Rabu, 12 Juli 2017



Penculikan

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg




DI seberang celah, salju Gunung Koma berkilauan berupa jalur-jalur seperti lembing, sedangkan lewat pucuk-pucuk pohon yang sedikit kemerahan, tampak salju di Gunung Ontake terhampar, berupa petak-petak berserakan. Warna hijau muda yang menandakan datangnya musim semi seolah gemerlapan di sepanjang jalan raya dan di perladangan.

Otsu melamun. Jotaro seperti tanaman yang barn tumbuh, keras kepala dan tegar. Sukar sekali menundukkan dan tetap menguasainya dalam waktu lama. Akhir-akhir ini Jotaro tumbuh pesat. Kadang-kadang Otsu merasa seperti menangkap kilasan seorang pria dewasa.

Memang sifat Jotaro yang liar, ribut, dan penuh gairah hidup itu bisa dimaklumi, namun tetap saja Otsu cemas dengan tingkah lakunya, sekalipun ia telah memperhitungkan latar belakang Jotaro yang tidak seperti anak lain. Tuntutannya tak kenal ujung, terutama dalam hal makanan. Tiap kali mereka tiba di warung makanan, ia berhenti seketika dan tak mau beranjak sebelum Otsu membelikan sesuatu.

Habis membeli kerupuk beras di Suhara, Otsu berjanji, "Ini yang terakhir." Tapi belum sampai mereka menempuh jarak satu mil, kerupuk sudah habis dan katanya ia sudah setengah kelaparan. Krisis yang terjadi lagi sesudah itu hanya dapat dihindari dengan berhenti di sebuah warung teh di Nezame untuk makan siang. Tapi begitu selesai melewati celah berikut, ia sudah kelaparan lagi.

"Lihat, Otsu! Warung itu menjual kesemek kering. Bagaimana kalau kita beli, biar ada yang kita bawa?"

Otsu berjalan terus, pura-pura tak mendengar.

Ketika mereka sampai di Fukushima, Provinsi Shinano, tempat yang terkenal dengan keanekaan dan kelimpahan hasil makanannya, hari sudah sore, yaitu waktu untuk makan makanan kecil.

"Mari kita istirahat sebentar," rengek Jotaro. "Ayolah." Otsu tidak memperhatikan.

"Ayolah, Otsu! Mari kita makan kue beras berlapis tepung kedelai itu. Kue buatan tempat ini terkenal sekali. Kakak tak ingin?" tanyanya kesal.

Dan seakan-akan sudah ada persekutuan rahasia dengan Jotaro, lembu itu berhenti dan mulai mengunyah rumput di tepi jalan.

"Baik!" bentak Otsu. "Kalau begitu kelakuanmu, aku akan jalan dulu dan mengatakannya pada Musashi." Otsu berbuat seolah-olah hendak turun dari lembu, tapi Jotaro pecah ketawanya, karena tahu benar Otsu takkan melaksanakan ancamannya.

Karena gertakannya tak mempan, Otsu menyerah dan turun dari lembu. Bersama-sama mereka masuk ke bangunan kecil yang menempel di depan warung. Jotaro dengan suara keras memesan dua porsi, kemudian keluar untuk mengikatkan lembu.

Ketika ia kembali, Otsu berkata, "Mestinya kau tak usah pesan untukku. Aku tidak lapar."

"Kakak tak ingin makan apa-apa?"

"Tidak. Orang yang makan terlalu banyak akan berubah jadi babi bodoh."

"Oh, kalau begitu, bagian Kakak saya makan juga nanti."

"Tak kenal malu!"

Mulut Jotaro terlampau penuh, hingga telinganya tidak mendengar. Namun tak lama kemudian ia berhenti makan untuk menggeser pedangnya ke punggung, karena di situ pedang takkan mengganggu tulang rusuknya yang mengembang. Ia mulai makan lagi, tapi tiba-tiba ia menjejalkan kue betas terakhir ke dalam mulutnya dan meloncat ke pintu keluar.

"Sudah selesai?" seru Otsu. Ia meletakkan uang di meja dan mulai mengikuti Jotaro, tapi Jotaro kembali lagi dan dengan kasar mendorong punggung Otsu ke dalam.

"Tunggu!" katanya heboh. "Saya baru melihat Matahachi."

"Tidak mungkin!" Otsu menjadi pucat. "Apa yang dia kerjakan di tempat ini?"

"Saya tidak tahu. Kakak tidak lihat? Dia pakai topi anyaman, dan tadi dia menatap kita langsung."

"Aku tak percaya."

"Kakak mau saya membawanya kemari buat bukti?"

"Tak mungkin kau berbuat begitu!"

"Jangan kuatir. Kalau ada apa-apa, akan saya panggil Musashi."

Urat nadi Otsu berdentum hebat, tapi karena sadar bahwa makin lama mereka berdiri di sana makin jauh Musashi mendahului, ia kembali mendekat ke lembu.

Ketika mereka berangkat, Jotaro berkata, "Saya sungguh tak mengerti Sebelum sampai di air terjun di Magome, kita bertiga sangat bersahabar. Tapi sejak itu Musashi hampir tak pernah berkata-kata, dan Kakak justru tidak bicara dengan dia. Kenapa?"

Dan ketika Otsu tidak mengatakan apa-apa, ia pun melanjutkan, "Kenapa dia jalan duluan? Kenapa kita tidur di kamar yang berlainan sekarang? Kalian bertengkar atau bagaimana?"

Otsu tak dapat memaksa dirinya memberikan jawaban yang jujur, karena kepada diri sendiri pun ia tak dapat. Apakah semua lelaki memperlakukan perempuan seperti Musashi memperlakukannya? Yaitu terang-terangan mau memaksakan cinta kepadanya? Dan kenapa pula ia menolak Musashi demikian keras? Kedukaan dan kebingungannya sekarang lebih menyakitkan dibandingkan penyakit yang baru saja dideritanya. Pancaran cinta yang bertahun-tahun menghibur hatinya tiba-tiba berubah menjadi air terjun yang mengamuk.

Kenangan air terjun menggema di telinganya, bersamaan dengan teriakan dukanya sendiri dan protes marah Musashi.

Ia bertanya pada dirinya, apakah mereka akan terus seperti ini selamanya, tak pernah saling memahami. Tetapi yang lebih tidak logis adalah kenapa sekarang ia membuntuti Musashi dan berusaha untuk tidak kehilangan. Sekalipun rasa malu membuat mereka berjalan terpisah dan jarang berbicara, Musashi tidak memperlihatkan tanda-tanda melanggar janji untuk pergi bersama ke Edo.

Di Kozenji, mereka membelok ke jalan lain. Di puncak bukit pertama terdapat pintu rintangan. Otsu sudah mendengar bahwa semenjak Pertempuran Sekigahara, di jalan ini pejabat pemerintah memeriksa para musafir, terutama perempuan, dengan sangat teliti. Tetapi surat pengantar dari Yang Dipertuan Karasumaru itu sangat membantu, dan mereka bisa melewati tempat pemeriksaan tanpa kesulitan.

Ketika mereka sampai di warung teh terakhir, di ujung pintu rintangan, Jotaro bertanya, "Kak, apa artinya 'Fugen'?"

"Fugen?"

"Ya. Di sana tadi, di depan warung teh, seorang pendeta menuding Kakak dan bilang Kakak 'tampak seperti Fugen naik lembu'. Apa itu artinya?"

"Kukira yang dimaksudnya sang Bodhisatwa Fugen."

"Tapi itu Bodhisatwa yang naik gajah, kan? Kalau begitu, aku ini sang Bodhisatwa Monju. Mereka berdua selalu bersama-sama."

"Monju yang sangat rakus!"

"Tapi cukup baik buat Fugen yang cengeng!"

"Oh, begitu kamu, ya?"

"Kenapa Fugen dan Monju itu selalu bersama-sama? Mereka bukan lelaki dan perempuan."

Sengaja atau tidak, ucapan Jotaro mengena lagi. Karena sudah banyak mendengar tentang hal-hal itu selagi tinggal di Shippoji, sebetulnya Otsu dapat menjawab pertanyaan itu secara terperinci, tapi ia hanya menjawab, "Monju mewakili kebijaksanaan, sedangkan Fugen kesetiaan."

"Berhenti!" Suara itu suara Matahachi, dan datangnya dari belakang mereka.

Karena sudah muak memberontak, Otsu hanya berpikir, "Si pengecut!" Ia menoleh dan menatap Matahachi tak acuh.

Matahachi menatap balik. Perasaannya lebih kacau-balau daripada kapan pun. Waktu di Nakatsugawa yang dirasakannya cuma cemburu, tapi kemudian ia terus memata-matai Musashi dan Otsu. Ketika melihat Musashi dan Otsu berpisah, ia tafsirkan itu sebagai usaha untuk menipu orang banyak, dan ia membayangkan segala macam skandal pada waktu mereka hanya berdua saja.

"Turun!" perintahnya.

Otsu menatap kepala lembu, tak dapat bicara. Perasaannya terhadap Matahachi sudah mantap berubah menjadi dendam dan benci.

"Ayo, turun, perempuan!"

Walaupun terbakar oleh perasaan berang, Otsu menjawab dingin, "Kenapa? Aku tak ada urusan denganmu."

"Begitu, ya?" geram Matahachi mengancam, sambil memegang lengan kimono Otsu. "Boleh saja kau tak ada urusan denganku, tapi aku ada urusan denganmu. Turun!"

Jotaro melepaskan tali dan berteriak, "Biarkan dia! Kalau dia tak ingin turun, kenapa mesti turun?" Ditumbuknya dada Matahachi dengan tinjunya.

"Kaukira apa perbuatanmu itu, bajingan cilik?" Matahachi kehilangan keseimbangan. Ia memasukkan kembali kakinya ke sandal, dan angkat bahu dengan sikap mengancam. "Kalau tak salah, aku sudah pernah melihat mukamu yang jelek ini. Kau gelandangan dari warung sake di Kitano itu, kan?"

"Ya, dan sekarang aku tahu, kenapa kau menghabiskan hidupmu dengan minum. Kau tinggal bersama perempuan jalang tua, dan kau tak punya nyali menghadapinya. Benar begitu?"

Itulah titik paling lemah yang dapat diserang Jotaro.

"Orang kerdil ingusan!" Matahachi mencoba merenggut kerahnya, tapi Jotaro merunduk dan muncul di sisi lain lembu.

"Kalau aku orang kerdil ingusan, kau apa? Orang bebal ingusan! Takut sama perempuan!"

Matahachi mengejar menikungi lembu, tapi sekali lagi Jotaro menyelinap ke bawah perut binatang itu, dan muncul di sisi lain. Hal itu terjadi tiga atau empat kali, tapi akhirnya Matahachi berhasil mengunci kerah anak itu.

"Baik, ucapkan sekali lagi!"

"Orang bebal ingusan! Takut perempuan!"

Pedang kayu Jotaro baru setengah ditarik, Matahachi sudah berhasil menguasai Jotaro dan melemparkannya dari jalan, ke tengah rumpun bambu. Jotaro jatuh telentang di sebuah sungai kecil, kaget, dan hampir hilang kesadaran.

Dan ketika sudah cukup sadar untuk merayap seperti belut kembali ke jalan, ia terlambat. Lembu itu berlari berat menyusuri jalan. Otsu masih ada di punggungnya, dan Matahachi berlari di depan, memegang talinya.

"Bajingan!" rintih Jotaro, karena tak berdaya. Terlampau pusing untuk bangkit, ia berbaring saja, mengomel dan memaki.



Musashi sedang mengistirahatkan kakinya di sebuah bukit, sekitar satu mil di depan. Iseng-iseng ia bertanya pada diri sendiri, apakah awan-awan itu bergerak, ataukah hanya tergantung antara Gunung Koma dan bukitbukit lebar di kaki gunung, seperti kelihatannya.

Seakan-akan ada komunikasi tanpa kata, ia mengguncangkan badan dan meluruskannya. Pikirannya memang tertuju pada Otsu. Semakin memikirkannya, semakin ia marah. Baik perasaan malu maupun kesal telah sirna dalam lembah yang berputar-putar di bawah air terjun itu, tapi bersamaan dengan berlalunya waktu, keraguan itu berulang-ulang datang. Jahatkah kalau ia mengungkapkan dirinya pada Otsu? Kenapa Otsu menampiknya dan menjauhkan diri darinya, seolah-olah membencinya?

"Tinggalkan saja dia!" katanya keras. Namun ia tahu, dengan demikian ia hanya menipu diri sendiri. Ia sudah mengatakan pada Otsu bahwa apabila mereka sampai Edo, Otsu dapat belajar apa yang terbaik baginya, sedangkan ia akan menempuh jalannya sendiri. Tersirat dalam hal itu janji untuk masa depan yang lebih jauh. Ia meninggalkan Kyoto bersama Otsu. Ia punya tanggung jawab untuk tinggal bersamanya.

"Apa yang akan terjadi denganku? Apa yang akan terjadi dengan pedangku, kalau kami berdua?" Ia melayangkan matanya ke gunung dan menggigit lidahnya, malu akan kekerdilannya. Memandang puncak yang agung itu membuat ia merasa rendah diri. Ia heran, apa yang mungkin menghambat Otsu dan Jotaro. Ia berdiri. Hutan dapat dilihat sampai sejauh satu mil ke belakang, tapi tak ada orang di sana.

"Mungkinkah mereka terhambat di perbatasan?"

Matahari akan segera terbenam, mestinya sudah sejak tadi mereka menyusulnya.

Tiba-tiba ia merasa kuatir. Tentu ada yang telah terjadi. Dan sebelum ia sadar, ia sudah menerobos turun bukit demikian cepat, hingga binatangbinatang di ladang bertemperasan lari ke segala jurusan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP