Sabtu, 15 Juli 2017

Di Waktu Fajar

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg


MUSASHI tiba diShimonoseki beberapa hari sebelumnya. Karena ia tak kenal siapa pun di sana dan tak seorang pun mengenalnya pula, maka ia dapat melewatkan waktunya dengan tenang, tidak terganggu oleh para penjilat dan tukang campur tangan.

Pagi hari tanggal sebelas, ia menyeberangi Selat Kammon ke Moji untuk mengunjungi Nagaoka Sado, dan menegaskan kesepakatannya atas waktu dan tempat pertarungan yang telah ditetapkan.

Seorang samurai menerimanya di pendopo sambil menatapnya tanpa malu-malu, sementara dalam kepalanya terlintas pemikiran, "Jadi, inilah Miyamoto Musashi yang terkenal itu!" Namun yang diucapkan pemuda itu hanyalah, "Tuan saya masih di benteng, tapi sebentar lagi akan datang. Silakan masuk dan menanti."

"Terima kasih, tapi saya tak punya urusan lain dengan beliau. Kalau Anda tidak keberatan menyampaikan pesan saya..."

"Ah, tapi Anda sudah datang begitu jauh. Beliau akan kecewa sekali, tidak berjumpa dengan Anda. Kalau Anda memang mesti pergi, setidaknya biarkan saya menyampaikan pada yang lain-lain bahwa Anda ada di sini."

Belum lagi ia menghilang masuk rumah, Iori sudah datang berlari-lari, dan langsung masuk pelukan Musashi.

"Senseil'

Musashi menepuk-nepuk kepalanya. "Apa kau sudah belajar, seperti anak yang baik!"

"Ya, Pak."

"Sudah jangkung sekali kau!"

"Apa Bapak tahu, saya ada di sini?"

"Ya, Sado mengatakan padaku dalam surat. Aku juga mendengar tentang kau di tempat Kobayashi Tarozaemon di Sakai. Aku senang kau ada di sini. Tinggal di rumah macam ini baik buatmu." Iori tampak kecewa, tapi tak tapi tak mengatakan apa-apa.

"Ada apa?" tanya Musashi. "Kau tak boleh lupa, Sado sudah bersikap baik sekali padamu."

"Ya, Pak."

"Kau mesti belajar lebih banyak selain berlatih seni bela diri. Kau mesti belajar dari buku-buku. Dan biarpun kau mesti jadi orang pertama yang menolong orang jika diperlukan, kau mesti mencoba lebih rendah hati dari anak-anak lain."

"Ya, Pak."

"Dan jangan jatuh dalam perangkap rasa kasihan pada diri sendiri. Banyak anak macam kau, yang kehilangan ayah dan ibu, berbuat begitu. Kau tak dapat membayar kebaikan hati orang lain, kecuali jika kau juga hangat dan baik hati."

"Ya, Pak."

"Kau memang pandai sekali, Iori, tapi hati-hati. Jangan sampai pendidikan kasar inilah yang menguasaimu. Kendalikan dirimu baik-baik. Kau masih kanak-kanak, di hadapanmu terbentang hidup yang panjang. Jagalah hidup itu baik-baik. Selamatkan dia, sebelum kau dapat mengarahkannya kepada hal yang sungguh-sungguh baik—kepada negerimu, kehormatanmu, kepada Jalan Samurai! Berpeganglah pada hidupmu, dan jadikan hidupmu itu tulus dan berani."

Iori mendapat kesan berat bahwa ini saat perpisahan, perpisahan terakhir. Gerak hatinya barangkali menyatakan demikian juga kepadanya, bahkan seandainya Musashi tidak bicara tentang hal-hal serius macam itu. Diucapkannya kata "hidup" itulah yang menimbulkan kesan tersebut. Begitu Musashi mengatakannya, kepala Iori langsung terbenam dalam dada Musashi. Anak itu tersedu-sedan tanpa dapat dikendalikan lagi.

Musashi kini menyesali khotbahnya, karena dilihatnya Iori terawat baik sekali-rambutnya tersisir dan terikat baik, dan kaus kakinya yang putih tampak bersih sekali. "Jangan menangis," katanya.

"Tapi bagaimana kalau Bapak..."

"Hentikan tangis itu. Dilihat orang banyak nanti."

"Pak, Bapak pergi ke Funashima lusa?"

"Ya, mesti."

"Saya minta Bapak menang. Saya tak mau kalau sampai tidak melihat Bapak lagi."

"Ha, ha. Kau menangis karena itu, ya?"

"Sebagian orang bilang, Bapak tak bisa mengalahkan Kojiro. Kalau begitu, mestinya Bapak jangan bersedia melawan dia."

"Aku tidak heran. Orang banyak selalu omong macam itu."

"Padahal Bapak bisa menang, kan, Sensei?"

"Aku tak mau membuang waktu memikirkan soal itu."

"Maksudnya, Bapak yakin takkan kalah?"

"Sekalipun kalah, aku berjanji akan bersikap berani."

"Tapi kalau menurut Bapak akan kalah, kenapa tidak pergi saja ke tempat lain buat sementara waktu?"

"Selalu ada benih kebenaran dalam desas-desus yang seburuk-buruknya, Iori. Aku bisa saja berbuat kekeliruan, tapi sekarang... sesudah perkembangan sekian jauh, lari berarti meninggalkan Jalan Samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang-orang lain."

"Tapi Bapak sudah mengatakan, saya mesti berpegang pada hidup saya dan menjaganya baik-baik, kan?"

"Memang betul, dan kalau nanti orang menguburkan aku di Funashima, biarlah itu menjadi pelajaran buatmu. Hindari terlibat perkelahian yang akan berakhir dengan membuang nyawa." Karena merasa telah berlebihan, Musashi mengubah pokok pembicaraan. "Aku sudah minta salam hormatku disampaikan kepada Nagaoka Sado. Kuminta kau menyampaikannya juga, dan sampaikan pada beliau, aku akan bertemu dengannya di Funashima."

Pelan-pelan Musashi melepaskan diri dari anak itu. Ia menuju pintu gerbang, dan Iori bergayut pada topi anyaman yang dipegangnya. "Jangan... Tunggu..." Hanya itu yang dapat dikatakannya. Satu tangan lagi ia tutupkan ke wajahnya, dan bahunya berguncang.

Nuinosuke datang lewat pintu di samping pintu gerbang, dan memperkenalkan diri pada Musashi.

"Iori rupanya enggan melepaskan Anda, dan saya cenderung bersimpati padanya. Saya yakin Anda punya urusan-urusan lain yang mesti diselesaikan, tapi apa tak bisa Anda menginap semalam saja di sini?"

Musashi membalas bungkukan badan Nuinosuke, katanya. "Terima kasih saya ucapkan atas undangan ini, tapi saya kira saya tak bisa menerimanya. Dalam beberapa hari ini, barangkali saya akan tidur buat selamanya. Saya pikir tidak benar, kalau sekarang saya membebani orang lain. Itu bisa menjadi hal memalukan di belakang hari."

"Anda sungguh baik budi, tapi saya kuatir tuan saya akan marah sekali pada kami, karena membiarkan Anda pergi."

"Akan saya kirimkan surat kepada beliau, untuk menjelaskan segalanya. Saya datang hari ini hanya untuk menyatakan hormat. Saya pikir, saya harus pergi sekarang."

Di luar pintu gerbang, ia membelok ke arah pantai, tapi belum sampai separuh jalan, ia mendengar suara-suara yang memanggilnya dari belakang. Ketika ia menoleh, dilihatnya sejumlah samurai Keluarga Hosokawa yang tampak sudah tua, dua di antaranya berambut putih. Karena tak mengenal orang-orang itu, ia simpulkan mereka menegur orang lain, dan ia berjalan terus.

Sampai di pantai, ia berdiri memandang ke arah laut. Sejumlah perahu nelayan membuang jangkar tidak jauh dari sana, layarnya tampak kelabu dalam cahaya berkabut di awal petang itu. Jauh di sana tampak sosok Pulau Hikojima yang lebih besar. Garis pantai Pulau Funashima hampir tak terlihat.


"Musashi!"

"Anda Miyamoto Musashi, kan?"

Musashi membalik menghadapi mereka. Ia heran, ada urusan apa kiranya antara para prajurit berumur lanjut ini dengannya.

"Anda tak ingat kami, ya? Saya pikir memang tak ingat, karena sudah terlalu lama. Nama saya Utsumi Magobeinojo. Kami berenam ini semua dari Mimasaka. Kami dulu bekerja pada Keluarga Shimmen di Benteng Takeyama."

"Dan saya Koyama Handayu. Magobeinojo dan saya adalah sahabat dekat ayah Anda."

Musashi tersenyum lebar. "Wah, kalau begitu, ini kejutan besar!" Cara bicara mereka yang dipanjangkan bunyi-bunyinya itu tidak salah lagi adalah cara bicara kampung halamannya, dan itu membangkitkan kenangannya akan masa kecilnya. Sesudah membungkuk pada masing-masing dari mereka, kata Musashi, "Saya senang bertemu dengan Anda sekalian. Tapi saya ingin tahu, bagaimana kejadiannya maka Anda sekalian sampai di tempat ini, tempat yang begini jauh dari rumah?"

"Seperti Anda ketahui, Keluarga Shimmen bubar sesudah Pertempuran Sekigahara. Kami menjadi ronin, melarikan diri ke Kyushu, dan sampai di Provinsi Buzen ini. Untuk sementara, demi penghidupan, kami menganyam sepatu kuda dari jerami. Kemudian kami mendapat nasib baik."

"Betul? Terus terang, saya tidak pernah menduga akan bertemu dengan teman-teman ayah saya di Kokura."

"Dan bagi kami sendiri pun, ini merupakan kegembiraan yang tak terduga. Anda sungguh samurai yang tampan, Musashi. Sayang sekali, ayah Anda tak ada di sini untuk melihat Anda."

Beberapa menit lamanya mereka saling berkomentar tentang ketampanan Musashi. Kemudian Magobeinojo berkata, "Ah, bodoh juga saya ini. Saya lupa tujuan kami mengikuti Anda. Baru saja tadi kami kehilangan jejak Anda di rumah Sado. Rencana kami menemani Anda satu malam saja. Semua ini sudah dipersiapkan bersama Sado."

Handayu menimpali, "Betul. Sungguh kasar sekali, Anda hanya sampai di pintu depan, dan pergi lagi tanpa bertemu Sado. Anda putra Shimmen Munisai. Soal itu Anda mesti lebih tahu dari kami. Sekarang mari kembali bersama kami." Agaknya ia merasa, karena ia teman ayah Musashi, ia berkuasa memberi perintah-perintah kepada sang anak. Tanpa menanti jawaban, ia mulai berjalan, dengan harapan Musashi akan mengikuti.

Musashi sebetulnya sudah hampir mengikuti mereka, tapi tidak jadi.

"Maaf," katanya. "Saya tak bisa pergi. Saya minta maaf telah berlaku demikian kasar, tapi salah kalau saya ikut dengan Anda sekalian."

Semua orang terkejut. Magobeinojo berkata, "Salah? Apa salahnya? Kami ingin memberikan sambutan layak pada Anda... karena persamaan kampung dan semua yang lain itu."

"Sado juga mengharapkan bertemu dengan Anda. Anda tak ingin menyinggung perasaannya, bukan?"

Magobeinojo menambahkan dengan suara kesal, "Ada apa memangnya? Apa Anda marah karena suatu hal?"

"Saya ingin ke sana," kata Musashi sopan, "tapi ada hal-hal yang mesti dipertimbangkan. Barangkali ini cuma desas-desus, tapi saya mendengar bahwa pertarungan saya dengan Kojiro ini menjadi sumber perpecahan antara dua abdi tertua dalam Keluarga Hosokawa, Nagaoka Sado dan Iwama Kakubei. Orang bilang, pihak Iwama mendapat dukungan Yang Dipertuan Tadatoshi, dan Nagaoka mencoba memperkuat pihaknya sendiri dengan menentang Kojiro."

Kata-kata ini disambut dengan bisik-bisik terkejut.

"Saya yakin," sambung Musashi, "bahwa ini tak lebih dari spekulasi iseng, namun pembicaraan umum itu berbahaya. Apa pun yang terjadi dengan seorang ronin seperti saya ini sebetulnya tidak banyak artinya, tapi saya takkan melakukan sesuatu untuk mengipasi desas-desus itu dan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan terhadap Sado ataupun Kakubei. Mereka berdua adalah orang-orang yang berharga di dalam perdikan."

"Begitu," kata Magobeinojo.

Musashi tersenyum. "Nah, setidak-tidaknya, itulah alasan saya. Terus terang, karena saya anak kampung, sukar bagi saya mesti duduk dan berlaku sopan sepanjang petang. Lebih baik saya bersantai."

Mereka terkesan sekali oleh pertimbangan Musashi yang mementingkan orang lain itu, namun enggan berpisah dengannya, karena itu mereka berkumpul membicarakan keadaan tersebut.

"Hari ini tanggal sebelas bulan empat," kata Handayu. "Selama sebelas tahun terakhir, kami berenam selalu berkumpul pada tanggal ini. Kami punya aturan keras untuk tidak mengundang orang luar, tapi Anda datang dari kampung yang sama dengan kami, dan Anda anak Munisai, karena itu kami ingin meminta Anda bergabung dengan kami. Bukan sebangsa hiburan yang hendak kami hidangkan, tapi Anda tak perlu kuatir mesti bersikap sopan, dilihat orang, atau dibicarakan orang."

"Kalau demikian," kata Musashi, "tak bisa lagi saya menolak."

Jawaban tersebut sangat menyenangkan samurai tua itu. Mereka berembuk lagi sebentar, lalu diputuskan bahwa Musashi akan menemui seorang dari mereka, yang bernama Kinami Kagashiro, beberapa jam kemudian, di depan warung teh. Lalu mereka berpisah.

Musashi menjumpai Kagashiro pada jam yang telah ditetapkan, dan mereka berjalan sekitar dua kilometer dari pusat kota, ke suatu tempat dekat Jembatan Itatsu. Musashi tidak melihat rumah samurai ataupun restoran. Tak satu pun yang kelihatan, kecuali lampu sebuah warung minum, dan sebuah penginapan murah yang terletak beberapa jauh dari sana.

Sebagai orang yang selalu waspada, ia mulai menimbang-nimbang kemungkinan. Sebetulnya tidak ada yang mencurigakan pada cerita mereka; mereka tampak sesuai dengan umurnya, dan dialek mereka cocok dengan yang mereka ceritakan. Tapi kenapa pula pergi ke tempat terpencil begini?

Kagashiro meninggalkannya, pergi ke arah tepi sungai. Kemudian ia panggil Musashi, katanya, "Semua sudah datang. Mari turun sini," dan mendahului menyusuri jalan sempit di atas tanggul.

"Barangkali pesta di perahu," pikir Musashi sambil tersenyum memikirkan betapa berlebihan ia berjaga-jaga. Namun tidak kelihatan ada perahu. Sebaliknya, ia dapati mereka duduk di tikar-tikar buluh, dengan gaya resmi.

"Maafkan kami, membawa Anda ke tempat seperti ini," kata Magobeinojo. "Di sinilah kami biasa mengadakan pertemuan. Kami rasa, nasib baik khususlah yang telah menyatukan Anda dengan kami. Silakan duduk dan istirahat sebentar." Dengan gaya cukup resmi, yang lebih tepat untuk mempersilakan seorang tamu terhormat memasuki kamar tamu yang elok, dengan shoji berlapis perak, ia menyorongkan selembar tikar pada Musashi.

Musashi bertanya-tanya dalam hati, inikah gagasan mereka tentang cara mengekang diri yang elegan, atau ada alasan khusus untuk tidak bertemu di tempat yang lebih terbuka? Tapi, sebagai tamu, ia terpaksa berlaku sebagai tamu. Setelah membungkuk, ia duduk rapi di tikar.

"Silakan duduk yang enak," desak Magobeinojo. "Nanti kita adakan pesta kecil, tapi mula-mula kita mesti melakukan upacara. Takkan makan waktu lama."

Keenam orang itu mengatur kembali letak duduk mereka secara lebih leluasa, masing-masing mengeluarkan berkas jerami yang mereka bawa, dan mulai menganyam sepatu kuda dari jerami itu. Dengan mulut tertutup rapat, dan mata yang tak pernah berhenti memandang pekerjaan di tangan, mereka tampak khidmat, bahkan saleh. Musashi memperhatikan dengan sikap hormat. Ia merasakan kekuatan dan kegairahan di dalam gerak mereka ketika meludah ke tangan, menjalin, dan menganyamnya di antara kedua telapak tangan.

"Saya kira ini cukup," kata Handayu sambil meletakkan sepasang sepatu kuda yang telah diselesaikannya, dan memandang kepada yang lain-lain. "Saya juga sudah selesai."

Mereka semua meletakkan sepatu kuda di hadapan Handayu, mengipasngipas dan merapikan pakaian. Handayu menimbun seluruh sepatu kuda di meja kecil di tengah rombongan samurai itu, kemudian Magobeinojo yang tertua berdiri.

"Sekarang ini tahun kedua belas sejak Pertempuran Sekigahara. Hari kekalahan yang tak pernah terhapus dari kenangan kita. Kita semua hidup lebih lama daripada yang dapat kita harapkan. Ini berkat perlindungan dan karunia Yang Dipertuan Hosokawa. Kita harus berusaha, agar anak-anak dan cucu kita ingat akan kebaikan Yang Dipertuan kepada kita ini."

Bisik-bisik tanda setuju terdengar di antara orang-orang itu. Mereka duduk dengan sikap takzim dan mata tertunduk.

"Kita juga harus senantiasa ingat kemurahan hati kepala-kepala Keluarga Shimmen, sekalipun keluarga besar itu tak ada lagi. Kita pun tak boleh melupakan kesengsaraan dan keputusasaan yang pernah kita alami ketika datang kemari. Untuk mengingatkan diri akan ketiga hal itulah kita mengadakan pertemuan ini tiap tahun. Sekarang marilah kita saling mendoakan kesehatan dan kesejahteraan masing-masing."

Secara bersamaan orang-orang itu menjawab, "Kebaikan Yang dipertuan Hosokawa, kemurahan hati Keluarga Shimmen, dan karunia surga yang membebaskan kita dari kesengsaraan... sehari pun tak akan kita lupakan."

"Sekarang bungkukkan badan," kata Magobeinojo.

Mereka membalikkan badan ke arah dinding putih Benteng Kokura yang kelihatan samar-samar di bentangan langit gelap, dan membungkuk sampai ke tanah. Kemudian mereka menghadap ke Provinsi Mimasaka dan membungkuk lagi. Akhirnya mereka menghadap ke sepatu-sepatu kuda dan membungkuk untuk ketiga kalinya. Setiap gerakan dilakukan dengan kesungguhan dan ketulusan yang luar biasa.

Kepada Musashi, Magobeinojo berkata, "Sekarang kami pergi ke tempat suci di atas, untuk memberikan persembahan sepatu kuda. Sesudah itu, pesta dapat kita mulai. Saya persilakan Anda menanti di sini."

Pemimpin upacara mengangkat meja berisi sepatu-sepatu kuda itu setinggi dahi, dan yang lain mengikuti satu-satu. Mereka ikatkan hasil kerajinan tangan mereka itu ke cabang-cabang sebuah pohon di samping pintu masuk tempat suci. Kemudian, sesudah mengatupkan tangan satu kali ke hadapan para dewa, mereka menggabungkan diri kembali dengan Musashi.

Hidangan yang disajikan itu sangat sederhana—keladi rebus, rebung dengan empleng buncis, dan ikan kering—jenis makanan yang biasa dimakan di rumah-rumah petani setempat. Tapi sake tersedia dalam jumlah banyak, ditambah banyak tawa dan percakapan.

Ketika suasana sudah berubah menjadi ramah-tamah, Musashi berkata, "Sungguh suatu kehormatan mendapat undangan bergabung dengan Anda sekalian, tapi yang menjadi pertanyaan saya adalah upacara Anda sekalian yang sederhana itu. Tentunya upacara itu khusus sekali artinya bagi Anda sekalian."

"Memang," kata Magobeinojo. "Ketika kami datang kemari sebagai prajurit-prajurit yang kalah perang, tak ada orang yang dapat kami mintai pertolongan. Lebih baik kami mati daripada mencuri, tapi kami mesti makan. Akhirnya kami mendapat gagasan untuk mendirikan warung di dekat jembatan itu, dan membuat sepatu kuda. Tangan kami sudah mati rasa oleh berlatih lembing, dan karenanya dibutuhkan usaha untuk belajar menganyam jerami. Kami lakukan pekerjaan itu tiga tahun lamanya, dan kami jual basil kerja kami kepada tukang-tukang kuda yang sedang lewat, sekadar untuk dapat tetap hidup.

"Tukang-tukang kuda mulai curiga bahwa menganyam jerami bukan pekerjaan kami yang sebenarnya, dan akhirnya ada yang menyampaikan kepada Yang Dipertuan Hosokawa Sansai tentang kami. Ketika mengetahui bahwa kami bekas pengikut Yang Dipertuan Shimmen, beliau mengirim orang untuk menawarkan kedudukan pada kami."

Ia berkata, Yang Dipertuan Sansai menawarkan penghasilan kolektif sebesar lima ribu gantang, tapi mereka menolak. Mereka bersedia mengabdi pada beliau secara jujur, tapi mereka merasa hubungan tuan-dengan-pengikut itu mesti ditegakkan atas dasar pribadi-dengan-pribadi. Sansai dapat memahami perasaan mereka, dan mengajukan tawaran lain berupa penghasilan perorangan. Beliau dapat memahami ketika para abdinya menyatakan mungkin keenam ronin itu tidak dapat berpakaian pantas untuk dihadapkan kepada Yang Dipertuan. Namun ketika disarankan pengeluaran khusus untuk pakaian, Sansai menolak, karena hal itu akan menimbulkan rasa malu mereka.

Sesungguhnya kekuatiran itu tidak beralasan, karena berapa pun dalamnya mereka tenggelam, ternyata mereka masih dapat mengenakan pakaian berkanji lengkap dengan dua bilah pedang, ketika mereka menerima pengangkatan.

"Takkan sukar melupakan, betapa berat hidup kami selama melakukan pekerjaan kasar itu. Kalau kami tidak bersatu padu, tak bakal kami sempat hidup, untuk akhirnya dipekerjakan oleh Yang Dipertuan Sansai. Kami tak boleh lupa, bahwa nasib baik telah menyelamatkan kami pada tahun-tahun itu."

Sambil mengakhiri ceritanya, ia mengangkat mangkuk, dan katanya, "Maafkan saya sudah bicara demikian panjang tentang diri kami. Saya hanya ingin Anda mengetahui bahwa kami adalah orang-orang yang berkemauan baik, sekalipun sake kami bukan kualitas kelas satu dan makanan kami tidak terlalu banyak. Kami harap Anda memperlihatkan perjuangan berani besok lusa. Dan jangan kuatir, kalau Anda kalah, kami akan menguburkan tulang-tulang Anda."

Sambil menerima mangkuk, jawab Musashi, "Saya merasa mendapat kehormatan berada di tengah Anda sekalian. Ini lebih baik daripada minum sake yang paling baik di rumah gedung terindah. Saya hanya berharap, saya semujur Anda sekalian."

"Jangan berharap demikian! Anda akan terpaksa belajar menganyam sepatu kuda seperti kami."

Tiba-tiba bunyi tanah yang merosot menghentikan tawa mereka. Mata mereka mengarah ke tanggul. Di sana mereka melihat sosok tubuh orang yang meringkuk seperti kelelawar.

"Siapa di sana?" teriak Kagashiro yang seketika berdiri. Seorang lagi bangkit sambil menghunus pedang, lalu kedua orang itu mendaki tanggul dan menatap kabut.

Sambil tertawa, Kagashiro berseru ke bawah, "Rupanya salah seorang pengikut Kojiro. Barangkali kita dikira pendukung Musashi yang sedang mengadakan sidang strategi rahasia. Dia sudah lari sebelum kita melihatnya baik-baik."

"Saya bisa mengerti, kalau para pendukung Kojiro melakukan itu," ujar seorang dari mereka.

Suasana tetap gembira, tapi Musashi kini memutuskan untuk tidak berlama-lama tinggal di situ. Hal yang paling tidak diinginkannya adalah menimbulkan kerugian pada orang-orang ini di kemudian hari. la mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kebaikan hati mereka, dan meninggalkan mereka dalam pesta itu, serta berjalan santai ke dalam kegelapan.

Setidak-tidaknya, ia kelihatan santai.


Kemarahan terpendam Nagaoka karena orang membiarkan saja Musashi meninggalkan rumahnya itu menimpa beberapa orang, tapi ia menanti sampai pagi hari tanggal dua belas untuk mengirim orang-orangnya mencari Musashi.

Ketika orang-orang itu melaporkan bahwa mereka tak dapat menemukan Musashi—dan tidak tahu di mana kira-kira ia berada—alis Sado yang putih melonjak cemas. "Apa pula yang sudah terjadi dengannya? Mungkinkah..." Sampai di situ, ia tak lagi melanjutkan jalan pikirannya.

Pada tanggal dua belas itu juga, Kojiro berkunjung ke benteng dan diterima dengan hangat oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Mereka minum sake bersama, kemudian Kojiro pulang dengan semangat tinggi, mengendarai kuda muda kesayangannya.

Petang hari, seluruh kota berdengung oleh desas-desus.

"Musashi barangkali ketakutan dan lari."

"Tak sangsi lagi. Dia menghilang."

Malam itu Sado tak dapat tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu tak mungkin terjadi—Musashi bukan jenis orang yang akan lari.... Namun bukan tidak pernah terjadi, bahwa orang yang tampaknya dapat diandalkan, tiba-tiba patah semangat karena tekanan batin. Kuatir akan terjadi hal terburuk, Sado sudah membayangkan ia mesti melakukan bunuh diri, satu-satunya pemecahan terhormat kalau Musashi yang telah direkomendasikannya itu gagal memperlihatkan diri.

Fajar yang terang cemerlang pada tanggal tiga belas menyaksikannya berjalan di kebun bersama Iori, seraya berulang-ulang bertanya pada diri sendiri, "Apa aku keliru? Apa aku salah menilai orang itu?"

"Selamat pagi, Pak." Wajah Nuinosuke yang lelah muncul di pintu samping.

"Kau menemukan dia?"

"Tidak, Pak. Tak seorang pun pemilik penginapan melihat orang yang mirip dia."

"Apa kau sudah tanya di kuil-kuil?"

"Kuil, dojo-semua tempat lain yang biasa dikunjungi murid seni bela diri telah kami datangi. Magobeinojo dan rombongannya keluar sepanjang malam dan..."

"Mereka belum datang." Sado mengernyitkan alis. Lewat dedaunan pohon prem yang segar, kelihatan olehnya laut. Ombak laut seolah mengempas ke dadanya sendiri. "Sungguh aku tak mengerti!"

"Tak dapat ditemukan di mana pun, Pak?"

Satu demi satu para pencari kembali, lelah dan kecewa. Mereka berkumpul di dekat beranda dan membicarakan hal itu dengan nada marah dan putus asa.

Menurut Kinami Kagashiro yang telah melewati rumah Sasaki Kojiro, beberapa ratus pendukung telah berkumpul di luar pintu gerbang. Pintu masuk dihiasi bendera dengan mahkota bunga gentian khusus untuk pesta, dan tirai emas dipasang langsung di depan pintu yang akan dilewati Kojiro pada waktu keluar. Pada waktu fajar, berkelompok-kelompok pengikut pergi ke tempat suci utama, untuk berdoa bagi kemenangannya.

Kemuraman berat menimpa semua orang di rumah Sado, tapi beban itu terutama dirasakan oleh orang-orang yang mengenal ayah Musashi. Mereka merasa dikhianati. Kalau Musashi berkhianat, mereka akan kehilangan muka di depan para rekan samurai atau dunia pada umumnya.

Ketika Sado menyuruh mereka bubar, Kagashiro bersumpah, "Akan kami temukan bajingan itu. Kalau tidak hari ini, tentu hari lain. Dan kalau kami temukan, kami bunuh dia."

Sado kembali ke kamarnya sendiri, dan menyalakan setanggi di tempat pembakaran, seperti dilakukannya tiap hari. Nuinosuke melihat kemurungan dalam ketenangan gerak-geriknya. "Dia sedang menyiapkan diri," pikirnya. Ia sendiri sedih memikirkan perkembangan peristiwa ini.

Justru pada waktu itu Iori yang berdiri di ujung halaman, sedang memandangi laut, menoleh dan bertanya, "Apa sudah Bapak coba rumah Kobayashi Tarozaemon?"

Secara naluriah Nuinosuke sadar bahwa kata-kata Iori itu menunjukkan jalan. Tak seorang pun pergi ke tempat perantara kapal itu, padahal itu tempat yang memang mungkin dipilih Musashi untuk menyembunyikan diri dari penglihatan orang.

"Anak itu betul!" ujar Sado, wajahnya menjadi cerah. "Kita semua sungguh bodoh! Pergi ke sana sekarang juga!"

"Saya ikut," kata Iori.

"Apa boleh dia ikut, Pak?"

"Ya, dia boleh pergi. Cepat sekarang... oh, tunggu sebentar."

Ia menulis surat dengan cepat, dan menjelaskan pada Nuinosuke tentang isinya: "Sasaki Kojiro akan menyeberang ke Funashima dengan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Ia akan sampai pukul delapan. Anda masih bisa sampai pada waktu itu. Saya sarankan Anda datang kemari untuk membuat persiapan. Akan saya sediakan perahu yang akan membawa Anda mencapai kemenangan mulia."

Atas nama Sado, Nuinosuke dan Iori memperoleh perahu cepat dari kepala perahu perdikan. Mereka menjalankan perahu itu ke Shimonoseki secepat-cepatnya, kemudian langsung menuju perusahaan Tarozaemon.

Menjawab pertanyaan mereka, seorang pengawal berkata, "Saya tak tahu seluk-beluknya, tapi kelihatannya ada satu samurai muda yang tinggal di rumah majikan saya itu."

"Itu dia! Kita temukan." Nuinosuke dan Iori saling menyeringai, dan cepat-cepat menempuh jarak pendek yang memisahkan perusahaan dengan rumah.

Nuinosuke langsung menghadap Tarozaemon, katanya, "Ini urusan perdikan, dan ini mendesak sekali. Apa Miyamoto Musashi tinggal di sini?"

"Ya."

"Syukurlah. Majikan saya begitu gelisah. Sekarang cepat sampaikan pada Mushashi, saya ada di sini."

Tarozaemon masuk rumah, dan muncul kembali sebentar kemudian, sambil berkata, "Dia masih di kamarnya. Masih tidur."

"Tidur?" Nuinosuke terkejut.

"Dia jaga sampai larut malam tadi, bicara dengan saya sambil minum sake. "

"Ini bukan waktunya tidur. Bangunkan dia. Sekarang juga!"

Pedagang itu tidak mau ditekan, dan mempersilakan Nuinosuke dan Iori masuk kamar tamu. Sebelum pergi, ia membangunkan Musashi. Ketika kemudian Musashi menemui mereka, ia tampak tenang sekali, matanya sejernih mata bayi.

"Selamat pagi," katanya riang, sambil duduk. "Apa yang bisa saya bantu?"

Nuinosuke menjadi kendur semangat mendengar sapaan acuh tak acuh itu, dan tanpa mengatakan sesuatu, ia menyerahkan surat Sado.

"Sungguh baik hati beliau menulis ini," kata Musashi sambil mengangkat surat itu ke dagu, sebelum melepas materainya dan membukanya. Iori menghunjamkan pandangan pada Musashi, yang waktu itu menunjukkan sikap seolah ia tidak ada di sana. Sesudah membaca surat, ia gulung surat itu, katanya, "Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian beliau." Baru pada waktu itulah ia memandang Iori, hingga anak itu menundukkan kepala untuk menyembunykan air matanya.

Musashi menulis jawaban, dan menyerahkannya pada Nuinosuke. "Sudah saya jelaskan segalanya dalam surat ini," katanya, "tapi sungguh-sungguh sampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat baginya." Ia menambahkan bahwa mereka tak usah kuatir. Ia akan pergi ke Funashima pada waktu yang tepat baginya.

Tak ada yang dapat mereka perbuat, kecuali meninggalkan tempat itu. Iori tak mengucapkan sepatah kata pun kepada Musashi, demikian pula sebaliknya. Namun keduanya saling bertukar kesetiaan sebagai guru dan murid.


Ketika Sado membaca jawaban Musashi, rasa lega menghiasi wajahnya. Surat itu menyatakan:


Saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas tawaran Bapak, berupa perahu untuk membawa saya ke Funashima. Saya merasa tidak pantas menerima kehormatan itu. Selain itu, saya merasa tidak bisa menerimanya. Saya harap Bapak mempertimbangkan sendiri. Kojiro dan saya saling berhadapan sebagai lawan, dan ia menggunakan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Kalau saya pergi ke sana dengan perahu Bapak, akan kelihatan Bapak melawan Yang Dipertuan. Saya pikir tidak pada tempatnya kalau Bapak melakukan sesuatu atas nama saya.

Mestinya saya sampaikan hal ini sebelumnya, tapi saya memang menahan diri, karena tahu Bapak akan berkeras membantu saya. Daripada melibatkan Bapak, lebih baik saya tinggal di rumah Tarozaemon. Saya akan menggunakan salah satu perahunya untuk pergi ke Funashima, pada waktu yang menurut saya tepat. Tentang itu Bapak boleh merasa yakin.


Sado begitu terkesan, hingga ia pandangi tulisan itu beberapa waktu lamanya, tanpa berkata-kata. Surat itu nadanya baik, rendah hati, penuh pertimbangan, penuh tenggang rasa, dan kini ia merasa malu, karena pada hari sebelumnya ia demikian gelisah.

"Nuinosuke."

"Ya, Pak."

"Bawa surat ini, tunjukkan pada Magobeinojo dan teman-temannya, juga pada orang-orang lain yang berkepentingan."

Ketika Nuinosuke baru saja berangkat, seorang pembantu datang dan mengatakan, "Kalau urusan Bapak sudah selesai, sebaiknya Bapak bersiap berangkat sekarang."

"Tentu, tapi masih banyak waktu sekarang," jawab Sado tenang.

"Sekarang ini tidak terlalu pagi lagi. Kakubei sudah berangkat."

"Itu urusan dia. Iori, coba kemari sebentar."

"Ya Pak?"

"Apa kau ini lelaki, Iori?"

"Saya kira begitu."

"Apa menurutmu kau bisa menahan tangis, apa pun yang terjadi?"

"Ya, Pak."

"Bagus. Kalau begitu, kau boleh pergi ke Funashima denganku, sebagai pembantuku. Tapi ingat satu hal: ada kemungkinan kita mesti mengambil mayat Musashi dan membawanya pulang. Apa kau tetap bisa menahan tangis?"

"Bisa, Pak. Akan saya tahan, sumpah, akan saya tahan."

Baru saja Nuinosuke bergegas lewat pintu gerbang, seorang perempuan berpakaian lusuh memanggilnya, "Maaf, Pak, apa Bapak abdi rumah ini?"

Nuinosuke berhenti dan memandangnya curiga. "Apa maumu?"

"Maafkan saya. Dengan tampang macam ini, mestinya saya tidak berdiri di depan pintu gerbang Bapak."

"Nah, kalau begitu kenapa kaulakukan?"

"Saya ingin bertanya... tentang pertarungan hari ini. Orang bilang, Musashi lari. Apa itu betul?"

"Perempuan bodoh! Beraninya bicara begitu tentang Miyamoto Musashi! Apa menurutmu dia akan melakukan hal macam itu? Tunggu saja sampai jam delapan, dan kau akan lihat. Aku baru saja bertemu Musashi."

"Bapak bertemu dia?"

"Kau siapa?"

Perempuan itu menundukkan matanya. "Saya kenalan Musashi."

"Hm. Dan masih juga kau kuatir dengan desas-desus tak berdasar itu? Baiklah-aku tergesa-gesa, tapi akan kutunjukkan padamu surat dari Musashi." la bacakan keras-keras surat Musashi pada perempuan itu, tanpa memperhatikan seorang lelaki yang ikut melongok dari belakang dengan mata basah. Begitu sadar akan lelaki itu, ia tarik bahunya, dan katanya, "Kau siapa? Apa maksudmu datang kemari?"

Sambil menghapus air mata, orang itu membungkuk takut-takut. "Maaf. Saya bersama perempuan ini."

"Suaminya?"

"Ya, Pak. Terima kasih sudah ditunjuki surat itu. Saya merasa seperti betul-betul melihat Musashi. Betul tidak, Akemi?"

"Ya, saya merasa jauh lebih tenang sekarang. Mari kita cari tempat buat melihat."

Kemarahan Nuinosuke menguap. "Kalau kalian pergi ke puncak bukit di dekat pantai sana itu, akan kalian lihat Funashima. Dalam cuaca seterang ini, kalian malahan bisa melihat beting karang."

"Kami minta maaf sudah merepotkan, padahal Bapak sedang terburu-buru. Maafkan kami."

Nuinosuke pun berangkat, tapi katanya, "Tunggu sebentar—siapa nama kalian? Kalau tidak keberatan, aku ingin tahu."

Mereka berbalik dan membungkuk. "Nama saya Matahachi. Saya lahir di kampung yang sama dengan Musashi."

"Nama saya Akemi."

Nuinosuke mengangguk, dan berangkat cepat-cepat.

Beberapa waktu lamanya mereka berdua memperhatikannya, saling pandang, kemudian bergegas menuju bukit. Dari sana mereka dapat melihat Funashima menyembul di antara sejumlah pulau lain, juga gunung-gunung di Nagato di kejauhan sana. Mereka tebarkan tikar buluh di tanah, dan duduk. Ombak bergemuruh di bawah mereka, dan satu-dua daun pinus berguguran. Akemi mengambil bayinya dari punggungnya dan mulai menyusuinya. Matahachi memandang mantap ke tengah laut, sambil memeluk lutut.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP