Rabu, 12 Juli 2017





Pintu Gerbang

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





JOTARO mengira langkah mereka berikutnya adalah keluar dari daerah itu tanpa diketahui orang.

"Lewat jalan ini kita sampai pintu gerbang utama," katanya. "Itu berbahaya sekali."

"Mm."

"Mestinya ada jalan keluar lain."

"Apa semua pintu masuk, kecuali yang utama itu, tidak ditutup waktu malam?"

"Kita dapat memanjat dinding."

"Perbuatan pengecut. Kamu tahu, aku punya rasa kehormatan, juga nama baik untuk dipertahankan. Aku akan jalan langsung lewat gerbang utama kalau waktunya tepat."

"Betul?" Sekalipun merasa tak enak, anak itu tidak membantah lagi, karena ia tahu betul bahwa menurut peraturan golongan prajurit, orang yang tak punya harga diri tidaklah berharga.

"Tentu," jawab Musashi. "Tapi bukan untuk kamu. Kamu masih kanak-kanak. Kamu bisa keluar dari jalan yang lebih aman."

"Bagaimana?"

"Lewat pagar."

"Sendiri?"

"Sendiri."

"Saya tak bisa."

"Kenapa?"

"Saya bisa disebut pengecut."

"Jangan tolol. Yang mereka kejar itu aku, bukan kamu."

"Tapi di mana kita akan bertemu?"

"Lapangan Berkuda Yanagi."

"Betul Kakak akan datang?"

"Tentu."

"Kakak berjanji takkan lari lagi?"

"Aku takkan lari. Salah satu hal yang tak ingin kuajarkan padamu adalah berbohong. Kukatakan aku akan bertemu denganmu, jadi aku akan bertemu denganmu. Sekarang, sementara tak ada orang, ayo kamu lompat lewat pagar."

Jotaro menoleh ke sekitar dengan hati-hati sebelum berlari ke pagar, dan di pagar ia berhenti diam, memandang prihatin ke atas. Pagar itu lebih dari dua kali tinggi badannya. Musashi berlari juga sambil membawa sekarung arang. Ia menurunkan karung dan mengintip lewat celah pagar.

"Apa Kakak lihat ada orang di sana?" tanya Jotaro.

"Tidak, tak ada yang kelihatan kecuali rumput mendong. Di bawah itu mestinya air, jadi kamu mesti hati-hati kalau nanti turun."

"Saya basah tak apa-apa, tapi bagaimana saya bisa sampai di atas pagar?"

Musashi mengabaikan saja pertanyaan itu. "Kita mesti tahu bahwa pengawal ditempatkan di titik strategis di samping gerbang utama. Lihat dulu baik-baik sebelum melompat, kalau tidak, kamu bisa menghadapi ujung pedang."

"Saya mengerti."

"Kulemparkan arang ini ke luar pagar sebagai umpan. Kalau tak ada apa-apa, kau bisa menyusul."

Ia membungkuk, dan Jotaro melompat ke punggungnya. "Berdiri kamu di atas bahuku."

"Sandal saya kotor."

"Tak apa-apa."

Jotaro mengambil posisi berdiri. "Apa kamu bisa sampai di atas?"

"Tidak."

"Kalau kamu lompat, bisa tidak?"

"Saya pikir tidak."

"Baik, kalau begitu kamu berdiri di tanganku." Musashi mementangkan kedua tangannya di atas kepala.

"Sampai!" kata Jotaro berbisik keras.

Musashi memegang karung arang dengan sebelah tangan dan melontarkannya setinggi-tingginya. Karung itu jatuh bergedebuk ke tengah rumput mendong. Tidak terdengar apa-apa.

"Tak ada air di sini," lapor Jotaro sesudah melompat turun.

"Hati-hati kamu."

Musashi tetap menempelkan sebelah mata ke celah itu sampai tidak terdengar olehnya langkah kaki Jotaro, kemudian dengan cepat dan riang ia berjalan ke salah satu gang utama yang paling ramai. Tak ada di antara orang-orang yang sedang bersuka ria ke sana-sini itu memperhatikannya.

Ketika ia keluar dari gerbang utama, orang-orang Yoshioka tergagap serentak, dan semua mata terpusat kepadanya. Disamping pengawal di pintu gerbang, ada sejumlah samurai berjongkok di sekitar api unggun tempat para pemikul joli menunggu menghabiskan waktu. Juga ada pengawal bantuan di Warung Teh Amigasa dan warung minum di seberang jalan. Kewaspadaan mereka tak pernah mengendur. Topi-topi anyaman tanpa sungkan dicopot, dan wajah-wajah orang diperiksa. Joli-joli dihentikan dan penumpangnya diperiksa.

Beberapa kali dilangsungkan perundingan dengan Ogiya untuk menggeledah daerah itu, tapi tak ada hasilnya. Sepanjang yang diketahui pengurus Ogiya, Musashi tidak ada di sana. Orang-orang Yoshioka tak dapat bertindak berdasarkan desas-desus saja bahwa Yoshino Dayu melindungi Musashi. Yoshino terlalu dikagumi orang, baik di daerah itu sendiri maupun di dalam kota, hingga kalau diserang begitu saja akan menimbulkan reaksi serius.

Karena wajib melancarkan perang yang dinantikan, orang-orang Yoshioka mengepung daerah itu dari jarak tertentu. Mereka tidak mengesampingkan kemungkinan Musashi mencoba meloloskan diri lewat pagar, tapi yang paling mungkin bagi mereka adalah Musashi keluar lewat pintu gerbang, baik dengan menyamar maupun dalam joli tertutup. Satu-satunya kemungkinan yang tidak siap mereka hadapi adalah justru yang terjadi sekarang ini.

Tak seorang pun bergerak menghalangi jalan Musashi, dan Musashi tidak berhenti. Sesudah ia berjalan seratus langkah dengan langkah berani, barulah seorang samurai berteriak, "Hentikan dia!"

"Kejar dia!"

Delapan atau sembilan orang berteriak-teriak memenuhi jalan di belakang Musashi dan mulai mengejarnya.

"Musashi, tunggu!" panggil satu suara marah.

"Ada apa?" jawab Musashi cepat, membuat kaget semua orang dengan suaranya.

Ia bergerak ke pinggir jalan dan bersandar ke dinding sebuah gubuk. Gubuk itu bagian dari kilang gergaji, dan beberapa pekerja kilang sedang tidur di sana. Seorang dari mereka membuka pintu sedikit, tapi sesudah melihat sekilas, ia membanting pintu dan memalangnya.

Sambil mendengking dan melolong seperti anjing gelandangan, orangorang Yoshioka sedikit demi sedikit membentuk lingkaran bulan sabit sekitar Musashi. Musashi menatap mereka dengan saksama, mengukur kekuatannya, menaksir kedudukannya, dan mengira-ngira dari mana bakal datang serangan. Ketiga puluh orang itu dengan segera kehilangan ketiga puluh otak mereka. Tidak sukar bagi Musashi membaca kerja otak bersama ini.

Seperti ia duga semula, tak seorang pun maju sendiri menantangnya. Mereka mengoceh dan melontarkan cercaan, tapi sebagian besar kedengaran seperti kata-kata makian gelandangan yang tak jelas ucapannya.

"Bangsat!"

"Pengecut!"

"Amatir!"

Mereka sendiri jauh dari menyadari bahwa kepongahan mereka itu cuma di mulut dan malah mengungkapkan kelemahan diri sendiri. Sebelum gerombolan itu mencapai taraf kesatuan tertentu, Musashi tetap dalam kedudukan menguntungkan. Ia memeriksa wajah-wajah mereka, memilih mana-mana yang mungkin berbahaya, menetapkan tempat-tempat lemah dalam formasinya, mempersiapkan diri menghadapi pertempuran. Ia tenang saja. Pelan-pelan ia memperhatikan wajah-wajah mereka, lalu katanya, "Aku Musashi. Siapa tadi minta aku menunggu?"

"Kami. Kami semua!"

"Kalau aku tak salah, kalian dari Perguruan Yoshioka."

"Betul."

"Ada urusan apa kalian denganku?"

"Kamu tahu sendiri. Apa kamu sudah siap?"

"Siap?" Bibir Musashi berubah menjadi seringai meremehkan. Suara tawa yang keluar dari giginya yang putih membekukan kegairahan mereka. "Seorang prajurit selalu siap, biarpun sedang tidur. Maju, kalau kalian mau! Kalau kalian memilih pertempuran yang tak berarti, apa gunanya mencoba bicara seperti manusia atau memperhatikan sopan-santun main pedang? Tapi coba katakan satu hal saja. Apa tujuan kalian ini cuma melihat aku mati? Atau kalian mau berkelahi seperti lelaki?"

Tak ada jawaban.

"Kalian di sini buat menyelesaikan dendam atau buat menantangku melakukan pertarungan balasan?"

Sekiranya Musashi waktu itu memberikan peluang kepada mereka dengan sedikit saja gerak mata atau tubuh yang keliru, pedang mereka pasti menyerbu kepadanya seperti udara menyerbu tempat kosong. Tapi Musashi tetap mempertahankan sikap sempurna. Tak seorang pun bergerak. Seluruh gerombolan berdiri setenang dan sediam manik-manik tasbih.

Dari tengah kediaman bingung itu terdengar teriakan keras, "Kamu mesti tahu sendiri jawabannya tanpa tanya."

Musashi melontarkan pandang ke arah Miike Jurozaemon, si pembicara itu. Dilihat dari penampilan orang itu, Musashi menilai bahwa ia adalah samurai yang pantas menjunjung tinggi nama baik Yoshioka Kempo. Hanya dia seorang agaknya yang mau mengakhiri jalan buntu itu dengan memukul lebih dahulu. Kakinya mengingsut maju dalam gerak meluncur.

"Kamu bikin cacat Guru Seijuro dan membunuh adiknya, Denshichiro. Bagaimana mungkin kami menegakkan kepala kalau kami biarkan kamu hidup? Beberapa ratus di antara kami setia kepada guru kami, dan bersumpah akan menyingkirkan sumber penghinaan ini, dan mengembalikan nama Perguruan Yoshioka. Soalnya bukan balas dendam atau kekerasan tanpa :iukum, tapi kami akan membela guru kami dan menenangkan arwah adiknya yang sudah terbunuh. Kami tidak iri dengan kedudukanmu, tapi kami akan mengambil kepalamu. Waspadalah!"

"Tantanganmu pantas untuk seorang samurai," jawab Musashi. "Kalau itu tujuanmu sebenarnya, aku bisa kehilangan nyawa olehmu. Tapi kamu bicara tentang pelaksanaan kewajiban, dan tentang pembalasan dendam menurut Jalan Samurai. Kalau begitu, kenapa kamu tidak menantangku secara wajar seperti dilakukan Seijuro dan Denshichiro? Mengapa kalian serang aku bersama-sama?"

"Kamu yang sembunyi!"

"Omong kosong! Kamu cuma membuktikan seorang pengecut biasa menuduh orang lain pengecut. Aku sekarang berdiri di sini menghadapi kalian, kan?"

"Karena kamu takut ditangkap ketika mencoba lari!"

"Tidak betul! Aku bisa lari dengan banyak cara lain."

"Apa menurutmu Perguruan Yoshioka akan membiarkanmu lolos?"

"Aku sudah tahu, entah dengan cara bagaimana kalian pasti akan menyambutku. Tapi kalau kita ribut di sini, mengganggu orang banyak seperti sekawanan binatang liar atau gelandangan tak berharga, apa itu tidak mengabaikan diri kita sebagai perseorangan atau anggota kelas samurai? Kamu bicara tentang kewajiban terhadap gurumu, tapi apa perkelahian di sini tidak akan mendatangkan aib yang lebih besar lagi bagi nama Yoshioka? Tapi kalau memang itu yang kalian inginkan, itu juga yang akan kalian peroleh! Kalau kalian berkeputusan menghancurkan karya guru kalian, membubarkan perguruan kalian, dan mengabaikan Jalan Samurai, tak ada lagi yang dapat kukatakan kecuali ini: Musashi akan terus bertempur selama anggota badannya masih utuh."

"Bunuh dia!" teriak orang di sebelah Jurozaemon sambil melecutkan pedangnya.

Suatu suara berteriak di kejauhan, "Awas! Ada Itakura!"

Sebagai hakim Kyoto, Itakura Katsushige orang yang perkasa. Tapi sekalipun ia memerintah dengan baik, ia melakukannya dengan tangan besi. Anak-anak pun bernyanyi tentang dirinya. "Buah berangan siapa itu/yang jatuh di jalan?/Punya Itakura Katsushige?/Hei, lari, semua lari!" Atau: "Itakura, Yang Dipertuan dari Iga/ lebih banyak punya tangan daripada Kannon Bertangan Seribu/lebih banyak mata daripada Temmoku Bermata Tiga/polisinya ada di mana-mana."

Kyoto bukanlah kota yang mudah diperintah. Kota Edo memang sedang menggantikannya sebagai kota terbesar negeri ini, tetapi ibu kota kuno itu masih merupakan pusat kehidupan ekonomi, politik, dan militer. Kota itu juga merupakan tempat di mana kritik terhadap ke-shogun-an paling tajam. Dari sekitar abad empat belas, penduduk kota itu telah meninggalkan semua ambisi militernya dan beralih ke bidang perdagangan dan kerajinan.

Mereka kini dianggap sebagai kelas tersendiri, dan secara keseluruhan merupakan kelas konservatif.

Juga, di antara penduduk itu terdapat banyak samurai yang tidak memihak. Mereka hanya menanti dan melihat apakah orang-orang Tokugawa akan diganggu oleh orang-orang Toyotomi. Terdapat juga sejumlah pemimpin militer baru. Mereka tidak memiliki latar belakang ataupun garis keturunan, namun berhasil memiliki tentara pribadi yang cukup besar. Juga terdapat sejumlah besar ronin seperti yang terdapat di Nara.

Para penganut hidup bebas dan kaum hedonis banyak jumlahnya di semua lapisan masyarakat itu, hingga jumlah warung minum dan rumah pelacuran pun tidak sepadan dengan besarnya kota.

Pertimbangan-pertimbangan kepentingan cenderung lebih menguasai kesetiaan sebagian besar penduduk dibandingkan dengan keyakinan politik. Mereka berenang mengikuti arus, dan memanfaatkan setiap kesempatan yang kelihatan menguntungkan diri mereka sendiri.

Cerita yang beredar di kota pada waktu Itakura ditunjuk menjadi hakim pada tahun 1601 menyatakan bahwa sebelum menerima penunjukan, ia bertanya kepada Ieyasu apakah ia dapat berkonsultasi dulu dengan istrinya. Sampai di rumah ia berkata pada istrinya, "Sejak zaman dulu tak terhitung jumlahnya orang-orang berkedudukan terhormat yang telah melaksanakan perbuatan-perbuatan hebat, tapi kemudian mengakhirinya dengan mendatangkan aib kepada diri sendiri dan keluarganya. Yang paling sering terjadi, sumber kegagalan mereka itu adalah istri atau hubungan keluarga. Karena itu, menurut pendapatku penting sekali membicarakan penunjukan ini denganmu. Kalau engkau mau bersumpah tak akan ikut campur dengan kegiatanku sebagai hakim, aku akan menerima kedudukan itu."

Sang istri dengan senang hati menyetujui, dan menyatakan bahwa "istri tak ada urusan ikut campur dalam hal-hal seperti itu." Pagi berikutnya, ketika Itakura akan meninggalkan rumah menuju Benteng Edo, sang istri melihat kerah jubah dalam Itakura miring. Ia memegang kerah itu, tapi seketika itu juga Itakura memperingatkan, "Engkau sudah lupa sumpahmu." Dan ia disuruh bersumpah lagi tak akan campur tangan. Masyarakat mengakui bahwa Itakura adalah seorang wakil yang efektif, keras, namun adil. Mereka juga mengatakan bahwa pilihan Ieyasu itu bijaksana.

Ketika nama Itakura disebut, para samurai mengalihkan mata mereka dari Musashi. Orang-orang Itakura memang secara teratur merondai daerah itu, dan setiap orang lebih suka jauh-jauh dari mereka.

Seorang pemuda maju ke tempat terbuka di depan Musashi. "Tunggu!" teriaknya dengan suara menggelegar, suara yang tadi memberi peringatan.

Sambil tersenyum menyeringai, Sasaki Kojiro berkata, "Saya baru keluar dan joli ketika saya mendengar akan terjadi perkelahian. Sudah beberapa waktu lamanya saya kuatir peristiwa ini akan terjadi. Dan saya terkejut melihat perkelahian akan terjadi di sini sekarang. Saya bukan anggota Perguruan Yoshioka. Lebih lagi saya bukan pendukung Musashi. Tapi sebagai prajurit dan pemain pedang pendatang, saya percaya saya dapat menyampaikan imbauan atas nama kode prajurit dan kelas prajurit secara keseluruhan." Kojiro berbicara mantap dan fasih, tapi dengan nada menggurui dan dengan keangkuhan yang tak kenal kompromi.

"Saya mau tahu, apa yang akan kalian lakukan kalau polisi datang kemari? Apa kalian tidak malu ditangkap dalam keributan di jalanan? Kalau kalian memaksa penguasa turun tangan, peristiwa ini takkan diperlakukan sebagai perkelahian biasa antara orang kota. Ada lagi soal lain.

"Waktu yang kalian pilih tidak tepat. Juga tempatnya. Suatu aib besar bagi seluruh kelas militer bahwa samurai mengganggu ketertiban umum. Sebagai salah seorang anggota kalian, saya peringatkan kalian menghentikan segera tingkah laku tak pantas ini. Kalau kalian mesti beradu pedang buat menyelesaikan persoalan kalian, demi langit, tunduklah pada peraturan permainan pedang. Pilih waktu dan tempatnya!"

"Cukup adil!" kata Jurozaemon. "Tapi kalau kami tetapkan waktu datempatnya, apa kamu dapat menjamin Musashi akan datang?"

"Aku mau saja, tapi..."

"Bisa kamu menjaminnya?"

"Apa yang bisa kukatakan? Musashi bisa bicara sendiri soal itu."

"Barangkali kamu bermaksud membantunya meloloskan diri."

"Jangan seperti orang goblok! Kalau aku mesti berpihak kepadanya. kalian akan menantangku. Dia bukan temanku. Tak ada alasanku melindungi dia. Kalau dia meninggalkan Kyoto, kalian tinggal pasang pengumuman di seluruh kota untuk menunjukkan sikap pengecutnya."

"Itu tidak cukup. Kami tak akan meninggalkan tempat ini, kecuali kalau kamu menjamin akan menahan dia sampai waktu pertarungan."

Kojiro memutar badan. Ia membusungkan dada dan berjalan mendekati Musashi. Sampai waktu itu Musashi hanya menatap punggungnya tajam-tajam. Mata kedua orang itu beradu seperti mata dua ekor binatang liar yang saling memperhatikan. Terasa ada yang tak terhindarkan, ketika sang ego yang masih penuh kemudaan pada kedua orang itu berbenturan, dan ini merupakan pengakuan atas kemampuan masing-masing pihak, atau barangkali juga rasa takut.

"Kamu setuju dengan usulku, Musashi?"

"Setuju."

"Bagus."

"Tapi aku tak setuju kamu terlibat."

"Jadi, kamu tidak bersedia kutahan?"

"Aku benci dengan maksud itu. Dalam pertarungan dengan Seijuro Denshichiro, sama sekali aku tidak melakukan hal yang sifatnya pengecut. Kenapa pengikut mereka menyangka aku akan lari menghadapi tantangan mereka?"

"Memang kedengarannya enak, Musashi. Aku takkan melupakan itu. Sekarang, tanpa membicarakan jaminan dariku, mau kamu menyebutkan waktu dan tempatnya?"

"Aku setuju dengan waktu dan tempat yang mereka pilih."

"Ini juga jawaban yang berani. Di mana kamu akan berada dari sekarang sampai datangnya waktu pertarungan?"

"Aku tak punya alamat!"

"Kalau lawan-lawan tidak tahu di mana kamu berada, bagaimana mungkin mereka mengirim tantangan tertulis?"

"Tetapkan waktu dan tempatnya saat ini juga. Aku akan datang."

Kojiro mengangguk. Sesudah berunding dengan Jurozaemon dan beberapa orang lain lagi, ia kembali mendekati Musashi dan katanya, "Mereka menginginkan jam lima pagi lusa."

"Aku terima."

"Tempatnya pohon pinus lebar di kaki Bukit Ichijoji di jalan ke Gunung Hiei. Wakil Keluarga Yoshioka adalah Genjiro, anak tertua Yoshioka Genzaemon, paman Seijuro dan Denshichiro. Genjiro menjadi kepala baru Keluarga Yoshioka, maka pertarungan akan dilangsungkan atas namanya. Tapi dia masih kanak-kanak, karena itu ditetapkan bahwa sejumlah murid Yoshioka akan menyertainya sebagai pendukung. Kusampaikan ini untuk menghindari salah pengertian."

Sesudah janji-janji secara resmi dipertukarkan, Kojiro mengetuk pintu gubuk. Pintu dibuka dengan hati-hati, dan orang-orang kilang mengintip ke luar.

"Tentunya ada kayu yang tidak terpakai di sini," kata Kojiro kasar. "Saya mau pasang papan pengumuman di sini. Carikan papan yang cocok dan tempelkan ke sebuah tiang yang tingginya sekitar dua meter."

Ketika papan sedang diserut, Kojiro menyuruh orang mengambil kuas dan tinta. Setelah semua bahan terkumpul, ia menuliskan waktu, tempat, dan perincian lain dengan tulisan yang mahir. Seperti sebelumnya, pernyataan itu diumumkan kepada orang banyak, karena inilah jaminan yang lebih baik daripada pertukaran sumpah pribadi. Melanggar sumpah berarti akan diolok-olok umum.

Musashi memperhatikan ketika orang-orang Yoshioka mendirikan papan pengumuman itu di sudut yang paling mencolok di daerah tersebut. Kemudian dengan sikap acuh tak acuh ia memutar badan dan berjalan cepat ke Lapangan Berkuda Yanagi.



Karena sendirian saja di tempat gelap, Jotaro gelisah. Mata dan telinganya diwaspadakan, tetapi yang tampak olehnya sekali-sekali hanyalah lampu joli, dan yang terdengar hanya gema sayup-sayup nyanyian orang-orang yang sedang pulang. Karena kuatir Musashi mendapat luka, atau bahkan terbunuh, akhirnya ia kehilangan kesabaran dan berlari menuju Yanagimachi. Belum lagi seratus meter, suara Musashi sudah terdengar di tengah kegelapan, "Hei! Apa pula ini?"

"Oh, Kakak datang!" seru anak itu lega. "Begitu lama saya menunggu, jadi saya putuskan melihat."

"Itu kurang bijaksana. Kita bisa saling kehilangan."

"Apa di luar pintu gerbang banyak orang Yoshioka?"

"Hm, lumayan juga."

"Apa mereka mencoba menangkap Kakak?" Jotaro memandang sok tahu ke wajah Musashi. "Sama sekali tak ada yang terjadi?"

"Tak ada."

"Ke mana Kakak pergi sekarang? Rumah Yang Dipertuan Karasumaru ke arah sini. Saya berani bertaruh, Kakak tentu ingin sekali ketemu Otsu. kan?"

"Aku ingin sekali ketemu dia."

"Malam macam ini, pasti dia terkejut sekali." Menyusul keheningan yang canggung.

"Jotaro, kamu ingat penginapan kecil tempat kita pertama ketemu dulu: Apa nama kampung itu?"

"Rumah Yang Dipertuan Karasumaru jauh lebih bagus daripada penginapan tua itu."

"Tentu keduanya tak bisa diperbandingkan."

"Malam hari semua tutup, tapi kalau kita memutar ke gerbang untuk pembantu, mereka bisa mengizinkan kita masuk. Dan kalau mereka tahu saya membawa Kakak, Yang Dipertuan Karasumaru sendiri bisa menyambut Kakak. Oh, saya ingin tanya pada Kakak, kenapa sebenarnya biarawan gila Takuan itu? Dia begitu brengsek, sampai muak rasanya saya. Dia bilang, yang paling baik membiarkan saja Kakak. Dan dia tak mau mengataknn pada saya di mana Kakak, padahal dia tahu betul."

Musashi tidak memberikan komentar. Jotaro mengoceh terus sementara mereka jalan.

"Itu dia" kata Jotaro sambil menuding pintu belakang. Musashi berhenti, tapi tidak mengatakan apa-apa. "Lihat cahaya di atas pagar itu? Itu bagunan utara tempat tinggal Otsu. Dia mestinya menunggu saya."

Jotaro berjalan cepat menuju pintu itu, tetapi Musashi mencengkeram pergelangannya erat, dan katanya, "Sekarang belum! Aku takkan masuk. Kuminta kamu menyampaikan saja pesan untuk Otsu."

"Tidak masuk? Kakak kemari buat berjumpa dia kan?"

"Tidak. Aku cuma mau lihat kamu sudah sampai dengan selamat."

"Kakak harus masuk! Kakak tak bisa pergi sekarang!" Dan ia menyentakkan lengan kimono Musashi dengan kalutnya.

"Bicara pelan saja, Jo," kata Musashi, "dan dengarkan."

"Saya tak mau mendengarkan! Tak mau! Kakak berjanji ikut saya."

"Dan aku ikut, kan?"

"Saya bukan minta Kakak melihat pintu gerbang. Saya minta Kakak mengunjungi Otsu!"

"Tenanglah. Kamu mesti tahu, dalam waktu sangat singkat ini aku bisa mati."

"Itu bukan barang baru. Kakak selalu bilang seorang samurai harus siap mati setiap waktu."

"Itu betul. Dan kupikir suatu pelajaran baik juga untukku mendengarmu mengulang kata-kataku. Tapi waktu ini tidak seperti waktu lain. Aku tahu, satu dari sepuluh kemungkinan tak ada kesempatanku menang kali ini. Itu sebabnya menurutku aku tak perlu ketemu Otsu."

"Itu tak masuk akal."

"Kamu takkan mengerti sekarang kalau kujelaskan. Kalau nanti kamu lebih dewasa, kamu akan mengerti."

"Apa yang Kakak katakan itu benar? Kakak betul-betul akan mati?"

"Ya. Tapi kamu tak boleh mengatakan ini pada Otsu, terutama waktu dia masih sakit. Suruh dia supaya kuat dan memilih jalan yang membawanya pada kebahagiaan masa depan. Itu pesan yang mesti kamu sampaikan padanya. Tapi kamu jangan menyebut apa pun bahwa aku akan terbunuh."

"Akan saya sampaikan padanya! Akan saya sampaikan semuanya kepadanya! Bagaimana mungkin saya bohong pada Otsu? Oh, ayolah Kakak datang dengan saya!"

Musashi mendorongnya. "Kamu rupanya tidak mendengarkan."

Jotaro tak dapat lagi menahan air matanya. "Tapi... tapi saya kasihan sekali padanya. Kalau saya sampaikan kepadanya Kakak menolak ketemu dengan dia, kesehatannya akan lebih buruk lagi. Pasti!"

"Itu sebabnya kamu mesti menyampaikan pesanku. Sampaikan padanya selama aku masih berlatih, takkan baik bagi kami masing-masing untuk bertemu. Jalan yang kupilih ini jalan disiplin. Tuntutannya, aku harus mengatasi perasaanku, aku harus menempuh hidup menahan nafsu, dan berlatih banyak-banyak menahan segala kesulitan. Kalau tidak, cahaya yang kucari akan lepas. Coba pikirkan itu, Jotaro. Kamu sendiri pun nanti akan mengikuti jalan ini, kalau tidak, tidak akan kamu menjadi prajurit yang hormat kepada diri sendiri."

Anak itu terdiam, hanya tangisnya yang terdengar. Musashi merangkulnya, lalu mendekapnya.

"Orang tak pernah tahu kapan Jalan Samurai itu berakhir. Kalau aku tiada, kamu mesti mencari seorang guru yang baik. Aku tak bisa bertemu Otsu sekarang, karena aku tahu, nantinya dia lebih bahagia kalau kami tidak bertemu. Dan kalau nanti dia menemukan kebahagiaan, dia akan mengerti bagaimana perasaanku sekarang ini. Apa kamu yakin cahaya itu datang dari kamarnya? Dia pasti kesepian. Kamu mesti tidur sekarang."

Jotaro mulai dapat memahami sukarnya pilihan Musashi, tapi terlihat ada kemurungan pada sikapnya, sementara ia berdiri membelakangi gurunya. Ia sadar, ia tak dapat lagi mendesak Musashi.

Sambil mengangkat mukanya yang berurai air mata, ia gapai cahaya harapan yang terakhir, walaupun lemah. "Kalau pelajaran Kakak sudah selesai, Kakak mau bertemu dengan Otsu dan menyenangkan hatinya Kakak mau, kan? Kalau Kakak merasa sudah cukup lama belajar?"

"Ya, kalau waktunya sampai."

"Kapan waktu itu datang?"

"Sukar dikatakan."

"Dua tahun barangkali?"

Musashi tak menjawab.

"Tiga tahun?"

"Tak ada ujung buat jalan disiplin."

"Apa Kakak takkan menemui Otsu lagi selamanya?"

"Kalau bakat-bakat yang kubawa sejak lahir itu benar, pada suatu hari nanti tujuanku akan tercapai. Kalau tidak, aku bisa menempuh hidup sebodoh hidupku sekarang. Tapi sekarang mungkin aku akan segera marl. Bagaimana mungkin seorang lelaki dengan masa depan seperti itu memberikan janji-janji pada seorang perempuan semuda Otsu?"

Yang dikatakan Musashi itu lebih banyak daripada yang dimaksudkannya. Jotaro tampak bingung, tapi kemudian katanya penuh kemenangan, "Kakak tak perlu janji apa-apa pada Otsu. Saya cuma minta Kakak melihatnya."

"Tapi soalnya tak semudah itu. Otsu itu perempuan muda dan aku lelaki muda. Aku tak suka mengatakan ini padamu, tapi kalau aku bertemu dia, aku takut air matanya mengalahkan diriku. Dan aku takkan dapat berpegang pada keputusanku sendiri."

Musashi kini bukan lagi pemuda tak sabar yang menampik Otsu di Jembatan Hanada itu. Ia kini kurang egosentris dan kurang sembrono. lebih sabar serta jauh lebih halus. Pesona Yoshino bisa saja telah membangkitkan kembali api nafsunya, sekiranya ia tidak menolak cinta seperti api menolak air. Tapi kalau yang dihadapinya Otsu, ia tak yakin terhadap kemampuannya melaksanakan kontrol diri. Ia tahu, ia tak boleh memikirkan Otsu tanpa mempertimbangkan efek yang mungkin ditimbulkannya terhadap kehidupan Otsu.

Jotaro mendengar suara Musashi di dekat telinganya. "Kamu mengerti sekarang?"

Anak itu menghapus air matanya, tapi ketika dilepaskannya tangan itu dari wajahnya dan menoleh, tak ada lagi yang tampak olehnya kecuali kabut hitam tebal.

"Sensei!" teriaknya.

Biarpun ia berlari ke sudut tembok tanah yang panjang itu, ia tahu teriakannya takkan menyebabkan Musashi kembali. Ia menempelkan wajah ke tembok. Air matanya kembali bercucuran. Ia merasa betul-betul terpukul dan sekali lagi pukulan itu datang dari pemikiran orang dewasa. Ia menangis terus sampai kerongkongannya tegang dan suaranya tak lagi keluar, tetapi bahunya terus juga berguncang, mengejang-ngejang oleh sedu-sedannya. Terlihat olehnya seorang perempuan di luar pintu pembantu. Pikirnya, tentu itu salah seorang gadis dapur yang sedang pulang dari mengerjakan suruhan. Ia ingin tahu, apakah gadis itu mendengar tangisnya.

Sosok tubuh yang kabur itu mengangkat kerudungnya dan berjalan pelan mendekatinya.

"Jotaro? Kamu, ya?"

"Otsu! Apa kerja Kakak di sini? Kakak lagi sakit!"

"Aku kuatir denganmu. Kenapa kamu pergi tanpa bilang apa-apa pada siapa pun? Di mana saja kamu tadi? Lampu-lampu sudah menyala dan pintu gerbang sudah tutup, tapi kamu belum juga kembali. Bukan main kuatirku."

"Gila Kakak ini. Bagaimana kalau demam Kakak naik lagi? Kembali sana ke tempat tidur, sekarang juga!

"Kenapa kamu menangis?"

"Akan kuceritakan nanti."

"Aku mau tahu sekarang. Tentunya ada yang bikin kamu jengkel sekali. Kamu mengejar Takuan, ya?"

"Hmm. Ya."

"Kamu sudah tahu di mana Musashi?"

"Takuan jahat. Aku benci dia."

"Dia tidak mau mengatakan?"

"E... tidak."

"Kamu menyembunyikan sesuatu."

"Oh, kalian berdua ini betul-betul kelewatan!" lolong Jotaro.

"Kakak dan guruku yang bodoh itu! Aku tak bisa menceritakan sebelum Kakak berbaring dan aku menempelkan handuk dingin di kepala Kakak. Kalau Kakak tidak kembali ke rumah sekarang, kuseret Kakak nanti ke sana."

Sambil memegang pergelangan tangan Otsu dengan sebelah tangan dan tangan yang lain memukul pintu gerbang, ia berseru-seru marah, "Buka pintu! Gadis sakit ini ada di luar! Kalau tidak cepat-cepat, dia bisa beku!"

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP