angkrik di Rumput
JOTARO berjalan
dengan langkah santai, tanpa banyak memperhatikan jalan. Tiba-tiba ia berhenti
dan menoleh sekeliling, ingin tahu apakah ia tidak tersesat. "Rasanya aku
belum pernah jalan di sini," pikirnya bingung.
Rumah-rumah samurai
melingkari sisa-sisa sebuah benteng kuno. Satu bagian kompleks itu telah
dibangun kembali, sebagai tempat bersemayam resmi Okubo Nagayasu yang belum
lama diangkat, tapi selebihnya daerah yang meninggi seperti bukit alamiah itu
masih tertutup rumput liar dan pepohonan. Kubu-kubu batu di situ sudah runtuh,
dijarah oleh tentara penyerbu bertahun-tahun sebelumnya. Kubu di situ tampak
primitif dibandingkan dengan kompleks benteng empat puluh sampai lima puluh
tahun terakhir. Tak ada parit benteng, tak ada jembatan, tak ada barang yang
dapat dilukiskan sebagai dinding benteng. Benteng itu barangkali dulunya milik
salah seorang bangsawan setempat, seorang daimyo yang di masa sebelum perang
saudara besar menggabungkan milik pertaniannya dengan kepangeranan feodal yang
lebih besar.
Pada satu sisi jalan
terdapat sawah-sawah dan rawa-rawa, pada sisi lain dinding-dinding benteng, dan
di sebelah luarnya batu karang. Di atas batu karang itu tentunya dulu berdiri
sebuah benteng.
Jotaro berusaha
mengetahui posisinya, matanya mengembara menelusuri batu karang. Kemudian ia
lihat ada sesuatu yang bergerak, berhenti, dan kemudian bergerak lagi. Semula
sesuatu itu tampak seperti binatang, tapi segera kemudian bayangan yang
bergerak mencuri-curi itu menjadi sosok seorang manusia. Jotaro menggigil, tapi
ia berdiri terus menatapnya.
Orang itu menurunkan
tali dengan sangkutan yang diletakkan di puncak karang. Ia meluncur turun
dengan bergantung pada tali itu, dan sesudah mendapat tempat berpijak, ia
guncangkan sangkutan itu sampai lepas, dan ia ulangi lagi proses itu.
Sesampainya di bawah, ia menghilang dalam belukar.
Rasa ingin tahu
Jotaro bangkit. Beberapa menit kemudian, ia lihat orang itu berjalan menyusuri
pematang yang memisahkan petak-petak padi, dan agaknya langsung menuju dirinya.
Hampir saja ia panik, tapi kemudian ia merasa tenang melihat bungkusan di
punggung orang itu. "Sungguh membuang-buang waktu! Tak lebih dari seorang
petani yang mencuri kayu api." Pikirnya, orang itu tentunya gila, karena
mau membahayakan hidup dengan mendaki batu karang, sekadar untuk mengambil kayu
bakar. Ia juga kecewa. Hal yang semula misterius, kini jadi membosankan sekali.
Tapi kemudian ia mendapat guncangan kedua. Ketika orang itu berjalan melewati pohon
yang dipakainya bersembunyi, terpaksa ia tergagap. Ia yakin bahwa sosok hitam
itu Daizo.
"Ah, tak
mungkin," katanya pada diri sendiri.
Orang itu menutup
wajahnya dengan kain hitam dan mengenakan celana tanggung petani, juga pembalut
kaki dan sandal jerami ringan.
Orang misterius itu
membelok ke jalan setapak yang melingkari bukit. Orang yang demikian tegap
bahunya dan ringan langkahnya tak mungkin berumur lima puluhan, sebagaimana
halnya Daizo. Sesudah meyakinkan dirinya bahwa ia keliru, Jotaro mengikuti dari
belakang. Ia mesti kembali ke penginapan, dan orang itu tanpa disadarinya
tentunya bisa membantunya menemukan jalan.
Ketika orang itu
sampai di sebuah tanda jarak jalan, ia menurunkan bungkusannya, yang sepertinya
sangat berat. Ketika ia membungkuk untuk membaca tulisan pada batu itu, ada hal
lain pada orang itu yang memukau Jotaro sebagai hal yang sudah dikenalnya.
Sementara orang itu
mendaki jalan setapak naik bukit, Jotaro memeriksa tanda jalan itu. Di situ
terukir kata-kata Pohon Pinus di Bukit Kuburan Kepala-di Atas. Inilah tempat
penduduk setempat menguburkan kepala kriminal dan prajurit yang kalah.
Cabang-cabang pohon
pinus yang besar sekali itu tampak jelas pada latar belakang langit malam.
Begitu Jotaro sampai di puncak tanjakan, orang itu sudah duduk di dekat akar
pohon, dan sedang merokok pipa. Daizo! Tak perlu dipersoalkan lagi sekarang.
Seorang petani tak pernah membawa tembakau. Ada memang tembakau yang ditanam di
dalam negeri dan berhasil, tapi jumlahnya demikian terbatas, hingga harganya
masih sangat mahal. Di daerah Kansai yang relatif makmur pun tembakau masih
dianggap sebagai kemewahan. Dan di Sendai, bila Yang Dipertuan Date merokok,
juru tulis merasa perlu membuat daftar dalam buku hariannya, "Pagi tiga
rokok, sore empat rokok, sebelum tidur satu rokok."
Di luar persoalan
keuangan, kebanyakan orang yang memiliki kesempatan mencoba tembakau, merasa
bahwa tembakau itu membuat mereka pusing, dan bahkan hampir mabuk. Sekalipun
tembakau mendapat penghargaan karena rasanya, pada umumnya ia dianggap
narkotika.
Jotaro tahu bahwa
jumlah perokok tidak banyak. Ia tahu juga bahwa Daizo adalah salah seorang
perokok itu, karena ia sering melihat Daizo mengeluarkan pipa keramik yang
bagus buatannya. Tapi hal itu tak pernah kelihatan janggal olehnya, karena
Daizo memang orang kaya dan seleranya mahal.
"Apa yang
dilakukannya?" pikirnya tak sabar. Karena sudah terbiasa dengan bahaya
mengancam, sedikit-sedikit ia merangkak mendekati.
Selesai mengisap,
saudagar itu berdiri, melepas kain kepalanya yang hitam, dan menyelipkannya ke
pinggang. Kemudian pelan-pelan ia berjalan mengelilingi pohon pinus. Hal
berikut yang diketahui Jotaro, Daizo memegang sekop. Dan mana datangnya sekop
itu? Sambil bertelekan pada sekop, Daizo memandang sekelilingnya, ke arah
pemandangan malam, agaknya sedang mengingat-ingat lokasi tersebut.
Daizo kelihatan puas,
kemudian menggulingkan sebuah batu besar ke sisi utara pohon dan mulai menggali
dengan giat, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Jotaro melihat lubang itu
semakin dalam, sampai cukup untuk orang berdiri. Akhirnya Daizo berhenti dan
menghapus keringat di wajahnya dengan saputangan. Jotaro tetap diam tak
bergerak. Ia betul-betul tercengang.
"Cukuplah
ini," bisik saudagar itu pelan, selesai menginjak-injak tanah lunak di
dasar lubang. Sesaat Jotaro ingin sekali memanggil dan mengingatkan Daizo untuk
tidak mengubur dirinya sendiri, tapi tidak jadi.
Daizo meloncat ke
atas, lalu menarik bungkusan berat itu dari dekat pohon ke tepi lubang, dan
melepaskan tali rami di bagian atasnya. Semula Jotaro mengira karung itu
terbuat dari kain, tapi sekarang ia dapat melihat bahwa karung itu jubah kulit
yang berat, seperti yang biasa dipakai para jenderal menutup ketopong. Di
dalamnya terdapat karung lain dari kain terpal atau sebangsanya. Ketika karung
itu dibuka, tampaklah bagian atas tumpukan emas yang sukar dipercaya-batangan
setengah silinder yang dibuat dengan menuangkan cor-coran emas ke dalam belahan
bambu.
Dan masih ada lagi
yang menyusul. Daizo melonggarkan obi-nya dan melepaskan bebannya, berupa
beberapa lusin kepingan emas besar yang baru selesai dicetak, yang semula
dimasukkan dalam kantong di bagian perut, bagian belakang kimono, dan
bagian-bagian lain pakaiannya. Kepingan-kepingan itu diletakkannya rapt di atas
batangan, kemudian ia ikat kedua wadah itu baik-baik dan ia masukkan bungkusan
itu ke dalam lubang, seperti mencemplungkan bangkai anjing. Kemudian ia
timbunkan tanah kembali, ia injak-injak, dan ia kembalikan batu itu. Akhirnya
ia sebarkan rumput kering dan ranting-ranting kayu di sekitar batu.
Dan mulailah ia
mengubah diri kembali menjadi Daizo dari Narai yang terkenal, pedagang ramuan
yang makmur. Pakaian petani yang dililitkan ke sekop disembunyikan dalam semak,
yang sedikit kemungkinannya ditemukan orang lain. Ia mengenakan jubah
perjalanan dan menggantungkan kantong uangnya di leher, seperti pendeta
keliling. Ia masukkan kakinya ke dalam zori, dan gumamnya puas, "Lumayan
juga kerja malam ini."
Ketika Daizo sudah
berada di luar jarak pendengaran, Jotaro muncul dari tempat persembunyiannya
dan pergi ke batu itu. Walaupun diperhatikannya tempat itu baik-baik, ia tak
dapat menemukan jejak segala yang baru saja ia saksikan. Ia menatap tanah itu,
seakan-akan menatap telapak tangan tukang sulap yang kosong.
"Lebih baik aku
pergi sekarang," pikirnya tiba-tiba. "Kalau aku tak ada di tempat
ketika dia kembali di penginapan, dia akan curiga." Karena lampu-lampu
kota sekarang tampak di bawahnya, tak sulit ia menempuh jalannya. Sambil
berlari kencang, ia berusaha terus berada di jalan samping yang jauh dari jalan
yang ditempuh Daizo.
Dengan wajah
betul-betul polos, ia daki tangga penginapan dan masuk ke kamarnya. Ia
beruntung. Sukeichi sedang telungkup pada peti perjalanan yang dipernis itu,
sendirian, dan tidur lelap. Air liur meleleh ke dagunya.
"Hei, Sukeichi,
bisa masuk angin kau di sini." Dengan sengaja Jotaro mengguncangnya supaya
bangun.
"Oh, kau,
ya?" kata Sukeichi lambat-lambat, sambil menggosok mata. "Apa kerjamu
sampai malam begini, tanpa bilang Bapak?"
"Kau gila, ya?
Aku sudah berjam-jam kembali. Kalau kau tidak tidur, pasti kau tahu."
"Jangan bohong
kau. Aku tahu kau pergi dengan perempuan dari Sumiya itu. Kalau sekarang saja
kau sudah mengejar-ngejar pelacur, benci aku memikirkan bagaimana perbuatanmu
nanti kalau besar."
Justru waktu itu
Daizo membuka shoji. "Aku kembali," hanya itu yang dikatakannya.
Pagi-pagi sekali,
orang harus sudah berangkat agar dapat sampai di Edo sebelum malam tiba. Jinnai
sudah membawa rombongannya turun ke jalan, jauh sebelum matahari terbit,
termasuk Akemi. Tapi Daizo, Sukeichi, dan Jotaro tenang saja sarapan, dan belum
juga berangkat sampai matahari cukup tinggi di langit.
Seperti biasa, Daizo
berjalan di depan, Jotaro mengikuti di belakang bersama Sukeichi, dan inilah
yang tidak biasa.
Akhirnya Daizo
berhenti, dan tanyanya, "Apa yang terjadi denganmu pagi ini?"
"Bagaimana,
Pak?" Jotaro berusaha agar kelihatan tak acuh.
"Ada yang tak
beres?"
"Tidak, sama
sekali tidak. Kenapa Bapak bertanya begitu?"
"Kau kelihatan
murung. Tidak seperti biasanya."
"Tak ada
apa-apa, Pak. Saya cuma berpikir. Kalau saya terus tinggal dengan Bapak, tak
tahulah saya, apa saya akan pernah ketemu guru saya. Ingin saya mencarinya
sendiri, kalau Bapak tidak keberatan."
Tanpa ragu jawab
Daizo, "Keberatan!"
Jotaro sebetulnya
sudah mendekat dan mulai memegang lengan orang itu, tapi sekarang ia menarik
kembali tangannya, dan tanyanya bingung. "Kenapa?"
"Mari kita
istirahat sebentar," kata Daizo, duduk di dataran berumput yang membuat
Provinsi Musashi sangat terkenal itu. Begitu duduk, ia memberikan isyarat pada
Sukeichi untuk jalan terus.
"Tapi saya mesti
mencari guru saya... selekasnya," kilah Jotaro.
"Aku sudah
bilang, kau tak boleh pergi sendiri." Dengan wajah garang, Daizo
memasukkan pipa keramik ke mulutnya dan mengisapnya. "Sejak hari ini, kau
jadi anakku."
Suaranya kedengaran
sungguh-sungguh. Jotaro menelan ludah, tapi Daizo tertawa. Jotaro menyimpulkan
semua itu hanya lelucon, katanya, "Tak bisa saya terima. Saya tak mau jadi
anak Bapak."
Apa?"
"Bapak seorang
saudagar, sedangkan saya ingin jadi samurai."
"Aku yakin kau
melihat sendiri, bahwa Daizo dari Narai bukan orang kota biasa, yang tanpa
kehormatan atau latar belakang. Jadilah anak angkatku, akan kubuat kau menjadi
samurai sejati."
Dengan perasaan
cemas, Jotaro sadar bahwa Daizo sungguh-sungguh dengan ucapannya. "Apa
boleh saya bertanya, kenapa Bapak tiba-tiba saja mengambil keputusan itu?"
tanya anak itu.
Dalam sekejap mata,
Daizo menangkapnya dan mencengkeramnya ke sisinya. Dilekatkannya mulutnya ke
telinga anak itu, dan bisiknya, "Kau melihat aku, kan, bajingan
kecil?"
"Saya lihat
Bapak?"
"Ya, kau
mengawasi aku, kan?"
"Saya tak
mengerti apa yang Bapak bicarakan ini. Mengawasi apa?"
"Yang kulakukan
semalam."
Jotaro berusaha
sekuat-kuatnya untuk tetap tenang.
"Kenapa
kaulakukan itu?"
Pertahanan anak itu
hampir runtuh.
"Kenapa kau
mengintip-intip urusan pribadiku?"
"Maaf."
ujar Jotaro. "Saya betul-betul minta maaf. Takkan saya ceritakan pada
siapa-siapa."
"Pelankan
suaramu! Aku takkan menghukummu. Sebaliknya, kau akan menjadi anak angkatku.
Kalau kau menolak, berarti kau tidak memberi pilihan padaku, kecuali
membunuhmu. Nah, jangan paksa aku berbuat begitu. Kupikir kamu anak baik, anak
yang sangat menyenangkan."
Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Jotaro mulai merasakan takut yang sebenar-benarnya.
"Maaf," ulangnya sungguh-sungguh. "Jangan bunuh saya. Saya tak
mau mati!" Seperti burung kutilang yang tertangkap, ia menggeliat-geliat
takut dalam tangan Daizo. Ia takut kalau ia benar-benar memberontak, tangan
maut akan langsung menerkamnya.
Jotaro merasakan
cengkeraman Daizo seperti catok, padahal Daizo sama sekali tidak erat
memegangnya. Bahkan ketika ia menarik Jotaro ke pangkuannya, sentuhan tangannya
hampir-hampir mesra. "Nah, kau mau jadi anakku, kan?" Janggutnya yang
kaku menggores pipi Jotaro.
Meskipun Jotaro tidak
akan dapat menyebutkannya, tapi ia merasa bahwa yang membelenggunya adalah bau
orang dewasa, bau lelaki. Di pangkuan Daizo ia seperti bayi saja, tidak dapat
melawan, bahkan tak dapat berbicara.
"Kau sendiri
yang mesti memutuskan. Kau mau kupungut anak atau mau mati? Jawab sekarang
juga!"
Sambil melolong, anak
itu menangis keras. Ia gosok wajahnya dengan jari-jarinya yang kotor, sampai
genangan-genangan kecil keruh bermunculan di kedua sisi hidungnya.
"Kenapa
menangis? Kau beruntung mendapat kesempatan ini. Kujamin kau akan jadi samurai
besar, setelah aku selesai mendidikmu."
"Tapi...
"Apa itu?"
"Bapak adalah...
Bapak adalah..."
"Ya?"
"Saya tak bisa
mengatakannya."
"Keluarkan.
Bicaralah. Orang mesti mengemukakan pikiran dengan singkat dan jelas."
"Bapak adalah...
yah, pekerjaan Bapak adalah mencuri." Sekiranya tangan Daizo tidak
memegangnya, Jotaro pasti sudah enyah seperti rusa. Tetapi pangkuan Daizo itu
seperti lubang yang dalam, dan dinding-dinding lubang itu tidak memungkinkannya
bergerak.
"Heh-heh-heh,"
Daizo terkekeh sambil menampar punggung Jotaro dengan main-main. "Apa cuma
itu yang jadi beban pikiranmu?"
"Ya-y-y-ya."
Bahu orang yang kasar
badannya itu berguncang karena tawa. "Aku memang jenis orang yang bisa
mencuri seluruh negeri ini, tapi aku bukan pencuri biasa atau penyamun. Lihat
Ieyasu, Hideyoshi, atau Nobunaga, mereka semua prajurit yang mencuri, atau mencoba
mencuri seluruh bangsa ini, kan? Ikutlah saja denganku, dan hari-hari ini kau
akan mengerti."
"Jadi, Bapak
bukan pencuri?"
"Aku tak mau
susah-susah dengan urusan yang begitu tak menguntungkan." Ia mengangkat
anak itu dari lututnya, katanya, "Sekarang jangan kau mengoceh lagi, dan
mari kita jalan terus. Sejak saat ini, kau jadi anakku. Aku akan jadi ayah yang
baik untukmu. Janji, kau takkan mengucapkan sepatah kata pun tentang apa yang
kaulihat semalam. Kalau kau buka mulut, kupuntir lehermu."
Jotaro percaya
kepadanya.
0 komentar:
Posting Komentar