"GONNOSUKE! ...
Gonnosuke! ... Gonnosuke! ..."
Iori rupanya tak
dapat berhenti memanggil. Ia menyebut nama itu terusmenerus, tak henti-henti.
Setelah menemukan sebagian barang milik Gonnosuke di tanah, ia yakin Gonnosuke
sudah mati.
Sehari semalam telah
berlalu. Selama itu ia hanya berjalan linglung, lupa akan kelelahannya. Kaki,
tangan, dan kepalanya terpercik darah, dan kimononya compang-camping.
Setiap kali terserang
kejang, ia menatap langit dan teriaknya, "Aku siap." Atau ia memandang
tanah dan mengutuk.
"Apa aku sudah
gila?" pikirnya, tiba-tiba merasa dingin. Melihat ke dalam genangan air,
ia mengenali wajahnya sendiri dan merasa lega. Tapi ia sendirian, tak ada orang
yang akan ditegurnya. Dan ia hanya setengah percaya bahwa dirinya masih hidup.
Ketika tadi terbangun di dasar jurang, ia tak dapat mengingat di mana ia berada
beberapa hari terakhir ini. Tak terpikir olehnya untuk mencoba kembali ke Kuil
Kongoji atau Koyagyu.
Sebuah benda
berkilau, dengan warna-warna pelangi, menarik perhatiannya—seekor ayam pegar.
Kemudian ia tersadar akan semerbak bau wisteria liar, dan ia duduk. Ia coba
memahami keadaannya, dan terpikir olehnya matahari itu ada di mana-mana—di
balik awan, di antara puncak-puncak gunung, maupun di dalam lembah. Ia
berlutut, menangkupkan tangan sambil memejamkan mata, dan mulai berdoa. Ketika
ia membuka mata beberapa menit kemudian, yang mula-mula ia lihat adalah samudra
yang biru berkabut, di antara dua gunung.
"Anakku,"
terdengar suara keibuan. "Kau baik-baik saja?"
"Hah?"
Dengan terkejut Iori menolehkan matanya yang cekung pada kedua perempuan yang
menatapnya dengan rasa ingin tahu itu.
"Menurut Ibu,
apa yang terjadi dengan dia?" tanya perempuan yang muda, sambil memandang
Iori dengan sikap tak suka.
Sang ibu dengan heran
berjalan mendekati Iori, dan ketika melihat darah pada pakaian Iori, ia
mengerutkan kening. "Apa luka-luka itu tidak sakit?" tanyanya. Iori
menggelengkan kepala. Perempuan itu menoleh pada anaknya, katanya, "Dia
rupanya mengerti kata-kata Ibu."
Mereka menanyakan
nama Iori, dari mana ia datang, di mana ia dilahirkan, apa kerjanya di sini,
dan pada siapa ia berdoa. Sedikit demi sedikit, sambil mencari-cari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu, ingatan Iori kembali.
Perempuan yang lebih
muda kini lebih simpatik sikapnya. Namanya Otsuru. Katanya, "Mari kita
bawa keSakai. Barangkali ada gunanya nanti di toko. Umurnya cocok."
"Oh, gagasan
baik juga," kata ibunya, Osei. "Tapi apa dia mau?"
"Dia pasti
mau... Betul, tidak?"
Iori mengangguk, katanya,
"Yaa."
"Kalau begitu,
ayolah, tapi kau mesti mengangkat barang kami."
"Uh."
Iori membalas
kata-kata mereka dengan gerutuan, namun ia tidak mengatakan apa-apa dalam
perjalanan turun gunung, menempuh jalan pedesaan, dan kemudian masuk Kishiwada.
Tapi, sesudah kembali berada di tengah orang lain, ia mau berbicara lagi.
"Di mana kalian
tinggal?" tanyanya.
"Di Sakai."
"Apa dekat
sini?"
"Tidak, dekat
Osaka."
"Di mana itu
Osaka?"
"Kita akan naik
kapal nanti, dari sini ke Sakai. Nanti kau akan tahu."
"Oh!
Kapal?" Karena girang dengan kemungkinan mengadakan perjalanan, Iori
berceloteh beberapa menit lamanya, dan bercerita pada mereka bahwa sudah
beberapa kali ia naik kapal tambang, dalam perjalanan dari Edo ke Yamato, tapi
biarpun samudra tidak jauh dari tempat kelahirannya di Shimosa, ia tidak pernah
naik kapal di laut.
"Kalau begitu,
kau senang, ya?" tanya Otsuru. "Tapi kau jangan menyebut ibuku
'Bibi'. Katakan 'Ibu' kalau kau bicara dengan beliau."
"Uh."
"Dan jangan
menjawab 'Uh'. Katakan 'Ya, Bu."'
"Ya, Bu."
"Ha, itu lebih
baik. Nah, kalau kau tinggal dengan kami dan kerja keras, akan kujadikan kau
pembantu toko."
"Apa kerja
keluargamu?"
"Ayahku pialang
kapal."
"Apa itu?"
"Dia pedagang.
Dia punya banyak kapal, dan kapal-kapal itu berlayar ke seluruh Jepang
Barat."
"Oh, cuma
pedagang?" dengus Iori.
"Cuma pedagang?
Lho...!" seru gadis itu. Sang ibu cenderung untuk mengabaikan saja
kekasaran Iori, tapi anaknya naik darah. Tapi kemudian ia bimbang, dan katanya,
"Saya rasa dia belum pernah melihat pedagang selain dari penjual gula-gula
atau pedagang pakaian." Maka kebanggaannya yang luar biasa sebagai salah
seorang pedagang Kansai pun bangkit, dan gadis itu menerangkan pada Iori bahwa
ayahnya memiliki tiga gudang besar-besar di Sakai , dan beberapa puluh kapal.
Ia mencoba menerangkan pada Iori bahwa ada kantor-kantor cabang di Shimonoseki,
Marukame, dan Shikama, dan bahkan pelayanan yang mereka berikan pada Keluarga
Hosokawa di Kokura demikian penting, hingga kapal-kapal ayahnya memiliki status
kapal negara.
"Dan,"
lanjutnya, "beliau diizinkan memiliki nama keluarga dan mengenakan dua
bilah pedang, seperti seorang samurai. Semua orang di Honshu barat dan Kyushu
kenal dengan nama Kobayashi Tarozaemon dari Shimonoseki. Di waktu perang,
daimyo seperti Shimazu dan Hosokawa tidak pernah cukup kapal, hingga ayahku
jadi sama pentingnya dengan jenderal."
"Aku tadi tidak
bermaksud membuatmu marah," kata Iori.
Kedua wanita itu
tertawa.
"Kami bukan
marah," kata Otsuru. "Tapi anak-anak macam kau ini, apa yang
kauketahui tentang dunia?"
"Maaf."
Di belokan, mereka disambut
oleh bau tajam udara bergaram. Otsuru menunjuk kapal yang tertambat di Dermaga
Kishiwada. Kapal itu dapat membawa muatan lima ratus gantang, dan sudah dimuati
hasil bumi setempat.
"Itu kapal yang
akan kita pakai pulang," kata gadis itu bangga.
Kapten kapal dan
beberapa agen Kobayashi keluar dari warung teh pelabuhan, untuk menyambut
mereka.
"Bagaimana?
Senang Ibu berjalan-jalan?" tanya sang kapten. "Saya minta maaf.
Muatan begitu banyak, hingga tidak banyak ruang tersisa. Apa kita akan
naik?"
Ia mengantar mereka
ke buritan kapal, di mana telah disisihkan ruang bersekat tirai. Di bawah telah
dihamparkan permadani merah, dan alat-alat pernis gaya Momoyama yang elok
dipakai mewadahi sejumlah besar makanan dan sake. Iori merasa seperti sedang
memasuki ruang kecil yang teratur baik di rumah seorang daimyo.
Kapal itu sampai di
Sakai petang hari, sesudah menempuh perjalanan ke Teluk Osaka, tanpa halangan
apa pun. Para musafir langsung menuju gedung Kobayashi yang menghadap dermaga,
dan di sana mereka disambut oleh manajer bernama Sahei, dan sejumlah besar
pembantu yang berkumpul di pintu masuk lebar.
Ketika Osei memasuki
gedung, ia menoleh, katanya, "Sahei, saya minta anak itu diurus."
"Maksud Ibu,
anak kecil kotor yang turun dari kapal itu?"
"Ya. Kelihatannya
dia cerdas, jadi kau tentunya dapat mempekerjakan dia... Dan tolong urus
pakaiannya. Barangkali dia berkutu. Suruh dia mandi baik-baik, dan kasih dia
kimono baru. Sudah itu suruh dia tidur."
Iori tidak melihat
nyonya rumah atau anak perempuannya lagi sampai beberapa hari sesudahnya. Ada
tirai yang panjangnya hanya separuh, memisahkan kantor dengan tempat tinggal di
belakang. Tirai itu seperti dinding. Tanpa izin khusus, Sahei pun tidak berani
melewatinya.
Iori mendapat sebuah
sudut dalam "toko", demikianlah kantor itu disebut. Di situ la dapat
tidur. Ia bersyukur sekali telah diselamatkan, namun tak lama kemudian ia
merasa tak puas dengan cara hidupnya yang baru itu.
Suasana kosmopolitan
yang kini mengitarinya memberikan pesona tertentu kepadanya. Ia ternganga
melihat hal-hal baru yang berasal dari luar negeri di jalan-jalan, melihat
kapal-kapal di pelabuhan dan tanda-tanda kemakmuran yang tampak dari cara hidup
orang-orang. Tapi yang selalu didengarnya adalah, "Hei, Cung! Kerjakan ini
! ... Kerjakan itu!" Dari pembantu terendah sampai manajer, semua
menyuruhnya berlari ke sana kemari seperti anjing, tapi sikap mereka sungguh
berbeda saat berbicara dengan anggota keluarga atau langganan. Dengan mereka,
orang-orang itu berubah menjilat. Dan dari pagi hingga malam, mereka hanya
bicara tentang uang dan sekali lagi uang. Kalau tidak kerja, dan sekali lagi
kerja.
"Dan mereka
menganggap diri mereka manusia!" pikir Iori. Ia mendambakan langit biru
dan bau rumput hangat di bawah sinar matahari. Berkali-kali la memutuskan untuk
melarikan diri. Hasrat itu paling kuat apabila ia ingat akan Musashi yang
pernah berbicara tentang cara-cara menyegarkan semangat. Ia membayangkan
pandangan mata Musashi, dan wajah Gonnosuke yang sudah meninggal. Dan Otsu.
Keadaan menjadi gawat
pada suatu hari, ketika Sahei berseru, "Io! Io, di mana kau?" Karena
tidak mendapat jawaban, Sahei berdiri, lalu mendekati ambang pintu kantor yang
berupa tiang keyaki berpernis hitam. "Oh, kau di situ, anak baru!"
serunya. "Kenapa kau tidak datang, padahal kau dipanggil?"
Iori waktu itu sedang
menyapu jalan antara kantor dan gudang. Ia mengangkat wajah, tanyanya,
"Memanggil saya?"
"Memanggil saya,
Pak!"
"Oh,
begitu."
"Oh, begitu,
Pak!"
"Ya, Pak."
"Apa kau tidak
punya telinga? Kenapa tidak menjawab panggilanku?"
"Saya dengar
Bapak menyebut 'Io'. Itu bukan saya. Nama saya Iori..., Pak."
"Io itu sudah
cukup. Dan ada soal lain lagi. Sudah kubilang beberapa hari lalu, jangan pakai
pedang itu lagi."
"Ya, Pak."
"Berikan
padaku."
Sesaat Iori
ragu-ragu, kemudian katanya, "Ini kenang-kenangan dari ayah saya! Saya tak
dapat melepaskannya."
"Anak kurang
ajar! Berikan sini!"
"Bagaimanapun,
saya kan tak ingin jadi pedagang."
"Oh, kalau bukan
karena pedagang, orang tak dapat hidup," kata Sahei tegas. "Siapa
yang mendatangkan barang-barang dari luar negeri? Nobunaga dan Hideyoshi memang
orang-orang besar, tapi tak mungkin mereka membangun benteng-benteng
itu—Azuchi, Jurakudai, Fushimi—tanpa bantuan para pedagang. Coba perhatikan
orang-orang di Sakai-Namban, Ruzon, Fukien, Amoi. Mereka semua melakukan
perdagangan besar-besaran."
"Saya
tahu."
"Bagaimana
mungkin kau tahu?"
"Tiap orang bisa
melihat rumah-rumah tenun besar di Ayamachi, Kinumachi, dan Nishikimachi; dan
di atas bukit itu gedung Ruzon'ya kelihatan seperti benteng. Ada berderet-deret
gudang dan rumah tinggal milik pedagang-pedagang kaya. Tempat ini, yah, saya
tahu Ibu dan Otsuru bangga dengan ini, tapi kalau dibanding-bandingkan, semua
ini tak ada artinya."
"Oh, setan kecil
kamu!"
Belum lagi Sahei
keluar pintu, Iori sudah menjatuhkan sapu dan lari. Sahei memanggil beberapa
pekerja pelabuhan, dan memerintahkan mereka menangkapnya.
Ketika Iori sudah
diseret balik, Sahei mengomel. "Enaknya diapakan anak macam ini? Kerjanya
membantah dan menertawakan kita semua. Hukum dia baik-baik hari ini."
Sambil kembali ke kantornya, katanya, "Ambil pedang itu!"
Mereka mengambil
pedang Iori yang menjadi gara-gara itu, dan mengikat tangan Iori ke belakang.
Lalu mereka ikatkan talinya ke sebuah peti barang besar, hingga Iori tampak
seperti monyet yang dirantai.
"Tinggal di situ
sebentar," kata salah seorang dari mereka, sambil tertawa mengejek.
"Biar orang-orang itu mempermainkanmu dulu." Yang lain-lain tertawa
terbahak-bahak, lalu kembali bekerja.
Tak ada yang lebih
dibenci Iori daripada ini. Sering sekali Musashi dan Gonnosuke mengingatkannya
untuk tidak melakukan hal-hal yang mempermalukan dirinya sendiri.
Pertama-tama ia
mencoba berdalih, kemudian berjanji akan memperbaiki tingkah lakunya. Dan
ketika semua itu terbukti tidak membawa hasil, ia beralih pada caci maki.
"Manajer
tolol-kentut tua gila! Lepaskan aku, dan kembalikan pedangku! Aku tak mau
tinggal di rumah macam ini!"
Sahei keluar dan
memekik, "Diam!" Kemudian ia mencoba menyumbat mulut Iori, tapi anak
itu menggigit jarinya, karena itu ia langsung menghentikan usahanya dan
menyuruh buruh-buruh pelabuhan melakukannya.
Iori menyentakkan
ikatannya, menarik-nariknya ke sana kemari. Ia jadi tegang luar biasa dijadikan
tontonan umum itu. Ia mulai menangis ketika seekor kuda kencing di dekatnya,
dan cairan berbusa itu menetes-netes di kakinya.
Ketika akhirnya ia
mulai tenang kembali, terlihat olehnya sesuatu yang hampir-hampir membuatnya
pingsan. Di sebelah seekor kuda, berdiri seorang perempuan muda bertopi lak
bertepi lebar, untuk melindunginya dari matahari yang menyengat. Kimononya yang
terbuat dari kain rami sudah terikat untuk perjalanan. Ia memegang tongkat
bambu kecil.
Sia-sia Iori mencoba
meneriakkan nama Otsu. Hampir ia tercekik karena menjulurkan leher. Matanya
kering, tapi bahunya bergetar karena sedusedan. Sungguh mengejutkan, bahwa Otsu
begitu dekat dengannya. Ke mana Otsu pergi? Kenapa ia meninggalkan Edo?
Sore itu, ketika
kapal ditambatkan di dermaga, tempat itu jadi bertambah ramai lagi.
"Sahei, apa
kerja anak ini di sini? Macam beruang tontonan saja! Kejam itu, membiarkan dia
begitu! Dan juga buruk buat usaha kita." Orang yang masuk kantor itu
adalah saudara sepupu Tarozaemon. Biasanya ia disebut Namban'ya, yaitu nama
toko tempat ia bekerja. Noda-noda bekas cacar hitam semakin menambah kesan
seram pada wajahnya yang tampak mudah marah itu. Tapi, walaupun ujud luarnya
demikian, ia orang yang bersahabat dan sering memberikan gula-gula pada Iori.
"Aku tidak keberatan kau menghukum dia," lanjutnya, "tapi jangan
dilakukan di jalan. Itu buruk buat nama Kobayashi. Lepaskan dia."
"Baik,
Pak." Sahei segera mematuhi perintah itu, seraya menyampaikan pada
Namban'ya keterangan terperinci tentang kenakalan Iori.
"Kalau kau tidak
tahu akan kauapakan anak itu," kata Namban'ya, "nanti kubawa dia
pulang. Hari ini juga akan kubicarakan hal ini dengan Osei."
Sahei takut akan
akibat-akibatnya kalau nyonya rumah mendengar kejadian itu, karena itu ia
berusaha meredakan kemarahan Iori. Sebaliknya, Iori sudah tak mau lagi
berurusan dengan orang itu.
Dalam perjalanan
keluar malam itu, Namban'ya berhenti di sudut toko tempat Iori berada. Sedikit
mabuk, namun dengan semangat tinggi, katanya, "Kau memang tak akan ikut
aku. Kedua perempuan itu tidak mau terima. Ha!"
Namun percakapannya
dengan Osei dan Otsuru ternyata mendatangkan akibat bermanfaat. Hari
berikutnya, Iori dapat masuk sekolah kuil, tidak jauh dari tempat itu. Ia
diizinkan mengenakan pedang ke sekolah, dan Sahei maupun yang lain-lain tidak
lagi mengganggunya.
Namun Iori tak dapat
menenangkan diri. Saat berada di dalam rumah, sering matanya mengembara ke
jalan. Setiap kali ada perempuan muda lewat, biarpun jauh dari gambaran Otsu,
rona mukanya berubah. Kadang-kadang ia berlari keluar, agar dapat melihat lebih
jelas.
Pada suatu pagi,
menjelang awal bulan sembilan, sejumlah besar muatan mulai datang dengan kapal
sungai dari Kyoto. Tengah hari, peti-peti dan keranjang-keranjang sudah
tertimbun tinggi di depan kantor. Label yang tertera di situ menunjukkan bahwa
barang-barang itu milik samurai dari Keluarga Hosokawa. Mereka pergi ke Kyoto
untuk urusan yang serupa dengan urusan yang telah menyebabkan Sado pergi ke
Gunung Koya, menyelesaikan urusan Hosokawa Yusai sesudah ia meninggal. Sekarang
mereka duduk sambil minum teh dan mengipas-ngipas diri, sebagian di dalam
kantor, sebagian lagi di bawah tepian atap di luar.
Pulang dari sekolah,
Iori pergi ke jalan. Di sana ia terhenti, wajahnya pucat.
Kojiro, yang duduk di
atas sebuah keranjang besar, berkata pada Sahei, "Terlalu panas di tempat
ini. Apa kapal kami belum merapat?"
Sahei menengadah dari
surat muatan yang dipegangnya, dan menunjuk ke dermaga. "Kapal Bapak yang
namanya Tatsumimaru, yang dl sana itu. Seperti Bapak lihat, orang belum selesai
mengatur muatan, jadi tempat Anda sekalian di kapal belum siap. Maaf."
"Saya lebih suka
di kapal. Di sana lebih sejuk."
"Baik, Pak. Akan
saya lihat bagaimana keadaannya." Sahei bergegas keluar, tanpa menghapus
keringat di keningnya, karena terlampau terburu-buru, dan di sana tampak
olehnya Iori.
"Ngapain kau
berdiri macam patung di situ? Sana ladeni penumpang. Ada teh, air dingin, air
panas-beri mereka yang mereka minta."
Iori pergi ke pondok
di jalan dekat gudang, tempat ketel air dididihkan. Tapi di situ ia bukan
melakukan pekerjaannya, melainkan berdiri saja menatap Kojiro.
Kojiro biasa
dipanggil Ganryu sekarang, nama yang kedengaran bernada perguruan agaknya lebih
tepat untuk umur dan statusnya sekarang. Tubuhnya lebih gemuk dan gempal.
Wajahnya penuh. Matanya yang dulu tajam menusuk, sekarang tenang dan tenteram.
Ia tak lagi sering menggunakan lidahnya yang setajam pedang, yang di masa lalu
demikian banyak mendatangkan masalah. Tapi, bagaimanapun, martabat pedangnya
telah menjadi bagian dari kepribadiannya.
Salah satu hasilnya
adalah bahwa berangsur-angsur ia akhirnya diterima oleh para samurai yang
sebaya dengannya. Mereka tidak hanya memujinya, tapi bahkan menghormatinya.
Sahei kembali dari
kapal dengan keringat bercucuran. Sekali lagi minta maaf karena telah memaksa
orang lama menanti, ia berkata, "Tempat duduk di tengah kapal belum siap,
tapi yang di haluan sudah." Ini berarti prajurit biasa dan para samurai muda
dapat naik kapal. Mereka mulai mengumpulkan barang-barang dan meninggalkan
tempat itu berombongan.
Tinggal Kojiro dan
enam atau tujuh orang yang lebih tua, semuanya pejabat penting perdikan.
"Sado belum
datang, ya?" tanya Kojiro.
"Belum, tapi
mestinya tak lama lagi."
"Sebentar lagi
matahari condong ke barat," kata Sahei pada Kojiro.
"Akan lebih
sejuk kalau Bapak masuk."
"Lalatnya bukan
main," keluh Kojiro. "Dan aku haus. Apa bisa minta teh lagi?"
"Tentu,
Pak." Tanpa berdiri lagi, Sahei berseru ke arah pondok air panas,
"lo, apa kerjamu? Bawa teh buat tamu-tamu kita." Dengan sibuknya ia
kembali mengurus surat muatan itu, tapi ketika disadarinya Iori tidak menjawab,
ia ulangi perintahnya. Sesudah itu, ia lihat anak itu berjalan pelan membawa beberapa
cangkir teh dengan baki.
Iori menawarkan teh
pada setiap samurai, sambil setiap kali membungkuk sopan. Di depan Kojiro,
dengan dua cangkir terakhir, ia berkata, "Silakan minum teh."
Dengan kepala kosong,
Kojiro mengulurkan tangan, tapi tiba-tiba menarik tangan itu ketika matanya
bertemu dengan mata Iori. Dengan terkejut, serunya, "Lho, ini kan..."
Sambil menyeringai,
kata Iori, "Terakhir kali saya berjumpa dengan Bapak adalah di
Musashino."
"Apa?" ujar
Kojiro keras, dengan nada yang hampir tidak sesuai dengan statusnya yang
sekarang.
Baru ia hendak
mengatakan hal lain lagi, Iori sudah berseru, "Oh, jadi Bapak ingat
saya?" Lalu ia melemparkan baki itu ke wajah Kojiro.
"Oh!"
teriak Kojiro sambil mencekal pergelangan Iori. Baki itu tidak mengenainya, tapi
teh panas menciprati mata kirinya. Sisa teh tumpah ke dada dan pangkuannya,
sedangkan baki menumbuk sebuah tiang di sudut.
"Kurang
ajar!" teriak Kojiro. Ia lemparkan Iori ke lantai tanah, dan ia injakkan
sebelah kakinya di tubuh anak itu. "Manajer!" panggilnya marah.
"Anak nakal ini pegawaimu, kan? Coba sini, pegangi. Biar dia masih
anak-anak, dia tak akan kubiarkan."
Sahei ketakutan
setengah mati, dan bergegas melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Tapi
entah bagaimana, Iori berhasil menarik pedangnya dan mengayunkannya ke lengan
Kojiro. Kojiro menendangnya ke tengah ruangan, dan melompat mundur selangkah.
Sahei menoleh, dan
cepat kembali sambil menjerit sekuat paru-parunya. Ia sampai ke tempat Iori
tepat ketika anak itu sudah bangkit berdiri.
"Kau jangan ikut
campur!" teriak Iori, kemudian sambil menatap wajah Kojiro, semburnya,
"Hukuman setimpal untukmu!" lalu berlari ke luar.
Kojiro mengambil
sebuah pikulan yang kebetulan ada di dekatnya, dan melemparkannya pada anak
itu, tepat mengenai belakang lututnya. Iori jatuh tengkurap.
Atas perintah Sahei,
beberapa orang menyerbu Iori dan menyeretnya kembali ke pondok air panas. Di
situ seorang pembantu sedang menggosok kimono dan hakama Kojiro.
"Maafkan
perbuatan keterlaluan ini," motion Sahei.
"Tak tahu lagi
kami, bagaimana mesti minta maaf," kata salah seorang pembantu.
Tanpa memandang
mereka, Kojiro mengambil handuk basah dari pembantu dan menghapus wajahnya.
Iori sudah dijatuhkan
ke tanah, tangannya dilipat ke belakang. "Lepaskan saya," pintanya
dengan tubuh menggeliat kesakitan. "Saya takkan lari. Saya anak samurai.
Saya lakukan ini tadi dengan sengaja, dan saya mau menerima hukuman seperti
lelaki."
Kojiro sudah selesai
merapikan pakaian dan rambutnya. "Biarkan dia pergi," katanya tenang.
Tak tahu bagaimana
menanggapi tenangnya wajah samurai itu, Sahei berkata tergagap, "Betul...
betul, Bapak tidak apa-apa?"
"Ya." Tapi
perkataan itu terdengar seperti paku dihunjamkan ke papan "biarpun aku
tidak bermaksud terlibat dengan urusan anak kecil, kalau kalian merasa dia
mesti dihukum, aku dapat menyarankan caranya. Tuangkan seciduk air mendidih ke
atas kepalanya. Itu takkan membunuhnya."
"Air
mendidih!" Sahei mengerut mendengar saran itu.
"Ya. Tapi kalau
kau mau melepaskannya, itu juga tidak apa-apa."
Sahei dan
orang-orangnya saling pandang dan ragu-ragu.
"Kita tak bisa
membiarkan hal macam ini lewat tanpa hukuman."
"Dia memang suka
kurang ajar."
"Untung dia
tidak terbunuh."
"Ambil
tali."
Ketika mereka mulai
mengikatnya, Iori mencoba meronta dari tangan mereka. "Apa yang kalian
lakukan?" jeritnya. Sambil duduk di tanah, katanya, "Sudah saya
katakan, saya tidak akan lari, kan? Akan saya terima hukuman saya. Saya punya
alasan, kenapa berbuat begitu. Seorang saudagar boleh minta maaf, tapi saya
tidak. Anak samurai tidak bakal menangis karena sedikit air panas."
"Baik,"
kata Sahei. "Kau yang minta."
Ia menggulung lengan
bajunya, menciduk air mendidih, dan berjalan pelan-pelan mendekati Iori.
"Tutup matamu,
Iori. Kalau tidak, kau bisa buta." Suara itu datang dari seberang jalan.
Iori menutup matanya,
tak berani melihat siapa yang mengucapkan katakata itu. Ia teringat cerita yang
pernah didengarnya dari Musashi, dulu di Musashino. Cerita itu tentang Kaisen,
seorang pendeta Zen yang sangat dipuja-puja oleh para prajurit Provinsi Kai.
Ketika Nobunaga dan Ieyasu menyerang Kuil Kaisen dan membakarnya, pendeta itu
duduk tenang di tingkat atas pintu gerbang. Dalam keadaan terbakar menjelang
mati, ia mengucapkan kata-kata ini, "Kalau hatimu sudah mendapat
pencerahan, api pun terasa sejuk."
"Cuma seciduk
air panas!" kata Iori pada diri sendiri. "Aku tak boleh berpikir
macam itu." Ia mencoba sekuat tenaga menjadikan dirinya kehampaan yang
tanpa pribadi, bebas dari khayal, dan tanpa dukacita. Cara pendeta itu hanya
mungkin kalau la lebih muda, atau jauh lebih tua... tapi pada umurnya sekarang,
ia masih benar-benar menjadi bagian dunia ini.
Ah, kapan itu
terjadi? Sekejap ia menyangka bahwa keringat yang menetes di dahinya adalah air
mendidih. Waktu semenit terasa satu tahun.
"Oh, itu
Sado!" kata Kojiro.
Sahei dan semua orang
lain menoleh dan memandang samurai tua itu. "Ada apa disini?" tanya
Sado sambil menyeberang jalan, didampingi Nuinosuke.
Kojiro tertawa,
katanya riang, "Anda memergoki kami. Mereka sedang menghukum anak
itu."
Sado memandang Iori
baik-baik. "Menghukum dia? Ya, kalau dia sudah melakukan sesuatu yang
buruk, mesti dihukum. Teruskan saja. Saya menyaksikannya."
Sahei memandang
Kojiro dari sudut matanya. Kojiro segera menilai keadaan itu, dan tahu bahwa
dialah yang akan dianggap bertanggung jawab atas kerasnya hukuman itu.
"Cukup!" katanya.
Iori membuka mata.
Agak sukar ia memusatkan tatapannya, tapi ketika akhirnya mengenali Sado, ia
berkata gembira, "Saya kenal Bapak, samurai yang pernah datang di Kuil
Tokuganji di Hotengahara."
"Kau ingat
aku?"
"Ya, Pak."
"Apa yang
terjadi dengan gurumu, Musashi?"
Iori tersedu-sedu,
dan menutup mata dengan kedua tangannya.
Kojiro kaget melihat
Sado mengenal anak itu. Sesaat ia memikirkannya, dan menyimpulkan bahwa
tentunya hal itu ada hubungannya dengan usaha Sado mencari Musashi. Tapi tentu
saja ia tak ingin nama Musashi muncul dalam percakapan antara dirinya dengan
abdi senior itu. Ia tahu, tak lama lagi ia akan terpaksa berkelahi melawan
Musashi, dan itu takkan lagi merupakan urusan pribadi semata-mata.
Sesungguhnya, telah
terjadi perpecahan, baik di dalam garis utama Keluarga Hosokawa maupun di dalam
percabangannya. Sebagian menghargai Musashi, sebagian lagi cenderung berpihak
kepada bekas ronin yang sekarang menjadi instruktur pedang utama klan itu.
Sebagian orang mengatakan bahwa yang menyebabkan tak terhindarkannya
pertarungan adalah persaingan di belakang layar antara Sado dan Kakubei.
Kojiro merasa lega
ketika pada waktu itu mandor kapal Tatsumimaru datang, menyatakan bahwa kapal
sudah siap.
Sado, yang belum ikut
naik, berkata, "Tapi kapal belum akan berangkat sampai matahari terbenam,
kan?"
"Betul,"
jawab Sahei, yang sementara itu berjalan mondar-mandir sekitar kantor, karena
kuatir akan akibat-akibat peristiwa hari itu.
"Kalau begitu,
aku punya waktu buat istirahat?"
"Banyak waktu
buat istirahat. Silakan minum teh."
Otsuru muncul di
pintu dalam, dan memanggil manajer. Sahei mendengarkan pembicaraan Otsuru
beberapa menit lamanya, kemudian kembali mendekati Sado, dan katanya,
"Kantor ini bukan tempat yang tepat buat menerima Bapak. Rumah dekat
sekali, melintasi kebun itu. Saya persilakan Bapak masuk ke sana."
"Oh, terima
kasih," jawab Sado. "Pada siapa saya berutang budi? Pada nyonya
rumah?"
"Ya. Beliau
ingin mengucapkan terima kasih pada Bapak."
"Untuk
apa?"
Sahei menggaruk
kepalanya. "Saya pikir, karena Bapak sudah menolong Iori. Karena sekarang
tuan rumah tidak ada..."
"Bicara soal
Iori, aku ingin bicara dengannya. Coba panggil dia."
Kebun itu tepat
seperti harapan Sado mengenai kebun rumah seorang saudagar Sakai yang kaya.
Walaupun satu sisinya dibatasi gudang, kebun itu merupakan suatu dunia yang
lain sama sekali, dibanding kantor yang panas dan ribut itu. Batu-batuan dan
tanam-tanaman baru disiram, dan di sana ada sungai yang airnya mengalir.
Osei dan Otsuru
berlutut dalam ruangan kecil anggun yang menghadap kebun. Di atas tatami
terhampar permadani wol, dengan baki-baki berisi kue dan tembakau. Sado mencium
hall dupa yang dicampuri rempah-rempah.
Sesudah duduk di
ujung ruangan, katanya, "Saya takkan masuk. Kaki saya kotor."
Osei menghidangkan
teh kepadanya, meminta maaf atas sikap para pegawainya, serta mengucapkan
terima kasih karena telah menyelamatkan Iori.
Kata Sado,
"Kebetulan saya pernah berjumpa anak itu beberapa waktu yang lalu. Saya
senang bertemu dia kembali. Bagaimana dia bisa tinggal di rumah Nyonya?"
Sesudah mendengarkan
penjelasan nyonya rumah, Sado bercerita tentang usahanya yang sudah berjalan
lama untuk mencari Musashi. Mereka mengobrol dengan akrab beberapa waktu
lamanya, kemudian kata Sado, "Tadi saya memperhatikan Iori dari seberang
jalan. Saya kagum akan kemampuannya bersikap tenang. Sikap itu baik sekali.
Terus terang, menurut saya merupakan suatu kesalahan membesarkan anak yang
demikian besar semangatnya di lingkungan saudagar. Bagaimana kalau anak itu Nyonya
serahkan pada saya? Di Kokura dia dapat dibesarkan sebagai samurai."
Osei segera
menyetujuinya, katanya, "Saya pikir itulah yang sebaik-baiknya buat
dia."
Otsuru bangkit untuk
mencari Iori, dan tepat pada waktu itu Iori muncul dari balik potion tempat ia
mendengarkan seluruh percakapan tersebut.
"Apa kau
keberatan pergi denganku?" tanya Sado.
Dengan sukacita Iori
mohon diajak ke Kokura.
Sementara Sado minum
teh, Otsuru menyiapkan perlengkapan perjalanan Iori: kimono, hakama, pembalut
kaki, topi anyaman-semuanya baru. Itulah pertama kalinya Iori mengenakan
hakama.
Petang itu, ketika
Tatsumimaru mengembangkan sayap-sayap hitamnya dan berlayar di bawah gumpalan
awan yang menjadi keemasan oleh matahari yang sedang terbenam, Iori menoleh ke
belakang, ke arah lautan wajah—Otsuru dan ibunya, wajah Sahei, dan orang-orang
yang mengantar, juga wajah kota Sakai.
Dengan senyum lebar
ia melepas topi anyamannya dan melambaikannya pada mereka.
0 komentar:
Posting Komentar