanas dan
meletakkannya di atas api, lalu bicara panjang-lebar tentang
rantai-peluru-sabit serta cara-cara penggunaannya yang terbaik dalam
pertempuran yang sebenar-benarnya. Ia berkata, "Berlainan dengan pedang.
senjata itu tidak memberikan kesempatan kepada musuh untuk mempertahankan diri.
Juga, sebelum menyerang langsung, ada kemungkinan merebut senjata musuh dengan
rantai. Rantai dilontarkan dengan terampil, disentakkan tajam, dan musuh tak
berpedang lagi."
Masih dalam
keadaan duduk, Baiken mendemonstrasikan satu jurus. "Lihat, kita pegang
sabit dengan tangan kiri dan bola dengan tangan kanan. Kalau musuh mendatangi
kita, kita hadapi dia dengan mata sabit. kemudian kita hembalangkan bola ke
mukanya. Itu satu cara."
Sambil
mengubah kedudukan, ia meneruskan, "Kalau ada jarak antara kita dan musuh,
kita sabet senjatanya dengan rantai. Tak peduli macam apa senjata itu—pedang,
lembing, tongkat kayu, atau apa pun."
Baiken terus
bercerita pada Musashi tentang cara-cara melemparkan peluru, tentang sepuluh
atau lebih cerita turun-temurun mengenai senjata ini, tentang miripnya rantai
itu dengan ular, tentang kemungkinan menciptakan khayal penglihatan orang
dengan mengubah gerakan rantai dan sabit, hingga pertahanan musuh akhirnya akan
merugikan dirinya sendiri, juga tentang semua cara rahasia dalam menggunakan
senjata itu.
Musashi
betul-betul terpesona. Mendengar orang berbicara seperti ini, ia selalu
mendengarkan dengan seluruh tubuhnya. Ia ingin menyerap segala seluk-beluknya.
Rantai.
Sabit. Dua belah tangan....
Sementara ia
mendengarkan, benih-benih pikiran lain terbentuk dalam kepalanya. "Pedang
dapat dipergunakan dengan satu tangan, sedangkan manusia punya dua
tangan..."
Botol sake
yang kedua pun kosong. Baiken sudah cukup banyak minum, dan mendesak Musashi
minum lagi. Musashi sendiri sudah jauh melewati batas kemampuannya dan sudah
lebih mabuk dari yang pernah dialaminya.
"Bangun!"
seru Baiken kepada istrinya. "Biar tamu kita tidur di sini. Kau dan aku
tidur di kamar belakang. Siapkan tempat tidur di sana."
Perempuan itu
tak beranjak dari tempatnya.
"Bangun!"
seru Baiken lebih keras. "Tamu kita sudah capek. Biar dia tidur
sekarang."
Kaki sang
istri sudah enak dan hangat sekarang. Bangun pasti tak menyenangkan.
"Kaubilang
dia dapat tidur di bengkel dengan Iwa," gumamnya.
"Jangan
membantah. Kerjakan yang kusuruh!"
Perempuan itu
bangkit dengan gusar dan berangkat ke kamar belakang. Baiken mengambil bayinya
yang tidur, dan katanya, "Selimutnya sudah tua, tapi api di ada dekatmu.
Kalau kau haus, ada air panas di atas api buat bikin teh. Tidurlah. Tidur yang
enak." Ia sendiri pergi ke kamar belakang.
Ketika
perempuan itu datang kembali untuk mengganti bantal, kemurungan wajahnya sudah
hilang. "Suami saya juga sudah mabuk sekali," katanya, "dan
barangkali capek karena perjalanan. Dia bilang mau tidur sampai siang, karena
itu tidurlah yang enak, selama kau mau. Besok saya sediakan sarapan yang enak
dan panas."
"Terima
kasih." Musashi tak dapat menjawab. Ia sudah tak sabar lagi untuk
melepaskan kaus kulit dan jubahnya. "Terima kasih banvak."
Ia menyelam
ke dalam selimut yang masih hangat, tapi tubuhnya sendiri lebih panas lagi
akibat minuman itu.
Istri Baiken
berdiri di pintu mengawasinya, kemudian diam-diam meniup lilin, dan katanya,
"Selamat malam."
Kepala
Musashi terasa seperti dilingkari ikat baja yang ketat, pelipisnya
berdentam-dentam sakit. Ia bertanya pada diri sendiri, kenapa minum jauh lebih
banyak dari biasanya. Perasaannya dahsyat, tapi ia tak dapat tidak memikirkan
Baiken. Kenapakah pandai besi yang semula tampak hampir tidak sopan itu
tiba-tiba jadi bersahabat dan memintakan sake lagi? Kenapakah istrinya yang tak
enak sikapnya itu menjadi manis dan tiba-tiba mau membantu? Kenapa mereka
memberikan tempat tidur yang hangat ini?
Semua itu
seperti tak terjelaskan, tapi sebelum Musashi dapat memecahkan misteri itu,
rasa kantuk sudah menguasainya. Ia menutup mata, menarik napas dalam, dan menaikkan
selimut. Cuma dahinya yang tetap terbuka, diterangi bunga-bunga api yang
sekali-sekali melenting dari perapian. Segera kemudian terdengar tarikan
napasnya yang dalam dan teratur.
Istri Baiken
mengundurkan diri diam-diam ke kamar belakang, langkah kakinya yang ringan dan
lengket menyeberang tatami.
Musashi
bermimpi, atau lebih tepat dikatakan melihat sebagian mimpi yang terus
berulang-ulang. Kenangan masa kecil melompat-lompat dalam otaknya seperti
seekor serangga, kelihatannya seperti mencoba menuliskan sesuatu dengan
huruf-huruf cahaya. Dan ia mendengar kata-kata nyanyian menidurkan bayi.
Tidurlah,
tidurlah.
Bayi tidur
itu manis...
Serasa ia
kembali berada di Mimasaka, mendengarkan lagu menidurkan bayi yang dinyanyikan
istri pandai besi dalam dialek Ise. Ia sendiri bayi yang digendong seorang
perempuan berkulit kuning berumur sekitar tiga puluh tahun... ibunya...
Perempuan itu tentunya ibunya. Di dada ibunya ia menengadah ke wajah putih itu.
"...
nakal, dan bikin ibunya menangis juga...." Sambil mengayunayunkannya dalam
gendongan, ibunya menyanyi lembut. Wajahnya yang tirus terawat baik tampak
sedikit kebiruan, seperti kembang buah pir. Tampak sebuah tembok, sebuah tembok
batu panjang yang ditumbuhi tumbuhan menjalar. Dan sebuah tembok tanah yang
dipayungi dahandahan yang menggelap ketika malam mendatang. Cahaya lampu
bersirur dari rumah itu. Air mata berkilauan di pipi ibunya. Dan si bayi
memandang kagum air mata itu.
"Pergi!
Pulang sana ke rumahmu!"
Suara itu
suara Munisai yang menakutkan, yang berasal dari dalam rumah. Dan itu suatu
perintah. Ibu Musashi bangkit pelan-pelan, lalu ia menyusuri tanggul batu yang panjang. Sambil
menangis ia berlari masuk sungai dan berjalan terus ke tengah.
Karena tak
dapat bicara, bayi itu menggeliat dalam pelukan ibunya, mencoba mengatakan
bahaya yang menghadang. Tapi semakin bayi itu bertingkah, semakin ketat ibunya
memeluknya. Pipinya yang basah disapukan ke pipi bayi itu. "Takezo,"
katanya, "kau anak ayahmu, atau ibumu?"
Munisai
memekik dari tepi sungai. Ibunya tenggelam ke dasar sungai Bayinya dilontarkan
ke tepi yang berkerikil, dan di situ ia tergeletak melolong sekuat
paru-parunya, di tengah bunga mawar yang sedang berkembang.
Musashi
membuka mata. Ketika ia mulai tertidur lagi, seorang perempuan-ibunyakah? atau
perempuan lain lagi? mengganggu tidurnya dan membangunkannya lagi. Musashi tak
dapat mengingat wajah ibunya. Sering ia memikirkan ibunya, tapi tak dapat
menggambarkan wajahnya. Apabila ia melihat ibu lain, terpikir olehnya,
barangkali ibunya seperti ibu itu. "Ada apa malam ini?" pikirnya.
Sake itu
telah hilang pengaruhnya. Ia membuka mata dan memandang ke langit-langit. Di
tengah hitamnya jelaga terlihat cahaya kemerahan, pantulan bara di perapian.
Pandangan matanya berhenti pada kincir mainan yang tergantung pada
langit-langit di atasnya. Ia merasa juga bau ibu dan anak itu masih menempel
pada seprai. Dengan rasa nostalgia samar-samar ia terus berbaring setengah
tidur, menatap kincir mainan itu.
Kincir mainan
mulai berputar pelan-pelan. Tak ada yang aneh di situ, memang ia dibuat supaya
berputar. Tapi... tapi itu kalau ada angin! Maka Musashi bangun dan menajamkan
pendengaran baik-baik. Terdengar bunyi pintu yang ditutupkan pelan-pelan.
Kincir mainan berhenti berputar.
Diam-diam
Musashi meletakkan kembali kepalanya ke bantal dan mencoba menduga apa yang
sedang terjadi di rumah itu. Ia laksana seekor serangga di bawah selembar daun,
yang mencoba meramalkan cuaca di atasmya. Seluruh tubuhnya sudah terbiasa
dengan perubahan sekecil apa pun di sekitarnya, dan sarafnya yang peka
betul-betul tegang. Musashi tahu, hidupnva dalam bahaya, tapi dari mana?
"Apa ini
sarang penyamun?" begitu mula-mula ia bertanya pada diri sendiri. Tapi
tidak. Kalau mereka pencuri betul, tentunya mereka tahu ia tak punya apa-apa.
"Apa dia
dendam padaku?" Itu pun rasanya tidak tepat. Musashi merasa pasti, belum
pernah ia melihat Baiken sebelumnya.
Walaupun tak
dapat menggambarkan sebabnya, kulit dan tulangnya dapat merasakan bahwa
seseorang atau sesuatu sedang mengancam hidupnya tahu bahwa apa pun bentuknya,
ancaman itu sangat dekat. Ia harus memutuskan dengan cepat, apakah akan
berbaring menunggu datangnya bahaya, ataukah meloloskan diri sebelum tiba
waktunya.
Ia ulurkan
tangannya ke atas ambang pintu bengkel untuk mencari sandalnya. Ia selipkan
mula-mula sebelah sandal, dan kemudian sandal yang lain ke bawah seprai, ke
bagian kaki tempat tidur.
Kincir mainan
itu mulai berputar lagi. Dalam cahava api ia berputar seperti bunga yang
terkena sihir. Langkah-langkah kaki terdengar lirih, baik di dalam maupun di
luar rumah, ketika Musashi pelan-pelan menggulung tilam menjadi bentuk tubuh
manusia.
Di bawah
tirai pendek di pintu muncul sepasang mata milik orang yang sedang merangkak
masuk dengan pedang terhunus. Seorang lagi yang membawa lembing dan bergayut
erat pada dinding mengendap ke bagian kaki tempat tidur. Kedua orang itu
menatap seprai tempat tidur dan mendengarkan napas orang yang sedang tidur.
Kemudian, seperti gumpalan asap, orang ketiga melompat masuk. Orang itu Baiken
sendiri yang memegang sabit dengan tangan kiri dan peluru dengan tangan kanan.
Ketiga mata
orang itu bertemu, dan mereka mempersamakan napas. Orang yang berada di bagian
kepala tempat tidur menendang bantal ke udara, sedangkan yang di bagian kaki
melompat masuk bengkel dan membidikkan lembingnya ke benda terbaring itu.
Dengan sabit
di belakang tubuhnya, Baiken berseru, "Bangun, Musashi!"
Tak ada
jawaban atau gerakan datang dari tilam. Orang yang memegang lembing
menyingkapkan seprai. "Dia tak ada," serunya.
Baiken
melontarkan pandangan bingung ke kamar, dan terpandang olehnya kincir mainan
berputar cepat. "Ada pintu terbuka!" pekiknya.
Segera
seorang lagi berseru marah. Pintu bengkel yang menghadap jalan setapak yang
menuju ke belakang rumah terbuka sekitar tiga kali lebarnva. dan angin tajam
bertiup ke dalam.
"Dia
keluar dari sini!"
"Apa
kerja orang-orang tolol itu!" jerit Baiken sambil berlari ke luar. Dari
bawah ujung atap dan bayangan bermunculan sosok-sosok tubuh hitam. "Beres,
Pak?" tanya satu suara rendah bergairah.
Baiken
menatap berang. "Apa maksudmu, goblok? Menurutmu, kenapa kau kusuruh jaga
di sini? Dia lari! Pasti dia lewat sini tadi."
"Lari?
Bagaimana dia bisa lari?"
"Pakai
tanya lagi? Keledai kepala besar!" Baiken kembali masuk rumah dan berjalan
mondar-mandir dengan bingung. "Cuma ada dua jalan yang mungkin dia ambil:
ke jalan raya Tsu. Mana pun yang dia tempuh, dia pasti belum jauh. Kejar
dia!"
"Lewat
jalan mana, menurut Bapak?"
"Aku ke
Suzuka. Kamu tutup jalan bawah itu!"
Orang-orang
yang ada di dalam bergabung dengan orang-orang yang ada di luar, menjadi
rombongan campuran terdiri atas sekitar sepuluh orang. semuanya bersenjata.
Seorang di antaranya yang membawa bedil tampak seperti pemburu lainnya, yang
membawa pedang pendek barangkali pembelah kayu.
Ketika
berpisah, Baiken berseru, "Kalau kau temukan dia tembakkan bedil, dan
semua kumpul."
Mereka
berangkat cepat-cepat, tapi sekitar satu jam kemudian mereka kembali satu-satu
dengan wajah murung, berceloteh antara sesamanya dengan kesal. Mereka mengira
akan mendapat makian pemimpinnya, tapi sampai di rumah mereka dapati Baiken
duduk di lantai bengkel dengan mata tertunduk tanpa cahaya.
Ketika mereka
mencoba menggembirakan hatinya, Baiken berkata, "Tak ada gunanya
menangisinya sekarang." Untuk mencoba melampiaskan kemurkaannya, ia ambil
sepotong kayu arang dan ia patahkan kayu itu dengan lututnya.
"Ambil
sake! Aku mau minum." Ia nyalakan api itu kembali dan ia masukkan lagi
ranting-ranting kayu api.
Sambil
mencoba menenangkan bayinya, istri Baiken mengingatkan suaminya bahwa sake tak
ada lagi. Seorang dari orang-orang itu dengan sukarela men-datangkan sake dari
rumahnya, dan ia lakukan itu dengan cepat. Segera kemudian minuman itu sudah
panas, dan mangkuk-mangkuk diedarkan.
Percakapan
hanya terjadi di sana-sini dan kedengaran murung.
"Bikin
aku gila."
"Bajingan
kecil busuk."
"Dia
punya jimat! Pasti."
"Tak
usah kuatir soal itu, Pak. Bapak sudah lakukan semua yang mungkin. Orang-orang
di luar inilah tadi yang gagal dalam tugas."
Orang-orang
yang dimaksud itu meminta maaf dengan wajah malu. Mereka mencoba membuat Baiken
mabuk, supaya mau pergi tidur, tapi Baiken hanya duduk memberengut karena
pahitnya sake, tidak menegur siapa pun atas kegagalan itu.
Akhirnya ia
berkata, "Mestinya tak usah aku membesarkan soal dengan mengerahkan begitu
banyak bantuan dari kalian. Mestinya aku dapat menanganinya sendiri, tapi
tadinya kupikir aku mesti hati-hati. Dia sudah membunuh saudaraku, sedangkan
Tsujikaze Temma itu bukan pejuang kecil."
"Apa
ronin itu betul-betul anak yang sembunyi di rumah Oko empat tahun yang
lalu?"
"Mestinya
begitu. Jisim saudarakulah yang membawanya kemari, aku yakin. Semula tak pernah
terpikir olehku, tapi kemudian dia mengatakan pernah di Sekigahara, dan namanya
waktu itu Takezo. Melihat umurnya dan macamnya, memang dia yang membunuh
saudaraku. Pasti dialah itu."
"Lebih
baik Bapak tidak memikirkannya lagi malam ini. Berbaringlah dan tidurlah."
Mereka semua
membantunya ke tempat tidur. Beberapa orang memungut bantal yang tadi ditendang
dan meletakkannya di bawah kepalanya. Begitu mata Baiken tertutup, kemurkaan
yang memenuhi dirinya diganti oleh dengkur keras.
Orang-orang
saling mengangguk dan mengundurkan diri, bubar ke tengah kabut pagi buta.
Mereka semua orang-orang jembel—anak buah bromocorah seperti Tsujikaze Temma
dari Ibuki dan Tsujikaze Kohei dari Yasugama, yang sekarang menyebut dirinya
Shishido Baiken. Bisa juga mereka itu sekadar begundal di anak tangga terbawah
dalam masyarakat bebas. Karena desakan waktu yang sedang mengalami perubahan,
mereka menjadi petani, tukang, atau pemburu, tapi masih punya gigi yang siap
dipakai menggigit orang baik-baik, kapan saja ada kesempatan.
Yang terdengar
di rumah itu kini hanya bunyi penghuni yang tidur dan gerekan tikus ladang.
Di sudut gang
yang menghubungkan ruang kerja dengan dapur, di samping tungku tanah besar,
berdiri setumpuk kayu bakar. Di atasnya tergantung sebuah payung dan
mantel-mantel jerami yang berat. Di dalam bayangan antara tungku dan dinding,
salah satu mantel hujan itu bergerak, pelan dan lirih mengingsut ke dinding,
sampai akhirnya tergantung pada paku.
Tubuh manusia
yang seperti asap itu tiba-tiba seperti muncul dari dinding. Musashi muncul
dari dinding. Musashi tak satu langkah pun meninggalkan rumah itu. Sesudah
menyelinap dari bawah seprai tadi ia membuka pintu luar dan mencampurkan diri
dengan kayu api, dan menutup dirinya dengan mantel hujan.
Kini ia
berjalan pelan-pelan melintasi bengkel dan memandang Baiken.
Amandelnya
bengkak, pikir Musashi, karena dengkur Baiken bukan main kerasnya. Keadaan itu
terasa lucu olehnya, dan ia menyeringai.
Ia berdiri di
sana sejenak, berpikir. Praktis ia sudah memenangkan pertarungan dengan Baiken.
Suatu kemenangan telak. Namun orang yang terbaring itu saudara Tsujikaze Temma
dan sudah mencoba membunuhnya untuk menyenang-kan roh saudaranya yang telah
mati—suatu sentimen yang mengagumkan untuk seorang bromocorah.
Mestikah
Musashi membunuhnya? Kalau Musashi membiarkannya hidup, ia akan terus mencari
kesempatan melaksanakan balas dendam. Jalan yang aman, tidak sangsi lagi,
adalah menyingkirkannya sekarang juga. Tapi persoalan yang masih harus dijawab
adalah, apakah orang itu pantas dibunuh.
Musashi
berpikir keras sejenak, sebelum akhirnya menemukan pemecahan yang kelihatannya
paling tepat. Ia pergi ke dinding dekat kaki Baiken dan mengambil salah satu
senjata pandai besi itu. Sambil mengeluarkan mata sabit dari lekuknya, ia
mengamati wajah orang yang sedang tidur itu. Kemudian dibungkuskannya secarik
kertas lembap di sekitar mata sabit itu melintang di leher Baiken, dan ia undur
mengagumi hasil karyanya.
Kincir mainan
itu tidur juga. Sekiranya tak ada kertas pembungkus itu, demikian pikir Musashi,
kincir itu bisa terbangun pagi harinya dan berputar kencang menyaksikan kepala
tuannya terjatuh dari bantal.
Ketika
Musashi membunuh Tsujikaze Temma dulu, ia punya alasan untuk melakukannya, lagi
pula waktu itu darahnya masih mendidih oleh demam pertempuran. Namun kini tak
ada satu pun manfaat yang bisa ia peroleh dari mengambil nyawa pandai besi itu.
Lagi pula, siapa tahu, kalau ia membunuh orang itu, anaknya yang masih kecil
nantinya akan menghabiskan hidupnya untuk berusaha membalas dendam kepada pembunuh
ayahnya.
Malam itu
berkali-kali Musashi memikirkan ayah dan ibunya sendiri. Ia merasa sedikit iri
berdiri di dekat keluarga yang sedang tidur ini, dan samar-samar tercium
olehnya bau manis susu ibu. Ia bahkan merasa enggan meninggalkan tempat itu.
Dalam hatinya
ia berkata pada mereka, "Saya minta maaf telah mengganggu kalian. Tidurlah
yang nyenyak." Pelan-pelan ia membuka pintu luar dan pergi.
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar