Sabtu, 15 Juli 2017




Serutan

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







SEPERTI halnya orang-orang yang terpaksa berkumpul karena keadaan, walaupun hanya sedikit saja atau sama sekali tak ada kepentingan bersama, samurai dan tuan rumah itu segera mendapatkan tempat berpijak yang sama. Persediaan sake banyak, ikan masih segar, dan Osugi memiliki hubungan spiritual khusus dengan Kojiro, yang menyebabkan suasana menjadi tidak resmi. Dengan penuh perhatian, Osugi bertanya tentang karier Kojiro sebagai shugyosha, dan Kojiro bertanya tentang kemajuan Osugi dalam mencapai "ambisi besar"-nya.

Ketika Osugi menyatakan bahwa sudah lama ia tidak mendengar kabar tentang Musashi, Kojiro menyuguhkan setitik harapan. "Saya dengar dia mengunjungi dua atau tiga petarung terkemuka pada musim gugur dan musim dingin lalu. Saya duga, dia masih ada diEdo."

Tentu saja Yajibei tidak yakin akan berita itu. Ia nyatakan pada Kojiro bahwa orang-orangnya sama sekali tidak mendapat kabar apa pun. Mereka membicarakan keadaan sulit Osugi itu dari segala sudut, lalu Yajibei berkata, "Saya harap kami dapat terus mengandalkan diri pada persahabatan Anda."

Kojiro menjawab dengan nada yang sama, serta sedikit pamer, dengan mencuci mangkuk dan menawarkannya tidak hanya kepada Yajibei, melainkan juga pada kedua anak buahnya. Ia juga menuangkan sake untuk mereka semua.

Osugi benar-benar gembira. "Orang bilang," katanya sungguh-sungguh, "kebaikan dapat ditemukan di mana saja. Biarpun begitu, saya sungguh beruntung. Dua orang kuat seperti Anda ada di pihak saya! Bukan main! Saya yakin, Kanzeon yang agung selalu menjaga saya." Dan ia sama sekali tidak menyembunyikan isak tangis atau air matanya.  '

Karena tak ingin percakapan itu menjadi cengeng, Yajibei berkata, "Coba ceritakan, Kojiro, siapa empat orang yang Anda robohkan di sana tadi."

Ini rupanya merupakan kesempatan yang sudah dinanti-nantikan Kojiro, karena sesudah itu lidahnya yang cekatan segera bekerja tanpa ditunda tunda lagi. "Oh, mereka!" ia memulai, diiringi tawa acuh tak acuh. "Cuma beberapa ronin dari Perguruan Obata. Lima atau enam kali saya pergi ke sana, untuk membicarakan soal-soal militer dengan Obata, tapi orang-orang itu terus saja menyela saya dengan pertanyaan-pertanyaan kurang ajar. Mereka bahkan berani-berani membual mengenai permainan pedang, karena itu saya katakan pada mereka bahwa kalau mereka mau datang ke tepi Sungai Sumida, akan saya berikan pada mereka pelajaran tentang rahasia Gaya Ganryu, termasuk pameran mata pedang Galah Pengering. Saya sampaikan pada mereka, saya tak peduli berapa banyak dari mereka akan datang.

"Waktu saya sampai di sana, lima orang datang, tapi begitu saya pasang jurus, seorang berbalik dan lari. Bisa saya katakan, Edo memang lebih banyak memiliki orang yang cakap bicara daripada berkelahi." Ia tertawa lagi, kali ini dengan riuhnya.

"Obata?"

"Anda tak kenal dia? Obata Kagenori. Dia berasal dari garis keturunan Obata Nichijo yang mengabdi pada Keluarga Takeda dari Kai. Ieyasu mempekerjakannya, dan sekarang dia memberi kuliah dalam ilmu militer untuk shogun, Hidetada. Dia juga punya perguruan sendiri."

"Oh, ya, saya ingat sekarang." Yajibei heran dan terkesan oleh hubungan erat Kojiro dengan orang yang demikian terkemuka. "Orang muda ini masih mengenakan jambul," demikian kagumnya diam-diam, "tapi tentunya orang penting juga dia, kalau punya hubungan dengan samurai berpangkat itu." Majikan tukang kayu, bagaimanapun, hanyalah orang sederhana, dan nilai yang paling dikagumi pada orang sejenisnya adalah kekuatan kasarnya. Maka kekagumannya terhadap Kojiro semakin besar lagi.

Sambil mendekatkan muka pada samurai itu, katanya, "Sekarang saya ingin mengajukan tawaran. Di sekitar rumah saya selalu ada empat atau lima puluh pemuda desa. Bagaimana kalau saya membuat dojo untuk Anda dan saya minta Anda melatih mereka?"

"Ya, saya tidak keberatan memberikan pelajaran pada mereka, tapi Anda mesti mengerti, demikian banyak daimyo menarik-narik lengan saya dengan membawa tawaran dua ribu, tiga ribu gantang, sampai saya tak tahu lagi apa yang mesti saya lakukan. Terus terang, saya takkan mempertimbangkan secara serius pekerjaan pada orang lain dengan penghasilan kurang dari lima ribu. Lagi pula, untuk kesopanan, saya agak berkewajiban tinggal di tempat saya berdiam sekarang. Tapi saya tidak keberatan datang ke tempat Anda."

Sambil membungkuk rendah, kata Yajibei, "Oh, saya hargai kesediaan Anda itu."

Osugi melengkapi, "Kami nantikan kedatanganmu."

Juro dan Koroku, yang terlampau naif untuk dapat mengenali keramahan dart propaganda yang membunga-bungai pembicaraan Kojiro, sungguh terpukau oleh kemurahan hati orang besar itu.

Ketika perahu mengitari belokan dan masuk parit Kyobashi, Kojiro berkata, "Saya turun di sini." Kemudian ia melompat ke tepi, dan dalam beberapa detik saja ia sudah hilang ditelan debu yang mengepul di alas j alan.

"Orang muda yang sangat mengesankan," kata Yajibei yang masih juga terpesona.

"Ya," kata Osugi menyetujui, penuh keyakinan. "Dia sungguh seorang petarung sejati. Saya yakin banyak daimyo yang bersedia memberikan upah yang balk kepadanya." Dan setelah diam sebentar, ia menambahkan dengan prihatin, "Oh, kalau saja Matahachi bisa seperti itu."



Sekitar lima hari kemudian, Kojiro masuk ke dalam pekarangan Yajibei, dan dipersilakan masuk ruang tamu. Di sana, empat puluh atau lima puluh anak buah Yajibei hadir menyatakan hormat kepadanya satu per satu. Karena girang, Kojiro menyatakan pada Yajibei bahwa rupanya ia kini sedang menempuh hidup yang sangat menarik.

Meneruskan gagasan sebelumnya, Yajibei berkata, "Seperti saya katakan, saya ingin membangun sebuah dojo. Anda tidak keberatan melihat-lihat dulu pekarangan di sini?"

Lapangan di belakang rumah itu berukuran hampir dua ekar. Di sebuah sudut lapangan, tergantung kain yang baru selesai dicelup, tapi Yajibei meyakinkan Kojiro bahwa tukang celup yang menyewa petak tanah itu dapat diusir dengan mudah.

"Sebetulnya Anda tidak memerlukan dojo," kata Kojiro. "Tempat ini tidak terbuka ke jalan. Tak seorang pun akan masuk."

"Terserah Anda, tapi bagaimana kalau hujan?"

"Saya takkan datang kalau cuaca jelek. Tapi mesti saya ingatkan, latihan saya lebih kasar daripada yang diadakan oleh Perguruan Yagyu atau perguruan-perguruan lain di kota ini. Kalau orang-orang Anda tidak berhati-hati, mereka bisa jadi cacat, atau lebih buruk lagi dari itu. Lebih baik Anda menjelaskan hal itu pada mereka."

"Tak akan ada salah mengerti tentang hal itu. Anda bebas memimpin kelas, dengan cara yang menurut Anda cocok."   

Mereka setuju untuk pelajaran tiga kali sebulan, pada tanggal tiga, tiga belas, dan dua puluh tiga, asalkan cuaca baik.

Munculnya Kojiro di Bakurocho menjadi sumber desas-desus yang tak ada akhirnya. Seorang tetangga terdengar mengatakan, "Sekarang mereka bikin pameran yang lebih buruk daripada semua yang lain itu dijadikan satu." Jambulnya yang kekanak-kanakan itu menimbulkan banyak komentar juga. Pendapat umum menyatakan bahwa karena umurnya yang tentunya sudah dua puluh tahun lebih sedikit, sudah waktunya ia menyesuaikan diri dengan kebiasaan samurai, mencukur kepala. Hanya orang-orang yang ada dalam rumah tangga Hangawara dikaruniai kesempatan melihat jubah dalam Kojiro yang bersulam cemerlang. Jubah itu dapat mereka lihat setiap kali Kojiro membuka bahunya, agar lengannya dapat bergerak bebas.

Sikap Kojiro tepat seperti sudah diduga. Walaupun pelajaran itu berupa pelajaran latihan, dan banyak di antara siswanya masih belum berpengalaman. ia tak kenal ampun. Baru sampai pelajaran ketiga, korban yang jatuh sudah mencakup satu cacat selamanya, tambah empat atau lima orang yang menderita cedera kecil. Orang-orang yang luka itu tidak jauh, rintihan mereka dapat didengar dari belakang rumah.

"Berikutnya!" seru Kojiro sambil mengacungkan pedang panjang yang terbuat dari kayu lokwat. Pada permulaan pelajaran, ia mengatakan pada mereka bahwa pukulan dengan pedang lokwat "akan membikin busuk dagingmu sampai ke tulang."

"Mau mengundurkan diri? Kalau tidak, ayo maju. Tapi kalau mengundurkan diri, aku pulang," celanya merendahkan.

Hanya karena perasaan terhina, satu orang berkata, "Baik, saya akan mencoba." Ia meninggalkan yang lain dan berjalan mendekati Kojiro, kemudian membungkuk untuk mengambil pedang kayu. Dengan bunyi keras berderak, Kojiro membuatnya terkapar di tanah.

"Ini," demikian dinyatakannya, "adalah pelajaran tentang kenapa kalian tak boleh membuka diri. Membuka diri itu sangat berbahaya." Dengan penuh kepuasan ia menoleh ke sekitar, ke wajah orang-orang lain yane jumlahnya tiga puluh sampai empat puluh orang, yang kebanyakan menggeletar tubuhnya.

Korban terakhir itu dibawa ke sumur, dan di situ disiram air. Tapi ia tak sadar juga.

"Anak malang itu tidak balik lagi."

"Maksudmu... dia meninggal?"

"Tidak bernapas."

Yang lain-lain berlari untuk menatap rekan mereka yang sudah terbunuh. Sebagian marah, sebagian lagi bersabar, tapi Kojiro sendiri tak sampai dua kali menoleh mayat itu.

"Kalau kejadian macam ini bikin kalian takut," katanya mengancam. "lebih baik kalian lupakan pedang. Kalau kupikir, kalian selalu gatal untuk melawan orang di jalan, yang menyebut kalian pembunuh atau pembual.... " Ia tak meneruskan kalimatnya, tapi ketika berjalan melintasi lapangan dengan kaus kulitnya, ia meneruskan kuliahnya. "Kalian pikirkanlah soal ini, perusuh yang baik. Kalian lantas saja menghunus pedang, waktu orang lain menginjak jari kaki kalian atau menyinggung sarung pedang kalian tapi kalian cuma bergerombol waktu terjadi pertarungan sesungguhnya Kalian dengan riang mau membuang nyawa demi seorang perempuan atau demi harga diri picisan kalian, tapi kalian tak punya nyali buat mengorbankan diri demi hal yang lebih berharga. Kalian emosional, hanya tergerak oleh tetek-bengek. Ini tak cukup, sama sekali tak cukup."

Sambil membusungkan dada, simpulpya, "Soalnya sederhana saja. Satu-satunya keberanian sejati dan keyakinan diri yang murni berasal dari latihan dan disiplin pribadi. Sekarang kutantang kalian semua: bangun, dan lawan aku seperti lelaki."

Dengan keinginan agar ia mencabut kembali kata-katanya, seorang siswa menyerangnya dari belakang. Kojiro membungkuk hingga hampir menyentuh tanah, dan penyerang itu terbang lewat kepalanya, mendarat di depannya. Saar berikutnya terdengar derak keras, dan pedang lokwat Kojiro mengenai tulang pinggul orang itu.

"Cukuplah buat hari ini," katanya sambil melempar pedangnya ke samping, dan pergi ke sumur untuk mencuci tangan. Mayat itu masih teronggok di samping bak cuci. Kojiro mencelupkan tangan ke air dan mengusapkan sebagian air itu ke wajahnya, tanpa sedikit pun ucapan simpati.

Ia menyelipkan tangan kembali ke dalam lengan kimono, dan katanya, "Saya dengar banyak orang pergi ke tempat yang namanya Yoshiwara. Anda tentunya kenal baik daerah itu. Apa tak ingin Anda memperlihatkannya pada saya?" Sudah menjadi kebiasaan Kojiro untuk terang-terangan menyatakan bahwa ia ingin bersenang-senang atau pergi minum. Tapi hanya dapat diduga-duga, apakah ia dengan sengaja bersikap kurang ajar, atau bersikap tulus memperdayakan.

Yajibei memilih tafsiran yang lunak. "Anda belum pernah pergi ke Yoshiwara?" tanyanya heran. "Kalau begitu, kami mesti membantu. Saya mau saja pergi dengan Anda, tapi, yah, malam ini saya mesti tinggal di sini, berjaga mayat dan sebagainya itu."

Ia memilih Juro dan Koroku, dan memberi mereka uang, juga peringatan. "Ingat, kalian berdua, aku kirim kalian bukan untuk keluyuran. Kalian pergi cuma menjaga guru kalian dan membuatnya senang."



Kojiro berjalan beberapa langkah di depan kedua orang itu. Segera kemudian, ia merasa sulit dapat tetap berjalan, karena pada malam hari, kebanyakan tempat di Edo gelap pekat. Ini sama sekali tak terbayangkan untuk kota-kota seperti Kyoto, Nara, dan Osaka.

"Jalan ini mengerikan sekali," katanya. "Kita mesti bawa lentera tadi."

"Orang bisa menertawakan kita, kalau kita masuk daerah lokalisasi membawa lentera," kata Juro. "Awas, tumpukan tanah yang Anda injak itu parit baru. Lebih baik Anda turun, sebelum jatuh ke dalamnya."

Tak lama kemudian, air dalam parit itu menjadi kemerah-merahan, seperti langit di seberang Sungai Sumida. Bulan akhir musim semi tergantung seperti kue putih gepeng di atas atap-atap Yoshiwara.

"Di sana tempatnya, di seberang jembatan," kata Juro. "Mau saya pinjami saputangan?"

"Untuk apa?"

"Untuk menyembunyikan wajah Anda sedikit, macam ini." juro dan Koroku menarik kain merah dari dalam obi dan mengikatkannya ke kepala, seperti saputangan. Kojiro menirukan dengan menggunakan secarik kain sutra cokelat muda.

"Ya, begitu," kata Juro. "Cocok untuk Anda." "Pantas Anda pakai."

Kojiro dan kedua pengawalnya masuk dalam rombongan orang berbandana, yang berjalan dari rumah ke rumah. Seperti halnya Yanagimachi di Kyoto, Yoshiwara berlampu terang. Pintu masuk ke rumah-rumah itu dihiasi secara meriah dengan tirai-tirai merah atau kuning pucat. Sebagian memasang bel di bawah, agar gadis-gadis itu tahu apabila tamu-tamu masuk.

Sesudah keluar-masuk dua atau tiga rumah, Juro berkata sambil melirik Kojiro, "Tak ada guna, mencoba menyembunyikannya."

"Menyembunyikan apa?"

"Anda bilang tak pernah kemari sebelumnya, tapi seorang gadis di rumah terakhir itu mengenali Anda. Begitu kita masuk, dia memekik kecil dan sembunyi di belakang tirai. Rahasia Anda terbuka sudah."

"Belum pernah aku pergi kemari. Siapa yang kaubicarakan itu?"

"Jangan pura-pura. Mari kita kembali, nanti saya tunjukkan."

Mereka masuk kembali ke rumah yang tirainya memakai hiasan berbentuk daun semanggi pecah tiga. Kata "Sumiya" tertulis dengan huruf-huruf agak kecil di sebelah kiri.

Tiang-tiang berat rumah itu, dan gang-gangnya yang megah, mengingatkan orang pada arsitektur Kuil Kyoto, tapi kilaunya yang tampak baru tidak memberikan suasana tradisi dan bermartabat. Kojiro menduga keras bahwa tumbuhan rawa masih berkembang pesat di bawah lantai rumah itu.

Ruang besar tempat mereka diantar di lantai atas belum lagi dibereskan, sesudah dipergunakan tamu-tamu sebelumnya. Di meja dan lantai bertebaran remah-remah makanan, kertas lap, tusuk gigi, dan barang-barang kecil lain. Gadis pelayan yang kemudian datang membersihkan tempat itu melaksanakan pekerjaannya dengan kesempurnaan seorang pekerja harian.

Ketika Onao datang untuk menerima pesanan mereka, ia menyatakan juga pada mereka betapa ia sibuk. Katanya ia hampir tak punya waktu untuk tidur. Tiga tahun lagi, kerja seribut itu akan membawanya ke hang lahat. Rumah-rumah pelacuran yang lebih baik di Kyoto berhasil memegang teguh kesan bahwa kehadiran mereka adalah untuk menghibur dan menyenangkan para tamu. Tapi di sini tujuannya jelas untuk mengosongkan uang orang-orang itu secepat-cepatnya.

"Jadi, beginilah rupanya daerah hiburan Edo ini," dengus Kojiro, disertai pandangan mencela ke arah lubang-lubang kayu di langit-langit. "Brengsek juga."

"Ah, tapi ini cuma sementara," protes Onao. "Gedung yang sedang kami bangun sekarang akan lebih bagus daripada yang pernah Anda lihat di Kyoto atau Fushimi." Ia menatap Kojiro sebentar. "Ah, tapi saya sudah pernah lihat Anda sebelum ini. Ah, ya! Tahun lalu, di jalan raya Koshu."

Kojiro sudah lupa akan pertemuan kebetulan itu, tapi karena diingatkan, maka katanya sedikit menunjukkan minat, "Oh, ya, saya kira nasib kita ini terjalin."

"Saya kira memang begitu," kata Juro sambil tertawa, "kalau di sini ada gadis yang ingat Anda." Sambil menggoda Kojiro mengenai masa lalunya, ia melukiskan wajah gadis itu dan pakaiannya, serta minta Onao pergi mencarinya.

"Saya tahu yang Anda maksud," kata Onao, lalu pergi menjemput gadis itu.

Beberapa waktu berlalu, tapi perempuan itu masih belum kembali, karena itu Juro dan Koroku pergi ke ruang besar dan bertepuk tangan memanggilnya, dan barulah akhirnya perempuan itu muncul kembali.

"Yang Anda minta itu tak ada di sini," kata Onao.

"Dia ada di sini beberapa menit lalu."

"Memang aneh, seperti saya katakan pada majikan saya. Dulu, ketika kami ada di Celah Kobotoke, samurai yang bersama tuan-tuan itu datang, dan gadis itu juga lari."

Di belakang Sumiya itu berdiri kerangka gedung yang masih baru, atapnya sebagian sudah selesai, tapi belum berdinding. "Hanagiri! Hanagiri!"

Itulah nama yang diberikan pada Akemi. Ia bersembunyi di antara timbunan kayu dan onggokan serutan. Beberapa kali para pencari lewat begitu dekat dengannya, hingga ia mesti menahan napas.

"Memuakkan sekali!" pikirnya. Beberapa menit pertama, kemarahannya hanya tertuju pada Kojiro seorang. Tapi sekarang kemarahan itu meluas mencakup semua lelaki-Kojiro, Seijuro, samurai di Hachioji, dan tamu-tamu yang menganiayanya tiap malam di Sumiya. Semua lelaki adalah musuhnya, semuanya buruk sekali.

Kecuali satu, yang benar, yaitu yang seperti Musashi, yang ia cari tak henti-hentinya. Sesudah melepaskan khayal tentang Musashi yang sebenarnya, ia membayangkan akan menyenangkan kiranya kalau ia berpura-pura jatuh cinta pada orang yang mirip Musashi. Tapi sungguh mengecewakan bahwa ia tidak menemukan satu pun orang yang mirip Musashi.

"Ha-na-gi-ri!" Orang itu Shoji Jinnai sendiri, yang semula berseru dari belakang rumah, tapi kemudian makin mendekat ke tempat persembunyiannya.

Ia dikawani Kojiro dan kedua kawannya. Mereka mengomel tak henti-hentinya, hingga menyebabkan Jinnai mengulang-ulang permintaan maafnya. Tapi akhirnya mereka pergi ke arah jalan.

Melihat mereka pergi, Akemi menarik napas lega dan menunggu sampai Jinnai kembali ke dalam, kemudian ia berlari langsung ke pintu dapur.

"Lho, Hanagiri, apa engkau di luar terus malam ini tadi?" tanya pelayan dapur, histeris.

"Sst! Tenanglah, dan beri aku sake."

"Sake? Sekarang?"

"Ya, sake!" Semenjak tiba di Edo, memang semakin sering Akemi mencari hiburan dalam sake.

Karena takut, gadis pelayan itu menuangkannya satu mangkuk besar. Sambil memejamkan mata, Akemi mengosongkan isi mangkuk itu. Wajahnya yang berbedak ditegakkan ke belakang, sampai hampir sejajar dengan mangkuk putih itu.

Ketika ia pergi meninggalkan pintu, gadis pelayan itu berteriak kuatir. "Kau mau ke mana sekarang?"

"Tutup mulut! Aku cuma mau membasuh kaki, lalu kembali masuk." Karena percaya dengan kata-katanya, gadis pelayan itu menutup pintu dan kembali pada pekerjaannya.

Akemi memasukkan kakinya ke zori pertama yang dilihatnya, dan melangkah agak gontai ke jalan. "Alangkah senangnya berada di luar. Itulah reaksinya yang pertama, tapi perasaan itu segera diikuti perasaan muak. Ia meludah ke semua arah, kepada para pencari kesenangan yang sedang menyusuri jalan yang berlampu terang, lalu enyah dari tempat itu.

Sampai di tempat bintang-bintang tercermin di dalam parit, ia berhenti untuk melihat. Ia dengar bunyi kaki berlari-lari di belakangnya. "Oh, oh" Pakai lentera pula sekarang. Dan dari Sumiya mereka. Binatang! Tak dapatkah mereka memberi kedamaian beberapa menit saja pada seorang gadis. Tidak mau! Temukan dia! Kembalikan dia buat mencetak uang. Mengubah daging dan darah menjadi kayu untuk rumah baru mereka itulah satu-satunya yang dapat memuaskan hati mereka. Tapi tak bakal mereka dapat mengembalikan aku!"

Serutan kayu yang melingkar-lingkar dan bergantung lepas pada rambutnya melompat-lompat naik-turun, ketika ia berlari sekencang-kencangnya dalam kegelapan. Tak tahu ia ke mana akan pergi, dan ia pun tak peduli. Pokoknya ia pergi, pergi jauh.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP