Kegilaan Tadaaki
OsugI bukan orang
yang bisa berputus asa akibat kesedihan dan kekecewaan yang luar biasa, karena
baktinya sebagai seorang ibu tidak berbalas. Tetapi di sini, sementara
serangga-serangga mendengung di tengah tumbuhan lespedeza dan elalia, dan
sungai besar mengalir pelan ke hilir, perasaannya tergugah oleh nostalgia dan
kefanaan hidup ini.
"Nenek di rumah,
ya?" terdengar suara kasar di tengah udara malam yang tenang itu.
"Siapa
itu?" seru Osugi.
"Saya dari
Hangawara. Banyak sayuran segar datang dari Katsushika. Majikan menyuruh saya
membawakan untuk Nenek."
"Yajibei memang
selalu penuh perhatian."
Osugi waktu itu
sedang duduk menghadap meja pendek. Lilin menyala di sampingnya, dan ia
memegang kuas tulis. Ia sedang menyalin kitab Sutra tentang Cinta Agung
Orangtua. Ia sudah pindah ke rumah sewa kecil di daerah Hamacho yang jarang
penduduknya, dan di situ ia hidup cukup nyaman, mengobati orang yang sakit dan
nyeri dengan moxa. Ia sendiri tak lagi punya keluhan fisik. Sejak permulaan
musim gugur, ia sudah merasa muda kembali.
"Apa ada pemuda
datang menengok Nenek sore tadi?"
"Maksudmu untuk
mendapat pengobatan dengan moxa?"
"Mm. Dia datang
menemui Yajibei. Rupanya ada soal penting yang akan disampaikannya. Dia tanya
di mana Nenek tinggal sekarang, dan kami memberitahukannya."
"Berapa
umurnya?"
"Dua puluh tujuh
atau dua puluh delapan, saya kira."
"Bagaimana
kelihatannya?"
"Agak bulat
mukanya. Tidak begitu tinggi badannya."
"Mm, siapa
ya...."
"Nada bicaranya
mirip Nenek. Saya pikir barangkali dia datang dari tempat yang sama. Nah, saya
mesti pergi. Selamat malam."
Ketika langkah kaki
orang itu menghilang, bunyi-bunyi serangga terdengar kembali seperti bunyi
hujan gerimis. Osugi meletakkan kuasnya dan menatap lilin. Pikirannya melayang
ke masa mudanya, ketika orang menafsirkan isyarat yang ada dalam lingkaran
cahaya lilin. Orang-orang yang ditinggal di rumah tak dapat mengetahui keadaan
suami, anak, atau saudaranya yang pergi berperang, atau bagaimana nasib mereka
sendiri yang tak tentu itu di masa depan. Lingkaran cahaya terang diartikan
sebagai tanda keberuntungan, bayangan keunguan diartikan sebagai petunjuk bahwa
ada yang telah meninggal. Kalau nyalanya berbunyi berkeretak seperti bunyi daun
pinus terbakar, artinya orang yang mereka harap-harapkan pasti akan datang.
Osugi sudah lupa
bagaimana menafsirkan pertanda-pertanda itu, tapi malam ini lingkaran cahaya
gembira yang indah beraneka warna seperti pelangi itu menyarankan akan datang
sesuatu yang indah.
Mungkinkah itu
Matahachi: Tangannva menjangkau kuas, tapi ia menariknya kembali. Ia seakan
sudah kesurupan dan lupa akan diri dan sekelilingnya. Sejam-dua jam berikutnya,
ia hanya memikirkan wajah anaknya yang seakan mengapung terus dalam kegelapan
kamarnya itu.
Bunyi gemeresik di
pintu belakang menyadarkannya dari lamunan. Ia bertanya pada dirinya, apakah
ada musang yang sedang merusak dapurnya, karenanya ia mengambil lilin dan pergi
untuk memeriksanya.
Karung sayuran ada di
dekat meja cuci. Di atas karung terdapat benda putih. Benda itu diambilnya, dan
terasa berat-seberat dua keping emas. Di kertas putih yang dipakai
membungkusnya, ditulis oleh Matahachi, Saya masih belum berani menghadap Ibu.
Maafkan saya kalau enam bulan lagi Ibu saya telantarkan. Saya tinggalkan surat
ini tanpa masuk.
Seorang samurai,
dengan mata memancarkan nafsu membunuh, menerobos rumput tinggi untuk
menghampiri dua lelaki yang berdiri di tepi sungai. Terengah-engah ia berseru,
"Hamada, diakah itu?"
"Bukan,"
keluh Hamada. "Salah." Tapi matanya berkilau-kilau ketika ia terus
meninjau keadaan sekitar.
"Aku yakin
dia."
"Bukan. Itu
tukang perahu."
"Kau
yakin?"
"Waktu kukejar,
dia masuk perahu di sana itu."
"Itu tidak
berarti dia tukang perahu."
"Sudah
kuperiksa."
"Mesti kuakui,
orang itu cepat kakinya."
Mereka meninggalkan
sungai, dan kembali melintasi perladangan Hamacho. "Matahachi...
Matahachi!"
Semula suara itu
hampir tak lebih keras dari bisik sungai, tapi ketika kemudian diulang-ulang
dan menjadi tak mungkin ditafsirkan lain lagi, mereka berhenti dan saling
pandang keheranan.
"Ada orang
memanggilnya! Bagaimana mungkin?"
"Kedengarannya
seperti perempuan tua."
Dipimpin Hamada,
mereka cepat mencari suara itu sampai ke sumbernya, dan ketika Osugi mendengar
jejak langkah mereka, ia berdiri mendapatkan mereka.
"Matahachi? Apa
di antara kalian..."
Mereka mengepung
Osugi dan melipat tangannya ke belakang.
"Apa yang kalian
lakukan ini?" Wajahnya menggelembung seperti ikan buntal yang sedang
marah. Teriaknya, "Siapa pula kalian ini?"
"Kami murid
Perguruan Ono."
"Aku tak kenal
orang yang namanya Ono."
"Kau tak pernah
dengar nama Ono Tadaaki, guru shogun?"
"Tak pernah."
"Ah, orang
tua...
"Tunggu. Mari
kita lihat, apa yang dia ketahui tentang Matahachi."
"Aku
ibunya."
"Kau ibu
Matahachi penjual semangka itu?"
"Apa maksudmu,
babi? Penjual semangka? Matahachi itu keturunan Keluarga Hon'iden, dan Hon'iden
keluarga penting di Provinsi Mimasaka. Kalian mesti tahu, Keluarga Hon'iden
abdi-abdi berpangkat tinggi pada Shimmen Munetsura, penguasa Benteng Takeyama di
Yoshino."
"Cukup
sudah," kata satu orang.
"Apa yang mesti
kita lakukan?"
"Angkat dia dan
bawa."
"Sandera?
Kaupikir akan ada hasilnya?"
"Kalau ini
ibunya, dia akan datang menjemput ibunya."
Osugi menggagahkan
dirinya yang kurus kering itu dan memberontak seperti macan betina yang
tersudut, tapi sia-sia.
Karena bosan dan
kecewa dalam beberapa minggu terakhir ini, Kojiro jadi terbiasa banyak tidur,
siang ataupun malam. Waktu itu ia sedang berbaring menelentang, sambil
menggerutu sendiri dan mendekapkan pedang ke dadanya.
"Ini bisa bikin
Galah Pengering menangis. Pedang macam ini, dan pemain pedang macam diriku...
melapuk di rumah orang lain!" Terdengar detak keras dan kilasan logam.
"Tolol!"
Senjata itu menebas
dalam gerak lengkung besar di atasnya, kemudian menyelinap kembali ke dalam
sarungnya, seperti makhluk hidup.
"Bagus!"
teriak seorang pelayan dari ujung beranda. "Bapak sedang melatih teknik
pukulan dengan posisi telentang?"
"Jangan
bodoh," dengus Kojiro. Ia membalikkan badan dan menelungkup, memungut dua
bintik kecil, dan menjentikkannya ke arah beranda. "Bikin ribut saja di
sini."
Mata pelayan itu
membelalak. Serangga yang mirip ngengat itu, kedua sayap halus dan tubuhnya
yang kecil terbelah rapi menjadi dua.
"Kau mau
memasang tilam bantalku?" tanya Kojiro.
"Oh, tidak!
Maafl Ada surat buat Bapak."
Tanpa tergesa-gesa,
Kojiro membuka surat itu dan mulai membaca. Sementara membaca, ekspresi gembira
merayapi wajahnya. Menurut Yajibei, Osugi hilang sejak malam kemarin. Kojiro
diminta datang segera untuk merundingkan satu tindakan.
Surat itu menerangkan
secara agak panjang-lebar, bagaimana mereka mengetahui tempat Osugi. Yajibei
mengirim semua orangnya untuk mencari, namun isi pokok persoalan itu adalah
pesan yang ditinggalkan Kojiro di Donjiki. Pesan itu telah dicoret, dan di
sampingnya ditulis: Kepada Sasaki Kojiro: Orang yang menahan ibu Matahachi
adalah Hamada Toranosuke dari Keluarga Ono.
"Akhirnya!"
kata Kojiro. Perkataan itu keluar dari dalam tenggorokannya. Pada waktu
menyelamatkan Matahachi, ia curiga kedua samurai yang telah dirobohkan itu ada
hubungannya dengan Perguruan Ono.
Ia mendecap, katanya.
"Tepat seperti yang kunanti" Sambil berdiri di beranda, ia menengadah
ke langit malam. Awan banyak, tapi sepertinya tidak akan turun hujan.
Sebentar kemudian, ia
sudah mengendarai kuda beban, menyusuri jalan raya Takanawa. Sampai di rumah
Hangawara, hari sudah larut. Sesudah mengajukan pertanyaan kepada Yajibei
sampai sekecil-kecilnya, ia memutuskan untuk menginap di sana dan bertindak
pagi harinya.
Ono Tadaaki
memperoleh nama baru, tak lama sesudah Pertempuran Sekigahara. Namanya masih
Mikogami Tenzen ketika ia diundang datang ke perkemahan Hidetada untuk
memberikan kuliah tentang ilmu pedang, dan kuliah itu diberikannya dengan mutu
tinggi. Disamping memperoleh limpahan nama itu, ia memperoleh penunjukan
sebagai pengikut langsung Keluarga Tokugawa dan hadiah tempat tinggal baru di
Bukit Kanda, di Edo.
Karena dari bukit itu
pemandangan ke Gunung Fuji bagus sekali, maka ke-shogun-an menetapkannya
sebagai daerah kediaman para abdi dari Suruga, provinsi tempat gunung Fuji
terletak.
"Ada yang bilang
rumah itu ada di Lereng Saikachi," kata Kojiro.
Ia dan satu orang
Hangawara ada di puncak bukit itu. Jauh di dalam lembah di bawah sana, mereka
melihat Ochanomizu, bagian sungai yang kabarnya menjadi sumber air untuk teh
shogun.
"Bapak tunggu di
sini," kata pengawal Kojiro. "Akan saya periksa, sampai di mana
kita." Sebentar kemudian, ia kembali dengan keterangan bahwa mereka sudah
melewatinya.
"Tapi seingatku
kita belum melewati tempat guru shogun."
"Saya juga tak
melihat. Saya pikir dia punya rumah besar macam Yagyu Munenori. Tapi rumahnya
adalah yang sudah tua dan kita lihat di sebelah kanan tadi. Saya dengar rumah
itu tadinya milik penjaga kandang shogun."
"Hal itu tak
perlu diherankan. Ono cuma punya penghasilan seribu lima ratus gantang,
sedangkan sebagian besar penghasilan Munenori sudah diperoleh sejak zaman nenek
moyangnya."
"Itu dia,"
kata pengawal sambil menuding.
Kojiro berhenti untuk
memeriksa susunan bangunan yang ada. Tembok tanah yang sudah tua memanjang ke
belakang, dari bagian tengah lereng bukit, menuju semak-semak di atas bukit.
Pekarangan itu tampaknya besar sekali. Dari gerbang yang tidak berpintu, ia
dapat melihat bangunan besar di sebelah rumah utama, yang menurut taksirannya adalah
dojo dan sebuah ruang tambahan yang jelas merupakan bangunan yang dibuat
belakangan.
"Kau boleh
kembali sekarang," kata Kojiro. "Dan katakan pada Yajibei, kalau aku
tidak kembali dengan nyonya tua itu pada malam hari, berarti aku
terbunuh."
"Baik, Pak."
Orang itu cepat lari menuruni Lereng Saikachi. Beberapa kali la berhenti untuk
menoleh.
Kojiro tak mau
membuang-buang waktu untuk mendekati Yagyu Munenori. Selama itu tak ada jalan
untuk mengalahkannya dan merebut kemuliaannya, karena Gaya Yagyu adalah gaya
yang sesungguhnya dipakai oleh Keluarga Tokugawa. Hal itu saja sudah menjadi
alasan bagi Munenori untuk menolak menghadapi ronin ambisius. Tadaaki-lah yang
cenderung menghadapi tantangan.
Dibandingkan dengan
Gaya Yagyu, Gaya Ono lebih praktis. Tujuannya bukan untuk memamerkan
keterampilan dengan seluas-luasnya, melainkan untuk membunuh. Kojiro belum
pernah mendengar ada yang berhasil menyerang Keluarga Ono dan mempermalukan
mereka. Kalau Munenori pada umumnya dianggap lebih terhormat, maka Tadaaki
dianggap lebih kuat.
Semenjak datang di
Edo dan mempelajari keadaan, Kojiro sudah berketetapan akan mengetuk gerbang
Ono.
Numata Kajuro
melayangkan pandang dari jendela kamar dojo. Sekaligus matanya melayang ke
dalam ruangan, mencari Toranosuke. Ketika dilihatnya orang itu ada di tengah
ruangan, sedang memberikan pelajaran pada seorang murid muda, ia berlari ke
sampingnya, dan dengan suara rendah berkata, "Dia di sini! Itu di sana, di
halaman depan!"
Toranosuke, yang
memegang pedang kayu, berseru kepada murid itu, "Siap!" Kemudian ia
maju mendesak ke depan. Langkah-langkah kakinyabergema tajam di lantai. Begitu
kedua orang itu sampai di sudut utara, murid itu terjungkir balik dan pedang
kayunya melayang ke udara.
Toranosuke menoleh,
katanya, "Siapa yang kausebut tadi? Kojiro?"
"Ya, dia sudah
di dalam gerbang. Sebentar lagi pasti sampai di sini."
"Jauh lebih
cepat dari yang kuharapkan. Menyandera nyonya tua itu memang gagasan
bagus."
"Apa rencanamu
sekarang? Siapa yang akan memyambutnya? Yang menyambut mestinya orang yang siap
untuk segalam-a. Kalau dia punya keberanian datang kemari sendiri, berarti dia
bisa membuat gerakan kejutan."
"Bawa dia masuk
dojo. Aku akan menvambutnya sendiri. Kalian semua tinggal di belakang
diam-diam."
"Setidaknya
jumlah kita banyak di sini," kata Kajuro. Ia menoleh ke sekitar, dan
bangkitlah semangatnva memandang wajah orang-orang tegap seperti Kamei Hyosuke,
Negoro Hachikuro, dan Ito Magobei. Masih ada sekitar dua puluh orang lagi.
Mereka memang tidak mengerti jalan pikiran Kojiro, tapi mereka semua tahu
kenapa Toranosuke menginginkannya datang ke sini.
Seorang dari dua
orang yang telah dibunuh Kojiro dekat Donjiki adalah kakak Toranosuke.
Sekalipun si kakak itu hanya sampah, dan di perguruan tidak banyak dihargai
orang, namun kematiannya mesti dibalaskan karena hubungan darah.
Sekalipun masih muda
dan kecil penghasilannya, Toranosuke seorang samurai yang mesti diperhitungkan
di Edo. Seperti Keluarga Tokugawa, semula ia datang dari Provinsi Mikawa, dan
keluarganya tergolong yang tertua di antara pengikut warisan shogun. Ia juga
seorang dari "Empat Jenderal dari Lereng Saikachi": tiga yang lain
adalah Kamei, Negoro, dan Ito. Ketika Toranosuke pulang kemarin malam dengan
membawa Osugi, orang sependapat bahwa ia mencapai keberhasilan yang patut
dicatat. Sekarang sukar bagi Kojiro untuk tidak memperlihatkan muka.
Orang-orang itu sudah bersumpah bahwa kalau ia muncul, mereka akan memukulinya
setengah mati, memotong hidungnya, dan menggantungnya pada sebatang pohon di
tepi Sungai Kanda, agar menjadi tontonan orang banyak. Tapi mereka sama sekali
tak yakin ia akan datang. Mereka bertaruh tentang itu, dan sebagian besar
bertaruh ia takkan datang.
Mereka berkumpul di
ruangan utama dojo, membiarkan lantai bagian tengah terbuka, dan menanti dengan
gelisah.
Beberapa waktu
kemudian, satu orang bertanva kepada Kajuro, "Kau yakin yang kaulihat itu
Kojiro?"
"Yakin
betul!"
Mereka duduk dalam
susunan mengesankan. Wajah mereka kaku sekali, kemudian memperlihatkan
tanda-tanda tegang. Sebagian dari mereka takut kalau keadaan itu berlangsung
terlalu lama, mereka akan menjadi korban ketegangan mereka sendiri. Tepat
ketika titik ledak mereka makin mendekat, detak cepat sandal terdengar berhenti
di luar kamar pakaian, dan wajah seorang murid lain yang bersijingkat muncul di
jendela.
"Hei, dengar!
Tak ada gunanya menunggu di sini. Kojiro takkan datang."
"Apa maksudmu?
Kajuro baru saja melihatnya."
"Ya, tapi dia
langsung pergi ke rumah itu. Bagaimana dia mendapat izin, aku tidak tahu, tapi
sekarang dia di kamar tamu, bicara dengan guru."
"Guru,"
gema orang banyak itu tergagap.
"Betul yang
kauomongkan itu?" tanya Toranosuke. Wajahnya hampir-hampir memperlihatkan
kekuatiran. Dugaannya sangat kuat bahwa jika soal kematian kakaknya diselidiki,
akan ketahuan bahwa ia bermaksud melakukan sesuatu yang tidak baik. Ia menyembunyikan
kenyataan itu sewaktu menceritakan peristiwanya pada Tadaaki. Dan kalau gurunya
tahu ia sudah menculik Osugi, itu bukanlah karena ia sendiri yang
menyampaikannya kepada gurunya.
"Kalau kau tak
percaya, lihat sendiri."
"Brengsek!"
rintih Toranosuke.
Teman-temannya
bukannya bersimpati kepadanya, melainkan jengkel melihat sikap ragunya.
Kamei dan Negoro
menasihati teman-temannya untuk tetap tenang, sementara mereka akan pergi untuk
mengetahui situasi, tapi baru saja mereka mengenakan zori, seorang gadis menarik
berkulit kuning langsat berlari ke luar rumah. Melihat bahwa gadis itu Omitsu,
mereka seketika berhenti, dan yang lain-lain tumpah ke pintu.
"Hei, kalian
semua!" teriak Omitsu dengan suara serak dan resah. "Lekas datang!
Paman dan tamu itu sudah menghunus pedang. Di halaman. Mereka berkelahi!"
Walaupun Omitsu
secara resmi dianggap sebagai kemenakan Tadaaki, orang banyak membisikkan bahwa
sebetulnya ia anak Ito Ittosai dengan seorang gundik. Menurut bisikan orang,
karena Ittosai adalah guru Tadaaki, maka Tadaaki terpaksa setuju merawat gadis
itu.
Ungkapan rasa takut
yang tampak pada matanya betul-betul lain daripada yang lain. "Saya dengar
Paman dan tamu itu bicara... suara mereka makin lama makin keras... dan yang
kemudian saya ketahui... saya kira Paman tidak dalam bahaya, tapi..."
Keempat jenderal itu
serentak memperdengarkan lengkingan, dan langsung berlari ke halaman yang
dipisahkan dari pekarangan luar oleh pagar hidup. Yang lain menyusul mereka di
pintu gerbang yang terbuat dari bambu anyam.
"Gerbang
terkunci."
"Tak bisa kau
mendobraknya?"
Tapi ternyata
dobrakan tidak diperlukan. Pintu gerbang ambruk oleh berat badan samurai yang
mendesaknya. Ketika gerbang itu ambruk, suatu daerah luas, dengan latar
belakang sebuah bukit, terhampar di depan mata
mereka. Tadaaki dengan pedang Yukihira-nya yang setia dipegang setinggi
mata, berdiri di tengah. Di seberangnya, pada jarak cukup jauh, berdiri Kojiro
dengan Galah Pengering yang besar, menjulang di atas kepalanya. Matanya
memancarkan api.
Suasana gawat itu
rupanya merupakan penghalang yang tidak kelihatan. Untuk orang yang terdidik
dalam tradisi keras golongan samurai, kekhidmatan mengerikan yang menyelimuti
pihak-pihak yang bertarung, dan martabat pedang yang sudah terhunus untuk
membunuh itu, tidak dapat lagi dilanggar. Sekalipun para murid meluap, namun
untuk sesaat mereka menahan diri tidak bergerak ataupun melampiaskan emosi.
Tapi kemudian,
dua-tiga orang dari mereka mulai bergerak ke belakang Kojiro.
"Balik,
kalian!" teriak Tadaaki marah. Suaranya kasar mengerikan, sama sekali
bukan suara kebapakan yang biasa mereka dengar, dan itu menghentikan semua
gerakan para murid.
Orang cenderung
menduga umur Tadaaki sepuluh tahun lebih muda daripada sebenarnya, yaitu lima
puluh empat atau lima puluh lima tahun, dan tinggi badannya rata-rata, padahal
sesungguhnya tinggi badannya kurang dari itu. Rambutnya hitam, tubuhnya kecil,
tapi kekar, dan sama sekali tidak tampak kekakuan atau kekikukan dalam gerak
kaki dan lengannya yang panjang-panjang itu.
Kojiro belum lagi
melakukan pukulan—lebih tepat dikatakan belum dapat melakukannya.
Namun demikian,
Tadaaki seketika itu juga terpaksa menghadapi kenyataan. Ia berhadapan dengan
pemain pedang hebat. "Orang ini macam Zenki!" pikirnya sambil
menggigil tanpa terasa.
Zenki adalah pemain
pedang terakhir yang dihadapinya, yang memiliki jangkauan dan ambisi sehebat
ini. Dan peristiwa itu terjadi sudah lama, ketika Tadaaki masih muda, ketika ia
mengadakan perjalanan dengan Ittosai dan menjalani hidup sebagai shugyosha.
Zenki, anak seorang tukang perahu di Provinsi Kuwana, adalah murid senior
Ittosai. Ketika Ittosai makin tua, Zenki mulai merendahkannya, bahkan
menyatakan bahwa Gaya Itto adalah penemuannya sendiri.
Tingkah Zenki membuat
Ittosai sedih sekali, karena semakin mahir ia memainkan pedang, semakin banyak
ia menimbulkan kerugian kepada orang lain. "Zenki," sesal Ittosai,
"adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kalau aku memandangnya, terlihat
olehku monster yang mewujudkan segala sifat jelek yang pernah kupunyai.
Memandang dia, aku jadi benci pada diriku sendiri."
Tapi ironisnya, Zenki
sudah berjasa besar pada Tadaaki yang masih muda waktu itu—sebagai contoh yang
buruk—dengan mendorongnya mencapai prestasi-prestasi yang lebih tinggi daripada
yang mungkin waktu itu. Akhirnya Tadaaki berbenturan dengan anak ajaib itu di
Koganegahara, Shimosa, dan membunuhnya. Karena itu Ittosai menghadiahinya
ijazah Gaya Itto, dan memberikan kepadanya buku pelajaran rahasia.
Satu kekurangan Zenki
adalah kemampuan teknisnya dicemarkan oleh kurangnya pendidikan. Tidak demikian
halnya Kojiro. Kecerdasan dan pendidikannya jelas kelihatan dalam permainan
pedangnya.
"Aku tak dapat
memenangkan perkelahian ini," pikir Tadaaki, padahal sama sekali ia tidak
merasa lebih rendah dari Munenori. Sesungguhnya, penilaiannya mengenai
keterampilan Munenori tidaklah terlalu tinggi.
Selagi menatap
lawannya yang memesona itu, ada kebenaran lain lagi yang segera disadarinya.
"Waktu rupanya sudah lama berlalu bagiku," pikirnya sedih.
Mereka berdiri tanpa
gerak. Tak sedikit pun kelihatan perubahan. Padahal, baik Tadaaki maupun
Kojiro, sudah mengerahkan tenaga vital mereka dengan jumlah mengerikan. Beban
fisiologisnya mengambil bentuk keringat yang mencurah deras dari dahi mereka,
udara yang mendesah lewat lubang hidung mereka yang mengembang, dan kulit
mereka yang berubah warna menjadi putih, kemudian kebiruan. Memang sebentar
lagi agaknya akan terjadi gerakan, namun kedua pedang tetap terpentang dan
teguh.
"Aku
menyerah," kata Tadaaki, dan tiba-tiba mundur beberapa langkah. Mereka
berdua memang sepakat, ini takkan merupakan perkelahian habis-habisan.
Masing-masing dapat menarik diri dan mengaku kalah.
Tapi, sambil meloncat
seperti binatang buruan, Kojiro mulai memainkan Galah Pengering-nya dengan
pukulan ke bawah, disertai kekuatan dan kecepatan angin kisaran. Tadaaki
merunduk tepat pada waktunya, namun gelungnya terlontar ke atas dan putus.
Tadaaki sendiri, sambil mengelak, melancarkan balasan cemerlang dan berhasil
menyayat sekitar enam inci lengan kimono Kojiro.
"Pengecut!"
seru para murid. Wajah mereka menyala karena berang. Memanfaatkan penyerahan
lawannya sebagai pembuka serangan, berarti Kojiro telah melanggar etika
samurai.
Maka semua murid,
tanpa kecuali, menghampiri Kojiro.
Kojiro menjawab
dengan terbang secepat burung kasa ke pohon jujube besar di ujung halaman, dan
menyembunyikan diri di belakang batangnya.
Matanya
bergerak-gerak dengan kecepatan menakutkan.
"Anda lihat?"
teriaknya. "Anda lihat siapa yang menang?"
"Mereka yang
melihatnya," kata Tadaaki. "Mundur!" perintahnya kepada
orang-orang, sambil menyarungkan pedang dan kembali ke beranda kamar
belajarnya.
Ia memanggil Omitsu
dan minta gadis itu mengikat rambutnya. Sementara Omitsu mengikat rambutnya,
Tadaaki menarik napas. Dadanya berkilat-kilat oleh aliran keringat.
Sebuah pepatah lama
teringat olehnya: mudah mengungguli seorang pendahulu, tapi sukar menghindari
untuk diungguli seorang pengganti. Selama ini ia menikmati buah dari latihan
keras di masa mudanya, dan merasa senang karena tahu Gaya Itto yang dikuasainya
tidak kurang ampuhnya dari Gaya Yagyu. Tapi, sementara itu, masyarakat
melahirkan jenius-jenius baru, seperti Kojiro. Kesadaran itu datang sebagai guncangan
pahit, namun ia bukan jenis orang yang akan mengabaikan saja hal itu.
Ketika Omitsu selesai
dengan tugasnya, kata Tadaaki, "Berikan air kepada tamu muda kita itu
untuk berkumur, dan antar dia kembali ke kamar tamu."
Wajah para murid di
seputar Tadaaki tampak putih karena terguncang. Sebagian menahan air mata,
sebagian lagi menatap benci pada guru mereka.
"Kita berkumpul
di dojo," kata Tadaaki. "Sekarang." Dan ia sendiri mendahului
pergi.
Tadaaki mengambil
tempat di kursi yang ditinggikan di depan, dan diam-diam memperhatikan tiga
baris pengikutnya yang duduk menghadapinya.
Akhirnya ia menunduk,
dan katanya pelan, "Aku kuatir aku pun sudah tua. Kalau aku menoleh ke
belakang, terasa olehku, masa terbaikku sebagai pemain pedang adalah ketika aku
mengalahkan Zenki. Pada waktu perguruan ini dibuka dan orang mulai bicara
tentang kelompok Ono di Lereng Saikachi, serta menyebut Gaya Itto tak
terkalahkan, waktu itu aku sudah melewati puncakku sebagai pemain pedang."
Suara Tadaaki menjadi
lebih mantap, dan ia memandang langsung wajah-wajah mereka yang mencerminkan
keraguan dan ketidakpuasan. "Menurut pendapatku, hal ini bisa terjadi pada
semua orang. Umur kita merangkak terus, sementara kita tidak memperhatikannya.
Masa berubah. Para pengikut mengungguli para pemimpin. Angkatan baru membuka
jalan baru.... Memang demikian seharusnya, karena dunia ini maju hanya melalui
perubahan. Namun, di bidang permainan pedang, hal ini tidak boleh terjadi.
Jalan Pedang harus merupakan jalan yang tidak mengizinkan orang menjadi tua.
Ittosai.... Entah apakah beliau masih hidup. Bertahun-tahun aku tidak mendengar
berita tentang guruku itu. Sesudah peristiwa di Koganegahara, beliau mencukur
rambutnya dan mengundurkan diri ke pegunungan. Tujuan beliau, menurut beliau,
adalah mempelajari pedang, mempraktekkan Zen, mencari jalan hidup dan man,
mendaki puncak tertinggi pencerahan yang sempurna.
"Sekarang ini
datang giliranku. Sesudah peristiwa hari ini, aku tidak dapat lagi menegakkan
kepala di hadapan guruku.... Aku menyesal bahwa yang kutempuh bukan hidup yang
lebih baik."
"G-guru"
sahut Negoro Hachikuro. "Bapak mengatakan kalah, tapi kami tak percaya
Bapak kalah melawan orang macam Kojiro dalam keadaan normal, biarpun dia masih
muda. Ada yang salah dalam kejadian hari ini."
"Ada yang
salah?" Tadaaki menggelengkan kepala dan mendecap. "Tak ada yang
salah. Kojiro masih muda. Tapi bukan karena itu aku kalah. Aku kalah karena
waktu sudah berubah."
"Apa artinya
itu?"
"Dengarkanlah,
dan lihat." Dari memandang Hachikuro, ia memandang wajah-wajah diam yang
lain. "Akan kucoba bicara sangat singkat, karena Kojiro menantiku. Aku
minta kalian mendengarkan baik-baik, pikiran-pikiran dan harapan-harapanku
untuk masa yang akan datang."
Kemudian ia
mengatakan pada mereka bahwa sejak hari itu, ia akan mengundurkan diri, tidak
dalam arti yang biasa, melainkan mengikuti jejak Ittosai dan pergi mencari
pencerahan agung.
"Itulah harapan
besarku yang pertama," katanya pada mereka.
Selanjutnya ia minta
kemenakannya, Ito Magobei, untuk mengurus putra tunggalnya, Tadanari. Magobei
juga diperintahkan melaporkan kejadian hari ini kepada ke-shogun-an, dan
menjelaskan bahwa Tadaaki telah memutuskan untuk menjadi pendeta Budha.
Kemudian katanya,
"Aku tidak menyesali benar kekalahanku menghadapi orang yang lebih muda.
Yang sungguh merisaukan dan membuatku malu adalah bahwa pejuang-pejuang baru
seperti Sasaki ini justru muncul di tempat lain, dan tak seorang pun pemain
pedang sekaliber dia muncul di tengah Perguruan Ono. Kupikir aku tahu mengapa
demikian. Sebagian besar dari kalian adalah pengikut shogun karena keturunan.
Kalian membiarkan status kalian menguasai diri. Sesudah sedikit saja mendapat
latihan, kalian sudah mulai menganggap diri kalian ahli dalam 'Gaya Itto yang
tak terkalahkan'. Kalian terlalu puas diri."
"Tapi sebentar,
Pak," protes Hyosuke dengan suara gemetar. "Itu tak adil. Tidak semua
kami ini malas dan sombong. Tidak semuanya kami melalaikan pelajaran."
"Tutup
mulut!" Tadaaki menatapnya dengan ganas. "Kelonggaran sikap pada
murid adalah cermin kelonggaran sikap gurunya. Aku mengakui aibku sendiri
sekarang, dan aku menghukum diriku sendiri.
"Tugas kalian
adalah membuang sikap longgar itu, untuk membuat Perguruan Ono menjadi pusat,
di mana bakat pemuda dapat berkembang dengan benar. Perguruan ini harus menjadi
medan latihan masa depan. Kalau tidak demikian, tindakanku meninggalkan tempat
ini dan membuka jalan bagi pembaruan itu tidak ada artinya."
Akhirnya ketulusan
pernyataan itu mulai ada hasilnya. Para siswa menekurkan kepala dan merenungkan
kata-kata Tadaaki. Masing-masing menimbang-nimbang kekurangannya sendiri.
"Hamada!"
kata Tadaaki.
Toranosuke menjawab,
"Ya, Pak," tapi jelas kelihatan ia terkejut. Mendapat tatapan mata
Tadaaki yang dingin itu, pandangan matanya pun jatuh ke lantai.
"Berdiri!"
"Ya, Pak,"
kata Toranosuke tanpa berdiri. "Berdiri! Sekarang juga."
Toranosuke bangkit
berdiri. Yang lain-lain memandang diam.
"Kau kukeluarkan
dari perguruan ini." Tadaaki berhenti bicara agar kata-katanya mengendap.
"Tapi kuharap suatu saat nanti kau memperbaiki cara-caramu, belajar
disiplin dan memahami makna Seni Perang. Barangkali pada waktu itulah kita akan
bersama lagi sebagai guru dan murid. Sekarang keluar!"
"G-guru, tapi
kenapa? Seingat saya, tak ada alasan untuk saya diperlakukan seperti ini."
"Kau tak ingat
karena kau tak mengerti Seni Perang. Kalau kaupikirkan lama-lama dan saksama,
kau akan melihatnya."
"Bapak, sampaikanlah
pada saya. Saya tak bisa pergi sebelum Bapak sampaikan itu." Urat-urat
nadi di dahinya menggelembung.
"Baik. Sifat
pengecut adalah kelemahan paling memalukan yang dapat dituduhkan pada seorang
samurai. Seni Perang mengingatkan kita dengan tegas untuk menjauhinya. Ada
peraturan keras di perguruan ini, bahwa orang yang bersalah karena perbuatan
pengecut harus dikeluarkan.
"Namun demikian,
Hamada Toranosuke, kaubiarkan waktu berlalu beberapa minggu sesudah kematian
saudaramu, dan baru kau menantang Sasaki Kojiro. Sementara itu, kau mencoba
membalas dendam kepada penjual semangka yang tak berarti. Dan kemarin kautahan
ibu tua orang itu, dan kaubawa dia kemari. Apa kelakuan itu kaunamakan kelakuan
samurai?"
"'Tapi Bapak
kurang mengerti. Saya lakukan itu buat menarik keluar Kojiro." Ia hendak
melancarkan pembelaan yang bersemangat, tapi Tadaaki menukasnya.
"Itulah justru
yang kumaksud dengan sifat pengecut itu. Kalau mau melawan Kojiro, kenapa kau
tidak langsung saja pergi ke rumahnya? Kenapa tidak kaukirimkan pesan untuk
menantangnya? Kenapa tidak kaunyatakan namamu dan tujuanmu?"
"Y y-yah, sudah
terpikir juga oleh saya hal-hal itu, tapi..."
"Terpikir? Tak
ada yang menghalangimu berbuat demikian. Tapi kau memilih tipu muslihat
pengecut, supaya orang-orang lain membantumu memikat Kojiro kemari, agar dapat
kau menyerangnya beramai-ramai. Kalau diperbandingkan, sikap Kojiro itu sangat
mengagumkan." Tadaaki berhenti berbicara. "Dia datang sendiri untuk
bertemu denganku pribadi. Dia menolak berurusan dengan seorang pengecut, dan
dia menantangku dengan alasan: tingkah buruk seorang murid, berarti tingkah
buruk gurunya.
"Hasil
pertarungan pedangnya dengan pedangku itulah yang mengungkapkan kejahatan
memalukan. Dan sekarang, dengan rendah hati aku mengakui kejahatan itu."
Ruangan jadi hening
seperti kuburan.
"Nah,
Toranosuke, kalau kaurenungkan, apa kau masih percaya bahwa dirimu seorang
samurai tanpa malu?"
"Maafkan
saya."
"Keluar."
Dengan mata menunduk,
Toranosuke berjalan mundur sepuluh langkah, dan berlutut di lantai dengan
tangan di depan, siap membungkuk.
"Saya
mengharapkan kesehatan yang sebaik-baiknya untuk Bapak... juga untuk yang
lain-lain," suaranya terdengar muram.
Ia bangkit dan
berjalan dengan sedih meninggalkan dojo.
Tadaaki berdiri.
"Aku juga harus meninggalkan dunia ini." Terdengar suara sedu-sedan
tertahan. Kata-katanya yang terakhir itu tegas, namun penuh rasa cinta.
"Kenapa mesti murung? Hari kalian sudah datang. Terserah pada kalian,
bagaimana mengatur agar perguruan ini maju menuju zaman baru yang penuh
kehormatan. Mulai sekarang, bersikaplah rendah hati, kerja keras, dan coba
dengan segala kekuatan untuk mengembangkan semangat kalian."
Tadaaki kembali ke
kamar tamu. Wajahnya sama sekali tidak resah, ketika ia diam-diam duduk dan
berbicara pada Kojiro. Sesudah meminta maaf karena memaksa Kojiro menanti,
katanya, "Baru saja saya usir Hamada. Saya nasihatkan kepadanya untuk
mengubah tingkah lakunya, dan mencoba memahami makna sesungguhnya disiplin
samurai. Tentu saja saya bermaksud melepaskan wanita tua itu. Anda ingin
membawanya sekarang, atau kemudian saya atur kepulangannya?"
"Saya puas
dengan tindakan Tuan. Dia bisa pulang bersama saya." Kojiro bergerak
seakan hendak bangkit. Tapi pertarungan itu telah menguras tenaganya, dan saat
menanti sesudahnya itu terasa luar biasa panjang baginya.
"Jangan pergi
dulu," kata Tadaaki. "Semua sudah berlalu, dan marilah sekarang kita
minum dulu secangkir. Yang lalu biarlah lalu." Sambil menepukkan tangan,
ia memanggil, "Omitsu! Bawa sake kemari."
"Terima
kasih," kata Kojiro. "Saya mengucapkan terima kasih atas undangan
Bapak." Ia tersenyum, dan katanya dengan munafik, "Saya tahu
sekarang, kenapa Ono Tadaaki dan Gaya Itto demikian terkenal." Padahal ia
sama sekali tidak menghormati Tadaaki.
"Kalau
bakat-bakat alamnya dikembangkan menurut jalan yang benar," pikir Tadaaki,
"dunia akan tunduk di bawah kakinya. Tapi kalau dia menempuh jalan keliru,
berarti Zenki lain lagi yang lahir."
"Sekiranya kau
muridku..." Kata-kata itu sudah ada di ujung lidah Tadaaki. Tapi Tadaaki
tidak mengucapkannya, melainkan hanya tertawa, dan menjawab jilatan Kojiro
dengan rendah hati.
Di tengah percakapan
mereka, nama Musashi disebut, dan Kojiro pun mengetahui bahwa Musashi
dipertimbangkan untuk menjadi salah satu di antara orang-orang pilihan yang
akan memberikan pelajaran kepada shogun.
Kojiro hanya
mengucap, "Oh". Namun air mukanya memperlihatkan rasa tidak suka. Ia
melayangkan pandang ke matahari terbenam, dan menegaskan bahwa sudah waktunya
pergi.
Tak lama sesudah itu,
Tadaaki menghilang dari Edo. Ia orang yang memiliki nama baik sebagai prajurit
sederhana dan jujur, perwujudan dari ketulusan sifat tidak mementingkan diri
sendiri, namun ia bukan orang yang memiliki keterampilan politik seperti
Munenori. Orang-orang tidak habis pikir, kenapa orang yang jelas dapat
melaksanakan segala yang diinginkannya itu mesti meninggalkan dunia. Mereka
ingin tahu sebabnya, dan memberikan tafsiran sendiri-sendiri mengenai
kepergiannya.
Kata mereka, akibat
kegagalannya, Tadaaki kehilangan akal sehatnya.
0 komentar:
Posting Komentar