Sabtu, 15 Juli 2017



Sepiring Ikan Lumpur

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg











MUSASHI terus mengembara di pedesaan, menghabiskan waktu dengan berlatih hidup secara kekurangan, menghukum tubuhnya untuk menyempurnakan jiwa. Lebih dari sebelumnya, ia bertekad untuk menempuh semua itu sendirian. Kalau itu berarti ia mesti menanggung lapar, hidup di udara terbuka, di tengah udara dingin dan hujan, serta berkeliling dengan pakaian compang-camping dan kotor, ia biarkan saja. Di dalam hatinya akan tersimpan impian yang takkan pernah terpuaskan jika ia menerima kedudukan sebagai pegawai Yang Dipertuan Date, sekalipun seandaimya Yang Dipertuan itu menawarkan kepadanya seluruh tanah perdikannya yang berpenghasilan tiga juta gantang.

Sesudah melakukan perjalanan panjang naik ke Nakasendo, hanya beberapa malam ia tinggal di Edo, dan kemudian turun ke jalan lagi, kali ini ke utara, menuju Sendai. Uang yang diberikan kepadanya oleh Ishimoda Geki menjadi beban nuraninya. Semenjak menemukan uang itu, ia tahu takkan punya kedamaian, sebelum ia mengembalikannya.

Sekarang, satu setengah tahun kemudian, ia berada di Hotengahara, satu dataran di Provinsi Shimosa, sebelah timur Edo, yang sedikit berubah sejak pemberontak Taira no Masakado dan pasukannya mengamuk melintasi daerah itu pada abad sepuluh. Dataran itu tempat yang suram, baru sedikit dihuni orang, dan tak punya tumbuhan bernilai. Yang ada hanyalah rumput liar, sejumlah pohon, dan beberapa rumpun bambu dan rumput mendong. Matahari yang bergantung rendah di kaki langit memantulkan warna merah di kolam-kolam air yang mandek, rerumputan dan semaksemak menjadi tak berwarna dan tidak tegas kelihatannya.

"Apa lagi sekarang?" gumam Musashi sambil mengistirahatkan kakinya yang letih di persimpangan jalan. Badannya terasa lesu dan masih lembap akibat hujan deras yang menimpanya beberapa hari sebelum itu di Celah Tochigi. Kelembapan malam membuatnya ingin sekali menemukan tempat tinggal manusia. Dua malam terakhir itu, ia tidur di bawah bintang, tapi sekarang ia menginginkan kehangatan perapian dan makanan sungguhan, bahkan juga makanan petani yang sederhana, seperti jewawut yang dimasak campur nasi.

Rasa garam dalam angin yang bertiup menandakan bahwa laut tidak jauh dari tempat itu. Kalau ia menuju ke sana, ia bisa menemukan rumah, barangkali juga desa nelayan atau pelabuhan kecil, demikian pikirnya. Kalau tidak, terpaksa ia mesti puas tinggal semalam lagi di rumput musim gugur, di bawah bulan penuh musim gugur.

Ia menyadari pula dengan nada ironis, bahwa sekiranya ia orang yang berjiwa lebih puitis, ia bisa menikmati detik-detik berada di tengah pemandangan yang sangat tenang itu. Tapi kali ini ia hanya ingin meloloskan diri, berada di tengah orang banyak, menyantap makanan yang pantas, dan beristirahat, namun dengung serangga yang tak henti-hentinya itu seperti membacakan rangkaian doa untuk pengembaraannya yang dilakukan seorang diri.

Musashi berhenti di sebuah jembatan yang penuh kotoran. Bunyi kecipak jelas terdengar, mengatasi desir damai sungai sempit itu. Apakah itu berang-berang? Dalam cahaya sore yang mulai mengabur, ia tajamkan pandangan matanya, sampai ia melihat sesosok tubuh sedang berlutut di dalam lubang di tepi air. Ia mendecap melihat seorang anak lelaki memandang kepadanya. Muka anak itu betul-betul mirip muka berang-berang.

"Apa yang kaulakukan di bawah situ?" seru Musashi dengan suara ramah.

"Ikan lumpur," terdengar jawaban singkat. Anak itu mengguncangguncangkan keranjang anyam di dalam air, untuk membersihkan lumpur dan pasir dari hasil tangkapannya yang menggelepar-gelepar.

"Sudah dapat banyak?" tanya Musashi, yang enggan memutuskan ikatan yang baru ditemukannya dengan manusia lain itu.

"Tak banyak di sini. Sudah musim gugur."

"Boleh aku minta ikan itu?"

"Ikan lumpur ini?"

"Ya, sedikit saja. Akan kubayar."

"Maaf, tapi ini buat ayah saya." Sambil memeluk keranjangnya, anak itu melompat dengan cekatan ke tepi sungai, dan enyah dari situ, seperti tembakan ke dalam kegelapan.

"Cepat juga. Seperti setan." Musashi, yang kembali sendirian, tertawa. Ia teringat akan masa kecilnya sendiri, dan juga akan Jotaro. "Ingin tahu juga aku, apa jadinya anak itu," renungnya. Jotaro berumur empat belas tahun ketika Musashi terakhir bertemu dengannya. Sebentar lagi ia berumur enam belas. "Anak malang. Dia menerimaku sebagai guru, mencintaiku sebagai guru, melayaniku sebagai guru, tapi apa yang kulakukan untuknya? Tak ada."

Karena tenggelam dalam kenangan, ia lupa akan rasa lelahnya. Ia berhenti dan berdiri diam. Bulan sudah naik, terang, dan penuh. Pada malam seperti itu, Otsu suka bermain suling. Di tengah bunyi-bunyi serangga, Musashi serasa mendengar suara tawa Otsu dan Jotaro bersama-sama.

Ketika ia menoleh ke samping, tampak olehnya seberkas cahaya. Dengan seluruh sisa tubuhnya ditolehkannya ke arah itu, dan ia pun berjalan ke sana. Lespedeza tumbuh di seputar gubuk terpencil itu, hampir setinggi atapnya yang miring. Dinding-dinding gubuk tertutup pohon labu, dari kembangnya tampak seperti titik-titik embun yang besar. Ketika mendekat, ia terkejut oleh dengus marah seekor kuda tak berpelana yang ditambat di samping gubuk.

"Siapa itu?"

Musashi mengenali suara dan gubuk itu. Suara anak yang membawa ikan lumpur tadi. Sambil tersenyum, serunya, "Apa boleh aku menginap sini? Aku akan pergi pagi-pagi."

Anak lelaki itu mendekat ke pintu dan mengamati Musashi baik-baik. Sebentar kemudian, katanya, "Baik. Silakan masuk."

Rumah itu sama reyotnya dengan rumah-rumah lain yang pernah dilihat Musashi. Bulan bersinar menerobos celah-celah dinding dan atap. Setelah melepaskan jubahnya, Musashi tak dapat menemukan sangkutan untuk menggantungkan jubah itu. Angin dari bawah menyebabkan lantai berangin, sekalipun lantai itu tertutup tikar buluh.

Anak itu berlutut di depan tamunya, sesuai kebiasaan, dan katanya, "Waktu di sungai tadi, Bapak menginginkan ikan lumpur, kan? Apa Bapak suka ikan lumpur?"

Di tengah lingkungan seperti itu, sikap resmi si anak mengherankan Musashi, hingga ia hanya menatap.

"Apa yang Bapak perhatikan?"

"Berapa tahun umurmu?"

"Dua belas."

Musashi terkesan oleh wajahnya. Wajah anak itu sama kotornya dengan akar bunga teratai yang baru dicabut dari tanah, dan rambutnya panjang dan berbau seperti sarang burung. Namun wajahnya mengekspresikan karakter. Pipinya sintal, dan matanya, yang bersinar seperti manik-manik di tengah debu yang mengitarinya itu, indah sekali.

"Saya punya jewawut campur nasi sedikit," kata anak itu ramah. "Dan kalau suka, Bapak dapat ambil sisa ikan itu, karena sudah saya berikan sebagian pada Ayah."

"Terima kasih."

"Saya kira Bapak ingin teh juga."

"Ya, kalau tidak terlalu mengganggu."

"Silakan tunggu di sini." Ia membuka pintu yang berbunyi menderit. Ia masuk ke kamar sebelah. Musashi mendengarnya mematahkan kayu kemudian mengipasi api dalam hibachi tanah. Tak lama kemudian asap yang memenuhi gubuk itu mengusir kawanan serangga ke luar.

Anak itu kembali membawa baki, yang kemudian diletakkannya di lantai, di depan Musashi. Musashi segera mulai makan, melalap ikan lumpur panggang yang asin itu, juga jewawut dan nasi, serta kue kedele manis, dalam waktu singkat sekali.

"Enak sekali," katanya berterima kasih.

"Betul?" Anak itu rupanya ikut senang melihat orang lain puas.

Anak yang baik kelakuannya, pikir Musashi. "Aku ingin mengucapkan terima kasih pada kepala rumah tangga. Apa beliau sudah pergi tidur?"

"Tidak, dia ada di depan Bapak." Anak itu menunjuk hidungnya sendiri. "Kau tinggal di sini sendirian?"

"Ya."

"Begitu." Menyusul keheningan yang kaku. "Lalu apa kerjamu buat makan sehari-hari?" tanya Musashi.

"Saya menyewakan kuda, dan pergi ke mana-mana sebagai tukang kuda. Kami dulu bertani juga sedikit... Oh, kita kehabisan minyak lampu. Bapak tentunya sudah ingin tidur, kan?"

Musashi membenarkan, kemudian membaringkan diri di kasur jerami usang yang ditebarkan dekat dinding. Dengung serangga terdengar menenteramkan. Ia segera jatuh tertidur, tapi mungkin karena kecapekan, keringatnya keluar. Kemudian ia bermimpi mendengar hujan turun.

Bunyi dalam mimpinya membuat ia duduk terkejut. Tak salah lagi. Yang didengarnya kini adalah bunyi pisau atau pedang yang sedang diasah. Ketika ia menjangkau pedangnya sambil berpikir-pikir, anak itu berseru kepadanya, "Bapak tak bisa tidur?"

Bagaimana mungkin dia tahu? Dengan heran Musashi berkata, "Apa kerjamu mengasah pisau, malam-malam begini?" Pertanyaan itu diucapkan demikian tegang, hingga kedengarannya lebih seperti pukulan batik sebilah pedang, bukan sebuah pertanyaan.

Anak itu tertawa keras. "Gara-gara saya, Bapak jadi takut, ya? Bapak kelihatan begitu kuat dan berani, jadi mestinya tidak begitu mudah merasa takut."

Musashi terdiam. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ia bertemu dengan setan yang tahu segalanya, dalam samaran seorang anak petani.

Ketika gosokan pisau pada asahan itu terdengar lagi, Musashi pergi ke pintu. Lewat sebuah celah, ia dapat melihat bahwa kamar lain itu dapur, dengan ruang tidur kecil di ujungnya. Anak itu berlutut dalam sinar bulan di samping jendela, dan di dekatnya berdiri guci air besar. Pedang yang diasahnya adalah dari jenis yang biasa dipakai petani.

"Apa yang mau kaulakukan dengan pedang itu?" tanya Musashi.

Anak itu menoleh ke pintu, tapi terus juga dengan pekerjaannya. Beberapa menit kemudian, ia mengelap pedang yang panjangnya sekitar setengah meter itu dan memeriksanya. Pedang itu berkilau cemerlang dalam sinar bulan.

"Menurut Bapak, apa saya bisa memotong orang jadi dua dengan pedang ini?" tanyanya.

"Tergantung, kau tahu menggunakannya atau tidak."

"Oh, saya yakin tahu."

"Apa ada orang tertentu yang kaupikirkan?"

"Ayah saya."

"Ayahmu!" Musashi membuka pintu. "Kuharap ini bukan kelakar."

"Saya tidak berkelakar."

"Tak mungkin kau bermaksud membunuh ayahmu. Tikus dan tawon di tengah alam liar yang terpencil saja punya akal lebih baik daripada membunuh orangtuanya."

"Tapi kalau tidak saya potong jadi dua, tak bisa saya membawanya."  

"Membawanya ke mana?"

"Saya mesti membawanya ke kuburnya."

"Maksudmu, dia sudah meninggal?"

"Ya."

Musashi memandang kembali dinding di sebelah sana. Tidak terpikir olehnya bahwa sosok besar yang la lihat di sana itu tubuh manusia. Sekarang ia melihat bahwa benda itu memang mayat seorang tua yang diletakkan lurus, kepalanya diganjal bantal dan ditutup kimono. Di sampingnya terdapat cambung nasi, secangkir air, dan seporsi ikan lumpur panggang di piring kayu.

Musashi merasa agak malu, mengingat tanpa disadarinya ia minta anak itu membagi ikan lumpur yang dimaksudkannya sebagai sesaji untuk jiwa orang yang sudah mati. Bersamaan dengan itu, ia mengagumi anak ini. karena memiliki ketenangan hendak memotong tubuh itu menjadi beberapa potongan, agar dapat membawanya. Matanya diarahkan ke wajah anak itu, dan untuk beberapa waktu ia tidak mengatakan apa-apa.

"Kapan dia meninggal?"

"Tadi pagi."

"Berapa jauh kuburan dari sini?"

"Di atas bukit sana."

"Apa tak bisa kau menyuruh orang lain?"

"Saya tak punya uang."

"Ini, kuberikan."

Anak itu menggeleng. "Tidak. Ayah saya tak suka menerima hadiah. Dan juga tak suka pergi ke kuil. Terima kasih, saya bisa menyelesaikannya."

Dari semangat dan keberanian anak itu, dari sifatnya yang tenang namun praktis, Musashi menduga bahwa ayahnya bukan petani biasa. Mesti ada alasan tertentu, kenapa anak itu memiliki sifat mandiri yang mengagumkan sepern itu.

Untuk menghormati keinginan orang yang meninggal itu, Musashi rela menyimpan uangnya, tapi sebaliknya menawarkan sumbangan tenaga yang diperlukan untuk mengangkut tubuh itu dalam keadaan utuh. Anak itu menyetujui, dan bersama-sama mereka menaikkan mayat itu ke atas kuda. Saat mendaki jalan terjal, mereka turunkan mayat dari kuda, dan Musashi mendukungnya di punggung. Kuburan itu ternyata suatu tempat terbuka kecil, di bawah sebatang pohon berangan. Di sana terdapat satu batu bundar sebagai tanda.

Sesudah penguburan, anak itu meletakkan sedikit bunga ke atas makam, dan katanya, "Kakek, nenek, dan ibu saya dikubur di sini juga." Ia melipat tangan untuk berdoa. Musashi ikut dengannya, memohon ketenangan keluarga dengan diam.

"Batu makam itu kelihatannya belum lama," ujar Musashi. "Kapan keluargamu menetap di sini?"

"Di masa hidup kakek saya."

"Dan di mana mereka tinggal sebelum itu?"

"Kakek saya seorang samurai dari suku Mogami, tapi sesudah kekalahan tuannya, dia membakar silsilah kami dan semua yang lain. Tak ada lagi yang tertinggal."

"Pada batu itu tak ada kulihat namanya. Bahkan tak ada lambang keluarga atau tanggal."

"Ketika meninggal, dia memerintahkan agar tidak ditulis apa-apa di batu. Dia sangat keras. Satu kali datang orang-orang dari perdikan Gamo, lalu dari perdikan Date, menawarkan kedudukan kepadanya, tapi dia menolak. Dia bilang seorang samurai tidak boleh mengabdi pada lebih dari seorang tuan. Itulah juga sikapnya mengenai batu itu. Karena sudah menjadi petani, dia bilang menuliskan nama di batu itu akan membuat malu tuannya yang sudah meninggal."

"Apa kau tahu nama kakekmu?"

"Tahu. Namanya Misawa Iori. Karena ayah saya cuma petani, dia menghilangkan nama keluarga dan menyebut dirinya San'emon saja."

"Dan namamu?"

"Sannosuke."

"Apa kau punya sanak saudara?"

"Ada kakak perempuan, tapi dia sudah lama pergi. Tak tahu saya, di mana dia sekarang."'

"Tak ada orang yang tahu?"

"Tidak."

"Apa rencana hidupmu sekarang?"

"Seperti sebelumnya, saya kira." Tapi kemudian ia buru-buru menambahkan, "Tapi begini. Bapak seorang shugyosha, kan? Bapak tentunya jalan keliling ke mana-mana. Bawalah saya. Bapak dapat naik kuda saya, dan saya akan jadi tukang kudanya."

Sementara menimbang-nimbang permintaan anak itu, Musashi melayangkan pandang ke tanah di bawah mereka. Karena tanah itu cukup subur untuk menghidupi demikian banyak rumput liar, tak mengerti ia kenapa tanah itu tidak digarap. Sudah pasti itu bukan karena orang di sekitar tempat itu sudah makmur. Ia melihat sendiri bukti kemelaratan di mana-mana.

Menurut Musashi, peradaban tidak akan berkembang sebelum orang belajar mengendalikan kekuatan alam. Ia heran, kenapa penduduk di tengah Dataran Kanto ini demikian tak berdaya, kenapa mereka membiarkan diri ditindas oleh alam. Ketika matahari naik, Musashi melihat binatang-binatang kecil dan burung-burung bersuka ria di tengah kekayaan yang belum diketahui cara memanfaatkannya ini. Atau begitulah kira-kira.

Segera ia tersadar, bahwa sekalipun memiliki keberanian dan kemandirian. Sannosuke hanyalah anak kecil. Sinar matahari menyebabkan dedaunan yang berembun itu berkilau-kilau. Mereka siap untuk kembali pulang, dan anak itu tidak lagi sedih, bahkan kelihatannya sudah mengusir seluruh pikiran tentang ayahnya dari kepalanya.

Di tengah jalan menuruni bukit, mulailah ia mendesak-desak Musashi memberikan jawaban atas usulnya. "Saya siap mulai hari ini," katanya. "Pikirkan saja, ke mana pergi, Bapak dapat naik kuda ini, dan saya akan selalu melayani Bapak."

Desakan itu menyebabkan Musashi diam-diam bersungut-sungut. Banyak yang bisa ditawarkan oleh Sannosuke, tapi Musashi bertanya pada diri sendiri, apakah ia mesti menempatkan diri lagi pada tanggung jawab atas masa depan seorang anak. Jotaro anak yang memiliki kemampuan alamiah. Tapi keuntungan apa yang didapatnya dengan mengikatkan diri pada Musashi.

Dan sekarang, ketika Jotaro lenyap entah ke mana, lebih terasa lagi oleh Musashi tanggung jawabnya. Namun, menurut Musashi, kalau orang hanya memikirkan bahaya-bahaya yang menghadang, ia takkan dapat maju selangkah pun, apalagi mencapai sukses dalam hidup ini. Lebih daripada itu, dalam persoalan seorang anak, tak seorang pun dapat benar-benar menjamin masa depannya, termasuk juga orangtuanya sendiri. "Mungkinkah secara objektif memutuskan apa yang baik untuk seorang anak, dan apa yang tidak baik?" tanyanya pada diri sendiri. "Kalau persoalannya mengembangkan bakat-bakat Sannosuke dan memimpinnya ke arah yang benar, aku dapat melakukannya. Kukira hal itu sama juga dengan yang dapat dilakukan orang lain."

"Bapak mau berjanji, kan? Ayolah," desak anak itu.

"Sannosuke, apa kau ingin jadi tukang kuda seumur hidupmu?"

"Tentu saja tidak. Saya ingin jadi samurai."

"Justru itu yang kupikirkan. Tapi kalau kau ikut aku dan menjadi muridku, kau akan mengalami banyak penderitaan."

Anak itu menjatuhkan tali kuda, dan sebelum Musashi tahu apa yang hendak dilakukannya, ia sudah berlutut di tanah, di bawah kepala kuda. Sambil membungkuk dalam-dalam, katanya, "Saya mohon, Bapak menjadikan saya seorang samurai. Itulah yang diinginkan ayah saya, tapi tak ada orang yang dapat dimintai pertolongannya."

Musashi turun dari kuda, menoleh ke sekitarnya sebentar, kemudian memungut sebilah tongkat dart menyerahkannya pada Sannosuke. Ia ambil tongkat satu lagi untuk dirinya, dan katanya, "Coba pukul aku dengan tongkat itu. Sesudah kulihat bagaimana kau melakukannya, baru aku dapat memastikan, apa kau punya bakat jadi samurai."

"Kalau saya dapat memukul Bapak, apa Bapak akan mengatakan ya?"

"Coba dulu, dan lihat." Musashi tertawa.

Sannosuke mencengkeram erat senjatanya dan menyerbu ke depan, seperti orang kesurupan. Musashi tak kenal belas kasihan. Berkali-kali anak itu dipukulnya di bahu, di wajah, di tangan. Setiap kali si anak mundur terhuyung jauh, tapi selalu kembali menyerang.

"Sebentar lagi dia pasti menangis," pikir Musashi.

Tapi Sannosuke tak hendak menyerah. Ketika tongkatnya patah dua, ia menyerang dengan tangan kosong.

"Apa yang kaulakukan, orang kerdil?" bentak Musashi dengan sikap marah yang disengaja. Ditangkapnya obi anak itu dan dibantingnya si anak ke tanah.

"Bajingan besar!" teriak Sannosuke yang sudah berdiri lagi dan menyerang kembali.

Musashi menangkap pinggangnya dan mengangkatnya ke udara. "Cukup?"

"Tidak!" teriak anak itu, sekalipun matanya sudah basah, dan tangan serta kakinya menggapai-gapai sia-sia.

"Kubanting kau ke batu di sana, dan kau akan mati. Menyerah, tidak?"

"Tidak!"

"Keras kepala, ya? Apa tak lihat, kau sudah kalah?"

"Selama masih hidup, aku belum kalah! Lihat saja, akhirnya aku akan menang."

"Dengan cara apa?"

"Aku akan latihan, aku akan mendisiplinkan diriku."

"Tapi selagi kau berlatih sepuluh tahun lamanya, aku juga berbuat begitu."

"Ya, tapi kau jauh lebih tua dariku. Kau akan mati dulu."

"Hmm."

"Dan kalau orang memasukkanmu ke peti mati, aku akan kasih pukulan rerakhir, dan menang!"

"Tolol!" teriak Musashi sambil melontarkan anak itu ke tanah.

Ketika Sannosuke berdiri lagi, sesaat Musashi memandang wajahnya, tertcawa, dan bertepuk tangan. "Bagus. Kau boleh jadi muridku."


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP