Bau Kayu Gaharu
LAMPU-LAMPU di
jendela rumah-rumah pelesiran itu bercahaya terang, tapi waktu itu masih
terlalu pagi bagi para langganan untuk berkeliaran di tiga gang utama di daerah
itu.
Di Ogiya, kebetulan
salah seorang pelayan muda memandang ke arah pintu masuk. Aneh kelihatannya ada
mata yang mengintip lewat celah tirai, dan di bawah tirai tampak sepasang kaki
yang mengenakan sandal jerami kotor, juga ujung sebelah pedang kayu. Orang muda
itu terlompat sedikit karena kaget, tapi sebelum ia sempat membuka mulut,
Jotaro sudah masuk dan mengemukakan soalnya.
"Miyamoto
Musashi di sini, ya? Dia guruku. Boleh minta tolong beritahu dia, Jotaro di
sini? Atau minta dia keluar."
Pandangan kaget
pelayan itu berganti dengan kerutan kening tajam. "Siapa kau ini, pengemis
kecil?" geramnya. "Di sini tak ada orang yang namanya begitu. Apa
maksudmu memperlihatkan muka kotor di sini ketika kerja baru akan mulai?
Keluar!"
Jotaro dicekal leher
bajunya dan didorong keras.
Marah seperti ikan
buntal yang sedang mengembung, Jotaro memekik, "Berhenti! Aku datang ke
sini mencari guruku!"
"Aku tak peduli
kenapa kamu di sini, tikus kecil! Musashi-mu itu sudah banyak bikin kesusahan.
Dia tak ada di sini."
"Kalau tak ada
di sini, kenapa kamu tidak bilang saja begitu? Lepaskan aku!"
"Tampangmu
mencurigakan. Bagaimana mungkin aku tahu kamu bukan mata-mata Perguruan
Yoshioka?"
"Oh, itu tak ada
hubungannya denganku. Kapan Musashi pergi dari sini? Kapan dia pergi?"
"Tadi kamu
suruh-suruh aku, sekarang kamu minta keterangan. Kamu mesti belajar bikin sopan
lidahmu itu. Mana aku tahu di mana dia?"
"Kalau kamu
tidak tahu, baik, tapi lepaskan kerahku ini!"
"Baik, akan
kulepaskan kamu macam ini!" Dijewernya telinga Jotaro keras-keras dan
diayunkannya Jotaro ke sana kemari, kemudian dilontarkannya ke arah pintu
gerbang.Uh!" pekik Jotaro. Sambil merunduk, ia menarik pedang kayunya dan
memukul pelayan itu pada mulutnya, hingga rompal gigi-gigi depannya.
"0-w-w!"
Orang muda itu memegang mulutnya yang berdarah dengan sebelah tangan, dan
tangan satunya merobohkan Jotaro.
"Tolong!
Pembunuh!" pekik Jotaro.
Ia mengerahkan
kekuatannya, seperti ketika membunuh anjing di Koyagyu dulu, dan dihantamkannya
pedangnya ke tengkorak pelayan itu. Darah muncrat dari hidung orang muda itu,
dan diiringi bunyi yang tak lebih keras dari keluhan cacing tanah, ia rebah di
bawah pohon itu.
Seorang pelacur yang
sedang memamerkan diri di jendela berjeruji di seberang jalan mengangkat kepala
dan berteriak ke jendela sebelah, "Hei! Lihat tidak? Anak lelaki yang
pakai pedang kayu itu baru membunuh orang Ogiya! Dia lari sekarang!"
Dalam sekejap mata
jalan itu penuh orang lari lintang-pukang, dan udara bergema dengan
teriakan-teriakan haus darah. "Jalan mana dia lari?"
"Bagaimana
tampangnya?"
Seperti dimulainya,
keributan itu lekas mereda, dan ketika orang-orang yang hendak bersenang-senang
mulai datang, peristiwa itu sudah tidak lagi menjadi bahan pembicaraan.
Perkelahian adalah kejadian biasa, dan para penghuni daerah itu biasa
menyelesaikan atau menutup kejadian-kejadian yang lebih berdarah dalam waktu
singkat, agar dapat menghindari pemeriksaan polisi.
Disamping gang-gang
utama yang diberi penerangan seperti siang, terdapat juga cabang-cabang gang
dan tempat-tempat kosong yang sepenuhnya gelap. Jotaro berhasil menemukan
tempat bersembunyi, kemudian pindah ke tempat lain lagi. Dengan pikirannya yang
polos, ia mengira dapat lolos dari sana, padahal nyatanya seluruh daerah itu
dikelilingi dinding setinggi sepuluh kaki, terbuat dari balok-balok hangus yang
menajam di puncaknya. aesudah menemukan dinding itu ia menyusurinya, tapi ia tak
dapat menemukan celah yang besar, apalagi menemukan gerbang. Ketika ia membalik
untuk menghindari salah satu gang yang ada di sana, tampak olehnya seorang
gadis muda. Begitu mata mereka bertemu, gadis itu memanggilnya pelan dan
mengajaknya dengan isyarat tangan putihnya yang halus.
"Kamu panggil
aku?" tanya Jotaro waspada. Ia tak melihat ada maksud jahat pada wajah
gadis berpupur tebal itu, karena itu ia mendekati sedikit. "Ada apa?"
"Kamu yang
datang di Ogiya menanyakan Miyamoto Musashi, kan?" tanya gadis itu lemah
lembut.
"Ya."
"Namamu Jotaro,
kan?"
"He-eh."
"Ayo ikut aku.
Kuantar kamu kepada Musashi."
"Di mana
dia?" tanya Jotaro, dan mulai curiga lagi.
Gadis itu berhenti
dan menjelaskan bahwa Yoshino Dayu sangat menaruh perhatian pada peristiwa
dengan pelayan itu, dan telah menyuruhnya mencari Jotaro dan membawanya ke
tempat sembunyi Musashi.
Dengan wajah
menyatakan terima kasih, Jotaro bertanya, "Kamu pelayan Yoshino Dayu,
ya?"
"Ya. Dan kamu
boleh lega sekarang. Kalau dia membelamu, tak seorang pun di daerah ini dapat
menyentuh kamu."
"Apa guruku
betul-betul ada di sini?"
"Kalau tidak,
buat apa aku menunjukkan jalannya?"
"Apa kerjanya di
tempat macam ini?"
"Kalau kau buka
pintu rumah pertanian kecil di sana itu, kau dapat melihatnya sendiri. Sekarang
aku mesti kembali ke pekerjaanku." Ia menghilang diam-diam ke semak-semak
di kebun yang berdekatan.
Rumah pertanian itu
kelihatannya terlalu sederhana kalau mesti merupakan akhir usahanya mencari
Musashi, tapi ia tak dapat pergi sebelum menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Untuk sampai di jendela samping, ia gelindingkan sebuah batu dari
halaman ke dinding, kemudian ia naik ke atasnya dan menempelkan hidung ke
jeruji bambu.
"Dia ada di
situ!" katanya dengan suara sengaja dibuat rendah, sambil berusaha
menyembunyikan diri. Tapi ingin sekali ia mengulurkan tangan dan menjamah
gurunya. Begitu lama sudah!
Musashi waktu itu
sedang tidur dekat perapian, berbantal tangan. Pakaiannya lain sekali dari yang
pernah ia lihat sebelumnya-kimono sutra dengan pola-pola bergambar besar, dari
jenis yang disukai para pemuda yang suka bergaya di kota. Di lantai terhampar
kain wol merah. Di atasnya terletak sebuah kuas pelukis, sebuah kotak tinta,
dan beberapa carik kertas. Di atas secarik kertas, Musashi membuat sketsa
terong, dan di kertas lain kepala seekor ayam.
Jotaro merasa
terguncang. "Bagaimana mungkin dia menghabiskan waktu dengan membuat
lukisan?" pikirnya marah. "Apa dia tidak tahu Otsu sakit?"
Selembar jubah
bersulam menutup setengah bahu Musashi. Itu jelas pakaian perempuan, dan
kimononya yang terlalu mencolok itu memuakkan. Jotaro merasakan adanya pancaran
gairah yang menyembunyikan kejahatan. Seperti pada Hari Tahun Baru, gelombang
kemarahan besar terhadap cara-cara jahat yang ditempuh orang dewasa melandanya.
"Ada yang tak beres dengannya," pikirnya. "Dia sedang tak sadar
sekarang."
Kejengkelannya
berubah menjadi kenakalan, dan ia meyakinkan dirinya bahwa ia tahu apa yang
mesti dilakukan. "Akan kutakut-takuti dia." pikirnya. Pelan sekali,
mulailah ia turun dari batu.
"Jotaro!"
panggil Musashi. "Siapa yang bawa kamu kemari?"
Anak itu terperanjat
dan melihat lewat jendela lagi. Musashi masih berbaring, matanya setengah
terbuka, dan ia menyeringai.
Jotaro berlari cepat
ke depan rumah, masuk lewat pintu depan, dan merangkulkan tangannya ke bahu
Musashi. "Sensei" desahnya bahagia.
"Jadi, kamu
datang, ya?" Sambil terus telentang, Musashi mengulurkan tangan dan
mendekapkan kepala Jotaro yang kotor itu ke dadanya. "Bagaimana kamu bisa
tahu aku di sini? Takuan yang kasih tahu, ya? Lama kita tak bertemu, ya?"
Tanpa mengendurkan pelukannya, Musashi duduk. Jotaro menggeliat-geliatkan
kepala seperti anjing Peking, dan merapatkan badan ke dada hangat yang sudah
hampir terlupakan olehnya itu.
Kemudian Jotaro
memindahkan kepalanya ke pangkuan Musashi dan diam di situ. "Otsu
terbaring sakit. Dia ingin sekali bertemu Kakak. Dia selalu bilang akan baik
kalau Kakak datang. Sekali saja, itulah yang diinginkannya."
"Otsu yang
malang."
"Dia lihat Kakak
bicara dengan gadis edan itu pada Hari Tahun Baru. Otsu jadi marah dan menutup
diri dalam rumah siputnya. Aku mencoba menarik dia ke jembatan itu, tapi dia
tak mau."
"Aku tidak
menyalahkan dia. Hari itu aku juga terganggu oleh Akemi."
"Kakak mesti
datang melihatnya. Dia di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Kakak masuk saja,
dan katakan, 'Lihat, Otsu, aku di sini'. Kalau Kakak mau berbuat begitu, dia pasti
langsung baik."
Karena ingin sekali
menjelaskan persoalannya, Jotaro berbicara lebih banyak lagi, tapi itulah isi
pokoknya. Musashi menggerutu sekali-sekali, dan sekali-dua kali mengatakan,
"Begitu, ya?" Tapi, karena sebab-sebab yang tak dapat diduga oleh
anak itu, Musashi tidak juga keluar, sekalipun anak itu memohon dan memintanya.
Sebaliknya dengan panjang-lebar ia mengatakan akan melakukan apa yang diminta
Jotaro. Jotaro mulai merasa tak suka kepada gurunya, sekalipun ia begitu
berbakti kepada Musashi dan sudah gatal tangannya untuk berkelahi benar-benar
dengan gurunya.
Keinginan berkelahi
itu mendidih lebih hebat lagi, bahkan sampai sedemikian rupa, hingga hanya
dapat dikendalikan oleh sikap hormatnya. Ia terdiam dengan wajah yang jelas
sekali menggambarkan sikap tak setuju. Matanya muram dan bibirnya menyeringai,
seakan-akan ia habis minum secangkir cuka.
Musashi mengambil
buku gambar dan kuasnya, dan mulai menambahkan beberapa sapuan ke salah satu
sketsanya. Jotaro memandang gambar terong itu dengan sikap tak suka, dan
pikirnya, "Apa yang bikin dia menyangka dapat melukis? Sungguh
keterlaluan."
Tak lama kemudian,
Musashi bosan dan mulai mencuci kuasnya. Baru saja Jotaro hendak mengajukan
imbauan sekali lagi, terdengar suara bakiak di batu-batu pijakan di luar.
"Cucian Bapak
sudah kering," terdengar suara seorang gadis. Abdi yang tadi mengantar
Jotaro itu masuk membawa kimono dan jubah, keduanya sudah dilipat rapi. Sambil
meletakkannya di depan Musashi, gadis itu minta Musashi memeriksanya.
"Terima
kasih," kata Musashi. "Kelihatan baru lagi."
"Noda darah itu
tak bisa cepat hilang. Mesti disikat banyak kali."
"Kelihatannya
sudah hilang sekarang, terima kasih... Di mana Yoshino?"
"Oh, dia sibuk
bukan main, ganti-ganti melayani tamu. Gara-gara mereka, dia tak bisa
istirahat."
"Tempat ini
menyenangkan sekali, tapi kalau aku tinggal di sini lebih lama, aku menjadi
beban orang. Aku mau menyelinap kalau matahari naik Minta tolong sampaikan ini
kepada Yoshino, dan sampaikan terima kasihku yang sedalam-dalamnya."
Jotaro jadi senang.
Musashi tentu merencanakan bertemu dengan Otsu sekarang. Begitulah mestinya gurunya,
sebagai seorang lelaki yang tulus dan baik. Dan ia tersenyum bahagia.
Begitu gadis itu
pergi, Musashi meletakkan pakaian itu di depan Jotaro katanya, "Kamu
datang pada waktu yang tepat. Pakaian ini mesti dikembalikan kepada perempuan
yang meminjamkannya padaku. Kuminta kamu membawanya ke rumah Hon'ami Koetsu—di
bagian utara kota—dan mengambil kembali kimonoku sendiri. Mau kamu jadi anak
baik, dan melakukan ini untukku?"
"Tentu!"
kata Jotaro dengan wajah bergairah. "Aku pergi sekarang."
Dibungkusnya pakaian
itu dengan selembar kain, bersama surat dari Musashi kepada Koetsu, lalu ia
sampirkan bungkusan itu ke punggungnya.
Justru waktu itu si
abdi datang kembali membawa makan malam dan mengangkat kedua tangannya dengan
ngeri.
"Apa yang Bapak
lakukan?" gagapnya. Musashi menjelaskannya, tapi gadis itu berteriak,
"Oh, Bapak tak bisa menyuruhnya pergi!" Dan ia menyampaikan kepada
Musashi apa yang telah diperbuat Jotaro. Untungnya sasaran pukulan Jotaro itu
tidak tepat, jadi pelayan itu masih hidup. Gadis itu meyakinkan Musashi bahwa
karena peristiwa itu hanya satu di antara banyak perkelahian yang sering
terjadi, maka soal itu selesai sampai di situ. Yoshino pribadi sudah
mengingatkan pemilik dan orang-orang muda di tempat itu supaya bungkam. Gadis
itu menyatakan bahwa dengan menyatakan dirinya siswa Miyamoto Musashi, walaupun
tak sengaja, Jotaro sudah memberikan ketegasan kepada desas-desus bahwa Musashi
masih ada di Ogiya.
"Begitu,"
kata Musashi dengan nada biasa. Ia memandang bertanya-tanya kepada Jotaro.
Jotaro menggaruk kepalanya, menarik diri ke sudut mengerutkan diri
sekecil-kecilnya.
Gadis itu
melanjutkan, "Tak perlu saya menyampaikan pada Bapak yang bakal terjadi
kalau dia mencoba meninggalkan tempat ini. Di sana-sini masih banyak
orang-orang Yoshioka, menanti Bapak memperlihatkan diri. Yoshino dan pemilik
tempat ini ada dalam kedudukan sangat sukar sekarang, karena Koetsu meminta
kami menjaga Bapak. Ogiya tak mungkin membiarkan Bapak langsung masuk
cengkeraman mereka. Yoshino bertekad melindungi Bapak.
"Samurai-samurai
itu begitu keras hati. Mereka terus melakukan pengawasan. Beberapa kali mereka
mengirim orang dan menuduh kami menyembunyikan Bapak. Kami sudah bisa
melepaskan diri dari mereka, tapi mereka masih belum yakin. Betul-betul saya
tak mengerti. Mereka berbuat seperti sedang melakukan perang besar. Sebelah
luar pintu gerbang yang menuju daerah ini, ada tiga atau empat baris samurai.
Pengintai ada di mana-mana, dan mereka bersenjata lengkap.
"Yoshino
berpendapat Bapak mesti tinggal di sini empat-lima hari lagi, atau setidaknya
sampai mereka capek menanti."
Musashi mengucapkan
terima kasih kepadanya atas kebaikan dan perhatiannya, tapi tambahnya
samar-samar, "Aku punya rencana sendiri."
Ia setuju sekali
mengirimkan pelayan ke rumah Koetsu sebagai ganti Jotaro. Pelayan itu kembali
kurang dari satu jam kemudian, membawa surat Koetsu, Kalau ada kesempatan, mari
kita bertemu lagi. Walaupun kelihatannya panjang, hidup ini sebenarnya pendek
sekali. Kuminta engkau menjaga dirimu sebaik-baiknya. Salam dari jauh. Walaupun
jumlahnya sedikit, kata-kata itu terasa hangat dan sangat wajar.
"Pakaian Bapak
ada dalam bungkusan ini," kata si pelayan. "Ibu Koetsu khusus minta
saya menyampaikan ucapan selamat." Ia membungkuk dan pergi.
Musashi memandang
kimono katunnya yang sudah tua, compang-camping, sudah begitu sering terkena
embun dan hujan, serta bernoda-noda keringat. Pakaian itu terasa lebih enak
bagi kulitnya daripada sutra halus yang dipinjamkan kepadanya oleh Ogiya.
Itulah seragam yang cocok bagi orang yang sedang mempelajari ilmu pedang secara
serius. Musashi tidak membutuhkan atau menginginkan pakaian yang lebih baik
dari itu.
Ia menduga kimono itu
pasti bau sesudah beberapa hari dilipat, tapi ketika ia memasukkan tangannya ke
dalam lengan kimono itu, tahulah ia bahwa kimono itu segar sekali karena sudah
dicuci. Lipatan-lipatannya tampak rapi. Terpikir olehnya, Myoshu mencuci kimono
itu sendiri, dan ia pun jadi ingin memiliki seorang ibu. Terpikir olehnya hidup
panjang dan sendiri yang akan ditempuhnya, tanpa sanak saudara kecuali kakak
perempuan yang hidup di pegunungan. Sejenak ia memandang ke api.
"Mari kita
pergi," katanya. Ia kencangkan obi-nya dan ia selipkan pedang yang
dicintainya di antara tulang rusuk dan obi itu. Sementara melakukan itu, rasa
kesepian pun menyingkir, sama cepatnya dengan waktu datangnya. Pedang itu
menjadi ibunya, ayahnya, saudara lelaki, dan saudara perempuannya, demikian
renungnya. Itulah yang telah disumpahkannya pada diri sendiri bertahun-tahun sebelum
itu, dan itulah yang kiranya akan terjadi.
Jotaro sudah di luar,
memandang bintang-bintang di langit. Pikirnya, betapa larut pun mereka sampai
di rumah Yang Dipertuan Karasumaru, Otsu pasti masih terjaga.
"Oh, pasti nanti
dia terkejut," katanya pada diri sendiri. "Dia akan begitu bahagia,
dan barangkali dia akan mulai menangis lagi."
"Jotaro,"
kata Musashi, "apa tadi kamu masuk lewat gerbang kayu di belakang?"
"Saya tidak
tahu, apakah itu di belakang. Tapi gerbangnya di sana itu."
"Pergilah kamu
ke sana dan tunggu aku."
"Apa kita tidak
pergi bersama-sama?"
"Ya, tapi aku
mau mengucapkan selamat tinggal dulu pada Yoshino. Tidak lama."
"Baik, saya
menunggu dekat gerbang." Sebetulnya Jotaro kuatir Musashi meninggalkannya,
walaupun hanya beberapa saat. Tapi pada malam yang khusus ini, mau rasanya ia
melakukan apa pun yang diminta gurunya.
Ogiya seperti semacam
pelabuhan, menyenangkan, namun cuma sementara. Musashi ingat bahwa terpencil
dari dunia luar itu baik akibatnya bagi dirinya, karena sampai waktu itu tubuh
dan jiwanya seperti es, menjadi benda tebal dingin yang tidak peka terhadap
keindahan bulan, tak peduli terhadap bunga-bungaan dan tidak tanggap terhadap
matahari. Ia memang tidak sangsi akan kebenaran hidup menyangkal diri seperti
yang ditempuhnya, tapi la dapat melihat sekarang bahwa hidup dengan menyangkal
diri sendiri itu membuatnya sempit, berpikiran kerdil, dan keras kepala. Takuan
sudah mengatakan kepadanya bertahun-tahun lalu bahwa kekuatan yang dimilikinya
tidak ada bedanya dengan kekuatan binatang liar. Nikkan juga sudah
mengingatkannya bahwa ia terlampau kuat. Sesudah bertempur dengan Denshichiro,
tubuh dan jiwanya jadi terlalu pekat dan tegang. Dua hari terakhir itu ia
membiarkan dirinya lepas dan semangatnya mengendur. Ia minum sedikit, tidur
manakala ia mau, membaca, mencoba-coba melukis, menguap, dan meregangkan badan
semaunya. Beristirahat itu bermanfaat sekali. Ia menyimpulkan bahwa
beristirahat itu penting, dan akan selalu penting baginya sekali-sekali
bernikmat-nikmat sepenuhnya selama dua-tiga hari.
Sementara berdiri di
halaman, memperhatikan lampu dan bayangan di kamar-kamar depan, ia berpikir,
"Aku harus mengucapkan sepatah kata terima kasih kepada Yoshino Dayu atas
segala jasanya." Tapi kemudian ia berubah pikiran. Dengan mudah ia dapat
mendengar dentang-dentang shamisen dan nyanyian parau para pembeli. Tak
terlihat olehnya jalan untuk menyelinap dan bertemu dengan Yoshino. Lebih baik
ia mengucapkan terima kasih di dalam hati, dan berharap Yoshino akan mengerti.
Ia membungkuk ke arah depan rumah dan berangkat.
Di luar ia memanggil
Jotaro dengan isyarat tangan. Ketika anak itu berlari-lari mendapatkannya,
mereka mendengar Rin'ya datang membawa surat dari Yoshino. Ia memasukkan surat
itu ke tangan Musashi, dan pergi.
Kertas surat itu
kecil, berwarna indah. Ketika Musashi membukanya, bau kayu gaharu merasuk ke
dalam lubang hidung. Surat itu menyatakan,
Sekilas cahaya bulan
dari balik pepohonan lebih memberi kenang-kenangan, daripada bunga-bunga malang
yang layu dan luluh malam demi malam. Walaupun orang tertawa sementara aku
tersedu dalam mabuk, kukirimkan sepatah kata kenangan ini padamu.
"Dari siapa
surat itu?" tanya Jotaro.
"Dari orang yang
tak penting sama sekali."
"Perempuan?"
"Apa
bedanya?"
"Apa isinya?"
"Tak perlu kamu
tahu." Musashi melipat kertas itu.
Jotaro mendekatkan
mukanya ke surat itu, dan katanya, "Baunya harum. Bau kayu gaharu."
0 komentar:
Posting Komentar