Rabu, 12 Juli 2017



Taring Berbisa

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







DARI kejauhan, obor dan pantulannya itu menggambarkan sepasang burung api yang sedang berenang menyeberangi permukaan Empang Nobu yang tenteram.

"Ada orang datang!" bisik Matahachi. "Baik, kalau begitu kita jalan sini," katanya sambil menarik tali yang dipakainya mengikat Otsu. "Ayo!"

"Aku takkan pergi ke mana-mana," protes Otsu sambil membenamkan tumitnya.

"Bangun!"

Dengan ujung tali itu Matahachi mencambuk punggung Otsu, berkali-kali. Tetapi setiap cambukan yang dijatuhkannya hanya meningkatkan perlawanan Otsu.

Matahachi jadi putus asa. "Ayolah!" mohonnya. "Ayolah jalan."

Ketika Otsu masih juga menolak berdiri, kemarahan Matahachi menyala lagi, dan ditangkapnya kerah Otsu. "Kau harus jalan, mau atau tidak?"

Otsu mencoba menoleh ke empang dan menjerit, tapi Matahachi cepat menyumbat mulutnya dengan saputangan. Akhirnya ia berhasil menyeret Otsu ke sebuah kuil kecil yang tersembunyi di antara pohon-pohon liu.

Otsu ingin sekali tangannya lepas, agar dapat menyerang penculiknya. Terpikir olehnya, alangkah senang kalau ia dapat berubah menjadi ular, seperti yang dilihatnya terlukis pada sebuah piagam. Ular itu melilit pada sebuah batang pohon liu, mendesis pada seorang lelaki yang sedang mengutuknya.

"Untung sekali ini." Sambil mendesah lega, Matahachi mendorong Otsu masuk kuil, dan ia sendiri menyandarkan badan ke bagian luar pintunya yang berjeruji. Diperhatikannya benar-benar perahu kecil yang meluncur masuk teluk kecil sekitar empat ratus meter dari situ.

Hari itu sungguh menghabiskan tenaganya. Ketika ia mencoba menggunakan kekasaran untuk menguasai Otsu, Otsu menyatakan lebih baik mati daripada menyerah. Gadis itu bahkan mengancam akan menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Matahachi kenal betul Otsu, maka ia mengerti bahwa ancaman itu bukan ancaman kosong. Kekecewaan yang dialaminya hampir saja menyebabkan ia membunuh, tetapi pikiran untuk berbuat demikian akhirnya mengurangi kekuatannya dan mendinginkan nafsunya.

Tak dapat ia menduga, kenapa Otsu mencintai Musashi dan bukan dirinya padahal lama sebelumnya yang terjadi adalah sebaliknya. Tidakkah para wanita lebih menyukainya daripada teman lamanya itu? Tidakkah demikian yang dulu selalu terjadi? Tidakkah Oko segera saja tertarik kepadanya ketika untuk pertama kali mereka menjumpai perempuan itu? Ya, itulah yang terjadi. Hanya ada satu penjelasan yang mungkin: Musashi memfitnahnya di belakang punggungnya. Sambil membayang-bayangkan pengkhianatan Musashi itu, Matahachi membakar-bakar kemarahannya sendiri.

"Sungguh aku keledai bodoh yang mudah tertipu! Bagaimana mungkin kubiarkan dia memperolok-olok diriku? Padahal sampai bercucuran air mata aku mendengarkan dia bicara tentang persahabatan abadi, dan tentang bagaimana dia menjunjung tinggi persahabatan itu! Ha!"

Ia mencela dirinya karena mengabaikan peringatan Kojiro yang kini terngiang-ngiang di telinganya. "Kalau kau percaya pada si bangsat Musashi itu, kau pasti menyesal."

Sampai hari itu, ia masih terombang-ambing antara suka dan tidak suka kepada teman masa kecilnya itu, tapi sekarang ia sudah jijik pada Musashi. Sekalipun tak dapat memaksa diri untuk mengucapkannya, namun sumpah serapah berisi kutukan abadi untuk Musashi sudah terbentuk di dalam hatinya.

Yakinlah ia bahwa Musashi adalah musuhnya, yang dilahirkan untuk setiap kali menghalanginya, dan akhirnya menghancurkannya. "Si munafik brengsek!" pikirnya. "Dia temui aku sesudah demikian lama berpisah, dan mulai berkhotbah menyuruhku membangkitkan semangat, dan mengatakan sejak sekarang kita akan bergandengan tangan sebagai teman seumur hidup. Aku ingat setiap patah katanya, dan caranya mengatakan semua itu dengan sikap demikian tulus. Kalau dipikir, sungguh aku muak. Barangkali dia tertawa terus sendiri sepanjang waktu ini.

"Yang dinamakan orang baik di dunia ini sesungguhnya orang-orang lancung macam Musashi," demikian ia meyakinkan dirinya kembali. "Sekarang aku dapat melihat mereka. Tak bisa lagi mereka menipuku. Mempelajari buku-buku konyol dan mencoba menahankan segala macam cobaan. hanya untuk menjadi munafik, itu sungguh omong kosong! Dari sekarang bolehlah mereka mengatakan apa saja padaku. Sekalipun terpaksa menjadi penjahat, entah dengan cara bagaimana aku harus menghentikan bajingan itu memasyhurkan namanya. Untuk selanjutnya, aku akan menghalangi jalannya!'

Ia membalikkan badan dan menendang pintu berjeruji itu, kemudian dilepasnya sumbatan Otsu, dan tanyanya, "Masih nangis, ya?"

Otsu tidak menjawab.

"Jawab! Jawab pertanyaanku."

Marah karena Otsu diam saja, ditendangnya sosok tubuh gelap di lantai itu. Otsu menjauhkan diri, katanya, "Tak ada yang mau kukatakan padamu. Kalau kau mau membunuhku, lakukan seperti lelaki."

"Jangan bicara macam orang tolol! Aku sudah mantap sekarang. Kau dan Musashi yang menghancurkan hidupku, dan aku bermaksud mengambil tindakan yang setimpal, tak peduli berapa lama waktunya."

"Omong kosong. Tak ada yang membuatmu sesat, kecuali dirimu sendiri. Memang, mungkin saja kau mendapat sedikit pengaruh buruk dari perempuan bernama Oko itu."

"Jaga omonganmu!"

"Bayangkan dirimu dan ibumu itu! Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluargamu? Kenapa kalian selalu berkeliling membenci orang lain?"

"Terlalu banyak bicaramu! Sekarang aku ingin tahu, kau mau kawin denganku atau tidak?"

"Pertanyaan itu dapat kujawab dengan mudah."

"Nah, jawab kalau begitu."

"Selama hidup ini dan hidup abadi nanti, hatiku hanya untuk seorang lelaki, Miyamoto Musashi. Bagaimana mungkin aku peduli dengan orang lain, apalagi orang lemah macam kau? Aku benci padamu!"

Seluruh tubuh Matahachi bergetar. Sambil tertawa kejam, katanya, "Oh, jadi kau benci padaku? Sayang sekali, karena suka tidak suka, sejak malam ini tubuhmu milikku!"

Otsu menggeleng murka.

"Kau masih mau rewel soal itu?"

"Aku dibesarkan di kuil. Tak pernah melihat ayah atau ibuku. Karena itu, maut sama sekali tak menggetarkan hatiku."

"Kau berkelakar, ya?" geram Matahachi sambil menjatuhkan diri ke lantai di samping Otsu dan menekankan wajahnya ke wajah Otsu. "Siapa pula yang bicara soal mati? Membunuhmu takkan memberikan kepuasan padaku. Inilah yang akan kulakukan!" Ditangkapnya bahu dan pergelangan kiri Otsu, lalu dibenamkannya giginya ke lengan atas Otsu lewat lengan kimononya.

Otsu mencoba membebaskan diri sambil menjerit dan mengerang. Tindakan itu malah mengetatkan cengkeraman gigi Matahachi atas lengannya. Matahachi tak melepaskannya, sekalipun darah sudah turun ke pergelangan yang dipegangnya.

Otsu lemas karena sakit, dan wajahnya pucat pasi. Karena merasa tubuh Otsu lemas, Matahachi melepaskannya dan lekas-lekas membuka mulut Otsu dengan paksa, untuk meyakinkan dirinya bahwa Otsu tidak benar-benar menggigit lidahnya sendiri. Wajah Otsu basah oleh keringat.

"Otsu!" lolongnya. "Maaf." Ia mengguncangkan badan Otsu sampai Otsu sadar.

Begitu dapat bicara lagi, Otsu meregangkan sekujur tubuhnya dan merintih histeris. "Oh, sakit! Sakit sekali. Jotaro! Jotaro, Jotaro, tolong aku!"

Dengan muka pucat dan napas tersengal-sengal, Matahachi berkata, "Sakit, ya? Sayang sekali. Biarpun nanti sudah sembuh, tanda gigiku masih akan kelihatan untuk waktu lama. Apa kata orang kalau melihatnya nanti? Apa pikir Musashi? Kutaruh tanda itu di situ sebagai cap, supaya semua orang tahu bahwa hari-hari ini kau menjadi milikku. Kalau kau mau lari, larilah, tapi tak mungkin lagi kau tak ingat padaku sekarang."

Di kuil gelap itu, yang sedikit berkabut akibat debu, keheningannya hanya terpecahkan oleh sedu-sedan Otsu.

"Sudah, jangan nangis lagi! Bikin aku senewen. Aku takkan menyentuhmu, karena itu tenang saja. Mau kuambilkan air?" Ia mengambil mangkuk tanah dari altar, dan pergi ke luar.

Ia heran melihat seorang lelaki berdiri di luar, sedang melihat ke dalam. Orang itu melarikan diri, tapi Matahachi segera meloncat lewat pintu dan mencengkeramnya.

Orang itu petani yang sedang dalam perjalanan ke pasar besar di Shiojiri, membawa beberapa karung padi-padian yang diangkut dengan kuda. Ia menjatuhkan diri ke kaki Matahachi dengan tubuh gemetar ketakutan. "Saya tak bermaksud apa-apa. Tadi saya dengar perempuan menangis, lalu saya menengok ke dalam, buat melihat apa yang terjadi."

"Betul begitu? Kau yakin?" Sikap Matahachi keras, seperti sikap hakim setempat.

"Betul, saya berani sumpah."

"Kalau begitu, kau boleh tetap hidup. Turunkan karung-karung itu dari punggung kuda, dan ikatkan perempuan itu ke atasnya. Kemudian kau akan ikut bersama kami sampai selesai urusanku denganmu." Jari-jari Matahachi memainkan gagang pedang, penuh ancaman.

Karena takut melawan perintah, petani itu melakukan saja apa yanz diperintahkan kepadanya, kemudian mereka berangkat.

Matahachi mengambil bilah bambu untuk cambuk. "Kita pergi ke Edo, dan kita tidak membutuhkan teman, karena itu tinggalkan jalan besar." perintahnya. "Ambil jalan di mana kita takkan ketemu siapa-siapa."

"Oh, itu sukar sekali."

"Aku tak peduli sukarnya! Ambil jalan lain. Kita mesti pergi ke Ina, dan dan sana ke Koshu, tanpa melewati jalan raya utama."

"Artinya kita mesti mendaki jalan gunung yang jelek sekali dari Ubagami ke Celah Gombei."

"Baik, ayo mulai mendaki! Dan jangan coba-coba menggunakan tipu daya, atau kubelah kepalamu. Sebetulnya aku tidak terlalu membutuhkanmu. Yang kubutuhkan kuda itu. Kau mesti berterima kasih masih kubawa serta."

Jalan setapak yang gelap itu tampak makin lama makin terjal. Begitu mereka sampai Ubagami, yang berarti setengah jalan mendaki, baik kedua orang itu maupun sang kuda sudah hampir ambruk. Di bawah kaki mereka, awan berayun-ayun seperti ombak. Cahaya lemah meronai langit timur.

Sepanjang malam Otsu naik kuda tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tapi ketika ia melihat cahaya matahari, katanya pelan, "Matahachi, biarkan orang itu pergi. Dan kembalikan kudanya. Aku berjanji takkan lari."

Matahachi enggan memenuhi permintaan itu, tapi Otsu mengulang permohonannya tiga-empat kali, dan ia menyerah. Ketika petani itu pergi, kata Matahachi, "Sekarang kau jalan saja tenang-tenang, dan jangan mencoba meloloskan diri."

Otsu meletakkan tangan ke lengannya yang terluka, dan sambil menggigit bibir, katanya, "Aku takkan lari. Apa pikirmu aku ingin orang melihat tanda taringmu yang berbisa ini?"

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP