Bagian 26
Pertemuan di Bawah
Sinar Bulan
MALAM sudah lewat
tengah malam ketika Musashi sampai di penginapan kecil sebelah utara Kitano,
tempat ia pertama kali bertemu dengan Jotaro. Pemilik penginapan kaget, tapi
menyambutnya dengan hangat dan cepat menyediakan tempat tidur untuknya.
Pagi-pagi benar
Musashi pergi Dan kembali larut malam, serta menyerahkan kepada orang tua itu
sekarung ketela Kurama. ia menunjukkan pada pemilik penginapan itu satu gulung
kain katun Nara yang sudah dikelantang, yang dibelinya di toko yang tak jauh
dari situ. la bertanya apakah pemilik penginapan dapat membuatkannya baju
dalam, kantung perut, dan cawat.
Pemilik penginapan
dengan patuhnya membawa kain itu kepada penjahit di daerah tersebut, dan
pulangnya membeli sedikit sake. Ketela ia rebus, dan sambil menghadapi ketela
dan sake ia mengobrol dengan Musashi sampai tengah malam. Waktu itulah penjahit
datang membawa pakaian itu Musashi melipat semua pakaian itu dengan rapi Dan
meletakkannya di samping bantal, sebelum beristirahat.
Orang tua itu
terbangun lama sebelum fajar oleh bunyi kecipak air. Ketika ditengok, tampak
olehnya Musashi sudah mandi dengan air sumur yang dingin dan berdiri di bawah
sinar bulan. ia mengenakan baju dalamnya yang baru Dan sedang mengenakan
kimononya yang lama.
Musashi menyatakan
sedikit bosan dengan Kyoto dan memutusk-an untuk pergi ke Edo. Ia berjanji
dalam tiga atau empat tahun, apabila datang di Kyoto lagi, ia akan tinggal di
penginapan itu.
Sesudah pemilik
penginapan mengikatkan obi-nya di belakang, berangkat dengan langkah cepat. Ia
mengambil jalan setapak sempit yang melintasi perladangan untuk menuju jalan
raya Kitano. Dengan hati-hati dihindarinya timbunan kotoran sapi di sana-sini.
Orang tua itu memandang sedih sementara kegelapan menelan Musashi.
Pikiran Musashi sama
jernihnya dengan langit di atasnya. Karena secara fisik ia sudah segar kembali,
setiap langkah yang diambilnya terasa membuat tubuhnya lebih ringan.
"Tak ada alasan
untuk jalan begini cepat," katanya keras sambil melambatkan jalannya.
"Kukira inilah malam terakhir aku berada di lingkungan makhluk
hidup." Ucapan itu bukan seruan bukan pula ratapan, melainkan sekadar
pernyataan yang begitu saja keluar dari bibirnya. Ia masih belum dapat
merasakan benar-benar sedang menghadapi maut.
Hari sebelumnya ia
lewatkan dengan bermeditasi di bawah sebuah pohon pinus di kuil dalam Kurama.
Ia berharap akan mencapai kebeningan, sehingga tubuh dan jiwa tidak lagi
merupakan persoalan. Tapi sia-sia ia berusaha melepaskan diri dari pikiran
tentang mati. Sekarang rasanya malu ia telah membuang-buang waktu untuk itu.
Udara malam
menyegarkan. Sake yang cukup jumlahnya, tidur yang singkat namun lelap, air
sumur yang menyegarkan, dan pakaian barusemua itu membuat ia tidak merasa
sebagai orang yang akan mati. Teringat olehnya malam di tengah musim dingin
itu, ketika ia memaksa diri naik ke puncak Gunung Rajawali. Waktu itu
bintang-bintang juga memesona, dan pepohonan berhiaskan tetesan air beku.
Tetesan air beku itu tentunya sekarang telah digantikan oleh kuncup
bunga-bungaan.
Pikirannya
melayang-layang dan ia merasa tak mungkin memusatkan diri pada masalah vital
yang dihadapinya. Ia bertanya-tanya, tujuan apa yang hendak dicapainya pada
tahap itu dengan memikirkan persoalan yang dipikirkan seabad pun takkan
terpecahkan. Yaitu apa makna mati, kesengsaraan, maut, dan hidup yang menyusul
sesudah itu?
Daerah yang sedang
dilewati Musashi itu dihuni oleh bangsawan dan para abdi mereka. Terdengar
olehnya alunan sedih suling kecil, diiringi bunvi lambat organ tiup dari pipa
geladah. Di ruang matanya terlihat orang-orang berkabung yang sedang duduk
melingkari peti mati, menanti tajar. Apakah ia tidak segera menyadarinya,
ketika lagu sedih itu menyusupi telinganya? Barangkali karena lagu itu telah
membangkitkan kenangan bawah sadarnya akan fakta perawan Ise yang sedang menari
dan pengalamannva di Gunung Rajawali. Kesangsian menggerogoti pikirannya.
Ketika ia
beristirahat untuk memikirkan soal itu, ia lihat telah melewati Shokokuji dan
tinggal sekitar seratus meter lagi dari Sungai Kamo yang keperakan. Dalam
cahaya yang terpantul ke tembok tanah tampak olehnya sosok tubuh yang gelap,
diam. Orang itu berjalan mendekatinya, diikuti bayangan yang lebih kecil,
seekor anjing terikat tali. Hadirnya binatang itu berarti orang itu bukan salah
seorang musuhnya. Musashi pun santai dan berjalan terus.
Orang itu berjalan
terus beberapa langkah, kemudian menoleh, katanya, "Boleh saya mengganggu
Anda?"
"Saya?"
"Ya, kalau
boleh." Topi dan hakama orang itu dari jenis yang biasa dipakai oleh para
pengrajin.
"Soal apa?"
tanya Musashi.
"Maafkan
pertanyaan saya yang agak janggal, tapi apa Tuan tadi melihat rumah yang terang
benderang di jalan ini?"
"Saya tidak
begitu memperhatikan, tapi tidak, saya kira saya tak melihatnya."
"Saya kira saya
salah jalan lagi."
"Apa yang Anda
cari?"
"Rumah yang baru
saja kematian."
"Saya tak
melihat rumah itu, tapi saya dengar tadi bunyi pipa gelas dan suling sekitar
tiga puluh meter dari sini."
"Mestinya tempat
itu. Pendeta Shinto barangkali telah mendahului kami datang dan memulai jaga
mayat."
"Apa Anda mau
ikut jaga mayat?"
"Tidak persis
begitu. Saya pembuat peti mati dari Bukit Toribe. Saya diminta pergi ke rumah
Matsuo, jadi saya pergi ke Bukit Yoshida, tapi merelea tak lagi tinggal di
sana."
"Keluarga Matsuo
di Bukit Yoshida?"
"Ya, saya tidak
tahu mereka sudah pindah. Sia-sia saja saya jalan begitu jauh. Terima
kasih."
"Tunggu,"
kata Musashi. "Apa itu Matsuo Kaname yang mengabdi pada Yang Dipertuan
Kanoe?"
"Betul. Dia
jatuh sakit hanya sekitar sepuluh hari sebelum meninggal.
Musashi berbalik dan
berjalan terus. Pembuat peti mati bergegas jurusan sebaliknya.
"Jadi, pamanku
meninggal," pikir Musashi biasa. Teringat olehnya betapa sukar pamannya
itu mengais dan menyimpan untuk mengumpulkan uang. Terpikir olehnya kue betas
yang ia terima dari bibinya, dan kemudian ia lahap di tepi sungai yang beku di
pagi Tahun Baru itu. Ia tidak tahu, bagaimana bibinya hidup selanjutnya tanpa
suami.
Ia berdiri di tepi
Sungai Kamo Hulu, memperhatikan pemandangan gelap ketiga puluh enam bukit
Higashiyama. Masing-masing puncaknya seolah membalas pandangan matanya dengan
sikap bermusuhan. Kemudian ia lari turun ke jembatan pohon. Dari bagian utara
kota, orang ramai menyeberang di sini untuk dapat sampai ke jalan Gunung Hiei
dan yang menuju Provinsi Omi.
Ia sudah setengah
jalan menyeberangi jembatan ketika didengarnya suara keras, namun tak jelas. Ia
berhenti mendengarkan. Air yang cepat bergemerecik riang, sedangkan angin
dingin bertiup melintas lembah. Tak dapat ia menetapkan tempat asal teriakan
itu. Beberapa langkah kemudian ia beristirahat lagi karena mendengar suara itu.
Karena masih juga tidak dapat menentukan asal suara, ia bergegas pergi ke tepi
yang lain. Begitu jembatan ditinggalkannya, tampak olehnya seorang lelaki
dengan tangan terangkat ke atas berlari menyongsongnya dari utara. Sosok tubuh
orang yang seperti dikenalnya. Orang itu Sasaki Kojiro, orang yang di mana-mana
menentukan.
Sambil mendekat, ia
menyambut Musashi dengan ramah sekali. Ia menatap ke seberang jembatan, lalu
bertanya, "Engkau sendirian?"
"Tentu saja
sendirian."
"Kuharap engkau
memaafkan aku dalam peristiwa malam itu," kata Kojiro. "Terima kasih
atas penerimaan campur tanganku."
"Kupikir aku
yang mesti mengucapkan terima kasih," jawab Musashi dengan sikap sopan
juga.
"Engkau menuju
pertarungan?"
"Ya."
"Sendiri
saja?" tanya Kojiro lagi.
"Ya, tentu
saja."
"Hmmmm. Ingin
tahu juga aku, Musashi, apa engkau menyalahartikan papan pengumuman yang kita
pasang di Yanagimachi itu."
"Kukira
tidak."
"Apa engkau
sadar betul syarat-syaratnya? Ini bukan pertarungan satu lawan satu seperti
dalam hal Seijuro dan Denshichiro."
"Aku tahu."
"Walaupun
pertempuran dilaksanakan atas nama Genjiro, tapi dia dibantu oleh anggota
Perguruan Yoshioka. Apa engkau mengerti bahwa Perguruan Yoshioka itu bisa
sepuluh, seratus, atau bahkan seribu?"
"Ya, kenapa
engkau bertanya?"
"Beberapa orang
lemah sudah lari dari perguruan itu, tapi yang kuat dan berani semuanya sudah
pergi ke pohon pinus lebar itu. Sekarang ini mereka sudah mengambil tempat di
seluruh sisi bukit, menantimu."
"Apa engkau
sudah melihatnya?"
"Ya. Dan aku
beranggapan lebih baik aku kembali mengingatkanmu. Karena tahu kau akan
menyeberang jembatan pohon ini, aku menunggu di sini. Kuanggap ini kewajibanku,
karena aku yang menulis papan pengumuman itu."
"Itu perbuatan
bijaksana."
"Nah, jadi
begitulah keadaannya. Apa engkau betul-betul bermaksud pergi sendiri, atau
barangkali engkau punya pendukung yang datang lewat jalan lain?"
"Aku punya
seorang teman."
"Oh? Di mana dia
sekarang?"
"Di tempat ini
juga!" Musashi menuding bayangannya sendiri. Karena tertawa, giginya
berkilau disinari bulan.
Kojiro meremang bulu
tengkuknya. "Ini bukan bahan tertawaan."
"Dan aku juga
tidak menganggapnya lelucon."
"Oh?
Kedengarannya seperti engkau menertawakan nasihatku."
Musashi mengambil
sikap lebih serius lagi daripada sikap Kojiro, dan ujarnya, "Apa menurutmu
orang suci Shinran yang agung itu berkelakar ketika dia mengatakan bahwa setiap
orang yang percaya itu memiliki kekuatan dua kali lipat karena sang Budha Amida
bersamanya?"
Kojiro tidak
membalasnya.
"Melihat segala
sesuatunya, rasanya orang Yoshioka dalam keadaan yang lebih menguntungkan.
Mereka mengerahkan segala kekuatan. Aku sendirian. Tidak sangsi lagi, engkau
menyimpulkan aku akan kalah. Tapi kuminta engkau tak usah menguatirkan aku.
Sekiranya aku tahu mereka memiliki sepuluh orang dan aku membawa sepuluh orang
juga, apa yang akan terjadi? Meraka akan mengerahkan dua puluh orang, bukan
sepuluh orang.. Kalau kubawa dua puluh orang, mereka akan meningkatkan
jumlahnya menjadi tiga puluh atau empat puluh, dan pertempuran akan
mengakibatkan huru-hara yang lebih besar lagi. Banyak orang akan terbunuh atau
terluka. Hasilnya adalah pelanggaran serius terhadap prinsip pemerintah, tanpa
memberikan kemajuan apa pun bagi ilmu permainan pedang. Dengan kata lain, kalau
aku mendatangkan bantuan, akan banyak kerugiannya daripada keuntungannya."
"Walaupun memang
benar demikian, tapi tidak sesuai dengan Seni Perang kalau kita memasuki
pertempuran, padahal kita tahu kita akan kalah."
"Ada masa-masa
sikap begini perlu."
"Tidak! Menurut
Seni Perang tidak begitu. Lain sekali halnya kalau engkau memang berbuat
gegabah."
"Apakah caraku
ini sesuai atau tidak dengan Seni Perang, tapi aku tahu apa yang perlu bagi
diriku."
"Engkau
melanggar semua aturan."
Musashi tertawa.
"Kalau engkau
berkeras hendak melanggar aturan," kilah Kojiro, "kenapa tidak kau
pilih tindakan yang memberi kemungkinan untuk terus hidup,
setidak-tidaknya?"
"Jalan yang
kutempuh ini bagiku jalan yang menuju hidup yang lebih penuh."
"Beruntunglah
kau kalau jalan itu tidak menyeretmu masuk neraka!"
"Sungai ini
mungkin saja sungai neraka yang bercabang tiga. Jalan ini jalan panjang menuju
kebinasaan, dan bukit yang segera kudaki itu adalah gunung jarum tempat
penyiksaan orang-orang terkutuk. Namun demikian ini jalan satu-satunya menuju
kehidupan sejati."
"Melihat cara
bicaramu, barangkali engkau sudah dikuasai dewa maut."
"Boleh engkau
berpikir semaumu. Memang ada orang-orang yang mati dengan tetap hidup, tapi ada
juga yang memperoleh hidup dengan mati."
"Setan malang
engkau!" kata Kojiro setengah mencemooh.
"Boleh aku
bertanya, Kojiro—kalau kuikuti jalan ini, sampai di mana akhirnya?"
"Sampai Desa
Hananoki, dan kemudian pohon pinus lebar di Ichijoji, tempat yang kaupilih
untuk mati itu."
"Berapa jauhnya?"
"Cuma sekitar
dua mil. Kamu masih banyak waktu."
"Terima kasih.
Sampai ketemu lagi," kata Musashi gembira sekali, lalu berbelok menuruni
sebuah jalan pinggiran.
"Bukan jalan
itu!"
Musashi mengangguk.
"Salah jalan
kataku."
"Aku tahu."
Musashi terus
menuruni lereng bukit. Di sebelah sana pepohonan, di kiri-kanan jalan, terdapat
sawah bertingkat, sedang di kejauhan terdapat beberapa rumah pertanian beratap
ilalang. Kojiro melihat Musashi berhenti, menengadah ke bulan, dan sejenak
berdiri diam.
Kojiro pecah
ketawanya ketika mengetahui bahwa ternyata Musashi sedang buang air kecil. Ia
sendiri menengadah ke bulan. Terpikir olehnya bahwa sebelum bulan terbenam,
akan banyak orang yang mati dan sekarat.
Musashi tidak kembali
lagi. Kojiro duduk di akar sebatang pohon dan merenungkan pertempuran yang
bakal terjadi itu dengan perasaan mendekati pembira. "Melihat ketenangan
Musashi, dia seperti sudah pasrah untuk mati. Namun dia akan memberikan
perlawanan hebat. Semakin banyak dia menyembelih mereka, semakin menarik untuk
dilihat. Ah, tapi orang-orang Yoshioka itu punya senjata terbang. Kalau Musashi
terkena salah satu darinya, pertunjukan akan segera berhenti. Dan itu merusak
segala-galanya. Kupikir lebih baik kusampaikan padanya tentang senjata itu."
Waktu itu turun
sedikit kabut, dan udara dingin menjelang fajar.
Sambil berdiri,
Kojiro memanggil, "Musashi, lama betul engkau di situ?" Kojiro merasa
ada sesuatu yang tidak beres, dan itu menyebabkan ia kuatir berjalan cepat
menuruni lereng dan memanggil lagi. Tapi satu-satunya bunyi yang kedengaran
olehnya adalah putaran roda air.
"Bajingan
tolol!"
Ia kembali
secepat-cepatnya ke jalan utama dan menoleh ke segala iurusan, tapi yang tampak
olehnya hanya atap-atap kuil dan hutan Shirakawa yang tumbuh di lereng-lereng
Higashiyama, dan juga bulan. Ia mengambil kesimpulan bahwa Musashi telah lari.
Ia caci dirinya karena tidak memahami ketenangan Musashi, dan berangkatlah ia
secepat-cepatnya ke Ichijoji.
Sambil menyeringai
Musashi muncul dari balik sebatang pohon dan berhenti di tempat Kojiro berdiri
tadi. Ia senang lepas dari Kojiro. Ia tak butuh orang yang senang menonton
orang lain mati, yang secara pasif hanya menonton, sementara orang lain
mempertaruhkan hidupnya demi sesuatu yang penting bagi mereka. Kojiro bukan
sekadar penonton polos yang hanya didorong keinginan untuk belajar. Ia tukang
campur tangan yang penuh tipu daya, yang selalu siap mengambil keuntungan dari
kedua belah pihak, yang selalu menampilkan diri sebagai orang hebat yang ingin
membantu semua orang.
Barangkali Kojiro
menyangka bahwa jika la menyampaikan kepada Musashi betapa kuat musuhnya,
Musashi akan merangkak meminta dia menjadi pendukungnya. Dapat dimengerti bahwa
jika tujuan pertama Musashi adalah menyelamatkan hidupnya sendiri, ia akan
menerima dengan baik bantuan orang lain. Padahal sebelum bertemu dengan Kojiro
ia sudah cukup memperoleh keterangan bahwa ia mungkin akan harus berhadapan
dengan seratus orang.
Bukannya ia sudah
lupa akan pelajaran yang diajarkan Takuan kepadanya: orang yang benar-benar
berani adalah yang mencintai hidup dan mendambakannya sebagai harta kekayaan
yang sekali hilang takkan dapat ditemukan kembali. Ia tahu benar bahwa hidup
itu lebih dari sekadar harus tetap hidup. Masalahnya adalah bagaimana menjalin
hidupnya dengan makna, bagaimana menjamin bahwa hidupnya akan memancarkan
cahaya cemerlang ke masa depan, sekalipun terpaksa mengorbankan hidup sendiri
demi cita-cita. Kalau ia berhasil melaksanakan ini, tidak banyak bedanya berapa
panjang umur itu-dua puluh atau tujuh puluh tahun. Jangka hidup hanyalah
selingan tak berarti dalam arungan waktu yang tanpa akhir.
Menurut jalan pikiran
Musashi, ada jalan hidup orang biasa, ada jalan hidup prajurit. Sungguh penting
baginya hidup sebagai samurai dan mati sebagai samurai juga. Tak ada jalan
kembali dalam menempuh jalan yang telah dipilihnya. Sekalipun ia akan dicacah berkeping-keping,
musuh tak dapat menghapuskan kenyataan bahwa ia menyambut tantangan tanpa takut
dan dengan tulus.
Ia perhatikan
jalan-jalan yang dapat ditempuhnya. Jalan terpendek, terlebar, dan termudah
dilalui adalah jalan yang diambil Kojiro. Jalan lain yang tidak begitu langsung
adalah jalan yang menyusuri Sungai Takana induk Sungai Kamo, menuju jalan raya
Ohara, dan kemudian Ichijoj lewat vila Kaisar Shugakuin. Jalan ketiga menuju ke
timur beberapa jauhnya, ke utara sampai kaki Bukit Uryu, dan akhirnya melintasi
sebuah jalan setapak masuk desa.
Ketiga jalan itu
bertemu di dekat pohon pinus lebar. Perbedaan jarak itu tidak penting, namun
dari sudut pandang kekuatan kecil yang menyerang kekuatan yang jauh lebih
besar, pendekatan itu penting sekali. Pilihan ini sendiri dapat menentukan
kemenangan atau kekalahan.
Musashi tidak
berlama-lama menimbang masalah itu. Sesudah beristirahat sebentar, ia berlari
ke jurusan yang hampir berlawanan dengan jurusan Ichijoji. Pertama-tama ia
melintas ke kaki Bukit Kagura, sampai suatu tempat di belakang makam Kaisar
Go-Ichijo. Kemudian melewati rumpun bambu yang rimbun, ia sampai di sebuah
sungai yang melintasi desa dari barat laut. Sisi utara Gunung Daimonji tampak
membayang di atasma Diam-diam ia mulai mendaki.
Lewat pepohonan di
sebelah kanannya ia dapat melihat tembok kebun milik Ginkakuji. Kolam berbentuk
buah jujube di kebun yang terletak hampir langsung di bawahnya berkilauan
seperti cermin. Ketika ia mendaki ke atas lagi, kolam itu hilang di balik
pepohonan, dan Sungai Kamo yang beriak pun tampak. Ia merasa seakan menggenggam
seluruh kota di tangannya.
Ia berhenti sesaat
untuk memeriksa kedudukannya. Dengan berjalan terus mendatar melintasi lereng
empat bukit, ia dapat mencapai suatu tempat yang terletak di atas dan di
belakang pohon pinus lebar. Dari situ ia dapat dengan bebas meninjau selintas
kedudukan musuh. Seperti halnya Oda Nobunaga pada Pertempuran Okehazama, ia
menolak jalan biasa dan mengambil jalan melingkar yang susah.
"Siapa di
situ?"
Musashi diam seketika,
dan menanti. Langkah-langkah kaki mendekati dengan hati-hati. Melihat orang
yang berpakaian seperti samurai yang bekerja pada bangsawan istana, Musashi
menyimpulkan orang itu bukan anggota Yoshioka.
Hidung orang itu
cemong oleh asap obornya. Kimononya lembap berpercik lumpur. Dan ia berteriak
kecil karena terkejut. Musashi menatapnya curiga.
"Apa Anda bukan
Miyamoto Musashi?" tanya orang itu sambil membungkuk rendah. Matanya
tampak ketakutan.
Mata Musashi jadi
terang oleh cahaya obor.
"Apa Anda
Miyamoto Musashi?" Karena ketakutan, samurai itu kelihatan sedikit
tertatih-tatih jalannya. Sifat ganas yang tampak dalam mata Musashi tidak
sering ada pada makhluk manusia. "Siapa engkau?" tanya Musashi
singkat.
"Eh, saya...
saya...
"Tak usah gagap.
Siapa engkau?"
"Saya... saya
dari rumah Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro."
"Aku Miyamoto
Musashi, tapi apa kerja abdi Yang Dipertuan Karasumaru di tengah malam begini
di sini?"
"Jadi, Anda
Musashi!" Orang itu mengeluh lega. Sekejap kemudian ia lari
sekencang-kencangnya menuruni gunung, sedang obornya meninggalkan iejak cahaya
di belakangnya. Musashi membalik dan meneruskan jalannya melintasi sisi gunung.
Ketika samurai itu
sampai di kitaran Ginkakuji, ia berteriak, "Kura, di mana kamu?"
"Kami di sini.
Di mana kamu?" Suara itu bukan suara Kura, abdi Karasumaru yang lain,
tetapi suara Jotaro. "Jo-ta-ro! Kamu, ya?"
"Sini
cepat!"
"Tidak bisa.
Otsu tidak bisa jalan lagi."
Samurai itu mengutuk
pelan, kemudian mengeraskan suaranya, teriaknya "Sini cepat! Aku sudah
menemukan Musashi! Mu-sa-shi! Kalau kalian tidak cepat-cepat, bisa-bisa
kehilangan dia!"
Jotaro dan Otsu
berada sekitar dua ratus meter di bawah. Untuk sampai ke tempat samurai itu,
bayangan mereka berdua yang kelihatan menyatu membutuhkan banyak waktu untuk
tertatih-tatih mendaki. Samurai itu melambai-lambaikan obor, menyuruh mereka
lebih cepat, dan beberapa detik kemudian ia sudah mendengar sendiri napas berat
Otsu. Wajah Otsu tampak lebih putih daripada bulan. Perlengkapan perjalanan
yang ada di tangan dan kakinya yang kurus tampak kejam dan keterlaluan. Tetapi
ketika cahaya jatuh sepenuhnya ke wajahnya, pipinya tampak merah sehat.
"Betul?"
tanyanya terengah-engah.
"Ya, aku baru
saja melihatnya." Kemudian dengan nada lebih genting, "Kalau engkau
cepat-cepat, engkau akan bisa mengejarnya. Tapi kalau engkau membuang-buang
waktu..."
"Ke mana
jalannya?" tanya Jotaro yang jengkel karena sekaligus menghadapi seorang
lelaki tak sabaran dan seorang perempuan sakit.
Keadaan fisik Otsu
sama sekali tidak membaik, tetapi sekali Jotaro membocorkan berita tentang
pertempuran Musashi yang akan segera berlangsung, tak ada lagi yang dapat
menahannya di tempat tidur, padahal dengan tinggal di tempat tidur hidupnya
bisa diperpanjang. Tanpa menghiraukan permohonan apa pun, ia mengikat rambut,
kemudian mengikat sandal jeraminya dan berjalan terhuyung-huyung keluar dari
pintu gerbang Yang Dipertuan Karasumaru. Ketika ternyata tidak mungkin lagi
menghentikannya, Yang Dipertuan Karasumaru pun melakukan segala yang mungkin
untuk membantunya. Ia memimpin pekerjaan itu sendiri. Sementara Otsu tertatih
pelan menuju Ginkakuji, ia mengirimkan orang-orangnya untuk menjelajahi
berbagai jalan yang menuju Desa Ichijoji. Orang-orang itu berjalan sampai kaki
mereka sakit. Mereka sudah hampir putus asa ketika buruan itu akhirnya
ditemukan.
Samurai itu menuding
dan Otsu mendaki bukit itu dengan mantap. Karena takut jatuh, setiap langkah
Jotaro bertanya, "Kakak tak apa-apa, kan? Bisa jalan terus?"
Otsu tak menjawab.
Kalau mau terus terang, ia sebetulnya bahkan tidak mendengar kata-kata Jotaro.
Tubuhnya yang kurus kering hanya mau bereaksi terhadap kebutuhan untuk bertemu
Musashi. Sekalipun mulutnya kering, keringat kering mengucur dari dahinya yang kelabu.
"Tentunya ini
jalannya," kata Jotaro, dengan maksud membesarkan hatinya. "Jalan ini
menuju Gunung Hiei, dan sekarang jalan itu rata. Tak ada lagi mendaki. Apa
Kakak mau istirahat sebentar?"
Otsu menggeleng diam,
sambil terus memegang teguh tongkat yang mereka pikul bersama. Ia berjuang
mengatur napasnya, seakan-akan seluruh kesulitan hidup ini dijejalkan ke dalam
satu perjalanan ini saja.
Ketika mereka
akhirnya berhasil menempuh jarak hampir satu mil, Jotaro berteriak,
"Musashi! Sensei!" Dann terus berteriak-teriak.
Suaranya yang kuat
membangkitkan keberanian Otsu, tapi tak lama kemudian kekuatan Otsu pun habis.
"Jo-Jotaro," bisiknya lemah. Dilepaskannya pikulan, dan ia runtuh ke
rumput di tepi jalan. Wajahnya ke tanah, ia menangkupkan jari-jarinya yang
halus ke mulutnya. Bahunya bergerak mengejang-ngejang.
"Otsu! Oh,
darah! Kakak muntah darah! Otsu!" Sambil hampir menangis, Jotaro
merangkulkan tangannya ke pinggang Otsu, menegakkannya. Otsu
menggeleng-gelengkan kepala pelan. Karena tak tahu apa yang mesti dilakukan,
Jotaro menepuk-nepuk punggung Otsu dengan lembut. "Kakak mau apa?"
tanyanya.
Otsu tak dapat lagi
menjawab.
"Oh, aku tahu!
Air! Air, ya?"
Otsu mengangguk
lemah.
"Tunggu di sini.
Akan kuambilkan."
Jotaro berdiri
memandang ke sekitar, mendengarkan sejenak, lalu pergi ke ngarai tak jauh dari
situ. Dari tempat itu terdengar air mengalir. Dengan sedikit kesulitan ia dapat
menemukan sebuah sumber yang membual dari dalam bebatuan. Tapi ketika sudah
menciduk air dengan kedua tangannya, ia mulai ragu dan matanya menatap
kepiting-kepiting kecil di dasar kolam murni itu. Bulan tidak bersinar langsung
ke air, tetapi pantulan langit lebih indah daripada awan putih perak itu
sendiri. Ia memutuskan untuk menghirup dahulu air itu sebelum melaksanakan
tugas. Ia bergerak beberapa kaki ke sisi, lalu merangkak dengan leher menjulur
seperti bebek.
Tiba-tiba ia
tergagap. "Hantu?" dan tubuhnya meremang seperti buah berangan
berduri. Di dalam kolam kecil itu tercermin pola bergaris-garis, sedangkan di
sisi lain setengah lusin pohon. Tepat di samping pohon itu tampak gambaran
Musashi.
Jotaro mengira ia
sedang dipermainkan oleh imajinasinya dan menduga bayangan itu akan segera
menghilang. Tapi ternyata tidak, karena itu pelanpelan sekali ia mengangkat
matanya.
"Kakak di
sini!" teriaknya. "Kakak betul-betul di sini!" Pantulan langit
yang damai itu berubah menjadi lumpur ketika Ia berkecipak ke pinggir yang
lain, hingga kimononya basah sampai bahu.
"Kakak di
sini!" Ia memeluk kaki Musashi.
"Tenanglah!"
kata Musashi pelan. "Berbahaya di sini. Datanglah lagi nanti."
"Tidak! Saya
sudah menemukan Kakak. Saya akan tinggal dengan Kakak."
"Tenanglah. Tadi
kudengar suaramu. Aku menunggu di sini. Sekarang bawakan Otsu air."
"Airnya keruh
sekarang."
"Ada sungai
kecil lain di sana. Lihat itu? Nah, bawa ini." Ia berikan kepada Jotaro
sebatang bumbung.
Jotaro mengangkat
muka, katanya, "Tidak! Kakak saja yang bawa untuk Otsu."
Mereka berdiri
seperti itu beberapa detik lamanya, kemudian Musashi mengangguk dan pergi ke
sungai lain. Sesudah mengisi bumbung, ia membawanya ke samping Otsu. Dengan
lembut ia peluk Otsu dan ia minumkan air bumbung ke mulutnya.
Jotaro berdiri di
samping mereka. "Lihat, Otsu! Ini Musashi. Kakak mengerti? Musashi!"
Ketika Otsu sudah
menghirup air dingin itu, napasnya jadi ringan sedikit, walaupun ia tetap lemah
dalam pelukan Musashi. Matanya kelihatan menatap sesuatu di kejauhan.
"Otsu, lihat
tidak? Ini bukan aku, tapi Musashi! Ini tangan Musashi yang memeluk Kakak,
bukan tanganku."
Air mata panas
mengambang pada mata Otsu yang kosong, hingga mata itu tampak seperti kaca. Dua
aliran air mata berkilau menuruni pipi. Otsu mengangguk.
Jotaro tak tahan lagi
karena gembira. "Kakak bahagia sekarang, ya ini yang Kakak maksud,
kan?" Kemudian kepada Musashi, "Dia terus saja mengatakan biar
bagaimana dia mesti ketemu Kakak. Dia tidak mau mendengarkan siapa pun! Coba
sekarang katakan padanya, kalau dia terus berbuat begitu, dia akan mati. Dia
tak mau memperhatikan saya. Barangkali dia mau menurut perintah Kakak."
"Semua ini
salahku," kata Musashi. "Aku akan minta maaf, dan akan minta padanya
supaya lebih baik lagi menjaga dirinya. Jotaro..."
"Ya?"
"Sekarang
kuminta kamu meninggalkan kami, sebentar saja."
"Kenapa? Kenapa
saya tak boleh tinggal di sini?"
"Jangan seperti
itu, Jotaro," kata Otsu memohon. "Hanya beberapa menit saja.
Ayolah."
"Baiklah."
Tak dapat Jotaro menolak Otsu, walaupun ia tak mengerti maksudnya. "Aku
naik bukit. Panggil aku, kalau Kakak sudah selesai."
Sifat malu-malu Otsu
yang alamiah bertambah besar oleh penyakitnya. Ia tak dapat memutuskan apa yang
hendak dikatakannya.
Sementara Musashi
membuang muka karena malu, Otsu membelakanginya. Musashi, menatap tanah.
Musashi menatap langit.
Secara naluriah
Musashi takut tak ada kata-kata yang dapat dipakainya mengungkapkan apa yang
ada di dalam hatinya. Segala yang terjadi semenjak Otsu membebaskan dirinya
dari pohon kriptomeria pada malam hari itu melintas dalam pikirannya, dan ia
mengakui kemurnian cinta yang menyebabkan Otsu mencarinya lima tahun penuh.
Siapa yang lebih kuat
dan siapa yang lebih menderita? Otsu-kah, dengan hidupnya yang sukar dan rumit,
dan yang menyala oleh cinta yang tak dapat disembunyikannya? Ataukah ia
sendiri, yang menyembunyikan perasaannya di balik wajah yang membatu dan yang
mengubur bara nafsunya di bawah lapisan abu yang dingin? Musashi tahu
sebelumnya, dan sekarang pun ia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya lebih
sengsara. Namun dalam keteguhan Otsu terdapat kekuatan dan keberanian. Beban
yang harus ditanggungnya itu masih terlampau berat untuk ditanggung sendiri
oleh umumnya laki-laki.
"Waktu tinggal
sedikit, dan aku harus pergi," pikir Musashi.
Bulan rendah di
langit, cahayanya lebih putih sekarang. Fajar tak lagi jauh. Segera juga bulan
dan dirinya akan menghilang ke balik gunung maut. Dalam waktu singkat yang
masih tinggal itu, ia harus menyampaikan kebenaran kepada Otsu. Ia berutang
budi benar atas kesetiaan dan ketulusan gadis itu. Tapi kata-kata itu tak dapat
keluar. Semakin keras ia mencoba bicara, semakin kaku lidahnya. la menatap
langit tanpa daya, seakan ilham bisa turun dari langit itu.
Otsu menatap tanah
dan menangis. Di dalam hatinya selama itu bersemayam cinta yang menyala, cinta
yang demikian hebat hingga dapat mengusir segala yang lain dari dalam hatinya.
Prinsip, agama, minat terhadap kesejahteraan diri, dan harga diri... semua
memucat berdampingan dengan hasrat yang menelan segala-galanya ini. Sampai
batas tertentu, ia percaya cintanya mesti dapat mengalahkan perlawanan Musashi.
Bagaimanapun, dengan air mata ia harus menemukan jalan agar mereka berdua dapat
hidup bersama, terpisah dari dunia orang biasa. Tapi sesudah berada bersama
Musashi sekarang, ternyata ia tanpa daya. Ia tak dapat mengerahkan diri untuk
melukiskan betapa sakit berada jauh dari Musashi, betapa sengsara mengarungi
hidup sendiri, dan betapa menderita ia mendapati Musashi tak menyimpan perasaan
sama sekali. Oh, alangkah baiknya jika ia memiliki ibu, tempat ia mencurahkan
segala kesedihan....
Kediaman panjang itu
terganggu oleh kuak sekawanan angsa. Terbiasa dengan datangnya fajar,
angsa-angsa itu naik ke atas pepohonan dan terbang ke atas puncak gunung.
"Angsa-angsa itu
terbang ke utara," kata Musashi, walaupun sadar bahwa kata-kata itu tidak
relevan sama sekali.
"Musashi..."
Mata mereka bertemu,
sama-sama terkenang akan tahun-tahun mereka di desa, ketika angsa-angsa
melintas tinggi di atas mereka tiap musim semi dan musim gugur.
Waktu itu segalanya
begitu sederhana. Ia bersahabat dengan Matahachi. Musashi tidak disukainya
karena kasar, tapi tidak pernah ia takut membalas kata-katanya, kalau Musashi
menghinanya. Kini masing-masing berpikir rentang gunung tempat tegak Shippoji
dan kedua tepi Sungai Yoshino di bawahnya. Dan keduanya sadar bahwa mereka
sedang menyia-nyiakan saat-saat berharga-saat-saat yang takkan pernah kembali
lagi.
"Jotaro bilang
kau sakit. Apa penyakitmu berat?"
"Tidak
begitu."
"Apa kau merasa
lebih baik sekarang?"
"Ya, tapi tak
seberapa. Apa menurut dugaanmu engkau akan terbunuh hari ini?"
"Kukira
begitu."
"Kalau kau mati,
aku tak dapat hidup terus. Barangkali itu sebabnya begitu mudah aku melupakan
penyakitku sekarang."
Ada cahaya tertentu
yang mulai memancar dalam mata Otsu, dan itu membuat Musashi sadar bahwa
tekadnya sendiri lemah dibandingkan dengan tekad Otsu. Bahkan untuk mencapai
satu tahap penguasaan diri saja ia harus merenungkan soal hidup dan mati selama
bertahun-tahun, harus mendisiplinkan diri terhadap setiap godaan, dan memaksa
dirinya menjalani kerasnya latihan samurai. Tanpa latihan maupun pendisiplinan
diri secara sadar, perempuan ini tanpa sangsi sedikit pun dapat mengatakan
bahwa ia siap mati jika Musashi mati. Wajah Otsu mengungkapkan ketenangan
sempurna, matanya menyatakan kepada Musashi bahwa ia tidak berbohong ataupun
berbicara menuruti perasaan belaka. Ia kelihatan hampir-hampir bahagia
menghadapi kemungkinan mengikuti Musashi menjemput maut. Musashi pun heran
bercampur malu, betapa mungkin perempuan bisa begitu kuatnya.
"Jangan bodoh
begitu, Otsu!" ucap Musashi tiba-tiba. "Tak ada alasan kau mesti
mati." Kekuatan suaranya dan kedalaman perasaannya bahkan mengejutkan
dirinya sendiri. "Lain sekali soalnya kalau aku mati karena berkelahi melawan
orang-orang Yoshioka. Tidak saja karena sudah seharusnya orang yang hidup
dengan pedang mesti mati karena pedang, tapi aku juga punya kewajiban
mengingatkan para pengecut yang menempuh Jalan Samurai. Kesediaanmu mengikutiku
menyambut maut itu sangat mengharukan, tapi apa manfaatnya? Tak lebih dari
matinya seekor serangga yang menyedihkan."
Melihat Otsu
mencucurkan air mata lagi, Musashi menyesali kata-katanya yang kasar.
"Sekarang aku
mengerti, kenapa bertahun-tahun lamanya aku berbohong padamu, juga pada diri
sendiri. Aku tidak bermaksud menipumu ketika kita lari dari desa, atau ketika
aku melihatmu di Jembatan Hanada, tapi aku tolol menipumu-dengan berpura-pura
dingin dan tak acuh. Padahal bukan itu perasaanku.
"Sebentar lagi
aku mati. Yang akan kukatakan ini, itulah yang benar. Aku cinta padamu, Otsu.
Akan kubuang segalanya jauh-jauh dan kuhabiskan umurku denganmu, sekiranya
saja..."
Dan sesudah berhenti
sebentar, ia melanjutkan dengan nada lebih bertenaga. "Kau mesti percaya
akan setiap kata yang akan kukatakan, karena aku takkan punya kesempatan lagi
untuk menyampaikannya. Sekarang ini kau bicara tanpa harga diri ataupun
pretensi. Ada hari-hari di kala aku tak dapat memusatkan perhatian karena
memikirkanmu, dan malam-malam kala aku tak dapat tidur karena memimpikanmu.
Mimpi-mimpi yang panas penuh gairah, Otsu, mimpi-mimpi yang hampir membuatku
gila. Sering aku mendekap kasurku dan membayangkannya sebagai dirimu.
"Tapi pada saat
merasa demikian pun, kalau aku mengeluarkan pedangku dan memandangnya, kegilaan
itu pun menguap dan darahku jadi mendingin."
Otsu menoleh
kepadanya, penuh air mata, tapi berseri-seri seperti semarak pagi, dan ia mulai
bicara. Tetapi melihat kegairahan dalam mata Musashi, kata-kata tersangkut di
tenggorokannya, dan ia memandang tanah kembali.
"Pedang adalah
pelarianku. Setiap kali nafsu mengancam akan menguasaiku, kupaksa diriku
kembali ke dunia pedang. Inilah nasibku, Otsu. Aku terbelah antara cinta dan
disiplin diri. Rasanya aku meniti dua jalan sekaligus. Tetapi manakala kedua
jalan itu menyimpang, aku selalu berhasil menempatkan diriku pada jalan yang
benar.
"Aku kenal
diriku lebih baik daripada siapa pun. Aku bukan jenius, dan bukan juga orang
besar."
Ia terdiam kembali.
Walaupun ingin mengungkapkan perasaannya dengan tulus, ia merasa kata-katanya
menyembunyikan kebenaran. Hatinya menyuruhnya lebih terus terang lagi.
"Ya, begitulah
diriku ini. Apa lagi yang bisa kukatakan? Kalau aku memikirkan pedangku, engkau
tersingkir ke sudut gelap pikiranku—bahkan menghilang sama sekali, tanpa
meninggalkan jejak. Pada waktu-waktu seperti itu, aku merasa paling bahagia dan
paling puas dengan hidupku. Kau mengerti, Otsu? Selama ini kau menderita,
membahayakan tubuh dan jiwamu demi orang yang lebih cinta kepada pedangnya
daripada kepadamu. Aku sedia mati demi membuktikan kebenaran pedangku, tapi aku
tak mau mati demi kau. Sesungguhnya aku ingin berlutut dan minta maaf padamu,
tapi tak dapat."
Musashi merasa jemari
Otsu yang peka itu lebih ketat memegang pergelangan tangannya. Otsu tak lagi
menangis, "Aku tahu semua itu," katanya penuh tekanan. "Kalau
aku tidak mengetahuinya, aku tak dapat mencintaimu seperti ini."
"Tapi apa kau
tidak melihat bahwa mati demi diriku itu bodoh? Saat ini aku milikmu, badan dan
jiwaku. Tapi sekali aku sudah meninggalkanmu... tak perlu kau mati demi orang
macam aku. Ada jalan yang baik, Otsu, jalan yang wajar untuk hidup seorang
perempuan. Engkau harus mencarinya, dan membangun hidup bahagia untuk dirimu
sendiri. Inilah kata-kata perpisahanku. Sudah waktunya aku pergi."
Pelan-pelan Musashi
menyingkirkan tangan Otsu dari pergelangannya, dan berdiri. Otsu menangkap
lengan kimononya, dan serunya, "Musashi, sebentar saja lagi!"
Begitu banyak yang
ingin ia ceritakan kepada Musashi. Ia tak peduli apakah Musashi akan
melupakannya ketika tidak bersamanya. Ia tak peduli disebut tidak penting. Ia
tidak berkhayal tentang watak Musashi ketika ia jatuh cinta kepadanya. Kembali
ia menangkap lengan kimono Musashi dan matanya mencari mata Musashi, mencoba
memperpanjang saat terakhir itu dan mencegahnya berakhir.
Permohonan Otsu yang
diam itu hampir menjatuhkan Musashi. Di dalam kelemahan yang menyebabkan Otsu
tak bisa bicara itu pun terdapat keindahan. Terpengaruh oleh kelemahan dan
ketakutannya sendiri, Musashi merasa dirinya seperti sebatang pohon berakar
rapuh yang terancam angin menggila. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah
ketaatannya yang suci kepada Jalan Pedang itu akan runtuh seperti tanah longsor
oleh beratnya air mata Otsu.
Untuk memecahkan
ketenangan, ia bertanya, "Kau mengerti?"
"Ya," jawab
Otsu lemah. "Aku mengerti betul, tapi kalau kau mati, aku akan mati juga.
Matiku akan punya arti buat diriku seperti matimu berarti buatmu. Kalau kau
dapat menghadapi akhir hidupmu dengan tenang, aku pun dapat. Aku takkan
terinjak-injak seperti serangga atau tenggelam oleh kesedihan. Akulah yang
menentukan jalanku sendiri. Tak ada orang lain yang dapat melakukannya, biarpun
orang lain itu engkau."
Dengan kekuatan yang
besar dan ketenangan yang sempurna, ia melanjutkan. "Kalau di dalam hatimu
kau mau menganggapku sebagai calon istrimu, cukuplah. Itulah kegembiraan dan
berkat yang cuma dimiliki olehku, di antara begini banyak perempuan di dunia
ini. Kaubilang tak ingin membuatku sedih. Aku dapat memberikan jaminan padamu
bahwa aku takkan mati karena sedih. Ada orang-orang yang rupanya menganggapku
tidak beruntung, tapi aku sendiri sama sekali tidak merasa demikian. Dengan
senang hati aku menyongsong hari kematianku. Hari itu akan seperti pagi yang
indah ketika burung-burung menyanyi, dan aku akan pergi dengan bahagia,
sebahagia kalau aku sedang menuju pesta perkawinanku."
Hampir kehabisan
napas, ia melipat tangan di dada dan memandang puas ke atas, seakan-akan
terperangkap oleh mimpi yang menggairahkan.
Bulan seakan
tenggelam. Walaupun matahari belum lagi merekah, kabut mulai naik lewat
pepohonan.
Ketenangan itu
diporakporandakan oleh jerit mengerikan yang membelah udara seperti pekik
burung dalam dongeng. Jerit itu datang dari karang terjal yang tadi didaki
Jotaro. Otsu terkejut dan lepas dari mimpi-mimpinya. Ia layangkan pandangan ke
puncak karang.
Saat itulah yang
dipilih Musashi untuk pergi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia menarik diri
dari samping Otsu dan pergi memenuhi janji dengan maut.
Disertai teriakan
tercekik, Otsu berlari beberapa langkah mengejarnya.
Musashi berlari cepat
meninggalkannya, kemudian menoleh ke belakang, katanya, "Aku mengerti
perasaanmu, Otsu, tapi kuminta jangan engkau mati seperti pengecut. Jangan
karena kesedihan, kaubiarkan dirimu tenggelam dalam lembah maut dan tewas
sebagai orang lemah. Sembuhlah engkau dulu, kemudian pikirkan itu. Aku sendiri
bukannya membuang hidup demi cita-cita tak berguna. Kupilih melakukan apa yang
kulakukan sekarang ini karena dengan mati aku dapat memperoleh hidup kekal. Aku
berpegang pada satu hal ini: tubuhku boleh menjadi debu, tapi aku akan tetap
hidup."
Sambil mengatur
napas, ia menambahkan peringatan. "Kau mendengarkan tidak? Kalau kau
mencoba mengikuti mendapatkan maut, kau akan menemukan dirimu mati sendirian.
Kau bisa mencariku di dunia sana, tapi nanti akan kaulihat bahwa aku tak ada di
sana. Aku mau hidup terus sampai seratus atau seribu tahun, di hati bangsaku,
di dalam semangat ilmu permainan pedang Jepang."
Sebelum Otsu dapat
berbicara lagi, kata-kata Musashi sudah tidak dapat didengar. Otsu merasa
jiwanya sudah meninggalkan dirinya, tapi hal itu tak dirasakannya sebagai
perpisahan. Ia merasa seolah-olah mereka berdua sedang ditelan ombak besar
antara hidup dan mati.
Campuran lumpur dan
kerikil terjun ke bawah dan berhenti di kaki karang, segera kemudian disusul
oleh Jotaro. Jotaro mengenakan topeng ajaib yang dulu diterimanya dari janda di
Nara itu.
Sambil mengacungkan
kedua tangannya, katanya, "Belum pernah aku begini terkejut selama
hidup!"
"Apa yang
terjadi?" bisik Otsu, walaupun belum sepenuhnya sembuh dari guncangan
akibat melihat topeng itu.
"Kakak tadi
tidak mendengar? Aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba sekali terdengar jerit
mengerikan tadi."
"Di mana kamu
tadi? Kamu tadi pakai topeng itu, ya?"
"Aku duduk di
atas batu karang tadi. DI atas sana ada jalan selebar jalan ini. Aku mendaki
sedikit, dan kutemukan batu besar bagus, karena itu aku duduk di sana,
memandang bulan."
"Topeng itu...
apa kamu pakai topeng itu?"
"Ya. Kudengar
rubah-rubah mengaung, dan barangkali juga luak atau yang lain lagi gemeresik di
sekitarku. Kupikir topeng itu bisa bikin takut mereka. Tapi kemudian kudengar
jeritan yang bikin beku darah itu, yang sepertinya datang dari hantu
neraka!"
0 komentar:
Posting Komentar