Empat Guru dengan
Satu Lampu
"NAH, kita sudah
sampai," kata Shinzo, ketika mereka sampai di kaki Bukit Akagi.
Dari suara suling
yang terdengar seperti iringan tari suci di tempat suci, dan dari api unggun
yang tampak lewat kayu-kayuan, Musashi mengira sedang berlangsung pesta malam.
Perjalanan ke Ushigome itu makan waktu dua jam.
Di satu sisi terdapat
pekarangan luas Kuil Akagi. Di seberang jalan melandai, berdiri tembok tanah
sebuah kediaman pribadi yang besar, dan sebuah pintu gerbang yang besar sekali
ukurannya. Sampai di pintu gerbang itu, Musashi turun dan menyerahkan kendali
pada Shinzo, sambil mengucapkan terima kasih.
Shinzo menuntun kuda
itu ke dalam, dan menyerahkan kendalinya pada salah seorang samurai yang sedang
menanti di dekat pintu masuk, memegang lentera kertas. Mereka semua maju ke
depan, menyambut kedatangannya, dan mengantarnya lewat pepohonan, ke sebuah
tempat terbuka di depan pendopo yang mengesankan. Di dalam, para pembantu yang
memegang lentera berbaris di kiri-kanan ruang masuk.
Kepala pelayan
menyambut mereka, katanya, "Silakan masuk. Yang Dipertuan sudah menanti
Bapak. Saya tunjukkan jalannya."
"Terima
kasih," jawab Musashi. Ia mengikuti para pelayan itu menaiki sebuah
tangga, kemudian masuk kamar tunggu.
Pola rumah itu lain
dari yang lain. Beberapa tangga berturut-turut membawa orang ke serangkaian
apartemen yang tampak saling menumpuk, mendaki Bukit Akagi. Begitu duduk,
Musashi melihat bahwa ruangan itu ada di atas lereng bukit. Di sebelah
cekungan, di ujung halaman, ia hanya dapat melihat bagian utara parit benteng
dan hutan yang melingkari tebing curam itu. Terpikir olehnya, pemandangan dari
ruangan itu pada siang hari tentunya mengesankan sekali.
Tanpa bunyi, pintu
sebuah jalan keluar yang melengkung, terbuka. Seorang gadis pelayan yang cantik
masuk dengan anggunnya, meletakkan nampan berisi kue-kue, teh, dan tembakau di
depan Musashi. Kemudian ia menyelinap ke luar, tanpa suara, sama dengan sewaktu
ia masuk. Seakanakan kimono dan obi-nya yang beraneka warna itu muncul dan
kemudian mencair kembali ke dalam dinding itu. Sesudah kepergiannya, masih
tercium lamat-lamat semerbak harumnya, dan tiba-tiba Musashi jadi ingat akan
adanya wanita.
Tak lama kemudian,
tuan rumah muncul diiringi seorang samurai muda. Dengan menanggalkan sikap
resmi, katanya, "Baik sekali Anda datang." Dengan gaya prajurit yang
baik, ia pun duduk bersilang kaki di bantalan yang disediakan oleh pembantunya,
dan katanya, "Menurut yang saya dengar, anak saya telah banyak berutang
budi pada Anda. Saya mohon Anda memaafkan saya karena meminta Anda datang
kemari, bukan sebaliknya saya mengunjungi rumah Anda untuk menyatakan terima
kasih saya." Dengan tangan bertumpu ringan pada kipas di pangkuannya, ia
sedikit menyorongkan dahinya yang menonjol.
"Saya merasa
mendapat kehormatan diundang menjumpai Bapak," kata Musashi.
Tidak mudah menaksir
umur Hojo Ujikatsu. Tiga gigi depannya sudah tak ada, tapi kulitnya yang lembut
mengilap memberikan bukti bahwa ia tak hendak menjadi tua. Kumisnya yang hitam
lebat dan hanya terhias beberapa rambut putih itu dibiarkan tumbuh di
kiri-kanan, untuk menyembunyikan kerut-merut akibat tiadanya ketiga gigi itu.
Kesan Musashi yang pertama adalah bahwa orang itu memiliki banyak anak dan baik
sekali hubungannya dengan orang-orang muda.
Merasa bahwa tuan
rumah takkan keberatan, Musashi bicara langsung ke tujuan. "Putra Bapak
mengatakan pada saya bahwa Bapak punya tamu yang mengenal saya. Siapakah orang
itu?"
"Bukan satu,
tapi dua. Anda akan segera melihat mereka."
"Dua
orang?"
"Ya. Mereka
kenal baik satu sama lain, dan mereka berdua sahabat saya. Saya kebetulan
bertemu dengan mereka di benteng hari ini. Mereka pulang bersama saya, dan
ketika Shinzo datang menyambut mereka, mulailah kami mengobrol tentang Anda.
Seorang dari mereka mengatakan sudah lama tidak bertemu dengan Anda, dan ingin
bertemu. Yang lain, yang mengenal Anda hanya dari nama baik Anda, menyatakan
keinginan untuk diperkenalkan."
Sambil tersenyum
lebar, Musashi berkata, "Saya tahu. Yang satu Takuan Soho, kan?"
"Betul,"
seru Yang Dipertuan Ujikatsu sambil menepuk lutut dengan terkej ut.
"Saya tidak
pernah jumpa dengannya sejak pergi ke timur beberapa tahun lalu."
Sebelum Musashi
sempat menduga siapa orang satunya, Yang Dipertuan sudah mengatakan, "Mari
ikut saya," dan keluar dari kamar, menuju gang.
Mereka mendaki tangga
pendek dan berjalan sepanjang gang yang panjang dan gelap. Tirai hujan
terpasang di satu sisi. Tiba-tiba Musashi tak melihat lagi Yang Dipertuan
Ujikatsu. Ia berhenti dan mendengarkan.
Beberapa waktu
kemudian, Ujikatsu memanggil, "Saya di sini!" Suaranya seperti datang
dari kamar terang yang terletak di seberang tempat terbuka di depan gang.
"Saya
tahu," seru Musashi membalas. Tapi Musashi tidak langsung mendekati cahaya
itu, melainkan berdiri saja di tempatnya. Tempat terbuka di depan gang itu
memikat sekali, tapi terasa olehnya ada cahaya yang mengancam di tempat gelap
itu.
"Apa yang Anda
tunggu, Musashi? Kami di sini."
"Sebentar,"
jawab Musashi. Tak ada kemungkinan baginya memberikan jawaban lain, tapi indra
keenamnya mengingatkannya untuk waspada. Dengan diam-diam la berbalik, dan
berjalan kembali sekitar sepuluh langkah, menuju pintu kecil yang menuju
halaman. Ia pakai sandal di situ, dan kemudian berjalan mengitari halaman,
menuju beranda kamar Yang Dipertuan Ujikatsu.
"Oh, Anda lewat
sana, ya?" kata Yang Dipertuan, sambil menoleh dari ujung lain ruangan
itu. Suaranya menunjukkan kekecewaan.
"Takuan!"
seru Musashi ketika ia masuk kamar, disertai senyuman cerah pada wajahnya.
Pendeta yang duduk di depan ceruk kamar itu berdiri menyambutnya. Bertemu
kembali, dan di bawah atap Yang Dipertuan Ujikatsu pula, rasanya hampir
terlampau kebetulan. Susah bagi Musashi meyakinkan dirinya bahwa peristiwa itu
benar-benar terjadi.
"Nah, kita mesti
saling berkabar dulu," kata Takuan. "Boleh aku memulai?" Takuan
mengenakan jubah polos yang selalu dikenakannya. Tak ada tambahan apa pun,
bahkan tasbih pun tidak. Namun ia kelihatan lebih matang daripada sebelumnya.
Bicaranya lebih lunak. Sebagaimana pembawaan kasar Musashi telah hanyut akibat
usaha kerasnya mendisiplinkan diri, demikian pula Takuan rupanya telah dapat
menghaluskan sifat-sifat yang kasar dan telah lebih banyak diberkati
kebijaksanaan Zen. Memang ia bukan lagi seorang pemuda. Sebelas tahun lebih tua
dari Musashi, umurnya sekarang mendekati empat puluh.
"Coba kita
ingat-ingat, oh, di Kyoto waktu itu, ya? Ya, ya, aku ingat. Waktu itu tak lama
sesudah aku kembali ke Tajima. Sesudah meninggalkan ibuku, kuhabiskan waktu
setahun untuk berkabung. Kemudian aku mengadakan perjalanan sebentar, beberapa
waktu tinggal di Kuil Nansoji di Izumi, kemudian di Kuil Daitokuji. Belakangan
aku sering bertemu dengan Yang Dipertuan Karasumaru—mengarang sajak dengannya,
mengadakan upacara-upacara teh, dan mencoba membuang urusan dunia ini. Tanpa
kusadari, sudah tiga tahun waktu kuhabiskan di Kyoto. Baru-baru ini aku
bersahabat dengan Yang Dipertuan Koide dari Benteng Kishiwada, dan bersama
beliau datang kemari melihat Edo."
"Kalau demikian,
Anda belum lama di sini?"
"Ya, sekalipun
sudah dua kali aku bertemu dengan Hidetada di Kuil Daitokuji, dan banyak kali
aku diundang menghadap Ieyasu, tapi inilah pertama kalinya aku mengadakan
perjalanan ke Edo. Dan bagaimana denganmu?"
"Saya di sini
sejak awal musim panas."
"Rupanya kau
sudah mendapat nama juga di bagian negeri ini."
Musashi tidak mencoba
membela diri. Ia menundukkan kepala, katanya, "Saya kira Anda sudah
mendengar sendiri tentang itu."
Takuan menatapnya
beberapa saat, agaknya sedang membandingkan dengan Takezo yang lama.
"Kenapa pula mesti resah? Aneh rasanya, kalau orang seumurmu memiliki nama
terlalu baik. Selama kau tidak melakukan sesuatu yang sifatnya tidak setia,
tercela, atau memberontak, apa pula urusannya? Aku lebih berminat mendengarkan
latihanmu."
Musashi menyampaikan
uraian pendek tentang pengalamannya belum lama ini, dan mengakhirinya,
"Saya takut masih belum matang, kurang bijaksana... jauh dari pencerahan.
Semakin banyak saya mengadakan perjalanan, semakin panjang jalan itu. Saya
merasa sedang mendaki jalan gunung yang tak ada ujungnya."
"Memang demikian
mestinya," kata Takuan, yang jelas merasa senang akan kejujuran dan sikap
rendah hati pemuda itu. "Kalau orang yang umurnya di bawah tiga puluh
tahun menyatakan sudah mengetahui sedikit saja mengenai Jalan, itu suatu tanda
yang jelas bahwa pertumbuhannya sudah berhenti. Aku sendiri masih bergidik
malu, kalau ada orang menyatakan bahwa pendeta kasar macam diriku ini tahu
makna pokok Zen. Sungguh membingungkan, kalau orang selalu minta aku
menguraikan pada mereka tentang Hukum Budha, atau menjelaskan ajaran-ajaran
yang benar itu. Orang banyak itu mencoba memandang seorang pendeta seperti
memandang Budha yang hidup. Bersyukurlah bahwa orang lain tidak terlalu tinggi
memandangmu, dan bahwa engkau tak perlu memperhatikan penampilan."
Sementara kedua orang
itu gembira memperbaharui persahabatan mereka, para pelayan membawakan makanan
dan minuman. Kemudian Takuan berkata, "Maafkan saya, Yang Dipertuan, saya
kuatir ada yang kita lupakan. Bagaimana kalau tamu Anda yang lain dibawa
masuk?"
Musashi merasa pasti
sekarang, bahwa ia tahu siapa orang keempat itu, tapi ia memilih diam.
Dengan sikap agak
ragu-ragu, kata Ujikatsu, "Boleh saya panggil?" Kemudian kepada
Musashi, "Saya mesti mengakui, Anda sudah dapat menebak permainan kecil
kami. Sebagai yang merencanakannya, saya merasa agak malu."
Takuan tertawa.
"Bagus! Saya senang melihat Bapak mau mengakui kekalahan. Kenapa tidak?
Bagaimanapun, ini cuma permainan untuk menghibur hati semua orang, kan? Pasti
tak bisa menjadi alasan bagi guru Gaya Hojo untuk kehilangan muka."
"Yah, tak sangsi
lagi saya kalah," gerutu Ujikatsu dengan suara masih mengandung
keengganan. "Kenyataannya, biarpun saya sudah mendengar orang macam apa
Anda ini, saya belum tahu sampai seberapa jauh Anda terlatih dan terdisiplin.
Maka saya putuskan untuk menyaksikannya sendiri, dan tamu saya yang lain itu
setuju untuk bekerja sama. Ketika Anda berhenti di gang tadi itu, dia menanti
untuk menyergap, siap menarik pedang." Yang Dipertuan rupanya menyesal
telah menguji Musashi. "Tapi Anda sadar sedang dijebak untuk memasuki
perangkap, lalu menyeberang halaman." Sambil menatap Musashi, tanyanya,
"Boleh saya bertanya, kenapa Anda berbuat demikian?"
Musashi hanya
menyeringai.
Takuan angkat bicara.
"Itulah beda antara seorang ahli strategi dan pemain pedang."
"Betul
begitu?"
"Soalnya cuma
tanggapan naluriah, yaitu tanggapan naluriah seorang sarjana militer yang
mendasarkan diri pada prinsip-prinsip intelektual, melawan tanggapan orang yang
mengikuti Jalan Pedang, yang mendasarkan diri pada hatinya. Menurut jalan
pikiran Anda, kalau Anda mengantar Musashi, dia akan mengikuti. Namun, walau
tak dapat melihat dengan nyata atau menjamah sesuatu yang pasti, Musashi merasa
ada bahaya, dan dia bergerak melindungi diri. Reaksinya itu spontan,
naluriah."
"Naluriah?"
"Seperti wahyu
Zen."
"Apakah Anda
suka merasakan pertanda macam itu?"
"Rasanya
tidak."
"Tapi setidaknya
saya mendapat pelajaran. Pada waktu merasa ada bahaya, seorang samurai lalu
kehilangan akal, atau barangkali justru menggunakan perangkap itu sebagai
alasan untuk memamerkan kehebatannya dengan pedang. Ketika tadi saya melihat
Musashi kembali, mengenakan sandal dan melintas halaman, saya terkesan
sekali."
Musashi terus diam.
Wajahnya tidak mengungkapkan rasa senang mendengarkan kata-kata pujian dari Yang
Dipertuan Ujikatsu itu. Pikirannya tertuju kepada orang yang berdiri dalam
gelap di luar, yang kandas karena sang korban tidak masuk perangkap.
Kepada tuan rumah, ia
berkata, "Boleh saya mohon agar Yang Dipertuan dari Tajima mengambil
tempat duduk di antara kita sekarang?"
"Oh, apa pula
itu?" Ujikatsu kagum, juga Takuan. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
Sambil mundur
memberikan tempat kehormatan bagi Yagyu Munenori, Musashi berkata,
"Walaupun gelap, saya dapat merasakan kehadiran pemain pedang yang tak ada
taranya. Menimbang wajah-wajah lain yang hadir di sini, rasanya saya bisa
menebak siapa orang satunya itu."
"Sekali lagi
Anda berhasil!" Ujikatsu berkata dengan kagum.
Mendapat anggukan
darinya, Takuan pun berkata, "Yang Dipertuan dari Tajima. Benar
sekali!" Sambil menoleh ke pintu, la berseru, "Rahasia sudah
terbongkar, Yang Dipertuan Munenori! Silakan menggabungkan diri dengan
kami."
Terdengar tawa keras,
dan Munenori muncul di pintu. Ia bukannya mengambil tempat dengan nyaman di
depan ceruk kamar, melainkan berlutut di depan Musashi dan menyalaminya sebagai
orang yang setara dengannya, katanya, "Nama saya Mataemon Munenori. Saya
harap Anda ingat pada saya."
"Suatu kehormatan
bagi saya dapat bertemu dengan Bapak. Saya ronin dari Mimasaka, Miyamato
Musashi nama saya. Saya mohon petunjuk Bapak di masa mendatang."
"Kimura Sukekuro
menyebut nama Anda beberapa bulan lalu, tapi waktu itu saya sedang sibuk karena
penyakit ayah saya."
"Bagaimana
kabarnya Yang Dipertuan Sekishusai?"
"Yah, beliau
sudah tua sekali. Tak bisa kita tahu..." Ia berhenti sebentar, kemudian
melanjutkan dengan sikap ramah penuh kehangatan, "Ayah saya membicarakan
Anda dalam sebuah suratnya, dan Takuan beberapa kali saya dengar bicara tentang
Anda. Mesti saya katakan, reaksi Anda beberapa menit yang lalu itu mengagumkan.
Kalau Anda tidak keberatan, rasanya kita mesti anggap pertarungan yang Anda
usulkan itu sudah berlangsung. Saya harap Anda tidak tersinggung bahwa saya
melaksanakannya dengan cara tidak lazim."
Yang mengesankan
Musashi adalah kecerdasannya dan kematangannya, dan itu sesuai sekali dengan
nama baik daimyo itu.
"Saya merasa
malu karena Bapak begitu penuh perhatian," jawab Musashi sambil membungkuk
rendah sekali. Sikap hormat yang diperlihatkan itu wajar, karena status Yang
Dipertuan Munenori demikian jauh di atas status Musashi, sehingga bisa
dikatakan beliau berada di dunia lain. Sekalipun perdikan Yang Dipertuan
Munenori hanya bernilai lima puluh ribu gantang, tapi keluarganya terkenal
sebagai hakim provinsi sejak abad sepuluh. Kebanyakan orang akan merasa janggal
mendapati salah seorang guru pribadi shogun berada di ruangan yang sama dengan
Musashi, apalagi bercakap-cakap dengannya dalam suasana bersahabat, tidak
resmi. Musashi merasa lega, karena baik Ujikatsu yang sarjana dan anggota
pengawal panji-panji shogun, maupun Takuan yang asalnya pendeta desa itu, tidak
merasakan hambatan karena pangkat Munenori.
Sake hangat
didatangkan, mangkuk-mangkuk dipertukarkan, kemudian menyusul percakapan dan
tawa. Perbedaan umur dan kelas dilupakan. Musashi tahu, ia diterima dalam
lingkungan terpilih bukan karena statusnya. Ia sedang menekuni Jalan, seperti
juga mereka. Jalan itulah yang memungkinkan persahabatan itu.
Pada suatu ketika,
Takuan meletakkan mangkuknya dan bertanya pada Musashi, "Bagaimana kabar
Otsu?"
Dengan wajah sedikit
memerah, Musashi menjawab bahwa ia sudah beberapa waktu lamanya tidak melihat
atau mendengar tentang Otsu.
"Sama sekali
tidak?"
"Sama
sekali."
"Malang sekali.
Kau tak dapat meninggalkannya dalam kesukaran selamanya. Dan untukmu sendiri
pun itu tak baik."
"Yang Anda
maksud dengan Otsu itu, apa gadis yang pernah tinggal dengan ayah saya di
Koyagyu?" tanya Munenori.
"Ya," jawab
Takuan, mewakili Musashi.
"Saya tahu di
mana dia berada. Waktu itu dia pergi ke Koyagyu dengan kemenakan saya, Hyogo,
untuk membantu merawat ayah saya."
Terpikir oleh
Musashi, kehadiran sarjana militer ternama itu, dan Takuan, memungkinkan mereka
berbicara tentang strategi atau membahas Zen, sedangkan dengan hadirnya
Munenori dan Musashi, pokok pembicaraan dapat berpusat pada pedang.
Sambil mengangguk
meminta maaf kepada Musashi, Takuan bercerita pada orang-orang lain tentang
Otsu dan hubungannya dengan Musashi. "Cepat atau lambat," demikian
kesimpulannya, "harus ada orang yang menyatukan kalian berdua lagi, tapi
saya takut itu bukan tugas pendeta. Saya mohon bantuan dari Anda berdua dalam
hal ini." Yang dimaksudnya adalah agar Ujikatsu dan Munenori bertindak
sebagai wali Musashi.
Mereka agaknya mau
menerima peranan itu. Munenori menyatakan bahwa Musashi sudah cukup umur untuk
berkeluarga, sedangkan Ujikatsu mengatakan ia sudah mencapai tingkat latihan
cukup tinggi.
Munenori menyarankan
agar hari-hari itu Otsu dipanggil kembali dari Koyagyu dan dikawinkan dengan
Musashi. Kemudian Musashi dapat menetap di Edo. Di situ, bersama dengan rumah
Ono Tadaaki dan Yagyu Munenori, rumahnya akan membentuk tiga serangkai pedang
dan mengantar orang ke zaman keemasan ilmu pedang di ibu kota baru. Takuan
maupun Ujikatsu sependapat.
Khususnya, Yang
Dipertuan Ujikatsu, yang ingin sekali membalas kebaikan Musashi pada Shinzo,
hendak mengusulkannya sebagai guru shogun, dan ini gagasan yang sudah mereka
pertimbangkan bertiga, sebelum mereka menyuruh Shinzo memanggil Musashi. Dan
sesudah melihat reaksi Musashi terhadap percobaan mereka, Munenori sendiri pun
sekarang bersedia memberikan penjelasan atas rencana itu.
Ada beberapa
kesulitan yang mesti diatasi, satu di antaranya adalah bahwa seorang guru dalam
rumah tangga shogun juga harus menjadi anggota pengawal kehormatan. Karena
banyak dari anggota pengawal kehormatan itu pengikut setia Keluarga Tokugawa
semenjak Ieyasu memegang perdikan Mikawa, maka ada keengganan untuk menerima
orang-orang baru, dan semua calon diselidiki dengan teliti. Namun demikian,
dengan usulan dari Ujikatsu dan Munenori, disertai surat jaminan dari Takuan,
diperkirakan Musashi akan lulus.
Soal yang agak sukar
adalah keturunannya. Tidak ada catatan tertulis yang dapat membuktikan
keturunannya sampai pada Hirata Shogen klan Akamatsu, dan tidak ada pula daftar
silsilah yang dapat membuktikan bahwa ia dari keluarga samurai yang baik. Ia
sudah pasti tidak ada hubungan keluarga dengan Keluarga Tokugawa. Sebaliknya,
terdapat fakta yang tak terbantah bahwa sebagai pemuda hijau umur tujuh belas,
ia telah ikut berperang melawan angkatan perang Tokugawa di Sekigahara. Namun
terbuka kemungkinan: ronin lain dari bekas klan musuh telah juga menggabungkan diri
dengan Keluarga Tokugawa sesudah Pertempuran Sekigahara. Bahkan Ono Tadaaki,
seorang ronin dari klan Kitabatake yang sedang bersembunyi di Ise Matsuzaka,
punya perjanjian menjadi guru shogun, sekalipun ada hubungan-hubungan yang tak
dikehendaki.
Sesudah ketiga orang
itu sekali lagi menimbang hal-hal yang positif dan negatif, Takuan berkata,
"Baiklah kalau begitu, mari kita usulkan dia. Tapi barangkali kita mesti
mengetahui dulu, bagaimana pendapatnya sendiri."
Persoalan itu
dikemukakan kepada Musashi, dan Musashi menjawab ringan, "Sungguh baik dan
dermawan bahwa Bapak-bapak menyarankan hal ini, tapi saya tak lebih dari
seorang pemuda yang belum matang."
"Jangan berpikir
seperti itu," kata Takuan dengan nada terus terang. "Yang kami
nasihatkan padamu adalah supaya engkau menjadi matang. Mau kau membangun
rumahmu sendiri, ataukah ada rencanamu untuk membuat Otsu terus mengembara
tanpa batas, seperti yang dilakukannya sekarang?"
Musashi merasa
dipojokkan. Otsu memang pernah mengatakan mau menanggung kesulitan apa pun,
tapi itu sama sekali tidak mengurangi tanggung jawab Musashi apabila kemalangan
menimpa Otsu. Memang biasa seorang perempuan bertindak sesuai dengan
perasaannya sendiri, tapi kalau hasilnya tidak menyenangkan, laki-lakilah yang
disalahkan.
Bukannya Musashi tak
ingin menerima tanggung jawab itu. la ingin sekali menerimanya. Sikap Otsu itu
dituntun oleh rasa cintanya, dan beban cinta itu sama beratnya, baik untuk
Musashi maupun untuk Otsu. Namun Musashi merasa masih terlalu pagi baginya untuk
kawin dan berkeluarga. Jalan Pedang yang panjang dan berat terbentang dl
hadapannya, dan keinginannya untuk menempuh jalan itu tidak berkurang.
Bahwa sikapnya
terhadap pedang sudah berubah, tidaklah mempermudah persoalan itu. Semenjak
pengalaman di Hotengahara, pedang penakluk dan pedang pembunuh baginya sudah
merupakan masa lalu, dan tidak lagi ada guna atau artinya.
Menjadi ahli teknik
pun tidak membangkitkan seleranya, sekalipun ia akan memberikan pelajaran
kepada orang-orang shogun. Akhirnya ia mengerti bahwa Jalan Pedang mesti
memiliki tujuan-tujuan khusus: menegakkan ketertiban, melindungi, dan
menghaluskan semangat. Jalan itu mesti merupakan jalan yang dapat didambakan
orang, sebagaimana orang mendambakan hidupnya sendiri, sampai hari kematiannya.
Kalau Jalan semacam itu ada, bukankah Jalan itu dapat dipergunakan untuk
mendatangkan perdamaian di dunia dan kebahagiaan bagi semua orang?
Ketika ia menjawab
surat Sukekuro dengan tantangan kepada Yang Dipertuan Munenori itu, alasannya
bukanlah dorongan dangkal untuk memperoleh kemenangan, yang akan
memungkinkannya menantang Sekishusai. Sekarang yang menjadi keinginannya adalah
melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Tentu saja bukan dalam skala besar.
Perdikan kecil tak berarti cukuplah baginya untuk melakukan kegiatan-kegiatan
yang, dalam bayangannya, dapat memajukan prinsip pemerintahan yang baik.
Tapi ia tidak
memiliki keyakinan untuk menyatakan gagasan-gagasan ini, karena ia merasa para
pemain pedang lain akan menganggap ambisi-ambisi mudanya itu keterlaluan. Atau,
kalau mereka menanggapinya dengan sungguh-sungguh, mereka akan merasa terpaksa
memperingatkannya: politik itu menjurus pada kehancuran. Masuk dalam
pemerintahan, berarti ia menodai pedang yang dicintainya. Dan mereka akan
memperingatkannya karena keprihatinan mereka yang tulus terhadap jiwa Musashi.
Ia bahkan percaya
bahwa jika ia mengemukakan pikirannya yang terus terang, kedua prajurit dan
pendeta itu akan tertawa atau kaget.
Ketika ia
sungguh-sungguh berbicara, maka yang keluar adalah protes bahwa ia masih
terlalu muda, terlalu mentah, dan latihannya belum mencukupi.. ..
Akhirnya Takuan
menukasnya. "Serahkanlah pada kami," katanya.
Yang Dipertuan
Ujikatsu menambahkan, "Kami akan berusaha agar hasilnya baik buat
Anda."
Maka diputuskanlah
soal itu.
Karena setiap kali
Shinzo masuk untuk meratakan nyala lampu, maka ia dapat menangkap pokok
percakapan orang-orang itu. Diam-diam ia menyatakan kepada ayah dan tamunya,
bahwa apa yang didengarnya itu sangat menggembirakan.
0 komentar:
Posting Komentar