Sabtu, 15 Juli 2017



Burung Hantu

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





KETIKA akhirnya mereka meninggalkan warung teh, Kojiro hampir tak dapat lagi berdiri.

"Topang... topang," katanya sambil menggapai Juro dan Koroku, mencari topangan.

Ketiga orang itu berjalan goyah menyusuri jalanan gelap dan sepi itu. Juro berkata, "Saya sudah bilang, kita mesti menginap."

"Di warung murahan itu? Tak bakalan! Lebih baik aku kembali ke Sumiya."

"Enggan saya."

"Kenapa?"

"Gadis itu, dia melarikan diri dari Anda. Kalau mereka menemukan gadis itu, mereka akan menahannya supaya tidur dengan Anda, tapi untuk apa? Anda tak dapat menikmatinya."

"Ya. Barangkali kau benar."

"Anda ingin dengan dia, ya?"

"Enggak."

"Tapi Anda tak bisa melupakan dia, kan?"

"Tak pernah aku jatuh cinta dalam hidupku. Aku bukan orang macam itu. Ada hal-hal yang lebih penting yang mesti kulakukan."

"Apa itu?"

"Oh, itu jelas. Aku mau jadi pemain pedang terbaik dan paling terkenal, dan jalan tercepat untuk mencapai itu adalah menjadi guru shogun."

"Tapi sudah ada Keluarga Yagyu yang mengajarnya. Dan saya dengar, belum lama ini dia mempekerjakan juga Ono Jiroemon."

"Ono Jiroemon! Siapa pula yang peduli tentang dia? Keluarga Yagyu saja tidak membuatku terkesan. Tunggu saja aku. Hari-hari ini..."

Mereka sampai di bagian jalan yang di sisinya dibuat parit baru. Lumpur lunak tertimbun di situ, setinggi setengah pohon liu.

"Hati-hati, licin sekali," kata Juro ketika ia dan Koroku mencoba membantu gurunya turun dari timbunan lumpur itu.

"Awas!" pekik Kojiro. Tiba-tiba ia menolakkan kedua kawannya. Dengan cepat ia meluncur turun dari timbunan lumpur. "Siapa di situ?"

Orang yang baru saja menerjang punggung Kojiro itu kehilangan keseimbangan dan terjungkal masuk parit.

"Sudah lupa kamu, Sasaki?"

"Kau membunuh empat kawan kami!"

Kojiro melompat ke puncak onggokan lumpur, dan dari situ ia melihat setidaknya ada sepuluh orang berdiri di antara pepohonan, sebagian tersembunyi dalam rumpun mendong. Pedang-pedang diarahkan kepadanya, dan mereka mulai merapat.

"Oh, jadi kalian dari Perguruan Obata?" tanyanya dengan nada menghina. Aksi mendadak itu membuatnya sadar dari mabuknya. "Yang lalu itu. kalian kehilangan empat dari antara lima orang. Berapa orang lagi kalian datang malam ini? Berapa orang ingin mati? Ayo berikan jumlahnya, biar aku melayani kalian. Pengecut! Maju, kalau kalian berani!"

Tangannya pun dengan tangkas bergerak ke atas bahu, menangkap gagang Galah Pengering.

Sebelum mencukur rambut kepalanya, Obata Nichijo adalah seorang di antara prajurit paling terkemuka di Kai, sebuah provinsi yang termasyhur karena para samurainya yang heroik. Sesudah dikalahkannya Keluarga Takeda oleh Tokugawa Ieyasu. Keluarga Obata hidup tak dikenal orang, sampai akhirnya Kagenori mendapat nama dalam Pertempuran Sekigahara. Sesudah itu, ia diminta oleh Ieyasu sendiri untuk mengabdi dan memperoleh kemasyhuran sebagai guru dalam ilmu militer. Namun ia menolak tawaran shogun untuk memilih petak tanah di Edo Tengah, dengan alasan bahwa seorang prajurit desa seperti dirinya akan merasa asing di sana. Ia lebih menyukai bidang tanah berhutan yang berdekatan dengan Tempat Suci Hirakawa Tenjin, di mana ia membangun perguruan sendiri, di dalam sebuah rumah pertanian tua beratap lalang. Sesudah itu ditambahkan olehnya sebuah ruang kuliah baru dan pintu masuk yang agak mengesankan.

Sekarang Kagenori sudah berusia lanjut dan menderita gangguan saraf. Pada bulan-bulan terakhir itu, ia hanya tinggal di kamar dan jarang sekali muncul di ruang kuliah. Hutan di sekitar tempat itu penuh burung hantu dan Kagenori pun mulai suka menulis namanya sebagai "Orang Tua Burung Hantu". Kadang-kadang ia tersenyum lemah, dan katanya, "Aku ini burung hantu, seperti orang-orang lain juga."

Bukan tidak sering rasa nyeri dari pinggang ke atas tidak tertahankan lagi olehnya. Dan malam itu ia kumat lagi.

"Sudah lebih baik? Mau sedikit air?" Yang berbicara itu Hojo Shinzo, anak Hojo Ujikatsu, ahli strategi militer terkemuka.

"Jauh lebih enak sekarang," kata Kagenori. "Kenapa kau tidak tidur, sebentar lagi terang." Rambut orang sakit itu putih, tubuhnya kurus sekali, bersegi-segi seperti pohon prem tua.

"Tak usah kuatir dengan saya. Saya banyak tidur siang hari."

"Tak mungkin kau punya banyak waktu buat tidur, kalau waktu siangmu kau habiskan buat mendengarkan kuliah-kuliahku. Kau satu-satunya yang dapat melakukan itu."

"Tidur terlalu banyak bukan disiplin yang baik."

Melihat bahwa lampu sudah akan man, Shinzo berhenti menggosok punggung orang tua itu, dan pergi mengambil minyak. Begitu ia kembali, Kagenori yang masih berbaring tengkurap mengangkat wajahnya yang kurus dari bantal. Cahaya lampu terpantul menakutkan pada matanya.

"Ada apa, Pak?"

"Kau tidak mendengar? Kedengarannya seperti air berkecipak."

"Kedengarannya dari sumur."

"Siapa pula itu, malam-malam begini? Apa menurutmu sebagian orangorang itu pergi minum lagi?"

"Mungkin juga. Akan saya lihat."

"Kau mesti memarahi mereka."

"Baik, Pak. Sekarang lebih baik Bapak tidur. Bapak tentunya lelah." Ketika rasa nyeri Kagenori sudah berkurang dan ia jatuh tertidur, dengan hati-hati Shinzo menaikkan selimut ke bahunya dan pergi ke pintu belakang.

Dua murid membungkuk ke ember sumur, sedang mencuci darah dari wajah dan tangan mereka.

Ia berlari mendapatkan mereka dengan wajah marah. "Kalian pergi, ya?" katanya singkat. "Padahal sudah kularang!" Kegusaran dalam suaranya mereda ketika ia melihat orang ketiga terbaring dalam bayangan sumur. Dari cara orang itu mengerang, kedengaran bahwa setiap saat ia bisa mati karena lukanya.

Seperti anak kecil yang memohon bantuan dari kakaknya, dengan wajah tak keruan bentuknya, kedua orang itu terisak-isak tak terkendalikan.

"Tolol!" Shinzo mesti mengendalikan diri untuk tidak menyabet mereka. "Berapa kali sudah kuperingatkan pada kalian, bahwa kalian bukan tandingannya? Kenapa kalian tidak mendengarkan?"

"Sesudah dia benamkan nama guru kita ke dalam lumpur? Sesudah dia bunuh empat orang di antara kita? Kau selalu bilang kami tak cukup akal. Apa bukan kau sendiri yang sudah kehilangan akal sehat? Kau mengendalikan kemarahan, menahan diri, menerima saja hinaan diam-diam! Apa itu yang kau namakan akal sehat? Itu bukan Jalan Samurai."

"Bukan, ya? Kalau soalnya berhadapan dengan Sasaki Kojiro, aku yang akan menantangnya sendiri. Dia sudah memilih jalan menghina guru kita dan melakukan kebiadaban-kebiadaban lain terhadap kita, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk kehilangan rasa keseimbangan. Aku tidak takut mati, tapi Kojiro tidak pantas membahayakan hidupku atau hidup orang lain lagi."

"Tapi itu bukan pendapat kebanyakan orang. Mereka pikir kita takut padanya. Takut membela kehormatan kita. Kojiro sudah menjelek-jelekkan Kagenori di seluruh Edo."

"Kalau dia mau lari pada omongan, biar saja. Kalian pikir orang yang kenal dengan Kagenori kalah argumentasi dengan orang baru yang congkak itu?"

"Terserah padamu, Shinzo. Kami takkan duduk menonton tanpa berbuat apa-apa."

"Lalu apa yang kalian maksud?"

"Cuma satu hal. Bunuh dia!"

"Kalian pikir dapat? Aku sudah bilang, kalian jangan pergi ke Sensoji. Kalian tak mau mendengarkan. Empat orang meninggal. Dan sekarang kalian baru kembali sesudah dikalahkan lagi olehnya. Apa itu bukan menambahkan aib ke atas kecemaran? Bukan Kojiro yang menghancurkan nama baik Kagenori, tapi kalian. Nah, aku punya satu pertanyaan. Apa kalian berhasil membunuh dia?"

Tak terdengar jawaban.

"Tentu saja tidak. Aku berani bertaruh, kena goresan pun dia tidak. Sulitnya dengan kalian adalah kalian tak punya cukup pertimbangan buat menghindari pertemuan dengannya menurut persyaratannya sendiri. Kalian tak mengerti kekuatannya. Memang benar, dia masih muda, wataknya rendah, kasar, sombong. Tapi dia pemain pedang yang bagus. Bagaimana dia mempelajari keterampilan itu aku tak tahu, tapi tak bisa dibantah lagi. dia memilikinya. Kalian menyepelekan dia. Itulah kesalahan kalian yang utama."

Satu orang menghampiri Shinzo, seakan siap menyerangnya secara fisik. "Kaubilang apa pun yang dilakukan bajingan itu, tak ada yang dapat kita perbuat?"

Shinzo mengangguk menantang. "Tepat sekali. Tak ada yang dapat kita lakukan. Kita ini bukan pedang, kita ini murid ilmu militer. Kalau menurut kalian sikapku ini pengecut, akan kuterima diriku disebut pengecut." Orang yang terluka di dekat kaki mereka mengerang. "Air... air... minta air." Kedua kawannya berlutut dan mendudukkannya.

Melihat mereka akan memberikan air kepadanya, Shinzo berteriak kuatir.

"Berhenti! Kalau dia minum air, mati dia!"

Selagi mereka masih ragu-ragu, orang itu meletakkan mulutnya ke ember. Satu hirupan saja, dan kepalanya pun jatuh ke dalam ember, hingga jumlah orang yang tewas malam itu menjadi lima.

Diiringi suara burung-burung hantu yang menyambut bulan pagi, diamdiam Shinzo kembali ke kamar si sakit. Kagenori masih tidur, napasnya dalam. Dengan perasaan tenteram, Shinzo masuk ke kamarnya sendiri.

Karya-karya tentang ilmu militer terbentang di mejanya. Buku-buku itu sedang dibacanya, tapi tak ada waktu untuk menyelesaikannya. Sekalipun ia dari keluarga berkecukupan, selagi kanak-kanak ia ikut membelah kayu bakar, mengangkut air, dan berjam-jam belajar dengan lampu lilin. Ayahnya, seorang samurai besar, tidak percaya bahwa pemuda-pemuda segolongannya mesti dimanjakan. Shinzo masuk Perguruan Obata dengan tujuan akhir menyempurnakan keterampilan militer yang didapatnva di keluarganya. Sekalipun tergolong murid muda, ia menduduki tempat tertinggi dalam penilaian gurunya.

Karena merawat gurunya yang sakit, kebanyakan malam hari ia terpaksa berjaga. Sekarang ia duduk melipat tangan dan menarik napas panjang. Siapa yang akan merawat Kagenori, kalau ia tak ada di sana? Semua murid lain yang tinggal di perguruan itu orang-orang kasar yang tertarik pada soal-soal militer, sedangkan mereka yang datang ke perguruan hanya untuk masuk kelas, lebih jelek lagi. Mereka bicara keras di mana-mana, mengemukakan pendapat tentang soal-soal jantan yang biasa dibicarakan para samurai. Tak ada di antara mereka yang benar-benar mengerti semangat guru mereka, seorang kesepian yang berakal budi. Soal-soal yang lebih dalam mengenai ilmu militer tidak masuk dalam kepala mereka. Yang lebih mudah mereka pahami adalah cercaan jenis apa saja, baik yang nyata maupun khayal, terhadap harga diri atau kemampuan mereka sebagai samurai. Kalau merasa terhina, seketika mereka menjadi alat balas dendam yang tidak berakal.

Shinzo sedang bepergian ketika Kojiro datang di perguruan itu. Karena Kojiro menyatakan ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang buku-buku pelajaran militer, minatnya itu tampak murni, dan ia diperkenalkan dengan sang guru. Tetapi kemudian, tanpa mengajukan satu pertanyaan pun, ia mulai berdebat dengan Kagenori dengan lancang dan sombongnya, dan ini menyebabkan orang menduga bahwa tujuannya yang sebenarnya adalah justru menghina orang tua itu. Ketika akhirnya beberapa murid berhasil membawanya ke kamar lain dan minta penjelasan kepadanya, ia membalas dengan banjir makian dan tantangan untuk berkelahi dengan siapa saja di antara mereka dan kapan saja.

Kojiro kemudian menimbulkan kesan bahwa studi militer Obata itu dangkal, bahwa studi itu tidak lebih dari kunyahan Gaya Kusunoki atau buku militer Tiongkok kuno yang dikenal dengan nama Enam Rahasia, dan bahwa mereka itu lancung dan tak dapat diandalkan. Ketika ucapan-ucapannya yang jahat itu memantul kembali ke telinga para murid, mereka bersumpah memaksanya membayar dengan nyawa.

Oposisi dari pihak Shinzo ternyata sia-sia, sekalipun ia juga sudah menyatakan bahwa sebelum mengambil langkah menentukan, anak Kagenori, yaitu Yogoro yang waktu itu dalam perjalanan jauh, supaya lebih dulu diajak berbicara. Pendapat Shinzo sendiri: itu masalah kecil, guru mereka tidak perlu diganggu dengan soal-soal macam itu, karena Kojiro bukanlah murid serius dalam ilmu militer.

"Apa mereka tidak melihat, berapa banyak kesulitan sia-sia yang telah mereka timbulkan?" sesal Shinzo. Cahaya lampu yang meredup, samarsamar menerangi wajahnya yang keruh. Sambil masih mencoba mengerahkan otaknya, mencari pemecahan, ia meletakkan kedua lengannya menyilang ke buku-buku yang terbuka itu, dan jatuh tertidur.

Ia terbangun oleh suara bisik-bisik tak jelas. Mula-mula ia pergi ke ruang kuliah, tapi didapatinya ruangan itu kosong, karena itu ia pun memasukkan kakinya ke dalam zori dan pergi ke luar. Di tengah rumpun bambu yang menjadi bagian dari pekarangan Tempat Suci Hirakawa Tenjin, ia saksikan apa yang memang sudah ia duga sebelumnya: sekelompok besar murid sedang mengadakan sidang perang yang penuh emosi. Dua orang yang terluka, dengan wajah pucat pasi dan tangan tergantung dalam gendongan putih, berdiri berdampingan, melukiskan bencana yang telah terjadi malam itu.

Satu orang bertanya marah, "Kaubilang sepuluh orang berangkat dan setengahnya dibunuh oleh satu orang itu saja?"

"Kukira demikian. Bahkan mendekatinya saja kami tak bisa."

"Murata dan Ayabe bisa dikatakan pemain pedang terbaik kita."

"Mereka yang pertama pergi. Cuma karena keuletannya, Yosobei berhasil kembali kemari, tapi dia membuat kesalahan dengan minum air, sebelum kami dapat menghentikannya."

Keheningan murung menyelimuti kelompok orang itu. Sebagai murid ilmu militer, mereka berkepentingan dengan masalah logistik, strategi, perhubungan, intel, dan sebagainya, tapi bukan dengan teknik-teknik perkelahian satu lawan satu. Sebagian besar dari mereka percaya, karena begitulah yang diajarkan pada mereka, bahwa permainan pedang adalah untuk prajurit biasa, bukan untuk jenderal. Namun kebanggaan mereka sebagai samurai menghalangi mereka untuk menerima akibat yang wajar, bahwa mereka jadi tak berdaya menghadapi pemain pedang ahli seperti Sasaki Kojiro.

"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya seseorang dengan suara merenung. Untuk sesaat, satu-satunya jawaban yang terdengar adalah suara burung hantu.

Kemudian seorang murid berkata nyaring, "Saya punya saudara sepupu dalam Keluarga Yagyu. Barangkali lewat dia, kita dapat minta bantuan mereka."

"Jangan bodoh!" teriak beberapa yang lain. "Kita tak bisa minta bantuan dari luar. Itu akan mendatangkan banyak aib pada guru kita. Itu berarti mengakui kelemahan."

"Nah, kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan?"

"Satu-satunya cara, dengan kembali menghadapi Kojiro. Tapi kalau kita lakukan di jalanan gelap lagi, akan lebih rusaklah nama baik perguruan kita. Kalau kita mesti mati dalam pertempuran terbuka, biarlah. Paling tidak, kita takkan dianggap pengecut."

"Apa akan kita kirimkan tantangan resmi kepadanya?"

"Ya, dan kita mesti terus berpegang pada tantangan itu, tak peduli berapa kali kita akan kalah."

"Kupikir kau benar, tapi Shinzo takkan menyukai ini."

"Dia tak boleh tahu soal ini, juga guru kita. Kalian semua mesti ingat. Kita dapat meminjam kuas dan tinta dari pendeta."

Dan berangkatlah mereka diam-diam ke rumah pendeta. Tapi belum lagi sepuluh langkah mereka pergi, orang yang berjalan di depan tergagap dan undur selangkah. Yang lain-lain seketika berhenti, dan mata mereka terarah ke beranda belakang bangunan tempat suci yang sudah usang oleh waktu. Di sana, dengan latar belakang yang dibentuk oleh bayangan pohon prem yang lebat buahnya dan masih hijau, berdiri Kojiro. Satu kakinya ditopangkan pada susuran beranda, dan wajahnya memperlihatkan seringai jahat. Tanpa kecuali, para siswa menjadi pucat. Beberapa orang jadi susah bernapas.

Suara Kojiro terdengar sengit, "Aku mengerti dari pembicaraan kalian, bahwa kalian masih belum juga mau belajar. Kalian memutuskan menulis surat tantangan dan menyampaikan padaku. Nah, kalian tak usah repot-repot. Aku di sini, dan siap tempur.

"Tadi malam, sebelum sempat membasuh darah dari tanganku, aku sudah mengambil kesimpulan akan ada sambungannya, karena itu kuikuti kalian, pengecut-pengecut cengeng ini, pulang."

Ia berhenti, menanti kata-katanya dimengerti, kemudian melanjutkan dengan nada ironis. "Tadi aku ingin juga tahu, bagaimana kalian akan menetapkan waktu dan tempat untuk menantang seorang musuh. Apa kalian melihat horoskop dulu untuk memilih hari baik? Atau menurut kalian lebih bijaksana untuk tidak menarik pedang sampai datang malam gelap, ketika lawan kalian mabuk dan dalam perjalanan pulang dari daerah lokalisasi." Ia berhenti lagi, seakan-akan menantikan jawaban.

"Tak ada yang kalian katakan? Tak ada satu pun orang berdarah merah di antara kalian? Kalau kalian memang ingin sekali berkelahi denganku, ayolah. Satu-satu, atau semua sekaligus, sama saja buatku! Tak bakal aku lari dari orang-orang macam kalian, biarpun kalian pakai ketopong lengkap dan maju bersama dengan pukulan genderang!"

Tak ada suara terdengar dari orang-orang yang ketakutan itu.

"Apa yang terjadi dengan kalian?" Makin lama makin panjang ia berhenti bicara. "Apa kalian memutuskan tak jadi menantangku? Apa tak ada satu pun di antara kalian yang punya tulang punggung?

"Baiklah, sudah waktunya sekarang aku membuka telinga kalian yang bodoh. Dengarlah. Aku Sasaki Kojiro. Aku belajar seni pedang secara tak langsung dari Toda Seigen yang agung, sesudah kematiannya. Aku tahu rahasia-rahasia menghunus pedang yang ditemukan Katayama Hisayasu, dan aku sendiri sudah menciptakan Gaya Ganryu. Aku ini tak seperti orang-orang yang urusannya teori, yang kerjanya membaca buku-buku dan mendengarkan kuliah tentang Sun-tzu atau Enam Rahasia. Dalam semangat dan dalam kemauan, kalian dan aku tak ada persamaan.

"Aku tak tahu perincian pelajaran kalian sehari-hari, tapi akan kutunjukkar pada kalian sekarang, apa artinya ilmu berkelahi itu dalam kehidupan nyata. Aku tidak membual. Coba pikirkan! Kalau orang diserang dalam kegelapan, seperti halnya diriku tadi malam, maka kalau dia beruntung bisa selamat, apa yang dilakukannya? Kalau dia orang biasa, dia akan pergi secepat-cepatnya ke tempat aman. Di situ dia akan memikirkan kembali peristiwa yang baru dialaminya, dan mengucapkan selamat kepada dirinya karena tetap hidup. Betul begitu? Apa bukan itu yang akan kalian perbuat?

"Tapi apa aku berbuat demikian? Tidak! Aku tidak hanya merobohkan setengah dari kalian, tapi kuikuti tukang-tukang keluyur itu pulang, dan aku menanti di sini, langsung di bawah hidung kalian. Aku mendengarkan ketika kalian mencoba menyusun pikiran kalian yang lemah itu, dan aku menimbulkan kejutan pada kalian. Kalau mau, aku dapat menyerang kalian sekarang juga dan menghancurkan kalian berkeping-keping. Itulah makna menjadi militer! Itulah rahasia ilmu militer!

"Sebagian dari kalian mengatakan, Sasaki Kojiro cuma pemain pedang: dia tak ada urusan datang ke perguruan militer dan buka mulut di sini. Seberapa jauh aku mesti meyakinkan kalian bahwa kalian keliru? Barangkali hari ini juga aku akan membuktikan pada kalian, bahwa aku bukan saja pemain pedang terbesar di negeri ini, tapi juga ahli taktik!

"Ha, ha! Jadilah kuliah kecil, ya? Aku kuatir kalau kulanjutkan menuangkan pengetahuanku ini, Obata Kagenori yang malang itu bisa kehabisan penghasilan. Itu tak pantas, bukan?

"Oh, aku haus. Koroku! Juro! Bawa air sini!"

"Sekarang juga, Pak!" jawab kedua orang itu serentak dari samping tempat suci. Mereka memperhatikan peristiwa itu dengan penuh kekaguman. Juro membawakan Kojiro satu mangkuk besar air, kemudian bertanya ingin tahu, "Apa yang akan Bapak lakukan sekarang?"

"Tanya mereka itu!" kata Kojiro mengejek. "Jawaban untukmu ada di muka-muka kosong macam muka musang itu!"

"Pernah Bapak lihat orang yang mukanya begitu bodoh?" Koroku tertawa.

"Kumpulan orang tak punya nyali!" kata Juro. "Mari kita pergi sekarang, Pak. Mereka takkan menghadapi Bapak."

Ketika ketiga orang itu berjalan petentengan melewati gerbang tempat suci, Shinzo yang tersembunyi di tengah pepohonan bergumam dengan gigi terkatup, "Awas pembalasanku!"

Para murid merasa sangat sedih. Kojiro sudah membikin lumpuh dan mengalahkan mereka. Kemudian ia bermegah-megah, meninggalkan mereka dalam keadaan ketakutan dan terhina.

Ketenangan itu pecah oleh seorang murid yang datang berlari-lari dan bertanya dengan nada bingung, "Apa kita sudah pesan peti mati?" Dan ketika tak seorang pun menjawab, katanya, "Tukang peti mayat baru saja datang, membawa lima peti. Dia menunggu sekarang."

Akhirnya seorang dari mereka menjawab lesu, "Sudah diperintahkan supaya mayat-mayat dibawa kemari, tapi belum datang. Aku tidak begitu yakin, tapi kupikir kita membutuhkan satu peti mati lagi. Suruh dia membuatnya, dan menyimpan yang sudah dibawanya dalam gudang."

Malam itu diadakan jaga mayat di ruang kuliah. Segalanya dilakukan dengan tenang, dengan harapan Kagenori tidak mendengar. Tapi ia dapat iuga menduga apa yang telah terjadi. Hanya saja ia menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan, dan Shinzo pun tidak berkomentar.

Sejak hari itu, noda kekalahan mengawang di atas perguruan tersebut. Hanya Shinzo yang menganjurkan menahan diri dan mendapat tuduhan pengecut itu yang tetap menyimpan keinginan untuk membalas dendam. Matanya menyimpan kilauan yang tak dapat ditebak oleh yang lain-lain.

Awal musim gugur, sakit Kagenori makin parah. Dari tempat tidurnya, ia bisa melihat seekor burung hantu hinggap di atas cabang pohon zelkova besar. Mata burung itu menatapnya, sekalipun ia tak bergerak, dan sepanjang hari ia berbunyi ke arah bulan. Kini Shinzo menangkap bunyi burung hantu itu sebagai tanda bahwa ajal gurunya sudah dekat.

Kemudian datang surat dari Yogoro, menyatakan bahwa ia telah mendengar tentang Kojiro, dan sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa hari sesudah itu, Shinzo terus bertanya-tanya, mana yang akan terjadi lebih dulu, kedatangan sang anak atau kematian sang ayah. Baik yang pertama maupun yang kedua, akan berarti datangnya hari yang dinanti-nantikannya, yaitu ketika ia akan lepas dari kewajiban-kewajibannya.

Pada malam sebelum Yogoro diperkirakan datang, Shinzo meninggalkan surat berpamitan di mejanya dan meninggalkan Perguruan Obata. Dari hutan di dekat tempat suci, ia menghadap ke kamar Kagenori dan berkata pelan, "Maafkan saya, karena pergi tanpa izin Bapak. Beristirahatlah dalam damai, guru yang baik. Yogoro akan pulang besok. Saya tak tahu apakah saya dapat mempersembahkan kepala Kojiro sebelum Bapak meninggal, tapi saya harus berusaha. Kalau sekiranya saya mati dalam usaha ini, akan saya nantikan Bapak di negeri orang-orang mati."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP