Sabtu, 15 Juli 2017



angkrik di Rumput

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







JOTARO berjalan dengan langkah santai, tanpa banyak memperhatikan jalan. Tiba-tiba ia berhenti dan menoleh sekeliling, ingin tahu apakah ia tidak tersesat. "Rasanya aku belum pernah jalan di sini," pikirnya bingung.

Rumah-rumah samurai melingkari sisa-sisa sebuah benteng kuno. Satu bagian kompleks itu telah dibangun kembali, sebagai tempat bersemayam resmi Okubo Nagayasu yang belum lama diangkat, tapi selebihnya daerah yang meninggi seperti bukit alamiah itu masih tertutup rumput liar dan pepohonan. Kubu-kubu batu di situ sudah runtuh, dijarah oleh tentara penyerbu bertahun-tahun sebelumnya. Kubu di situ tampak primitif dibandingkan dengan kompleks benteng empat puluh sampai lima puluh tahun terakhir. Tak ada parit benteng, tak ada jembatan, tak ada barang yang dapat dilukiskan sebagai dinding benteng. Benteng itu barangkali dulunya milik salah seorang bangsawan setempat, seorang daimyo yang di masa sebelum perang saudara besar menggabungkan milik pertaniannya dengan kepangeranan feodal yang lebih besar.

Pada satu sisi jalan terdapat sawah-sawah dan rawa-rawa, pada sisi lain dinding-dinding benteng, dan di sebelah luarnya batu karang. Di atas batu karang itu tentunya dulu berdiri sebuah benteng.

Jotaro berusaha mengetahui posisinya, matanya mengembara menelusuri batu karang. Kemudian ia lihat ada sesuatu yang bergerak, berhenti, dan kemudian bergerak lagi. Semula sesuatu itu tampak seperti binatang, tapi segera kemudian bayangan yang bergerak mencuri-curi itu menjadi sosok seorang manusia. Jotaro menggigil, tapi ia berdiri terus menatapnya.

Orang itu menurunkan tali dengan sangkutan yang diletakkan di puncak karang. Ia meluncur turun dengan bergantung pada tali itu, dan sesudah mendapat tempat berpijak, ia guncangkan sangkutan itu sampai lepas, dan ia ulangi lagi proses itu. Sesampainya di bawah, ia menghilang dalam belukar.

Rasa ingin tahu Jotaro bangkit. Beberapa menit kemudian, ia lihat orang itu berjalan menyusuri pematang yang memisahkan petak-petak padi, dan agaknya langsung menuju dirinya. Hampir saja ia panik, tapi kemudian ia merasa tenang melihat bungkusan di punggung orang itu. "Sungguh membuang-buang waktu! Tak lebih dari seorang petani yang mencuri kayu api." Pikirnya, orang itu tentunya gila, karena mau membahayakan hidup dengan mendaki batu karang, sekadar untuk mengambil kayu bakar. Ia juga kecewa. Hal yang semula misterius, kini jadi membosankan sekali. Tapi kemudian ia mendapat guncangan kedua. Ketika orang itu berjalan melewati pohon yang dipakainya bersembunyi, terpaksa ia tergagap. Ia yakin bahwa sosok hitam itu Daizo.

"Ah, tak mungkin," katanya pada diri sendiri.

Orang itu menutup wajahnya dengan kain hitam dan mengenakan celana tanggung petani, juga pembalut kaki dan sandal jerami ringan.

Orang misterius itu membelok ke jalan setapak yang melingkari bukit. Orang yang demikian tegap bahunya dan ringan langkahnya tak mungkin berumur lima puluhan, sebagaimana halnya Daizo. Sesudah meyakinkan dirinya bahwa ia keliru, Jotaro mengikuti dari belakang. Ia mesti kembali ke penginapan, dan orang itu tanpa disadarinya tentunya bisa membantunya menemukan jalan.

Ketika orang itu sampai di sebuah tanda jarak jalan, ia menurunkan bungkusannya, yang sepertinya sangat berat. Ketika ia membungkuk untuk membaca tulisan pada batu itu, ada hal lain pada orang itu yang memukau Jotaro sebagai hal yang sudah dikenalnya.

Sementara orang itu mendaki jalan setapak naik bukit, Jotaro memeriksa tanda jalan itu. Di situ terukir kata-kata Pohon Pinus di Bukit Kuburan Kepala-di Atas. Inilah tempat penduduk setempat menguburkan kepala kriminal dan prajurit yang kalah.

Cabang-cabang pohon pinus yang besar sekali itu tampak jelas pada latar belakang langit malam. Begitu Jotaro sampai di puncak tanjakan, orang itu sudah duduk di dekat akar pohon, dan sedang merokok pipa. Daizo! Tak perlu dipersoalkan lagi sekarang. Seorang petani tak pernah membawa tembakau. Ada memang tembakau yang ditanam di dalam negeri dan berhasil, tapi jumlahnya demikian terbatas, hingga harganya masih sangat mahal. Di daerah Kansai yang relatif makmur pun tembakau masih dianggap sebagai kemewahan. Dan di Sendai, bila Yang Dipertuan Date merokok, juru tulis merasa perlu membuat daftar dalam buku hariannya, "Pagi tiga rokok, sore empat rokok, sebelum tidur satu rokok."

Di luar persoalan keuangan, kebanyakan orang yang memiliki kesempatan mencoba tembakau, merasa bahwa tembakau itu membuat mereka pusing, dan bahkan hampir mabuk. Sekalipun tembakau mendapat penghargaan karena rasanya, pada umumnya ia dianggap narkotika.

Jotaro tahu bahwa jumlah perokok tidak banyak. Ia tahu juga bahwa Daizo adalah salah seorang perokok itu, karena ia sering melihat Daizo mengeluarkan pipa keramik yang bagus buatannya. Tapi hal itu tak pernah kelihatan janggal olehnya, karena Daizo memang orang kaya dan seleranya mahal.

"Apa yang dilakukannya?" pikirnya tak sabar. Karena sudah terbiasa dengan bahaya mengancam, sedikit-sedikit ia merangkak mendekati.

Selesai mengisap, saudagar itu berdiri, melepas kain kepalanya yang hitam, dan menyelipkannya ke pinggang. Kemudian pelan-pelan ia berjalan mengelilingi pohon pinus. Hal berikut yang diketahui Jotaro, Daizo memegang sekop. Dan mana datangnya sekop itu? Sambil bertelekan pada sekop, Daizo memandang sekelilingnya, ke arah pemandangan malam, agaknya sedang mengingat-ingat lokasi tersebut.

Daizo kelihatan puas, kemudian menggulingkan sebuah batu besar ke sisi utara pohon dan mulai menggali dengan giat, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Jotaro melihat lubang itu semakin dalam, sampai cukup untuk orang berdiri. Akhirnya Daizo berhenti dan menghapus keringat di wajahnya dengan saputangan. Jotaro tetap diam tak bergerak. Ia betul-betul tercengang.

"Cukuplah ini," bisik saudagar itu pelan, selesai menginjak-injak tanah lunak di dasar lubang. Sesaat Jotaro ingin sekali memanggil dan mengingatkan Daizo untuk tidak mengubur dirinya sendiri, tapi tidak jadi.

Daizo meloncat ke atas, lalu menarik bungkusan berat itu dari dekat pohon ke tepi lubang, dan melepaskan tali rami di bagian atasnya. Semula Jotaro mengira karung itu terbuat dari kain, tapi sekarang ia dapat melihat bahwa karung itu jubah kulit yang berat, seperti yang biasa dipakai para jenderal menutup ketopong. Di dalamnya terdapat karung lain dari kain terpal atau sebangsanya. Ketika karung itu dibuka, tampaklah bagian atas tumpukan emas yang sukar dipercaya-batangan setengah silinder yang dibuat dengan menuangkan cor-coran emas ke dalam belahan bambu.

Dan masih ada lagi yang menyusul. Daizo melonggarkan obi-nya dan melepaskan bebannya, berupa beberapa lusin kepingan emas besar yang baru selesai dicetak, yang semula dimasukkan dalam kantong di bagian perut, bagian belakang kimono, dan bagian-bagian lain pakaiannya. Kepingan-kepingan itu diletakkannya rapt di atas batangan, kemudian ia ikat kedua wadah itu baik-baik dan ia masukkan bungkusan itu ke dalam lubang, seperti mencemplungkan bangkai anjing. Kemudian ia timbunkan tanah kembali, ia injak-injak, dan ia kembalikan batu itu. Akhirnya ia sebarkan rumput kering dan ranting-ranting kayu di sekitar batu.

Dan mulailah ia mengubah diri kembali menjadi Daizo dari Narai yang terkenal, pedagang ramuan yang makmur. Pakaian petani yang dililitkan ke sekop disembunyikan dalam semak, yang sedikit kemungkinannya ditemukan orang lain. Ia mengenakan jubah perjalanan dan menggantungkan kantong uangnya di leher, seperti pendeta keliling. Ia masukkan kakinya ke dalam zori, dan gumamnya puas, "Lumayan juga kerja malam ini."

Ketika Daizo sudah berada di luar jarak pendengaran, Jotaro muncul dari tempat persembunyiannya dan pergi ke batu itu. Walaupun diperhatikannya tempat itu baik-baik, ia tak dapat menemukan jejak segala yang baru saja ia saksikan. Ia menatap tanah itu, seakan-akan menatap telapak tangan tukang sulap yang kosong.

"Lebih baik aku pergi sekarang," pikirnya tiba-tiba. "Kalau aku tak ada di tempat ketika dia kembali di penginapan, dia akan curiga." Karena lampu-lampu kota sekarang tampak di bawahnya, tak sulit ia menempuh jalannya. Sambil berlari kencang, ia berusaha terus berada di jalan samping yang jauh dari jalan yang ditempuh Daizo.

Dengan wajah betul-betul polos, ia daki tangga penginapan dan masuk ke kamarnya. Ia beruntung. Sukeichi sedang telungkup pada peti perjalanan yang dipernis itu, sendirian, dan tidur lelap. Air liur meleleh ke dagunya.

"Hei, Sukeichi, bisa masuk angin kau di sini." Dengan sengaja Jotaro mengguncangnya supaya bangun.

"Oh, kau, ya?" kata Sukeichi lambat-lambat, sambil menggosok mata. "Apa kerjamu sampai malam begini, tanpa bilang Bapak?"

"Kau gila, ya? Aku sudah berjam-jam kembali. Kalau kau tidak tidur, pasti kau tahu."

"Jangan bohong kau. Aku tahu kau pergi dengan perempuan dari Sumiya itu. Kalau sekarang saja kau sudah mengejar-ngejar pelacur, benci aku memikirkan bagaimana perbuatanmu nanti kalau besar."

Justru waktu itu Daizo membuka shoji. "Aku kembali," hanya itu yang dikatakannya.



Pagi-pagi sekali, orang harus sudah berangkat agar dapat sampai di Edo sebelum malam tiba. Jinnai sudah membawa rombongannya turun ke jalan, jauh sebelum matahari terbit, termasuk Akemi. Tapi Daizo, Sukeichi, dan Jotaro tenang saja sarapan, dan belum juga berangkat sampai matahari cukup tinggi di langit.

Seperti biasa, Daizo berjalan di depan, Jotaro mengikuti di belakang bersama Sukeichi, dan inilah yang tidak biasa.

Akhirnya Daizo berhenti, dan tanyanya, "Apa yang terjadi denganmu pagi ini?"

"Bagaimana, Pak?" Jotaro berusaha agar kelihatan tak acuh.

"Ada yang tak beres?"

"Tidak, sama sekali tidak. Kenapa Bapak bertanya begitu?"

"Kau kelihatan murung. Tidak seperti biasanya."

"Tak ada apa-apa, Pak. Saya cuma berpikir. Kalau saya terus tinggal dengan Bapak, tak tahulah saya, apa saya akan pernah ketemu guru saya. Ingin saya mencarinya sendiri, kalau Bapak tidak keberatan."

Tanpa ragu jawab Daizo, "Keberatan!"

Jotaro sebetulnya sudah mendekat dan mulai memegang lengan orang itu, tapi sekarang ia menarik kembali tangannya, dan tanyanya bingung. "Kenapa?"

"Mari kita istirahat sebentar," kata Daizo, duduk di dataran berumput yang membuat Provinsi Musashi sangat terkenal itu. Begitu duduk, ia memberikan isyarat pada Sukeichi untuk jalan terus.

"Tapi saya mesti mencari guru saya... selekasnya," kilah Jotaro.

"Aku sudah bilang, kau tak boleh pergi sendiri." Dengan wajah garang, Daizo memasukkan pipa keramik ke mulutnya dan mengisapnya. "Sejak hari ini, kau jadi anakku."

Suaranya kedengaran sungguh-sungguh. Jotaro menelan ludah, tapi Daizo tertawa. Jotaro menyimpulkan semua itu hanya lelucon, katanya, "Tak bisa saya terima. Saya tak mau jadi anak Bapak."

Apa?"

"Bapak seorang saudagar, sedangkan saya ingin jadi samurai."

"Aku yakin kau melihat sendiri, bahwa Daizo dari Narai bukan orang kota biasa, yang tanpa kehormatan atau latar belakang. Jadilah anak angkatku, akan kubuat kau menjadi samurai sejati."

Dengan perasaan cemas, Jotaro sadar bahwa Daizo sungguh-sungguh dengan ucapannya. "Apa boleh saya bertanya, kenapa Bapak tiba-tiba saja mengambil keputusan itu?" tanya anak itu.

Dalam sekejap mata, Daizo menangkapnya dan mencengkeramnya ke sisinya. Dilekatkannya mulutnya ke telinga anak itu, dan bisiknya, "Kau melihat aku, kan, bajingan kecil?"

"Saya lihat Bapak?"

"Ya, kau mengawasi aku, kan?"

"Saya tak mengerti apa yang Bapak bicarakan ini. Mengawasi apa?"

"Yang kulakukan semalam."

Jotaro berusaha sekuat-kuatnya untuk tetap tenang.

"Kenapa kaulakukan itu?"

Pertahanan anak itu hampir runtuh.

"Kenapa kau mengintip-intip urusan pribadiku?"

"Maaf." ujar Jotaro. "Saya betul-betul minta maaf. Takkan saya ceritakan pada siapa-siapa."

"Pelankan suaramu! Aku takkan menghukummu. Sebaliknya, kau akan menjadi anak angkatku. Kalau kau menolak, berarti kau tidak memberi pilihan padaku, kecuali membunuhmu. Nah, jangan paksa aku berbuat begitu. Kupikir kamu anak baik, anak yang sangat menyenangkan."

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jotaro mulai merasakan takut yang sebenar-benarnya. "Maaf," ulangnya sungguh-sungguh. "Jangan bunuh saya. Saya tak mau mati!" Seperti burung kutilang yang tertangkap, ia menggeliat-geliat takut dalam tangan Daizo. Ia takut kalau ia benar-benar memberontak, tangan maut akan langsung menerkamnya.

Jotaro merasakan cengkeraman Daizo seperti catok, padahal Daizo sama sekali tidak erat memegangnya. Bahkan ketika ia menarik Jotaro ke pangkuannya, sentuhan tangannya hampir-hampir mesra. "Nah, kau mau jadi anakku, kan?" Janggutnya yang kaku menggores pipi Jotaro.

Meskipun Jotaro tidak akan dapat menyebutkannya, tapi ia merasa bahwa yang membelenggunya adalah bau orang dewasa, bau lelaki. Di pangkuan Daizo ia seperti bayi saja, tidak dapat melawan, bahkan tak dapat berbicara.

"Kau sendiri yang mesti memutuskan. Kau mau kupungut anak atau mau mati? Jawab sekarang juga!"

Sambil melolong, anak itu menangis keras. Ia gosok wajahnya dengan jari-jarinya yang kotor, sampai genangan-genangan kecil keruh bermunculan di kedua sisi hidungnya.

"Kenapa menangis? Kau beruntung mendapat kesempatan ini. Kujamin kau akan jadi samurai besar, setelah aku selesai mendidikmu."

"Tapi...

"Apa itu?"

"Bapak adalah... Bapak adalah..."

"Ya?"

"Saya tak bisa mengatakannya."

"Keluarkan. Bicaralah. Orang mesti mengemukakan pikiran dengan singkat dan jelas."

"Bapak adalah... yah, pekerjaan Bapak adalah mencuri." Sekiranya tangan Daizo tidak memegangnya, Jotaro pasti sudah enyah seperti rusa. Tetapi pangkuan Daizo itu seperti lubang yang dalam, dan dinding-dinding lubang itu tidak memungkinkannya bergerak.

"Heh-heh-heh," Daizo terkekeh sambil menampar punggung Jotaro dengan main-main. "Apa cuma itu yang jadi beban pikiranmu?"

"Ya-y-y-ya."

Bahu orang yang kasar badannya itu berguncang karena tawa. "Aku memang jenis orang yang bisa mencuri seluruh negeri ini, tapi aku bukan pencuri biasa atau penyamun. Lihat Ieyasu, Hideyoshi, atau Nobunaga, mereka semua prajurit yang mencuri, atau mencoba mencuri seluruh bangsa ini, kan? Ikutlah saja denganku, dan hari-hari ini kau akan mengerti."

"Jadi, Bapak bukan pencuri?"

"Aku tak mau susah-susah dengan urusan yang begitu tak menguntungkan." Ia mengangkat anak itu dari lututnya, katanya, "Sekarang jangan kau mengoceh lagi, dan mari kita jalan terus. Sejak saat ini, kau jadi anakku. Aku akan jadi ayah yang baik untukmu. Janji, kau takkan mengucapkan sepatah kata pun tentang apa yang kaulihat semalam. Kalau kau buka mulut, kupuntir lehermu."

Jotaro percaya kepadanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP