Sabtu, 15 Juli 2017



Tukang Sapu dan Pedagang

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg









BUNGA-BUNGA sakura jadi berwarna pucat karena sudah lewat masa puncaknya, sedangkan kembang widuri sudah layu, mengingatkan orang pada masa berabad-abad lalu, ketikaNara masih menjadi ibu kota. Hari itu agak terlalu panas untuk berjalan, tapi baik Gonnosuke maupun Iori belum lelah berjalan.

Iori menarik lengan baju Gonnosuke, dan katanya kuatir. "Orang itu masih saja mengikuti kita!"

Gonnosuke terus memandang lurus ke depan, katanya, "Pura-pura kita tidak melihat dia."

"Dia sudah di belakang kita sejak kita meninggalkan Kofukuji."

"Ya."

"Dan dia ada di penginapan itu, waktu kita tinggal di sana, kan?"

"Tak usah kau kuatir karena itu. Kita tak punya barang yang patut dirampas."

"Tapi kita punya nyawa! Nyawa itu bukan barang sepele."

"Ha, ha. Tap aku sudah mengunci nyawaku. Kau belum, ya?"

"Tapi saya dapat menjaga diri." Dan Ion mengetatkan genggaman tangan kirinya atas sarung pedangnya.

Gonnosuke tahu, orang itu pendeta pengembara yang menantang Nankobo kemarin, tapi ia tak habis pikir, kenapa pendeta itu menguntit mereka.

Iori menoleh lagi, dan katanya, "Lho, dia tak ada!"

Gonnosuke menoleh juga ke belakang. "Barangkali dia capek." Ia menarik napas panjang, dan tambahnya. "Tapi aku merasa lebih lega sekarang." Mereka menginap di rumah seorang petani malam itu, dan pagi-pagi hari berikutnya, mereka tiba di Amano di Kawachi. Tempat itu adalah kampung kecil dengan rumah-rumah yang rendah tepian atapnya, dan di belakang rumah-rumah itu mengalir sungai dengan air gunung yang jernih.

Gonnosuke datang ke situ untuk meletakkan tanda peringatan bagi ibunya di Kuil Kongoji, yang dinamakan Gunung Koya Para Wanita. Tapi pertama-tama ia ingin mengunjungi seorang wanita bernama Oan, yang dikenalnya sejak kecil, supaya nantinya selalu ada orang membakar dupa di hadapan tanda peringatan itu. Kalau wanita itu tak dapat ditemukannya, ia bermaksud pergi ke Gunung Koya, yaitu tempat pemakaman bagi orang-orang kaya dan perkasa. la berharap tidak perlu sampai pergi ke sana, sebab pasti ia akan merasa seperti pengemis kalau harus ke sana.

Ia bertanya pada istri seorang penjaga toko, dan mendapat keterangan bahwa Oan adalah istri seorang pembuat sake bernama Toroku; rumahnya adalah yang keempat di sebelah kanan, dalam pekarangan kuil.

Ketika melewati gerbang, Gonnosuke heran mengingat kata-kata wanita itu, karena di situ ada papan pengumuman yang menyatakan bahwa membawa sake dan bawang perai ke pekarangan suci itu dilarang. Bagaimana mungkin ada penyulingan sake di sana?

Teka-teki kecil tersebut dipecahkan malam itu, oleh Toroku. Ia minta mereka menganggap tempat itu sebagai rumah sendiri, dan dengan senang hati menyatakan bersedia berbicara dengan kepala biara, tentang tanda peringatan bagi ibu Gonnosuke. Toroku menyatakan bahwa Toyotomi Hideyoshi pernah mencicipi dan menyatakan kekaguman atas sake yang dibuat untuk kuil itu. Para pendeta kemudian membangun penyulingan untuk membuat sake bagi Hideyoshi dan lain-lain drtimyo yang memberikan sumbangan kepada kuil itu. Produk pabrik agak jatuh sesudah meninggalnya Hideyoshi, tapi kuil masih menyediakan produksinya bagi sejumlah pelindung khusus.

Ketika Gonnosuke dan Iori terbangun pagi berikutnya, Toroku sudah pergi. Ia pulang sebentar sesudah tengah hari, dan mengatakan bahwa sudah dilakukan berbagai persiapan.

Kuil Kongoji terletak di lembah Sungai Amano, di tengah beberapa puncak gunung berwarna batu lumut. Gonnosuke, Ion, dan Toroku berhenti sebentar di jembatan yang menuju gerbang utama. Bunga sakura mengapung di air di bawah jembatan. Gonnosuke membidangkan dadanya, wajahnya memperlihatkan ketakziman. Iori membenahi kerahnya.

Ketika menghampiri ruangan utama, mereka disambut oleh kepala biara, seorang lelaki jangkung, agak kekar, dan mengenakan jubah pendeta biasa. Akan cocok seandainya ia memakai topi anyaman yang sudah sobek dan sebatang tongkat panjang.

"Apa ini orang yang ingin melakukan kebaktian untuk ibunya?" tanyanya dengan nada ramah.

"Ya, Pak," jawab Toroku sambil bersujud.

Gonnosuke, yang semula menyangka akan bertemu dengan seorang pendeta berwajah garang dan mengenakan pakaian brokat emas, menjadi bingung bagaimana akan memberi salam kepadanya. Ia membungkuk dan memperhatikan ketika kepala biara itu turun dari serambi, memasukkan kakinya yang besar ke dalam sandal jerami yang kotor, dan berhenti di depannya. Dengan tasbih di tangan, kepala biara minta mereka mengikutinya, kemudian seorang pendeta muda mengikuti mereka dari belakang.

Mereka melewati Ruang Yakushi, kamar makan, pagoda harta bertingkat satu, dan tempat kediaman para pendeta. Sampai di Ruang Dainichi, pendeta muda itu maju ke depan dan bicara dengan kepala biara. Kepala biara mengangguk, dan si pendeta membuka pintu dengan kunci yang sangat besar.

Gonnosuke dan Iori memasuki ruang besar itu bersama-sama, dan berlutut di hadapan podium para pendeta. Sepuluh kaki di atas podium terdapat patung raksasa Dainichi dari emas, Budha alam semesta dari sektesekte rahasia. Beberapa waktu kemudian, kepala biara muncul dari batik altar, dalam jubah kebesarannya, dan mengambil tempat di atas podium. Mulailah terdengar alunan kitab sutra. Tanpa kentara, ia seolah berubah bentuk menjadi seorang pendeta tinggi yang bermartabat. Kekuasaannya jelas kelihatan dari posisi bahunya.

Gonnosuke menangkupkan tangan di depan badan. Segumpal awan kecil seolah melintas di depan matanya, dan dari gumpalan awan itu muncul bayangan Celah Shiojiri, di mana ia dan Musashi saling menguji kekuatan. Ibunya duduk di sisi lain, tegak seperti papan. Ia tampak kuatir, seperti ketika dulu ia menyerukan kata yang menyelamatkan Gonnosuke dalam perkelahian itu.

"Ibu," pikir Gonnosuke, "Ibu tak perlu kuatir dengan masa depanku. Musashi sudah setuju menjadi guruku. Tak lama lagi aku akan dapat mendirikan perguruanku sendiri. Dunia boleh saja kacau, tapi aku takkan menyeleweng dari Jalan-ku. Dan aku pun takkan melalaikan kewajibankewajibanku sebagai anak...."

Ketika Gonnosuke lepas dari lamunan itu, alunan suara kepala biara sudah berhenti, dan ia sudah pergi. Di sampingnya Iori duduk terpaku, matanya lekat pada wajah Dainichi yang merupakan keajaiban dalam bidang seni patung, karya Unkei yang agung di abad ketiga betas.

"Kenapa kau menatap begitu, Iori?"

Tanpa mengalihkan pandangannya, kata anak itu, "Kakak saya! Budha ini kelihatan seperti kakak saya."

Gonnosuke tertawa mendengarnya. "Apa yang kaubicarakan ini? Melihat dia saja kau belum pernah. Bagaimanapun, takkan pernah ada orang yang bisa tampak sewelas asih dan setenteram Dainichi."

Iori menggelengkan kepala keras-keras. "Tapi saya sudah melihat dia! Dekat kediaman Yang Dipertuan Yagyu di Edo. Dan bicara dengan dia! Waktu itu saya tidak tahu dia kakak saya, tapi tadi, waktu kepala biara menyanyi, muka sang Budha berubah menjadi muka kakak saya. Dan kakak saya seolah mengatakan sesuatu pada saya."

Mereka keluar dan duduk di beranda, enggan membuang pesona khayal yang telah mereka peroleh.

"Kebaktian tadi itu untuk ibuku," kata Gonnosuke termenung. "Tapi hari ini hari baik juga untuk makhluk hidup. Duduk seperti ini di sini, rasanya sukar aku percaya bahwa perkelahian dan pertumpahan darah bisa berlangsung."

Puncak pagoda harta yang terbuat dari logam itu berkilauan seperti pedang bertatahkan permata, dalam cahaya matahari yang sedang tenggelam. Semua bangunan lain berdiri dalam bayangan gelap. Lentera-lentera batu berderet di jalan gelap yang mendaki bukit terjal menuju warung teh gaya Muromachi dan sebuah mausoleum kecil.

Seorang biarawati tua, dengan kepala tertutup bandana sutra putih, dan seorang laki-laki gempal berumur sekitar lima puluh tahun, sedang menyapu daun-daunan dengan sapu jerami, dekat warung teh.

Biarawati itu mengeluh, kemudian katanya, "Kukira sekarang sudah lebih baik." Hanya sedikit orang datang ke bagian kuil ini, meski sekadar untuk membersihkan dedaunan dan bangkai burung yang menumpuk selama musim dingin.

"Ibu tentunya lelah," kata laki-laki itu. "Kenapa tidak duduk beristirahat? Biar kuselesaikan." Ia mengenakan kimono katun sederhana dengan mantel tak berlengan, sandal jerami, dan kaus kulit berpola bunga sakura, berikut pedang pendek dengan gagang tanpa hiasan yang terbuat dari kulit ikan hiu.

"Aku tidak lelah," jawab biarawati itu sambil tertawa kecil. "Tapi bagaimana denganmu? Kau tidak biasa dengan kerja ini. Apa tanganmu tidak lecet?"

"Tidak lecet, tapi melepuh semua."

Perempuan itu tertawa lagi, katanya, "Nah, apa itu bukan tanda mata yang bagus buat dibawa pulang?"

"Aku tak peduli. Aku merasa hatiku sudah disucikan. Aku berharap persembahan kerja kita yang tak berarti ini diterima dewa-dewa."

"Oh, sudah gelap benar. Mari kita selesaikan besok pagi saja."

Gonnosuke dan Iori sekarang berdiri di dekat serambi. Koetsu dan Myoshu pelan-pelan menyusuri jalan yang menurun, sambil berpegangan tangan. Ketika sampai di dekat Ruang Dainichi, keduanya terkejut dan berseru, "Siapa di situ?"

Kemudian kata Myoshu, "Hari bagus, ya? Apa kalian datang buat melihat-lihat?"

Gonnosuke membungkuk, katanya, "Tidak, saya mengirim bacaan sutra buat ibu saya."

"Oh, saya senang sekali bertemu dengan orang muda yang tahu terima kasih kepada orangtuanya."

Ia menepuk kepala Iori dengan sikap keibuan.

"Koetsu, apa kue gandum itu masih ada?"

Koetsu mengeluarkan bungkusan kecil dari lengan kimononya dan menawarkannya pada Iori. "Maafkan saya, menawarkan makanan sisa."

"Gonnosuke, boleh saya menerimanya?" tanya Iori.

"Ya," kata Gonnosuke, menyatakan terima kasih pada Koetsu atas nama Iori.

"Dari aksen bicaramu, rupanya kau datang dari timur," kata Myoshu.

"Boleh saya bertanya, ke mana kalian hendak pergi?"

"Rasanya ini perjalanan tanpa akhir, di jalan tak ada ujung. Anak ini dan saya sama-sama murid Jalan Pedang."

"Oh, jalan sulit yang kalian pilih itu. Siapa guru kalian?"

"Namanya Miyamoto Musashi."

"Musashi? Yang benar!" Myoshu tertegun, seakan-akan sedang mengingat kembali kenangan manis.

"Di mana Musashi sekarang?" tanya Koetsu. "Lama kami tak jumpa dengannya."

Gonnosuke menyampaikan pada mereka tentang nasib baik Musashi selama beberapa tahun terakhir itu. Sambil mendengarkan, Koetsu mengangguk-angguk dan tersenyum, seakan-akan mengatakan. "Itu yang saya harapkan untuknya."

Selesai bercerita, Gonnosuke bertanya, "Boleh saya tahu siapa Bapak?"

"O ya, maaf saya tidak mengatakannya tadi."

Koetsu memperkenalkan dirinya dan ibunya. "Musashi tinggal dengan kami sebentar, beberapa tahun lalu. Kami suka sekali padanya, dan sampai sekarang pun masih sering kami bicara tentangnya." Kemudian ia bercerita pada Gonnosuke tentang dua-tiga peristiwa yang terjadi ketika Musashi ada di Kyoto.

Gonnosuke sudah lama tahu nama baik Koetsu sebagai penggosok pedang, dan baru-baru ini ia mendengar tentang hubungan Musashi dengan orang itu. Tapi ia tak pernah menduga akan melihat orang kota yang kaya itu membersihkan pekarangan kuil yang terbengkalai.

"Apa di sini ada kuburan orang yang dekat dengan Bapak?" tanyanya. "Atau barangkali Bapak datang kemari untuk pesiar?"

"Tidak, tak ada yang lebih sembrono daripada pesiar," seru Koetsu. "Setidaknya di tempat suci seperti ini.... Apa kalian sudah mendengar dari para pendeta, riwayat Kuil Kongoji ini."

"Belum."

"Kalau begitu, izinkan saya sebagai ganti para pendeta, bercerita sedikit tentangnya. Tapi harap dimengerti, saya hanya mengulang apa yang pernah saya dengar." Koetsu berhenti dan menoleh ke sekitar pelan-pelan, kemudian katanya, "Tepat sekali bulan malam ini," dan ia menunjuk beberapa peninggalan penting: di atas mereka mausoleum, Mieido dan Kangetsutei, di bawah mereka Taishido, tempat suci Shinto, pagoda harta, ruang makan, dan gerbang bertingkat dua.

"Lihat baik-baik," katanya, seolah-olah terpesona oleh suasana sepi itu. "Pohon pinus itu, batu-batu itu, setiap pohon, setiap lembar rumput di sini, adalah bagian dari keabadian yang tak kelihatan, yang merupakan tradisi molek negeri kita."

Ia meneruskan dalam nada sama, dan dengan khidmat bercerita bahwa di abad keempat belas, selama berlangsungnya konflik antara istana selatan dan utara, gunung itu menjadi kubu istana selatan. Dikatakannya, Pangeran Morinaga, yang dikenal juga sebagai Daito no Miya, mengadakan pertemuanpertemuan rahasia untuk menggulingkan para regent Hojo. Sementara itu, Kusunoki Masashige dan kaum loyalis yang lain bertempur melawan tentara istana utara. Kemudian Keluarga Ashikaga memegang kekuasaan, dan Kaisar Go-Murakami yang terusir dari Gunung Otoko terpaksa melarikan diri dari tempat satu ke tempat lain. Akhirnya ia berlindung di kuil itu, dan bertahun-tahun lamanya hidup sebagai pendeta gunung biasa, dengan menanggung berbagai kekurangan. Dengan menggunakan ruang makan itu sebagai pusat pemerintahannya, ia bekerja tanpa kenal lelah untuk memperoleh kembali hak istimewa kekaisaran yang direbut militer.

Sebelum itu, ketika para samurai dan orang-orang istana berkumpul di sekitar mantan Kaisar Kogon, yaitu Komyo dan Suko, biarawan Zen'e menulis dengan pedih, "Tempat tinggal para pendeta dan kuil-kuil gunung semuanya diruntuhkan. Kerugian tidak terlukiskan."

Gonnosuke mendengarkan dengan sikap hati-hati dan penuh hormat. Iori, yang terpesona oleh kesungguhan suara Koetsu, tidak dapat melepaskan matanya dari wajah orang itu.

Koetsu menarik napas panjang, meneruskan, "Segala sesuatu di sini adalah peninggalan zaman itu. Mausoleum itu tempat peristirahatan terakhir Kaisar Kogon. Sejak surutnya Keluarga Ashikaga, tak ada yang terawat secara memadai. Itu sebabnya ibu saya dan saya memutuskan untuk membersihkannya sedikit, sebagai tanda takzim."

Karena senang dengan ketekunan para pendengarnya, Koetsu berusaha keras mencari kata-kata yang cocok untuk mengungkapkan perasaannya.

"Waktu sedang menyapu, kami temukan sebuah batu berukir sajak, yang barangkali ditulis oleh seorang prajurit pendeta zaman itu. Bunyinya:


Biar perang berjalan terus, Sampai seratus tahun sekalipun, Musim semi kan datang kembali, Hiduplah dengan hati bernyanyi. Hai, kalian rakyat sang Kaisar.


"Coba bayangkan, betapa besar keberanian dan semangat yang diperlukan oleh seorang prajurit sederhana yang sudah bertempur bertahun-tahun, dan barangkali berpuluh-puluh tahun lamanya, dalam melindungi sang kaisar, untuk dapat bergembira dan menyanyi! Saya yakin, dasarnya adalah karena semangat. Masashige bersemayam di had prajurit itu. Walaupun seratus tahun pertempuran telah berlalu, tempat ini tetap menjadi tanda peringatan bagi martabat kekaisaran. Maka, tidakkah kita mesti menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya atas hal ini?"

"Saya tidak tahu bahwa ini dulu tempat berlangsungnya pertempuran suci," kata Gonnosuke. "Saya harap Bapak memaafkan ketidaktahuan saya."

"Saya senang mendapat kesempatan menyampaikan sebagian buah pikiran saya mengenai sejarah negeri kita ini."

Keempat orang itu berjalan menuruni bukit bersama-sama. Di dalam terang bulan, bayangan mereka tampak kecil tak berarti.

Ketika mereka melewati ruang makan, Koetsu berkata, "Kami sudah tujuh hari tinggal di sini. Kami akan pulang besok. Kalau kalian bertemu dengan Musashi, sampaikan padanya supaya dia menengok kami lagi."

Gonnosuke menegaskan bahwa ia akan menyampaikan pesan itu.

Di atas sungai dangkal yang mengalir cepat sepanjang dinding luar kuil itu, ada sebuah jembatan tanah.

Belum lagi Gonnosuke dan Iori menginjakkan kaki di jembatan itu, sesosok tubuh besar putih bersenjatakan tongkat muncul dari balik bayangan, dan melesat menyerang punggung Gonnosuke. Gonnosuke menghindar dari serangan itu dengan meluncur ke samping, tapi Iori terpental dari jembatan.

Orang itu menyeruduk lewat Gonnosuke, ke jalan di ujung sana jembatan. Tapi seketika itu juga ia berbalik dan mengambil jurus mantap, kedua kakinya mirip batang pohon kecil. Gonnosuke melihat bahwa orang itu pendeta yang telah mengikuti mereka kemarin.

"Siapa kau?" teriak Gonnosuke.

Pendeta itu tak menjawab.

Gonnosuke menggerakkan tongkatnya dalam posisi siap memukul, dan berteriak, "Siapa kau? Apa alasanmu menyerang Muso Gonnosuke?"

Pendeta itu pura-pura tak mendengar. Matanya memercikkan api, sementara jari-jari kakinya yang menyembul dari dalam sandal jerami yang berat itu merayap maju seperti lipan.

Gonnosuke menggeram dan mengutuk berbisik. la beringsut ke depan dengan kakinya yang pendek berat, yang kini menggelembung karena nafsu berkelahi.

Tongkat si pendeta patah berderak menjadi dua. Separuh melayang ke udara, separuh lagi dilontarkan sekuat-kuatnya ke wajah Gonnosuke. Lontaran itu tidak mengena, tapi sementara Gonnosuke memulihkan keseimbangan badannya, lawannya menarik pedang dan menyerbu ke jembatan.

"Bajingan!" pekik Iori.

Pendeta itu menggagap dan memegang wajahnya. Batu-batu kecil yang dilemparkan Ion mengenai sasarannya, satu di antaranya tepat mengenai mata. Si pendeta pun berpusing dan lari.

"Berhenti!" teriak Iori sambil merangkak naik ke tepi sungai, membawa sejumlah batu.

"Biarkan," kata Gonnosuke sambil meletakkan tangan ke lengan Iori. "Biar dia tahu rasa!" ucap Iori puas, sambil melontarkan bebatuan itu ke bulan.

Segera sesudah mereka kembali ke rumah Toroku dan pergi tidur, badai bertiup. Angin meraung-raung di antara pepohonan, mengancam akan menerbangkan atap rumah, tapi itu bukan satu-satunya hal yang membuat mereka susah tidur.

Gonnosuke terbaring terjaga, teringat masa lalu dan masa sekarang. Terpikir olehnya, apakah dunia ini memang lebih baik sekarang daripada berabad-abad lampau. Nobunaga, Hideyoshi, dan Ieyasu telah memperoleh simpati rakyat, juga kekuasaan untuk memerintah, tapi terpikir oleh Gonnosuke, tidakkah penguasa yang sebenar-benarnya itu telah terlupakan, dan kini rakyat disuruh menyembah dewa-dewa palsu? Zaman Keluarga Hojo dan Ashikaga adalah zaman yang menimbulkan rasa benci, yang jelas-jelas berlawanan dengan prinsip yang menjadi dasar berdirinya negeri ini. Namun, di zaman itu pun, para prajurit besar seperti Masashige dan anaknya, juga loyalis dari banyak provinsi, tetap mengikuti tata krama prajurit sejati. Apa yang telah terjadi dengan Jalan Samurai? Ya, Gonnosuke kini bertanya pada diri sendiri. Seperti halnya Jalan Orang Kota dan Jalan Petani, agaknya Jalan Samurai sekarang ini hanyalah demi penguasa militer.

Pikiran-pikiran itu membuat sekujur tubuh Gonnosuke terasa panas. Puncak Pegunungan Kawachi, hutan di sekitar Kuil Kongoji, dan badai yang melolong-semuanya jadi seperti makhluk-makhluk hidup yang berseruseru kepadanya dalam mimpi.

Sementara itu, Iori tak dapat mengusir pendeta tak dikenal itu dari pikirannya. Ia masih juga memikirkan sosok putih seperti hantu itu, lama kemudian. Ketika badai makin menghebat, ditutupkannya selimut ke atas matanya, dan barulah ia terlena dalam tidur lelap tanpa mimpi.

Ketika mereka berangkat lagi pagi berikutnya, awan-awan di atas pegunungan berwarna pelangi. Baru saja mereka keluar dari kampung, seorang pedagang keliling muncul dari balik kabut pagi, dan mengucapkan selamat pagi pada mereka dengan nada riang.

Gonnosuke menjawab acuh tak acuh. Iori masih terbenam dalam pikiran yang membuatnya tak bisa tidur malam sebelumnya, jadi ia pun tidak terlalu ramah.

Orang itu mencoba membuka percakapan. "Anda menginap di rumah Toroku tadi malam, ya? Saya sudah bertahun-tahun mengenalnya. Mereka orang-orang baik, dia dan istrinya."

Kata-kata itu hanya dapat memancing sungutan pelan Gonnosuke.

"Saya juga sekali-sekali berkunjung ke Benteng Koyagyu," kata pedagang itu. "Kimura Sukekuro banyak membantu saya."

Kata-kata itu dijawab dengan sungutan lagi.

"Saya lihat Anda telah mengunjungi 'Gunung Koya Para Wanita.' Saya kira sekarang Anda akan pergi ke Gunung Koya itu sendiri. Sekaranglah waktu yang tepat. Salju mulai mencair, dan semua jalan sudah diperbaiki. Anda dapat melintasi celah Amami dan Kiimi dengan santai, dan menginap di Hashimoto atau Kamuro..."

Usaha orang itu untuk mencari tahu rencana perjalanan mereka membuat Gonnosuke curiga. "Apa kerja Anda?" tanyanya.

"Saya penjual tali kepang," kata orang itu, sambil menunjuk bungkusan kecil di punggungnya. "Tali ini dibuat dari katun yang dianyam datar. Belum lama ditemukan, tapi sudah cepat disukai orang."

"Begitu," kata Gonnosuke.

"Toroku banyak membantu memasarkan tali saya ini kepada para pemuja di Kuil Kongoji. Sebetulnya saya punya rencana menginap di rumahnya tadi malam, tapi katanya sudah ada dua tamu. Agak kecewa juga. Kalau saya tinggal di rumahnya, dia selalu menyuguhi saya sake yang enak." Ia tertawa.

Gonnosuke jadi agak luluh, dan mulai mengajukan pertanyaan tentang tempat-tempat di sepanjang jalan itu, karena pedagang itu kenal benar dengan pedesaan di situ. Begitu mereka sampai di dataran tinggi Amami, percakapan sudah menjadi cukup bersahabat.

"Hei, Sugizo!"

Seorang lelaki datang menderap di jalanan itu, menyusul mereka. "Kenapa kautinggalkan aku? Aku tunggu di Kampung Amano. Kaubilang akan singgah menjemputku."

"Maaf, Gensuke," kata Sugizo. "Aku jumpa dengan kedua teman ini dan asyik bercakap-cakap, sampai lupa sama sekali padamu." Ia tertawa dan menggaruk kepalanya.

Gensuke, yang berpakaian seperti Sugizo itu, ternyata pedagang tali juga. Sementara berjalan, kedua pedagang itu mulai membicarakan soal perdagangan.

Sampai di sebuah jurang yang dalamnya sekitar enam meter, tiba-tiba Sugizo berhenti bicara dan menunjuk.

"Itu berbahaya," katanya.

Gonnosuke berhenti dan memandang jurang yang menyerupai celah sisa gempa bumi, yang barangkali terjadi di masa lalu. "Apa susahnya?" tanyanya.

"Balok-balok itu tidak aman buat menyeberang. Lihat itu, sebagian batu yang mendukungnya sudah terbawa hanyut. Lebih baik kita bereskan dulu balok-balok itu, supaya kokoh." Kemudian tambahnya. "Kita mesti melakukannya, demi pejalan yang lain."

Gonnosuke memperhatikan mereka ketika mereka berjongkok di ujung karang terjal, dan mulai memadatkan batu-batuan dan tanah di bawah balok-balok itu. Pikirnya, kedua pedagang itu banyak mengadakan perjalanan, dan karena itu kenal betul akan kesulitan-kesulitan perjalanan, seperti juga orang lain. Namun ia agak heran juga.

Sungguh tidak biasa, bahwa orang-orang seperti mereka begitu mencurahkan perhatian pada kepentingan orang lain, hingga mau bersusah-susah membetulkan jembatan.

Iori sama sekali tidak memikirkan soal itu. la terkesan oleh keprihatinan mereka, dan ia membantu mengumpulkan batu untuk mereka.

"Saya kira ini cukup," kata Gensuke. Ia melangkah ke atas jembatan. Ia putuskan jembatan itu aman, lalu katanya pada Gonnosuke, "Saya jalan dulu." Sambil merentangkan tangan untuk keseimbangan, ia menyeberang cepat ke sebelah sana, kemudian mengajak yang lain-lain menyusul.

Atas desakan Sugizo, Gonnosuke menyusul, diikuti Iori. Tapi belum lagi sampai tengah jembatan, mereka sudah memekik kaget. Di hadapan mereka, Gensuke menghadangkan mata lembing ke arah mereka. Gonnosuke menoleh ke belakang, dan melihat Sugizo telah memegang lembing juga.

"Dari mana datangnya lembing-lembing itu?" pikir Gonnosuke. Ia menyumpah dan menggigit bibir dengan marah, sadar akan kedudukannya yang tidak menguntungkan.

"Gonnosuke, Gonnosuke..." Dengan sembrono Iori berpegang pada pinggang Gonnosuke. Gonnosuke sendiri memeluk anak itu dan memejamkan mata sesaat, mempercayakan hidupnya pada kehendak Langit.

"Bajingan kalian!"

"Tutup mulut!" teriak pendeta yang berdiri lebih tinggi di jalan, di belakang Gensuke, dengan mata kiri bengkak hitam.

"Tenang saja," kata Gonnosuke pada Iori, dengan suara menenangkan. Kemudian teriaknya, "Jadi, kaulah biang keladi semua ini! Nah, awaslah, bajingan pencuri! Kalian berkelahi melawan orang yang keliru kali ini!"

Si pendeta menatap dingin ke arah Gonnosuke. "Kau tidak layak dirampok. Kau tahu itu. Kalau kau tidak lebih pintar dari itu, kenapa pula kau mencoba jadi mata-mata?"

"Kausebut aku mata-mata?"

"Anjing Tokugawa! Buang tongkatmu. Kebelakangkan tanganmu. Dan jangan coba berbuat sesuatu yang konyol."

"Ah!" keluh Gonnosuke, seakan-akan kehendak untuk berkelahi sudah tak ada lagi dalam dirinya. "Coba dengar! Kau keliru. Aku memang datang dari Edo, tapi aku bukan mata-mata. Namaku Muso Gonnosuke. Aku ini shugyosha."

"Silakan saja kau berbohong."

"Kenapa kaukira aku mata-mata?"

"Belum lama ini, teman-teman kami di timur, menyuruh kami hati-hati pada lelaki yang berjalan dengan seorang anak lelaki. Kau dikirim kemari oleh Yang Dipertuan Hojo dari Awa, kan?"

"Tidak."

"Buang tongkat itu dan ayo ikut kami baik-baik."

"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu."

"Kalau begitu, kau akan man di tempat ini juga."

Gensuke dan Sugizo mulai mendesak dari depan dan belakang, dengan lembing siap beraksi.

Agar Iori lepas dari bahaya, Gonnosuke menepuk punggungnya. Sambil memekik keras, Iori jatuh ke dalam semak-semak yang menutupi dasar jurang.

Sementara itu, Gonnosuke menverbu Sugizo, disertai suara menggeledek, "Y a-a-h!"

Untuk dapat mencapai sasarannva, lembingnya membutuhkan ruang dan saat yang tepat. Sugizo menjulurkan tangan untuk menusukkan senjatanya ke depan, tapi tidak memperoleh saat yang tepat. Pekik parau keluar dari tenggorokannya, ketika ujung lembing menetak udara tipis. Gonnosuke mengempaskan diri ke tubuhnya, dan ia rebah ditimpa Gonnosuke. Ketika ia mencoba berdiri, Gonnosuke menghantamkan tinju kanan ke wajahnya. Sugizo meringis, tapi akibatnya menggelikan, karena wajah itu sudah ber­lumuran darah. Gonnosuke berdiri, menginjak kepala Sugizo sebagai papan loncatan, untuk mencapai ujung jembatan.

Dengan tongkat terpasang, pekiknya, "Aku tunggu di sini. Pengecut-pengecut!"

Belum selesai ia memekik, tiga utas tali sudah melintas rumput. Yang satu diberati gagang pedang, yang lain pedang pendek bersarung. Satu tali melilit tangan Gonnosuke, yang lain kedua kakinya, dan yang ketiga lehernya. Sesaat kemudian, satu tali lagi melilit tongkatnya.

Gonnosuke menggeliat-geliat seperti serangga terjerat sarang labah-labah, tapi tidak lama. Setengah lusin orang berlarian keluar dari hutan di belakangnya. Begitu mereka selesai meringkusnya, Gonnosuke terbaring tak berdaya di tanah, terikat lebih erat daripada seikat jerami. Terkecuali pendeta bermuka masam itu, semua orang yang menangkapnya mengenakan pakaian pedagang tali.

"Tak ada kuda?" tanya si pendeta. "Aku tak ingin menyuruhnya jalan sampai Gunung Kudo."

"Mungkin kita bisa menyewa kuda di Desa Amami."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP