Burung Hantu
KETIKA akhirnya
mereka meninggalkan warung teh, Kojiro hampir tak dapat lagi berdiri.
"Topang...
topang," katanya sambil menggapai Juro dan Koroku, mencari topangan.
Ketiga orang itu
berjalan goyah menyusuri jalanan gelap dan sepi itu. Juro berkata, "Saya
sudah bilang, kita mesti menginap."
"Di warung
murahan itu? Tak bakalan! Lebih baik aku kembali ke Sumiya."
"Enggan
saya."
"Kenapa?"
"Gadis itu, dia
melarikan diri dari Anda. Kalau mereka menemukan gadis itu, mereka akan
menahannya supaya tidur dengan Anda, tapi untuk apa? Anda tak dapat
menikmatinya."
"Ya. Barangkali
kau benar."
"Anda ingin
dengan dia, ya?"
"Enggak."
"Tapi Anda tak
bisa melupakan dia, kan?"
"Tak pernah aku
jatuh cinta dalam hidupku. Aku bukan orang macam itu. Ada hal-hal yang lebih
penting yang mesti kulakukan."
"Apa itu?"
"Oh, itu jelas.
Aku mau jadi pemain pedang terbaik dan paling terkenal, dan jalan tercepat
untuk mencapai itu adalah menjadi guru shogun."
"Tapi sudah ada
Keluarga Yagyu yang mengajarnya. Dan saya dengar, belum lama ini dia
mempekerjakan juga Ono Jiroemon."
"Ono Jiroemon!
Siapa pula yang peduli tentang dia? Keluarga Yagyu saja tidak membuatku
terkesan. Tunggu saja aku. Hari-hari ini..."
Mereka sampai di
bagian jalan yang di sisinya dibuat parit baru. Lumpur lunak tertimbun di situ,
setinggi setengah pohon liu.
"Hati-hati,
licin sekali," kata Juro ketika ia dan Koroku mencoba membantu gurunya
turun dari timbunan lumpur itu.
"Awas!"
pekik Kojiro. Tiba-tiba ia menolakkan kedua kawannya. Dengan cepat ia meluncur
turun dari timbunan lumpur. "Siapa di situ?"
Orang yang baru saja
menerjang punggung Kojiro itu kehilangan keseimbangan dan terjungkal masuk
parit.
"Sudah lupa
kamu, Sasaki?"
"Kau membunuh
empat kawan kami!"
Kojiro melompat ke
puncak onggokan lumpur, dan dari situ ia melihat setidaknya ada sepuluh orang
berdiri di antara pepohonan, sebagian tersembunyi dalam rumpun mendong.
Pedang-pedang diarahkan kepadanya, dan mereka mulai merapat.
"Oh, jadi kalian
dari Perguruan Obata?" tanyanya dengan nada menghina. Aksi mendadak itu
membuatnya sadar dari mabuknya. "Yang lalu itu. kalian kehilangan empat
dari antara lima orang. Berapa orang lagi kalian datang malam ini? Berapa orang
ingin mati? Ayo berikan jumlahnya, biar aku melayani kalian. Pengecut! Maju,
kalau kalian berani!"
Tangannya pun dengan
tangkas bergerak ke atas bahu, menangkap gagang Galah Pengering.
Sebelum mencukur
rambut kepalanya, Obata Nichijo adalah seorang di antara prajurit paling
terkemuka di Kai, sebuah provinsi yang termasyhur karena para samurainya yang
heroik. Sesudah dikalahkannya Keluarga Takeda oleh Tokugawa Ieyasu. Keluarga
Obata hidup tak dikenal orang, sampai akhirnya Kagenori mendapat nama dalam
Pertempuran Sekigahara. Sesudah itu, ia diminta oleh Ieyasu sendiri untuk
mengabdi dan memperoleh kemasyhuran sebagai guru dalam ilmu militer. Namun ia
menolak tawaran shogun untuk memilih petak tanah di Edo Tengah, dengan alasan
bahwa seorang prajurit desa seperti dirinya akan merasa asing di sana. Ia lebih
menyukai bidang tanah berhutan yang berdekatan dengan Tempat Suci Hirakawa
Tenjin, di mana ia membangun perguruan sendiri, di dalam sebuah rumah pertanian
tua beratap lalang. Sesudah itu ditambahkan olehnya sebuah ruang kuliah baru
dan pintu masuk yang agak mengesankan.
Sekarang Kagenori
sudah berusia lanjut dan menderita gangguan saraf. Pada bulan-bulan terakhir
itu, ia hanya tinggal di kamar dan jarang sekali muncul di ruang kuliah. Hutan
di sekitar tempat itu penuh burung hantu dan Kagenori pun mulai suka menulis
namanya sebagai "Orang Tua Burung Hantu". Kadang-kadang ia tersenyum
lemah, dan katanya, "Aku ini burung hantu, seperti orang-orang lain
juga."
Bukan tidak sering
rasa nyeri dari pinggang ke atas tidak tertahankan lagi olehnya. Dan malam itu
ia kumat lagi.
"Sudah lebih
baik? Mau sedikit air?" Yang berbicara itu Hojo Shinzo, anak Hojo
Ujikatsu, ahli strategi militer terkemuka.
"Jauh lebih enak
sekarang," kata Kagenori. "Kenapa kau tidak tidur, sebentar lagi
terang." Rambut orang sakit itu putih, tubuhnya kurus sekali, bersegi-segi
seperti pohon prem tua.
"Tak usah kuatir
dengan saya. Saya banyak tidur siang hari."
"Tak mungkin kau
punya banyak waktu buat tidur, kalau waktu siangmu kau habiskan buat
mendengarkan kuliah-kuliahku. Kau satu-satunya yang dapat melakukan itu."
"Tidur terlalu
banyak bukan disiplin yang baik."
Melihat bahwa lampu
sudah akan man, Shinzo berhenti menggosok punggung orang tua itu, dan pergi
mengambil minyak. Begitu ia kembali, Kagenori yang masih berbaring tengkurap
mengangkat wajahnya yang kurus dari bantal. Cahaya lampu terpantul menakutkan
pada matanya.
"Ada apa,
Pak?"
"Kau tidak
mendengar? Kedengarannya seperti air berkecipak."
"Kedengarannya
dari sumur."
"Siapa pula itu,
malam-malam begini? Apa menurutmu sebagian orangorang itu pergi minum
lagi?"
"Mungkin juga.
Akan saya lihat."
"Kau mesti
memarahi mereka."
"Baik, Pak.
Sekarang lebih baik Bapak tidur. Bapak tentunya lelah." Ketika rasa nyeri
Kagenori sudah berkurang dan ia jatuh tertidur, dengan hati-hati Shinzo
menaikkan selimut ke bahunya dan pergi ke pintu belakang.
Dua murid membungkuk
ke ember sumur, sedang mencuci darah dari wajah dan tangan mereka.
Ia berlari
mendapatkan mereka dengan wajah marah. "Kalian pergi, ya?" katanya
singkat. "Padahal sudah kularang!" Kegusaran dalam suaranya mereda
ketika ia melihat orang ketiga terbaring dalam bayangan sumur. Dari cara orang
itu mengerang, kedengaran bahwa setiap saat ia bisa mati karena lukanya.
Seperti anak kecil
yang memohon bantuan dari kakaknya, dengan wajah tak keruan bentuknya, kedua
orang itu terisak-isak tak terkendalikan.
"Tolol!"
Shinzo mesti mengendalikan diri untuk tidak menyabet mereka. "Berapa kali
sudah kuperingatkan pada kalian, bahwa kalian bukan tandingannya? Kenapa kalian
tidak mendengarkan?"
"Sesudah dia
benamkan nama guru kita ke dalam lumpur? Sesudah dia bunuh empat orang di
antara kita? Kau selalu bilang kami tak cukup akal. Apa bukan kau sendiri yang
sudah kehilangan akal sehat? Kau mengendalikan kemarahan, menahan diri,
menerima saja hinaan diam-diam! Apa itu yang kau namakan akal sehat? Itu bukan
Jalan Samurai."
"Bukan, ya?
Kalau soalnya berhadapan dengan Sasaki Kojiro, aku yang akan menantangnya
sendiri. Dia sudah memilih jalan menghina guru kita dan melakukan
kebiadaban-kebiadaban lain terhadap kita, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk
kehilangan rasa keseimbangan. Aku tidak takut mati, tapi Kojiro tidak pantas
membahayakan hidupku atau hidup orang lain lagi."
"Tapi itu bukan
pendapat kebanyakan orang. Mereka pikir kita takut padanya. Takut membela
kehormatan kita. Kojiro sudah menjelek-jelekkan Kagenori di seluruh Edo."
"Kalau dia mau
lari pada omongan, biar saja. Kalian pikir orang yang kenal dengan Kagenori
kalah argumentasi dengan orang baru yang congkak itu?"
"Terserah
padamu, Shinzo. Kami takkan duduk menonton tanpa berbuat apa-apa."
"Lalu apa yang
kalian maksud?"
"Cuma satu hal.
Bunuh dia!"
"Kalian pikir
dapat? Aku sudah bilang, kalian jangan pergi ke Sensoji. Kalian tak mau
mendengarkan. Empat orang meninggal. Dan sekarang kalian baru kembali sesudah
dikalahkan lagi olehnya. Apa itu bukan menambahkan aib ke atas kecemaran? Bukan
Kojiro yang menghancurkan nama baik Kagenori, tapi kalian. Nah, aku punya satu
pertanyaan. Apa kalian berhasil membunuh dia?"
Tak terdengar
jawaban.
"Tentu saja
tidak. Aku berani bertaruh, kena goresan pun dia tidak. Sulitnya dengan kalian
adalah kalian tak punya cukup pertimbangan buat menghindari pertemuan dengannya
menurut persyaratannya sendiri. Kalian tak mengerti kekuatannya. Memang benar,
dia masih muda, wataknya rendah, kasar, sombong. Tapi dia pemain pedang yang
bagus. Bagaimana dia mempelajari keterampilan itu aku tak tahu, tapi tak bisa
dibantah lagi. dia memilikinya. Kalian menyepelekan dia. Itulah kesalahan
kalian yang utama."
Satu orang menghampiri
Shinzo, seakan siap menyerangnya secara fisik. "Kaubilang apa pun yang
dilakukan bajingan itu, tak ada yang dapat kita perbuat?"
Shinzo mengangguk
menantang. "Tepat sekali. Tak ada yang dapat kita lakukan. Kita ini bukan
pedang, kita ini murid ilmu militer. Kalau menurut kalian sikapku ini pengecut,
akan kuterima diriku disebut pengecut." Orang yang terluka di dekat kaki
mereka mengerang. "Air... air... minta air." Kedua kawannya berlutut
dan mendudukkannya.
Melihat mereka akan
memberikan air kepadanya, Shinzo berteriak kuatir.
"Berhenti! Kalau
dia minum air, mati dia!"
Selagi mereka masih
ragu-ragu, orang itu meletakkan mulutnya ke ember. Satu hirupan saja, dan
kepalanya pun jatuh ke dalam ember, hingga jumlah orang yang tewas malam itu
menjadi lima.
Diiringi suara
burung-burung hantu yang menyambut bulan pagi, diamdiam Shinzo kembali ke kamar
si sakit. Kagenori masih tidur, napasnya dalam. Dengan perasaan tenteram,
Shinzo masuk ke kamarnya sendiri.
Karya-karya tentang
ilmu militer terbentang di mejanya. Buku-buku itu sedang dibacanya, tapi tak
ada waktu untuk menyelesaikannya. Sekalipun ia dari keluarga berkecukupan,
selagi kanak-kanak ia ikut membelah kayu bakar, mengangkut air, dan berjam-jam
belajar dengan lampu lilin. Ayahnya, seorang samurai besar, tidak percaya bahwa
pemuda-pemuda segolongannya mesti dimanjakan. Shinzo masuk Perguruan Obata
dengan tujuan akhir menyempurnakan keterampilan militer yang didapatnva di
keluarganya. Sekalipun tergolong murid muda, ia menduduki tempat tertinggi
dalam penilaian gurunya.
Karena merawat
gurunya yang sakit, kebanyakan malam hari ia terpaksa berjaga. Sekarang ia
duduk melipat tangan dan menarik napas panjang. Siapa yang akan merawat
Kagenori, kalau ia tak ada di sana? Semua murid lain yang tinggal di perguruan
itu orang-orang kasar yang tertarik pada soal-soal militer, sedangkan mereka
yang datang ke perguruan hanya untuk masuk kelas, lebih jelek lagi. Mereka
bicara keras di mana-mana, mengemukakan pendapat tentang soal-soal jantan yang
biasa dibicarakan para samurai. Tak ada di antara mereka yang benar-benar
mengerti semangat guru mereka, seorang kesepian yang berakal budi. Soal-soal
yang lebih dalam mengenai ilmu militer tidak masuk dalam kepala mereka. Yang
lebih mudah mereka pahami adalah cercaan jenis apa saja, baik yang nyata maupun
khayal, terhadap harga diri atau kemampuan mereka sebagai samurai. Kalau merasa
terhina, seketika mereka menjadi alat balas dendam yang tidak berakal.
Shinzo sedang
bepergian ketika Kojiro datang di perguruan itu. Karena Kojiro menyatakan ingin
mengajukan beberapa pertanyaan tentang buku-buku pelajaran militer, minatnya
itu tampak murni, dan ia diperkenalkan dengan sang guru. Tetapi kemudian, tanpa
mengajukan satu pertanyaan pun, ia mulai berdebat dengan Kagenori dengan
lancang dan sombongnya, dan ini menyebabkan orang menduga bahwa tujuannya yang
sebenarnya adalah justru menghina orang tua itu. Ketika akhirnya beberapa murid
berhasil membawanya ke kamar lain dan minta penjelasan kepadanya, ia membalas
dengan banjir makian dan tantangan untuk berkelahi dengan siapa saja di antara
mereka dan kapan saja.
Kojiro kemudian
menimbulkan kesan bahwa studi militer Obata itu dangkal, bahwa studi itu tidak
lebih dari kunyahan Gaya Kusunoki atau buku militer Tiongkok kuno yang dikenal
dengan nama Enam Rahasia, dan bahwa mereka itu lancung dan tak dapat
diandalkan. Ketika ucapan-ucapannya yang jahat itu memantul kembali ke telinga
para murid, mereka bersumpah memaksanya membayar dengan nyawa.
Oposisi dari pihak
Shinzo ternyata sia-sia, sekalipun ia juga sudah menyatakan bahwa sebelum
mengambil langkah menentukan, anak Kagenori, yaitu Yogoro yang waktu itu dalam
perjalanan jauh, supaya lebih dulu diajak berbicara. Pendapat Shinzo sendiri:
itu masalah kecil, guru mereka tidak perlu diganggu dengan soal-soal macam itu,
karena Kojiro bukanlah murid serius dalam ilmu militer.
"Apa mereka
tidak melihat, berapa banyak kesulitan sia-sia yang telah mereka
timbulkan?" sesal Shinzo. Cahaya lampu yang meredup, samarsamar menerangi
wajahnya yang keruh. Sambil masih mencoba mengerahkan otaknya, mencari
pemecahan, ia meletakkan kedua lengannya menyilang ke buku-buku yang terbuka
itu, dan jatuh tertidur.
Ia terbangun oleh
suara bisik-bisik tak jelas. Mula-mula ia pergi ke ruang kuliah, tapi didapatinya
ruangan itu kosong, karena itu ia pun memasukkan kakinya ke dalam zori dan
pergi ke luar. Di tengah rumpun bambu yang menjadi bagian dari pekarangan
Tempat Suci Hirakawa Tenjin, ia saksikan apa yang memang sudah ia duga
sebelumnya: sekelompok besar murid sedang mengadakan sidang perang yang penuh
emosi. Dua orang yang terluka, dengan wajah pucat pasi dan tangan tergantung
dalam gendongan putih, berdiri berdampingan, melukiskan bencana yang telah
terjadi malam itu.
Satu orang bertanya
marah, "Kaubilang sepuluh orang berangkat dan setengahnya dibunuh oleh
satu orang itu saja?"
"Kukira
demikian. Bahkan mendekatinya saja kami tak bisa."
"Murata dan
Ayabe bisa dikatakan pemain pedang terbaik kita."
"Mereka yang
pertama pergi. Cuma karena keuletannya, Yosobei berhasil kembali kemari, tapi
dia membuat kesalahan dengan minum air, sebelum kami dapat
menghentikannya."
Keheningan murung
menyelimuti kelompok orang itu. Sebagai murid ilmu militer, mereka
berkepentingan dengan masalah logistik, strategi, perhubungan, intel, dan
sebagainya, tapi bukan dengan teknik-teknik perkelahian satu lawan satu.
Sebagian besar dari mereka percaya, karena begitulah yang diajarkan pada
mereka, bahwa permainan pedang adalah untuk prajurit biasa, bukan untuk
jenderal. Namun kebanggaan mereka sebagai samurai menghalangi mereka untuk
menerima akibat yang wajar, bahwa mereka jadi tak berdaya menghadapi pemain
pedang ahli seperti Sasaki Kojiro.
"Apa yang dapat
kita lakukan?" tanya seseorang dengan suara merenung. Untuk sesaat,
satu-satunya jawaban yang terdengar adalah suara burung hantu.
Kemudian seorang
murid berkata nyaring, "Saya punya saudara sepupu dalam Keluarga Yagyu.
Barangkali lewat dia, kita dapat minta bantuan mereka."
"Jangan
bodoh!" teriak beberapa yang lain. "Kita tak bisa minta bantuan dari
luar. Itu akan mendatangkan banyak aib pada guru kita. Itu berarti mengakui
kelemahan."
"Nah, kalau
begitu, apa yang dapat kita lakukan?"
"Satu-satunya
cara, dengan kembali menghadapi Kojiro. Tapi kalau kita lakukan di jalanan
gelap lagi, akan lebih rusaklah nama baik perguruan kita. Kalau kita mesti mati
dalam pertempuran terbuka, biarlah. Paling tidak, kita takkan dianggap
pengecut."
"Apa akan kita
kirimkan tantangan resmi kepadanya?"
"Ya, dan kita
mesti terus berpegang pada tantangan itu, tak peduli berapa kali kita akan
kalah."
"Kupikir kau
benar, tapi Shinzo takkan menyukai ini."
"Dia tak boleh
tahu soal ini, juga guru kita. Kalian semua mesti ingat. Kita dapat meminjam
kuas dan tinta dari pendeta."
Dan berangkatlah
mereka diam-diam ke rumah pendeta. Tapi belum lagi sepuluh langkah mereka
pergi, orang yang berjalan di depan tergagap dan undur selangkah. Yang
lain-lain seketika berhenti, dan mata mereka terarah ke beranda belakang
bangunan tempat suci yang sudah usang oleh waktu. Di sana, dengan latar
belakang yang dibentuk oleh bayangan pohon prem yang lebat buahnya dan masih
hijau, berdiri Kojiro. Satu kakinya ditopangkan pada susuran beranda, dan
wajahnya memperlihatkan seringai jahat. Tanpa kecuali, para siswa menjadi
pucat. Beberapa orang jadi susah bernapas.
Suara Kojiro
terdengar sengit, "Aku mengerti dari pembicaraan kalian, bahwa kalian
masih belum juga mau belajar. Kalian memutuskan menulis surat tantangan dan
menyampaikan padaku. Nah, kalian tak usah repot-repot. Aku di sini, dan siap
tempur.
"Tadi malam,
sebelum sempat membasuh darah dari tanganku, aku sudah mengambil kesimpulan
akan ada sambungannya, karena itu kuikuti kalian, pengecut-pengecut cengeng
ini, pulang."
Ia berhenti, menanti
kata-katanya dimengerti, kemudian melanjutkan dengan nada ironis. "Tadi
aku ingin juga tahu, bagaimana kalian akan menetapkan waktu dan tempat untuk
menantang seorang musuh. Apa kalian melihat horoskop dulu untuk memilih hari
baik? Atau menurut kalian lebih bijaksana untuk tidak menarik pedang sampai
datang malam gelap, ketika lawan kalian mabuk dan dalam perjalanan pulang dari
daerah lokalisasi." Ia berhenti lagi, seakan-akan menantikan jawaban.
"Tak ada yang
kalian katakan? Tak ada satu pun orang berdarah merah di antara kalian? Kalau
kalian memang ingin sekali berkelahi denganku, ayolah. Satu-satu, atau semua
sekaligus, sama saja buatku! Tak bakal aku lari dari orang-orang macam kalian,
biarpun kalian pakai ketopong lengkap dan maju bersama dengan pukulan genderang!"
Tak ada suara
terdengar dari orang-orang yang ketakutan itu.
"Apa yang
terjadi dengan kalian?" Makin lama makin panjang ia berhenti bicara.
"Apa kalian memutuskan tak jadi menantangku? Apa tak ada satu pun di
antara kalian yang punya tulang punggung?
"Baiklah, sudah
waktunya sekarang aku membuka telinga kalian yang bodoh. Dengarlah. Aku Sasaki
Kojiro. Aku belajar seni pedang secara tak langsung dari Toda Seigen yang
agung, sesudah kematiannya. Aku tahu rahasia-rahasia menghunus pedang yang ditemukan
Katayama Hisayasu, dan aku sendiri sudah menciptakan Gaya Ganryu. Aku ini tak
seperti orang-orang yang urusannya teori, yang kerjanya membaca buku-buku dan
mendengarkan kuliah tentang Sun-tzu atau Enam Rahasia. Dalam semangat dan dalam
kemauan, kalian dan aku tak ada persamaan.
"Aku tak tahu
perincian pelajaran kalian sehari-hari, tapi akan kutunjukkar pada kalian
sekarang, apa artinya ilmu berkelahi itu dalam kehidupan nyata. Aku tidak
membual. Coba pikirkan! Kalau orang diserang dalam kegelapan, seperti halnya
diriku tadi malam, maka kalau dia beruntung bisa selamat, apa yang
dilakukannya? Kalau dia orang biasa, dia akan pergi secepat-cepatnya ke tempat
aman. Di situ dia akan memikirkan kembali peristiwa yang baru dialaminya, dan
mengucapkan selamat kepada dirinya karena tetap hidup. Betul begitu? Apa bukan
itu yang akan kalian perbuat?
"Tapi apa aku
berbuat demikian? Tidak! Aku tidak hanya merobohkan setengah dari kalian, tapi
kuikuti tukang-tukang keluyur itu pulang, dan aku menanti di sini, langsung di
bawah hidung kalian. Aku mendengarkan ketika kalian mencoba menyusun pikiran
kalian yang lemah itu, dan aku menimbulkan kejutan pada kalian. Kalau mau, aku
dapat menyerang kalian sekarang juga dan menghancurkan kalian berkeping-keping.
Itulah makna menjadi militer! Itulah rahasia ilmu militer!
"Sebagian dari
kalian mengatakan, Sasaki Kojiro cuma pemain pedang: dia tak ada urusan datang
ke perguruan militer dan buka mulut di sini. Seberapa jauh aku mesti meyakinkan
kalian bahwa kalian keliru? Barangkali hari ini juga aku akan membuktikan pada
kalian, bahwa aku bukan saja pemain pedang terbesar di negeri ini, tapi juga
ahli taktik!
"Ha, ha! Jadilah
kuliah kecil, ya? Aku kuatir kalau kulanjutkan menuangkan pengetahuanku ini,
Obata Kagenori yang malang itu bisa kehabisan penghasilan. Itu tak pantas,
bukan?
"Oh, aku haus.
Koroku! Juro! Bawa air sini!"
"Sekarang juga,
Pak!" jawab kedua orang itu serentak dari samping tempat suci. Mereka
memperhatikan peristiwa itu dengan penuh kekaguman. Juro membawakan Kojiro satu
mangkuk besar air, kemudian bertanya ingin tahu, "Apa yang akan Bapak
lakukan sekarang?"
"Tanya mereka
itu!" kata Kojiro mengejek. "Jawaban untukmu ada di muka-muka kosong
macam muka musang itu!"
"Pernah Bapak
lihat orang yang mukanya begitu bodoh?" Koroku tertawa.
"Kumpulan orang
tak punya nyali!" kata Juro. "Mari kita pergi sekarang, Pak. Mereka
takkan menghadapi Bapak."
Ketika ketiga orang
itu berjalan petentengan melewati gerbang tempat suci, Shinzo yang tersembunyi
di tengah pepohonan bergumam dengan gigi terkatup, "Awas
pembalasanku!"
Para murid merasa
sangat sedih. Kojiro sudah membikin lumpuh dan mengalahkan mereka. Kemudian ia
bermegah-megah, meninggalkan mereka dalam keadaan ketakutan dan terhina.
Ketenangan itu pecah
oleh seorang murid yang datang berlari-lari dan bertanya dengan nada bingung,
"Apa kita sudah pesan peti mati?" Dan ketika tak seorang pun
menjawab, katanya, "Tukang peti mayat baru saja datang, membawa lima peti.
Dia menunggu sekarang."
Akhirnya seorang dari
mereka menjawab lesu, "Sudah diperintahkan supaya mayat-mayat dibawa
kemari, tapi belum datang. Aku tidak begitu yakin, tapi kupikir kita
membutuhkan satu peti mati lagi. Suruh dia membuatnya, dan menyimpan yang sudah
dibawanya dalam gudang."
Malam itu diadakan
jaga mayat di ruang kuliah. Segalanya dilakukan dengan tenang, dengan harapan
Kagenori tidak mendengar. Tapi ia dapat iuga menduga apa yang telah terjadi.
Hanya saja ia menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan, dan Shinzo pun
tidak berkomentar.
Sejak hari itu, noda
kekalahan mengawang di atas perguruan tersebut. Hanya Shinzo yang menganjurkan
menahan diri dan mendapat tuduhan pengecut itu yang tetap menyimpan keinginan
untuk membalas dendam. Matanya menyimpan kilauan yang tak dapat ditebak oleh
yang lain-lain.
Awal musim gugur,
sakit Kagenori makin parah. Dari tempat tidurnya, ia bisa melihat seekor burung
hantu hinggap di atas cabang pohon zelkova besar. Mata burung itu menatapnya,
sekalipun ia tak bergerak, dan sepanjang hari ia berbunyi ke arah bulan. Kini
Shinzo menangkap bunyi burung hantu itu sebagai tanda bahwa ajal gurunya sudah
dekat.
Kemudian datang surat
dari Yogoro, menyatakan bahwa ia telah mendengar tentang Kojiro, dan sedang
dalam perjalanan pulang. Beberapa hari sesudah itu, Shinzo terus
bertanya-tanya, mana yang akan terjadi lebih dulu, kedatangan sang anak atau
kematian sang ayah. Baik yang pertama maupun yang kedua, akan berarti datangnya
hari yang dinanti-nantikannya, yaitu ketika ia akan lepas dari
kewajiban-kewajibannya.
Pada malam sebelum
Yogoro diperkirakan datang, Shinzo meninggalkan surat berpamitan di mejanya dan
meninggalkan Perguruan Obata. Dari hutan di dekat tempat suci, ia menghadap ke
kamar Kagenori dan berkata pelan, "Maafkan saya, karena pergi tanpa izin
Bapak. Beristirahatlah dalam damai, guru yang baik. Yogoro akan pulang besok.
Saya tak tahu apakah saya dapat mempersembahkan kepala Kojiro sebelum Bapak
meninggal, tapi saya harus berusaha. Kalau sekiranya saya mati dalam usaha ini,
akan saya nantikan Bapak di negeri orang-orang mati."
0 komentar:
Posting Komentar