Rabu, 12 Juli 2017



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg
Terlalu Banyak Kojiro



 


DI warung minum kecil di luar kota itu, bau kayu terbakar dan makanan yang sedang direbus memenuhi udara. Warung itu cuma gubuk tak berlantai. Ada papan pengganti meja dan beberapa bangku di sana-sini. Di luar, cahaya terakhir matahari terbenam membuat seolah ada bangunan di kejauhan yang sedang terbakar. Burung-burung gagak yang mengelilingi pagoda Toji tampak seperti abu hitam yang membubung dari nyala kebakaran.

Tiga atau empat pemilik warung dan seorang biarawan pengembara duduk di meja darurat tadi, sedangkan di sebuah sudut ada beberapa pekerja berjudi dengan taruhan minuman. Gasing yang mereka putar adalah mata uang tembaga yang lubangnya ditusuk dengan sepotong kayu.

"Yoshioka Seijuro betul-betul kesulitan sekarang ini!" kata salah seorang pemilik warung. "Dan aku senang sekali melihatnya. Mari kita minum!"

"Aku ikut minum," kata yang lain.

"Sake lagi!" kata yang lain lagi pada pemilik warung.

Para pengunjung warung itu minum dengan cepat dan terus-menerus. Lama-kelamaan hanya cahaya temaram yang menerangi tirai warung. Seorang di antaranya melenguh, "Tak kelihatan lagi, mangkuk ini sampai hidung atau mulut? Terlalu gelap di sini. Bagaimana kalau pasang lampu?"

"Tunggu sebentar. Akan kupasang," kata pemilik dengan letih.

Dari tungku tanah yang terbuka segera menjulang nyala api. Makin gelap di luar, makin merah sinar api itu.

"Bikin gila tiap kali memikirkannya," kata orang pertama tadi. "Berapa banyak uang diutang orang-orang itu buat ikan dan arang! Jatuhnya besar juga. Lihat saja besarnya perguruan itu! Aku sudah bersumpah akan mendapatkan kembali uang itu pada akhir tahun, tapi apa yang terjadi waktu aku sampai di sana? Tukang-tukang gertak Yoshioka menghadang di pintu masuk, menggertak dan mengancam semua orang. Berani betul mereka itu mengusir penarik rekening, pemilik-pemilik warung yang jujur, yang ber­tahun-tahun memberinya kredit!"

"Tak ada gunanya menangisi sekarang. Yang sudah terjadi sudahlah. Dan lagi, sesudah pertarungan di Rendaiji itu, merekalah sekarang yang lebih punya alasan menangis, bukan kita."

"Ah, aku tak marah lagi sekarang. Mereka sudah mendapatkan ganjarannya."

"Coba bayangkan, Seijuro ditundukkan hampir tanpa pertarungan!"

"Apa kau melihat sendiri?"

"Tidak, tapi aku dengar dari orang yang lihat. Musashi bikin lumpuh dia hanya dengan satu pukulan. Dan dengan pedang kayu pula! Cacat seumur hidup dia sekarang."

"Bagaimana jadinya perguruan itu?"

"Kelihatannya kurang baik juga. Semua murid sekarang menuntut darah Musashi. Kalau mereka tidak membunuh Musashi, mereka bisa kehilangan muka sama sekali. Nama Yoshioka terpaksa runtuh. Musashi begitu kuat. Tiap orang merasa satu-satunya yang akan dapat mengalahkan dia hanya Denshichiro. Mereka sedang mencarinya sekarang."

"Aku tidak tahu Seijuro punya adik."

"Memang hampir tak ada yang tahu, tapi dia pemain pedang yang lebih baik, menurut yang kudengar. Dialah berandal keluarga itu. Dia tak pernah memperlihat-kan muka di perguruan itu, kecuali kalau butuh uang. Buang waktu dengan makan dan minum dan memanfaatkan namanya sendiri. Hidup dari orang-orang yang menghormati ayahnya."

"Bukan main pasangan itu. Bagaimana orang terkemuka macam Yoshioka Kempo bisa memperanakkan orang-orang macam itu?"

"Itu berarti darah bukan segala-galanya!"

Seorang ronin teronggok setengah sadar di dekat tungku. Sudah beberapa waktu lamanya ia di situ, dan pemilik warung membiarkannya saja, tapi sekarang dibangunkannya. "Pak, tolong mundur sedikit," katanya sambil menambahkan ranting-ranting kayu api. "Api ini bisa membakar kimono Bapak."

Mata Matahachi yang sudah merah oleh sake itu terbuka pelan-pelan. "Mm, mm, aku tahu, aku tahu. Biarkan aku sendiri."

Warung sake ini bukan satu-satunya tempat Matahachi mendengar tentang pertarungan di Rendaiji itu. Peristiwa tersebut dibicarakan setiap orang, dan semakin terkenal Musashi, semakin murung temannya yang bertingkah itu.

"Hei, kasih lagi," panggilnya. "Tak usah dipanaskan, tuangkan saja ke mangkukku."

"Bapak tak apa-apa, ya? Wajah Bapak pucat sekali."

"Apa urusanmu? Ini mukaku sendiri, kan?"

Ia menyandarkan diri ke dinding lagi dan menyilangkan tangan di dada. "Sebentar lagi akan kutunjukkan pada mereka," pikirnya. "Keahlian main pedang bukan satu-satunya jalan menuju sukses. Dengan menjadi kaya, atau memiliki gelar, atau menjadi bajingan, sama saja, asal sampai di puncak. Musashi dan aku sama-sama berumur dua puluh tiga. Orang yang punya nama pada umur itu tak banyak yang jauh jalannya. Umur tiga puluh tahun mereka sudah tua dan sempoyongan—‘si  anak pandai yang menua."

Kabar pertarungan di Rendaiji itu telah menyebar di Osaka, dan mendorong Matahachi datang ke Kyoto. Sekalipun belum punya tujuan jelas, kemenangan Musashi itu berat menekan jiwanya, hingga ia mesti melihat sendiri bagaimana keadaannya. "Dia sedang menanjak sekarang," pikir Matahachi benci, "tapi pasti dia akan jatuh." Banyak orang yang cakap di perguruan Yoshioka itu—Sepuluh Pemain Pedang, Denshichiro, dan banyak lagi yang lain..." Hampir-hampir ia tak dapat menanti, kapan Musashi akan menerima pembalasan. Sementara itu nasibnya sendiri pasti sudah berubah.

"Oh, haus!" katanya keras. Dengan menopang, menggeser, dan punggung bersandar pada dinding, ia berhasil berdiri. Semua mata memperhatikan ketika ia membungkuk ke tong air di sudut ruangan dan mencelupkan kepalanya, lalu menenggak beberapa tegukan besar dengan ciduk. Ciduk dilemparkannya ke samping, digesernya tirai warung, dan keluarlah ia tertatih-tatih.

Setelah menganga keheranan, pemilik warung segera tersadar dan lari mengejar tubuh yang berjalan gontai itu. "Pak, Bapak belum bayar!" panggilnya.

"Apa?" kata Matahachi tak jelas.

"Saya pikir ada yang Bapak lupakan."

"Aku tidak lupa apa-apa."

"Maksud saya, uang sake itu. Ha, ha!"

"Begitu, ya?"

"Maaf sudah mengganggu."

"Aku tak punya uang."

"Tak punya uang?"

"Ya, tak punya sama sekali. Aku punya sampai beberapa hari yang lalu, tapi..."

"Oh, lalu kenapa Bapak duduk minum-minum di sana...! Bapak... Bapak... „

"Diam kamu!" Matahachi meraba-raba dalam kimononya, kemudian mengeluarkan kotak obat samurai yang sudah mati itu dan melemparkannya kepada orang itu. "Jangan banyak ribut! Aku samurai dengan dua pedang. Kamu lihat sendiri, kan? Aku belum bangkrut dan tidak akan ngeluyur tanpa bayar. Barang itu lebih mahal daripada sake yang kuminum. Boleh kembaliannya kamu simpan!"

Kotak obat tepat mengenai muka orang itu. Ia memekik kesakitan dan menutup mukanya dengan tangan. Para pembeli lain yang melongokkan kepala lewat celah tirai warung berteriak marah. Seperti kebanyakan orang mabuk, mereka marah melihat pemabuk lain ingkar membayar.

"Bajingan!"

"Penipu busuk!"

"Mari kita hajar dia!"

Mereka berlari mengepung Matahachi.

"Bajingan! Bayar! Tidak bisa kamu pergi begitu saja!"

"Brengsek! Kamu rupanya biasa begitu terus, ya? Kalau kamu tak bisa bayar, kami gantung kamu!"    

Matahachi menjamah pedangnya untuk menakut-nakuti mereka. "Kalian pikir kalian bisa?" gertaknya. "Akan menarik sekali ini. Boleh coba! Apa kalian sudah tahu, siapa aku?"

"Kami tahu macam apa kamu itu—ronin kotor dari tumpukan sampah, yang harga dirinya lebih rendah dari pengemis, tingkahnya lebih dari pencuri:"

"Jadi, kalian belum tahu!" teriak Matahachi memandang tajam dan mengerutkan kening dengan ganas. "Bicara kalian akan lain kalau kalian tahu namaku."

"Namamu? Apa istimewanya nama itu?"

"Aku Sasaki Kojiro, murid seangkatan Ito Ittosai, pemain pedang Gaya Chujo. Kalian pasti sudah mendengar tentangku!"   

"Jangan bikin aku ketawa! Tak perlu itu nama-nama khayal, bayar saja."

Satu orang mengulurkan tangan untuk mencekal Matahachi, tapi Matahachi berteriak, "Kalau kotak obat itu tak cukup, akan kuberi kamu sedikit pedangku buat tambahan!" Ia cepat menarik senjatanya, menebas tangan orang itu sampai putus.

Melihat bahwa ternyata mereka tadi terlalu menyepelekan musuh, yang lain beraksi seolah darah mereka sendiri yang sudah tercurah. Mereka pun melarikan diri ke dalam kegelapan.

Dengan wajah penuh kemenangan Matahachi menantang. "Kembali kalian, kutu-kutu! Akan kutunjukkan pada kalian cara Kojiro menggunakan pedang kalau sedang serius. Sinilah, akan kupotong kepala kalian."

Ia memandang ke langit dan tertawa terpingkal-pingkal, giginya yang putih berkilau di tengah kegelapan, girang atas suksesnya. Kemudian tiba-tiba sikapnya berubah. Wajahnya berselimut kesedihan. Ia seperti mencucurkan air mata. Dengan kaku ia entakkan pedangnya kembali masuk ke sarungnya dan pergilah ia dengan gontai.    

Kotak obat di tanah itu berkelip-kelip di bawah sinar bintang. Kotak itu terbuat dari kayu cendana dengan tatahan kulit kerang; kelihatannya tidak terlalu berharga, tetapi kilat kulit kerang mutiara yang biru itu menyinarkan keindahan lembut, seperti sekelompok kecil kunang-kunang.

Ketika keluar dari gubuk, si biarawan pengembara melihat kotak obat itu dan memungutnya. Ia berjalan terus, tapi kemudian kembali dan berdiri di bawah ujung atap warung. Dalam cahaya redup yang keluar dari celah dinding ia amat-amati pola dan tali kotak itu dengan saksama. "Hmmm,° pikirnya. "Ini pasti milik guru itu. Dia tentu sedang membawanya ketika terbunuh di Kuil Fushimi. Ya, ini namanya, Tenki, tertulis di dasarnya."

Biarawan itu segera mengejar Matahachi. "Sasaki!" panggilnya. "Sasaki Kojiro!"

Matahachi mendengar nama itu, tapi dalam keadaan bingung ia tak mampu menghubungkannya dengan dirinya. Ia terhuyung terus dari Jalan Kujo ke Jalan Horikawa.

Biarawan itu berhasil mengejarnya dan memegang ujung sarung pedangnya. "Tunggu, Kojiro," katanya. "Tunggu sebentar."

"Hah?" kata Matahachi tersentak, "Maksudmu aku?"

"Anda Sasaki Kojiro, kan?" Sinar tajam menyala dalam mata biarawan itu. Matahachi sedikit sadar sekarang.

"Ya, aku Kojiro. Apa urusannya itu denganmu?"

"Saya mau mengajukan satu pertanyaan."

"Nah, pertanyaan apa itu?"

"Di mana Anda mendapat kotak obat ini?"

"Kotak obat?" tanya Matahachi kosong.

"Ya. Di mana Anda mendapatkannya? Itu yang ingin saya ketahui. Bagaimana kotak ini bisa menjadi milik Anda?" Biarawan itu berbicara agak resmi. Ia masih muda, barangkali baru sekitar dua puluh enam tahun, dan tampaknya bukan biarawan pengemis yang tak bersemangat, yang mengembara dari kuil ke kuil dan hidup dari derma. Sebelah tangannya memegang tongkat kayu ek bulat, lebih dari enam kaki panjangnya.

"Tapi siapa kamu ini?" tanya Matahachi, wajahnya mulai tampak prihatin.

"Itu tak penting. Kenapa tidak Anda nyatakan saja dari mana ini datangnya?"

"Tidak dari mana-mana. Selamanya itu milikku."

"Anda bohong! Katakan yang sebenarnya!"

"Sudah kukatakan yang sebenarnya."

"Anda menolak mengakuinya?"

"Mengakui apa?" tanya Matahachi tak bersalah.

"Kau bukan Kojiro!" Seketika tongkat di tangan biarawan itu membelah udara.

Naluri Matahachi mendorongnya bergerak mundur, tapi ia masih terlampau pening untuk cepat beraksi. Tongkat mengenai sasaran, dan melolong kesakitan ia sempoyongan ke belakang lima belas atau dua puluh kaki jauhnya, dan jatuh telentang. Begitu bangkit lagi, ia langsung lari.

Si biarawan mengejarnya, dan beberapa langkah kemudian melontarkan lagi tongkat ek itu. Matahachi mendengar tongkat itu terbang ke arahnya. Ia meren-dahkan kepala. Peluru terbang itu melayang lewat telinganya. Karena ketakutan, ia melipatgandakan kecepatannya.

Si biarawan meraih senjata yang terjatuh itu, mengambilnya, dan sesudah membidik baik-baik, melontarkannya lagi, tapi sekali lagi Matahachi merunduk.

Sesudah berlari dengan kecepatan tinggi lebih dari satu setengah kilometer, Matahachi melewati Jalan Rokujo dan mendekati Jalan Gojo. Akhirnya ia lepas dari kejaran dan berhenti. Terengah-engah ia mengetuk-ngetuk dadanya. "Tongkat itu... senjata mengerikan! Orang mesti berhati-hati sekarang ini."

Sudah tenang benar tapi haus bukan main, ia mencari sumur. Ia temukan sumur itu di ujung sebuah jalan sempit. Ia angkat satu timba dan ia reguk air sepuas-puasnya, kemudian ia taruh ember di tanah dan berkecipaklah ia membasahi wajahnya dan berkeringat.

"Siapa pula orang itu?" pikirnya, "Dan apa maunya?" Tapi begitu merasa normal kembali, datanglah kembali rasa murung itu. Di ruang matanya tampaklah wajah mayat tak berdagu yang kelihatan menderita sekali di Fushimi.

Hati nuraninya terasa sakit, karena ia menggunakan uang orang mati itu. Bukan untuk pertama kalinya ia bermaksud menebus perbuatan keliru itu. "Kalau aku punya uang," sumpahnya, "yang pertama akan kulakukan adalah membayar kembali utangku. Barangkali nanti setelah aku sukses akan kudirikan batu peringatan untuknya."

Cuma sertifikat itu yang tinggal. Barangkali aku mesti melepaskannya. Kalau nanti orang yang tidak tepat tahu aku yang memilikinya, bisa timbul kesulitan." Ia meraba ke dalam kimononya dan menyentuh gulungan yang selama itu selalu diselipkan di perut, di bawah obi, sekalipun terasa tak enak.

Bahkan kalaupun ia memang tak dapat mengubahnya menjadi uang dalam jumlah banyak, sertifikat itu dapat menjadi pembuka ke anak tangga ajaib yang pertama menuju sukses. Jadi, pengalaman sial dengan Akakabe Yasoma tidak menyembuhkan-nya dari penyakit mimpi.

Sertifikat itu sudah menjadi amat berguna. Dengan menunjukkannya ke dojo-dojo kecil tak bernama atau kepada orang kota yang polos dan ingin belajar main pedang, ia dapat memperoleh penghormatan dari mereka bahkan juga mendapat makan bebas dan tempat menginap, walaupun tidak dimintanya. Begitulah cara ia hidup selama enam bulan terakhir ini.

"Tidak ada alasan membuangnya. Ah, apa yang terjadi dengan diriku ini? Rupanya makin lama aku makin jadi penakut. Barangkali itulah vang menghalangiku mencapai kemajuan di dunia ini. Dari sekarang aku takkaa berbuat seperti itu lagi! Aku akan jadi besar dan berani, seperti Musash. Akan kutunjukkan pada mereka!"

Ia menoleh ke sekitar, ke pondok-pondok yang mengitari sumur. Orang-orang yang tinggal di situ membuatnya iri. Memang rumah mereka melengkung akibat beratnya lumpur dan rumput liar di atapnya, tapi setidaknya mereka memiliki peneduh. Ia mengintip, melihat beberapa di antara keluarga itu. Di satu rumah ia lihat sepasang suami-istri duduk menghadapi kuali berisi makan malam mereka yang sederhana. Di dekat mereka duduk anak lelaki dan perempuan bersama nenek mereka yang sedang memotong­-motong.

Sekalipun miskin dalam hal keduniaan, mereka memiliki semangat kesatuan keluarga, suatu kekayaan yang tidak dimiliki bahkan oleh orang-orang besar seperti Hideyoshi dan Ieyasu. Matahachi merasa bahwa semakin orang menderita kemiskinan, semakin kuat rasa saling cinta. Orang miskin juga dapat memahami kegembiraan sebagai manusia.

Dengan rasa malu ia teringat benturan kemauan yang menyebabkan ia pergi meninggalkan ibunya sendiri di Sumiyoshi. "Mestinya aku tak boleh berlaku demikian terhadapnya," pikirnya. "Apa pun kesalahannya, tak bakal ada orang lain yang cintanya padaku seperti cintanya."

Selama seminggu tinggal bersama, berjalan dari tempat suci ke kuil, dan dari kuil ke tempat suci yang sangat menjengkelkan itu, Osugi berkali-kali berbicara kepadanya tentang daya-daya ajaib Kannon di Kiyomizudera. "Tak ada bodhisatwa di dunia ini yang dapat menciptakan keajaiban lebih besar daripada dia," demikian ibunya meyakinkannya. "Kurang dari tiga minggu sesudah aku pergi berdoa ke sana, Kannon memimpin Takezo datang padaku membawanya langsung ke kuil itu. Aku tahu engkau tak begitu peduli dengan agama, tapi lebih baik engkau percaya kepada Kannon."

Sekarang hal itu terpikir oleh Matahachi, dan teringat olehnya ibunya mengatakan bahwa sesudah tahun baru ia punya rencana akan pergi ke Kiyomizu, meminta perlindungan Kannon atas keluarga Hon'iden. Jadi, ke sanalah ia mesti pergi! Malam itu ia tak punya tempat untuk tidur. Ia dapat menginap di beranda, ada kemungkinan bisa bertemu dengan ibunya kembali.

Ketika menyusuri jalan-jalan gelap menuju Jalan Gojo, ia diikuti segerombolan anjing kampung liar yang menyalak-nyalak, yang sialnya bukan dari jenis yang dapat dibungkam dengan melemparkan sebutir dua butir batu. Untungnya ia sudah biasa digonggong anjing, jadi tidak ada halangan anjing-anjing itu menggeram kepadanya dan memperlihatkan gigi mereka.

Di Matsubara, sebuah hutan pinus dekat Jalan Gojo, ia melihat kawanan anjing kampung lain berkumpul sekitar sebatang pohon. Anjing-anjing yang mengawalnya itu berlari menggabungkan diri dengan mereka. Jumlahnya lebih banyak dari yang dapat dihitungnya. Semuanya begitu gaduh. Sebagian ada yang melompat-lompat sampai setinggi dua meter ke batang itu.

Ia menajamkan mata, dan tampak olehnya seorang gadis meringkuk gemetar di sebuah cabang pohon itu. Paling tidak, ia cukup yakin orang itu seorang gadis.

Ia mengacung-acungkan tinju dan berteriak mengusir anjing-anjing itu. Ketika dilihatnya tanpa hasil, ia lemparkan batu-batuan, tapi juga tak berhasil. Kemudian ia ingat kata orang, cara menakuti anjing adalah dengan merangkak dan meraung keras. la pun berbuat demikian. Tapi ini pun tak ada hasilnya. Barangkali jumlah anjing itu demikian banyaknya, melompat ke sana kemari seperti ikan dalam jaring. Ada yang mengibas-ngibaskan ekor, mencakar-cakar kulit pohon, dan melolong kejam.

Tiba-tiba terpikir olehnya, seorang perempuan bisa menganggap lucu bahwa seorang pemuda dengan dua bilah pedang merangkak menirukan binatang. Sambil memaki ia meloncat berdiri. Sesaat kemudian seekor anjing melolong untuk terakhir kali dan mati. Ketika yang lain-lain melihat pedang Matahachi yang berdarah itu teracung di atas kepalanya, mereka pun menarik diri berdekatan, hingga punggung mereka yang kurus-kurusitu berombak naik-turun seperti ombak samudra. "Mau lagi, ya?"

Takut akan ancaman pedang itu, anjing-anjing buyar ke segala jurusan. "Hai, yang di atas itu!" seru Matahachi. "Turun kamu sekarang."

Dari tengah dedaunan pinus itu ia dengar denting logam kecil yang manis. "Oh, Akemi," gagapnya. "Akemi, kau, ya?"

Dan terdengar Akemi berseru ke bawah, "Siapa kamu?"

"Matahachi. Apa kau tidak kenal suaraku?"

"Mana mungkin! Kamu bilang Matahachi?"

"Apa kerjamu di atas itu? Kamu bukan orang yang gampang takut dengan anjing."

"Aku di atas ini bukan karena anjing."

"Nah, apa pun sebabnya, turunlah."

Dari tempat bertenggernya, Akemi meninjau ke sekitar, ke tengah kegelapan yang tenang. "Matahachi!" katanya mendesak. "Pergi kamu dari sini. Kukira dia datang mencariku."

"Dia? Siapa dia itu?"

"Tak ada waktu membicarakannya. Seorang lelaki. Dia menawarkan bantuan padaku akhir tahun lalu, tapi ternyata dia binatang. Semula kukira dia baik, tapi kemudian dilakukannya segala macam tindakan kejam padaku. Malam ini kulihat kesempatan lari."

"Apa bukan Oko yang mengejarmu?"

"Bukan, bukan Ibu. Lelaki!"

"Gion Toji, barangkali?"

"Jangan melucu begitu, aku tidak takut pada Gion Toji.... Oh, oh, dia sudah di sana. Kalau kamu tetap di situ, dia nanti menemukan aku. Dan dia akan berbuat yang mengerikan juga padamu! Cepat sembunyi!"

"Jadi, maumu aku lari hanya karena muncul seorang lelaki?" Matahachi tetap berdiri, gelisah oleh sikap ragu-ragunya sendiri. Ia setengah ingin melakukan perbuatan gagah berani. Ia seorang lelaki. Ada perempuan dalam bahaya. Ia ingin menebus malu karena merangkak ketika hendak mengusir anjing tadi. Semakin Akemi mendesaknya bersembunyi, semakin ingin Matahachi memperlihatkan kejantanannya, baik kepada Akemi maupun kepada diri sendiri.

"Siapa di situ!"

Kata-kata itu serentak diucapkan oleh Matahachi dan Kojiro. Kojiro menatap pedang Matahachi dan darah yang masih menetes-netes darinya. "Siapa engkau?" tanyanya dengan sikap bermusuhan.

Matahachi diam saja. Mendengar nada takut dalam suara Akemi tadi, ia menjadi tegang. Tapi sesudah memperhatikan lagi ketegangan pun mereda. Orang baru itu jangkung dan tegap tubuhnya, tapi tak lebih tua dari Matahachi sendiri. Dari potongan rambut dan pakaiannya, Matahachi menduga orang itu bawahan yang masih buruk kelakuan dan matanya pun tampak merendahkan. Biarawan tadi memang telah membuat ia ketakutan, tapi ia yakin takkan kalah oleh pemuda pesolek itu.

"Apa ini orang kejam yang sudah menyiksa Akemi?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Kelihatannya begitu hijau seperti labu. Cerita seluruhnya belum kudengar, tapi kalau memang dia orang yang bikin susah itu, kukira lebih baik kuberi dia satu-dua pelajaran."

"Siapa engkau?" tanya Kojiro lagi. Daya ucapan itu demikian rupa, hingga seolah dapat mengusir kegelapan sekitar mereka.

"Aku?" jawab Matahachi menggoda. "Aku cuma manusia." Dan dengan sengaja ia menyeringai.

Wajah Kojiro merah oleh amarah. "Jadi, engkau tak punya nama rupanya," katanya. "Atau barangkali kau malu dengan namamu?"

Matahachi merasa gusar, namun tidak takut, dan jawabnya pedas, "Aku tak melihat perlunya memberikan nama kepada orang asing yang barangkali juga takkan mengenali nama itu."

"Jaga lidahmu itu!" bentak Kojiro. "Tapi mari kita tunda dulu perkelahian antara kita. Aku mau menurunkan gadis dari atas pohon itu dan mengembalikannya ke tempat semestinya. Tunggu di sini."

"Jangan bicara macam orang tolol! Bagaimana kau bisa menduga akan kubiarkan kau mengambil gadis itu?"

“Lho, ada hubungan apa denganmu?"

"Ibu gadis itu dulu istriku, dan aku takkan membiarkannya dibikin cedera. Kalau kau meletakkan satu jari saja padanya, akan kurajang kau."

"Oh, menarik. Engkau rupanya mengkhayalkan dirimu sebagai samurai. Terpaksa kukatakan di sini, lama aku tak melihat samurai yang begini kurus. Tapi ada yang perlu kauketahui. Galah Pengering di punggungku ini terus menangis dalam tidurnya, karena sejak diturunkan sebagai pusaka belum sekali pun merasa puas minum darah. Dan sudah sedikit karatan juga, jadi kupikir sekarang akan kugosok dia sedikit dengan bangkaimu yang kurus itu. Dan jangan coba-coba lari!"

Matahachi tak punya kemampuan menilai bahwa ini bukan gertak sambal, karenanya ia berkata mengejek, "Cukup omongan besar itu! Kalau engkau mau berpikir sekali lagi, sekarang ini waktunya. Pergi dari sini. selagi kau masih melihat jalan. Akan kuselamatkan nyawamu."

"Sama juga denganmu, hai manusia tampan. Kamu membanggakan diri bahwa namamu terlalu bagus untuk disebutkan kepada orang-orang macam aku. Coba sebutkan, siapa namamu yang indah itu? Menyebutkan nama itu bagian dari etiket dalam berkelahi. Atau kamu tak tahu itu?"

"Aku tidak keberatan menyebutnya, tapi jangan kaget kalau kamu mendengarnya."

"Aku akan menguatkan diri untuk tidak terkejut. Tapi lebih dulu, apa gaya main pedangmu?"

Matahachi membayangkan bahwa orang yang mengoceh secara itu tak mungkin pemain pedang berarti, maka taksirannya terhadap lawannya pun lebih turun lagi.

"Aku punya sertifikat Gaya Chujo, cabang dari Gaya Toda Seigen," jelas Matahachi.

Kojiro kaget, tapi mencoba menyembunyikannya.

Matahachi percaya bahwa ia lebih unggul, karenanya ia berpendapat. tolol sekali kalau ia tidak menekan terus. Menirukan orang yang bertanya kepadanya, katanya, "Sekarang sebutkan, apa gayamu? Itu bagian etiket dalam perkelahian, Iho!"

"Nanti. Tapi dari mana kamu belajar Gaya Chujo itu?"

"Dari Kanemaki Jisai, tentu saja," jawab Matahachi fasih. "Dari siapa lagi?"

"Oh?" ucap Kojiro yang sekarang benar-benar heran. "Dan apa kamu kenal Ito Ittosai?"

"Tentu saja." Menurut tafsiran Matahachi, pertanyaan-pertanyaan Kojiro itu membuktikan bahwa cerita yang dikarangnya ada hasilnya, dan ia merasa yakin bahwa orang muda itu akan segera mengajukan kompromi. Untuk lebih menekan sedikit lagi, katanya, "Kukira tak ada alasan menyembunyikan hubunganku dengan Ito Ittosai. Dia pendahuluku. Yang kumaksud, kami berdua belajar di bawah pimpinan Kanemaki Jisai. Kenapa kamu tanyakan?"

Kojiro mengabaikan saja pertanyaan itu. "Kalau begitu, boleh aku tanva lagi, siapa kamu?"

"Aku Sasaki Kojiro."

"Katakan lagi!"

"Aku Sasaki Kojiro," ulang Matahachi dengan sopan sekali.

Setelah terdiam sejenak karena tercengang, Kojiro pun memperdengarkan suara geram dan memperlihatkan lesung pipitnya.

Matahachi menatapnya. "Kenapa kamu pandang aku macam itu? Apa namaku mengejutkanmu?"

"Kukira begitu."

'Baiklah... sekarang pergi!" Matahachi memerintah dengan nada mengancam. dengan dagu ditegakkan.

"Ha, ha, ha, ha! Oh! Ha, ha, ha!" Kojiro memegang perutnya agar tidak roboh karena tawa. Ketika akhirnya ia dapat mengendalikan diri kembali, katanva, "Sudah banyak kutemui orang dalam perjalananku, tapi belum pernah aku mendengar hal seperti ini. Nah, Sasaki Kojiro, sekarang sudilah kamu menyatakan padaku, siapa aku ini?"

“Mana aku tahu?"

"Kamu mesti tahu! Kuharap sikapku tidak terasa kasar, tapi untuk memastikan bahwa pendengaranku benar, harap sebut namamu sekali lagi."

"Apa kamu tidak bertelinga? Aku Sasaki Kojiro."

“Dan aku...?"

“Manusia lain, kukira."

"Tentu saja, tapi siapa namaku?"

"Bajingan kamu, apa kamu mau mempermainkan aku?"

"Tentu saja tidak. Aku sungguh-sungguh. Belum pernah aku lebih serius dari sekarang. Katakan padaku, Kojiro, siapa namaku?"

"Kenapa bikin susah diri sendiri? Jawab sendiri pertanyaan itu."

"Baik. Aku akan bertanya pada diriku sendiri siapa namaku, dan kemudian, meskipun  bisa kelihatan lancang, akan kusampaikan nama itu padamu."

"Baik. "

"Jangan terkejut!"

"Orang goblok!"

"Aku Sasaki Kojiro, dan dikenal juga sebagai Ganryu."

"A-apa?"

"Sejak zaman nenek moyangku, keluargaku sudah tinggal di Iwakuni. Nama Kojiro itu kuterima dari orangtuaku. Akulah orang yang di kalangan pemain pedang dikenal dengan nama Ganryu. Nah, kapan dan bagaimana bisa menurutmu, di dunia ini terdapat dua Sasaki Kojiro?"

"Kalau begitu kamu... kamu...?

"Ya, sekalipun banyak sekali orang mengadakan perjalanan di pedesaan, kamulah orang pertama yang kutemui memakai namaku. Yang pertama sekali! Apa bukan suatu kebetulan aneh bahwa kita bertemu?"

Matahachi berpikir cepat.

"Ada apa? Kamu kelihatan gemetar." Matahachi jadi ngeri.

Kojiro mendekat, menepuk bahunya, dan katanya, "Mari kita berteman." Dengan muka pucat pasi Matahachi melepaskan diri dan mendengking. "Kalau kamu lari, kubunuh kau!" Suara Kojiro itu menembus seperti lembing langsung ke wajah Matahachi.

Galah Pengering mendesis di atas bahu Kojiro bagai ular perak. Satu pukulan saja, tak lebih. Dengan sekali lambungan Matahachi mental hampir tiga meter. Seperti serangga yang diembuskan dari selembar daun, ia cerjungkir balik tiga kali dan jatuh telentang tak sadarkan diri.

Kojiro malahan tak melihat ke arah jatuhnya Matahachi. Pedang yang panjangnya tiga kaki dan masih tak berdarah itu masuk kembali ke dalam sarungnya.

"Akemi!" panggil Kojiro. "Turunlah! Takkan kulakukan hal itu lagi karena itu kembalilah ke penginapan denganku. Oh, kurobohkan temanmu. tapi aku tidak betul-betul melukainya. Turun sini, dan rawatlah."

Tak ada jawaban. Karena tak melihat apa-apa di cabang-cabang gelap itu, Kojiro memanjat pohon, tapi kemudian dilihatnya ia hanya sendirian. Akemi sudah lari lagi.

Angin bertiup lembut lewat dedaunan pinus. Ia duduk diam di ala, dahan, bertanya-tanya pada diri sendiri, ke mana terbangnya burung layang-layang yang kecil itu. Ia tak dapat menduga, kenapa Akemi begitu takut kepadanya. Tidakkah ia mencurahkan cintanya dengan cara terbaik yang dikenalnya? Memang mungkin caranya memperlihatkan kasih sedikit kasar. tapi ia tak sadar bahwa cara itu berlainan dengan cara orang lain dalam bercinta.

Jawaban atas soal itu barangkali dapat ditemukan dalam sikapnya terhadap seni pedang. Selagi kanak-kanak ia memasuki sekolah Kanemaki Jisai. Ia memperlihat-kan kemampuan besar dan diperlakukan sebagai anak ajaib. Caranya mempergunakan pedang sungguh luar biasa. Tetapi yang lebih luar biasa lagi adalah kegigihannya. Ia menolak menyerah sama sekali. Kalau berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, semakin ketat lagi ia berusaha.

Pada zaman ini, cara yang dipergunakan seorang pesilat untuk menang jadi jauh kurang penting dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Tak seorang pun mempertanyakan cara-cara itu dengan saksama, dan kecenderungan Kojiro untuk bertahan dengan jalan apa pun sampai akhirnya menang tidak dianggap sebagai cara yang kotor. Lawan-lawannya mengeluh karena ia masih terus saja menyerang mereka, padahal kalau orang lain sudah mengaku kalah, tapi tak seorang pun menganggapnya tidak jantan.

Pada suatu kali, ketika ia masih kanak-kanak, sekelompok murid yang lebih besar dan terang-terangan ia benci menghajarnya dengan pedang kayu sampai pingsan. Karena kasihan kepadanya, salah seorang penyerangnya memberinya air dan menunggunya sampai sadar kembali. Waktu itulah Kojiro merebut pedang kayu orang yang telah menolongnya itu dan memukulnya sampai mati.

Kalau ia kalah dalam pertarungan, tak pernah ia melupakannya. Ia akan mengintai terus sampai musuh itu lengah-di tempat gelap, saat musuhnya berada di tempat tidur, atau bahkan di kamar kecil dan diserangnya musuh itu dengan sehebat-hebatnya. Mengalahkan Kojiro sama saja dengan menciptakan musuh kepala batu.

Setelah dewasa, ia biasa bicara tentang dirinya sebagai seorang jenius. Memang ini bukan sekadar bualan, dan baik Jisai maupun Ittosai membenarkannya. Ketika ia menyatakan telah belajar menebas burung layang-layang yang sedang terbang dan menciptakan gayanya sendiri, ia memang tidak mengada-ada. Itu pula yang menyebabkan orang menganggapnya "tukang sihir", suatu pujian yang ia terima dengan senang hati.

Tak seorang pun tahu, apa wujud keinginannya yang keras itu, ketika Kojiro jatuh cinta kepada seorang perempuan. Tapi tak mungkin ada keraguan bahwa di situ pun ia akan menempuh jalannya yang biasa. Namun ia sendiri tak melihat ada hubungan apa pun antara kemampuannya bermain pedang dengan caranya bercinta. Tak dapat ia memahami, kenapa Akemi tidak menyukainya, padahal ia demikian cinta kepada gadis itu.

Ketika sedang merenungkan masalah cintanya itu, ia lihat sesosok tubuh berjalan ke sana kemari di bawah pohon, tanpa menyadari kehadiran Kojiro.

"Ada orang menggeletak di sini," kata orang baru itu. Ia membungkuk untuk melihat lebih jelas, kemudian serunya, "Oh, ini bangsat dari warung sake itu!"

Orang itu biarawan pengembara. Ia menurunkan bungkusan dari punggungnya, ucapnya, "Kelihatannya tidak luka. Dan tubuhnya hangat." Ia meraba-rabanya dan menemukan tali di bawah obi Matahachi. Tali dilepaskan dan diikatnya tangan Matahachi ke punggung. Kemudian ia tekankan lututnya pada lekuk pinggang Matahachi dan ia sentakkan bahu Matahachi ke belakang. Bersamaan dengan itu, ia tekan keras saraf simpatisnya. Matahachi sadar kembali, merintih tak jelas. Biarawan itu mengangkatnya seperti sekarung kentang ke sebatang pohon dan menyandarkannya di situ.

"Berdiri!" katanya tajam. Ditegaskannya perintahnya itu dengan tendangan. "Berdiri kamu!"

Matahachi yang sudah setengah jalan ke neraka itu memperoleh kembali kesadarannya, tapi belum dapat memahami apa yang sedang terjadi. Masih dalam keadaan pusing, ia paksakan dirinya berdiri.

"Bagus," kata si biarawan. "Berdiri saja begitu." Kemudian ia ikat kaki dan dada Matahachi ke pohon.

Matahachi membuka mata sedikit dan berteriak heran.

"Hei, penipu," kata orang yang menangkapnya, "kau membuatku lari mengejar, tapi semuanya sudah lewat sekarang." Pelan-pelan ia mulai menggarap Matahachi. Ditamparnya dahinya beberapa kali hingga kepala Matahachi membentur-bentur pohon. "Di mana kau mendapat kotak obat itu?" tanyanya. "Katakan yang sebenarnya. Ayo!"

Matahachi tidak menjawab.

"Kaupikir kau bisa terus bertahan dengan tak tahu malu begitu, ya?" Dengan marah biarawan itu menjepitkan jempol dan jari telunjuknya ke hidung Matahachi dan mengguncangkan kepalanya ke depan ke belakang.

Matahachi tersengal-sengal, dan ketika ia kelihatan mencoba berbican, biarawan itu melepaskan hidunganya. "Aku akan bicara," kata Matahachi putus asa. "Akan kuceritakan semuanya."

Air matanya meleleh. "Peristiwa itu terjadi musim panas lalu...," mulainya, lalu diceritakannya seluruh peristiwa itu, yang akhirnya dengan permintaan ampun. "Saya tak dapat membayar uang itu sekarang juga, tapi saya berjanji, kalau Bapak tidak membunuh saya, saya akan kerja keras dan mengembalikannya nanti. Akan saya berikan janji tertulis, yang ditandatangani dan diberi meterai."

Mengakui kesalahan seperti mengeluarkan nanah dari luka yang mesti disembunyikannya. Kini, setelah tak ada lagi yang mesti disembunyikan, tak ada lagi yang mesti ditakutkan. Paling tidak, itulah dugaan Matahachi.

"Benar begitu?" tanya si biarawan.

"Benar." Matahachi menundukkan kepala penuh sesal.

Sesudah beberapa menit mereka diam, biarawan itu menarik pedang pendek dan menudingkannya ke muka Matahachi.

Matahachi berteriak sambil cepat menolehkan muka ke samping, "Bapak mau bunuh saya?"

"Ya, kau mesti mati."

"Sudah saya ceritakan semuanya pada Bapak dengan penuh kejujuran. Sudah saya kembalikan kotak obat itu, dan akan saya serahkan kepada Bapak sertifikat itu. Tak lama lagi akan saya bayar kembali uang itu. Saya bersumpah! Kenapa saya mesti dibunuh?"

"Aku percaya padamu, tapi kedudukanku sangat sulit. Aku tinggal di Shimonida, di Kozuke, dan aku pembantu Kusanagi Tenki. Dia samurai yang tewas di Kuil Fushimi itu. Biar aku berpakaian biarawan, aku ini samurai. Namaku Ichinomiya Gempachi."

Matahachi tidak mendengarkan kata-kata itu. Ia mencoba melepaskan diri dan lari. "Saya minta ampun," katanya hina dina. "Saya tahu sudah melakukan perbuatan salah, tapi saya tidak bermaksud apa-apa. Saya bermaksud menyampaikan semuanya itu pada keluarganya, tapi kemudian, yah, kemudian saya kehabisan uang, dan yah, saya tahu tak boleh saya melakukan itu, tapi saya sudah menggunakannya. Saya mau minta ampun bagaimana saja menurut keinginan Bapak, tapi mohon jangan bunuh saya."

"Rasanya lebih baik kamu tidak minta ampun," kata Gempachi yang kelihatan sedang bergulat dalam batinnya. Ia menggeleng-geleng sedih, lanjutnya, "Aku sudah pergi ke Fushima menyelidiki ini. Semuanya cocok dengan yang kaukatakan. Tapi aku mesti membawa pulang sesuatu untuk penghibur keluarga Tenki. Bukan uang. Aku cuma butuh sesuatu buat menunjukkan bahwa pembalasan sudah dilaksana-kan. Tapi tak ada satu penjahatnya, tak ada satu orang tertentu yang sudah membunuh Tenki. Jadi, bagaimana aku dapat membawa kepala pembunuh itu buat mereka?"

"Tapi saya... saya... saya tidak membunuh dia. Jangan Bapak salah."

"Aku tahu kau tidak membunuh dia. Tapi keluarga dan teman-temannya tidak tahu dia dikeroyok dan dibunuh pekerja. Dan lagi itu bukan cerita yang akan bikin dia terhormat. Tak suka aku menceritakan pada mereka hal yang sebenarnya. Jadi, biarpun aku kasihan padamu, kupikir kau mesti dijadikan orang yang bersalah itu. Akan lebih baik keadaannya kalau kau setuju aku membunuhmu."

Sambil merenggangkan tali-tali yang mengikatnya, Matahachi berteriak, "Lepaskan saya! Saya tak mau mati!"

"Dengan sendirinya. Tapi coba tinjau soal ini dari sudut lain. Kamu tak dapat membayar sake yang kauminum. Itu berarti kau tidak cakap menghidupi dirimu sendiri. Daripada kelaparan dan menjalani hidup memalukan di dunia yang kejam ini, apa tidak lebih baik kau istirahat dengan damai di dunia lain? Kalau uang yang jadi persoalanmu, aku punya sedikit. Dengan senang hati aku akan mengirimkan kepada orangtuamu sebagai sumbangan penguburan. Dan kalau kau mau, aku dapat mengirimkannya ke kuil leluhurmu sebagai sumbangan peringatan. Aku jamin, uang akan disampaikan sebaik-baiknya."

"Gila. Aku tak perlu uang; aku mau hidup! Tolong!"

"Aku sudah menjelaskan semuanya baik-baik. Setuju atau tidak, kau terpaksa berperan selaku pembunuh tuanku. Menyerahlah, kawan. Anggap saja ini nasib." Ia mencengkeram pedangnya dan melangkah mundur, agar ada ruang baginya untuk menebas.

"Gempachi, tunggu!" seru Kojiro.

Gempachi menengadah dan teriaknya, "Siapa di situ?"

"Sasaki Kojiro."

Gempachi mengulang nama itu pelan-pelan dengan curiga. Apakah ada Kojiro palsu lain lagi turun dari langit? Namun suara itu mirip sekali dengan suara manusia, bukan suara hantu. Ia melompat menghindari pohon dan mengangkat pedang tegak-tegak.

"Ini keterlaluan," katanya sambil tertawa. "Rupanya tiap orang menyebut dirinya Sasaki Kojiro sekarang ini. Di bawah sini ada satu, yang kelihatan begitu sedih. Ah, ya! Sekarang aku mulai mengerti. Kau teman orang ini, ya?”

"Bukan, aku Kojiro. Dengar, Gempachi, engkau sudah siap memotongku jadi dua kalau aku turun, ya?"

"Ya. Bawa sini berapa saja Kojiro palsu itu semaumu. Akan kuhadapi mereka semua."

"Cukup adil. Kalau kau dapat memotongku, bolehlah kau yakin aku yang palsu, tapi kalau kau yang mati, yakinlah bahwa aku Kojiro sejati. Aku turun sekarang, dan kuperingatkan kamu, kalau kau tak dapat melukaiku di udara, Galah Pengering akan membelahmu seperti sepotong bambu."

"Tunggu. Rasanya aku ingat suaramu. Kalau pedangmu bernama Galah Pengering yang terkenal itu, benar engkau Kojiro."

"Kau percaya sekarang?"

"Ya, tapi apa kerjamu di atas itu?"

"Kita bicarakan nanti."

Kojiro melompat lewat wajah Gempachi yang tengadah dan mendarat di belakangnya, disertai hujan daun pinus. Perubahan sosok Kojiro itu mengagumkan Gempachi. Kojiro, menurut ingatannya di sekolah Jisai itu. anak yang hitam kulitnya dan kikuk. Pekerjaan satu-satunya waktu itu menimba air, dan sesuai dengan kecintaan Jisai akan kesederhanaan, tidak pernah Kojiro menggunakan pakaian lain kecuali yang paling sederhana.

Kojiro duduk di pangkal pohon dan mengajak Gempachi berbuat demikian juga. Gempachi kemudian bercerita bahwa Tenki dikira mata-mata dari Osaka dan dilempari batu sampai mati, dan bahwa sertifikatnya jatuh ke tangan Matahachi.

Kojiro senang sekali mengetahui ada orang yang memakai namanya, tapi ia mengatakan tak ada untungnya membunuh orang yang demikian lemah. Ada cara lain untuk menghukum Matahachi. Kalau Gempachi kuatir dengan keluarga Tenki atau reputasinya, Kojiro sendiri akan pergi ke Kozuke dan mengatur segala sesuatunya agar majikan Gempachi dianggap sebagai prajurit berani dan terhormat. Tak perlu membuat Matahachi sebagai kambing hitam.

"Engkau setuju, Gempachi?" tutup Kojiro.

"Kalau demikian, kukira ya."

"Baiklah kalau begitu. Aku mesti pergi sekarang, tapi kukira kau mesti pulang ke Kozuke."

"Memang aku mau pulang. Aku akan langsung pulang."

"Terus terang, aku agak buru-buru. Aku sedang mencari gadis yang tiba-tiba meninggalkanku.”

"Apa tak ada yang kaulupakan?"

"Kukira tidak."

"Bagaimana dengan sertifikat itu?"

"Oh, itu."

Gempachi menggerayangi Matahachi dan mengambil gulungan itu. Matahachi merasa ringan dan lepas dari beban. Kini ia merasa hidupnya akan selamat, dan ia senang terlepas dari dokumen itu.

"Hmm," kata Gempachi. "Coba pikirkan, barangkali kejadian malam ini memang diatur roh Jisai dan Tenki, hingga aku bisa mendapatkan kembali sertifikat ini dan memberikannya padamu."

"Aku tak mau," kata Kojiro.

"Kenapa?" tanya Gempachi tak percaya.

"Aku tidak memerlukannya."

"Aku tak mengerti."

"Aku tak perlu kertas macam itu."

"Apa yang kaukatakan! Apa engkau tidak merasa berterima kasih kepada gurumu? Bertahun-tahun Jisai mempersiapkan diri untuk memutuskan apakah dia akan memberikan sertifikat ini padamu. Dan dia tidak juga mengambil keputusan, sebelum akhirnya berada di ranjang kematian. Dia menugaskan Tenki untuk menyerahkannya padamu, tapi lihatlah sendiri apa yang terjadi dengan Tenki. Engkau mesti malu bersikap begitu."

"Apa yang dilakukan Jisai itu urusannya sendiri. Aku punya ambisi sendiri."

"Bukan begitu mestinya bicara."

"Jangan engkau salah mengerti."

"Engkau menghina orang yang sudah mengajarmu?"

"Sama sekali tidak, tapi aku dilahirkan dengan bakat-bakat yang lebih besar daripada dia. Aku bermaksud lebih maju daripada dia. Menjadi pemain pedang yang tak dikenal di daerah pedesaan bukanlah tujuanku."

"Engkau bersungguh-sungguh?"

"Tidak salah lagi." Kojiro tidak menyesal mengungkapkan ambisi-ambisinya, sekalipun menurut ukuran biasa tak patut. "Aku berterima kasih pada Jisai, tapi sertifikat dari sekolah desa yang tidak begitu dikenal itu lebih merugikan diriku daripada menguntungkan. Ito Ittosai menerima sertifikatnya, tapi dia tidak meneruskan Gaya Chujo. Dia menciptakan gayanya yang baru. Aku bermaksud berbuat demikian juga. Kepentinganku adalah menciptakan Gaya Ganryu. Tak lama lagi nama Ganryu akan sangat terkenal. Engkau lihat, dokumen itu tak ada artinya buatku. Bawa itu kembali ke Kozuke dan minta kuil di sana menyimpannya bersama catatan kelahiran dan kematian." Tak ada sama sekali nada kesederhanaan ataupun kerendahan hati dalam bicara Kojiro.

Gempachi memandangnya benci.

"Tolong sampaikan salamku untuk keluarga Kusanagi," kata Kojiro sopan. "Beberapa lama lagi aku akan pergi ke timur dan mengunjungi mereka. Yakinlah." Dan ia akhiri kata-kata perpisahan itu dengan senyum lebar.

Bagi Gempachi, pameran kesopanan yang terakhir itu mengandung sikap menggurui. Ia berpikir untuk menegur Kojiro atas sikapnya yang tak kenal terima kasih dan tidak hormat kepada Jisai itu, tapi sesudah mempertimbangkannya lagi sejenak, ia menganggap buang-buang waktu saja. Maka pergilah ia menghampiri bungkusannya, memasukkan sertifikat ke dalamnya, dan mengucapkan selamat berpisah singkat dan pergi.

Sesudah ia pergi, Kojiro tertawa senang sekali. "Aduh, aduh, dia marah rupanya. Ha, ha, ha, ha!" Kemudian ia menoleh kepada Matahachi. "Nah, apa sekarang katamu tentang dirimu sendiri, orang palsu tak berguna?"

Matahachi tentu saja tak bisa bicara apa-apa.

"Jawab pertanyaanku! Kamu mengaku mencoba memalsukan aku, kan?"

"Ya..”

"Aku tahu namamu Matahachi, tapi siapa nama lengkapmu?"

"Hon'iden Matahachi."

"Apa kamu ronin?"

"Ya."

"Ambil pelajaran dariku, keledai tak bertulang punggung! Kaulihat aku mengembalikan sertifikat itu, kan? Kalau orang lelaki tak punya keberanian berbuat seperti itu, tak bakal dia dapat melakukan apa-apa sendiri. Tapi! coba lihat dirimu itu! Kamu pakai nama orang lain, mencuri sertifikatnya. dan ke sana kemari hidup dengan reputasinya. Apa ada yang lebih keji daripada itu? Barangkali pengalaman malam ini memberikan pelajaran kepadamu: kucing bisa saja mengenakan kulit macan, tapi tetap saja dia kucing."

"Saya akan berhati-hati sekali di masa depan."          

"Aku menahan diri tidak membunuhmu, tapi kukira lebih baik kamu membebaskan dirimu sendiri, kalau kau bisa." Tapi tiba-tiba Kojiro mendapat pikiran baru. Ia hunus belati dari sarungnya dan ia pun mengorek-ngorek kulit pohon di atas kepala Matahachi. Serpihan kulit pohon berjatuhan ke leher Matahachi. "Aku butuh alat tulis," gumam Kojiro.

"Ada kantong kuas dan tempat tinta dalam obi saya," kata Matahachi ingin membantu.

"Bagus! Kupinjam sebentar."

Kojiro membasahi kuas itu dengan tinta dan menulis di atas petak batang pohon yang sudah ia korek kulitnya. Kemudian ia mundur sedikil mengagumi hasil kerjanya. "Orang ini," bunyinya, "adalah penipu lihai. Dengan menggunakan nama saya, ia pergi ke sana kemari di pedesaan. melakukan perbuatan tidak terhormat. Saya sudah menangkapnya, dan saya meninggalkannya di sini untuk diejek-ejek oleh siapa saja. Nama saya, dan nama pedang saya yang menjadi milik saya seorang, adalah Sasaki Kojiro, Ganryu."

"Cukup begini," kata Kojiro puas.

Di hutan gelap itu angin menderu seperti air pasang. Kojiro pergi sambil memikirkan ambisi masa depannya dan kembali menempuh jalur aksinya waktu itu. Matanya menyala ketika ia menerobos hutan, seperti seekor macan tutul.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP