Sabtu, 15 Juli 2017



Sebelum Tanggal Tiga Belas

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg












SHIMONOSEKI, Moji, kota benteng Kokura-selama beberapa hari terakhir, banyak musafir datang ke situ, dan sedikit saja yang kembali. Penginapan-penginapan semuanya penuh, dan kuda berderet-deret pada tiang tambatan di luar.

Perintah yang dikeluarkan oleh benteng berbunyi:


Pada tanggal tiga belas bulan ini, pada pukul delapan pagi, di Pulau Funashima di Selat Nagato di Buzen, Sasaki Kojiro Ganryu, seorang samurai dari perdikan ini, atas perintah Yang Dipertuan akan melakukan pertarungan dengan Miyamoto Musashi, seorang ronin dari Provinsi Mimasaka.

Para pendukung kedua pemain pedang dilarang keras membantu atau mengurangi perairan antara daratan dan Pulau Funashima. Sampai pukul sepuluh pagi tanggal empat belas, kapal pesiar, kapal penumpang, atau perahu nelayan tidak diizinkan memasuki selat. Bulan empat (1612).


Pengumuman itu dipasang secara mencolok pada papan-papan pengumuman di semua persimpangan besar, dermaga-dermaga, dan tempat-tempat berkumpul.

"Tanggal tiga belas? Lusa, ya?"

"Orang dari mana-mana pasti ingin melihat pertarungan itu, supaya mereka dapat pulang dan bercerita."

"Tentu saja ingin, tapi bagaimana orang bisa melihat perkelahian yang berlangsung di pulau yang jauhnya tiga kilometer dari pantai?"

"Yah, kalau kau pergi ke puncak Gunung Kazashi, akan kaulihat pohon-pohon pinus di Funashima. Tap, biar bagaimana, orang akan datang walau sekadar menganga melihat perahu-perahu dan orang banyak di Buzen dan Nagato."

"Saya harap cuaca tetap baik."

Akibat pembatasan kegiatan pelayaran, orang-orang perahu yang mestinya mendapat keuntungan lumayan jadi merugi. Tapi para musafir dan orang kota menerima suasana itu dengan tenang saja. Mereka sibuk mencari tempat-tempat yang menguntungkan, supaya dapat melihat selintas kesibukan di Funashima itu.

Sekitar tengah hari tanggal sebelas, seorang perempuan yang sedang menyusui bayinya berjalan ke sana kemari di depan kedai makan "satu baki", tempat masuknya jalan dari Moji ke Kokura.

Bayi yang sudah lelah karena perjalanan itu tak mau berhenti menangis. "Ngantuk? Tidur sebentar sekarang. Nah, nah. Tidur, Nak, tidur." Akemi mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah dengan berirama. Ia tak berhias. Karena ada bayi yang mesti disusuinya, hidupnya berubah sekali, tapi ia sama sekali tak menyesali keadaannya sekarang.

Matahachi keluar dari warung, mengenakan kimono tak berlengan warna redup. Satu-satunya pengingat masa ia berkeinginan menjadi pendeta adalah bandana yang ia kenakan di kepalanya yang tadinya dicukur.

"Ya ampun, apa pula ini?" katanya. "Masih nangis? Kau mesti tidur sekarang. Sana, Akemi. Biar kubawa dia, sementara kau makan. Makan yang banyak, biar banyak susu." Sambil menggendong anak itu, ia mulai mendendangkan lagu nina bobo yang lembut.

"Oh, ini kejutan!" terdengar suara dari belakangnya.

"Hah?" Matahachi menatap orang itu, tapi tak dapat mengenalinya.

"Saya Ichinomiya Gempachi. Kita bertemu beberapa tahun lalu, di hutan pinus dekat Jalan Gojo di Kyoto. Saya kira Anda tak ingat saya."

Matahachi terus juga menatap kosong kepadanya, lalu Gempachi berkata, "Waktu itu ke mana-mana Anda bilang nama Anda Sasaki Kojiro."

"Oh!" gagap Matahachi keras. "Pendeta dengan tongkat itu...!"

"Betul. Saya senang ketemu Anda lagi."

Matahachi bergegas membungkuk, tapi bayinya justru jadi terbangun. "Nah, jangan nangis lagi," mohonnya.

"Apa Anda bisa tunjukkan, di mana Kojiro tinggal? Saya tahu dia tinggal di sini, di Kokura," kata Gempachi.

"Maaf, saya tidak tahu sama sekali, saya sendiri baru datang kemari."

Dua pembantu samurai muncul dari toko, seorang di antaranya berkata kepada Gempachi, "Kalau Bapak mencari rumah Kojiro, itu di dekat Sungai Itatsu. Kalau Bapak mau, kami antar ke sana."

"Terima kasih. Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali." Samurai itu berangkat, dan Gempachi mengikuti.

Melihat kotoran dan debu yang melekat pada pakaian orang itu, Matahachi berpikir, "Apa dia datang dari Kozuke yang jauh itu?" Sungguh terkesan ia, bahwa berita tentang pertarungan tersebut telah menyebar ke tempat-tempat yang demikian jauh. Kemudian kenangan tentang perjumpaannya dengan Gempachi tergambar kembali dalam pikirannya. Ia bergidik. Sungguh waktu itu ia sampah, dangkal, tak kenal malu! Bayangkan, waktu itu ia demikian tak kenal malu, berani mencoba mempergunakan sertifikat Perguruan Chujo sebagai sertifikatnya sendiri, untuk kedok sebagai... Biarpun begitu, untunglah bahwa kini ia dapat melihat, betapa kasar dirinya waktu itu. Setidak-tidaknya, sejak itu ia berubah. "Kukira," demikian pikirnya, "orang bodoh macam aku pun dapat menjadi baik, asal sadar dan berusaha."

Mendengar bayinya menangis lagi, Akemi melahap makanannya dan berlari ke luar. "Maaf," katanya. "Aku bawa dia sekarang."

Matahachi meletakkan bayi itu ke punggung Akemi, lalu menggantungkan kotak penjaja gula-gula ke bahunya, dan bersiap jalan lagi. Sejumlah orang lewat memandang dengan iri ke arah pasangan yang miskin namun jelas bahagia itu.

Seorang perempuan tua yang tampak sopan datang mendekat, katanya, "Lucu sekali anak ini! Berapa umurnya? Oh, lihat, dia tertawa."

Seolah-olah diperintah, pembantu pria yang menyertainya pun melongok dan menatap wajah si bayi.

Mereka berjalan bersama sebentar. Kemudian, ketika Matahachi dan Akemi membelok ke jalan kecil untuk mencari penginapan, perempuan itu berkata, "Oh, jadi kalian ke situ?" Ia mengucapkan selamat berpisah, tapi lalu tanyanya, "Kalian rupanya musafir juga, tapi apa barangkali kalian tahu di mana rumah Sasaki Kojiro?"

Matahachi menyampaikan keterangan yang barusan didengarnya dari kedua pembantu samurai tadi. Seraya memandang perempuan itu pergi, gumamnya muram, "Apa kiranya yang sedang dilakukan ibuku hari-hari ini?"

Ya, kini, sesudah ia sendiri memiliki anak, baru ia dapat menghargai perasaan ibunya.

"Ayo kita jalan terus," kata Akemi.

Matahachi berdiri dan menatap kosong ke arah perempuan tua itu. Orang itu kira-kira seumur Osugi.

Rumah Kojiro penuh dengan tamu.

"Ini kesempatan besar buat dia."

"Ya, ini akan menentukan reputasinya untuk selamanya."

"Dia akan dikenal di mana-mana."

"Benar sekali, tapi kita tak boleh lupa, siapa lawannya. Ganryu harus sangat hati-hati."

Banyak yang sudah datang malam sebelumnya, dan para pendatang melimpah ke pendopo besar, ke pintu-pintu masuk samping dan gang-gang luar. Sebagian datang dari Kyoto atau Osaka, sebagian lagi dari Honshu barat, dan satu orang dari Kampung Jokyoji di Echizen yang jauh. Karena pembantu rumah tangga Kojiro tidak cukup, Kakubei memanggil sebagian pembantunya untuk membantu. Para samurai yang belajar di bawah pimpinan Kojiro datang dan pergi. Wajah mereka penuh hasrat, menanti pertarungan.

Semua kawan dan semua murid sama dalam satu hal: kenal Musashi atau tidak, ia adalah musuh. Yang paling hebat dendamnya adalah para samurai daerah yang dahulu pernah mempelajari metode-metode Perguruan Yoshioka. Rasa terhina karena kekalahan di Ichijoji masih menggerogoti pikiran dan had mereka. Kecuali itu, tekad tunggal Musashi untuk mengejar karier itu demikian rupa, hingga ia menciptakan banyak musuh. Murid Kojiro sudah dengan sendirinya membencinya pula.

Seorang samurai muda mengantar satu orang yang baru datang dari pendopo ke kamar tamu yang penuh sesak, dan menyatakan, "Orang ini datang dari Kozuke."

Orang itu berkata, "Nama saya Ichinomiya Gempachi," lalu dengan rendah hati duduk di antara mereka.

Bisik-bisik menyatakan kagum dan hormat terdengar di seluruh ruangan, karena Kozuke terletak seribu lima ratus kilometer di sebelah timur laut. Gempachi minta agar jimat yang ia bawa dari Gunung Hakuun ditempatkan di altar rumah. Orang pun berbisik-bisik menyatakan setuju.

"Cuaca akan baik pada tanggal tiga belas," ujar satu orang sambil memandang ke luar, ke bawah tepian atap, ke arah matahari petang yang menyala-nyala. "Hari ini tanggal sebelas, besok dua belas, dan berikutnya..."

Kepada Gempachi, seorang tamu berkata, "Saya kira, kedatangan Anda dari tempat yang begitu jauh untuk menyampaikan doa buat kemenangan Kojiro ini sungguh hebat. Apa Anda ada hubungan dengannya?"

"Saya abdi Keluarga Kusanagi di Shimonida. Almarhumah tuan saya, Kusanagi Tenki, adalah kemenakan Kanemaki Jisai. Tenki mengenal Kojiro ketika Kojiro masih kanak-kanak."

"Ya, saya sudah dengar Kojiro belajar pada Jisai."

"Itu benar. Kojiro berasal dari perguruan yang sama dengan Ito Ittosai. Saya dengar Ittosai sering mengatakan bahwa Kojiro petarung cemerlang." Lalu ia menceritakan bagaimana Kojiro memilih menolak sertifikat dari Jisai, dan menciptakan gayanya sendiri. Ia bercerita juga betapa ulet Kojiro waktu itu, biarpun masih kanak-kanak. Gempachi bercerita terus, melayani pertanyaan-pertanyaan penuh semangat itu dengan memberikan keterangan terperinci.

"Apa Sensei Ganryu tak ada di sini?" tanya seorang pembantu muda, seraya berjalan di antara orang banyak. Karena tidak melihat Kojiro, ia terus berjalan dari ruangan yang satu ke ruangan lain. la menggerutu, tapi akhirnya ia berjumpa dengan Omitsu yang waktu itu sedang membersihkan kamar Kojiro. "Kalau Anda mencari Guru," kata Omitsu, "dia ada di sangkar elang."

Kojiro ada di dalam sangkar, memperhatikan mata Amayumi dengan penuh minat. Ia memberi makan burung itu, melepaskan bulu-bulunya yang longgar dengan sikat, membiarkan burung itu bertengger sebentar di atas tinjunya, dan kini menepuk-nepuknya penuh sayang. "Sensei."

"Ya?"

"Ada seorang wanita yang menyatakan datang dari Iwakuni, ingin menemui Guru. Dia mengatakan Guru akan mengenalnya kalau Guru melihatnya."

"Hmm. Kemungkinan adik ibuku."

"Ke ruangan mana mesti saya persilakan?"

"Aku tak ingin ketemu dia. Aku tak ingin ketemu siapa-siapa... Ah, tapi barangkali aku mesti menjumpainya. Dia bibiku. Antar dia ke kamarku." Orang itu pergi, lalu Kojiro berseru kepadanya dari pintu, "Tatsunosuke."

"Ya, Pak." Tatsunosuke masuk sangkar dan berlutut dengan satu kaki di belakang Kojiro. Sebagai murid yang tinggal di rumah Kojiro, ia jarang jauh dari sisi gurunya.

"Tinggal menunggu sebentar lagi, ya?" kata Kojiro.

"Ya, Pak."

"Besok aku pergi ke benteng, menyatakan hormat kepada Yang Dipertuan Tadatoshi. Akhir-akhir ini aku belum bertemu beliau. Sudah itu, aku ingin malam yang tenang."

"Tamu begini banyak. Bagaimana kalau Bapak menolak berjumpa dengan mereka, supaya dapat istirahat dengan baik?"

"Itu yang ingin kulakukan."

"Begini banyak orang di tempat ini. Bisa-bisa Bapak dikalahkan pendukung-pendukung sendiri."

"Jangan bicara begitu. Mereka sudah datang dari tempat-tempat jauh dan dekat... Aku menang atau tidak, itu tergantung apa yang bakal terjadi nanti, pada waktu yang sudah ditentukan. Ini tidak sepenuhnya soal nasib, tapi juga... begitulah selalu yang terjadi dengan petarung-kadang menang, kadang kalah. Kalau Ganryu mati, akan kautemukan dua wasiat terakhir di kamar kerja. Berikan yang satu pada Kakubei, dan yang lain pada Omitsu."

"Bapak sudah menulis wasiat?"

"Ya. Sudah sewajarnya seorang samurai mengambil tindakan berjaga-jaga. Satu soal lagi. Pada hari pertarungan, aku boleh mendapat seorang pembantu. Aku ingin kau ikut denganku. Kau mau?"

"Itu kehormatan yang tak pantas saya terima."

"Amayumi juga." Kojiro memandangi burung elang itu. "Dia akan menjadi hiburan buatku, dalam perjalanan dengan perahu."

"Saya mengerti sepenuhnya."

"Baik. Aku temui bibiku sekarang."

Kojiro mendapati wanita itu duduk di kamarnya. Di luar, awan petang menghitam, seperti baja yang sudah mendingin sehabis ditempa. Cahaya putih sebatang lilin menerangi kamar.

"Terima kasih atas kedatangan Bibi," kata Kojiro sambil duduk dengan sikap penuh takzim. Sesudah ibunya meninggal, bibinya itulah yang membesarkannya. Berbeda dengan ibunya, bibinya sama sekali tidak memanjakannya. Sadar akan kewajiban terhadap kakaknya, ia berusaha dengan tulus ikhlas menempa Kojiro menjadi pengganti yang pantas bagi nama Sasaki, dan menjadi orang terkemuka. Dari semua kerabat Kojiro, wanita itulah satu-satunya yang mencurahkan perhatian terbesar kepada karier dan masa depan Kojiro.

"Kojiro," kata wanita itu khidmat, "aku mengerti, kau akan menghadapi salah satu dari saat-saat menentukan dalam hidupmu. Setiap orang di daerah kita bicara tentang itu, karena itu aku merasa mesti bertemu denganmu, setidak-tidaknya sekali lagi. Aku senang melihatmu sudah mencapai kedudukan sejauh ini." Diam-diam wanita itu membandingkan samurai yang mulia dan berada di hadapannya itu dengan pemuda yang dahulu meninggalkan rumah hanya dengan pedangnya.

Dengan kepala masih menunduk, jawab Kojiro, "Sepuluh tahun sudah berlalu. Saya harap Bibi memaafkan saya karena saya tidak selalu menghubungi Bibi. Saya tidak tahu apakah orang lain memandang saya berhasil atau belum, tapi saya sama sekali belum mencapai semua yang ingin saya capai. Itu sebabnya saya tidak menulis surat."

"Itu tidak apa-apa. Berita tentang dirimu sering kudengar."

"Juga di Iwakuni?"

"Tentu. Semua orang di sana memihakmu. Kalau kau kalah dari Musashi, seluruh Keluarga Sasaki—seluruh provinsi—akan merasa terhina. Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki, yang tinggal sebagai tamu di perdikan Kikkawa, merencanakan membawa serombongan besar samurai Iwakuni untuk melihat pertarungan ini."

"Betul?"

"Ya. Kukira mereka akan sangat kecewa, karena ternyata perahu-perahu tidak diizinkan keluar... Oh, ya, aku lupa. Ini, kubawa ini buatmu." Ia membuka sebuah bungkusan kecil, dan ia keluarkan jubah dalam yang dilipat. Jubah itu terbuat dari katun. Di situ tertulis nama-nama dewa perang dan dewi pelindung yang dipuja para prajurit. Satu kalimat nasib baik dalam bahasa Sansekerta disulamkan pada kedua lengannya oleh seratus perempuan pendukung Kojiro.

Kojiro mengucapkan terima kasih pada bibinya, dan dengan takzim meletakkan pakaian itu di depan dahinya. Kemudian katanya, "Bibi bisa tinggal di kamar ini, dan tidur kapan saja Bibi suka. Sekarang, maafkan saya harus pergi."

Ia meninggalkan bibinya, dan pergi duduk di kamar lain. Tak lama kemudian, para tamu datang ke kamar itu untuk menghaturkan berbagai hadiah kepadanya-kalimat suci dari Tempat Suci Hachiman di Gunung Otoko, baju rantai, ikan laut yang sangat besar, juga satu tong sake. Tak lama kemudian, sudah hampir tak ada tempat untuk duduk.

Orang-orang yang mengucapkan selamat itu memang mendoakan kemenangan Kojiro dengan tulus, namun delapan dari sepuluh sesungguhnya sedang menjilat. Mereka berharap dapat memenuhi ambisi-ambisinya sendiri di kemudian hari.

"Apa yang terjadi sekiranya aku hanya seorang ronin?" pikir Kojiro. Sifat menjilat itu menekan dirinya, tapi ia puas juga, bahwa justru dirinya dan bukan orang lain yang menyebabkan para pendukungnya percaya dan menaruh keyakinan kepadanya.

"Aku harus menang. Harus, harus."

Pemikiran tentang kemenangan itu memberikan beban psikologis kepadanya. Ia sadar akan hal itu, tapi ia sendiri tak bisa berbuat lain. "Menang, menang, menang." Seperti ombak yang dihalau angin, perkataan itu terus mendengung-dengung dalam benaknya. Kojiro tak dapat memahami, kenapa dorongan primitif untuk menaklukkan itu demikian hebat memukul-mukul otaknya.

Malam terus berlalu, tapi sejumlah tamu masih terus tinggal, minum, dan bercakap-cakap. Malam sudah larut ketika berita itu datang.

"Musashi sudah datang hari ini. Dia kelihatan turun dari perahu di Moji, kemudian berjalan kaki menyusuri sebuah jalan di Kokura."

Reaksi atas berita itu seperti arus listrik, walaupun diucapkan dengan sembunyi-sembunyi, engan bisik-bisik bersemangat.

"Sudah tentu."

"Apa sebagian dari kita tak perlu ke sana untuk melihat keadaan?"

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP