Sabtu, 15 Juli 2017




Pelabuhan



 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






"GONNOSUKE! ... Gonnosuke! ... Gonnosuke! ..."

Iori rupanya tak dapat berhenti memanggil. Ia menyebut nama itu terusmenerus, tak henti-henti. Setelah menemukan sebagian barang milik Gonnosuke di tanah, ia yakin Gonnosuke sudah mati.

Sehari semalam telah berlalu. Selama itu ia hanya berjalan linglung, lupa akan kelelahannya. Kaki, tangan, dan kepalanya terpercik darah, dan kimononya compang-camping.

Setiap kali terserang kejang, ia menatap langit dan teriaknya, "Aku siap." Atau ia memandang tanah dan mengutuk.

"Apa aku sudah gila?" pikirnya, tiba-tiba merasa dingin. Melihat ke dalam genangan air, ia mengenali wajahnya sendiri dan merasa lega. Tapi ia sendirian, tak ada orang yang akan ditegurnya. Dan ia hanya setengah percaya bahwa dirinya masih hidup. Ketika tadi terbangun di dasar jurang, ia tak dapat mengingat di mana ia berada beberapa hari terakhir ini. Tak terpikir olehnya untuk mencoba kembali ke Kuil Kongoji atau Koyagyu.

Sebuah benda berkilau, dengan warna-warna pelangi, menarik perhatiannya—seekor ayam pegar. Kemudian ia tersadar akan semerbak bau wisteria liar, dan ia duduk. Ia coba memahami keadaannya, dan terpikir olehnya matahari itu ada di mana-mana—di balik awan, di antara puncak-puncak gunung, maupun di dalam lembah. Ia berlutut, menangkupkan tangan sambil memejamkan mata, dan mulai berdoa. Ketika ia membuka mata beberapa menit kemudian, yang mula-mula ia lihat adalah samudra yang biru berkabut, di antara dua gunung.

"Anakku," terdengar suara keibuan. "Kau baik-baik saja?"

"Hah?" Dengan terkejut Iori menolehkan matanya yang cekung pada kedua perempuan yang menatapnya dengan rasa ingin tahu itu.

"Menurut Ibu, apa yang terjadi dengan dia?" tanya perempuan yang muda, sambil memandang Iori dengan sikap tak suka.

Sang ibu dengan heran berjalan mendekati Iori, dan ketika melihat darah pada pakaian Iori, ia mengerutkan kening. "Apa luka-luka itu tidak sakit?" tanyanya. Iori menggelengkan kepala. Perempuan itu menoleh pada anaknya, katanya, "Dia rupanya mengerti kata-kata Ibu."

Mereka menanyakan nama Iori, dari mana ia datang, di mana ia dilahirkan, apa kerjanya di sini, dan pada siapa ia berdoa. Sedikit demi sedikit, sambil mencari-cari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, ingatan Iori kembali.

Perempuan yang lebih muda kini lebih simpatik sikapnya. Namanya Otsuru. Katanya, "Mari kita bawa keSakai. Barangkali ada gunanya nanti di toko. Umurnya cocok."

"Oh, gagasan baik juga," kata ibunya, Osei. "Tapi apa dia mau?"

"Dia pasti mau... Betul, tidak?"

Iori mengangguk, katanya, "Yaa."

"Kalau begitu, ayolah, tapi kau mesti mengangkat barang kami."

"Uh."

Iori membalas kata-kata mereka dengan gerutuan, namun ia tidak mengatakan apa-apa dalam perjalanan turun gunung, menempuh jalan pedesaan, dan kemudian masuk Kishiwada. Tapi, sesudah kembali berada di tengah orang lain, ia mau berbicara lagi.

"Di mana kalian tinggal?" tanyanya.

"Di Sakai."

"Apa dekat sini?"

"Tidak, dekat Osaka."

"Di mana itu Osaka?"

"Kita akan naik kapal nanti, dari sini ke Sakai. Nanti kau akan tahu."

"Oh! Kapal?" Karena girang dengan kemungkinan mengadakan perjalanan, Iori berceloteh beberapa menit lamanya, dan bercerita pada mereka bahwa sudah beberapa kali ia naik kapal tambang, dalam perjalanan dari Edo ke Yamato, tapi biarpun samudra tidak jauh dari tempat kelahirannya di Shimosa, ia tidak pernah naik kapal di laut.

"Kalau begitu, kau senang, ya?" tanya Otsuru. "Tapi kau jangan menyebut ibuku 'Bibi'. Katakan 'Ibu' kalau kau bicara dengan beliau."

"Uh."

"Dan jangan menjawab 'Uh'. Katakan 'Ya, Bu."'

"Ya, Bu."

"Ha, itu lebih baik. Nah, kalau kau tinggal dengan kami dan kerja keras, akan kujadikan kau pembantu toko."

"Apa kerja keluargamu?"

"Ayahku pialang kapal."

"Apa itu?"

"Dia pedagang. Dia punya banyak kapal, dan kapal-kapal itu berlayar ke seluruh Jepang Barat."

"Oh, cuma pedagang?" dengus Iori.


"Cuma pedagang? Lho...!" seru gadis itu. Sang ibu cenderung untuk mengabaikan saja kekasaran Iori, tapi anaknya naik darah. Tapi kemudian ia bimbang, dan katanya, "Saya rasa dia belum pernah melihat pedagang selain dari penjual gula-gula atau pedagang pakaian." Maka kebanggaannya yang luar biasa sebagai salah seorang pedagang Kansai pun bangkit, dan gadis itu menerangkan pada Iori bahwa ayahnya memiliki tiga gudang besar-besar di Sakai , dan beberapa puluh kapal. Ia mencoba menerangkan pada Iori bahwa ada kantor-kantor cabang di Shimonoseki, Marukame, dan Shikama, dan bahkan pelayanan yang mereka berikan pada Keluarga Hosokawa di Kokura demikian penting, hingga kapal-kapal ayahnya memiliki status kapal negara.

"Dan," lanjutnya, "beliau diizinkan memiliki nama keluarga dan mengenakan dua bilah pedang, seperti seorang samurai. Semua orang di Honshu barat dan Kyushu kenal dengan nama Kobayashi Tarozaemon dari Shimonoseki. Di waktu perang, daimyo seperti Shimazu dan Hosokawa tidak pernah cukup kapal, hingga ayahku jadi sama pentingnya dengan jenderal."

"Aku tadi tidak bermaksud membuatmu marah," kata Iori.

Kedua wanita itu tertawa.

"Kami bukan marah," kata Otsuru. "Tapi anak-anak macam kau ini, apa yang kauketahui tentang dunia?"

"Maaf."

Di belokan, mereka disambut oleh bau tajam udara bergaram. Otsuru menunjuk kapal yang tertambat di Dermaga Kishiwada. Kapal itu dapat membawa muatan lima ratus gantang, dan sudah dimuati hasil bumi setempat.

"Itu kapal yang akan kita pakai pulang," kata gadis itu bangga.

Kapten kapal dan beberapa agen Kobayashi keluar dari warung teh pelabuhan, untuk menyambut mereka.

"Bagaimana? Senang Ibu berjalan-jalan?" tanya sang kapten. "Saya minta maaf. Muatan begitu banyak, hingga tidak banyak ruang tersisa. Apa kita akan naik?"

Ia mengantar mereka ke buritan kapal, di mana telah disisihkan ruang bersekat tirai. Di bawah telah dihamparkan permadani merah, dan alat-alat pernis gaya Momoyama yang elok dipakai mewadahi sejumlah besar makanan dan sake. Iori merasa seperti sedang memasuki ruang kecil yang teratur baik di rumah seorang daimyo.

Kapal itu sampai di Sakai petang hari, sesudah menempuh perjalanan ke Teluk Osaka, tanpa halangan apa pun. Para musafir langsung menuju gedung Kobayashi yang menghadap dermaga, dan di sana mereka disambut oleh manajer bernama Sahei, dan sejumlah besar pembantu yang berkumpul di pintu masuk lebar.

Ketika Osei memasuki gedung, ia menoleh, katanya, "Sahei, saya minta anak itu diurus."

"Maksud Ibu, anak kecil kotor yang turun dari kapal itu?"

"Ya. Kelihatannya dia cerdas, jadi kau tentunya dapat mempekerjakan dia... Dan tolong urus pakaiannya. Barangkali dia berkutu. Suruh dia mandi baik-baik, dan kasih dia kimono baru. Sudah itu suruh dia tidur."

Iori tidak melihat nyonya rumah atau anak perempuannya lagi sampai beberapa hari sesudahnya. Ada tirai yang panjangnya hanya separuh, memisahkan kantor dengan tempat tinggal di belakang. Tirai itu seperti dinding. Tanpa izin khusus, Sahei pun tidak berani melewatinya.

Iori mendapat sebuah sudut dalam "toko", demikianlah kantor itu disebut. Di situ la dapat tidur. Ia bersyukur sekali telah diselamatkan, namun tak lama kemudian ia merasa tak puas dengan cara hidupnya yang baru itu.

Suasana kosmopolitan yang kini mengitarinya memberikan pesona tertentu kepadanya. Ia ternganga melihat hal-hal baru yang berasal dari luar negeri di jalan-jalan, melihat kapal-kapal di pelabuhan dan tanda-tanda kemakmuran yang tampak dari cara hidup orang-orang. Tapi yang selalu didengarnya adalah, "Hei, Cung! Kerjakan ini ! ... Kerjakan itu!" Dari pembantu terendah sampai manajer, semua menyuruhnya berlari ke sana kemari seperti anjing, tapi sikap mereka sungguh berbeda saat berbicara dengan anggota keluarga atau langganan. Dengan mereka, orang-orang itu berubah menjilat. Dan dari pagi hingga malam, mereka hanya bicara tentang uang dan sekali lagi uang. Kalau tidak kerja, dan sekali lagi kerja.

"Dan mereka menganggap diri mereka manusia!" pikir Iori. Ia mendambakan langit biru dan bau rumput hangat di bawah sinar matahari. Berkali-kali la memutuskan untuk melarikan diri. Hasrat itu paling kuat apabila ia ingat akan Musashi yang pernah berbicara tentang cara-cara menyegarkan semangat. Ia membayangkan pandangan mata Musashi, dan wajah Gonnosuke yang sudah meninggal. Dan Otsu.

Keadaan menjadi gawat pada suatu hari, ketika Sahei berseru, "Io! Io, di mana kau?" Karena tidak mendapat jawaban, Sahei berdiri, lalu mendekati ambang pintu kantor yang berupa tiang keyaki berpernis hitam. "Oh, kau di situ, anak baru!" serunya. "Kenapa kau tidak datang, padahal kau dipanggil?"

Iori waktu itu sedang menyapu jalan antara kantor dan gudang. Ia mengangkat wajah, tanyanya, "Memanggil saya?"

"Memanggil saya, Pak!"

"Oh, begitu."

"Oh, begitu, Pak!"

"Ya, Pak."

"Apa kau tidak punya telinga? Kenapa tidak menjawab panggilanku?"

"Saya dengar Bapak menyebut 'Io'. Itu bukan saya. Nama saya Iori..., Pak."

"Io itu sudah cukup. Dan ada soal lain lagi. Sudah kubilang beberapa hari lalu, jangan pakai pedang itu lagi."

"Ya, Pak."

"Berikan padaku."

Sesaat Iori ragu-ragu, kemudian katanya, "Ini kenang-kenangan dari ayah saya! Saya tak dapat melepaskannya."

"Anak kurang ajar! Berikan sini!"

"Bagaimanapun, saya kan tak ingin jadi pedagang."

"Oh, kalau bukan karena pedagang, orang tak dapat hidup," kata Sahei tegas. "Siapa yang mendatangkan barang-barang dari luar negeri? Nobunaga dan Hideyoshi memang orang-orang besar, tapi tak mungkin mereka membangun benteng-benteng itu—Azuchi, Jurakudai, Fushimi—tanpa bantuan para pedagang. Coba perhatikan orang-orang di Sakai-Namban, Ruzon, Fukien, Amoi. Mereka semua melakukan perdagangan besar-besaran."

"Saya tahu."

"Bagaimana mungkin kau tahu?"

"Tiap orang bisa melihat rumah-rumah tenun besar di Ayamachi, Kinumachi, dan Nishikimachi; dan di atas bukit itu gedung Ruzon'ya kelihatan seperti benteng. Ada berderet-deret gudang dan rumah tinggal milik pedagang-pedagang kaya. Tempat ini, yah, saya tahu Ibu dan Otsuru bangga dengan ini, tapi kalau dibanding-bandingkan, semua ini tak ada artinya."

"Oh, setan kecil kamu!"

Belum lagi Sahei keluar pintu, Iori sudah menjatuhkan sapu dan lari. Sahei memanggil beberapa pekerja pelabuhan, dan memerintahkan mereka menangkapnya.

Ketika Iori sudah diseret balik, Sahei mengomel. "Enaknya diapakan anak macam ini? Kerjanya membantah dan menertawakan kita semua. Hukum dia baik-baik hari ini." Sambil kembali ke kantornya, katanya, "Ambil pedang itu!"

Mereka mengambil pedang Iori yang menjadi gara-gara itu, dan mengikat tangan Iori ke belakang. Lalu mereka ikatkan talinya ke sebuah peti barang besar, hingga Iori tampak seperti monyet yang dirantai.

"Tinggal di situ sebentar," kata salah seorang dari mereka, sambil tertawa mengejek. "Biar orang-orang itu mempermainkanmu dulu." Yang lain-lain tertawa terbahak-bahak, lalu kembali bekerja.

Tak ada yang lebih dibenci Iori daripada ini. Sering sekali Musashi dan Gonnosuke mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal yang mempermalukan dirinya sendiri.

Pertama-tama ia mencoba berdalih, kemudian berjanji akan memperbaiki tingkah lakunya. Dan ketika semua itu terbukti tidak membawa hasil, ia beralih pada caci maki.

"Manajer tolol-kentut tua gila! Lepaskan aku, dan kembalikan pedangku! Aku tak mau tinggal di rumah macam ini!"

Sahei keluar dan memekik, "Diam!" Kemudian ia mencoba menyumbat mulut Iori, tapi anak itu menggigit jarinya, karena itu ia langsung menghentikan usahanya dan menyuruh buruh-buruh pelabuhan melakukannya.

Iori menyentakkan ikatannya, menarik-nariknya ke sana kemari. Ia jadi tegang luar biasa dijadikan tontonan umum itu. Ia mulai menangis ketika seekor kuda kencing di dekatnya, dan cairan berbusa itu menetes-netes di kakinya.

Ketika akhirnya ia mulai tenang kembali, terlihat olehnya sesuatu yang hampir-hampir membuatnya pingsan. Di sebelah seekor kuda, berdiri seorang perempuan muda bertopi lak bertepi lebar, untuk melindunginya dari matahari yang menyengat. Kimononya yang terbuat dari kain rami sudah terikat untuk perjalanan. Ia memegang tongkat bambu kecil.

Sia-sia Iori mencoba meneriakkan nama Otsu. Hampir ia tercekik karena menjulurkan leher. Matanya kering, tapi bahunya bergetar karena sedusedan. Sungguh mengejutkan, bahwa Otsu begitu dekat dengannya. Ke mana Otsu pergi? Kenapa ia meninggalkan Edo?

Sore itu, ketika kapal ditambatkan di dermaga, tempat itu jadi bertambah ramai lagi.

"Sahei, apa kerja anak ini di sini? Macam beruang tontonan saja! Kejam itu, membiarkan dia begitu! Dan juga buruk buat usaha kita." Orang yang masuk kantor itu adalah saudara sepupu Tarozaemon. Biasanya ia disebut Namban'ya, yaitu nama toko tempat ia bekerja. Noda-noda bekas cacar hitam semakin menambah kesan seram pada wajahnya yang tampak mudah marah itu. Tapi, walaupun ujud luarnya demikian, ia orang yang bersahabat dan sering memberikan gula-gula pada Iori. "Aku tidak keberatan kau menghukum dia," lanjutnya, "tapi jangan dilakukan di jalan. Itu buruk buat nama Kobayashi. Lepaskan dia."

"Baik, Pak." Sahei segera mematuhi perintah itu, seraya menyampaikan pada Namban'ya keterangan terperinci tentang kenakalan Iori.

"Kalau kau tidak tahu akan kauapakan anak itu," kata Namban'ya, "nanti kubawa dia pulang. Hari ini juga akan kubicarakan hal ini dengan Osei."

Sahei takut akan akibat-akibatnya kalau nyonya rumah mendengar kejadian itu, karena itu ia berusaha meredakan kemarahan Iori. Sebaliknya, Iori sudah tak mau lagi berurusan dengan orang itu.

Dalam perjalanan keluar malam itu, Namban'ya berhenti di sudut toko tempat Iori berada. Sedikit mabuk, namun dengan semangat tinggi, katanya, "Kau memang tak akan ikut aku. Kedua perempuan itu tidak mau terima. Ha!"

Namun percakapannya dengan Osei dan Otsuru ternyata mendatangkan akibat bermanfaat. Hari berikutnya, Iori dapat masuk sekolah kuil, tidak jauh dari tempat itu. Ia diizinkan mengenakan pedang ke sekolah, dan Sahei maupun yang lain-lain tidak lagi mengganggunya.

Namun Iori tak dapat menenangkan diri. Saat berada di dalam rumah, sering matanya mengembara ke jalan. Setiap kali ada perempuan muda lewat, biarpun jauh dari gambaran Otsu, rona mukanya berubah. Kadang-kadang ia berlari keluar, agar dapat melihat lebih jelas.

Pada suatu pagi, menjelang awal bulan sembilan, sejumlah besar muatan mulai datang dengan kapal sungai dari Kyoto. Tengah hari, peti-peti dan keranjang-keranjang sudah tertimbun tinggi di depan kantor. Label yang tertera di situ menunjukkan bahwa barang-barang itu milik samurai dari Keluarga Hosokawa. Mereka pergi ke Kyoto untuk urusan yang serupa dengan urusan yang telah menyebabkan Sado pergi ke Gunung Koya, menyelesaikan urusan Hosokawa Yusai sesudah ia meninggal. Sekarang mereka duduk sambil minum teh dan mengipas-ngipas diri, sebagian di dalam kantor, sebagian lagi di bawah tepian atap di luar.

Pulang dari sekolah, Iori pergi ke jalan. Di sana ia terhenti, wajahnya pucat.

Kojiro, yang duduk di atas sebuah keranjang besar, berkata pada Sahei, "Terlalu panas di tempat ini. Apa kapal kami belum merapat?"

Sahei menengadah dari surat muatan yang dipegangnya, dan menunjuk ke dermaga. "Kapal Bapak yang namanya Tatsumimaru, yang dl sana itu. Seperti Bapak lihat, orang belum selesai mengatur muatan, jadi tempat Anda sekalian di kapal belum siap. Maaf."

"Saya lebih suka di kapal. Di sana lebih sejuk."

"Baik, Pak. Akan saya lihat bagaimana keadaannya." Sahei bergegas keluar, tanpa menghapus keringat di keningnya, karena terlampau terburu-buru, dan di sana tampak olehnya Iori.

"Ngapain kau berdiri macam patung di situ? Sana ladeni penumpang. Ada teh, air dingin, air panas-beri mereka yang mereka minta."

Iori pergi ke pondok di jalan dekat gudang, tempat ketel air dididihkan. Tapi di situ ia bukan melakukan pekerjaannya, melainkan berdiri saja menatap Kojiro.

Kojiro biasa dipanggil Ganryu sekarang, nama yang kedengaran bernada perguruan agaknya lebih tepat untuk umur dan statusnya sekarang. Tubuhnya lebih gemuk dan gempal. Wajahnya penuh. Matanya yang dulu tajam menusuk, sekarang tenang dan tenteram. Ia tak lagi sering menggunakan lidahnya yang setajam pedang, yang di masa lalu demikian banyak mendatangkan masalah. Tapi, bagaimanapun, martabat pedangnya telah menjadi bagian dari kepribadiannya.

Salah satu hasilnya adalah bahwa berangsur-angsur ia akhirnya diterima oleh para samurai yang sebaya dengannya. Mereka tidak hanya memujinya, tapi bahkan menghormatinya.

Sahei kembali dari kapal dengan keringat bercucuran. Sekali lagi minta maaf karena telah memaksa orang lama menanti, ia berkata, "Tempat duduk di tengah kapal belum siap, tapi yang di haluan sudah." Ini berarti prajurit biasa dan para samurai muda dapat naik kapal. Mereka mulai mengumpulkan barang-barang dan meninggalkan tempat itu berombongan.

Tinggal Kojiro dan enam atau tujuh orang yang lebih tua, semuanya pejabat penting perdikan.

"Sado belum datang, ya?" tanya Kojiro.

"Belum, tapi mestinya tak lama lagi."

"Sebentar lagi matahari condong ke barat," kata Sahei pada Kojiro.

"Akan lebih sejuk kalau Bapak masuk."

"Lalatnya bukan main," keluh Kojiro. "Dan aku haus. Apa bisa minta teh lagi?"

"Tentu, Pak." Tanpa berdiri lagi, Sahei berseru ke arah pondok air panas, "lo, apa kerjamu? Bawa teh buat tamu-tamu kita." Dengan sibuknya ia kembali mengurus surat muatan itu, tapi ketika disadarinya Iori tidak menjawab, ia ulangi perintahnya. Sesudah itu, ia lihat anak itu berjalan pelan membawa beberapa cangkir teh dengan baki.

Iori menawarkan teh pada setiap samurai, sambil setiap kali membungkuk sopan. Di depan Kojiro, dengan dua cangkir terakhir, ia berkata, "Silakan minum teh."

Dengan kepala kosong, Kojiro mengulurkan tangan, tapi tiba-tiba menarik tangan itu ketika matanya bertemu dengan mata Iori. Dengan terkejut, serunya, "Lho, ini kan..."

Sambil menyeringai, kata Iori, "Terakhir kali saya berjumpa dengan Bapak adalah di Musashino."

"Apa?" ujar Kojiro keras, dengan nada yang hampir tidak sesuai dengan statusnya yang sekarang.

Baru ia hendak mengatakan hal lain lagi, Iori sudah berseru, "Oh, jadi Bapak ingat saya?" Lalu ia melemparkan baki itu ke wajah Kojiro.

"Oh!" teriak Kojiro sambil mencekal pergelangan Iori. Baki itu tidak mengenainya, tapi teh panas menciprati mata kirinya. Sisa teh tumpah ke dada dan pangkuannya, sedangkan baki menumbuk sebuah tiang di sudut.

"Kurang ajar!" teriak Kojiro. Ia lemparkan Iori ke lantai tanah, dan ia injakkan sebelah kakinya di tubuh anak itu. "Manajer!" panggilnya marah. "Anak nakal ini pegawaimu, kan? Coba sini, pegangi. Biar dia masih anak-anak, dia tak akan kubiarkan."

Sahei ketakutan setengah mati, dan bergegas melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Tapi entah bagaimana, Iori berhasil menarik pedangnya dan mengayunkannya ke lengan Kojiro. Kojiro menendangnya ke tengah ruangan, dan melompat mundur selangkah.

Sahei menoleh, dan cepat kembali sambil menjerit sekuat paru-parunya. Ia sampai ke tempat Iori tepat ketika anak itu sudah bangkit berdiri.

"Kau jangan ikut campur!" teriak Iori, kemudian sambil menatap wajah Kojiro, semburnya, "Hukuman setimpal untukmu!" lalu berlari ke luar.

Kojiro mengambil sebuah pikulan yang kebetulan ada di dekatnya, dan melemparkannya pada anak itu, tepat mengenai belakang lututnya. Iori jatuh tengkurap.

Atas perintah Sahei, beberapa orang menyerbu Iori dan menyeretnya kembali ke pondok air panas. Di situ seorang pembantu sedang menggosok kimono dan hakama Kojiro.

"Maafkan perbuatan keterlaluan ini," motion Sahei.

"Tak tahu lagi kami, bagaimana mesti minta maaf," kata salah seorang pembantu.

Tanpa memandang mereka, Kojiro mengambil handuk basah dari pembantu dan menghapus wajahnya.

Iori sudah dijatuhkan ke tanah, tangannya dilipat ke belakang. "Lepaskan saya," pintanya dengan tubuh menggeliat kesakitan. "Saya takkan lari. Saya anak samurai. Saya lakukan ini tadi dengan sengaja, dan saya mau menerima hukuman seperti lelaki."

Kojiro sudah selesai merapikan pakaian dan rambutnya. "Biarkan dia pergi," katanya tenang.

Tak tahu bagaimana menanggapi tenangnya wajah samurai itu, Sahei berkata tergagap, "Betul... betul, Bapak tidak apa-apa?"

"Ya." Tapi perkataan itu terdengar seperti paku dihunjamkan ke papan "biarpun aku tidak bermaksud terlibat dengan urusan anak kecil, kalau kalian merasa dia mesti dihukum, aku dapat menyarankan caranya. Tuangkan seciduk air mendidih ke atas kepalanya. Itu takkan membunuhnya."

"Air mendidih!" Sahei mengerut mendengar saran itu.

"Ya. Tapi kalau kau mau melepaskannya, itu juga tidak apa-apa."

Sahei dan orang-orangnya saling pandang dan ragu-ragu.

"Kita tak bisa membiarkan hal macam ini lewat tanpa hukuman."

"Dia memang suka kurang ajar."

"Untung dia tidak terbunuh."

"Ambil tali."

Ketika mereka mulai mengikatnya, Iori mencoba meronta dari tangan mereka. "Apa yang kalian lakukan?" jeritnya. Sambil duduk di tanah, katanya, "Sudah saya katakan, saya tidak akan lari, kan? Akan saya terima hukuman saya. Saya punya alasan, kenapa berbuat begitu. Seorang saudagar boleh minta maaf, tapi saya tidak. Anak samurai tidak bakal menangis karena sedikit air panas."

"Baik," kata Sahei. "Kau yang minta."

Ia menggulung lengan bajunya, menciduk air mendidih, dan berjalan pelan-pelan mendekati Iori.

"Tutup matamu, Iori. Kalau tidak, kau bisa buta." Suara itu datang dari seberang jalan.

Iori menutup matanya, tak berani melihat siapa yang mengucapkan katakata itu. Ia teringat cerita yang pernah didengarnya dari Musashi, dulu di Musashino. Cerita itu tentang Kaisen, seorang pendeta Zen yang sangat dipuja-puja oleh para prajurit Provinsi Kai. Ketika Nobunaga dan Ieyasu menyerang Kuil Kaisen dan membakarnya, pendeta itu duduk tenang di tingkat atas pintu gerbang. Dalam keadaan terbakar menjelang mati, ia mengucapkan kata-kata ini, "Kalau hatimu sudah mendapat pencerahan, api pun terasa sejuk."

"Cuma seciduk air panas!" kata Iori pada diri sendiri. "Aku tak boleh berpikir macam itu." Ia mencoba sekuat tenaga menjadikan dirinya kehampaan yang tanpa pribadi, bebas dari khayal, dan tanpa dukacita. Cara pendeta itu hanya mungkin kalau la lebih muda, atau jauh lebih tua... tapi pada umurnya sekarang, ia masih benar-benar menjadi bagian dunia ini.

Ah, kapan itu terjadi? Sekejap ia menyangka bahwa keringat yang menetes di dahinya adalah air mendidih. Waktu semenit terasa satu tahun.

"Oh, itu Sado!" kata Kojiro.

Sahei dan semua orang lain menoleh dan memandang samurai tua itu. "Ada apa disini?" tanya Sado sambil menyeberang jalan, didampingi Nuinosuke.

Kojiro tertawa, katanya riang, "Anda memergoki kami. Mereka sedang menghukum anak itu."

Sado memandang Iori baik-baik. "Menghukum dia? Ya, kalau dia sudah melakukan sesuatu yang buruk, mesti dihukum. Teruskan saja. Saya menyaksikannya."

Sahei memandang Kojiro dari sudut matanya. Kojiro segera menilai keadaan itu, dan tahu bahwa dialah yang akan dianggap bertanggung jawab atas kerasnya hukuman itu. "Cukup!" katanya.

Iori membuka mata. Agak sukar ia memusatkan tatapannya, tapi ketika akhirnya mengenali Sado, ia berkata gembira, "Saya kenal Bapak, samurai yang pernah datang di Kuil Tokuganji di Hotengahara."

"Kau ingat aku?"

"Ya, Pak."

"Apa yang terjadi dengan gurumu, Musashi?"

Iori tersedu-sedu, dan menutup mata dengan kedua tangannya.

Kojiro kaget melihat Sado mengenal anak itu. Sesaat ia memikirkannya, dan menyimpulkan bahwa tentunya hal itu ada hubungannya dengan usaha Sado mencari Musashi. Tapi tentu saja ia tak ingin nama Musashi muncul dalam percakapan antara dirinya dengan abdi senior itu. Ia tahu, tak lama lagi ia akan terpaksa berkelahi melawan Musashi, dan itu takkan lagi merupakan urusan pribadi semata-mata.

Sesungguhnya, telah terjadi perpecahan, baik di dalam garis utama Keluarga Hosokawa maupun di dalam percabangannya. Sebagian menghargai Musashi, sebagian lagi cenderung berpihak kepada bekas ronin yang sekarang menjadi instruktur pedang utama klan itu. Sebagian orang mengatakan bahwa yang menyebabkan tak terhindarkannya pertarungan adalah persaingan di belakang layar antara Sado dan Kakubei.

Kojiro merasa lega ketika pada waktu itu mandor kapal Tatsumimaru datang, menyatakan bahwa kapal sudah siap.

Sado, yang belum ikut naik, berkata, "Tapi kapal belum akan berangkat sampai matahari terbenam, kan?"

"Betul," jawab Sahei, yang sementara itu berjalan mondar-mandir sekitar kantor, karena kuatir akan akibat-akibat peristiwa hari itu.

"Kalau begitu, aku punya waktu buat istirahat?"

"Banyak waktu buat istirahat. Silakan minum teh."

Otsuru muncul di pintu dalam, dan memanggil manajer. Sahei mendengarkan pembicaraan Otsuru beberapa menit lamanya, kemudian kembali mendekati Sado, dan katanya, "Kantor ini bukan tempat yang tepat buat menerima Bapak. Rumah dekat sekali, melintasi kebun itu. Saya persilakan Bapak masuk ke sana."

"Oh, terima kasih," jawab Sado. "Pada siapa saya berutang budi? Pada nyonya rumah?"

"Ya. Beliau ingin mengucapkan terima kasih pada Bapak."

"Untuk apa?"

Sahei menggaruk kepalanya. "Saya pikir, karena Bapak sudah menolong Iori. Karena sekarang tuan rumah tidak ada..."

"Bicara soal Iori, aku ingin bicara dengannya. Coba panggil dia."

Kebun itu tepat seperti harapan Sado mengenai kebun rumah seorang saudagar Sakai yang kaya. Walaupun satu sisinya dibatasi gudang, kebun itu merupakan suatu dunia yang lain sama sekali, dibanding kantor yang panas dan ribut itu. Batu-batuan dan tanam-tanaman baru disiram, dan di sana ada sungai yang airnya mengalir.

Osei dan Otsuru berlutut dalam ruangan kecil anggun yang menghadap kebun. Di atas tatami terhampar permadani wol, dengan baki-baki berisi kue dan tembakau. Sado mencium hall dupa yang dicampuri rempah-rempah.

Sesudah duduk di ujung ruangan, katanya, "Saya takkan masuk. Kaki saya kotor."

Osei menghidangkan teh kepadanya, meminta maaf atas sikap para pegawainya, serta mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan Iori.

Kata Sado, "Kebetulan saya pernah berjumpa anak itu beberapa waktu yang lalu. Saya senang bertemu dia kembali. Bagaimana dia bisa tinggal di rumah Nyonya?"

Sesudah mendengarkan penjelasan nyonya rumah, Sado bercerita tentang usahanya yang sudah berjalan lama untuk mencari Musashi. Mereka mengobrol dengan akrab beberapa waktu lamanya, kemudian kata Sado, "Tadi saya memperhatikan Iori dari seberang jalan. Saya kagum akan kemampuannya bersikap tenang. Sikap itu baik sekali. Terus terang, menurut saya merupakan suatu kesalahan membesarkan anak yang demikian besar semangatnya di lingkungan saudagar. Bagaimana kalau anak itu Nyonya serahkan pada saya? Di Kokura dia dapat dibesarkan sebagai samurai."

Osei segera menyetujuinya, katanya, "Saya pikir itulah yang sebaik-baiknya buat dia."

Otsuru bangkit untuk mencari Iori, dan tepat pada waktu itu Iori muncul dari balik potion tempat ia mendengarkan seluruh percakapan tersebut.

"Apa kau keberatan pergi denganku?" tanya Sado.

Dengan sukacita Iori mohon diajak ke Kokura.

Sementara Sado minum teh, Otsuru menyiapkan perlengkapan perjalanan Iori: kimono, hakama, pembalut kaki, topi anyaman-semuanya baru. Itulah pertama kalinya Iori mengenakan hakama.

Petang itu, ketika Tatsumimaru mengembangkan sayap-sayap hitamnya dan berlayar di bawah gumpalan awan yang menjadi keemasan oleh matahari yang sedang terbenam, Iori menoleh ke belakang, ke arah lautan wajah—Otsuru dan ibunya, wajah Sahei, dan orang-orang yang mengantar, juga wajah kota Sakai.

Dengan senyum lebar ia melepas topi anyamannya dan melambaikannya pada mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP