Rabu, 12 Juli 2017



Bagian 26

Pertemuan di Bawah Sinar Bulan


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







MALAM sudah lewat tengah malam ketika Musashi sampai di penginapan kecil sebelah utara Kitano, tempat ia pertama kali bertemu dengan Jotaro. Pemilik penginapan kaget, tapi menyambutnya dengan hangat dan cepat menyediakan tempat tidur untuknya.

Pagi-pagi benar Musashi pergi Dan kembali larut malam, serta menyerahkan kepada orang tua itu sekarung ketela Kurama. ia menunjukkan pada pemilik penginapan itu satu gulung kain katun Nara yang sudah dikelantang, yang dibelinya di toko yang tak jauh dari situ. la bertanya apakah pemilik penginapan dapat membuatkannya baju dalam, kantung perut, dan cawat.

Pemilik penginapan dengan patuhnya membawa kain itu kepada penjahit di daerah tersebut, dan pulangnya membeli sedikit sake. Ketela ia rebus, dan sambil menghadapi ketela dan sake ia mengobrol dengan Musashi sampai tengah malam. Waktu itulah penjahit datang membawa pakaian itu Musashi melipat semua pakaian itu dengan rapi Dan meletakkannya di samping bantal, sebelum beristirahat.

Orang tua itu terbangun lama sebelum fajar oleh bunyi kecipak air. Ketika ditengok, tampak olehnya Musashi sudah mandi dengan air sumur yang dingin dan berdiri di bawah sinar bulan. ia mengenakan baju dalamnya yang baru Dan sedang mengenakan kimononya yang lama.

Musashi menyatakan sedikit bosan dengan Kyoto dan memutusk-an untuk pergi ke Edo. Ia berjanji dalam tiga atau empat tahun, apabila datang di Kyoto lagi, ia akan tinggal di penginapan itu.

Sesudah pemilik penginapan mengikatkan obi-nya di belakang, berangkat dengan langkah cepat. Ia mengambil jalan setapak sempit yang melintasi perladangan untuk menuju jalan raya Kitano. Dengan hati-hati dihindarinya timbunan kotoran sapi di sana-sini. Orang tua itu memandang sedih sementara kegelapan menelan Musashi.

Pikiran Musashi sama jernihnya dengan langit di atasnya. Karena secara fisik ia sudah segar kembali, setiap langkah yang diambilnya terasa membuat tubuhnya lebih ringan.

"Tak ada alasan untuk jalan begini cepat," katanya keras sambil melambatkan jalannya. "Kukira inilah malam terakhir aku berada di lingkungan makhluk hidup." Ucapan itu bukan seruan bukan pula ratapan, melainkan sekadar pernyataan yang begitu saja keluar dari bibirnya. Ia masih belum dapat merasakan benar-benar sedang menghadapi maut.

Hari sebelumnya ia lewatkan dengan bermeditasi di bawah sebuah pohon pinus di kuil dalam Kurama. Ia berharap akan mencapai kebeningan, sehingga tubuh dan jiwa tidak lagi merupakan persoalan. Tapi sia-sia ia berusaha melepaskan diri dari pikiran tentang mati. Sekarang rasanya malu ia telah membuang-buang waktu untuk itu.

Udara malam menyegarkan. Sake yang cukup jumlahnya, tidur yang singkat namun lelap, air sumur yang menyegarkan, dan pakaian barusemua itu membuat ia tidak merasa sebagai orang yang akan mati. Teringat olehnya malam di tengah musim dingin itu, ketika ia memaksa diri naik ke puncak Gunung Rajawali. Waktu itu bintang-bintang juga memesona, dan pepohonan berhiaskan tetesan air beku. Tetesan air beku itu tentunya sekarang telah digantikan oleh kuncup bunga-bungaan.

Pikirannya melayang-layang dan ia merasa tak mungkin memusatkan diri pada masalah vital yang dihadapinya. Ia bertanya-tanya, tujuan apa yang hendak dicapainya pada tahap itu dengan memikirkan persoalan yang dipikirkan seabad pun takkan terpecahkan. Yaitu apa makna mati, kesengsaraan, maut, dan hidup yang menyusul sesudah itu?

Daerah yang sedang dilewati Musashi itu dihuni oleh bangsawan dan para abdi mereka. Terdengar olehnya alunan sedih suling kecil, diiringi bunvi lambat organ tiup dari pipa geladah. Di ruang matanya terlihat orang-orang berkabung yang sedang duduk melingkari peti mati, menanti tajar. Apakah ia tidak segera menyadarinya, ketika lagu sedih itu menyusupi telinganya? Barangkali karena lagu itu telah membangkitkan kenangan bawah sadarnya akan fakta perawan Ise yang sedang menari dan pengalamannva di Gunung Rajawali. Kesangsian menggerogoti pikirannya.

Ketika ia beristirahat untuk memikirkan soal itu, ia lihat telah melewati Shokokuji dan tinggal sekitar seratus meter lagi dari Sungai Kamo yang keperakan. Dalam cahaya yang terpantul ke tembok tanah tampak olehnya sosok tubuh yang gelap, diam. Orang itu berjalan mendekatinya, diikuti bayangan yang lebih kecil, seekor anjing terikat tali. Hadirnya binatang itu berarti orang itu bukan salah seorang musuhnya. Musashi pun santai dan berjalan terus.

Orang itu berjalan terus beberapa langkah, kemudian menoleh, katanya, "Boleh saya mengganggu Anda?"

"Saya?"

"Ya, kalau boleh." Topi dan hakama orang itu dari jenis yang biasa dipakai oleh para pengrajin.

"Soal apa?" tanya Musashi.

"Maafkan pertanyaan saya yang agak janggal, tapi apa Tuan tadi melihat rumah yang terang benderang di jalan ini?"

"Saya tidak begitu memperhatikan, tapi tidak, saya kira saya tak melihatnya."

"Saya kira saya salah jalan lagi."

"Apa yang Anda cari?"

"Rumah yang baru saja kematian."

"Saya tak melihat rumah itu, tapi saya dengar tadi bunyi pipa gelas dan suling sekitar tiga puluh meter dari sini."

"Mestinya tempat itu. Pendeta Shinto barangkali telah mendahului kami datang dan memulai jaga mayat."

"Apa Anda mau ikut jaga mayat?"

"Tidak persis begitu. Saya pembuat peti mati dari Bukit Toribe. Saya diminta pergi ke rumah Matsuo, jadi saya pergi ke Bukit Yoshida, tapi merelea tak lagi tinggal di sana."

"Keluarga Matsuo di Bukit Yoshida?"

"Ya, saya tidak tahu mereka sudah pindah. Sia-sia saja saya jalan begitu jauh. Terima kasih."

"Tunggu," kata Musashi. "Apa itu Matsuo Kaname yang mengabdi pada Yang Dipertuan Kanoe?"

"Betul. Dia jatuh sakit hanya sekitar sepuluh hari sebelum meninggal.

Musashi berbalik dan berjalan terus. Pembuat peti mati bergegas jurusan sebaliknya.

"Jadi, pamanku meninggal," pikir Musashi biasa. Teringat olehnya betapa sukar pamannya itu mengais dan menyimpan untuk mengumpulkan uang. Terpikir olehnya kue betas yang ia terima dari bibinya, dan kemudian ia lahap di tepi sungai yang beku di pagi Tahun Baru itu. Ia tidak tahu, bagaimana bibinya hidup selanjutnya tanpa suami.

Ia berdiri di tepi Sungai Kamo Hulu, memperhatikan pemandangan gelap ketiga puluh enam bukit Higashiyama. Masing-masing puncaknya seolah membalas pandangan matanya dengan sikap bermusuhan. Kemudian ia lari turun ke jembatan pohon. Dari bagian utara kota, orang ramai menyeberang di sini untuk dapat sampai ke jalan Gunung Hiei dan yang menuju Provinsi Omi.

Ia sudah setengah jalan menyeberangi jembatan ketika didengarnya suara keras, namun tak jelas. Ia berhenti mendengarkan. Air yang cepat bergemerecik riang, sedangkan angin dingin bertiup melintas lembah. Tak dapat ia menetapkan tempat asal teriakan itu. Beberapa langkah kemudian ia beristirahat lagi karena mendengar suara itu. Karena masih juga tidak dapat menentukan asal suara, ia bergegas pergi ke tepi yang lain. Begitu jembatan ditinggalkannya, tampak olehnya seorang lelaki dengan tangan terangkat ke atas berlari menyongsongnya dari utara. Sosok tubuh orang yang seperti dikenalnya. Orang itu Sasaki Kojiro, orang yang di mana-mana menentukan.

Sambil mendekat, ia menyambut Musashi dengan ramah sekali. Ia menatap ke seberang jembatan, lalu bertanya, "Engkau sendirian?"

"Tentu saja sendirian."

"Kuharap engkau memaafkan aku dalam peristiwa malam itu," kata Kojiro. "Terima kasih atas penerimaan campur tanganku."

"Kupikir aku yang mesti mengucapkan terima kasih," jawab Musashi dengan sikap sopan juga.

"Engkau menuju pertarungan?"

"Ya."

"Sendiri saja?" tanya Kojiro lagi.

"Ya, tentu saja."

"Hmmmm. Ingin tahu juga aku, Musashi, apa engkau menyalahartikan papan pengumuman yang kita pasang di Yanagimachi itu."

"Kukira tidak."

"Apa engkau sadar betul syarat-syaratnya? Ini bukan pertarungan satu lawan satu seperti dalam hal Seijuro dan Denshichiro."

"Aku tahu."

"Walaupun pertempuran dilaksanakan atas nama Genjiro, tapi dia dibantu oleh anggota Perguruan Yoshioka. Apa engkau mengerti bahwa Perguruan Yoshioka itu bisa sepuluh, seratus, atau bahkan seribu?"

"Ya, kenapa engkau bertanya?"

"Beberapa orang lemah sudah lari dari perguruan itu, tapi yang kuat dan berani semuanya sudah pergi ke pohon pinus lebar itu. Sekarang ini mereka sudah mengambil tempat di seluruh sisi bukit, menantimu."

"Apa engkau sudah melihatnya?"

"Ya. Dan aku beranggapan lebih baik aku kembali mengingatkanmu. Karena tahu kau akan menyeberang jembatan pohon ini, aku menunggu di sini. Kuanggap ini kewajibanku, karena aku yang menulis papan pengumuman itu."

"Itu perbuatan bijaksana."

"Nah, jadi begitulah keadaannya. Apa engkau betul-betul bermaksud pergi sendiri, atau barangkali engkau punya pendukung yang datang lewat jalan lain?"

"Aku punya seorang teman."

"Oh? Di mana dia sekarang?"

"Di tempat ini juga!" Musashi menuding bayangannya sendiri. Karena tertawa, giginya berkilau disinari bulan.

Kojiro meremang bulu tengkuknya. "Ini bukan bahan tertawaan."

"Dan aku juga tidak menganggapnya lelucon."

"Oh? Kedengarannya seperti engkau menertawakan nasihatku."

Musashi mengambil sikap lebih serius lagi daripada sikap Kojiro, dan ujarnya, "Apa menurutmu orang suci Shinran yang agung itu berkelakar ketika dia mengatakan bahwa setiap orang yang percaya itu memiliki kekuatan dua kali lipat karena sang Budha Amida bersamanya?"

Kojiro tidak membalasnya.

"Melihat segala sesuatunya, rasanya orang Yoshioka dalam keadaan yang lebih menguntungkan. Mereka mengerahkan segala kekuatan. Aku sendirian. Tidak sangsi lagi, engkau menyimpulkan aku akan kalah. Tapi kuminta engkau tak usah menguatirkan aku. Sekiranya aku tahu mereka memiliki sepuluh orang dan aku membawa sepuluh orang juga, apa yang akan terjadi? Meraka akan mengerahkan dua puluh orang, bukan sepuluh orang.. Kalau kubawa dua puluh orang, mereka akan meningkatkan jumlahnya menjadi tiga puluh atau empat puluh, dan pertempuran akan mengakibatkan huru-hara yang lebih besar lagi. Banyak orang akan terbunuh atau terluka. Hasilnya adalah pelanggaran serius terhadap prinsip pemerintah, tanpa memberikan kemajuan apa pun bagi ilmu permainan pedang. Dengan kata lain, kalau aku mendatangkan bantuan, akan banyak kerugiannya daripada keuntungannya."

"Walaupun memang benar demikian, tapi tidak sesuai dengan Seni Perang kalau kita memasuki pertempuran, padahal kita tahu kita akan kalah."

"Ada masa-masa sikap begini perlu."

"Tidak! Menurut Seni Perang tidak begitu. Lain sekali halnya kalau engkau memang berbuat gegabah."

"Apakah caraku ini sesuai atau tidak dengan Seni Perang, tapi aku tahu apa yang perlu bagi diriku."

"Engkau melanggar semua aturan."

Musashi tertawa.

"Kalau engkau berkeras hendak melanggar aturan," kilah Kojiro, "kenapa tidak kau pilih tindakan yang memberi kemungkinan untuk terus hidup, setidak-tidaknya?"

"Jalan yang kutempuh ini bagiku jalan yang menuju hidup yang lebih penuh."

"Beruntunglah kau kalau jalan itu tidak menyeretmu masuk neraka!"

"Sungai ini mungkin saja sungai neraka yang bercabang tiga. Jalan ini jalan panjang menuju kebinasaan, dan bukit yang segera kudaki itu adalah gunung jarum tempat penyiksaan orang-orang terkutuk. Namun demikian ini jalan satu-satunya menuju kehidupan sejati."

"Melihat cara bicaramu, barangkali engkau sudah dikuasai dewa maut."

"Boleh engkau berpikir semaumu. Memang ada orang-orang yang mati dengan tetap hidup, tapi ada juga yang memperoleh hidup dengan mati."

"Setan malang engkau!" kata Kojiro setengah mencemooh.

"Boleh aku bertanya, Kojiro—kalau kuikuti jalan ini, sampai di mana akhirnya?"

"Sampai Desa Hananoki, dan kemudian pohon pinus lebar di Ichijoji, tempat yang kaupilih untuk mati itu."

"Berapa jauhnya?"

"Cuma sekitar dua mil. Kamu masih banyak waktu."

"Terima kasih. Sampai ketemu lagi," kata Musashi gembira sekali, lalu berbelok menuruni sebuah jalan pinggiran.

"Bukan jalan itu!"

Musashi mengangguk.

"Salah jalan kataku."

"Aku tahu."

Musashi terus menuruni lereng bukit. Di sebelah sana pepohonan, di kiri-kanan jalan, terdapat sawah bertingkat, sedang di kejauhan terdapat beberapa rumah pertanian beratap ilalang. Kojiro melihat Musashi berhenti, menengadah ke bulan, dan sejenak berdiri diam.

Kojiro pecah ketawanya ketika mengetahui bahwa ternyata Musashi sedang buang air kecil. Ia sendiri menengadah ke bulan. Terpikir olehnya bahwa sebelum bulan terbenam, akan banyak orang yang mati dan sekarat.

Musashi tidak kembali lagi. Kojiro duduk di akar sebatang pohon dan merenungkan pertempuran yang bakal terjadi itu dengan perasaan mendekati pembira. "Melihat ketenangan Musashi, dia seperti sudah pasrah untuk mati. Namun dia akan memberikan perlawanan hebat. Semakin banyak dia menyembelih mereka, semakin menarik untuk dilihat. Ah, tapi orang-orang Yoshioka itu punya senjata terbang. Kalau Musashi terkena salah satu darinya, pertunjukan akan segera berhenti. Dan itu merusak segala-galanya. Kupikir lebih baik kusampaikan padanya tentang senjata itu."

Waktu itu turun sedikit kabut, dan udara dingin menjelang fajar.

Sambil berdiri, Kojiro memanggil, "Musashi, lama betul engkau di situ?" Kojiro merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan itu menyebabkan ia kuatir berjalan cepat menuruni lereng dan memanggil lagi. Tapi satu-satunya bunyi yang kedengaran olehnya adalah putaran roda air.

"Bajingan tolol!"

Ia kembali secepat-cepatnya ke jalan utama dan menoleh ke segala iurusan, tapi yang tampak olehnya hanya atap-atap kuil dan hutan Shirakawa yang tumbuh di lereng-lereng Higashiyama, dan juga bulan. Ia mengambil kesimpulan bahwa Musashi telah lari. Ia caci dirinya karena tidak memahami ketenangan Musashi, dan berangkatlah ia secepat-cepatnya ke Ichijoji.

Sambil menyeringai Musashi muncul dari balik sebatang pohon dan berhenti di tempat Kojiro berdiri tadi. Ia senang lepas dari Kojiro. Ia tak butuh orang yang senang menonton orang lain mati, yang secara pasif hanya menonton, sementara orang lain mempertaruhkan hidupnya demi sesuatu yang penting bagi mereka. Kojiro bukan sekadar penonton polos yang hanya didorong keinginan untuk belajar. Ia tukang campur tangan yang penuh tipu daya, yang selalu siap mengambil keuntungan dari kedua belah pihak, yang selalu menampilkan diri sebagai orang hebat yang ingin membantu semua orang.

Barangkali Kojiro menyangka bahwa jika la menyampaikan kepada Musashi betapa kuat musuhnya, Musashi akan merangkak meminta dia menjadi pendukungnya. Dapat dimengerti bahwa jika tujuan pertama Musashi adalah menyelamatkan hidupnya sendiri, ia akan menerima dengan baik bantuan orang lain. Padahal sebelum bertemu dengan Kojiro ia sudah cukup memperoleh keterangan bahwa ia mungkin akan harus berhadapan dengan seratus orang.

Bukannya ia sudah lupa akan pelajaran yang diajarkan Takuan kepadanya: orang yang benar-benar berani adalah yang mencintai hidup dan mendambakannya sebagai harta kekayaan yang sekali hilang takkan dapat ditemukan kembali. Ia tahu benar bahwa hidup itu lebih dari sekadar harus tetap hidup. Masalahnya adalah bagaimana menjalin hidupnya dengan makna, bagaimana menjamin bahwa hidupnya akan memancarkan cahaya cemerlang ke masa depan, sekalipun terpaksa mengorbankan hidup sendiri demi cita-cita. Kalau ia berhasil melaksanakan ini, tidak banyak bedanya berapa panjang umur itu-dua puluh atau tujuh puluh tahun. Jangka hidup hanyalah selingan tak berarti dalam arungan waktu yang tanpa akhir.

Menurut jalan pikiran Musashi, ada jalan hidup orang biasa, ada jalan hidup prajurit. Sungguh penting baginya hidup sebagai samurai dan mati sebagai samurai juga. Tak ada jalan kembali dalam menempuh jalan yang telah dipilihnya. Sekalipun ia akan dicacah berkeping-keping, musuh tak dapat menghapuskan kenyataan bahwa ia menyambut tantangan tanpa takut dan dengan tulus.

Ia perhatikan jalan-jalan yang dapat ditempuhnya. Jalan terpendek, terlebar, dan termudah dilalui adalah jalan yang diambil Kojiro. Jalan lain yang tidak begitu langsung adalah jalan yang menyusuri Sungai Takana induk Sungai Kamo, menuju jalan raya Ohara, dan kemudian Ichijoj lewat vila Kaisar Shugakuin. Jalan ketiga menuju ke timur beberapa jauhnya, ke utara sampai kaki Bukit Uryu, dan akhirnya melintasi sebuah jalan setapak masuk desa.

Ketiga jalan itu bertemu di dekat pohon pinus lebar. Perbedaan jarak itu tidak penting, namun dari sudut pandang kekuatan kecil yang menyerang kekuatan yang jauh lebih besar, pendekatan itu penting sekali. Pilihan ini sendiri dapat menentukan kemenangan atau kekalahan.

Musashi tidak berlama-lama menimbang masalah itu. Sesudah beristirahat sebentar, ia berlari ke jurusan yang hampir berlawanan dengan jurusan Ichijoji. Pertama-tama ia melintas ke kaki Bukit Kagura, sampai suatu tempat di belakang makam Kaisar Go-Ichijo. Kemudian melewati rumpun bambu yang rimbun, ia sampai di sebuah sungai yang melintasi desa dari barat laut. Sisi utara Gunung Daimonji tampak membayang di atasma Diam-diam ia mulai mendaki.

Lewat pepohonan di sebelah kanannya ia dapat melihat tembok kebun milik Ginkakuji. Kolam berbentuk buah jujube di kebun yang terletak hampir langsung di bawahnya berkilauan seperti cermin. Ketika ia mendaki ke atas lagi, kolam itu hilang di balik pepohonan, dan Sungai Kamo yang beriak pun tampak. Ia merasa seakan menggenggam seluruh kota di tangannya.

Ia berhenti sesaat untuk memeriksa kedudukannya. Dengan berjalan terus mendatar melintasi lereng empat bukit, ia dapat mencapai suatu tempat yang terletak di atas dan di belakang pohon pinus lebar. Dari situ ia dapat dengan bebas meninjau selintas kedudukan musuh. Seperti halnya Oda Nobunaga pada Pertempuran Okehazama, ia menolak jalan biasa dan mengambil jalan melingkar yang susah.

"Siapa di situ?"

Musashi diam seketika, dan menanti. Langkah-langkah kaki mendekati dengan hati-hati. Melihat orang yang berpakaian seperti samurai yang bekerja pada bangsawan istana, Musashi menyimpulkan orang itu bukan anggota Yoshioka.

Hidung orang itu cemong oleh asap obornya. Kimononya lembap berpercik lumpur. Dan ia berteriak kecil karena terkejut. Musashi menatapnya curiga.

"Apa Anda bukan Miyamoto Musashi?" tanya orang itu sambil membungkuk rendah. Matanya tampak ketakutan.

Mata Musashi jadi terang oleh cahaya obor.

"Apa Anda Miyamoto Musashi?" Karena ketakutan, samurai itu kelihatan sedikit tertatih-tatih jalannya. Sifat ganas yang tampak dalam mata Musashi tidak sering ada pada makhluk manusia. "Siapa engkau?" tanya Musashi singkat.

"Eh, saya... saya...

"Tak usah gagap. Siapa engkau?"

"Saya... saya dari rumah Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro."

"Aku Miyamoto Musashi, tapi apa kerja abdi Yang Dipertuan Karasumaru di tengah malam begini di sini?"

"Jadi, Anda Musashi!" Orang itu mengeluh lega. Sekejap kemudian ia lari sekencang-kencangnya menuruni gunung, sedang obornya meninggalkan iejak cahaya di belakangnya. Musashi membalik dan meneruskan jalannya melintasi sisi gunung.

Ketika samurai itu sampai di kitaran Ginkakuji, ia berteriak, "Kura, di mana kamu?"

"Kami di sini. Di mana kamu?" Suara itu bukan suara Kura, abdi Karasumaru yang lain, tetapi suara Jotaro. "Jo-ta-ro! Kamu, ya?"

"Sini cepat!"

"Tidak bisa. Otsu tidak bisa jalan lagi."

Samurai itu mengutuk pelan, kemudian mengeraskan suaranya, teriaknya "Sini cepat! Aku sudah menemukan Musashi! Mu-sa-shi! Kalau kalian tidak cepat-cepat, bisa-bisa kehilangan dia!"

Jotaro dan Otsu berada sekitar dua ratus meter di bawah. Untuk sampai ke tempat samurai itu, bayangan mereka berdua yang kelihatan menyatu membutuhkan banyak waktu untuk tertatih-tatih mendaki. Samurai itu melambai-lambaikan obor, menyuruh mereka lebih cepat, dan beberapa detik kemudian ia sudah mendengar sendiri napas berat Otsu. Wajah Otsu tampak lebih putih daripada bulan. Perlengkapan perjalanan yang ada di tangan dan kakinya yang kurus tampak kejam dan keterlaluan. Tetapi ketika cahaya jatuh sepenuhnya ke wajahnya, pipinya tampak merah sehat.

"Betul?" tanyanya terengah-engah.

"Ya, aku baru saja melihatnya." Kemudian dengan nada lebih genting, "Kalau engkau cepat-cepat, engkau akan bisa mengejarnya. Tapi kalau engkau membuang-buang waktu..."

"Ke mana jalannya?" tanya Jotaro yang jengkel karena sekaligus menghadapi seorang lelaki tak sabaran dan seorang perempuan sakit.

Keadaan fisik Otsu sama sekali tidak membaik, tetapi sekali Jotaro membocorkan berita tentang pertempuran Musashi yang akan segera berlangsung, tak ada lagi yang dapat menahannya di tempat tidur, padahal dengan tinggal di tempat tidur hidupnya bisa diperpanjang. Tanpa menghiraukan permohonan apa pun, ia mengikat rambut, kemudian mengikat sandal jeraminya dan berjalan terhuyung-huyung keluar dari pintu gerbang Yang Dipertuan Karasumaru. Ketika ternyata tidak mungkin lagi meng­hentikannya, Yang Dipertuan Karasumaru pun melakukan segala yang mungkin untuk membantunya. Ia memimpin pekerjaan itu sendiri. Sementara Otsu tertatih pelan menuju Ginkakuji, ia mengirimkan orang-orangnya untuk menjelajahi berbagai jalan yang menuju Desa Ichijoji. Orang-orang itu berjalan sampai kaki mereka sakit. Mereka sudah hampir putus asa ketika buruan itu akhirnya ditemukan.

Samurai itu menuding dan Otsu mendaki bukit itu dengan mantap. Karena takut jatuh, setiap langkah Jotaro bertanya, "Kakak tak apa-apa, kan? Bisa jalan terus?"

Otsu tak menjawab. Kalau mau terus terang, ia sebetulnya bahkan tidak mendengar kata-kata Jotaro. Tubuhnya yang kurus kering hanya mau bereaksi terhadap kebutuhan untuk bertemu Musashi. Sekalipun mulutnya kering, keringat kering mengucur dari dahinya yang kelabu.

"Tentunya ini jalannya," kata Jotaro, dengan maksud membesarkan hatinya. "Jalan ini menuju Gunung Hiei, dan sekarang jalan itu rata. Tak ada lagi mendaki. Apa Kakak mau istirahat sebentar?"

Otsu menggeleng diam, sambil terus memegang teguh tongkat yang mereka pikul bersama. Ia berjuang mengatur napasnya, seakan-akan seluruh kesulitan hidup ini dijejalkan ke dalam satu perjalanan ini saja.

Ketika mereka akhirnya berhasil menempuh jarak hampir satu mil, Jotaro berteriak, "Musashi! Sensei!" Dann terus berteriak-teriak.

Suaranya yang kuat membangkitkan keberanian Otsu, tapi tak lama kemudian kekuatan Otsu pun habis. "Jo-Jotaro," bisiknya lemah. Dilepaskannya pikulan, dan ia runtuh ke rumput di tepi jalan. Wajahnya ke tanah, ia menangkupkan jari-jarinya yang halus ke mulutnya. Bahunya bergerak mengejang-ngejang.

"Otsu! Oh, darah! Kakak muntah darah! Otsu!" Sambil hampir menangis, Jotaro merangkulkan tangannya ke pinggang Otsu, menegakkannya. Otsu menggeleng-gelengkan kepala pelan. Karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, Jotaro menepuk-nepuk punggung Otsu dengan lembut. "Kakak mau apa?" tanyanya.

Otsu tak dapat lagi menjawab.

"Oh, aku tahu! Air! Air, ya?"

Otsu mengangguk lemah.

"Tunggu di sini. Akan kuambilkan."

Jotaro berdiri memandang ke sekitar, mendengarkan sejenak, lalu pergi ke ngarai tak jauh dari situ. Dari tempat itu terdengar air mengalir. Dengan sedikit kesulitan ia dapat menemukan sebuah sumber yang membual dari dalam bebatuan. Tapi ketika sudah menciduk air dengan kedua tangannya, ia mulai ragu dan matanya menatap kepiting-kepiting kecil di dasar kolam murni itu. Bulan tidak bersinar langsung ke air, tetapi pantulan langit lebih indah daripada awan putih perak itu sendiri. Ia memutuskan untuk menghirup dahulu air itu sebelum melaksanakan tugas. Ia bergerak beberapa kaki ke sisi, lalu merangkak dengan leher menjulur seperti bebek.

Tiba-tiba ia tergagap. "Hantu?" dan tubuhnya meremang seperti buah berangan berduri. Di dalam kolam kecil itu tercermin pola bergaris-garis, sedangkan di sisi lain setengah lusin pohon. Tepat di samping pohon itu tampak gambaran Musashi.

Jotaro mengira ia sedang dipermainkan oleh imajinasinya dan menduga bayangan itu akan segera menghilang. Tapi ternyata tidak, karena itu pelanpelan sekali ia mengangkat matanya.

"Kakak di sini!" teriaknya. "Kakak betul-betul di sini!" Pantulan langit yang damai itu berubah menjadi lumpur ketika Ia berkecipak ke pinggir yang lain, hingga kimononya basah sampai bahu.

"Kakak di sini!" Ia memeluk kaki Musashi.

"Tenanglah!" kata Musashi pelan. "Berbahaya di sini. Datanglah lagi nanti."

"Tidak! Saya sudah menemukan Kakak. Saya akan tinggal dengan Kakak."

"Tenanglah. Tadi kudengar suaramu. Aku menunggu di sini. Sekarang bawakan Otsu air."

"Airnya keruh sekarang."

"Ada sungai kecil lain di sana. Lihat itu? Nah, bawa ini." Ia berikan kepada Jotaro sebatang bumbung.

Jotaro mengangkat muka, katanya, "Tidak! Kakak saja yang bawa untuk Otsu."

Mereka berdiri seperti itu beberapa detik lamanya, kemudian Musashi mengangguk dan pergi ke sungai lain. Sesudah mengisi bumbung, ia membawanya ke samping Otsu. Dengan lembut ia peluk Otsu dan ia minumkan air bumbung ke mulutnya.

Jotaro berdiri di samping mereka. "Lihat, Otsu! Ini Musashi. Kakak mengerti? Musashi!"

Ketika Otsu sudah menghirup air dingin itu, napasnya jadi ringan sedikit, walaupun ia tetap lemah dalam pelukan Musashi. Matanya kelihatan menatap sesuatu di kejauhan.

"Otsu, lihat tidak? Ini bukan aku, tapi Musashi! Ini tangan Musashi yang memeluk Kakak, bukan tanganku."

Air mata panas mengambang pada mata Otsu yang kosong, hingga mata itu tampak seperti kaca. Dua aliran air mata berkilau menuruni pipi. Otsu mengangguk.

Jotaro tak tahan lagi karena gembira. "Kakak bahagia sekarang, ya ini yang Kakak maksud, kan?" Kemudian kepada Musashi, "Dia terus saja mengatakan biar bagaimana dia mesti ketemu Kakak. Dia tidak mau mendengarkan siapa pun! Coba sekarang katakan padanya, kalau dia terus berbuat begitu, dia akan mati. Dia tak mau memperhatikan saya. Barangkali dia mau menurut perintah Kakak."

"Semua ini salahku," kata Musashi. "Aku akan minta maaf, dan akan minta padanya supaya lebih baik lagi menjaga dirinya. Jotaro..."

"Ya?"

"Sekarang kuminta kamu meninggalkan kami, sebentar saja."

"Kenapa? Kenapa saya tak boleh tinggal di sini?"

"Jangan seperti itu, Jotaro," kata Otsu memohon. "Hanya beberapa menit saja. Ayolah."

"Baiklah." Tak dapat Jotaro menolak Otsu, walaupun ia tak mengerti maksudnya. "Aku naik bukit. Panggil aku, kalau Kakak sudah selesai."

Sifat malu-malu Otsu yang alamiah bertambah besar oleh penyakitnya. Ia tak dapat memutuskan apa yang hendak dikatakannya.

Sementara Musashi membuang muka karena malu, Otsu membelakanginya. Musashi, menatap tanah. Musashi menatap langit.

Secara naluriah Musashi takut tak ada kata-kata yang dapat dipakainya mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Segala yang terjadi semenjak Otsu membebaskan dirinya dari pohon kriptomeria pada malam hari itu melintas dalam pikirannya, dan ia mengakui kemurnian cinta yang menyebabkan Otsu mencarinya lima tahun penuh.

Siapa yang lebih kuat dan siapa yang lebih menderita? Otsu-kah, dengan hidupnya yang sukar dan rumit, dan yang menyala oleh cinta yang tak dapat disembunyikannya? Ataukah ia sendiri, yang menyembunyikan perasaannya di balik wajah yang membatu dan yang mengubur bara nafsunya di bawah lapisan abu yang dingin? Musashi tahu sebelumnya, dan sekarang pun ia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya lebih sengsara. Namun dalam keteguhan Otsu terdapat kekuatan dan keberanian. Beban yang harus ditanggungnya itu masih terlampau berat untuk ditanggung sendiri oleh umumnya laki-laki.

"Waktu tinggal sedikit, dan aku harus pergi," pikir Musashi.

Bulan rendah di langit, cahayanya lebih putih sekarang. Fajar tak lagi jauh. Segera juga bulan dan dirinya akan menghilang ke balik gunung maut. Dalam waktu singkat yang masih tinggal itu, ia harus menyampaikan kebenaran kepada Otsu. Ia berutang budi benar atas kesetiaan dan ketulusan gadis itu. Tapi kata-kata itu tak dapat keluar. Semakin keras ia mencoba bicara, semakin kaku lidahnya. la menatap langit tanpa daya, seakan ilham bisa turun dari langit itu.

Otsu menatap tanah dan menangis. Di dalam hatinya selama itu bersemayam cinta yang menyala, cinta yang demikian hebat hingga dapat mengusir segala yang lain dari dalam hatinya. Prinsip, agama, minat terhadap kesejahteraan diri, dan harga diri... semua memucat berdampingan dengan hasrat yang menelan segala-galanya ini. Sampai batas tertentu, ia percaya cintanya mesti dapat mengalahkan perlawanan Musashi. Bagaimanapun, dengan air mata ia harus menemukan jalan agar mereka berdua dapat hidup bersama, terpisah dari dunia orang biasa. Tapi sesudah berada bersama Musashi sekarang, ternyata ia tanpa daya. Ia tak dapat mengerahkan diri untuk melukiskan betapa sakit berada jauh dari Musashi, betapa sengsara mengarungi hidup sendiri, dan betapa menderita ia mendapati Musashi tak menyimpan perasaan sama sekali. Oh, alangkah baiknya jika ia memiliki ibu, tempat ia mencurahkan segala kesedihan....

Kediaman panjang itu terganggu oleh kuak sekawanan angsa. Terbiasa dengan datangnya fajar, angsa-angsa itu naik ke atas pepohonan dan terbang ke atas puncak gunung.

"Angsa-angsa itu terbang ke utara," kata Musashi, walaupun sadar bahwa kata-kata itu tidak relevan sama sekali.

"Musashi..."

Mata mereka bertemu, sama-sama terkenang akan tahun-tahun mereka di desa, ketika angsa-angsa melintas tinggi di atas mereka tiap musim semi dan musim gugur.

Waktu itu segalanya begitu sederhana. Ia bersahabat dengan Matahachi. Musashi tidak disukainya karena kasar, tapi tidak pernah ia takut membalas kata-katanya, kalau Musashi menghinanya. Kini masing-masing berpikir rentang gunung tempat tegak Shippoji dan kedua tepi Sungai Yoshino di bawahnya. Dan keduanya sadar bahwa mereka sedang menyia-nyiakan saat-saat berharga-saat-saat yang takkan pernah kembali lagi.

"Jotaro bilang kau sakit. Apa penyakitmu berat?"

"Tidak begitu."

"Apa kau merasa lebih baik sekarang?"

"Ya, tapi tak seberapa. Apa menurut dugaanmu engkau akan terbunuh hari ini?"

"Kukira begitu."

"Kalau kau mati, aku tak dapat hidup terus. Barangkali itu sebabnya begitu mudah aku melupakan penyakitku sekarang."

Ada cahaya tertentu yang mulai memancar dalam mata Otsu, dan itu membuat Musashi sadar bahwa tekadnya sendiri lemah dibandingkan dengan tekad Otsu. Bahkan untuk mencapai satu tahap penguasaan diri saja ia harus merenungkan soal hidup dan mati selama bertahun-tahun, harus mendisiplinkan diri terhadap setiap godaan, dan memaksa dirinya menjalani kerasnya latihan samurai. Tanpa latihan maupun pendisiplinan diri secara sadar, perempuan ini tanpa sangsi sedikit pun dapat mengatakan bahwa ia siap mati jika Musashi mati. Wajah Otsu mengungkapkan ketenangan sempurna, matanya menyatakan kepada Musashi bahwa ia tidak berbohong ataupun berbicara menuruti perasaan belaka. Ia kelihatan hampir-hampir bahagia menghadapi kemungkinan mengikuti Musashi menjemput maut. Musashi pun heran bercampur malu, betapa mungkin perempuan bisa begitu kuatnya.

"Jangan bodoh begitu, Otsu!" ucap Musashi tiba-tiba. "Tak ada alasan kau mesti mati." Kekuatan suaranya dan kedalaman perasaannya bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Lain sekali soalnya kalau aku mati karena berkelahi melawan orang-orang Yoshioka. Tidak saja karena sudah seharusnya orang yang hidup dengan pedang mesti mati karena pedang, tapi aku juga punya kewajiban mengingatkan para pengecut yang menempuh Jalan Samurai. Kesediaanmu mengikutiku menyambut maut itu sangat mengharukan, tapi apa manfaatnya? Tak lebih dari matinya seekor serangga yang menyedihkan."

Melihat Otsu mencucurkan air mata lagi, Musashi menyesali kata-katanya yang kasar.

"Sekarang aku mengerti, kenapa bertahun-tahun lamanya aku berbohong padamu, juga pada diri sendiri. Aku tidak bermaksud menipumu ketika kita lari dari desa, atau ketika aku melihatmu di Jembatan Hanada, tapi aku tolol menipumu-dengan berpura-pura dingin dan tak acuh. Padahal bukan itu perasaanku.

"Sebentar lagi aku mati. Yang akan kukatakan ini, itulah yang benar. Aku cinta padamu, Otsu. Akan kubuang segalanya jauh-jauh dan kuhabiskan umurku denganmu, sekiranya saja..."

Dan sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan dengan nada lebih bertenaga. "Kau mesti percaya akan setiap kata yang akan kukatakan, karena aku takkan punya kesempatan lagi untuk menyampaikannya. Sekarang ini kau bicara tanpa harga diri ataupun pretensi. Ada hari-hari di kala aku tak dapat memusatkan perhatian karena memikirkanmu, dan malam-malam kala aku tak dapat tidur karena memimpikanmu. Mimpi-mimpi yang panas penuh gairah, Otsu, mimpi-mimpi yang hampir membuatku gila. Sering aku mendekap kasurku dan membayangkannya sebagai dirimu.

"Tapi pada saat merasa demikian pun, kalau aku mengeluarkan pedangku dan memandangnya, kegilaan itu pun menguap dan darahku jadi mendingin."

Otsu menoleh kepadanya, penuh air mata, tapi berseri-seri seperti semarak pagi, dan ia mulai bicara. Tetapi melihat kegairahan dalam mata Musashi, kata-kata tersangkut di tenggorokannya, dan ia memandang tanah kembali.

"Pedang adalah pelarianku. Setiap kali nafsu mengancam akan menguasaiku, kupaksa diriku kembali ke dunia pedang. Inilah nasibku, Otsu. Aku terbelah antara cinta dan disiplin diri. Rasanya aku meniti dua jalan sekaligus. Tetapi manakala kedua jalan itu menyimpang, aku selalu berhasil menempatkan diriku pada jalan yang benar.

"Aku kenal diriku lebih baik daripada siapa pun. Aku bukan jenius, dan bukan juga orang besar."

Ia terdiam kembali. Walaupun ingin mengungkapkan perasaannya dengan tulus, ia merasa kata-katanya menyembunyikan kebenaran. Hatinya menyuruhnya lebih terus terang lagi.

"Ya, begitulah diriku ini. Apa lagi yang bisa kukatakan? Kalau aku memikirkan pedangku, engkau tersingkir ke sudut gelap pikiranku—bahkan menghilang sama sekali, tanpa meninggalkan jejak. Pada waktu-waktu seperti itu, aku merasa paling bahagia dan paling puas dengan hidupku. Kau mengerti, Otsu? Selama ini kau menderita, membahayakan tubuh dan jiwamu demi orang yang lebih cinta kepada pedangnya daripada kepadamu. Aku sedia mati demi membuktikan kebenaran pedangku, tapi aku tak mau mati demi kau. Sesungguhnya aku ingin berlutut dan minta maaf padamu, tapi tak dapat."

Musashi merasa jemari Otsu yang peka itu lebih ketat memegang pergelangan tangannya. Otsu tak lagi menangis, "Aku tahu semua itu," katanya penuh tekanan. "Kalau aku tidak mengetahuinya, aku tak dapat mencintaimu seperti ini."

"Tapi apa kau tidak melihat bahwa mati demi diriku itu bodoh? Saat ini aku milikmu, badan dan jiwaku. Tapi sekali aku sudah meninggalkanmu... tak perlu kau mati demi orang macam aku. Ada jalan yang baik, Otsu, jalan yang wajar untuk hidup seorang perempuan. Engkau harus mencarinya, dan membangun hidup bahagia untuk dirimu sendiri. Inilah kata-kata perpisahanku. Sudah waktunya aku pergi."

Pelan-pelan Musashi menyingkirkan tangan Otsu dari pergelangannya, dan berdiri. Otsu menangkap lengan kimononya, dan serunya, "Musashi, sebentar saja lagi!"

Begitu banyak yang ingin ia ceritakan kepada Musashi. Ia tak peduli apakah Musashi akan melupakannya ketika tidak bersamanya. Ia tak peduli disebut tidak penting. Ia tidak berkhayal tentang watak Musashi ketika ia jatuh cinta kepadanya. Kembali ia menangkap lengan kimono Musashi dan matanya mencari mata Musashi, mencoba memperpanjang saat terakhir itu dan mencegahnya berakhir.

Permohonan Otsu yang diam itu hampir menjatuhkan Musashi. Di dalam kelemahan yang menyebabkan Otsu tak bisa bicara itu pun terdapat keindahan. Terpengaruh oleh kelemahan dan ketakutannya sendiri, Musashi merasa dirinya seperti sebatang pohon berakar rapuh yang terancam angin menggila. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ketaatannya yang suci kepada Jalan Pedang itu akan runtuh seperti tanah longsor oleh beratnya air mata Otsu.

Untuk memecahkan ketenangan, ia bertanya, "Kau mengerti?"

"Ya," jawab Otsu lemah. "Aku mengerti betul, tapi kalau kau mati, aku akan mati juga. Matiku akan punya arti buat diriku seperti matimu berarti buatmu. Kalau kau dapat menghadapi akhir hidupmu dengan tenang, aku pun dapat. Aku takkan terinjak-injak seperti serangga atau tenggelam oleh kesedihan. Akulah yang menentukan jalanku sendiri. Tak ada orang lain yang dapat melakukannya, biarpun orang lain itu engkau."

Dengan kekuatan yang besar dan ketenangan yang sempurna, ia melanjutkan. "Kalau di dalam hatimu kau mau menganggapku sebagai calon istrimu, cukuplah. Itulah kegembiraan dan berkat yang cuma dimiliki olehku, di antara begini banyak perempuan di dunia ini. Kaubilang tak ingin membuatku sedih. Aku dapat memberikan jaminan padamu bahwa aku takkan mati karena sedih. Ada orang-orang yang rupanya menganggapku tidak beruntung, tapi aku sendiri sama sekali tidak merasa demikian. Dengan senang hati aku menyongsong hari kematianku. Hari itu akan seperti pagi yang indah ketika burung-burung menyanyi, dan aku akan pergi dengan bahagia, sebahagia kalau aku sedang menuju pesta perkawinanku."

Hampir kehabisan napas, ia melipat tangan di dada dan memandang puas ke atas, seakan-akan terperangkap oleh mimpi yang menggairahkan.

Bulan seakan tenggelam. Walaupun matahari belum lagi merekah, kabut mulai naik lewat pepohonan.

Ketenangan itu diporakporandakan oleh jerit mengerikan yang membelah udara seperti pekik burung dalam dongeng. Jerit itu datang dari karang terjal yang tadi didaki Jotaro. Otsu terkejut dan lepas dari mimpi-mimpinya. Ia layangkan pandangan ke puncak karang.

Saat itulah yang dipilih Musashi untuk pergi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia menarik diri dari samping Otsu dan pergi memenuhi janji dengan maut.

Disertai teriakan tercekik, Otsu berlari beberapa langkah mengejarnya.

Musashi berlari cepat meninggalkannya, kemudian menoleh ke belakang, katanya, "Aku mengerti perasaanmu, Otsu, tapi kuminta jangan engkau mati seperti pengecut. Jangan karena kesedihan, kaubiarkan dirimu tenggelam dalam lembah maut dan tewas sebagai orang lemah. Sembuhlah engkau dulu, kemudian pikirkan itu. Aku sendiri bukannya membuang hidup demi cita-cita tak berguna. Kupilih melakukan apa yang kulakukan sekarang ini karena dengan mati aku dapat memperoleh hidup kekal. Aku berpegang pada satu hal ini: tubuhku boleh menjadi debu, tapi aku akan tetap hidup."

Sambil mengatur napas, ia menambahkan peringatan. "Kau mendengarkan tidak? Kalau kau mencoba mengikuti mendapatkan maut, kau akan menemukan dirimu mati sendirian. Kau bisa mencariku di dunia sana, tapi nanti akan kaulihat bahwa aku tak ada di sana. Aku mau hidup terus sampai seratus atau seribu tahun, di hati bangsaku, di dalam semangat ilmu permainan pedang Jepang."

Sebelum Otsu dapat berbicara lagi, kata-kata Musashi sudah tidak dapat didengar. Otsu merasa jiwanya sudah meninggalkan dirinya, tapi hal itu tak dirasakannya sebagai perpisahan. Ia merasa seolah-olah mereka berdua sedang ditelan ombak besar antara hidup dan mati.

Campuran lumpur dan kerikil terjun ke bawah dan berhenti di kaki karang, segera kemudian disusul oleh Jotaro. Jotaro mengenakan topeng ajaib yang dulu diterimanya dari janda di Nara itu.

Sambil mengacungkan kedua tangannya, katanya, "Belum pernah aku begini terkejut selama hidup!"

"Apa yang terjadi?" bisik Otsu, walaupun belum sepenuhnya sembuh dari guncangan akibat melihat topeng itu.

"Kakak tadi tidak mendengar? Aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba sekali terdengar jerit mengerikan tadi."

"Di mana kamu tadi? Kamu tadi pakai topeng itu, ya?"

"Aku duduk di atas batu karang tadi. DI atas sana ada jalan selebar jalan ini. Aku mendaki sedikit, dan kutemukan batu besar bagus, karena itu aku duduk di sana, memandang bulan."

"Topeng itu... apa kamu pakai topeng itu?"

"Ya. Kudengar rubah-rubah mengaung, dan barangkali juga luak atau yang lain lagi gemeresik di sekitarku. Kupikir topeng itu bisa bikin takut mereka. Tapi kemudian kudengar jeritan yang bikin beku darah itu, yang sepertinya datang dari hantu neraka!"

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP