Rabu, 12 Juli 2017



 Bermain Api


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg













TIDAK seperti jalan-jalan utama yang lain, tidak ada pepohonan mengapit jalan raya Koshu, yang menghubungkan Shiojiri dan Edo lewat Provinsi Kai. Jalan yang dipergunakan untuk keperluan militer selama abad enam belas itu tidak memiliki jaringan jalan belakang sejenis jaringan Nakasendo, dan belum lama ditingkatkan menjadi jalan utama. Untuk musafir yang datang dari Kyoto atau Osaka, ciri yang paling tidak menyenangkan pada jalan raya Koshu itu adalah tidak adanya penginapan dan tempat makan yang baik. Pesanan makanan bekal paling-paling dapat dipenuhi dengan lempengan kue betas terbungkus daun bambu yang tidak membangkitkan selera, atau bahkan lebih tidak merangsang lagi dari itu, kepalan nasi putih terbungkus daun ek kering. Walaupun makanan di situ sederhana sekalibarangkali tidak banyak bedanya dengan makanan zaman Fujiwara beberapa ratus tahun sebelum itu-penginapan-penginapan kasar itu dikerumuni banyak tamu juga, kebanyakan menuju Edo.

Sekelompok musafir sedang beristirahat di atas Celah Kobotoke. Seorang dari mereka berseru, "Lihat, ada satu rombongan lagi." Yang dimaksud adalah pemandangan yang hampir setiap hari dinikmatinya bersama temantemannya-serombongan pelacur yang sedang dalam perjalanan dari Kyoto ke Edo.

Gadis-gadis itu jumlahnya sekitar tiga puluh orang, sebagian umur dua puluhan atau awal tiga puluhan, dan setidak-tidaknya ada lima yang umurnya belasan tahun. Bersama sekitar sepuluh orang yang mengelola atau melayani, mereka mirip keluarga besar. Di samping mereka masih ada beberapa ekor kuda beban yang dimuati segala macam barang, mulai dari keranjang anyaman kecil sampai peti-peti kayu sebesar orang.

Kepala "keluarga", yaitu seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun, sedang berbicara kepada gadis-gadisnya. "Kalau sandal jerami kalian bikin melepuh, ganti dengan zori, tapi mesti diikat baik-baik, supaya tidak lepas ke sana-sini. Dan jangan lagi mengeluh tak dapat berjalan terus. Lihat saja anak-anak di jalanan itu!" Jelas dari nada bicaranya yang masam bahwa orang itu mengalami kesulitan dalam memaksa orang-orang tanggungan yang biasanya tak pernah bepergian itu untuk terus berjalan.

Orang itu, yang bernama Shoji Jinnai, adalah penduduk asli Fushimi keturunan samurai, yang karena alasan-alasan pribadi meninggalkan kehidupan militer dan menjadi pemilik rumah pelacuran. Karena biasa cepat berpikir, banyak akal, ia berhasil memperoleh dukungan dari Tokugawa Ieyasu yang sering tinggal di Benteng Fushimi. Ia tidak hanya memperoleh izin memindahkan usahanya ke Edo, tetapi juga dapat meyakinkan banyak rekan seusahanya untuk berbuat demikian juga.

Di dekat puncak Kobotoke, Jinnai menyuruh iring-iringannya berhenti, katanya, "Sekarang ini masih pagi, tapi kita dapat makan siang sekarang." Sambil menoleh kepada Onao, seorang perempuan tua yang jadi semacam induk ayam, ia memerintahkan mengeluarkan makanan.

Keranjang berisi bekal makanan segera diturunkan dari salah satu kuda beban, dan kepalan nasi terbungkus daun dibagikan kepada para perempuan itu, yang kemudian berpencar mengistirahatkan diri. Debu yang membuat kuning kulit mereka juga membuat rambut mereka yang hitam menjadi hampir putih, sekalipun mereka mengenakan caping jalan bertepi lebar atau mengikatkan saputangan ke kepala. Karena tidak ada teh, acara makan itu diiringi banyak jilatan lidah dan isapan gigi. Tidak tampak di situ tipu muslihat seksual atau getaran cinta. "Tangan siapa yang akan memeluk kembang merah padam ini malam nanti?" Benar-benar kata-kata yang terasa tidak pada tempatnya.

"Oh, enak sekali!" teriak salah seorang anak buah Jinnai yang masih muda, dengan gembiranya. Nada suaranya itu kiranya bisa mendatangkan air mata ibunya.

Perhatian dua-tiga orang lainnya mengembara dari makan siang itu, dan terpusat pada seorang samurai muda yang lewat. "Tampan dia, ya?" bisik seorang.

"Ya, lumayan," jawab yang lain, yang lebih duniawi pandangannya.

Yang ketiga menyambut, "Ah, aku kenal dia itu. Dia biasa datang ke tempat kami, dengan orang-orang dari Perguruan Yoshioka."

"Yang mana yang kamu bicarakan itu?" tanya lainnya, yang matanya bernafsu.

"Yang muda itu, yang tegap jalannya, membawa pedang panjang di punggungnya."

Tak sadar akan kekaguman orang-orang itu, Sasaki Kojiro terus berusaha lewat saja di antara barisan kuli dan kuda beban.

Satu suara tinggi mencumbu berseru, "Pak Sasaki! Ke sini, Pak Sasaki!"

Karena banyak orang yang bernama Sasaki, maka Kojiro sama sekali tidak menoleh.

"Bapak yang pakai jambul!"

Alis Kojiro naik, dan ia memutar badan.

"Jaga lidahmu!" teriak Jinnai marah. "Kau terlalu kasar." Tapi ketika ia menengadah dari makannya, dikenalinya Kojiro.

"Ya, ya," katanya sambil bangkit cepat-cepat. "Kalau tidak salah, ini teman saya Sasaki! Ke mana Anda pergi, kalau boleh saya bertanya?"

"Oh, halo! Anda pemilik Sumiya, kan? Saya dalam perjalanan ke Edo. Dan bagaimana dengan Anda? Anda rupanya pindah besar-besaran, ya?"

"Betul. Kami pindah ke ibu kota baru."

"Betul? Anda yakin dapat kemajuan di sana?"

"Tak ada yang bisa tumbuh di air yang tak mengalir."

"Kalau melihat perkembangan Edo, saya bayangkan di sana banyak pekerjaan untuk pekerja bangunan dan pandai senapan. Tapi hiburan yang elok? Masih meragukan, apa di sana banyak permintaan."

"Anda salah sangka. Para perempuan sudah menciptakan kota Osaka, sebelum Hideyoshi mulai memperhatikannya."

"Barangkali juga, tapi di tempat sebaru Edo itu, barangkali menemukan rumah yang cocok saja pun Anda tak bisa."

"Keliru lagi. Pemerintah sudah menyisihkan tanah rawa di tempat yang namanya Yoshiwara untuk orang-orang dari bidang saya. Rekan-rekan saya sudah masuk, membuat jalan-jalan, dan membangun rumah. Dari laporan yang saya peroleh, saya akan dapat dengan mudah memperoleh tempat di pinggir jalan yang baik."

"Maksud Anda, Keluarga Tokugawa memberikan tanahnya? Cuma-cuma?"

"Tentu. Siapa mau bayar tanah rawa? Pemerintah bahkan menyediakan sebagian bahan bangunannya."

"Oh, begitu. Tidak heran, Anda semua meninggalkan daerah Kyoto."

"Dan bagaimana dengan Anda? Atau Anda sudah punya bayangan mendapat kedudukan pada seorang daimyo?"

"Ah, tidak. Tak ada yang seperti itu. Saya akan menerimanya, kalau ada tawaran. Saya cuma ingin melihat apa yang terjadi di Edo, karena tempat itu menjadi tempat semayam shogun, dan di masa depan dari situlah asalnya macam-macam perintah. Tentu saja sekiranya saya diminta menjadi instruktur shogun, mungkin saya terima."

Jinnai bukan orang yang dapat menilai ilmu permainan pedang, tetapi penglihatannya atas manusia sangatlah tajam. Menurut pikirannya, lebih baik ia tidak memberikan komentar atas kecongkakan Kojiro yang tak terkendalikan itu. Karena itu, ia memalingkan muka dan mulai menyuruh anak buahnya bergerak. "Sudah waktunya kita jalan lagi."

Onao menghitung kepala orang-orang itu, dan katanya, "Rupanya kita kehilangan satu orang. Siapa kali ini? Kicho? Atau barangkali Sumizome. Tidak, mereka berdua ada di sana. Aneh. Siapa rupanya?"

Karena tak suka berteman jalan rombongan pelacur, Kojiro berjalan sendiri.

Beberapa gadis yang pulang dari mencari gadis yang hilang itu kini kembali ke tempat Onao.

Jinnai menyatukan diri dengan mereka. "Sini, sini, Onao, jadi yang mana yang hilang?"

"Ah, saya tahu sekarang. Yang namanya Akemi," jawabnya menyesal, seakan-akan kesalahan itu ia yang melakukan. "Yang Bapak ambil di jalan, di Kiso itu."

"Tentunya masih di sekitar tempat ini."

"Kami sudah mencari di mana-mana. Dia tentunya sudah lari."

"Ah, aku tak punya perjanjian tertulis dengan dia, dan aku juga tidak meminjamkan 'uang badan' kepadanya. Dia bilang dia mau, dan karena wajahnya cukup menarik untuk dipasarkan, kuambil dia. Sekalipun kukira dia sudah menghabiskan biaya jalan yang lumayan, tapi tak banyak, jadi tak perlu kuatir. Biarkan saja dia. Ayo kita jalan."

Dan mulailah ia menggiring rombongannya. Ia ingin sampai di Hachioji dalam sehari, sekalipun itu berarti berjalan sesudah matahari terbenam. Kalau mereka dapat berjalan sejauh itu, mereka akan sampai di Edo hari berikutnya.

Tidak lama kemudian, Akemi muncul kembali dan menggabungkan diri dengan mereka.

"Di mana kamu tadi?" tanya Onao marah. "Kau tak boleh berkeliaran ke mana-mana tanpa mengatakan ke mana kau pergi. Kecuali kalau kau mau meninggalkan kami." Perempuan tua itu lalu menjelaskan dengan cara yang menurutnya benar, bahwa mereka semua sudah kuatir dengan Akemi.

"Ibu tak mengerti," kata Akemi. Cacian perempuan tua itu hanya disambutnya dengan tawa mengikik. "Ada lelaki yang saya kenal di jalan tadi, dan saya tidak ingin dilihat olehnya. Saya lari ke rumpun bambu, tapi tak tahu di situ ada turunan. Saya tergelincir sampai ke dasar." Ia menguatkan keterangannya dengan mengangkat kimononya yang sobek dan sikunya yang terkelupas. Namun selagi ia memohon maaf itu, wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun tanda menyesal.

Dari kedudukannya yang hampir di depan, Jinnai sudah mendengar tentang apa yang terjadi, dan memanggil Akemi. Dengan garang katanya, "Namamu Akemi, kan? Akemi... ini nama yang sukar diingat. Kalau kau betul-betul mau berhasil dalam usaha ini, kau mesti mencari nama yang lebih baik. Coba katakan, apa kau sudah betul-betul mengambil keputusan akan kerja di sini?"

"Apa menjadi pelacur itu membutuhkan keputusan?"

"Ini bukan hal yang dapat kaujalani sekitar sebulan, kemudian kau pergi. Dan kalau kau menjadi anggotaku, kau mesti memberikan apa yang diminta para langganan, suka atau tidak suka. Jadi, jangan sampai keliru soal ini."

"Buat saya, semua itu sudah tak ada bedanya. Orang-orang lelaki sudah bikin hidup saya berantakan."

"Itu sama sekali bukan sikap yang benar. Coba pikirkan soal ini baik-baik. Kalau kau berubah pendirian sebelum sampai Edo, itu baik. Aku takkan minta kau mengembalikan biaya makan dan penginapan."



Hari itu juga, di Kuil Yakuoin di Takao, seorang lelaki tua yang agaknya baru lepas dari himpitan urusan usahanya, akan mulai menikmati bagian santai perjalanannya. Ia, pembantunya, dan seorang anak lelaki umur sekitar lima belas tahun, datang di sana malam sebelumnya dan meminta penginapan. Ia dan anak lelaki itu sudah mengelilingi kompleks-kompleks kuil sejak pagi-pagi benar. Sekarang sekitar tengah hari.

"Pergunakan ini untuk memperbaiki atap, atau apa saja yang perlu," katanya. Ia menyerahkan kepada salah seorang pendeta itu tiga mata uang emas besar.

Pendeta kepala, yang mendapat berita tentang hadiah itu, demikian terkesan oleh kemurahan hati si dermawan, hingga ia bergegas keluar untuk bertukar salam. "Barangkali Anda akan meninggalkan nama?" katanya.

Pendeta lain mengatakan bahwa hal itu sudah dilakukan, dan menunjukkan kepadanya tulisan dalam daftar kuil, yang bunyinya, "Daizo dari Narai, pedagang ramuan, tinggal di kaki Gunung Ontake, di Kiso."

Pendeta kepala meminta maaf dengan sangat atas rendahnya mutu makanan yang dihidangkan oleh kuil, karena Daizo dari Narai dikenal di seluruh negeri sebagai penyumbang yang dermawan kepada tempat-tempat suci dan kuil-kuil. Pemberiannya selalu berbentuk mata uang emas-dalam beberapa peristiwa, kata orang, bahkan mencapai jumlah beberapa lusin. Hanya ia seorang yang mengetahui, apakah ia melakukan itu untuk hiburan, untuk mencari nama baik, ataukah karena kesalehan.

Pendeta ingin sekali Daizo tinggal lebih lama, dan memohon kepadanya untuk melihat-lihat kekayaan kuil, suatu hak istimewa yang hanya diberikan kepada beberapa orang.

"Saya takkan lama di Edo," kata Daizo. "Dan saya akan datang melihatnya lain kali."

"Tentu, tentu, tapi setidaknya mari saya temani ke gerbang luar," desak pendeta itu. "Apakah Anda punya rencana menginap di Fuchu malam ini?"

"Tidak, di Hachioji."

"Kalau begitu, ini perjalanan yang mudah."

"Tapi siapa penguasa Hachioji sekarang?"

"Baru-baru ini diletakkan di bawah administrasi Okubo Nagayasu."

"Dia dulunya hakim di Nara, kan?"

"Ya, benar. Tambang emas di Pulau Sado juga di bawah pengawasannya. Dia kaya raya."

"Orang pandai nampaknya."

Hari masih terang ketika mereka sampai di kaki pegunungan itu, dan berdiri di jalan utama yang ramai di Hachioji, di mana kabarnya terdapat tidak kurang dari dua puluh lima penginapan.

"Nah, Jotaro, di mana kita menginap?"

Jotaro, yang menempel terus di sisi Daizo seperti bayangan, memberi isyarat dengan tanda-tanda terang, bahwa ia lebih menyukai "di mana saja, asalkan tidak di kuil."

Daizo memilih penginapan yang paling besar dan paling mengesankan. Ia masuk dan memesan kamar. Pemunculannya yang lain daripada yang lain, dan peti perjalanannya yang anggun, dipernis dan didukung pelayan itu, menimbulkan kesan memikat pada kerani kepala. Kerani kepala berkata dengan nada menjilat, "Wah, Bapak datang dini sekali?" Penginapan-penginapan sepanjang jalan raya memang terbiasa menerima rombongan musafir pada waktu makan malam, atau bahkan lebih malam.

Daizo diantar ke sebuah kamar besar di tingkat pertama, tapi tak lama sesudah matahari terbenam, pemilik penginapan dan kerani kepala datang ke kamar Daizo.

"Saya tahu ini sangat tidak menyenangkan," pemilik penginapan memulai dengan rendah hati, "tapi satu rombongan besar tamu datang tiba-tiba sekali. Saya takut suasana di sini akan ribut bukan main. Kalau Bapak tidak keberatan, saya persilakan sebuah kamar di tingkat dua..."

"Oh, tidak apa-apa," jawab Daizo ramah. "Saya senang melihat usaha Anda maju."

Daizo memberikan isyarat kepada Sukeichi, pelayannya, agar mengurus barang bawaannya, dan ia naik ke atas. Begitu ia pergi, ruang itu pun diserbu perempuan-perempuan dari Sumiya itu.

Penginapan jadi tidak sekadar sibuk, tapi ingar-bingar. Karena ributnya keadaan di bawah, para pelayan tidak datang pada waktu dipanggil. Makan malam terlambat, dan ketika mereka selesai makan, tak seorang pun datang untuk menyingkirkan pinggan dan mangkuk. Belum lagi suara entakan kaki yang tak henti-hentinya di kedua lantai. Hanya rasa simpati Daizo kepada orang upahan saja yang membuat ia tidak kehilangan kesabaran. Tanpa menghiraukan pinggan-mangkuk yang masih berantakan di kamar, ia membaringkan diri, tidur berbantal tangan. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terpikir olehnya sesuatu, dan la memanggil Sukeichi.

Sukeichi tidak muncul, karena itu Daizo membuka mata, duduk dan berseru, "Jotaro, sini!"

Tapi Jotaro pun sudah lenyap.

Daizo berdiri dan pergi ke beranda. Dilihatnya beranda penuh deretan tamu yang gembira menonton para pelacur di lantai pertama.

Melihat Jotaro ada di antara para penonton, direnggutkannya anak itu kembali ke kamarnya. Dengan sorot mata menakutkan, ia bertanya, "Apa yang kautatap itu?"

Pedang kayu panjang yang tidak dilepas Jotaro, sekalipun di dalam ruangan, menggaruk tatami ketika ia duduk. "Semua orang melihat," katanya.

"Tapi apa yang mereka lihat?"

"Ada banyak perempuan di kamar belakang, di bawah."

"Cuma itu?"

"Ya."

"Apa pula yang menyenangkan, kalau cuma itu?" Hadirnya para pelacur itu sama sekali tidak mengganggu Daizo, tapi karena alasan tertentu, ia merasa bahwa niat besar para lelaki yang menganga melihat mereka itu menjengkelkan.

"Saya tidak tahu," jawab Jotaro jujur.

"Aku mau jalan-jalan keliling kota," kata Daizo. "Sementara aku pergi, kau tinggal di sini."

"Saya tak boleh ikut?"

"Waktu malam tidak."

"Kenapa tak boleh?"

"Seperti kukatakan sebelumnya, kalau aku pergi jalan-jalan, itu bukan sekadar buat menyenangkan diri."

"Apa belum cukup yang Bapak dapat dari tempat-tempat suci dan kuilkuil itu pada siang hari? Pendeta-pendeta juga tidur waktu malam."

"Agama itu lebih dari sekadar tempat suci dan kuil, anak muda. Sekarang panggil Sukeichi kemari. Dia bawa kunci peti perjalananku."

"Dia pergi turun beberapa menit lalu. Saya lihat dia mengintip ke kamar perempuan-perempuan itu."

"Oh, dia juga?" seru Daizo, mendecapkan lidahnya. "Pergi sana panggil dia, dan cepat!" Sesudah Jotaro pergi, Daizo mulai mengikatkan obi-nya.

Mendengar bahwa perempuan-perempuan itu adalah pelacur Kyoto yang terkenal kecantikannya dan kecakapannya dalam melakukan segala sesuatu, maka tamu-tamu lelaki tak dapat berhenti memestakan mata mereka. Sukeichi demikian asyik melihat pemandangan itu, hingga mulutnya masih menganga ketika Jotaro menemukannya.

"Ayo, sudah cukup kau melihat!" bentak anak itu sambil menjewer telinga si pelayan.

"Oh!" pekik Sukeichi.

"Tuanmu memanggil."

"Bohong."

"Tak percaya! Dia bilang akan pergi jalan-jalan. Dia selalu jalan-jalan, kan?"

"Ha? Baik, kalau begitu," kata Sukeichi, enggan menolehkan mukanya.

Anak itu membalikkan badan mengikutinya, ketika tiba-tiba saja ada suara memanggilnya, "Jotaro? Kau Jotaro, kan?"

Suara itu suara perempuan muda. Jotaro menoleh ke sekitar, mencaricari. Harapannya untuk menemukan gurunya dan Otsu tak pernah lenyap dari hatinya. Mungkinkah mereka? Ia menatap tegang lewat cabang-cabang rumpun pohon.

"Siapa itu?"

"Aku."

Wajah yang muncul dari tengah dedaunan itu dikenalnya. "Oh, kau."

Akemi dengan kasar menepuk punggungnya. "Anak bandel! Kan sudah lama betul kita tak jumpa! Apa kerjamu di sini?"

"Aku bisa juga tanya begitu."

"Oh, aku... ah, tapi itu tak ada artinya buatmu."

"Apa kau jalan sama perempuan-perempuan itu?"

"Betul, tapi aku belum ambil keputusan."

"Ambil keputusan soal apa?"

"Jadi anggota mereka atau tidak," jawab Akemi mengeluh. Lama kemudian baru ia bertanya, "Apa kerja Musashi sekarang ini?"

Jotaro mengerti, itulah yang sesungguhnya ingin diketahui Akemi. Ia ingin bisa menjawab pertanyaan itu.

"Otsu, Musashi, dan aku... kami terpisah di jalan raya."

"Otsu? Siapa dia?" Baru saja mengucapkan itu, teringat olehnya. "Oh ya, aku tahu. Apa masih juga dia mengejar-ngejar Musashi?" Akemi sudah terbiasa menganggap Musashi seorang shugyosha gagah yang mengembara seenak hatinya, hidup di hutan dan tidur di batu-batu telanjang. Sekalipun misalnya ia berhasil mengejar Musashi, Musashi langsung dapat mengetahui betapa cabul hidup yang telah ditempuhnya, dan akan menghindarinya. Sudah lama ia tidak lagi memikirkan bahwa cintanya akan berbalas.

Tetapi disebutnya nama perempuan lain itu membangkitkan perasaan cemburu, dan mengusik kembali bara naluri cintanya yang sedang sekarat.

"Jotaro," katanya, "di sekitar tempat ini begitu banyak mata yang ingin tahu. Mari kita pergi ke tempat lain."

Mereka pergi lewat gerbang halaman. Di jalan, mata mereka berpesta menikmati lampu-lampu Hachioji dan kedua puluh lima penginapannya. Itulah kota tersibuk yang pernah mereka saksikan semenjak meninggalkan Kyoto. Di sebelah barat laut, menjulang jajaran Pegunungan Chichibu yang gelap diam, dan pegunungan yang menandai perbatasan Provinsi Kai, tapi di sini suasana penuh aroma sake, ribut oleh detak-detik buluh penenun, teriakan pegawai-pegawai pasar, pekik riuh para penjudi, dan rengekan lesu penyanyi-penyanyi jalanan.

"Sering aku mendengar Matahachi menyebut nama Otsu," kata Akemi berbohong. "Orang macam apa dia?"

"Oh, dia baik sekali," kata Jotaro seadanya. "Manis, lembut, baik budi, dan cantik. Aku suka sekali padanya."

Ancaman yang terasa mengawang di atas Akemi jadi bertambah hebat, tapi ia menyelimuti perasaannya dengan senyuman ramah. "Apa dia memang sebaik itu?"

"Memang. Dan dia dapat melakukan apa saja. Dia dapat menyanyi, dapat menulis dengan baik, dan dia dapat main suling."

Sekarang Akemi tampak gusar, katanya, "Ah, tapi aku tak melihat gunanya perempuan main suling."

"Kalau kau tak cocok, boleh saja, tapi semua orang memuji Otsu, termasuk Yang Dipertuan Yagyu Sekishusai. Cuma ada satu hal kecil yang tak kusukai."

"Semua perempuan punya kekurangan. Soalnya cuma, apa mereka mau mengakuinya dengan jujur, seperti yang kuperbuat, atau mencoba menyembunyikan kekurangan itu di balik sikap wanita terhormat."

"Otsu bukan orang macam itu. Cuma ada kelemahan kecil pada dia."

"Kelemahan apa?"

"Dia selalu nangis. Betul-betul cengeng."

"Oh? Kenapa begitu?"

"Dia selalu nangis kalau memikirkan Musashi. Akibatnya murung juga ada di dekatnya, dan itu aku tak suka." Jotaro menyatakan pendapatnya dengan sikap masa bodoh kanak-kanak, tak sadar akan akibat yang bisa ditimbulkannya.

Hati Akemi dan seluruh tubuhnya terbakar apt cemburu. Hal itu tampak di kedalaman matanya, bahkan juga pada warna kulitnya. Tapi ia meneruskan pertanyaannya. "Berapa tahun umurnya?"

"Kira-kira sama."

"Maksudmu, sama dengan aku?"

"Ya. Tapi dia kelihatan lebih muda dan lebih manis."

Akemi sekarang nekat menyerang, dengan harapan agar Jotaro menentang Otsu. "Musashi lebih jantan dari kebanyakan lelaki. Dia tentu benci melihat perempuan yang berlaku tak pantas terus-menerus. Otsu barangkali mengira air matanya dapat memenangkan simpati pria, macam gadis-gadis yang bekerja untuk Sumiya."

Jotaro jengkel sekali, dan jawabnya pedas, "Tak benar sama sekali. Pertama-tama, Musashi suka Otsu. Memang dia tak pernah memperlihatkan perasaannya, tapi dia mencintai Otsu."

Wajah Akemi yang kemerahan itu berubah menjadi merah tua. Ingin ia menceburkan diri ke sungai, untuk memadamkan nyala api yang membakar dirinya.

"Jotaro, ayo kita ke sini." Ia tarik Jotaro ke arah lampu merah di sebuah jalan kecil.

"Tapi itu tempat minum."

"Lalu, apa salahnya?"

"Itu bukan tempat untuk perempuan. Kau tak boleh pergi ke sana."

"Tiba-tiba saja aku ingin sekali minum, dan aku tak bisa pergi sendiri. Aku malu."

"Kau malu. Tapi aku sendiri bagaimana?"

"Di situ ada makanan juga. Kau bisa makan apa saja yang kausukai."

Sepintas lalu, warung itu kelihatan kosong, Akemi langsung masuk. Sambil menghadap dinding, katanya, "Saya mau sake."

Mangkuk demi mangkuk diteguk dengan kecepatan yang masih mungkin dicapai manusia. Kuatir melihat banyaknya Akemi minum, Jotaro mencoba menghambatnya, tapi Akemi menepiskannya.

"Diam!" pekiknya. "Kau ini mengganggu saja! Kasih sake lagi! Sake!"

Sambil menyelipkan diri antara Akemi dan guci sake, Jotaro memohon, "Kau mesti berhenti sekarang. Kau tak boleh minum terus macam ini."

"Jangan kuatir," kata Akemi cepat. "Kau teman Otsu, kan? Aku tak suka perempuan yang mencoba menaklukkan lelaki dengan air mata!"

"Dan aku tak suka perempuan mabuk."

"Aku minta maaf, tapi bagaimana mungkin orang kerdil macam kau mengerti kenapa aku minum?"

"Ayolah, bayar saja sekarang."

"Kaupikir aku punya uang?"

"Kau tak punya?"

"Tidak. Barangkali dia bisa ambil uangnya dari Sumiya. Aku toh sudah menjual diri kepada pemiliknya." Air mata membanjiri mata Akemi. "Aku minta maaf.... Aku betul-betul minta maaf."

"Jadi kau menertawakan Otsu karena nangis, kan? Tapi coba lihat dirimu itu!"

"Air mataku lain dengan air matanya. Oh, hidup ini banyak sekali kesulitannya. Lebih baik aku mati."

Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Akemi berdiri dan enyah ke jalan. Tukang warung yang memang biasa mendapat pembeli macam itu hanya tertawa, tapi seorang ronin yang selama itu tidur tenang di sudut warung, membuka matanya yang muram dan menatap punggung Akemi yang kian menjauh.

Jotaro mengejarnya dan menangkap pinggangnya, tapi terlepas. Akemi lari masuk jalan gelap, dan Jotaro mengejarnya.

"Berhenti!" teriak Jotaro kuatir. "Kau tak boleh berpikir begitu. Ayo kembali!"

Akemi kelihatannya tak peduli, apakah ia menubruk sesuatu dalam kegelapan atau jatuh ke paya-paya, tapi ia sadar sepenuhnya akan permintaan Jotaro. Ketika menceburkan diri ke laut di Sumiyoshi dulu, ia memang mau bunuh diri, tapi sekarang ia tidak lagi sepolos dulu. Melihat Jotaro demikian kuatir akan dirinya, ia merasakan getaran nikmat.

"Awas!" teriak Jotaro, ketika melihat Akemi langsung menuju air parit yang kelam. "Berhenti! Kau mau mati, ya? Gila kau."

Sekali lagi Jotaro menangkap pinggangnya, dan Akemi pun melolong, "Apa salahnya kalau aku mati? Kaupikir aku jahat. Begitu juga pikir Musashi. Setiap orang berpikir begitu. Tak ada lagi pilihanku, kecuali mati sambil memeluk Musashi dalam hati. Takkan kubiarkan dia direbut perempuan macam itu dari tanganku."

"Kau betul-betul kacau. Bagaimana bisa kau jadi begini?"

"Tak peduli. Sekarang tinggal kaudorong aku masuk parit. Ayolah, Jotaro, dorong aku." Sambil menutup muka dengan kedua tangan, pecahlah tangisnya. Hal itu menimbulkan rasa ngeri yang aneh dalam diri Jotaro, dan ia merasa ingin menangis juga.

"Ayolah, Akemi. Mari kita pulang."

"Oh, begitu ingin aku melihat dia. Cobalah cari dia Jotaro. Cari Musashi untukku."

"Berdiri diam-diam! Jangan bergerak, berbahaya!"

"Oh, Musashi!"

"Awas!"

Pada waktu itu, ronin dari warung sake itu muncul dari kegelapan. "Pergi kau, anak kecil!" perintahnya. "Akan kukembalikan dia ke warung." Ia selipkan tangannya di kedua ketiak Jotaro, dan dengan kasar ia angkat anak itu ke pinggir.

Ronin itu bertubuh jangkung, umurnya tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun, matanya dalam dan jenggotnya lebat. Sebuah tanda bekas luka menggores dari bawah telinga kanan ke dagu. Tidak sangsi lagi, itu luka bekas pedang. Tampaknya seperti koyakan bergerigi pada buah persik apabila dibuka.

Sambil menelan ludah dengan susah payah untuk mengatasi rasa takutnya, Jotaro mencoba membujuk. "Akemi, ayolah ikut aku. Semuanya akan beres." Kepala Akemi kini terkulai di dada samurai itu.

"Lihat," kata orang itu, "dia sudah tertidur. Pergi kau! Akan kubawa dia pulang nanti."

"Tidak! Biarkan dia pergi!"

Ketika anak itu menolak beranjak, ronin itu pelan-pelan mengulurkan satu tangannya dan menangkap kerah Jotaro.

"Lepaskan!" jerit Jotaro, melawan sekuat tenaga.

"Bajingan kecil! Bagaimana kalau kau dilemparkan ke parit?"

"Siapa yang melemparkan?" Ia menggeliatkan badan untuk melepaskan diri. Begitu terlepas, tangannya meraba ujung pedang kayunya. Ia ayunkan pedang itu ke lambung orang tersebut, tapi ternyata tubuhnya sendiri terjungkir balik dan jatuh ke batu di pinggir jalan. Ia merintih sejenak, kemudian diam.

Jotaro pingsan beberapa waktu lamanya, kemudian mulai mendengar suara-suara di sekitarnya.

"Hei, bangun!"

"Apa yang terjadi?"

Ketika ia membuka mata, samar-samar tampak olehnya sejumlah orang mengelilinginya.

"Sudah sadar?"

"Kau baik-baik saja?"

Malu karena telah menarik perhatian orang banyak, Jotaro memungut pedang kayunya dan pergi, tapi seorang kerani penginapan mencengkeram tangannya. "Tunggu sebentar," salaknya. "Apa yang terjadi dengan perempuan temanmu itu?"

Jotaro memandang ke sekitar, dan ia mendapat kesan bahwa orang-orang yang lain itu juga dari penginapan, tamu-tamu dan pegawai penginapan. Sebagian orang itu membawa tongkat. Yang lain memegang lentera kertas bulat.

"Satu orang mengatakan kau diserang, dan seorang ronin membawa pergi perempuan itu. Apa kau tahu ke mana mereka pergi?"

Jotaro menggeleng. Kepalanya masih pusing.

"Tidak mungkin. Kau mestinya tahu."

Jotaro menuding arah pertama yang dapat ditudingnya. "Sekarang saya ingat. Ke situ!" Ia enggan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, karena takut mendapat teguran Daizo gara-gara terlibat soal itu. Ia juga takut mengakui di depan begitu banyak orang bahwa ronin itu sudah melemparkannya.

Walaupun jawaban itu samar-samar, orang banyak itu bergegas juga ke sana, dan tak lama kemudian terdengar teriakan. "Ini dia! Ada di sini!"

Lentera-lentera berkerumun di sekitar Akemi. Tubuhnya yang kusut masai terbaring di tempat ia ditelantarkan, di atas setumpuk jerami dalam lumbung seorang petani. Ia baru tersadar kembali sesudah mendengar ribut langkah kaki orang berlari, dan ia memaksa dirinya berdiri. Bagian depan kimononya terbuka, obi-nya tergeletak di tanah. Jerami menempel pada rambut dan pakaiannya.

"Apa yang terjadi?"

Kata "perkosaan" menggantung di bibir setiap orang, tapi tak ada yang mengucapkannya. Dan tak seorang pun di antara mereka terpikir akan mengejar bajingan itu. Apa pun yang terjadi dengan Akemi, mereka merasa ia sendiri yang bersalah.

"Mari kita kembali," kata seseorang sambil menggandeng tangan Akemi. Akemi cepat menarik dirinya. Ia menempelkan wajahnya ke dinding, dan menangis sedih sekali.

"Rupanya dia mabuk."

"Bagaimana dia bisa sampai begitu?"

Jotaro mengawasi adegan itu dari kejauhan. Apa yang terjadi dengan Akemi tak jelas baginya, tapi bagaimanapun ia teringat pengalaman yang tak ada hubungannya sama sekali dengan Akemi. Terkenang kembali olehnya rangsangan yang pernah dialaminya ketika ia terbaring di lumbung makanan ternak di Koyagyu, bersama Kocha. Terkenang olehnya rasa takut yang anehnya menggairahkan, rasa takut akan langkah-langkah yang waktu  itu sedang mendekat. Tapi cuma sebentar ia menikmati kenangan itu. "Lebih baik aku kembali," katanya memutuskan.

Langkahnya menjadi cepat, dan semangatnya yang baru kembali dari wilayah tak dikenal itu menggerakkannya untuk menyanyikan lagu.



Oh, Budha logam tua yang berdiri di ladang, Kaulihatkah gadis umur enam belas? Tak kaulihatkah gadis itu? Kalau ditanya, jawabmu ‘Bung.' Kalau dipukul, katamu 'Bung. "

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP