Rabu, 12 Juli 2017





Bau Kayu Gaharu


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






LAMPU-LAMPU di jendela rumah-rumah pelesiran itu bercahaya terang, tapi waktu itu masih terlalu pagi bagi para langganan untuk berkeliaran di tiga gang utama di daerah itu.

Di Ogiya, kebetulan salah seorang pelayan muda memandang ke arah pintu masuk. Aneh kelihatannya ada mata yang mengintip lewat celah tirai, dan di bawah tirai tampak sepasang kaki yang mengenakan sandal jerami kotor, juga ujung sebelah pedang kayu. Orang muda itu terlompat sedikit karena kaget, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Jotaro sudah masuk dan mengemukakan soalnya.

"Miyamoto Musashi di sini, ya? Dia guruku. Boleh minta tolong beritahu dia, Jotaro di sini? Atau minta dia keluar."

Pandangan kaget pelayan itu berganti dengan kerutan kening tajam. "Siapa kau ini, pengemis kecil?" geramnya. "Di sini tak ada orang yang namanya begitu. Apa maksudmu memperlihatkan muka kotor di sini ketika kerja baru akan mulai? Keluar!"

Jotaro dicekal leher bajunya dan didorong keras.

Marah seperti ikan buntal yang sedang mengembung, Jotaro memekik, "Berhenti! Aku datang ke sini mencari guruku!"

"Aku tak peduli kenapa kamu di sini, tikus kecil! Musashi-mu itu sudah banyak bikin kesusahan. Dia tak ada di sini."

"Kalau tak ada di sini, kenapa kamu tidak bilang saja begitu? Lepaskan aku!"

"Tampangmu mencurigakan. Bagaimana mungkin aku tahu kamu bukan mata-mata Perguruan Yoshioka?"

"Oh, itu tak ada hubungannya denganku. Kapan Musashi pergi dari sini? Kapan dia pergi?"

"Tadi kamu suruh-suruh aku, sekarang kamu minta keterangan. Kamu mesti belajar bikin sopan lidahmu itu. Mana aku tahu di mana dia?"

"Kalau kamu tidak tahu, baik, tapi lepaskan kerahku ini!"

"Baik, akan kulepaskan kamu macam ini!" Dijewernya telinga Jotaro keras-keras dan diayunkannya Jotaro ke sana kemari, kemudian dilontarkannya ke arah pintu gerbang.Uh!" pekik Jotaro. Sambil merunduk, ia menarik pedang kayunya dan memukul pelayan itu pada mulutnya, hingga rompal gigi-gigi depannya.

"0-w-w!" Orang muda itu memegang mulutnya yang berdarah dengan sebelah tangan, dan tangan satunya merobohkan Jotaro.

"Tolong! Pembunuh!" pekik Jotaro.

Ia mengerahkan kekuatannya, seperti ketika membunuh anjing di Koyagyu dulu, dan dihantamkannya pedangnya ke tengkorak pelayan itu. Darah muncrat dari hidung orang muda itu, dan diiringi bunyi yang tak lebih keras dari keluhan cacing tanah, ia rebah di bawah pohon itu.

Seorang pelacur yang sedang memamerkan diri di jendela berjeruji di seberang jalan mengangkat kepala dan berteriak ke jendela sebelah, "Hei! Lihat tidak? Anak lelaki yang pakai pedang kayu itu baru membunuh orang Ogiya! Dia lari sekarang!"

Dalam sekejap mata jalan itu penuh orang lari lintang-pukang, dan udara bergema dengan teriakan-teriakan haus darah. "Jalan mana dia lari?"

"Bagaimana tampangnya?"

Seperti dimulainya, keributan itu lekas mereda, dan ketika orang-orang yang hendak bersenang-senang mulai datang, peristiwa itu sudah tidak lagi menjadi bahan pembicaraan. Perkelahian adalah kejadian biasa, dan para penghuni daerah itu biasa menyelesaikan atau menutup kejadian-kejadian yang lebih berdarah dalam waktu singkat, agar dapat menghindari pemeriksaan polisi.

Disamping gang-gang utama yang diberi penerangan seperti siang, terdapat juga cabang-cabang gang dan tempat-tempat kosong yang sepenuhnya gelap. Jotaro berhasil menemukan tempat bersembunyi, kemudian pindah ke tempat lain lagi. Dengan pikirannya yang polos, ia mengira dapat lolos dari sana, padahal nyatanya seluruh daerah itu dikelilingi dinding setinggi sepuluh kaki, terbuat dari balok-balok hangus yang menajam di puncaknya. aesudah menemukan dinding itu ia menyusurinya, tapi ia tak dapat menemukan celah yang besar, apalagi menemukan gerbang. Ketika ia membalik untuk menghindari salah satu gang yang ada di sana, tampak olehnya seorang gadis muda. Begitu mata mereka bertemu, gadis itu memanggilnya pelan dan mengajaknya dengan isyarat tangan putihnya yang halus.

"Kamu panggil aku?" tanya Jotaro waspada. Ia tak melihat ada maksud jahat pada wajah gadis berpupur tebal itu, karena itu ia mendekati sedikit. "Ada apa?"

"Kamu yang datang di Ogiya menanyakan Miyamoto Musashi, kan?" tanya gadis itu lemah lembut.

"Ya."

"Namamu Jotaro, kan?"

"He-eh."

"Ayo ikut aku. Kuantar kamu kepada Musashi."

"Di mana dia?" tanya Jotaro, dan mulai curiga lagi.

Gadis itu berhenti dan menjelaskan bahwa Yoshino Dayu sangat menaruh perhatian pada peristiwa dengan pelayan itu, dan telah menyuruhnya mencari Jotaro dan membawanya ke tempat sembunyi Musashi.

Dengan wajah menyatakan terima kasih, Jotaro bertanya, "Kamu pelayan Yoshino Dayu, ya?"

"Ya. Dan kamu boleh lega sekarang. Kalau dia membelamu, tak seorang pun di daerah ini dapat menyentuh kamu."

"Apa guruku betul-betul ada di sini?"

"Kalau tidak, buat apa aku menunjukkan jalannya?"

"Apa kerjanya di tempat macam ini?"

"Kalau kau buka pintu rumah pertanian kecil di sana itu, kau dapat melihatnya sendiri. Sekarang aku mesti kembali ke pekerjaanku." Ia menghilang diam-diam ke semak-semak di kebun yang berdekatan.

Rumah pertanian itu kelihatannya terlalu sederhana kalau mesti merupakan akhir usahanya mencari Musashi, tapi ia tak dapat pergi sebelum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Untuk sampai di jendela samping, ia gelindingkan sebuah batu dari halaman ke dinding, kemudian ia naik ke atasnya dan menempelkan hidung ke jeruji bambu.

"Dia ada di situ!" katanya dengan suara sengaja dibuat rendah, sambil berusaha menyembunyikan diri. Tapi ingin sekali ia mengulurkan tangan dan menjamah gurunya. Begitu lama sudah!

Musashi waktu itu sedang tidur dekat perapian, berbantal tangan. Pakaiannya lain sekali dari yang pernah ia lihat sebelumnya-kimono sutra dengan pola-pola bergambar besar, dari jenis yang disukai para pemuda yang suka bergaya di kota. Di lantai terhampar kain wol merah. Di atasnya terletak sebuah kuas pelukis, sebuah kotak tinta, dan beberapa carik kertas. Di atas secarik kertas, Musashi membuat sketsa terong, dan di kertas lain kepala seekor ayam.

Jotaro merasa terguncang. "Bagaimana mungkin dia menghabiskan waktu dengan membuat lukisan?" pikirnya marah. "Apa dia tidak tahu Otsu sakit?"

Selembar jubah bersulam menutup setengah bahu Musashi. Itu jelas pakaian perempuan, dan kimononya yang terlalu mencolok itu memuakkan. Jotaro merasakan adanya pancaran gairah yang menyembunyikan kejahatan. Seperti pada Hari Tahun Baru, gelombang kemarahan besar terhadap cara-cara jahat yang ditempuh orang dewasa melandanya. "Ada yang tak beres dengannya," pikirnya. "Dia sedang tak sadar sekarang."

Kejengkelannya berubah menjadi kenakalan, dan ia meyakinkan dirinya bahwa ia tahu apa yang mesti dilakukan. "Akan kutakut-takuti dia." pikirnya. Pelan sekali, mulailah ia turun dari batu.

"Jotaro!" panggil Musashi. "Siapa yang bawa kamu kemari?"

Anak itu terperanjat dan melihat lewat jendela lagi. Musashi masih berbaring, matanya setengah terbuka, dan ia menyeringai.

Jotaro berlari cepat ke depan rumah, masuk lewat pintu depan, dan merangkulkan tangannya ke bahu Musashi. "Sensei" desahnya bahagia.

"Jadi, kamu datang, ya?" Sambil terus telentang, Musashi mengulurkan tangan dan mendekapkan kepala Jotaro yang kotor itu ke dadanya. "Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini? Takuan yang kasih tahu, ya? Lama kita tak bertemu, ya?" Tanpa mengendurkan pelukannya, Musashi duduk. Jotaro menggeliat-geliatkan kepala seperti anjing Peking, dan merapatkan badan ke dada hangat yang sudah hampir terlupakan olehnya itu.

Kemudian Jotaro memindahkan kepalanya ke pangkuan Musashi dan diam di situ. "Otsu terbaring sakit. Dia ingin sekali bertemu Kakak. Dia selalu bilang akan baik kalau Kakak datang. Sekali saja, itulah yang diinginkannya."

"Otsu yang malang."

"Dia lihat Kakak bicara dengan gadis edan itu pada Hari Tahun Baru. Otsu jadi marah dan menutup diri dalam rumah siputnya. Aku mencoba menarik dia ke jembatan itu, tapi dia tak mau."

"Aku tidak menyalahkan dia. Hari itu aku juga terganggu oleh Akemi."

"Kakak mesti datang melihatnya. Dia di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Kakak masuk saja, dan katakan, 'Lihat, Otsu, aku di sini'. Kalau Kakak mau berbuat begitu, dia pasti langsung baik."

Karena ingin sekali menjelaskan persoalannya, Jotaro berbicara lebih banyak lagi, tapi itulah isi pokoknya. Musashi menggerutu sekali-sekali, dan sekali-dua kali mengatakan, "Begitu, ya?" Tapi, karena sebab-sebab yang tak dapat diduga oleh anak itu, Musashi tidak juga keluar, sekalipun anak itu memohon dan memintanya. Sebaliknya dengan panjang-lebar ia mengatakan akan melakukan apa yang diminta Jotaro. Jotaro mulai merasa tak suka kepada gurunya, sekalipun ia begitu berbakti kepada Musashi dan sudah gatal tangannya untuk berkelahi benar-benar dengan gurunya.

Keinginan berkelahi itu mendidih lebih hebat lagi, bahkan sampai sedemikian rupa, hingga hanya dapat dikendalikan oleh sikap hormatnya. Ia terdiam dengan wajah yang jelas sekali menggambarkan sikap tak setuju. Matanya muram dan bibirnya menyeringai, seakan-akan ia habis minum secangkir cuka.

Musashi mengambil buku gambar dan kuasnya, dan mulai menambahkan beberapa sapuan ke salah satu sketsanya. Jotaro memandang gambar terong itu dengan sikap tak suka, dan pikirnya, "Apa yang bikin dia menyangka dapat melukis? Sungguh keterlaluan."

Tak lama kemudian, Musashi bosan dan mulai mencuci kuasnya. Baru saja Jotaro hendak mengajukan imbauan sekali lagi, terdengar suara bakiak di batu-batu pijakan di luar.

"Cucian Bapak sudah kering," terdengar suara seorang gadis. Abdi yang tadi mengantar Jotaro itu masuk membawa kimono dan jubah, keduanya sudah dilipat rapi. Sambil meletakkannya di depan Musashi, gadis itu minta Musashi memeriksanya.

"Terima kasih," kata Musashi. "Kelihatan baru lagi."

"Noda darah itu tak bisa cepat hilang. Mesti disikat banyak kali."

"Kelihatannya sudah hilang sekarang, terima kasih... Di mana Yoshino?"

"Oh, dia sibuk bukan main, ganti-ganti melayani tamu. Gara-gara mereka, dia tak bisa istirahat."

"Tempat ini menyenangkan sekali, tapi kalau aku tinggal di sini lebih lama, aku menjadi beban orang. Aku mau menyelinap kalau matahari naik Minta tolong sampaikan ini kepada Yoshino, dan sampaikan terima kasihku yang sedalam-dalamnya."

Jotaro jadi senang. Musashi tentu merencanakan bertemu dengan Otsu sekarang. Begitulah mestinya gurunya, sebagai seorang lelaki yang tulus dan baik. Dan ia tersenyum bahagia.

Begitu gadis itu pergi, Musashi meletakkan pakaian itu di depan Jotaro katanya, "Kamu datang pada waktu yang tepat. Pakaian ini mesti dikembalikan kepada perempuan yang meminjamkannya padaku. Kuminta kamu membawanya ke rumah Hon'ami Koetsu—di bagian utara kota—dan mengambil kembali kimonoku sendiri. Mau kamu jadi anak baik, dan melakukan ini untukku?"

"Tentu!" kata Jotaro dengan wajah bergairah. "Aku pergi sekarang."

Dibungkusnya pakaian itu dengan selembar kain, bersama surat dari Musashi kepada Koetsu, lalu ia sampirkan bungkusan itu ke punggungnya.

Justru waktu itu si abdi datang kembali membawa makan malam dan mengangkat kedua tangannya dengan ngeri.

"Apa yang Bapak lakukan?" gagapnya. Musashi menjelaskannya, tapi gadis itu berteriak, "Oh, Bapak tak bisa menyuruhnya pergi!" Dan ia menyampaikan kepada Musashi apa yang telah diperbuat Jotaro. Untungnya sasaran pukulan Jotaro itu tidak tepat, jadi pelayan itu masih hidup. Gadis itu meyakinkan Musashi bahwa karena peristiwa itu hanya satu di antara banyak perkelahian yang sering terjadi, maka soal itu selesai sampai di situ. Yoshino pribadi sudah mengingatkan pemilik dan orang-orang muda di tempat itu supaya bungkam. Gadis itu menyatakan bahwa dengan menyatakan dirinya siswa Miyamoto Musashi, walaupun tak sengaja, Jotaro sudah memberikan ketegasan kepada desas-desus bahwa Musashi masih ada di Ogiya.

"Begitu," kata Musashi dengan nada biasa. Ia memandang bertanya-tanya kepada Jotaro. Jotaro menggaruk kepalanya, menarik diri ke sudut mengerutkan diri sekecil-kecilnya.

Gadis itu melanjutkan, "Tak perlu saya menyampaikan pada Bapak yang bakal terjadi kalau dia mencoba meninggalkan tempat ini. Di sana-sini masih banyak orang-orang Yoshioka, menanti Bapak memperlihatkan diri. Yoshino dan pemilik tempat ini ada dalam kedudukan sangat sukar sekarang, karena Koetsu meminta kami menjaga Bapak. Ogiya tak mungkin membiarkan Bapak langsung masuk cengkeraman mereka. Yoshino bertekad melindungi Bapak.

"Samurai-samurai itu begitu keras hati. Mereka terus melakukan pengawasan. Beberapa kali mereka mengirim orang dan menuduh kami menyembunyikan Bapak. Kami sudah bisa melepaskan diri dari mereka, tapi mereka masih belum yakin. Betul-betul saya tak mengerti. Mereka berbuat seperti sedang melakukan perang besar. Sebelah luar pintu gerbang yang menuju daerah ini, ada tiga atau empat baris samurai. Pengintai ada di mana-mana, dan mereka bersenjata lengkap.

"Yoshino berpendapat Bapak mesti tinggal di sini empat-lima hari lagi, atau setidaknya sampai mereka capek menanti."

Musashi mengucapkan terima kasih kepadanya atas kebaikan dan perhatiannya, tapi tambahnya samar-samar, "Aku punya rencana sendiri."

Ia setuju sekali mengirimkan pelayan ke rumah Koetsu sebagai ganti Jotaro. Pelayan itu kembali kurang dari satu jam kemudian, membawa surat Koetsu, Kalau ada kesempatan, mari kita bertemu lagi. Walaupun kelihatannya panjang, hidup ini sebenarnya pendek sekali. Kuminta engkau menjaga dirimu sebaik-baiknya. Salam dari jauh. Walaupun jumlahnya sedikit, kata-kata itu terasa hangat dan sangat wajar.

"Pakaian Bapak ada dalam bungkusan ini," kata si pelayan. "Ibu Koetsu khusus minta saya menyampaikan ucapan selamat." Ia membungkuk dan pergi.

Musashi memandang kimono katunnya yang sudah tua, compang-camping, sudah begitu sering terkena embun dan hujan, serta bernoda-noda keringat. Pakaian itu terasa lebih enak bagi kulitnya daripada sutra halus yang dipinjamkan kepadanya oleh Ogiya. Itulah seragam yang cocok bagi orang yang sedang mempelajari ilmu pedang secara serius. Musashi tidak membutuhkan atau menginginkan pakaian yang lebih baik dari itu.

Ia menduga kimono itu pasti bau sesudah beberapa hari dilipat, tapi ketika ia memasukkan tangannya ke dalam lengan kimono itu, tahulah ia bahwa kimono itu segar sekali karena sudah dicuci. Lipatan-lipatannya tampak rapi. Terpikir olehnya, Myoshu mencuci kimono itu sendiri, dan ia pun jadi ingin memiliki seorang ibu. Terpikir olehnya hidup panjang dan sendiri yang akan ditempuhnya, tanpa sanak saudara kecuali kakak perempuan yang hidup di pegunungan. Sejenak ia memandang ke api.

"Mari kita pergi," katanya. Ia kencangkan obi-nya dan ia selipkan pedang yang dicintainya di antara tulang rusuk dan obi itu. Sementara melakukan itu, rasa kesepian pun menyingkir, sama cepatnya dengan waktu datangnya. Pedang itu menjadi ibunya, ayahnya, saudara lelaki, dan saudara perempuannya, demikian renungnya. Itulah yang telah disumpahkannya pada diri sendiri bertahun-tahun sebelum itu, dan itulah yang kiranya akan terjadi.

Jotaro sudah di luar, memandang bintang-bintang di langit. Pikirnya, betapa larut pun mereka sampai di rumah Yang Dipertuan Karasumaru, Otsu pasti masih terjaga.

"Oh, pasti nanti dia terkejut," katanya pada diri sendiri. "Dia akan begitu bahagia, dan barangkali dia akan mulai menangis lagi."

"Jotaro," kata Musashi, "apa tadi kamu masuk lewat gerbang kayu di belakang?"

"Saya tidak tahu, apakah itu di belakang. Tapi gerbangnya di sana itu."

"Pergilah kamu ke sana dan tunggu aku."

"Apa kita tidak pergi bersama-sama?"

"Ya, tapi aku mau mengucapkan selamat tinggal dulu pada Yoshino. Tidak lama."

"Baik, saya menunggu dekat gerbang." Sebetulnya Jotaro kuatir Musashi meninggalkannya, walaupun hanya beberapa saat. Tapi pada malam yang khusus ini, mau rasanya ia melakukan apa pun yang diminta gurunya.

Ogiya seperti semacam pelabuhan, menyenangkan, namun cuma sementara. Musashi ingat bahwa terpencil dari dunia luar itu baik akibatnya bagi dirinya, karena sampai waktu itu tubuh dan jiwanya seperti es, menjadi benda tebal dingin yang tidak peka terhadap keindahan bulan, tak peduli terhadap bunga-bungaan dan tidak tanggap terhadap matahari. Ia memang tidak sangsi akan kebenaran hidup menyangkal diri seperti yang ditempuhnya, tapi la dapat melihat sekarang bahwa hidup dengan menyangkal diri sendiri itu membuatnya sempit, berpikiran kerdil, dan keras kepala. Takuan sudah mengatakan kepadanya bertahun-tahun lalu bahwa kekuatan yang dimilikinya tidak ada bedanya dengan kekuatan binatang liar. Nikkan juga sudah mengingatkannya bahwa ia terlampau kuat. Sesudah bertempur dengan Denshichiro, tubuh dan jiwanya jadi terlalu pekat dan tegang. Dua hari terakhir itu ia membiarkan dirinya lepas dan semangatnya mengendur. Ia minum sedikit, tidur manakala ia mau, membaca, mencoba-coba melukis, menguap, dan meregangkan badan semaunya. Beristirahat itu bermanfaat sekali. Ia menyimpulkan bahwa beristirahat itu penting, dan akan selalu penting baginya sekali-sekali bernikmat-nikmat sepenuhnya selama dua-tiga hari.

Sementara berdiri di halaman, memperhatikan lampu dan bayangan di kamar-kamar depan, ia berpikir, "Aku harus mengucapkan sepatah kata terima kasih kepada Yoshino Dayu atas segala jasanya." Tapi kemudian ia berubah pikiran. Dengan mudah ia dapat mendengar dentang-dentang shamisen dan nyanyian parau para pembeli. Tak terlihat olehnya jalan untuk menyelinap dan bertemu dengan Yoshino. Lebih baik ia mengucapkan terima kasih di dalam hati, dan berharap Yoshino akan mengerti. Ia membungkuk ke arah depan rumah dan berangkat.

Di luar ia memanggil Jotaro dengan isyarat tangan. Ketika anak itu berlari-lari mendapatkannya, mereka mendengar Rin'ya datang membawa surat dari Yoshino. Ia memasukkan surat itu ke tangan Musashi, dan pergi.

Kertas surat itu kecil, berwarna indah. Ketika Musashi membukanya, bau kayu gaharu merasuk ke dalam lubang hidung. Surat itu menyatakan,



Sekilas cahaya bulan dari balik pepohonan lebih memberi kenang-kenangan, daripada bunga-bunga malang yang layu dan luluh malam demi malam. Walaupun orang tertawa sementara aku tersedu dalam mabuk, kukirimkan sepatah kata kenangan ini padamu.



"Dari siapa surat itu?" tanya Jotaro.

"Dari orang yang tak penting sama sekali."

"Perempuan?"

"Apa bedanya?"

"Apa isinya?"

"Tak perlu kamu tahu." Musashi melipat kertas itu.

Jotaro mendekatkan mukanya ke surat itu, dan katanya, "Baunya harum. Bau kayu gaharu."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP