Sabtu, 15 Juli 2017




 Empat Guru dengan Satu Lampu

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg



"NAH, kita sudah sampai," kata Shinzo, ketika mereka sampai di kaki Bukit Akagi.

Dari suara suling yang terdengar seperti iringan tari suci di tempat suci, dan dari api unggun yang tampak lewat kayu-kayuan, Musashi mengira sedang berlangsung pesta malam. Perjalanan ke Ushigome itu makan waktu dua jam.

Di satu sisi terdapat pekarangan luas Kuil Akagi. Di seberang jalan melandai, berdiri tembok tanah sebuah kediaman pribadi yang besar, dan sebuah pintu gerbang yang besar sekali ukurannya. Sampai di pintu gerbang itu, Musashi turun dan menyerahkan kendali pada Shinzo, sambil mengucapkan terima kasih.

Shinzo menuntun kuda itu ke dalam, dan menyerahkan kendalinya pada salah seorang samurai yang sedang menanti di dekat pintu masuk, memegang lentera kertas. Mereka semua maju ke depan, menyambut kedatangannya, dan mengantarnya lewat pepohonan, ke sebuah tempat terbuka di depan pendopo yang mengesankan. Di dalam, para pembantu yang memegang lentera berbaris di kiri-kanan ruang masuk.

Kepala pelayan menyambut mereka, katanya, "Silakan masuk. Yang Dipertuan sudah menanti Bapak. Saya tunjukkan jalannya."

"Terima kasih," jawab Musashi. Ia mengikuti para pelayan itu menaiki sebuah tangga, kemudian masuk kamar tunggu.

Pola rumah itu lain dari yang lain. Beberapa tangga berturut-turut membawa orang ke serangkaian apartemen yang tampak saling menumpuk, mendaki Bukit Akagi. Begitu duduk, Musashi melihat bahwa ruangan itu ada di atas lereng bukit. Di sebelah cekungan, di ujung halaman, ia hanya dapat melihat bagian utara parit benteng dan hutan yang melingkari tebing curam itu. Terpikir olehnya, pemandangan dari ruangan itu pada siang hari tentunya mengesankan sekali.

Tanpa bunyi, pintu sebuah jalan keluar yang melengkung, terbuka. Seorang gadis pelayan yang cantik masuk dengan anggunnya, meletakkan nampan berisi kue-kue, teh, dan tembakau di depan Musashi. Kemudian ia menyelinap ke luar, tanpa suara, sama dengan sewaktu ia masuk. Seakanakan kimono dan obi-nya yang beraneka warna itu muncul dan kemudian mencair kembali ke dalam dinding itu. Sesudah kepergiannya, masih tercium lamat-lamat semerbak harumnya, dan tiba-tiba Musashi jadi ingat akan adanya wanita.

Tak lama kemudian, tuan rumah muncul diiringi seorang samurai muda. Dengan menanggalkan sikap resmi, katanya, "Baik sekali Anda datang." Dengan gaya prajurit yang baik, ia pun duduk bersilang kaki di bantalan yang disediakan oleh pembantunya, dan katanya, "Menurut yang saya dengar, anak saya telah banyak berutang budi pada Anda. Saya mohon Anda memaafkan saya karena meminta Anda datang kemari, bukan sebaliknya saya mengunjungi rumah Anda untuk menyatakan terima kasih saya." Dengan tangan bertumpu ringan pada kipas di pangkuannya, ia sedikit menyorongkan dahinya yang menonjol.

"Saya merasa mendapat kehormatan diundang menjumpai Bapak," kata Musashi.

Tidak mudah menaksir umur Hojo Ujikatsu. Tiga gigi depannya sudah tak ada, tapi kulitnya yang lembut mengilap memberikan bukti bahwa ia tak hendak menjadi tua. Kumisnya yang hitam lebat dan hanya terhias beberapa rambut putih itu dibiarkan tumbuh di kiri-kanan, untuk menyembunyikan kerut-merut akibat tiadanya ketiga gigi itu. Kesan Musashi yang pertama adalah bahwa orang itu memiliki banyak anak dan baik sekali hubungannya dengan orang-orang muda.

Merasa bahwa tuan rumah takkan keberatan, Musashi bicara langsung ke tujuan. "Putra Bapak mengatakan pada saya bahwa Bapak punya tamu yang mengenal saya. Siapakah orang itu?"

"Bukan satu, tapi dua. Anda akan segera melihat mereka."

"Dua orang?"

"Ya. Mereka kenal baik satu sama lain, dan mereka berdua sahabat saya. Saya kebetulan bertemu dengan mereka di benteng hari ini. Mereka pulang bersama saya, dan ketika Shinzo datang menyambut mereka, mulailah kami mengobrol tentang Anda. Seorang dari mereka mengatakan sudah lama tidak bertemu dengan Anda, dan ingin bertemu. Yang lain, yang mengenal Anda hanya dari nama baik Anda, menyatakan keinginan untuk diperkenalkan."

Sambil tersenyum lebar, Musashi berkata, "Saya tahu. Yang satu Takuan Soho, kan?"

"Betul," seru Yang Dipertuan Ujikatsu sambil menepuk lutut dengan terkej ut.

"Saya tidak pernah jumpa dengannya sejak pergi ke timur beberapa tahun lalu."

Sebelum Musashi sempat menduga siapa orang satunya, Yang Dipertuan sudah mengatakan, "Mari ikut saya," dan keluar dari kamar, menuju gang.

Mereka mendaki tangga pendek dan berjalan sepanjang gang yang panjang dan gelap. Tirai hujan terpasang di satu sisi. Tiba-tiba Musashi tak melihat lagi Yang Dipertuan Ujikatsu. Ia berhenti dan mendengarkan.

Beberapa waktu kemudian, Ujikatsu memanggil, "Saya di sini!" Suaranya seperti datang dari kamar terang yang terletak di seberang tempat terbuka di depan gang.

"Saya tahu," seru Musashi membalas. Tapi Musashi tidak langsung mendekati cahaya itu, melainkan berdiri saja di tempatnya. Tempat terbuka di depan gang itu memikat sekali, tapi terasa olehnya ada cahaya yang mengancam di tempat gelap itu.

"Apa yang Anda tunggu, Musashi? Kami di sini."

"Sebentar," jawab Musashi. Tak ada kemungkinan baginya memberikan jawaban lain, tapi indra keenamnya mengingatkannya untuk waspada. Dengan diam-diam la berbalik, dan berjalan kembali sekitar sepuluh langkah, menuju pintu kecil yang menuju halaman. Ia pakai sandal di situ, dan kemudian berjalan mengitari halaman, menuju beranda kamar Yang Dipertuan Ujikatsu.

"Oh, Anda lewat sana, ya?" kata Yang Dipertuan, sambil menoleh dari ujung lain ruangan itu. Suaranya menunjukkan kekecewaan.

"Takuan!" seru Musashi ketika ia masuk kamar, disertai senyuman cerah pada wajahnya. Pendeta yang duduk di depan ceruk kamar itu berdiri menyambutnya. Bertemu kembali, dan di bawah atap Yang Dipertuan Ujikatsu pula, rasanya hampir terlampau kebetulan. Susah bagi Musashi meyakinkan dirinya bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi.

"Nah, kita mesti saling berkabar dulu," kata Takuan. "Boleh aku memulai?" Takuan mengenakan jubah polos yang selalu dikenakannya. Tak ada tambahan apa pun, bahkan tasbih pun tidak. Namun ia kelihatan lebih matang daripada sebelumnya. Bicaranya lebih lunak. Sebagaimana pembawaan kasar Musashi telah hanyut akibat usaha kerasnya mendisiplinkan diri, demikian pula Takuan rupanya telah dapat menghaluskan sifat-sifat yang kasar dan telah lebih banyak diberkati kebijaksanaan Zen. Memang ia bukan lagi seorang pemuda. Sebelas tahun lebih tua dari Musashi, umurnya sekarang mendekati empat puluh.

"Coba kita ingat-ingat, oh, di Kyoto waktu itu, ya? Ya, ya, aku ingat. Waktu itu tak lama sesudah aku kembali ke Tajima. Sesudah meninggalkan ibuku, kuhabiskan waktu setahun untuk berkabung. Kemudian aku mengadakan perjalanan sebentar, beberapa waktu tinggal di Kuil Nansoji di Izumi, kemudian di Kuil Daitokuji. Belakangan aku sering bertemu dengan Yang Dipertuan Karasumaru—mengarang sajak dengannya, mengadakan upacara-upacara teh, dan mencoba membuang urusan dunia ini. Tanpa kusadari, sudah tiga tahun waktu kuhabiskan di Kyoto. Baru-baru ini aku bersahabat dengan Yang Dipertuan Koide dari Benteng Kishiwada, dan bersama beliau datang kemari melihat Edo."

"Kalau demikian, Anda belum lama di sini?"

"Ya, sekalipun sudah dua kali aku bertemu dengan Hidetada di Kuil Daitokuji, dan banyak kali aku diundang menghadap Ieyasu, tapi inilah pertama kalinya aku mengadakan perjalanan ke Edo. Dan bagaimana denganmu?"

"Saya di sini sejak awal musim panas."

"Rupanya kau sudah mendapat nama juga di bagian negeri ini."

Musashi tidak mencoba membela diri. Ia menundukkan kepala, katanya, "Saya kira Anda sudah mendengar sendiri tentang itu."

Takuan menatapnya beberapa saat, agaknya sedang membandingkan dengan Takezo yang lama. "Kenapa pula mesti resah? Aneh rasanya, kalau orang seumurmu memiliki nama terlalu baik. Selama kau tidak melakukan sesuatu yang sifatnya tidak setia, tercela, atau memberontak, apa pula urusannya? Aku lebih berminat mendengarkan latihanmu."

Musashi menyampaikan uraian pendek tentang pengalamannya belum lama ini, dan mengakhirinya, "Saya takut masih belum matang, kurang bijaksana... jauh dari pencerahan. Semakin banyak saya mengadakan perjalanan, semakin panjang jalan itu. Saya merasa sedang mendaki jalan gunung yang tak ada ujungnya."

"Memang demikian mestinya," kata Takuan, yang jelas merasa senang akan kejujuran dan sikap rendah hati pemuda itu. "Kalau orang yang umurnya di bawah tiga puluh tahun menyatakan sudah mengetahui sedikit saja mengenai Jalan, itu suatu tanda yang jelas bahwa pertumbuhannya sudah berhenti. Aku sendiri masih bergidik malu, kalau ada orang menyatakan bahwa pendeta kasar macam diriku ini tahu makna pokok Zen. Sungguh membingungkan, kalau orang selalu minta aku menguraikan pada mereka tentang Hukum Budha, atau menjelaskan ajaran-ajaran yang benar itu. Orang banyak itu mencoba memandang seorang pendeta seperti memandang Budha yang hidup. Bersyukurlah bahwa orang lain tidak terlalu tinggi memandangmu, dan bahwa engkau tak perlu memperhatikan penampilan."

Sementara kedua orang itu gembira memperbaharui persahabatan mereka, para pelayan membawakan makanan dan minuman. Kemudian Takuan berkata, "Maafkan saya, Yang Dipertuan, saya kuatir ada yang kita lupakan. Bagaimana kalau tamu Anda yang lain dibawa masuk?"

Musashi merasa pasti sekarang, bahwa ia tahu siapa orang keempat itu, tapi ia memilih diam.

Dengan sikap agak ragu-ragu, kata Ujikatsu, "Boleh saya panggil?" Kemudian kepada Musashi, "Saya mesti mengakui, Anda sudah dapat menebak permainan kecil kami. Sebagai yang merencanakannya, saya merasa agak malu."

Takuan tertawa. "Bagus! Saya senang melihat Bapak mau mengakui kekalahan. Kenapa tidak? Bagaimanapun, ini cuma permainan untuk menghibur hati semua orang, kan? Pasti tak bisa menjadi alasan bagi guru Gaya Hojo untuk kehilangan muka."

"Yah, tak sangsi lagi saya kalah," gerutu Ujikatsu dengan suara masih mengandung keengganan. "Kenyataannya, biarpun saya sudah mendengar orang macam apa Anda ini, saya belum tahu sampai seberapa jauh Anda terlatih dan terdisiplin. Maka saya putuskan untuk menyaksikannya sendiri, dan tamu saya yang lain itu setuju untuk bekerja sama. Ketika Anda berhenti di gang tadi itu, dia menanti untuk menyergap, siap menarik pedang." Yang Dipertuan rupanya menyesal telah menguji Musashi. "Tapi Anda sadar sedang dijebak untuk memasuki perangkap, lalu menyeberang halaman." Sambil menatap Musashi, tanyanya, "Boleh saya bertanya, kenapa Anda berbuat demikian?"

Musashi hanya menyeringai.

Takuan angkat bicara. "Itulah beda antara seorang ahli strategi dan pemain pedang."

"Betul begitu?"

"Soalnya cuma tanggapan naluriah, yaitu tanggapan naluriah seorang sarjana militer yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip intelektual, melawan tanggapan orang yang mengikuti Jalan Pedang, yang mendasarkan diri pada hatinya. Menurut jalan pikiran Anda, kalau Anda mengantar Musashi, dia akan mengikuti. Namun, walau tak dapat melihat dengan nyata atau menjamah sesuatu yang pasti, Musashi merasa ada bahaya, dan dia bergerak melindungi diri. Reaksinya itu spontan, naluriah."

"Naluriah?"

"Seperti wahyu Zen."

"Apakah Anda suka merasakan pertanda macam itu?"

"Rasanya tidak."

"Tapi setidaknya saya mendapat pelajaran. Pada waktu merasa ada bahaya, seorang samurai lalu kehilangan akal, atau barangkali justru menggunakan perangkap itu sebagai alasan untuk memamerkan kehebatannya dengan pedang. Ketika tadi saya melihat Musashi kembali, mengenakan sandal dan melintas halaman, saya terkesan sekali."

Musashi terus diam. Wajahnya tidak mengungkapkan rasa senang mendengarkan kata-kata pujian dari Yang Dipertuan Ujikatsu itu. Pikirannya tertuju kepada orang yang berdiri dalam gelap di luar, yang kandas karena sang korban tidak masuk perangkap.

Kepada tuan rumah, ia berkata, "Boleh saya mohon agar Yang Dipertuan dari Tajima mengambil tempat duduk di antara kita sekarang?"

"Oh, apa pula itu?" Ujikatsu kagum, juga Takuan. "Bagaimana Anda bisa tahu?"

Sambil mundur memberikan tempat kehormatan bagi Yagyu Munenori, Musashi berkata, "Walaupun gelap, saya dapat merasakan kehadiran pemain pedang yang tak ada taranya. Menimbang wajah-wajah lain yang hadir di sini, rasanya saya bisa menebak siapa orang satunya itu."

"Sekali lagi Anda berhasil!" Ujikatsu berkata dengan kagum.

Mendapat anggukan darinya, Takuan pun berkata, "Yang Dipertuan dari Tajima. Benar sekali!" Sambil menoleh ke pintu, la berseru, "Rahasia sudah terbongkar, Yang Dipertuan Munenori! Silakan menggabungkan diri dengan kami."

Terdengar tawa keras, dan Munenori muncul di pintu. Ia bukannya mengambil tempat dengan nyaman di depan ceruk kamar, melainkan berlutut di depan Musashi dan menyalaminya sebagai orang yang setara dengannya, katanya, "Nama saya Mataemon Munenori. Saya harap Anda ingat pada saya."

"Suatu kehormatan bagi saya dapat bertemu dengan Bapak. Saya ronin dari Mimasaka, Miyamato Musashi nama saya. Saya mohon petunjuk Bapak di masa mendatang."

"Kimura Sukekuro menyebut nama Anda beberapa bulan lalu, tapi waktu itu saya sedang sibuk karena penyakit ayah saya."

"Bagaimana kabarnya Yang Dipertuan Sekishusai?"

"Yah, beliau sudah tua sekali. Tak bisa kita tahu..." Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan dengan sikap ramah penuh kehangatan, "Ayah saya membicarakan Anda dalam sebuah suratnya, dan Takuan beberapa kali saya dengar bicara tentang Anda. Mesti saya katakan, reaksi Anda beberapa menit yang lalu itu mengagumkan. Kalau Anda tidak keberatan, rasanya kita mesti anggap pertarungan yang Anda usulkan itu sudah berlangsung. Saya harap Anda tidak tersinggung bahwa saya melaksanakannya dengan cara tidak lazim."

Yang mengesankan Musashi adalah kecerdasannya dan kematangannya, dan itu sesuai sekali dengan nama baik daimyo itu.

"Saya merasa malu karena Bapak begitu penuh perhatian," jawab Musashi sambil membungkuk rendah sekali. Sikap hormat yang diperlihatkan itu wajar, karena status Yang Dipertuan Munenori demikian jauh di atas status Musashi, sehingga bisa dikatakan beliau berada di dunia lain. Sekalipun perdikan Yang Dipertuan Munenori hanya bernilai lima puluh ribu gantang, tapi keluarganya terkenal sebagai hakim provinsi sejak abad sepuluh. Kebanyakan orang akan merasa janggal mendapati salah seorang guru pribadi shogun berada di ruangan yang sama dengan Musashi, apalagi bercakap-cakap dengannya dalam suasana bersahabat, tidak resmi. Musashi merasa lega, karena baik Ujikatsu yang sarjana dan anggota pengawal panji-panji shogun, maupun Takuan yang asalnya pendeta desa itu, tidak merasakan hambatan karena pangkat Munenori.

Sake hangat didatangkan, mangkuk-mangkuk dipertukarkan, kemudian menyusul percakapan dan tawa. Perbedaan umur dan kelas dilupakan. Musashi tahu, ia diterima dalam lingkungan terpilih bukan karena statusnya. Ia sedang menekuni Jalan, seperti juga mereka. Jalan itulah yang memungkinkan persahabatan itu.

Pada suatu ketika, Takuan meletakkan mangkuknya dan bertanya pada Musashi, "Bagaimana kabar Otsu?"

Dengan wajah sedikit memerah, Musashi menjawab bahwa ia sudah beberapa waktu lamanya tidak melihat atau mendengar tentang Otsu.

"Sama sekali tidak?"

"Sama sekali."

"Malang sekali. Kau tak dapat meninggalkannya dalam kesukaran selamanya. Dan untukmu sendiri pun itu tak baik."

"Yang Anda maksud dengan Otsu itu, apa gadis yang pernah tinggal dengan ayah saya di Koyagyu?" tanya Munenori.

"Ya," jawab Takuan, mewakili Musashi.

"Saya tahu di mana dia berada. Waktu itu dia pergi ke Koyagyu dengan kemenakan saya, Hyogo, untuk membantu merawat ayah saya."

Terpikir oleh Musashi, kehadiran sarjana militer ternama itu, dan Takuan, memungkinkan mereka berbicara tentang strategi atau membahas Zen, sedangkan dengan hadirnya Munenori dan Musashi, pokok pembicaraan dapat berpusat pada pedang.

Sambil mengangguk meminta maaf kepada Musashi, Takuan bercerita pada orang-orang lain tentang Otsu dan hubungannya dengan Musashi. "Cepat atau lambat," demikian kesimpulannya, "harus ada orang yang menyatukan kalian berdua lagi, tapi saya takut itu bukan tugas pendeta. Saya mohon bantuan dari Anda berdua dalam hal ini." Yang dimaksudnya adalah agar Ujikatsu dan Munenori bertindak sebagai wali Musashi.

Mereka agaknya mau menerima peranan itu. Munenori menyatakan bahwa Musashi sudah cukup umur untuk berkeluarga, sedangkan Ujikatsu mengatakan ia sudah mencapai tingkat latihan cukup tinggi.

Munenori menyarankan agar hari-hari itu Otsu dipanggil kembali dari Koyagyu dan dikawinkan dengan Musashi. Kemudian Musashi dapat menetap di Edo. Di situ, bersama dengan rumah Ono Tadaaki dan Yagyu Munenori, rumahnya akan membentuk tiga serangkai pedang dan mengantar orang ke zaman keemasan ilmu pedang di ibu kota baru. Takuan maupun Ujikatsu sependapat.

Khususnya, Yang Dipertuan Ujikatsu, yang ingin sekali membalas kebaikan Musashi pada Shinzo, hendak mengusulkannya sebagai guru shogun, dan ini gagasan yang sudah mereka pertimbangkan bertiga, sebelum mereka menyuruh Shinzo memanggil Musashi. Dan sesudah melihat reaksi Musashi terhadap percobaan mereka, Munenori sendiri pun sekarang bersedia memberikan penjelasan atas rencana itu.

Ada beberapa kesulitan yang mesti diatasi, satu di antaranya adalah bahwa seorang guru dalam rumah tangga shogun juga harus menjadi anggota pengawal kehormatan. Karena banyak dari anggota pengawal kehormatan itu pengikut setia Keluarga Tokugawa semenjak Ieyasu memegang perdikan Mikawa, maka ada keengganan untuk menerima orang-orang baru, dan semua calon diselidiki dengan teliti. Namun demikian, dengan usulan dari Ujikatsu dan Munenori, disertai surat jaminan dari Takuan, diperkirakan Musashi akan lulus.

Soal yang agak sukar adalah keturunannya. Tidak ada catatan tertulis yang dapat membuktikan keturunannya sampai pada Hirata Shogen klan Akamatsu, dan tidak ada pula daftar silsilah yang dapat membuktikan bahwa ia dari keluarga samurai yang baik. Ia sudah pasti tidak ada hubungan keluarga dengan Keluarga Tokugawa. Sebaliknya, terdapat fakta yang tak terbantah bahwa sebagai pemuda hijau umur tujuh belas, ia telah ikut berperang melawan angkatan perang Tokugawa di Sekigahara. Namun terbuka kemungkinan: ronin lain dari bekas klan musuh telah juga menggabungkan diri dengan Keluarga Tokugawa sesudah Pertempuran Sekigahara. Bahkan Ono Tadaaki, seorang ronin dari klan Kitabatake yang sedang bersembunyi di Ise Matsuzaka, punya perjanjian menjadi guru shogun, sekalipun ada hubungan-hubungan yang tak dikehendaki.

Sesudah ketiga orang itu sekali lagi menimbang hal-hal yang positif dan negatif, Takuan berkata, "Baiklah kalau begitu, mari kita usulkan dia. Tapi barangkali kita mesti mengetahui dulu, bagaimana pendapatnya sendiri."

Persoalan itu dikemukakan kepada Musashi, dan Musashi menjawab ringan, "Sungguh baik dan dermawan bahwa Bapak-bapak menyarankan hal ini, tapi saya tak lebih dari seorang pemuda yang belum matang."

"Jangan berpikir seperti itu," kata Takuan dengan nada terus terang. "Yang kami nasihatkan padamu adalah supaya engkau menjadi matang. Mau kau membangun rumahmu sendiri, ataukah ada rencanamu untuk membuat Otsu terus mengembara tanpa batas, seperti yang dilakukannya sekarang?"

Musashi merasa dipojokkan. Otsu memang pernah mengatakan mau menanggung kesulitan apa pun, tapi itu sama sekali tidak mengurangi tanggung jawab Musashi apabila kemalangan menimpa Otsu. Memang biasa seorang perempuan bertindak sesuai dengan perasaannya sendiri, tapi kalau hasilnya tidak menyenangkan, laki-lakilah yang disalahkan.

Bukannya Musashi tak ingin menerima tanggung jawab itu. la ingin sekali menerimanya. Sikap Otsu itu dituntun oleh rasa cintanya, dan beban cinta itu sama beratnya, baik untuk Musashi maupun untuk Otsu. Namun Musashi merasa masih terlalu pagi baginya untuk kawin dan berkeluarga. Jalan Pedang yang panjang dan berat terbentang dl hadapannya, dan keinginannya untuk menempuh jalan itu tidak berkurang.

Bahwa sikapnya terhadap pedang sudah berubah, tidaklah mempermudah persoalan itu. Semenjak pengalaman di Hotengahara, pedang penakluk dan pedang pembunuh baginya sudah merupakan masa lalu, dan tidak lagi ada guna atau artinya.

Menjadi ahli teknik pun tidak membangkitkan seleranya, sekalipun ia akan memberikan pelajaran kepada orang-orang shogun. Akhirnya ia mengerti bahwa Jalan Pedang mesti memiliki tujuan-tujuan khusus: menegakkan ketertiban, melindungi, dan menghaluskan semangat. Jalan itu mesti merupakan jalan yang dapat didambakan orang, sebagaimana orang mendambakan hidupnya sendiri, sampai hari kematiannya. Kalau Jalan semacam itu ada, bukankah Jalan itu dapat dipergunakan untuk mendatangkan perdamaian di dunia dan kebahagiaan bagi semua orang?

Ketika ia menjawab surat Sukekuro dengan tantangan kepada Yang Dipertuan Munenori itu, alasannya bukanlah dorongan dangkal untuk memperoleh kemenangan, yang akan memungkinkannya menantang Sekishusai. Sekarang yang menjadi keinginannya adalah melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Tentu saja bukan dalam skala besar. Perdikan kecil tak berarti cukuplah baginya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang, dalam bayangannya, dapat memajukan prinsip pemerintahan yang baik.

Tapi ia tidak memiliki keyakinan untuk menyatakan gagasan-gagasan ini, karena ia merasa para pemain pedang lain akan menganggap ambisi-ambisi mudanya itu keterlaluan. Atau, kalau mereka menanggapinya dengan sungguh-sungguh, mereka akan merasa terpaksa memperingatkannya: politik itu menjurus pada kehancuran. Masuk dalam pemerintahan, berarti ia menodai pedang yang dicintainya. Dan mereka akan memperingatkannya karena keprihatinan mereka yang tulus terhadap jiwa Musashi.

Ia bahkan percaya bahwa jika ia mengemukakan pikirannya yang terus terang, kedua prajurit dan pendeta itu akan tertawa atau kaget.

Ketika ia sungguh-sungguh berbicara, maka yang keluar adalah protes bahwa ia masih terlalu muda, terlalu mentah, dan latihannya belum mencukupi.. ..

Akhirnya Takuan menukasnya. "Serahkanlah pada kami," katanya.

Yang Dipertuan Ujikatsu menambahkan, "Kami akan berusaha agar hasilnya baik buat Anda."

Maka diputuskanlah soal itu.

Karena setiap kali Shinzo masuk untuk meratakan nyala lampu, maka ia dapat menangkap pokok percakapan orang-orang itu. Diam-diam ia menyatakan kepada ayah dan tamunya, bahwa apa yang didengarnya itu sangat menggembirakan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP