Angin Musim Semi
DI tepi Sungai Takase, Akemi mencuci sepotong kain sambil menyanyikan lagu yang dipelajarinya di Kabuki Okuni. Setiap kali ia menarik kain berpola kembang itu, tercipta bayangan bunga ceri yang terbang berputar-putar.
Angin cinta
Menyentak-nyentak
lengan kimonoku.
Oh, lengan
jadi terasa berat!
Apakah angin
cinta itu berat?
Jotaro berdiri di atas tanggul. Matanya yang
lincah mengamati pemandangan, dan ia tersenyum ramah, dan ia tersenyum ramah.
"Bagus nyanyinya, Bi," serunya.
"Apa?"
tanya Akemi. Ia memandang anak yang seperti orang cebol mengenakan pedang kayu
panjang dan topi anyaman besar itu.
"Kamu
siapa?" tanyanya. "Dan apa maksudmu memanggilku Bibi? Aku masih
muda!"
"Baik,
gadis manis! Bagaimana kalau begitu?"
"Diam
kamu!" kata Akemi tertawa. "Kau masih terlalu kecil buat merayu.
Lebih baik kau buang ingusmu."
"Saya
cuma mau tanya sedikit."
"Oh,
oh!" teriak Akemi ketakutan. "Kainku!"
"Sebentar
saya ambilkan."
Jotaro
mengejar kain itu dari tepi sungai, kemudian memancingnya dari air dengan
pedangnya. Paling tidak, pedang ini bisa dipakai buat keadaan seperti ini,
demikian pikirnya. Akemi mengucapkan terima kasih, lalu bertanya, apa yang
hendak ditanyakan Jotaro.
"Apa ada
warung teh di sekitar sini yang namanya Yomogi?"
Oh, ya, itu
rumahku, di sana itu."
"Oh,
senang sekali aku mendengarnya! Lama sekali aku mencarinya."
"Kenapa?
Kamu datang dari mana?"
"Dari
jalan itu," jawab Jotaro sambil menuding tak jelas.
"Dari
mana itu kira-kira?"
Jotaro
ragu-ragu. "Aku sendiri tidak begitu yakin."
Akemi
terkikik. "Tak apalah. Tapi kenapa kamu tertarik pada warung teh
kami?"
"Saya
mencari orang yang namanya Hon'iden Matahachi. Orang Perguruan Yoshioka bilang,
kalau saya pergi ke Yomogi, saya akan menemukannya."
“Dia tidak di
situ."
"Bohong!"
"Tidak.
Betul. Dulu dia memang tinggal dengan kami, tapi dia sudah pergi beberapa waktu
lalu."
"Ke
mana?"
"Aku
tidak tahu."
"Tapi
orang serumahmu pasti ada yang tahu."
"Tidak.
Ibuku juga tidak tahu. Dia minggat."
"Oh."
Anak itu memerosotkan badannya dan menatap air dengan gelisah. "Sekarang
apa yang mesti kulakukan?" keluhnya.
"Siapa
yang menyuruhmu kemari?"
"Guruku."
"Siapa
gurumu?"
"Namanya
Miyamoto Musashi."
"Apa
kamu membawa surat?"
"Tidak,"
kata Jotaro sambil menggeleng.
"Bagus
sekali kamu jadi suruhan! Tak tahu dari mana datang, dan tidak membawa surat
pula."
"Tapi
saya membawa pesan."
"Pesan
apa itu? Barangkali orang itu tak akan kembali lagi, tapi kalau dia kembali
akan kusampaikan pesanmu itu."
"Saya
kira tak boleh saya mengatakannya. Ya, kan?"
"Jangan
tanya aku. Putuskan olehmu sendiri."
"Kalau
begitu, barangkali juga boleh. Dia bilang ingin sekali bertemu dengan
Matahachi. Dia minta saya menyampaikan pada Matahachi bahwa dia akan menanti di
jembatan besar Jalan Gojo tiap pagi, dari hari pertama sampai hari ketujuh
tahun baru nanti. Matahachi mesti menjumpai dia di sana, di salah satu hari
itu."
Akemi pecah
ketawanya, tak dapat dikendalikan lagi. "Tak pernah aku mendengar pesan
seperti itu! Jadi, maksudmu, sekarang dia mengirim pesan, minta Matahachi
menjumpainya tahun depan? Gurumu itu mestinya sama anehnya dengan kamu! Ha,
Ha!"
Sikap
mencemooh tampak pada wajah Jotaro, dan bahunya tegang karena marah.
"Apanya yang lucu?"
Akhirnya
Akemi berhasil menghentikan tawanya. "Jadi, sekarang kamu marah, ya?"
"Tentu
saja. Saya minta tolong dengan sopan, tapi kamu ketawa seperti orang
gila."
"Maaf,
aku betul-betul minta maaf. Aku tak akan ketawa lagi. Dan kalau Matahachi
kembali, akan kusampaikan pesan itu kepadanya.
"Janji?"
"Ya, aku
bersumpah." Sambil menggigit bibir untuk menghindari senyum, Akemi
bertanya, "Siapa namanya tadi? Orang yang menyuruhmu menyampaikan pesan
itu?"
"Ingatanmu
tidak begitu baik rupanya. Namanya Miyamoto Musashi."
"Bagaimana
kamu menuliskan Musashi itu?" Jotaro mengambil bilah bambu, lalu
mengguratkan dua huruf di pasir.
"Lho,
itu huruf-huruf yang bunyinya Takezo!" ucap Akemi.
"Namanya
bukan Takezo, tapi Musashi."
"Ya,
tapi bisa juga dibaca Takezo."
"Kamu
keras kepala rupanya, ya?" decap Jotaro sambil melemparkan bilah bambu itu
ke sungai.
Akemi menatap
tajam-tajam huruf-huruf di pasir itu, dan tenggelam dalam renungan. Akhirnya ia
menengadah memandang Jotaro, mengamat-amatinya dari kepala sampai jari kaki,
lalu tanyanya dengan suara lembut,
"Apa ini
bukan Musashi dari daerah Yoshino di Mimasaka?"
"Ya.
Saya dari Harima. Dia dari Kampung Miyamoto di Provinsi Mimasaka, tak jauh dari
sana."
"Apa
orangnya tinggi, kelihatan jantan? Dan apa bagian atas kepalanya tidak
dicukur?"
"Ya.
Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku
ingat dia pernah cerita, ketika masih kecil dia bisulan di puncak kepalanya.
Kalau dia mencukurnya seperti biasa dilakukan samurai, akan kelihatan bekas
lukanya yang buruk."
"Pernah
cerita? Kapan?"
"Oh,
sudah lima tahun lalu."
"Jadi,
kamu sudah begitu lama kenal guru saya?"
Akemi tidak
menjawab. Kenangan hari-hari itu membangkitkan kenikmatan di dalam hatinya,
hingga bicara pun jadi sukar. Yakin dari berita kecil vang disampaikan anak itu
bahwa Musashi adalah Takezo, ia jadi tercengkeram hasrat untuk bertemu Musashi
kembali. Ia sudah melihat cara hidup ibunya, dan ia juga sudah melihat
Matahachi semakin memburuk perkembangannya. Sejak semula ia lebih menyukai
Takezo. Dan semenjak itu semakin yakin ia akan benarnya pilihan atas Takezo. Ia
gembira karena masih sendiri. Takezo. Ia begitu lain dari Matahachi.
Sering kali
ia mengambil sikap tidak menghanyutkan diri dengan para leaki yang selalu minum
di warung tehnya. Ia mencemooh mereka dan terus berpegang teguh pada
gambarannya tentang Takezo. Jauh di lubuk hatinya ia selalu bermimpi akan
menemukan Takezo kembali. Takezo, hanya Takezo-lah kekasih di dalam hatinya,
ketika ia menyanyikan lagu-lagu cinta untuk dirinya sendiri.
Karena
tugasnya selesai, Jotaro berkata, "Nah, lebih baik saya pergi sekarang.
Kalau kamu bertemu dengan Matahachi, betul-betullah sampaikan apa yang sudah
saya katakan tadi." Ia pergi, menderap sepanjang puncak tanggul sempit
itu.
Kereta sapi itu penuh bermuatan karung-karung
yang barangkali berisi betas, kacang merah, atau hasil bumi setempat yang lain.
Di puncak tumpukan ada tulisan yang menyatakan bahwa barang itu sumbangan kaum
Budhis yang setia untuk Kofukuji yang agung di Nara. Jotaro kenal kuil itu
karena namanya identik dengan Nara.
Wajah Jotaro
menyala menyatakan kegembiraan kanak-kanaknya. Dikejarnya kendaraan itu, lalu
naiklah ia ke atasnya. Jika ia menghadap ke belakang, masih ada cukup ruangan
untuk duduk. Dan sebagai tambahan kenikmatan, ada pula karung-karung buat
bersandar.
Di kiri-kanan
jalan, bukit-bukit landai terselimut barisan semak teh yang rapi. Pohon-pohon
ceri mulai berbunga, dan para petani sudah membajak gerst-sejenis gandum.
Mereka pasti berharap agar tahun itu ladang terhindar dari pijakan para serdadu
dan kuda. Perempuan-perempuan berlutut di pinggir kali, mencuci sayur-sayuran.
Jalan raya Yamato terasa damai.
"Untung
sekali!" pikir Jotaro sambil bersandar dan bersantai. Karena enaknya
tempat itu, ia selalu tergoda untuk tidur, tapi ia harus berpikir dua kali.
Karena takut kereta akan sampai di Nara selagi ia masih tidur, maka ia merasa
bersyukur setiap roda kereta menggilas batu dan berguncang. Itu membantu
matanya tetap terbuka. Tak ada yang lebih menyenangkan baginya daripada
berjalan terus seperti ini menuju tujuannya.
Di luar
sebuah kampung, Jotaro dengan malas meraih dan memetik selembar daun dari pohon
kamelia. Diletakkannya daun itu di atas lidahnya dan mulailah ia menyiulkan
sebuah lagu.
Kusir kereta
menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Karena siulan terus juga
berbunyi, ia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan, dan berkali-kali lagi.
Akhirnya dihentikannya kereta, dan pergilah ia memutar ke belakang. Melihat
Jotaro, ia marah bukan kepalang. Pukulan tinju yang dijatuhkannya demikian
keras, hingga anak itu berteriak kesakitan.
"Apa
kerjamu di sini?" gertaknya.
"Tak
apa-apa, kan?"
"Enak
saja kau!"
"Kenapa?
Bapak kan tidak menariknya sendiri?"
"Oh,
bajingan kurang ajar kamu!" seru tukang kereta sambil melontarkan Joraro
ke tanah, seperti bola. Jotaro terpelanting dan kemudian terguling ke pangkal
sebatang pohon. Kereta berjalan kembali, bunyi rodanya gemeretak, seakan-akan
menertawakannya.
Ketika Jotaro
sadar kembali, ia mulai mencari-cari dengan teliti di tanah sekitarnya. Ia
sadar tabung bambu berisi jawaban dari Perguruan Yoshioka untuk Musashi hilang.
Tadi barang itu Ia gantungkan di leher dengan seutas tali, tapi sekarang
lenyap.
Ketika anak
itu sangat kebingungan dan sedikit demi sedikit melebarkan wilayah
pencariannya, seorang perempuan muda berpakaian perjalanan berhenti
memperhatikannya; ia bertanya,
"Kamu kehilangan sesuatu, ya?"
Jotaro
memandang wajahnya yang sebagian tertutup topi bertepi lebar, mengangguk, dan
kembali mencari.
"Kamu
kehilangan uang?"
Karena
terlampau asyik, Jotaro tidak begitu memperhatikan pertanyaan itu, dan hanya
memperdengarkan gerutuan tak senang.
"Apa
tabung bambu yang panjangnya kira-kira satu kaki dan bertali?" Jotaro
tersentak. "Ya! Bagaimana Kakak bisa tahu?"
"Jadi,
kamulah yang diteriak-teriaki kusir-kusir dekat Mampukuji tadi, karena
mengganggu kuda mereka!"
"Ah-h-h...
ya "
"Waktu
kamu ketakutan dan lari, tali itu tentunya putus. Tabung itu jatuh di jalan,
dan samurai yang sedang bicara dengan kusir-kusir tadi itu mengambilnya. Lebih
baik kamu kembali menanyakan kepadanya."
"Betul
begitu?"
"Tentu."
"Terima
kasih."
Tapi baru
saja ia hendak berlari, perempuan muda itu memanggilnya. "Tunggu! Tak
perlu kamu kembali ke sana. Kulihat samurai itu berjalan kemari. Itu, yang
memakai hakama lapangan." Ia menuding orang itu.
Jotaro
berhenti dan menanti dengan mata terbuka lebar.
Samurai itu seorang
lelaki yang mengesankan, berumur sekitar empat puluh tahun. Segala sesuatu yang
ada padanya sedikit lebih besar dan yang biasa-tingginya, jenggotnya yang hitam
legam, bahunya yang lebar, dadanya yang padat. la mengenakan kaus kaki kulit
dan sandal jerami, dan apabila berjalan langkah-langkahnya yang mantap seakan
memadatkan tanah. Dari pandangan sekilas, Jotaro merasa pasti bahwa orang itu
prajurit besar yang mengabdi kepada salah seorang daimyo yang sangat penting,
dan ia takut menyapanya.
Untunglah
samurai itu yang bicara dulu memanggilnya. "Apa bukan kamu anak nakal yang
menjatuhkan tabung bambu ini di depan Mampukuji?" tanvanva.
"Oh,
betul! Tuan menemukannya!"
"Apa tak
bisa kamu mengucapkan terima kasih?"
"Maaf.
Terima kasih, Tuan!"
"Aku
yakin ada surat penting di dalamnya. Kalau tuanmu menyuruh kamu, jangan kamu
berhenti sepanjang jalan mengganggu kuda, membonceng-bonceng, atau
bermalas-malas di pinggir jalan."
"Ya,
Tuan. Apa Tuan melihat isinya?"
"Sudah
sewajarnya, kalau kita menemukan sesuatu, kita memeriksanya dan
mengembalikannya kepada pemiliknya, tapi aku tidak merusak meterai surat itu.
Sekarang, sesudah barang itu di tanganmu lagi, coba periksa dan lihat, apa
masih baik keadaannya."
Jotaro
membuka tutup tabung dan melihat ke dalamnya. Puas karena surat itu masih ada,
digantungkannya tabung itu kembali ke lehernya, dan ia bersumpah tak akan
melepaskannya untuk kedua kali.
Perempuan
muda itu tampak sama puasnya dengan Jotaro.
"Baik
sekali Tuan telah menemukan barang itu," katanya kepada si samurai, untuk
memperbaiki sikap Jotaro yang tidak mampu menyatakan terima kasih dengan baik.
Samurai
berjenggot itu mulai berjalan lagi bersama mereka berdua. "Apa anak itu
bersamamu?" tanyanya kepada perempuan itu.
"Oh,
tidak. Belum pernah saya bertemu dengan dia."
Samurai itu
tertawa. "Kupikir tadi kamu dan dia pasangan yang agak aneh. Anak itu
seperti setan kecil yang lucu; apalagi ada kata 'Penginapan' pada
topinya."
"Barangkali
kepolosan kanak-kanaknya itu yang membuat dia begitu menarik. Saya suka dia
juga." Sambil menoleh kepada Jotaro, ia bertanya, "Mau ke mana
kamu?"
Karena
berjalan bersama kedua orang itu, semangat Jotaro naik lagi. "Saya akan
pergi ke Nara, ke Kuil Hozoin." Sebuah benda panjang sempit yang
terbungkus kain brokat emas dan tersimpan dalam obi gadis itu menarik
perhatiannya. Sambil memperhatikannya, ia berkata, "Saya lihat Kakak
membawa tabung surat juga. Hati-hati, jangan Kakak hilangkan."
"Tabung
surat? Apa maksudmu?"
"Itu,
dalam obi Kakak."
Gadis itu pun
tertawa. "Ini bukan tabung surat, tolol! Ini suling."
"Suling?"
Dengan mata menyala-nyala karena rasa ingin tahu, tanpa malu-malu Jotaro
melongokkan kepala ke pinggang gadis itu untuk memeriksa benda tersebut.
Tiba-tiba suatu perasaan aneh datang kepadanya. Ia mundur dan seperti
mengamat-amati gadis itu.
Anak-anak pun
mempunyai selera terhadap kecantikan wanita, atau setidak-tidaknya mengerti
secara naluriah, apakah wanita itu murni atau tidak. Jotaro terkesan sekali
akan kecantikan gadis itu, dan ia menghargainya. Terasa olehnya sebagai
keberuntungan tak terukir bahwa sekarang ia berjalan bersama orang yang begitu
molek. Hatinya pun berdentum, dan ia merasa pusing.
"Oh.
Suling... Apa Bibi bisa main suling?" tanyanya. Kemudian, karena ingat akan
reaksi Akemi terhadap kata "Bibi" itu, ia cepat-cepat mengubah
pertanyaannya, "Siapa nama Kakak?"
Gadis itu
tertawa dan melemparkan pandangan senang kepada si samurai lewat kepala anak
itu. Prajurit yang seperti beruang itu ikut tertawa, memperlihatkan barisan
giginya yang putih kuat di belakang jenggotnya.
"Kamu
anak baik, kan? Kalau kamu ingin tahu nama orang lain, yang sopan adalah kamu
menyebutkan dulu namamu."
"Nama
saya Jotaro."
Jawaban ini
menimbulkan ketawa lebih banyak lagi.
"Itu
tidak adil!" teriak Jotaro. "Tuan menyuruh saya menyebutkan nama
saya, tapi saya belum tahu nama Tuan. Siapa nama Tuan?"
"Namaku
Shoda," kata samurai itu.
"Itu
tentunya nama keluarga. Lalu nama Tuan yang lain apa?"
"Terpaksa
aku minta diizinkan hanya menyebut nama itu."
Dengan berani
Jotaro menoleh kepada gadis itu, dan katanya, "Sekarang giliran Kakak.
Kami sudah menyebutkan nama kami. Kurang sopan kalau Kakak tidak menyebutkan
nama Kakak."
"Nama
saya Otsu."
"Otsu?"
Jotaro mengulang. la kelihatan puas sebentar, tapi kemudian mengoceh lagi.
"Kenapa ke mana-mana Kakak menyimpan suling dalam obi?"
"Oh, aku
butuh suling ini buat mencari makan."
"Jadi,
Kakak ini pemain suling?"
"Sebetulnya
aku tidak yakin apa ada pemain suling profesional, tapi uang yang kudapat
dengan main suling ini bisa buat melakukan perjalanan-perjalanan jauh macam
ini. Bolehlah kamu menyebut itu pekerjaanku."
"Apa
musik yang Kakak mainkan seperti musik yang sudah saya dengar di Gion dan Kuil
Kamo? Musik untuk tari-tarian suci?"
"Tidak."
"Apa
musik buat jenis tarian yang lain-misalnya Kabuki?"
"Tidak."
"Kalau
begitu, musik jenis apa?"
"Oh,
lagu-lagu biasa saja."
Sementara itu
si samurai bertanya-tanya dalam hati mengenai pedang kayu panjang milik Jotaro
itu. "Apa yang kamu pasang di pinggangmu itu?" tanyanya.
"Apa
Tuan tak kenal pedang kayu kalau Tuan melihatnya? Saya pikir Tuan ini
samurai."
"Ya, aku
memang samurai. Cuma aku heran melihat pedang begitu kamu bawa. Kenapa kamu
membawanya?"
"Saya
mau belajar ilmu pedang."
"Oh,
jadi kamu belajar sekarang? Apa kamu sudah punya guru?"
"Punya."
"Apa dia
yang akan menerima surat itu?" „
Ya. "
"Kalau
dia itu gurumu, tentunya dia ahli yang sejati."
"Dia
sama sekali tidak sebaik itu."
"Apa
maksudmu?"
"Semua
orang bilang dia lemah."
"Apa
kamu tidak keberatan punya guru lemah?"
"Tidak.
Saya juga tidak pandai main pedang, jadi tak ada bedanya."
Samurai itu
hampir tak dapat menahan rasa geli. Mulutnya menggetar, seakan hendak pecah
menjadi senyuman, tetapi matanya tetap muram. "Apa kamu sudah mempelajari
beberapa teknik?"
"Belum
bisa dikatakan begitu. Saya belum lagi belajar apa-apa."
Tawa samurai
itu pun akhirnya pecah berderai-derai, "Bicara dengan kamu ini bikin jalan
lebih pendek. Lalu, Nona sendiri man pergi ke mana?"
"Ke
Nara, tapi tepatnya Nara bagian mana, saya belum tahu. Ada seorang ronin yang
sudah sekitar satu tahun saya cari, dan karena menurut pendengaran saya banyak
ronin berkumpul di Nara sekarang ini, saya punya rencana ke sana, walaupun saya
akui, tidak banyak berita yang terdengar."
Jembatan Uji
mulai tampak. Di bawah tepi atap sebuah warung teh, seorang tua yang sangat
sopan memegang sebuah ketel teh besar. Ia sedang melayani para langganan yang
duduk berkeliling di bangku. Melihat Shoda, ia menyalaminya dengan hangat,
"Senang sekali bertemu dengan anggota Keluarga Yagyu!" serunya.
"Silakan masuk, silakan!"
"Kami
mau istirahat sebentar di sini. Bisa sediakan kue manis buat anak ini?"
Jotaro tetap
berdiri, sementara teman-temannya duduk. Baginya duduk dan beristirahat itu
membosankan. Begitu kue datang, ia segera mengambilnya dan larilah ia ke bukit
rendah di belakang warung teh.
Sambil
menghirup teh, Otsu bertanya kepada orang tua itu. "Apa Nara masih jauh
dari sini?"
"Masih.
Orang yang cepat jalannya pun barangkali takkan sampai lebih jauh dari Kizu
sebelum matahari terbenam. Anak perempuan seperti Anda mesti menginap di Taga
atau Ide."
Shoda pun
segera menyambung. "Nona ini sudah beberapa bulan mencari seseorang. Tapi
terpikir juga oleh saya, apa menurut Bapak cukup aman hari-hari ini, kalau
seorang wanita muda mengadakan perjalanan sendiri ke Nara, sedangkan dia belum
tahu akan menginap di mana?"
Mendengar
pertanyaan itu, orang tua itu membelalakkan matanya. "Oh, bahkan bermaksud
saja jangan!" katanya pasti. Sambil menoleh ke Otsu, ia mengibas-ngibaskan
tangan di depan wajah, dlan katanya, "Lupakan keinginan itu sama sekali.
Kalau Nona yakin ada teman untuk tinggal di sana, itu lain soal. Kalau tidak,
Nara bisa jadi tempat yang sangat berbahaya."
Pemilik
warung menuangkan secangkir teh untuk diri sendiri, lalu bercerita kepada
mereka mengenai apa yang diketahuinya tentang keadaan Nara. Rupanya kebanyakan
orang mendapat kesan bahwa ibu kota lama itu tempat yang tenang, damai, di mana
banyak kuil berwarna-warni dan rusarusa jinak-sebuah tempat yang tidak
terganggu oleh perang atau kelaparan. Padahal kenyataannya kota itu tidak lagi
seperti itu. Sesudah Pertempuran Sekigahara, tak tahulah orang, berapa banyak
ronin dari pihak yang kalah telah datang bersembunyi di sana. Kebanyakan
anggota partisan Osaka dari Tentara Barat dan Osaka, samurai-samurai yang kini
tak punya penghasilan dan sedikit saja punya harapan akan memperoleh pekerjaan
lain. Dengan semakin berkembangnya kekuasaan ke-shogun-an Tokugawa dari tahun
ke tahun, disangsikan apakah para pelarian itu akan dapat lagi memperoleh
penghidupan terang-terangan dengan pedangnya.
Menurut
perkiraan kebanyakan orang, 120.000 atau 130.000 orang samurai kehilangan
jabatannya. Sebagai pemenang, orang-orang Tokugawa menyita tanah-tanah milik
yang seluruhnya menghasilkan 33 juta gantang padi tiap tahun. Walau jika
dihitung juga tuan-tuan tanah feodal yang semenjak itu diizinkan menetap kembali
dengan gaya yang lebih sederhana, maka setidak-tidaknya ada delapan puluh
daimyo dengan penghasilan seluruhnya sekitar dua puluh juta gantang yang telah
dicabut hak miliknya. Kalau dihitung untuk setiap lima ratus gantang padi ada
tiga samurai yang telah dihentikan dari tempat kerjanya dan dipaksa bersembunyi
di berbagai provinsi lain-terhitung keluarga dan pesuruhnya-maka jumlah mereka
seluruhnya tidak akan kurang dari 100.000 orang.
Wilayah
sekitar Nara dan Gunung Koya penuh kuil, karena itu sukar bagi angkatan
bersenjata Tokugawa untuk mengadakan perondaan. Juga, karena merupakan tempat
sembunyi yang ideal, para pelarian berbondongbondong bergerak ke sana.
"Misalnya,"
kata orang tua itu, "Sanada Yukimura yang terkenal itu bersembunyi di
Gunung Kudo, lalu Sengoku Soya kabarnya berada di luar Horyuji, dan Ban
Dan'emon di Kofukuji. Banyak lagi yang dapat saya sebutkan." Semua itu
orang-orang yang punya nama, orang-orang yang akan dibunuh dengan seketika
kalau mereka menunjukkan diri. Satu-satunya harapan mereka untuk masa depan
adalah kalau perang pecah lagi.
Menurut
pendapat orang tua itu, keadaan tidak begitu jelek kalau hanya para ronin
terkenal itu yang menyembunyikan diri, karena mereka semua sedikit banyak punya
prestise dan dapat hidup sendiri dengan keluarganya. Tetapi yang mempersulit
keadaan adalah para samurai miskin yang berkeliaran di jalan-jalan belakang
kota; keadaan mereka demikian sulit, hingga kalau bisa pedang pun akan mereka
jual. Setengahnya lalu mulai berkelahi, berjudi, atau mengganggu ketenteraman,
dengan harapan kerusakan yang mereka datangkan itu akan membuat angkatan
bersenjata Osaka bangkit dan mengangkat senjata. Kota Nara yang dahulu tenang
itu kini berubah menjadi sarang penjahat nekat. Untuk gadis manis seperti Otsu,
pergi ke sana sama halnya dengan menuangkan minyak ke kimono dan menceburkan
dirt ke dalam api. Tergerak oleh ceritanya sendiri, pemilik warung teh menutup
ceritanya dengan minta amat sangat pada Otsu untuk mengubah maksudnya.
Otsu kini
merasa ragu-ragu dan duduk diam sebentar. Kalau sekiranya ada sedikit saja
petunjuk bahwa Musashi kemungkinan berada di Nara, tak akan ia berpikir panjang
mengenai bahayanya. Tapi sayangnya la betul-betul tak punya alasan untuk terus.
la sekadar berjalan ke arah Nara-tak ada bedanya dengan pengembaraannya ke
berbagai tempat lain, semenjak Musashi meninggalkannya di Jembatan Himeji.
Melihat
kebingungan pada wajahnya, Shoda berkata, "Tadi kaubilang namamu Otsu,
bukan?"
"Ya."
"Nah,
Otsu, aku memang ragu-ragu mengatakan ini, tapi kenapa tidak kau batalkan saja
maksudmu pergi ke Nara itu, dan sebagai gantinya kau pergi denganku ke tanah
Koyagyu?" Karena merasa wajib memberikan keterangan lebih banyak tentang
dirinya, dan meyakinkan Otsu bahwa maksudnya itu terhormat, ia melanjutkan,
"Nama lengkapku Shoda Kizaemon, dan aku mengabdi kepada Keluarga Yagyu.
Kebetulan tuanku yang sudah berumur delapan puluh tahun tidak lagi aktif. Dia
menderita kebosanan luar biasa. Ketika kau berkata kau hidup dari main suling,
terpikir olehku, akan senang sekali dia kalau kamu ada di dekatnya dan
sekali-sekali main untuknya. Apa kau suka kerja begitu?"
Orang tua itu
segera menimpali dengan pernyataan setuju. "Kamu lebih baik ikut
dia," desaknya. "Barangkali kamu tahu, yang dipertuan dari Koyagyu
yang sudah tua itu adalah Yagyu Muneyoshi yang agung. Sesudah pensiun, ia
memakai nama Sekishusai. Segera setelah ahli warisnya, Munenori, yaitu Yang
Dipertuan dari Tajima, pulang dari Sekigahara, dia langsung dipanggil ke Edo dan
ditunjuk menjadi instruktur dalam rumah tangga shogun. Tidak ada keluarga yang
lebih besar di Jepang ini daripada Keluarga Yagyu. Diundang ke Koyagyu saja
sudah merupakan kehormatan. Jangan sampai tidak diterima tawaran itu!"
Mendengar
bahwa Kizaemon adalah pejabat dalam Keluarga Yagyu yang termasyhur itu, Otsu
merasa beruntung, karena besar dugaannya, orang itu bukanlah samurai biasa.
Namun ia merasa sukar menjawab tawaran itu.
Melihat Otsu
masih juga diam, Kizaemon bertanya, "Tak suka kamu ke sana?"
"Bukan
itu soalnya. Tak ada tawaran lain yang lebih baik dari itu. Cuma saya takut,
nanti permainan saya tidak cukup baik untuk orang seperti Yagyu
Muneyoshi."
"Jangan
panjang-panjang kamu memikirkan soal itu. Keluarga Yagyu itu lain sekali dengan
daimyo lain. Khususnya Sekishusai, dia ahli upacara minum teh yang berselera
sederhana, tenang. Dia akan lebih terganggu oleh sifat malu-malumu itu daripada
bayanganmu bahwa kamu kurang terampil."
Otsu sadar
bahwa pergi ke Koyagyu lebih memberikan harapan, berapa pun kecilnya, daripada
berkeliaran tanpa tujuan ke Nara. Sejak meninggalnya Yoshioka Kempo, Keluarga
Yagyu dianggap banyak orang sebagai eksponen terbesar dalam seni perang di
negeri ini. Dapat dipahami kalau para pemain pedang dari seluruh negeri akan datang
ke pintu gerbangnya; di situ bahkan akan ada daftar tamu. Alangkah bahagianya
kalau dalam daftar itu dapat ia temukan nama Miyamoto Musashi!
Terutama
karena memikirkan kemungkinan itu, ia berkata riang, "Kalau menurut
pendapat Tuan tak ada halangan apa-apa, saya mau ke sana."
"Kamu
mau? Bagus sekali! Terima kasih sekali.... Hmm, tapi aku ragu, apa seorang
perempuan dapat jalan sejauh itu sebelum malam datang. Apa kamu bisa naik
kuda?"
"Bisa."
Kizaemon
membungkuk ke bawah tepi atap dan mengangkat tangan ke arah jembatan. Tukang
kuda yang menanti di sana datang berlari-lari membawa kuda; Kizaemon menyuruh
Otsu naik ke atasnya, sedangkan ia sendiri berjalan di sampingnya.
Jotaro
melihat mereka dari bukit di belakang warung teh, dan serunya, "Apa sudah
mau berangkat?
"Ya,
kami berangkat."
"Tunggu
saya!"
Mereka sudah
setengah jalan menyeberang Jembatan Uji ketika Jotaro menyusul. Kizaemon
bertanya kepadanya, apa yang dilakukannya tadi, dan Jotaro menjawab bahwa di
sebuah semak di bukit itu terdapat banyak orang sedang main. la tidak tahu nama
permainan itu, tapi kelihatannya menarik.
Tukang kuda
tertawa. "Itu ronin-ronin jembel yang sedang berjudi. Mereka tak punya
cukup uang untuk makan, karena itu mereka memikat musafir untuk main dengan mereka
dan mengakali segala milik mereka. Memalukan!"
"Oh,
jadi mereka itu berjudi untuk mata pencaharian?" tanya Kizaemon.
"Yang
berjudi itu termasuk yang baik-baik," jawab tukang kuda. "Banyak lagi
lainnya yang menjadi tukang culik dan peras. Mereka begitu kasar, sampai tak
ada orang yang dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan mereka."
"Kenapa
Yang Dipertuan daerah ini tidak menangkap atau mengusir mereka?"
"Jumlah
mereka terlalu banyak-jauh lebih banyak daripada yang dapat dihadapi. Kalau
semua ronin dari Kawachi, Yamato, dan Kii bergabung jadi satu, mereka bisa
lebih kuat daripada pasukan Yang Dipertuan sendiri."
"Saya
dengar Koga juga penuh dengan mereka itu."
"Ya.
Mereka datang dari Tsutsui. Mereka bertekad bertahan terus sampai perang
berikutnya."
"Bapak
ini begitu terus bicaranya tentang ronin," sela Jotaro, "tapi di
antara mereka tentunya ada orang-orang yang baik."
"Betul,"
kata Kizaemon menyetujui.
"Guru
saya seorang ronin!"
Kizaemon
tertawa, dan katanya, "Maka itu kamu membela mereka. Cukup setia juga
kamu.... Kaubilang akan pergi ke Hozoin tadi, ya? Apa di sana gurumu
tinggal?"
"Saya
tidak tahu betul, tapi dia bilang, kalau saya pergi ke sana, orang akan
menunjukkan pada saya, di mana dia."
"Apa
gaya gurumu itu?"
"Saya
tidak tahu."
"Kamu
muridnya, tapi kamu tak tahu gayanya?"
"Tuan,"
sela tukang kuda, "ilmu pedang itu sekarang cuma iseng-iseng. Semua orang
mempelajarinya. Kita dapat bertemu dengan lima atau sepuluh orang dari mereka
yang berkeliaran di jalan ini setiap hari. Itu semua karena jauh lebih banyak
ronin yang mengajar dibanding dahulu."
"Itu
cuma sebagian sebabnya."
"Mereka
tertarik, karena entah dari mana mereka itu mendengar, bahwa jika orang cakap
bermain pedang, daimyo akan berlomba-lomba menyewanya dengan bayaran empat atau
lima ribu gantang setahun."
"Jalan
pintas untuk menjadi kaya, ya?"
"Tepat.
Mengerikan kalau kita memikirkannya. Coba, anak sekecil ini pun sudah pegang
pedang kayu. Barangkali dia mengira bahwa dia hanya harus belajar memukul orang
dengan pedang itu untuk menjadi manusia sejati. Kita melihat banyak orang macam
itu, dan sedihnya, akhir-akhirnya kebanyakan mereka itu akan kelaparan."
Kemarahan
Jotaro sekilas bangkit. "Apa ini? Coba, kalau berani mengatakan
begitu!"
"Coba
dengar! Masih seperti kutu membawa cungkil gigi, tapi sudah membayang-kan
dirinya prajurit besar."
Kizaemon
tertawa. "Hei, Jotaro, jangan marah, nanti kamu kehilangan tabung bambu
lagi."
"Tidak
lagi! Tak usah menguatirkan saya!"
Mereka
berjalan terus. Jotaro merajuk diam. Yang lain-lain memandang matahari yang
pelan-pelan tenggelam. Akhirnya mereka sampai di pangkalan perahu tambangan di
Sungai Kizu.
"Di sini
kita berpisah. Nah, sebentar lagi gelap, jadi lebih baik kamu buru-buru. Dan
jangan buang waktu di jalan."
"Otsu?"
kata Jotaro, yang mengira Otsu akan pergi bersamanya.
"O ya,
aku lupa bilang tadi," kata Otsu. "Aku sudah memutuskan pergi dengan
Tuan ini ke puri di Koyagyu." Jotaro tampak terenyak. "Jaga baik-baik
dirimu," kata Otsu tersenyum.
"Mestinya
sudah sejak tadi aku tahu bakal sendiri lagi." Ia memungut sebuah batu dan
dilemparkannya batu itu bersilantar di permukaan air.
"Tapi
kita akan bertemu lagi hari-hari ini. Rumahmu jalanan, sedangkan aku sendiri
banyak jalan."
Jotaro
kelihatan tak ingin bergerak. "Tapi siapa yang Kakak cari itu?"
canyanya. "Orang macam apa?"
Tanpa
menjawab, Otsu melambaikan selamat berpisah.
Jotaro
berlari sepanjang tepi sungai, lalu melompat ke tengah perahu tambangan kecil.
Ketika perahu yang menjadi merah warnanya oleh matahari petang itu sudah
setengah jalan menyeberangi sungai, ia menoleh ke belakang. Masih dapat ia
mengenali kuda Otsu dan Kizaemon di jalan Kuil Kasagi. Mereka berada di lembah,
di sisi bagian sungai yang tiba-tiba menyempit, dan sedikit demi sedikit
ditelan oleh awal bayang-bayang gunung.
Hozoin
MURID seni
bela diri umumnya mengenal Hozoin. Yang berani menganggap dirinya murid serius,
tapi menganggap tempat itu sama saja seperti kuil-kuil yang lain, sudah cukup
untuk dianggap penipu. Tempat itu juga terkenal di antara penduduk setempat,
sekalipun aneh juga bahwa hanya sedikit orang yang kenal Gudang Shosoin yang
justru lebih penting karena koleksi benda-benda seni kuno yang tak ternilai
harganya.
Kuil itu
terletak di Bukit Abura, di tengah hutan kriptomeria yang luas dan lebat.
Pendeknya, itulah tempat tinggal jin-jin. Di sini pula terdapat sisa-sisa
kebesaran zaman Nara-reruntuhan sebuah kuil, yaitu Kuil Ganrin'in, dan
reruntuhan rumah mandi umum raksasa yang dibangun oleh Ratu Komyo untuk orang
miskin. Tetapi sekarang yang tertinggal dari semua itu hanyalah serakan batu
pondasi yang mengintip dari balik lumut dan rerumputan.
Musashi tidak
mengalami kesulitan mencari arah Bukit Abura, tapi begitu sampai di sana ia
berdiri memandang ke sekitar dengan kagumnya, karena di sana terdapat kuil-kuil
lain yang bersarang di tengah hutan. Pohon-pohon kriptomeria telah menempuh
musim dingin dengan selamat, dan kini bermandikan hujan awal musim semi. Warna
daun-daunnya sedang gelap-gelapnya. Bersamaan dengan tibanya senja, di atas
pepohonan itu tampak lekuk-lekuk feminin Gunung Kasuga. Gunung-gunung di
kejauhan masih terang oleh sinar matahari.
Sekalipun di
antara kuil-kuil itu tak ada yang mirip dengan yang dicarinya, Musashi
mendatangi setiap gerbang untuk memeriksa papan namanya. Pikiran Musashi
demikian penuh oleh Hozoin, hingga ketika ia melihat papan nama Kuil Ozoin,
mula-mula ia salah baca, karena hanya huruf pertama, yaitu "0", yang
berlainan. Walaupun kemudian ia segera menyadari kesalahannya, pergi juga ia ke
dalam untuk melihat. Ozoin rupanya milik Sekte Nichiren. Sepanjang
pengetahuannya, Hozoin adalah kuil Zen yang tak ada hubungan-nya dengan
Nichiren.
Selagi ia
berdiri di sana, seorang biarawan muda yang baru kembali ke Ozoin melewatinya
dan menatapnya penuh curiga.
Musashi
melepas topi, dan katanya, "Boleh saya bertanya?"
"Tentang
apa?"
"Kuil
ini namanya Ozoin?"
"Ya,
seperti yang tertulis di papan itu."
"Kata
orang, Hozoin ada di Bukit Abura. Betul?"
"Di
belakang kuil ini. Anda mau ke sana buat bertanding?"
"Ya."
"Kalau
begitu dengarkan nasihat saya: Lupakan saja."
"Kenapa?"
"Berbahaya.
Saya bisa mengerti kalau orang yang dilahirkan pincang pergi ke situ untuk
diluruskan kakinya, tapi saya tak melihat alasannya kalau orang yang anggota
badannya baik dan lurus mesti pergi ke sana untuk dikutungi."
Biarawan itu
tegap tubuhnya, agak lain daripada biarawan Nichiren biasa. Menurut biarawan
itu, jumlah calon prajurit telah mencapai angka yang oleh Hozoin pun sudah
dianggap mengganggu. Kuil itu tempat suci untuk cahaya Hukum Sang Budha,
seperti ditunjukkan oleh namanya. Perhatian utamanya terletak pada agama. Seni
bela diri hanya sampingan, demikianlah kira-kira.
Kakuzenbo
In'ei, kepala biara yang dulu, sering kali mengunjungi Yagyu Muneyoshi. Karena
hubungannya dengan Muneyoshi dan dengan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, teman
Muneyoshi, kepala biara itu tertarik pada seni bela diri dan akhirnya mulai
belajar ilmu pedang sebagai pelengah waktu. Lalu ia mengembangkan cara-cara
baru dalam menggunakan lembing, dan sepengetahuan Musashi inilah yang menjadi
cikal-bakal Gaya Hozoin yang sangat dihargai orang.
In'ei
sekarang berumur delapan puluh empat tahun dan sudah sepenuhnya pikun. Ia
hampir tidak pernah menjumpai siapa pun. Pada waktu menerima tamu pun ia sudah
tidak dapat melakukan percakapan. Ia hanya duduk dan membuat gerakan-gerakan
yang tak dapat dimengerti dengan mulutnya yang sudah ompong. Kelihatannya ia
tidak dapat menangkap apa pun yang dikatakan orang kepadanya. Soal lembing
sudah dilupakannya sama sekali.
"Jadi,
begitulah," simpul biarawan itu sesudah menjelaskan semuanya, "tak
banyak faedahnya Anda pergi ke sana. Anda barangkali tak dapat bertemu dengan
gurunya, dan kalaupun Anda bertemu dengannya, tak dapat Anda mempelajari
sesuatu." Sikap kasar orang itu menunjukkan bahwa ia ingin Musashi lekas
pergi.
Walaupun
sadar dianggap enteng oleh orang itu, Musashi mendesak terus. "Saya sudah
mendengar tentang In'ei, dan saya tahu bahwa yang Anda katakan itu benar. Tapi
saya mendengar juga bahwa seorang pendeta yang namanya Inshun telah mengambil
alih kedudukannya dan menggantikannya. Orang bilang dia masih belajar, tapi dia
sudah paham semua rahasia Gaya Hozoin. Menurut yang saya dengar, walaupun dia
sudah punya banyak murid, tidak pernah dia menolak memberikan pelajaran pada
siapa pun yang datang kepadanya."
"Oh,
Inshun," kata biarawan itu dengan nada menghina. "Tak ada apa-apanya
desas-desus itu. Inshun sebetulnya murid kepala biara Ozoin. Sesudah In'ei
mulai memperlihatkan tanda-tanda ketuaan, kepala biara kami merasa sayang jika
reputasi Hozoin tersia-sia begitu saja. Karena itu dia mengajarkan pada Inshun
rahasia-rahasia permainan lembing yang pernah dia pelajari dari In'ei, dan
kemudian dia atur pula agar Inshun menjadi kepala biara."
"Oh,
begitu," kata Musashi.
"Tapi
Anda masih juga ingin ke sana?"
"Yah,
sudah sejauh ini saya pergi...."
"Tentu."
"Tadi
Anda bilang tempatnya di belakang ini. Lebih baik memutar ke kiri atau ke
kanan?"
"Tak
perlu memutar. Jauh lebih cepat jalan terus lewat kuil kami ini. Takkan salah
lagi."
Sesudah
mengucapkan terima kasih kepadanya, Musashi berjalan melewati dapur kuil itu ke
belakang pekarangan. Di situ terdapat gudang kayu, gudang empleng kacang, dan
kebun sayur-sayuran yang luasnya sekitar satu ekar, mirip sekali dengan wilayah
di sekitar rumah seorang petani kaya. Di sebelah kebun itu ia melihat Hozoin.
Selagi
berjalan di tanah lunak di antara baris-baris lobak, rades, dan bawang, ia
lihat di satu sisi seorang tua yang sedang mencangkuli sayursayuran. Sambil
membungkuk mencangkul, ia memandang baik-baik lempengan cangkulnya. Yang
kelihatan oleh Musashi pada orang itu hanyalah sepasang alisnya yang putih
saiju. Kecuali dentang cangkul yang mengenai batu-batuan, keadaan betul-betul
sepi.
Musashi
menyimpulkan bahwa orang tua itu biarawan Ozoin. la hampir berbicara, tapi
orang tua itu rupanya demikian tenggelam dalam pekerjaannya, hingga rasanya
kurang sopan mengganggunya.
Namun ketika
Musashi berlalu tanpa mengucapkan sesuatu, tiba-tiba sadarlah ia bahwa orang
itu sedang menatap kakinya dari sudut matanya. Walaupun orang itu tidak
bergerak ataupun berbicara, Musashi merasa diserang dengan kekuatan yang
mengerikan-suatu kekuatan yang seperti kilat membelah awan. Ini bukan mimpi di
siang bolong. Ia benar-benar merasakan kekuatan misterius itu menghunjam
tubuhnya, dan ia meloncat ketakutan ke udara. Seluruh tubuhnya terasa panas,
seolah-olah baru saja lolos dari pukulan pedang atau tombak yang mematikan.
Ketika ia
menoleh, dilihatnya punggung yang bungkuk itu masih menghadapnya dan cangkul
itu masih juga meneruskan iramanya yang tak terputus-putus. "Apa arti
semua ini?" demikian ia terheran-heran, kagum oleh kekuatan yang baru saja
menyerangnya.
Akhirnya
sampailah ia di depan Hozoin, namun rasa ingin tahunya masih belum reda. Sambil
menanti munculnya seorang pembantu, ia berpikir, "Inshun mestinya masih
muda. Biarawan muda itu tadi mengatakan In'ei sudah pikun dan sudah lupa sama
sekali akan tombak, tapi aku ingin tahu..." Kejadian di halaman itu masih
terus menghantui pikirannya.
Ia berseru
dua kali lagi, tapi jawaban satu-satunya yang diperolehnya adalah gema dari
pepohonan di sekitar. Melihat ada sebuah gong besar di samping pintu masuk, ia
memukulnya. Hampir seketika itu juga teriakan jawaban terdengar dari dalam
kuil.
Seorang
pendeta datang ke pintu. Orangnya besar dan berotot. Sekiranya ia salah seorang
prajurit pendeta Gunung Hiei, pasti ia komandan batalion. Karena dari hari ke
hari terbiasa menerima kunjungan orang-orang seperti Musashi, ia hanya
melontarkan pandangan selintas, dan katanya, "Anda shugyosha?"
"Ya."
"Ada
keperluan apa ke sini?"
"Saya
ingin bertemu dengan Guru."
Pendeta itu
berkata, "Silakan masuk," dan memberikan isyarat ke kanan pintu
masuk; maksudnya secara tak langsung adalah supaya Musashi membasuh kakinya
dulu. Di situ terdapat sebuah tong penuh air yang disalurkan lewat pipa bambu.
Di kanan-kirinya terdapat sekitar sepuluh pasang sandal yang usang dan kotor.
Musashi
mengikuti pendeta itu menyusuri lorong yang lebar dan gelap, dan dipersilakan
masuk ke kamar tunggu. Di situ ia diminta menanti. Bau dupa mengambang di
udara. Lewat jendela ia dapat melihat daun-daun lebar pohon pisang. Selain
sikap kasar si raksasa yang telah mengantarnya masuk itu, menurut penglihatan
Musashi tak ada suatu pun yang menunjukkan bahwa ada yang luar biasa di kuil
yang satu ini.
Ketika muncul
kembali, pendeta itu menyerahkan daftar tamu dan kotak tinta kepadanya.
Katanya, "Silakan tulis nama Anda, di mana Anda pernah belajar, dan gaya
apa yang Anda gunakan." Bicaranya seolah-olah sedang mengajar seorang
anak.
Judul buku
tamu itu: "Daftar Orang-orang yang Mengunjungi Kuil Ini untuk Belajar
Pramugara Hozoin." Musashi membuka buku itu dan memperhatikan nama-nama di
dalamnya. Masing-masing ditulis di bawah tanggal berkunjungnya seorang samurai
atau murid. Menuruti gaya masukan yang terakhir, Musashi menuliskan keterangan
yang diminta, tanpa menyebutkan nama gurunya.
Pendeta itu
tentu saja sangat tertarik pada hal ini.
Jawaban
Musashi sama dengan yang pernah diberikannya di Perguruan Yoshioka. la belajar
menggunakan pentung dengan pimpinan ayahnya, "tapi tidak terlalu rajin
mempelajarinya." Karena ada maksud belajar dengan sungguh-sungguh, maka ia
berguru pada segala yang ada di alam semesta ini, demikian juga contoh-contoh
yang diberikan oleh para pendahulu di negeri ini. Ia menutupnya dengan
mengatakan, "Saya masih dalam taraf belajar."
"Mm.
Anda barangkali sudah tahu, tapi semenjak zaman guru kami yang pertama, Hozoin
terkenal di mana-mana karena permainan tombaknya. Pertarungan di sini
berlangsung kasar, dan tidak ada perkecualian. Sebelum Anda melanjutkan,
barangkali lebih baik Anda membaca dulu apa yang tertulis di awal buku tamu
itu."
Musashi
mengambil buku itu, membukanya, dan membaca persyaratan yang tadi ia lewati.
Bunyinya: Karena saya datang kemari dengan tujuan belajar, maka saya
membebaskan kuil dari segala tanggung jawab, manakala saya mendapat cedera
badaniah ataupun terbunuh.
"Saya
setuju," kata Musashi sambil menyeringai sedikit—memang itu sudah
sewajarnya bagi orang yang berniat menjadi prajurit.
"Baiklah.
Silakan."
Dojo itu
besar sekali. Para biarawan tentunya telah mengorbankan sebuah ruangan kuliah
atau bangunan besar lain untuk membuat dojo itu. Belum pernah Musashi melihat
tiang-tiang yang demikian besar kelilingnya, dan ia juga melihat bekas-bekas
cat, kertas emas, dan cat dasar Cina putih pada kerangka lubang angin. Semua
itu hal-hal yang tidak biasa ditemukan dalam ruang latihan biasa.
Ia bukan tamu
satu-satunya di situ. Lebih dari sepuluh calon prajurit duduk di kamar tunggu.
Di situ ada juga murid pendeta yang sama jumlahnya. Disamping itu ada beberapa
samurai yang hanya menjadi peninjau. Semuanya dengan saksama memperhatikan dua
pemain tombak yang sedang melakukan latihan pertandingan. Tak seorang pun
melontarkan pandangan kepada Musashi, ketika ia duduk di sebuah sudut.
Menurut papan
pemberitahuan di dinding, jika seseorang ingin bertarung dengan tombak
bertulang, tantangan akan diterima, tetapi para murid yang kini duduk di lantai
itu hanya menggunakan tongkat latihan dari kayu ek panjang. Namun pukulan di
sini bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
Salah seorang
yang berlatih terlontar ke udara dan berjalan terpincangpincang kembali ke
tempat duduk. Kalah. Musashi melihat pahanya membengkak sampai sebesar batang
pohon. Orang itu tak dapat lagi duduk, dan menjatuhkan diri dengan susah payah
pada sebelah lututnya. Kakinya yang luka dijulurkannya ke depan.
"Berikutnya!"
terdengar panggilan orang yang duduk di lantai, seorang pendeta yang sikapnya
angkuh luar biasa. Lengan jubahnya diikatkan ke belakang, dan seluruh
tubuhnya-kaki, tangan, bahu, dan bahkan dahinya seolah terdiri atas otot-otot
menggelembung. Tongkat kayu ek yang dipegangnya tegak lurus itu panjangnya
paling tidak sepuluh kaki.
Satu orang
yang agaknya salah seorang dari yang datang hari itu menyam-butnya. la mengikat
lengan kimononya dengan tali kulit dan berjalan menuju tempat latihan. Pendeta
berdiri tak bergerak ketika si penantang pergi ke dinding, memilih
tombak-kampak, dan datang menghadapinya. Mereka membungkuk seperti kebiasaan,
tapi baru saja mereka selesai menghormat, si pendeta sudah memperdengarkan
raungan anjing liar, dan bersamaan dengan itu ia menjatuhkan tongkatnya
sekuat-kuatnya ke tengkorak si penantang.
"Berikutnya,"
serunya, kembali pada posisi semula.
Selesai
sudah. Penantangnya sudah kalah. Ia belum mati, tapi mengangkat kepala dari
lantai pun ia sudah tak sanggup. Dua murid si pendeta keluar dan menyeretnya
pergi pada lengan dan pinggang kimononya. Di lantai yang ditinggalkannya
berceceran ludah bercampur darah.
"Berikutnya!"
seru si pendeta lagi, tetap dengan wajah masam.
Semula
Musashi mengira orang itu Inshun, guru generasi kedua, tapi orang-orang yang
duduk di sekitarnya mengatakan bukan. Orang itu Agon, salah seorang murid
senior yang dikenal sebagai "Tujuh Pilar Hozoin". Mereka bilang
Inshun sendiri tidak pernah bertarung, karena para penantang selalu dapat
dijatuhkan oleh salah seorang dari mereka ini.
"Tidak
ada lagi?" lenguh Agon yang memegang tombak latihannya mendatar.
Pramugara
berotot itu pun mencocokkan daftar tamu dengan wajah orang-orang yang sedang
menanti. Ia menunjuk seorang di antaranya.
"Tidak,
jangan hari ini.... Saya datang lagi nanti."
"Bagaimana
kalau Anda?"
"Kalau
Anda tidak keberatan."
"Apa
pula itu artinya?"
"Artinya,
saya sedia bertarung."
Semua mata
menatap Musashi ketika ia bangkit. Agon yang congkak itu telah menyingkir dari
lantai dan waktu itu sedang bercakap-cakap dan tertawa bersemangat dengan
sekelompok pendeta, tapi ketika penantang baru muncul, pandangan bosan tampak
kembali pada wajahnya. Katanya malas, "Gantikan saya."
"Teruskan
saja," desak mereka. "Tinggal seorang lagi."
Agon
mengalah, lalu berjalan acuh tak acuh ke tengah lantai. Ia mencengkeram tongkat
kayu hitam mengilat itu, yang agaknya sudah dikenalnya betul. Dengan cepat ia
mengambil sikap menyerang, membelakangi Musashi, dan menyerang ke jurusan lain.
"Yah-h-h!"
Sambil memekik seperti burung garuda yang sedang berang, ia menderas ke arah
dinding belakang dan dengan bengis menghunjamkan tombaknya ke bagian dinding
yang dipergunakan untuk berlatih. Papan-papan di situ baru saja diganti, tapi
sekalipun kayu baru itu liar, lembing Agon yang tidak bermata logam itu
langsung melesak tembus.
"Yow-w-w!"
Pekik kemenangannya menggema seram di seluruh ruangan ketika ia mencabut
tombaknya dan mulai menari, bukan berjalan, kembali mendekati Musashi. Uap
mengepul dari tubuhnya yang terselimut Ia mengambil posisi agak jauh. Ia
menatap penantang terakhir itu dengan galak. Musashi maju bersenjatakan pedang
kayu. Ia berdiri diam, kelihatan sedikit heran.
"Siap!"
teriak Agon.
Terdengar
tawa kering di luar jendela. Satu suara mengatakan, "Agon, jangan tolol!
Lihat, orang bebal, lihat! Bukan papan yang kamu hadapi."
Tanpa
mengendurkan sikapnya, Agon memandang ke jendela. "Siapa kamu?"
lenguhnya.
Tawa itu
terdengar terus, kemudian tampak di ambang jendela kepala mengilat dan sepasang
alis seputih salju, seakan-akan keduanya itu digantungkan di sana oleh seorang
pedagang barang antik.
"Tak
baik buatmu, Agon. Kali ini tidak. Biarkan saja orang itu menanti sampai lusa,
jika Inshun sudah kembali."
Musashi yang
juga menoleh ke jendela itu, melihat bahwa wajah di jendela itu wajah orang tua
yang tadi dilihatnya ketika menuju Hozoin. Tapi baru saja ia sadar, kepala itu
sudah lenyap.
Peringatan
orang tua itu hanya berpengaruh pada genggaman senjata Agon yang agak
mengendur, tapi begitu matanya bertatap pandang dengan mata Musashi, ia
menyumpah ke arah jendela yang kini kosong dan melupakan nasihat yang
diterimanya.
Sementara
Agon mengetatkan genggaman tombaknya, Musashi bertanya untuk basa-basi,
"Anda siap?"
Basa-basi ini
malah membikin Agon meradang. Otot-ototnya seperti baja, dan bila ia melompat,
lompatannya bukan main ringannya. Kelihatan seolah kedua kakinya berada di
lantai dan di udara sekaligus, menggeletar seperti cahaya bulan di atas
gelombang samudra.
Musashi
berdiri diam sepenuhnya, atau begitulah kelihatannya. Tak ada yang aneh pada
sikapnya. Ia memegang pedang lurus ke depan dengan kedua belah tangannya, tapi
karena hadannya sedikit lebih kecil dari lawannya dan tidak begitu berotot, ia
tampak hampir biasa saja. Perbedaan terbesar adalah pada matanya. Mata Musashi
setajam mata burung, sedangkan biji matanya seperti batu koral terang bergurat
darah.
Agon
menggelengkan kepala, barangkali untuk mengibaskan keringat yang mengucur dari
dahinya, barangkali untuk mengibaskan kata-kara peringatan orang tua itu.
Apakah kata-kata itu masih menempel? Apakah ia mencoba membuangnya ke luar
pikirannya? Apa pun alasannya, ia tampak terganggu sekali. Berulang-ulang ia
mengganti posisi dalam usaha memancing Musashi, tetapi Musashi tetap tak
bergerak.
Sergapan yang
dilancarkan Agon diiringi pekik tajam. Dalam sedetik yang menentukan itu
Musashi menangkis dan sekaligus melancarkan serangan balasan.
"Apa
yang terjadi?"
Para rekan
pendeta Agon bergegas maju ke depan dan mengerumuninya dalam bentuk lingkaran
hitam. Dalam suasana kacau-balau itu, beberapa orang menginjak tombak latihan
dan jatuh tertelungkup.
Seorang
pendeta bangkit berdiri, tangan dan dadanya berlumuran darah, dan serunya,
"Obat! Ambil obat! Cepat!"
"Kalian
tidak membutuhkan obat lagi." Itu ucapan orang tua yang masuk dari pintu
depan dan cepat menilai keadaan. Wajahnya masam. "Kalau obat dapat
menyelamatkannya, tidak akan aku mencoba menghentikannya tadi. Goblok!"
Tak seorang
pun memperhatikan Musashi. Karena tak ada lagi yang bisa dikerjakannya, Musashi
berjalan ke pintu depan dan mengenakan sandalnya. Orang tua itu mengikutinya.
"Hai!"
katanya.
Sambil
menoleh Musashi menjawab, "Ya?"
"Saya
mau bicara sedikit dengan Anda. Masuklah lagi."
Ia mengantar
Musashi ke sebuah kamar di belakang ruangan latihan, sebuah sel sederhana
persegi empat. Pintu merupakan satu-satunya jalan ke luar.
Sesudah
mereka duduk, orang tua itu berkata, "Sebetulnya lebih layak kalau Kepala
Biara datang menyambut Anda, tapi dia sedang dalam perjalanan, dan baru kembali
dalam dua atau tiga hari ini. Jadi, saya bertindak atas namanya."
"Oh,
Bapak sungguh baik hati," kata Musashi membungkukkan kepala. "Saya
berterima kasih atas latihan baik yang saya terima hari ini, tapi saya minta
maaf atas terjadinya musibah tadi...."
"Kenapa?
Hal seperti itu memang kadang-kadang terjadi. Anda harus siap menerimanya
sebelum Anda mulai bertarung. Tak usah itu menggelisahkan Anda."
"Bagaimana
luka Agon?"
"Dia
terbunuh seketika," kata orang tua itu. Embusan napasnya terasa seperti
angin dingin pada wajah Musashi.
"Dia
mati?" Lalu kepada diri sendiri Musashi berkata, "Jadi, terjadi lagi
sekarang." Sekali lagi pedang kayunya membunuh orang. Ia memejamkan mata.
Dalam hati ia menyerukan nama Sang Budha, seperti yang biasa dilakukannya
dahulu dalam kejadian serupa.
"Anak
muda!"
"Ya,
Pak."
"Apa
namamu Miyamoto Musashi?"
"Betul."
"Siapa
gurumu belajar seni bela diri?"
"Saya
tak pernah punya guru dalam arti biasa. Ayah saya mengajari saya menggunakan
pentung ketika saya masih kecil. Sejak itu saya mengambil sejumlah pelajaran
dari samurai yang lebih tua di berbagai provinsi. Saya juga menghabiskan
sejumlah waktu mengitari pedesaan, belajar di gunung-gunung dan sungai-sungai.
Saya menganggap semua itu guru juga."
"Kamu
rupanya memiliki sikap yang tepat. Tapi kamu begitu kuat! Terlalu amat
kuat!"
Merasa sedang
dipuji, wajah Musashi memerah, dan katanya, "Oh, tidak! Saya masih belum
matang. Saya masih selalu berbuat kesalahan."
"Bukan
itu yang kumaksud. Kekuatanmu itulah yang menjadi masalah. Kau mesti
mengendalikannya, mesti lebih lemah."
"Bagaimana?"
tanya Musashi bingung.
"Kau
ingat, tadi kau lewat kebun sayur tempat aku bekerja?"
"Ya."
"Ketika
melihatku, kau melompat menyingkir, bukan?"
"Ya."
"Kenapa
begitu?"
"Wah,
saya bayangkan waktu itu Bapak bisa menggunakan cangkul Bapak sebagai senjata
dan menghantam kaki saya. Juga, walaupun perhatian Bapak kelihatannya terpusat
ke tanah, seluruh tubuh saya terasa terpaku oleh pandangan Bapak. Saya merasa
ada hawa pembunuhan dalam pandangan Bapak, seakan-akan Bapak sedang mencari
tempat lemah dalam tubuh saya untuk diserang."
Orang tua itu
tertawa. "Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kau masih lima puluh
kaki jauhnya dariku, tapi sudah kutangkap apa yang dinamakan 'hawa pembunuh'
itu di udara. Kurasakan itu di ujung cangkulku. Demikian kuat semangat juang
dan ambisimu, sehingga muncul dalam setiap langkah yang kau ambil. Waktu itu aku
merasa harus siap mempertahankan diri.
"Kalau
yang lewat itu cuma salah seorang dari petani desa ini, aku sendiri tak akan
lebih dari seorang tua yang sedang mengurus sayur-sayuran. Benar, kau merasakan
sikap permusuhanku, tapi itu hanya pantulan sikapmu sendiri. "
Jadi, Musashi
benar, ketika ia menduga orang itu bukan orang biasa, sekalipun mereka belum
bersapa kata. Sekarang ia merasakan pendeta itu guru, dan ia sendiri murid.
Sikapnya kepada orang tua bungkuk itu menjadi hormat.
"Saya
mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang Bapak berikan. Boleh saya
menanyakan nama Bapak dan kedudukan Bapak di kuil ini?"
"Oh, aku
bukan dari Kuil Hozoin. Aku Kepala Biara Ozoin. Namaku Nikkan."
"Oh."
"Aku
teman lama In'ei, dan karena dia mempelajari seni tombak, kuputuskan untuk
belajar bersamanya. Tapi belakangan aku punya pikiran lain. Sekarang tidak
pernah lagi kusentuh senjata itu."
"Jadi,
Inshun yang jadi kepala biara ini murid Bapak."
"Ya,
dapat dianggap demikian. Tapi kaum pendeta tidak seharusnya menggunakan
senjata, dan rasanya sayang bahwa Hozoin jadi terkenal justru karena seni bela
dirinya, bukan karena semangat keagamaannya. Namun ada yang merasa sayang
sekali kalau Gaya Hozoin itu lenyap. Karena itu aku mengajarkannya kepada Inshun.
Tak ada orang lain lagi yang kuajari."
"Kalau
demikian, saya ingin tahu, apakah Bapak mengizinkan saya tinggal di kuil Bapak
sampai Inshun kembali?"
"Apa kau
berniat menantangnya?"
"Yah,
selama saya berada di sini, ingin saya melihat bagaimana guru terkemuka itu
memainkan tombak."
Nikkan
menggeleng mencela.
"Itu
buang-buang waktu. Tak ada yang bisa dipelajari di sini."
"Apa
betul demikian?"
"Sudah
kaulihat seni tombak Hozoin tadi, ketika menghadapi Agon. Apa lagi yang perlu
disaksikan? Kalau ingin belajar lebih banyak, perhatikan aku. Pandang
mataku."
Nikkan
menaikkan bahunya, memajukan sedikit kepalanya, dan menatap Musashi. Matanya
seolah-olah melompat dari ceruknya. Sementara Musashi ganti memandangnya, biji
mata Nikkan bersinar, mula-mula dengan nyala warna merah merjan, lalu
berangsur-angsur berubah menjadi biru langit yang bening. Cahaya mata itu
membakar dan menumpulkan pikiran Musashi. Ia melengos. Tawa Nikkan pun
berderai-derai seperti derak papan sekering tulang.
Ia baru
mengendurkan pandangannya ketika seorang pendeta muda masuk dan berbisik
kepadanya. "Bawa sini," perintahnya.
Segera
pendeta muda itu kembali membawa baki dan wadah nasi dari kayu yang bulat
bentuknya. Nikkan menyendok nasi dari wadah itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk,
lalu memberikannya kepada Musashi.
"Kusuguhkan
nasi, teh, dan acar. Sudah biasa bagi Hozoin menyuguhkannya pada semua orang
yang datang kemari untuk belajar, karena itu tak usah merasa telah merepotkan.
Mereka membuat acarnya sendiri yang disebut acar Hozoin, yaitu mentimun yang
diisi kemangi dan cabe merah. Kau akan merasakannya enak juga."
Sementara
Musashi mengambil sumpit, ia merasa mata Nikkan yang tajam itu terarah lagi
kepadanya. Tapi kali ini tak dapat ia menyatakan apakah daya tembus mata itu
berasal dari dalam diri si pendeta, ataukah jawaban atas sesuatu yang ia
keluarkan sendiri. Baru ia menggigit acar itu, ada perasaan mencengkamnya bahwa
tinju Takuan hendak menghantamnya lagi, atau barangkali tombak di dekat ambang
pintu itu yang hendak melayang ke arahnya.
Ketika ia
sudah menghabiskan semangkuk nasi dengan teh dan dua acar, Nikkan bertanya,
"Mau lagi?"
"Tidak,
terima kasih. Sudah cukup banyak."
"Bagaimana
rasa acarnya?"
"Enak
sekali, terima kasih."
Sesudah pergi
pun sengatan cabe merah di lidah itulah yang terutama mengingatkan Musashi
kepada rasa acar itu. Dan itu tidak merupakan satusatunya sengatan yang
dirasakannya, karena ia meninggalkan tempat itu dengan keyakinan bahwa
bagaimanapun ia sudah kalah. "Aku kalah," demikian gerutunya ketika
ia berjalan pelan-pelan melintasi rumpun kriptomeria. "Aku sudah
diungguli!" Dalam cahaya remang-remang terlihat olehnya bayang-bayang
sekejap melintasi jalannya. Bayang-bayang segerombolan kecil rusa yang ketakutan
oleh langkah kakinya.
"Kalau
bicara soal kekuatan fisik, aku menang, tapi aku tinggalkan tempat itu dengan
perasaan kalah. Kenapa? Apa aku menang secara lahir, hanya untuk kalah secara
batin?"
Tiba-tiba,
karena ingat Jotaro, ia memutar langkah kembali menuju Hozoin, di mana
lampu-lampu masih menyala. Ia menyebutkan namanya dan pendeta yang berjaga di
pintu melongokkan kepala, dan katanya sambil lalu, "Ada apa? Ada yang
lupa?"
"Ya.
Besok atau lusa akan datang satu orang mencari saya kemari. Kalau dia datang,
saya mohon disampaikan kepadanya bahwa saya tinggal di daerah Kolam Sarusawa.
Dia harus menanyakan saya di rumah-rumah penginapan yang ada di sana."
"Baik."
Karena
jawaban itu acuh tak acuh, Musashi merasa perlu menambahkan, "Yang datang
itu anak lelaki. Namanya Jotaro. Dia masih kecil, karena itu tolong disampaikan
pesan ini baik-baik kepadanya."
Musashi
kembali menempuh jalan yang tadi ditempuhnya sambil menggerutu, "Ini bukti
aku kalah. Aku bahkan lupa meninggalkan pesan untuk Jotaro. Aku dikalahkan oleh
kepala biara tua itu!" Kekesalan Musashi berlanjut terus. Walaupun ia
sudah menang melawan Agon, namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu
kementahan yang dirasakannya di hadapan Nikkan. Bagaimana mungkin ia menjadi
pemain pedang besar, yang terbesar dari semuanya? Itulah persoalan yang terus
merundungnya siang dan malam. Pertemuan hari ini telah membuatnya betul-betul
murung.
Selama
sekitar dua puluh tahun terakhir ini, wilayah antara Kolam Sarusawa dan bagian
hilir Sungai Sai telah dibangun dengan mantapnya. Di sana sekarang terdapat
bangunan campur aduk, rumah-rumah penginapan, dan toko-toko baru. Baru-baru ini
Okubo Nagayasu datang memerintah kota itu atas nama Keluarga Tokugawa dan
mendirikan kantor-kantor pemerintahan di dekat sana. Di tengah kota berdiri
bangunan milik seorang Cina yang kabarnya adalah turunan Lin Ho-ching. Usahanya
berjualan bakpau maju pesat, dan waktu itu sedang berlangsung perluasan tokonya
ke arah Kolam Sarusawa.
Musashi
berhenti di tengah hutan lampu di daerah paling ramai. Ia bingung di mana mesti
tinggal. Ada banyak rumah penginapan di sana, tapi ia harus hati-hati
mengeluarkan uang. Lagi pula ia ingin memilih tempat yang tidak terlampau jauh
dari jalan yang banyak ditempuh orang, agar Jotaro dapat menemukannya dengan
mudah.
Ia baru saja
makan di kuil, tapi ketika tercium olehnya bau bakpau itu, ia merasa lapar
lagi. Ia masuk toko itu, duduk dan memesan satu piring penuh. Ketika pesanan
datang, ia melihat bahwa nama Lin dicetakkan di bagian bawah kue. Berlainan
dengan acar pedas di Hozoin, rasa kue itu dapat dinikmatinya dengan senang.
Gadis yang
menuangkan tehnya bertanya sopan, "Di mana Tuan mau menginap malam ini?"
Karena tidak
kenal daerah itu, Musashi segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan
menjelaskan keadaan dirinya dan sekalian minta nasihatnya. Gadis itu mengatakan
bahwa salah seorang sanak pemilik toko itu mempunyai rumah pondokan. Di situ
Musashi akan diterima dengan senang hati. Tanpa menantikan jawaban Musashi
lagi, gadis itu sudah menderap pergi. Ia kembali lagi bersama seorang wanita
yang masih agak muda. Alisnya yang dicukur menunjukkan bahwa ia sudah menikah;
agaknya ia istri pemilik toko.
Rumah
pondokan itu terdapat di lorong yang tenang, tidak jauh dari restoran. Agaknya
itu tempat tinggal biasa yang kadang-kadang menerima tamu. Si nyonya tak
beralis itu mengantar Musashi, mengetuk pintu pelanpelan, kemudian menoleh
kepada Musashi, dan katanya pelan, "Ini rumah kakak perempuan saya, jadi
tak usah susah-susah memberi tip atau apa pun."
Pelayan
keluar dari rumah, dan kedua orang itu saling berbisik beberapa waktu lamanya.
Pelayan merasa puas dan mengantar Musashi ke lantai kedua.
Kamar dan perlengkapan
kamar itu terlalu baik untuk sebuah rumah penginapan biasa, hingga Musashi
merasa sedikit kurang enak. Ia heran, kenapa rumah sebaik itu menerima
tumpangan. Maka ia bertanya kepada pelayan, tapi yang ditanya hanya tersenyum
dan tidak mengatakan apa-apa. Sesudah makan, Musashi mandi dan pergi tidur,
tapi persoalan itu masih terus terpikir olehnya, sampai ketika ia hampir
tertidur.
Pagi
berikutnya ia mengatakan kepada pelayan itu, "Akan ada orang datang
mencari saya. Apa keberatan kalau saya menginap sehari-dua hari sampai dia
datang?"
"Tentu
saja tidak," jawab pelayan tanpa bertanya lagi kepada nyonya rumah, yang
segera datang sendiri berkunjung.
Nyonya rumah
itu wanita berpakaian apik berumur sekitar tiga puluh tahun, berkulit indah,
dan lembut. Ketika Musashi mencoba memuaskan rasa ingin tahunya dan bertanya
kenapa nyonya itu menerima orang menginap, ia menjawab sambil tertawa,
"Kalau mau terus terang, saya janda-suami saya dulu aktor No, namanya
Kanze. Saya takut kalau tak ada lelaki di rumah ini. Maklum, banyak ronin yang
kurang berpendidikan di sekitar sini." Ia selanjutnya menjelaskan bahwa
jalan-jalan penuh toko minuman dan pelacur. Banyak di antara samurai miskin
tidak cukup puas dengan barang-barang hiburan itu. Mereka memeras keterangan dari
pemudapemuda setempat dan menyerang rumah-rumah yang tak ada lelakinya. Operasi
ini mereka namakan "kunjungan pada para janda."
"Dengan
kata lain," kata Musashi, "Nyonya menerima orang seperti saya ini
supaya saya dapat bertindak selaku pengawal, betul?"
"Yah,"
kata nyonya itu tersenyum, "seperti saya katakan tadi, di rumah ini tak
ada lelaki. Saya harap Tuan dapat merasa bebas tinggal di sini, selama Tuan
suka."
"Saya
mengerti sepenuhnya. Saya harap Nyonya merasa aman, selama saya di sini. Hanya
ada satu hal yang saya minta. Saya menantikan seorang tamu, karena itu apakah
Nyonya dapat memasang tanda yang memuat nama saya di luar gerbang sana?"
Janda itu
sama sekali tidak keberatan mengumumkan kepada orang banyak, bahwa ada lelaki
di rumahnya, maka dengan patuhnya ia menuliskan nama "Miyamoto
Musashi" pada secarik kertas yang kemudian ditempelkannya di tiang
gerbang.
Jotaro tidak
muncul hari itu, tapi hari berikutnya Musashi menerima kunjungan rombongan tiga
samurai. Ketiganya memaksa masuk, walaupun diprotes oleh pelayan. Mereka
langsung naik dan masuk ke kamar Musashi. Musashi segera tahu bahwa mereka
sebagian dari orang-orang yang hadir di Hozoin ketika la membunuh Agon. Duduk
di lantai mengitarinya, seolah-olah mereka telah mengenalnya sepanjang hidupnya,
mereka mencurahkan kata-kata jilatan.
"Tak
pernah saya melihat yang seperti itu dalam hidup saya," kata yang seorang.
"Saya yakin belum pernah hal semacam itu terjadi di Hozoin. Bayangkan
saja! Seorang tamu tak dikenal datang, dan begitu saja dia langsung melumpuhkan
salah satu dari Tujuh Pilar. Dan bukan orang biasa yang dilumpuhkannya, tapi
Agon yang mengerikan itu sendiri. Sekali bentak saja dia sudah muntah darah.
Jarang ada pemandangan seperti itu!"
Yang lain
melanjutkan dengan nada yang sama. "Semua orang yang kami kenal bicara
tentang itu. Semua ronin bertanya-tanya, siapa orang yang namanya Miyamoto
Musashi ini. Hari itu hari buruk buat nama baik Hozoin."
"Ya,
Anda tentu pemain pedang terbesar di negeri ini!"
"Dan
masih begitu muda lagi!"
"Tak
sangsi lagi. Dan Anda akan menjadi lebih baik lagi nantinya."
"Kalau
Anda tidak keberatan, saya ingin bertanya, kenapa dengan kecakapan Anda yang
demikian Anda hanya jadi ronin? Suatu pemborosan bakat bahwa Anda tidak
mengabdi kepada seorang daimyo!"
Mereka
berhenti agak lama hanya waktu menghirup teh dan melahap kue dengan rakusnya,
hingga remah-remahnya berceceran ke pangkuan mereka dan ke lantai.
Malu mendapat
pujian demikian melimpah, Musashi mengalihkan pandangan dari kanan ke kiri, dan
sebaliknya. Untuk sementara ia mendengarkan saja dengan muka tenang, karena
menurut pikirnya lambat atau cepat semangat mereka itu akan menurun. Tapi
ketika mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengubah pokok pembicaraan,
ia mengambil prakarsa dengan menanyakan nama mereka.
"O,
maaf, nama saya Yamazoe Dampachi. Saya mengabdi kepada Yang Dipertuan
Gamo," kata yang pertama.
Orang yang di
sebelahnya berkata, "Saya Otomo Banryu. Saya menguasai Gaya Bokuden, dan
saya banyak punya rencana untuk masa depan."
"Saya
Yasukawa Yasubei," kata orang ketiga sambil tertawa kecil. "Saya
belum pernah jadi apa-apa kecuali ronin, seperti ayah saya."
Musashi
heran, kenapa mereka membuang waktu untuk omongan yang tak ada artinya itu.
Jelaslah ia tidak akan mengetahui sesuatu kalau ia tidak bertanya, karena itu
ketika pembicaraan berhenti lagi, ia berkata, "Saya kira Anda sekalian
datang kemari karena ada urusan dengan saya."
Mereka
pura-pura terkejut mendengar apa yang dikemukakan Musashi, tapi segera mereka
membenarkan bahwa mereka memang datang untuk apa yang mereka anggap sebagai
misi yang sangat penting. Sambil maju cepat ke depan, Yasubei berkata,
"Memang kami ada urusan dengan Anda. Begini, kami punya rencana mengadakan
'hiburan' umum di kaki Gunung Kasuga, dan kami ingin bicara dengan Anda soal
itu. Ini bukan permainan atau hal lain serupa itu. Kami ingin mengadakan
serangkaian pertandingan yang akan memberikan pelajaran pada rakyat tentang
seni bela diri, dan sekaligus memberikan kesempatan pada mereka untuk
bertaruh."
Ia
melanjutkan bahwa arena sudah didirikan, dan prospeknya kelihatannya baik
sekali. Namun mereka merasa butuh orang lain, karena kalau hanya mereka
bertiga, samurai yang betul-betul kuat kemungkinan akan datang dan mengalahkan
mereka semua. Itu berarti uang yang mereka peroleh dengan susah payah akan
hilang percuma. Mereka menyimpulkan, Musashi yang paling tepat bagi mereka.
Kalau ia mau menggabungkan diri dengan mereka, mereka tidak hanya akan membagi
dengannya keuntungan mereka, melainkan juga membayar makanan dan penginapan
Musashi selama pertandingan berlangsung. Dengan cara itu, ia dapat dengan mudah
memperoleh uang cepat, untuk perjalanannya yang akan datang.
Musashi
senang juga mendengar bujukan mereka itu, tapi segera kemudian ia lelah, dan
tukasnya, "Kalau itu yang Anda sekalian inginkan, tak ada yang mesti
dibicarakan. Saya tidak tertarik."
"Kenapa
tidak?" tanya Dampachi. "Kenapa tidak tertarik?"
Watak muda
Musashi meletus. "Saya bukan penjudi!" katanya berang. "Dan saya
makan dengan sumpit, bukan dengan pedang saya!"
"Apa
itu?" mereka bertiga memprotes, karena terhina oleh sindiran Musashi.
"Apa maksud Anda dengan itu?"
"Jadi,
kalian tak mengerti, orang-orang sinting? Saya ini samurai, dan saya bermaksud
tetap menjadi samurai, biarpun saya akan kelaparan karena itu. Sekarang enyah
dari sini!"
Mulut salah
seorang dari orang-orang itu memerot menjadi mata kayu yang keji, sedangkan
seorang lagi menjadi merah karena marah, dan serunya, "Kamu pasti akan
menyesal!"
Mereka tahu
benar bahwa mereka bertiga jadi satu pun bukan tandingan Musashi. Tapi untuk
menyelamatkan muka, mereka tinggalkan tempat itu dengan ribut, memberengut, dan
berusaha keras menimbulkan kesan bahwa urusan dengan Musashi belum selesai.
Malam itu,
seperti malam-malam sebelumnya, bulan tampak putih dan sedikit berawan. Nyonya
rumah yang masih muda berusaha menyuguhkan makanan yang enak dan sake yang baik
mutunya kepada Musashi, karena ia merasa bebas dari kekuatiran selama Musashi
diam di sana. Musashi makan di bawah bersama keluarga, dan dalam acara makan
itu ia minum sampai setengah mabuk.
Kembali ke
kamarnya, ia menggeletakkan diri di lantai. Segera kemudian pikirannya pun
terhenti pada Nikkan.
"Sungguh
memalukan," katanya pada diri sendiri.
Musuh-musuh
yang telah dikalahkannya, bahkan juga yang sampai terbunuh atau setengah
terbunuh, selalu menghilang dari pikirannya seperti buih. Tapi ia tidak dapat melupakan
siapa pun yang berhasil lebih baik daripada dirinya, atau dalam hal ini siapa
pun yang rasanya mengunggulinya. Orang-orang seperti itu terus menetap dalam
pikirannya seperti roh yang hidup, dan ia selalu berpikir kapan dapat
mengalahkan mereka.
"Memalukan!"
ulangnya.
Ia
mencengkeram rambutnya dan memeras otak bagaimana caranya mengungguli Nikkan,
bagaimana caranya menghadapi pandangan yang menakutkan itu tanpa mengelak. Dua
hari lamanya persoalan itu menggerogotinya. Bukan ia ingin mencelakakan Nikkan,
tapi ia sangat kecewa terhadap dirinya sendiri.
"Apa
betul diriku kurang baik?" tanyanya sedih kepada diri sendiri. Karena
selama ini belajar ilmu pedang tanpa guru, ia kurang bisa menilai kekuatannya
sendiri secara objektif. Tak bisa tidak, ia ragu, seperti yang dipancarkan
pendeta tua itu.
Nikkan
mengatakan ia terlampau kuat, sehingga harus belajar menjadi lebih lemah.
Inilah yang membuat pikirannya terus bekerja keras, karena ia tidak dapat
menduga maknanya. Apakah kekuatan itu bukan dasar terpenting seorang prajurit?
Apakah bukan itu yang membuat seorang prajurit unggul atas prajurit lain?
Bagaimana bisa Nikkan menyebutnya sebagai suatu kekurangan?
"Barangkali,"
pikir Musashi, "bangsat tua itu mempermainkan diriku. Barangkali dia
memandang mudanya umurku, dan memilih bicara berteka-teki untuk membingungkan
aku dan menyenangkan hatinya sendiri. Dan sesudah aku pergi, dia tertawa
senang. Mungkin saja."
Pada
waktu-waktu seperti ini, Musashi bertanya-tanya apakah bijaksana membaca segala
macam buku di Puri Himeji itu. Sebelum itu tak pernah ia susah-susah memikirkan
persoalan, tapi sekarang, apabila sesuatu terjadi, tidak dapat ia beristirahat
sebelum ditemukannya penjelasan yang memuaskan kecerdasannya. Dahulu ia hanya
bertindak atas dasar naluri, sekarang ia harus memahami setiap hal-hal kecil,
sebelum dapat menerimanya. Dan ini tidak hanya mengenai seni pedang, tapi juga
mengenai cara memandang manusia dan masyarakat.
Benar,
kenekatan di dalam dirinya sudah dijinakkan. Namun Nikkan mengatakan ia
"terlalu kuat". Musashi menyimpulkan bahwa yang dibicarakan Nikkan
bukan kekuatan fisik, melainkan semangat juang liar yang menyertai
kelahirannya. Apakah pendeta itu benar-benar dapat memahaminya, ataukah hanya
menduga-duga?
"Pengetahuan
yang berasal dari buku itu tidak ada gunanya buat prajurit," demikian ia
meyakinkan dirinya kembali. "Kalau orang terlalu menggubris apa yang
dipikirkan atau dilakukan orang lain, bisa lambat tindakannya. Sekiranya Nikkan
sejenak saja menutup mata dan salah langkah, dia pasti ambruk dan jatuh
berantakan!"
Bunyi langkah
kaki di tangga mengganggu renungannya. Pembantu muncul diiringi Jotaro yang
kulitnya jadi lebih hitam lagi oleh debu yang menempel pada badannya selama
perjalanan, tapi rambutnya yang seperti rambut peri itu putih oleh debu.
Musashi benar-benar senang mendapat hiburan dengan datangnya teman kecilnya
itu. Ia menyambut si anak dengan tangan terbuka.
Anak itu
menjatuhkan diri ke lantai dan langsung meluruskan kedua kakinya yang kotor.
"Oh, capeknya!" keluhnya.
"Apa
sulit menemukan aku?"
"Sulit!
Hampir saya putus asa. Sudah di seluruh tempat saya mencari!"
"Apa
kamu tidak bertanya di Hozoin?"
"Ya,
tapi mereka bilang tidak kenal Kakak sama sekali."
"Oh,
mereka kenal betul!" Mata Musashi menyipit. "Bahkan khusus kukatakan
pada mereka, kamu bisa menemukan aku dekat Kolam Sarusawa. Tapi baiklah, aku senang
kamu sudah melakukan semua itu."
"Ini
jawaban dari Perguruan Yoshioka itu." Jotaro menyerahkan tabung bambu itu
kepada Musashi. "Saya tak dapat menemukan Hon'iden Matahachi, jadi saya
minta orang di rumahnya menyampaikan pesan kepadanya."
"Bagus.
Sekarang pergi mandi sana. Nanti mereka kasih kamu makan di bawah."
Musashi
mengeluarkan surat itu dari tabungnya dan membacanya. Isinya menyatakan bahwa
Seijuro mengharapkan berlangsungnya "pertandingan kedua". Jika
Musashi tidak muncul seperti dijanjikan tahun berikutnya, dapat disimpulkan
bahwa ia sudah kehilangan nyali. Kalau itu terjadi, Seijuro pasti akan
menjadikan Musashi bahan tertawaan di Kyoto. Omongan besar ini disampaikan
dengan tulisan tangan kaku yang agaknya dibuat orang lain, bukan Seijuro.
Musashi
merobek-robek surat itu menjadi sobekan-sobekan kecil dan membakarnya, maka
remah-remah hangus itu pun berterbangan ke udara, seperti kupu-kupu hitam.
Seijuro
bicara tentang "pertandingan", padahal jelas yang terjadi akan lebih
lagi. Yang akan terjadi adalah pertarungan sampai mati. Tahun depan, akibat
surat yang menghina ini, siapakah di antara kedua jago itu yang akan menjadi
abu?
Musashi
menganggap sudah sewajarnya seorang prajurit harus puas dengan hidup dari hari
ke hari, dan tak pernah tahu di waktu pagi apakah ia akan terus hidup
menyaksikan jatuhnya malam. Namun demikian, agak resah juga ia memikirkan bahwa
tahun yang akan datang kemungkinan ia akan benar-benar mati. Begitu banyak hal
yang masih ingin ia lakukan. Pertama-tama ia menyimpan keinginan menyala-nyala
untuk menjadi pemain pedang besar. Dan bukan itu saja. Sebegitu jauh, demikian
pikirnya, ia belum melakukan satu pun dari hal-hal yang biasa dilakukan orang
dalam perjalanan hidupnya.
Pada umurnya
sekarang, sebetulnya terlalu pagi ia punya pikiran ingin memiliki pegawai
sendiri dalam jumlah besar, yang akan menuntun kudakudanya atau membawa burung
elangnya, seperti Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Ia ingin juga
memiliki rumah yang pantas, dengan istri yang baik dan pelayan-pelayan setia.
Ia ingin menjadi tuan yang baik dan menikmati kehangatan dan kesenangan hidup
keluarga. Dan tentu saja, sebelum hidup menetap, diam-diam ingin juga ia
mengalami percintaan menyala-nyala. Selama beberapa tahun berpikir semata-mata
tentang Jalan Samurai, ia tetap perjaka, dan itu bukan tidak wajar. Namun
terpesona juga ia melihat sebagian wanita di jalan-jalan Kyoto dan Nara. Dan
yang menyenangkannya itu bukan hanya nilai-nilai keindahan mereka; mereka juga
menggetarkannya secara fisik.
Pikirannya
pun melayang kepada Otsu. Sekalipun gadis itu sekarang merupakan makhluk masa
lalu yang jauh, ia merasa sangat terikat kepadanya. Beberapa kali sudah, ketika
ia kesepian atau sedang gundah, kenangan samar-samar saja tentang gadis itu
sudah dapat menyegarkannya kembali.
Tak lama
kemudian angan-angan itu buyar. Jotaro datang kembali, sudah mandi, kenyang,
dan bangga karena sudah melaksanakan kewajiban dengan berhasil. Tak lama
sesudah bersila dan mengatur tangan di pangkuan, ia pun menyerah kepada lelah.
Segera saja ia tertidur dengan nyenyaknya, mulutnya ternganga. Musashi
menidurkannya ke tempat tidur.
Pagi tiba.
Anak itu bangun bersama burung layang-layang. Musashi pun bangun pagi, karena
ia bermaksud meneruskan perjalanan.
Ketika ia sedang
berpakaian, janda itu muncul, dan katanya dengan nada menyesali, "Anda
rupanya buru-buru akan pergi." la membawa pakaian, yang kemudian
diberikannya kepada Musashi. "Saya jahit pakaian ini untuk Anda sebagai
hadiah perpisahan-sebuah kimono dengan jubah pendek. Tak tahulah saya, apa Anda
menyukainya, tapi saya harap Anda memakainya."
Musashi
memandang heran. Pakaian itu terlalu mahal baginya, padahal ia tinggal di situ
hanya selama dua hari. Ia mencoba menolaknya, tetapi janda itu berkeras.
"Tidak, Anda mesti menerimanya. Dan lagi pakaian ini tidak begitu luar
biasa. Saya banyak punya kimono lama dan pakaian No peninggalan suami saya.
Barang-barang itu tak ada gunanya buat saya. Lebih baik kalau Anda memilikinya.
Saya harap betul, Anda tidak menolak. Saya sudah mengubahnya, supaya cocok
untuk Anda, jadi kalau Anda tidak menerimanya, akan sia-sia saja kerja
saya."
Ia pergi ke
belakang Musashi dan mengangkat kimono itu supaya Musashi dapat memasukkan
tangannya. Selagi mengenakan kimono itu, tahulah Musashi bahwa bahan sutranya
dari mutu yang baik sekali, dan ia merasa lebih malu lagi dari sebelumnya.
Jubah tak berlengan itu bagus sekali. Tentunya diimpor dari Cina. Kelimannya
dari kain brokat emas, lapisannya dari kain krep sutra, dan tali pengikatnya terbuat
dari kulit dicelup warna ungu.
"Kelihatan
cocok sekali untuk Anda!" ucap janda itu.
Jotaro tampak
iri, dan tiba-tiba katanya kepada janda itu, "Saya sendiri mau Ibu kasih
apa?"
Janda itu tertawa.
"Seharusnya kamu sudah senang mendapat kesempatan mengikuti tuanmu yang
gagah."
"Ah,"
gerutu Jotaro, "siapa yang mau kimono lama?"
"Apa ada
yang sungguh kamu inginkan?"
Anak itu lari
ke dinding kamar tunggu dan mencopot topeng No dari sangkutannya, katanya,
"Ya, ini!" Ia mendambakan barang itu sejak pertama kali mengamatinya
malam sebelumnya, dan kini ia membelaikan topeng itu dengan mesranya ke pipi.
Musashi kagum
akan selera bagus anak itu. Ia sendiri merasa topeng itu mengagumkan buatannya.
Sukar diketahui siapa pembuatnya, tapi umurnya tentulah sudah dua atau tiga
abad, dan jelas pernah dipakai dalam pertunjukan-pertunjukan No. Wajah yang
diukir sangat halus itu wajah jin perempuan. Tetapi kalau biasanya topeng jenis
ini dicat titik-titik warna biru mengerikan, maka topeng ini adalah wajah gadis
cantik dan anggun.
Yang ganjil padanya hanyalah karena salah satu
ujung mulutnya melengkung tajam ke atas, mengerikan sekali. Jelaslah bukan
wajah khayalan yang diciptakan sang seniman, melainkan potret perempuan gila
yang nyata dan hidup, yang cantik namun penuh pesona.
"Oh, itu
tak boleh kamu miliki," kata janda itu tegas, berusaha merebut topeng
tersebut.
Jotaro
menghindari jangkauan janda itu dan mengenakan topeng itu pada kepalanya dan
menari sekeliling kamar sambil berseru-seru melawan, "Apa guna topeng ini
buat Ibu? Sudah jadi milik saya sekarang. Akan saya ambil!"
Musashi
berusaha juga menangkapnya, karena ia merasa kaget dan malu oleh kelakuan
muridnya, tetapi Jotaro memasukkan topeng itu ke dalam kimononya, lalu turun
tangga, dikejar janda itu. Janda itu memang tertawa, sama sekali tidak marah,
tapi jelas kelihatan ia tidak ingin berpisah dengan topeng itu.
Sebentar
kemudian Jotaro kembali naik tangga pelan-pelan. Musashi duduk menghadap pintu,
siap mencacinya sehebat-hebatnya. Tapi ketika masuk, anak itu berteriak,
"Booo!" dan menyorongkan topeng itu ke hadapannya. Musashi sangat
terkejut; otot-ototnya menjadi tegang dan lututnya beralih-alih letak tanpa
disadarinya.
Ia tidak tahu
kenapa kelakar Jotaro menimbulkan akibat sedemikian padanya. Tapi ketika
mengawasi topeng itu dalam cahaya remang-remang, mulailah ia memahaminya. Si
pengukir telah memasukkan sesuatu yang sifatnya setani dalam ciptaannya.
Senyuman bulan sabit yang disertai lengkungan ke atas pada bagian kiri wajah
putih itu sungguh angker, mengandung setan.
"Kalau
mau berangkat, mari kita berangkat," kata Jotaro.
Tetap duduk,
Musashi berkaca, "Kenapa belum kamu kembalikan topeng itu? Buat apa kamu
barang macam itu?"
"Tapi
dia bilang, boleh saya ambil! Dia berikan pada saya."
"Bohong!
Turun sana, dan kembalikan padanya."
"Tapi
dia sudah memberikannya pada saya! Waktu mau saya kembalikan, dia bilang, kalau
saya memang ingin sekali, boleh saya memilikinya. Cuma dia pesan supaya saya
merawatnya baik-baik. Tadi saya janji akan merawatnya."
"Mau
kuapakan kamu!" Musashi merasa malu, karena pertama ia menerima kimono
itu, dan kemudian topeng yang agaknya sangat dihargai janda itu. Ingin ia
berbuat sesuatu untuk membalasnya, tetapi janda itu rupaya tidak butuh
uang-apalagi uang dalam jumlah kecil yang dapat disisihkan Musashi-sedangkan di
antara miliknya yang tak seberapa itu tak ada yang sesuai untuk hadiah. Ia
turun tangga untuk meminta maaf atas kekurangajaran Jotaro dan mencoba
mengembalikan topeng itu.
Namun janda
itu mengatakan, "Tidak. Makin saya timbang, makin terpikir oleh saya bahwa
saya lebih bahagia tanpa topeng itu. Lagi pula dia ingin sekali memilikinya....
Tak usahlah begitu keras terhadap dia."
Musashi
menduga topeng itu memiliki makna tertentu bagi si janda, maka ia sekali lagi
berusaha mengembalikannya, tetapi kali itu Jotaro sudah mengenakan sandal
jeraminya dan sudah berada di luar, menanti dekat gerbang dengan pandangan
puas. Karena sudah ingin pergi, Musashi mengalah pada kebaikan janda itu dan
menerima hadiahnya. Kata janda muda itu, ia lebih berat melihat Musashi pergi
daripada kehilangan topeng itu, dan beberapa kali ia minta kepada Musashi untuk
datang kembali dan tinggal di sana, kapan saja ia berada di Nara.
Musashi
sedang mengikatkan tali sandalnya ketika istri pembuat kue bakpau itu datang
berlari-lari. "Oh," kata nyonya itu kehabisan napas, "saya senang sekali Anda belum
berangkat. Anda tak bisa pergi sekarang. Saya minta Anda balik ke atas. Mengerikan!"
Suara perempuan itu gemetar, seakan-akan ada setan yang menakutkan hendak
menyerangnya.
Musashi
selesai mengikatkan sandalnya, dan tenang-tenang mengangkat kepala, "Ada
apa? Apa yang mengerikan?"
"Pendeta-pendeta
Hozoin mendengar bahwa Anda akan berangkat hari mi. Lebih dari sepuluh orang
membawa tombak dan mengendap menanti Anda di Dataran Hannya."
"Oh?"
"Ya, dan
Kepala Biara, Inshun, ikut juga dengan mereka. Suami saya kenal salah seorang
pendeta itu dan sudah bertanya kepadanya apa yang sedang terjadi. Pendeta
mengatakan orang yang tinggal di sini beberapa hari terakhir ini, yaitu orang
yang namanya Miyamoto, akan meninggalkan Nara hari ini, dan para pendeta akan
mencegatnya di jalan."
Wajah
perempuan itu mengerinyut takut. Ia berusaha meyakinkan Musashi bahwa
meninggalkan Nara pagi itu sama saja dengan bunuh diri. Dengan sangat ia minta
Musashi untuk menanti sampai malam berikutnya. Menurut pendapatnya, akan lebih
aman kalau Musashi mencoba pergi diam-diam hari berikutnya.
"Ya,"
kata Musashi datar. "Jadi, menurut Ibu, mereka bermaksud menemui saya di
Dataran Hannya?"
"Saya
tidak tahu pasti di mana, tapi mereka pergi ke jurusan itu. Beberapa penduduk
mengatakan yang ikut tidak hanya pendeta. Mereka bilang banyak ronin ikut juga
berkumpul. Katanya mereka akan menangkap Anda dan mengembalikan Anda ke Hozoin.
Apa Anda bicara jelek tentang kuil itu, atau menghina mereka, entah bagaimana
caranya?"
"Tidak."
"Nah,
mereka bilang, pendeta-pendeta itu naik darah karena Anda sudah menyewa orang
untuk memasang banyak poster dengan sajak-sajak yang isinva menertawakan
Hozoin. Menurut mereka, itu berarti Anda bergendang paha, karena sudah membunuh
seorang dari mereka."
"Saya
tidak melakukan hal-hal seperti itu. Semua itu kekeliruan."
"Nah,
kalau itu kekeliruan, tak perlu Anda pergi ke sana dan terbunuh
karenanya."
Dengan dahi
bercucuran keringat Musashi memandang ke langit, merenung, dan teringatlah ia
betapa marah ketiga ronin itu ketika ia menolak tawaran bisnis mereka.
Barangkali merekalah sumber segalanya ini. Rasanya tidak mengherankan jika
orang seperti mereka lalu memasang poster-poster yang sifatnya menghina dan
kemudian menyebarkan kepada orang banyak bahwa dialah yang melakukan itu.
Mendadak
sontak la berdiri. "Saya pergi sekarang," katanya.
Ia
menyandangkan tas perjalanannya ke punggung, mengambil topi anyaman, dan sambil
menghadap kedua perempuan itu ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati
mereka. Ketika ia berjalan menuju gerbang, janda itu mengikutinya sambil
menangis dan memohon kepadanya agar tidak pergi.
"Kalau
saya menginap semalam lagi," jelasnya, "pasti akan timbul kesulitan
di rumah Ibu. Saya tak ingin hal itu terjadi. Ibu sudah begitu baik pada
saya."
"Saya
tak peduli," desak janda itu. "Anda lebih aman di sini."
"Tidak,
saya pergi sekarang. Jo! Ucapkan terima kasih pada Ibu."
Dengan
patuhnya anak itu membungkuk dan melakukan hal yang disuruhkan kepadanya. Ia
kelihatannya patah semangat, tapi bukan karena menyesal akan berangkat. Memang
Jotaro belum betul-betul kenal Musashi. Di Kyoto ia mendengar bahwa tuannya itu
lemah dan pengecut. Pikiran bahwa jago-jago tombak jahat Hozoin akan menyerang
Musashi itulah yang sangat mematahkan semangatnya. Hatinya yang masih muda itu
penuh kemurungan dan firasat.
bersambung
0 komentar:
Posting Komentar