Pintu Gerbang
JOTARO mengira
langkah mereka berikutnya adalah keluar dari daerah itu tanpa diketahui orang.
"Lewat jalan ini
kita sampai pintu gerbang utama," katanya. "Itu berbahaya
sekali."
"Mm."
"Mestinya ada
jalan keluar lain."
"Apa semua pintu
masuk, kecuali yang utama itu, tidak ditutup waktu malam?"
"Kita dapat
memanjat dinding."
"Perbuatan
pengecut. Kamu tahu, aku punya rasa kehormatan, juga nama baik untuk
dipertahankan. Aku akan jalan langsung lewat gerbang utama kalau waktunya
tepat."
"Betul?"
Sekalipun merasa tak enak, anak itu tidak membantah lagi, karena ia tahu betul
bahwa menurut peraturan golongan prajurit, orang yang tak punya harga diri
tidaklah berharga.
"Tentu,"
jawab Musashi. "Tapi bukan untuk kamu. Kamu masih kanak-kanak. Kamu bisa
keluar dari jalan yang lebih aman."
"Bagaimana?"
"Lewat
pagar."
"Sendiri?"
"Sendiri."
"Saya tak
bisa."
"Kenapa?"
"Saya bisa
disebut pengecut."
"Jangan tolol.
Yang mereka kejar itu aku, bukan kamu."
"Tapi di mana
kita akan bertemu?"
"Lapangan
Berkuda Yanagi."
"Betul Kakak
akan datang?"
"Tentu."
"Kakak berjanji
takkan lari lagi?"
"Aku takkan
lari. Salah satu hal yang tak ingin kuajarkan padamu adalah berbohong.
Kukatakan aku akan bertemu denganmu, jadi aku akan bertemu denganmu. Sekarang,
sementara tak ada orang, ayo kamu lompat lewat pagar."
Jotaro menoleh ke
sekitar dengan hati-hati sebelum berlari ke pagar, dan di pagar ia berhenti
diam, memandang prihatin ke atas. Pagar itu lebih dari dua kali tinggi
badannya. Musashi berlari juga sambil membawa sekarung arang. Ia menurunkan
karung dan mengintip lewat celah pagar.
"Apa Kakak lihat
ada orang di sana?" tanya Jotaro.
"Tidak, tak ada
yang kelihatan kecuali rumput mendong. Di bawah itu mestinya air, jadi kamu
mesti hati-hati kalau nanti turun."
"Saya basah tak
apa-apa, tapi bagaimana saya bisa sampai di atas pagar?"
Musashi mengabaikan
saja pertanyaan itu. "Kita mesti tahu bahwa pengawal ditempatkan di titik
strategis di samping gerbang utama. Lihat dulu baik-baik sebelum melompat,
kalau tidak, kamu bisa menghadapi ujung pedang."
"Saya
mengerti."
"Kulemparkan
arang ini ke luar pagar sebagai umpan. Kalau tak ada apa-apa, kau bisa
menyusul."
Ia membungkuk, dan
Jotaro melompat ke punggungnya. "Berdiri kamu di atas bahuku."
"Sandal saya
kotor."
"Tak
apa-apa."
Jotaro mengambil
posisi berdiri. "Apa kamu bisa sampai di atas?"
"Tidak."
"Kalau kamu
lompat, bisa tidak?"
"Saya pikir
tidak."
"Baik, kalau
begitu kamu berdiri di tanganku." Musashi mementangkan kedua tangannya di
atas kepala.
"Sampai!"
kata Jotaro berbisik keras.
Musashi memegang
karung arang dengan sebelah tangan dan melontarkannya setinggi-tingginya.
Karung itu jatuh bergedebuk ke tengah rumput mendong. Tidak terdengar apa-apa.
"Tak ada air di
sini," lapor Jotaro sesudah melompat turun.
"Hati-hati
kamu."
Musashi tetap
menempelkan sebelah mata ke celah itu sampai tidak terdengar olehnya langkah
kaki Jotaro, kemudian dengan cepat dan riang ia berjalan ke salah satu gang
utama yang paling ramai. Tak ada di antara orang-orang yang sedang bersuka ria
ke sana-sini itu memperhatikannya.
Ketika ia keluar dari
gerbang utama, orang-orang Yoshioka tergagap serentak, dan semua mata terpusat
kepadanya. Disamping pengawal di pintu gerbang, ada sejumlah samurai berjongkok
di sekitar api unggun tempat para pemikul joli menunggu menghabiskan waktu.
Juga ada pengawal bantuan di Warung Teh Amigasa dan warung minum di seberang
jalan. Kewaspadaan mereka tak pernah mengendur. Topi-topi anyaman tanpa sungkan
dicopot, dan wajah-wajah orang diperiksa. Joli-joli dihentikan dan penumpangnya
diperiksa.
Beberapa kali
dilangsungkan perundingan dengan Ogiya untuk menggeledah daerah itu, tapi tak
ada hasilnya. Sepanjang yang diketahui pengurus Ogiya, Musashi tidak ada di
sana. Orang-orang Yoshioka tak dapat bertindak berdasarkan desas-desus saja
bahwa Yoshino Dayu melindungi Musashi. Yoshino terlalu dikagumi orang, baik di
daerah itu sendiri maupun di dalam kota, hingga kalau diserang begitu saja akan
menimbulkan reaksi serius.
Karena wajib
melancarkan perang yang dinantikan, orang-orang Yoshioka mengepung daerah itu
dari jarak tertentu. Mereka tidak mengesampingkan kemungkinan Musashi mencoba
meloloskan diri lewat pagar, tapi yang paling mungkin bagi mereka adalah
Musashi keluar lewat pintu gerbang, baik dengan menyamar maupun dalam joli tertutup.
Satu-satunya kemungkinan yang tidak siap mereka hadapi adalah justru yang
terjadi sekarang ini.
Tak seorang pun
bergerak menghalangi jalan Musashi, dan Musashi tidak berhenti. Sesudah ia
berjalan seratus langkah dengan langkah berani, barulah seorang samurai
berteriak, "Hentikan dia!"
"Kejar
dia!"
Delapan atau sembilan
orang berteriak-teriak memenuhi jalan di belakang Musashi dan mulai
mengejarnya.
"Musashi,
tunggu!" panggil satu suara marah.
"Ada apa?"
jawab Musashi cepat, membuat kaget semua orang dengan suaranya.
Ia bergerak ke
pinggir jalan dan bersandar ke dinding sebuah gubuk. Gubuk itu bagian dari
kilang gergaji, dan beberapa pekerja kilang sedang tidur di sana. Seorang dari
mereka membuka pintu sedikit, tapi sesudah melihat sekilas, ia membanting pintu
dan memalangnya.
Sambil mendengking
dan melolong seperti anjing gelandangan, orangorang Yoshioka sedikit demi
sedikit membentuk lingkaran bulan sabit sekitar Musashi. Musashi menatap mereka
dengan saksama, mengukur kekuatannya, menaksir kedudukannya, dan mengira-ngira
dari mana bakal datang serangan. Ketiga puluh orang itu dengan segera
kehilangan ketiga puluh otak mereka. Tidak sukar bagi Musashi membaca kerja
otak bersama ini.
Seperti ia duga
semula, tak seorang pun maju sendiri menantangnya. Mereka mengoceh dan
melontarkan cercaan, tapi sebagian besar kedengaran seperti kata-kata makian
gelandangan yang tak jelas ucapannya.
"Bangsat!"
"Pengecut!"
"Amatir!"
Mereka sendiri jauh
dari menyadari bahwa kepongahan mereka itu cuma di mulut dan malah
mengungkapkan kelemahan diri sendiri. Sebelum gerombolan itu mencapai taraf
kesatuan tertentu, Musashi tetap dalam kedudukan menguntungkan. Ia memeriksa
wajah-wajah mereka, memilih mana-mana yang mungkin berbahaya, menetapkan
tempat-tempat lemah dalam formasinya, mempersiapkan diri menghadapi
pertempuran. Ia tenang saja. Pelan-pelan ia memperhatikan wajah-wajah mereka,
lalu katanya, "Aku Musashi. Siapa tadi minta aku menunggu?"
"Kami. Kami
semua!"
"Kalau aku tak
salah, kalian dari Perguruan Yoshioka."
"Betul."
"Ada urusan apa
kalian denganku?"
"Kamu tahu
sendiri. Apa kamu sudah siap?"
"Siap?"
Bibir Musashi berubah menjadi seringai meremehkan. Suara tawa yang keluar dari
giginya yang putih membekukan kegairahan mereka. "Seorang prajurit selalu
siap, biarpun sedang tidur. Maju, kalau kalian mau! Kalau kalian memilih
pertempuran yang tak berarti, apa gunanya mencoba bicara seperti manusia atau
memperhatikan sopan-santun main pedang? Tapi coba katakan satu hal saja. Apa
tujuan kalian ini cuma melihat aku mati? Atau kalian mau berkelahi seperti
lelaki?"
Tak ada jawaban.
"Kalian di sini
buat menyelesaikan dendam atau buat menantangku melakukan pertarungan
balasan?"
Sekiranya Musashi
waktu itu memberikan peluang kepada mereka dengan sedikit saja gerak mata atau
tubuh yang keliru, pedang mereka pasti menyerbu kepadanya seperti udara
menyerbu tempat kosong. Tapi Musashi tetap mempertahankan sikap sempurna. Tak
seorang pun bergerak. Seluruh gerombolan berdiri setenang dan sediam
manik-manik tasbih.
Dari tengah kediaman
bingung itu terdengar teriakan keras, "Kamu mesti tahu sendiri jawabannya
tanpa tanya."
Musashi melontarkan
pandang ke arah Miike Jurozaemon, si pembicara itu. Dilihat dari penampilan
orang itu, Musashi menilai bahwa ia adalah samurai yang pantas menjunjung
tinggi nama baik Yoshioka Kempo. Hanya dia seorang agaknya yang mau mengakhiri
jalan buntu itu dengan memukul lebih dahulu. Kakinya mengingsut maju dalam gerak
meluncur.
"Kamu bikin
cacat Guru Seijuro dan membunuh adiknya, Denshichiro. Bagaimana mungkin kami
menegakkan kepala kalau kami biarkan kamu hidup? Beberapa ratus di antara kami
setia kepada guru kami, dan bersumpah akan menyingkirkan sumber penghinaan ini,
dan mengembalikan nama Perguruan Yoshioka. Soalnya bukan balas dendam atau
kekerasan tanpa :iukum, tapi kami akan membela guru kami dan menenangkan arwah
adiknya yang sudah terbunuh. Kami tidak iri dengan kedudukanmu, tapi kami akan
mengambil kepalamu. Waspadalah!"
"Tantanganmu
pantas untuk seorang samurai," jawab Musashi. "Kalau itu tujuanmu
sebenarnya, aku bisa kehilangan nyawa olehmu. Tapi kamu bicara tentang
pelaksanaan kewajiban, dan tentang pembalasan dendam menurut Jalan Samurai.
Kalau begitu, kenapa kamu tidak menantangku secara wajar seperti dilakukan
Seijuro dan Denshichiro? Mengapa kalian serang aku bersama-sama?"
"Kamu yang
sembunyi!"
"Omong kosong!
Kamu cuma membuktikan seorang pengecut biasa menuduh orang lain pengecut. Aku
sekarang berdiri di sini menghadapi kalian, kan?"
"Karena kamu
takut ditangkap ketika mencoba lari!"
"Tidak betul!
Aku bisa lari dengan banyak cara lain."
"Apa menurutmu
Perguruan Yoshioka akan membiarkanmu lolos?"
"Aku sudah tahu,
entah dengan cara bagaimana kalian pasti akan menyambutku. Tapi kalau kita
ribut di sini, mengganggu orang banyak seperti sekawanan binatang liar atau
gelandangan tak berharga, apa itu tidak mengabaikan diri kita sebagai
perseorangan atau anggota kelas samurai? Kamu bicara tentang kewajiban terhadap
gurumu, tapi apa perkelahian di sini tidak akan mendatangkan aib yang lebih
besar lagi bagi nama Yoshioka? Tapi kalau memang itu yang kalian inginkan, itu
juga yang akan kalian peroleh! Kalau kalian berkeputusan menghancurkan karya
guru kalian, membubarkan perguruan kalian, dan mengabaikan Jalan Samurai, tak
ada lagi yang dapat kukatakan kecuali ini: Musashi akan terus bertempur selama
anggota badannya masih utuh."
"Bunuh
dia!" teriak orang di sebelah Jurozaemon sambil melecutkan pedangnya.
Suatu suara berteriak
di kejauhan, "Awas! Ada Itakura!"
Sebagai hakim Kyoto,
Itakura Katsushige orang yang perkasa. Tapi sekalipun ia memerintah dengan
baik, ia melakukannya dengan tangan besi. Anak-anak pun bernyanyi tentang
dirinya. "Buah berangan siapa itu/yang jatuh di jalan?/Punya Itakura
Katsushige?/Hei, lari, semua lari!" Atau: "Itakura, Yang Dipertuan
dari Iga/ lebih banyak punya tangan daripada Kannon Bertangan Seribu/lebih
banyak mata daripada Temmoku Bermata Tiga/polisinya ada di mana-mana."
Kyoto bukanlah kota
yang mudah diperintah. Kota Edo memang sedang menggantikannya sebagai kota
terbesar negeri ini, tetapi ibu kota kuno itu masih merupakan pusat kehidupan
ekonomi, politik, dan militer. Kota itu juga merupakan tempat di mana kritik
terhadap ke-shogun-an paling tajam. Dari sekitar abad empat belas, penduduk
kota itu telah meninggalkan semua ambisi militernya dan beralih ke bidang
perdagangan dan kerajinan.
Mereka kini dianggap
sebagai kelas tersendiri, dan secara keseluruhan merupakan kelas konservatif.
Juga, di antara
penduduk itu terdapat banyak samurai yang tidak memihak. Mereka hanya menanti
dan melihat apakah orang-orang Tokugawa akan diganggu oleh orang-orang
Toyotomi. Terdapat juga sejumlah pemimpin militer baru. Mereka tidak memiliki
latar belakang ataupun garis keturunan, namun berhasil memiliki tentara pribadi
yang cukup besar. Juga terdapat sejumlah besar ronin seperti yang terdapat di
Nara.
Para penganut hidup
bebas dan kaum hedonis banyak jumlahnya di semua lapisan masyarakat itu, hingga
jumlah warung minum dan rumah pelacuran pun tidak sepadan dengan besarnya kota.
Pertimbangan-pertimbangan
kepentingan cenderung lebih menguasai kesetiaan sebagian besar penduduk
dibandingkan dengan keyakinan politik. Mereka berenang mengikuti arus, dan
memanfaatkan setiap kesempatan yang kelihatan menguntungkan diri mereka
sendiri.
Cerita yang beredar
di kota pada waktu Itakura ditunjuk menjadi hakim pada tahun 1601 menyatakan
bahwa sebelum menerima penunjukan, ia bertanya kepada Ieyasu apakah ia dapat
berkonsultasi dulu dengan istrinya. Sampai di rumah ia berkata pada istrinya,
"Sejak zaman dulu tak terhitung jumlahnya orang-orang berkedudukan terhormat
yang telah melaksanakan perbuatan-perbuatan hebat, tapi kemudian mengakhirinya
dengan mendatangkan aib kepada diri sendiri dan keluarganya. Yang paling sering
terjadi, sumber kegagalan mereka itu adalah istri atau hubungan keluarga.
Karena itu, menurut pendapatku penting sekali membicarakan penunjukan ini
denganmu. Kalau engkau mau bersumpah tak akan ikut campur dengan kegiatanku
sebagai hakim, aku akan menerima kedudukan itu."
Sang istri dengan
senang hati menyetujui, dan menyatakan bahwa "istri tak ada urusan ikut
campur dalam hal-hal seperti itu." Pagi berikutnya, ketika Itakura akan
meninggalkan rumah menuju Benteng Edo, sang istri melihat kerah jubah dalam
Itakura miring. Ia memegang kerah itu, tapi seketika itu juga Itakura
memperingatkan, "Engkau sudah lupa sumpahmu." Dan ia disuruh
bersumpah lagi tak akan campur tangan. Masyarakat mengakui bahwa Itakura adalah
seorang wakil yang efektif, keras, namun adil. Mereka juga mengatakan bahwa
pilihan Ieyasu itu bijaksana.
Ketika nama Itakura
disebut, para samurai mengalihkan mata mereka dari Musashi. Orang-orang Itakura
memang secara teratur merondai daerah itu, dan setiap orang lebih suka
jauh-jauh dari mereka.
Seorang pemuda maju
ke tempat terbuka di depan Musashi. "Tunggu!" teriaknya dengan suara
menggelegar, suara yang tadi memberi peringatan.
Sambil tersenyum
menyeringai, Sasaki Kojiro berkata, "Saya baru keluar dan joli ketika saya
mendengar akan terjadi perkelahian. Sudah beberapa waktu lamanya saya kuatir
peristiwa ini akan terjadi. Dan saya terkejut melihat perkelahian akan terjadi
di sini sekarang. Saya bukan anggota Perguruan Yoshioka. Lebih lagi saya bukan
pendukung Musashi. Tapi sebagai prajurit dan pemain pedang pendatang, saya
percaya saya dapat menyampaikan imbauan atas nama kode prajurit dan kelas
prajurit secara keseluruhan." Kojiro berbicara mantap dan fasih, tapi
dengan nada menggurui dan dengan keangkuhan yang tak kenal kompromi.
"Saya mau tahu,
apa yang akan kalian lakukan kalau polisi datang kemari? Apa kalian tidak malu
ditangkap dalam keributan di jalanan? Kalau kalian memaksa penguasa turun
tangan, peristiwa ini takkan diperlakukan sebagai perkelahian biasa antara
orang kota. Ada lagi soal lain.
"Waktu yang
kalian pilih tidak tepat. Juga tempatnya. Suatu aib besar bagi seluruh kelas
militer bahwa samurai mengganggu ketertiban umum. Sebagai salah seorang anggota
kalian, saya peringatkan kalian menghentikan segera tingkah laku tak pantas
ini. Kalau kalian mesti beradu pedang buat menyelesaikan persoalan kalian, demi
langit, tunduklah pada peraturan permainan pedang. Pilih waktu dan
tempatnya!"
"Cukup
adil!" kata Jurozaemon. "Tapi kalau kami tetapkan waktu datempatnya,
apa kamu dapat menjamin Musashi akan datang?"
"Aku mau saja,
tapi..."
"Bisa kamu
menjaminnya?"
"Apa yang bisa
kukatakan? Musashi bisa bicara sendiri soal itu."
"Barangkali kamu
bermaksud membantunya meloloskan diri."
"Jangan seperti
orang goblok! Kalau aku mesti berpihak kepadanya. kalian akan menantangku. Dia
bukan temanku. Tak ada alasanku melindungi dia. Kalau dia meninggalkan Kyoto,
kalian tinggal pasang pengumuman di seluruh kota untuk menunjukkan sikap pengecutnya."
"Itu tidak
cukup. Kami tak akan meninggalkan tempat ini, kecuali kalau kamu menjamin akan
menahan dia sampai waktu pertarungan."
Kojiro memutar badan.
Ia membusungkan dada dan berjalan mendekati Musashi. Sampai waktu itu Musashi
hanya menatap punggungnya tajam-tajam. Mata kedua orang itu beradu seperti mata
dua ekor binatang liar yang saling memperhatikan. Terasa ada yang tak
terhindarkan, ketika sang ego yang masih penuh kemudaan pada kedua orang itu
berbenturan, dan ini merupakan pengakuan atas kemampuan masing-masing pihak,
atau barangkali juga rasa takut.
"Kamu setuju
dengan usulku, Musashi?"
"Setuju."
"Bagus."
"Tapi aku tak
setuju kamu terlibat."
"Jadi, kamu
tidak bersedia kutahan?"
"Aku benci
dengan maksud itu. Dalam pertarungan dengan Seijuro Denshichiro, sama sekali
aku tidak melakukan hal yang sifatnya pengecut. Kenapa pengikut mereka
menyangka aku akan lari menghadapi tantangan mereka?"
"Memang
kedengarannya enak, Musashi. Aku takkan melupakan itu. Sekarang, tanpa
membicarakan jaminan dariku, mau kamu menyebutkan waktu dan tempatnya?"
"Aku setuju
dengan waktu dan tempat yang mereka pilih."
"Ini juga
jawaban yang berani. Di mana kamu akan berada dari sekarang sampai datangnya
waktu pertarungan?"
"Aku tak punya
alamat!"
"Kalau lawan-lawan
tidak tahu di mana kamu berada, bagaimana mungkin mereka mengirim tantangan
tertulis?"
"Tetapkan waktu
dan tempatnya saat ini juga. Aku akan datang."
Kojiro mengangguk.
Sesudah berunding dengan Jurozaemon dan beberapa orang lain lagi, ia kembali
mendekati Musashi dan katanya, "Mereka menginginkan jam lima pagi
lusa."
"Aku
terima."
"Tempatnya pohon
pinus lebar di kaki Bukit Ichijoji di jalan ke Gunung Hiei. Wakil Keluarga
Yoshioka adalah Genjiro, anak tertua Yoshioka Genzaemon, paman Seijuro dan
Denshichiro. Genjiro menjadi kepala baru Keluarga Yoshioka, maka pertarungan
akan dilangsungkan atas namanya. Tapi dia masih kanak-kanak, karena itu
ditetapkan bahwa sejumlah murid Yoshioka akan menyertainya sebagai pendukung.
Kusampaikan ini untuk menghindari salah pengertian."
Sesudah janji-janji
secara resmi dipertukarkan, Kojiro mengetuk pintu gubuk. Pintu dibuka dengan
hati-hati, dan orang-orang kilang mengintip ke luar.
"Tentunya ada
kayu yang tidak terpakai di sini," kata Kojiro kasar. "Saya mau
pasang papan pengumuman di sini. Carikan papan yang cocok dan tempelkan ke
sebuah tiang yang tingginya sekitar dua meter."
Ketika papan sedang
diserut, Kojiro menyuruh orang mengambil kuas dan tinta. Setelah semua bahan
terkumpul, ia menuliskan waktu, tempat, dan perincian lain dengan tulisan yang
mahir. Seperti sebelumnya, pernyataan itu diumumkan kepada orang banyak, karena
inilah jaminan yang lebih baik daripada pertukaran sumpah pribadi. Melanggar
sumpah berarti akan diolok-olok umum.
Musashi memperhatikan
ketika orang-orang Yoshioka mendirikan papan pengumuman itu di sudut yang
paling mencolok di daerah tersebut. Kemudian dengan sikap acuh tak acuh ia
memutar badan dan berjalan cepat ke Lapangan Berkuda Yanagi.
Karena sendirian saja
di tempat gelap, Jotaro gelisah. Mata dan telinganya diwaspadakan, tetapi yang
tampak olehnya sekali-sekali hanyalah lampu joli, dan yang terdengar hanya gema
sayup-sayup nyanyian orang-orang yang sedang pulang. Karena kuatir Musashi
mendapat luka, atau bahkan terbunuh, akhirnya ia kehilangan kesabaran dan
berlari menuju Yanagimachi. Belum lagi seratus meter, suara Musashi sudah
terdengar di tengah kegelapan, "Hei! Apa pula ini?"
"Oh, Kakak
datang!" seru anak itu lega. "Begitu lama saya menunggu, jadi saya
putuskan melihat."
"Itu kurang
bijaksana. Kita bisa saling kehilangan."
"Apa di luar
pintu gerbang banyak orang Yoshioka?"
"Hm, lumayan
juga."
"Apa mereka
mencoba menangkap Kakak?" Jotaro memandang sok tahu ke wajah Musashi.
"Sama sekali tak ada yang terjadi?"
"Tak ada."
"Ke mana Kakak
pergi sekarang? Rumah Yang Dipertuan Karasumaru ke arah sini. Saya berani
bertaruh, Kakak tentu ingin sekali ketemu Otsu. kan?"
"Aku ingin
sekali ketemu dia."
"Malam macam
ini, pasti dia terkejut sekali." Menyusul keheningan yang canggung.
"Jotaro, kamu
ingat penginapan kecil tempat kita pertama ketemu dulu: Apa nama kampung
itu?"
"Rumah Yang
Dipertuan Karasumaru jauh lebih bagus daripada penginapan tua itu."
"Tentu keduanya
tak bisa diperbandingkan."
"Malam hari
semua tutup, tapi kalau kita memutar ke gerbang untuk pembantu, mereka bisa
mengizinkan kita masuk. Dan kalau mereka tahu saya membawa Kakak, Yang Dipertuan
Karasumaru sendiri bisa menyambut Kakak. Oh, saya ingin tanya pada Kakak,
kenapa sebenarnya biarawan gila Takuan itu? Dia begitu brengsek, sampai muak
rasanya saya. Dia bilang, yang paling baik membiarkan saja Kakak. Dan dia tak
mau mengataknn pada saya di mana Kakak, padahal dia tahu betul."
Musashi tidak
memberikan komentar. Jotaro mengoceh terus sementara mereka jalan.
"Itu dia"
kata Jotaro sambil menuding pintu belakang. Musashi berhenti, tapi tidak
mengatakan apa-apa. "Lihat cahaya di atas pagar itu? Itu bagunan utara
tempat tinggal Otsu. Dia mestinya menunggu saya."
Jotaro berjalan cepat
menuju pintu itu, tetapi Musashi mencengkeram pergelangannya erat, dan katanya,
"Sekarang belum! Aku takkan masuk. Kuminta kamu menyampaikan saja pesan untuk
Otsu."
"Tidak masuk?
Kakak kemari buat berjumpa dia kan?"
"Tidak. Aku cuma
mau lihat kamu sudah sampai dengan selamat."
"Kakak harus
masuk! Kakak tak bisa pergi sekarang!" Dan ia menyentakkan lengan kimono
Musashi dengan kalutnya.
"Bicara pelan
saja, Jo," kata Musashi, "dan dengarkan."
"Saya tak mau
mendengarkan! Tak mau! Kakak berjanji ikut saya."
"Dan aku ikut,
kan?"
"Saya bukan
minta Kakak melihat pintu gerbang. Saya minta Kakak mengunjungi Otsu!"
"Tenanglah. Kamu
mesti tahu, dalam waktu sangat singkat ini aku bisa mati."
"Itu bukan
barang baru. Kakak selalu bilang seorang samurai harus siap mati setiap
waktu."
"Itu betul. Dan
kupikir suatu pelajaran baik juga untukku mendengarmu mengulang kata-kataku.
Tapi waktu ini tidak seperti waktu lain. Aku tahu, satu dari sepuluh
kemungkinan tak ada kesempatanku menang kali ini. Itu sebabnya menurutku aku
tak perlu ketemu Otsu."
"Itu tak masuk
akal."
"Kamu takkan
mengerti sekarang kalau kujelaskan. Kalau nanti kamu lebih dewasa, kamu akan
mengerti."
"Apa yang Kakak
katakan itu benar? Kakak betul-betul akan mati?"
"Ya. Tapi kamu
tak boleh mengatakan ini pada Otsu, terutama waktu dia masih sakit. Suruh dia
supaya kuat dan memilih jalan yang membawanya pada kebahagiaan masa depan. Itu pesan
yang mesti kamu sampaikan padanya. Tapi kamu jangan menyebut apa pun bahwa aku
akan terbunuh."
"Akan saya
sampaikan padanya! Akan saya sampaikan semuanya kepadanya! Bagaimana mungkin
saya bohong pada Otsu? Oh, ayolah Kakak datang dengan saya!"
Musashi mendorongnya.
"Kamu rupanya tidak mendengarkan."
Jotaro tak dapat lagi
menahan air matanya. "Tapi... tapi saya kasihan sekali padanya. Kalau saya
sampaikan kepadanya Kakak menolak ketemu dengan dia, kesehatannya akan lebih
buruk lagi. Pasti!"
"Itu sebabnya
kamu mesti menyampaikan pesanku. Sampaikan padanya selama aku masih berlatih,
takkan baik bagi kami masing-masing untuk bertemu. Jalan yang kupilih ini jalan
disiplin. Tuntutannya, aku harus mengatasi perasaanku, aku harus menempuh hidup
menahan nafsu, dan berlatih banyak-banyak menahan segala kesulitan. Kalau
tidak, cahaya yang kucari akan lepas. Coba pikirkan itu, Jotaro. Kamu sendiri
pun nanti akan mengikuti jalan ini, kalau tidak, tidak akan kamu menjadi
prajurit yang hormat kepada diri sendiri."
Anak itu terdiam,
hanya tangisnya yang terdengar. Musashi merangkulnya, lalu mendekapnya.
"Orang tak
pernah tahu kapan Jalan Samurai itu berakhir. Kalau aku tiada, kamu mesti
mencari seorang guru yang baik. Aku tak bisa bertemu Otsu sekarang, karena aku
tahu, nantinya dia lebih bahagia kalau kami tidak bertemu. Dan kalau nanti dia
menemukan kebahagiaan, dia akan mengerti bagaimana perasaanku sekarang ini. Apa
kamu yakin cahaya itu datang dari kamarnya? Dia pasti kesepian. Kamu mesti
tidur sekarang."
Jotaro mulai dapat
memahami sukarnya pilihan Musashi, tapi terlihat ada kemurungan pada sikapnya,
sementara ia berdiri membelakangi gurunya. Ia sadar, ia tak dapat lagi mendesak
Musashi.
Sambil mengangkat
mukanya yang berurai air mata, ia gapai cahaya harapan yang terakhir, walaupun
lemah. "Kalau pelajaran Kakak sudah selesai, Kakak mau bertemu dengan Otsu
dan menyenangkan hatinya Kakak mau, kan? Kalau Kakak merasa sudah cukup lama
belajar?"
"Ya, kalau
waktunya sampai."
"Kapan waktu itu
datang?"
"Sukar
dikatakan."
"Dua tahun
barangkali?"
Musashi tak menjawab.
"Tiga
tahun?"
"Tak ada ujung
buat jalan disiplin."
"Apa Kakak
takkan menemui Otsu lagi selamanya?"
"Kalau
bakat-bakat yang kubawa sejak lahir itu benar, pada suatu hari nanti tujuanku
akan tercapai. Kalau tidak, aku bisa menempuh hidup sebodoh hidupku sekarang.
Tapi sekarang mungkin aku akan segera marl. Bagaimana mungkin seorang lelaki
dengan masa depan seperti itu memberikan janji-janji pada seorang perempuan
semuda Otsu?"
Yang dikatakan
Musashi itu lebih banyak daripada yang dimaksudkannya. Jotaro tampak bingung,
tapi kemudian katanya penuh kemenangan, "Kakak tak perlu janji apa-apa
pada Otsu. Saya cuma minta Kakak melihatnya."
"Tapi soalnya
tak semudah itu. Otsu itu perempuan muda dan aku lelaki muda. Aku tak suka
mengatakan ini padamu, tapi kalau aku bertemu dia, aku takut air matanya
mengalahkan diriku. Dan aku takkan dapat berpegang pada keputusanku
sendiri."
Musashi kini bukan
lagi pemuda tak sabar yang menampik Otsu di Jembatan Hanada itu. Ia kini kurang
egosentris dan kurang sembrono. lebih sabar serta jauh lebih halus. Pesona
Yoshino bisa saja telah membangkitkan kembali api nafsunya, sekiranya ia tidak
menolak cinta seperti api menolak air. Tapi kalau yang dihadapinya Otsu, ia tak
yakin terhadap kemampuannya melaksanakan kontrol diri. Ia tahu, ia tak boleh
memikirkan Otsu tanpa mempertimbangkan efek yang mungkin ditimbulkannya
terhadap kehidupan Otsu.
Jotaro mendengar
suara Musashi di dekat telinganya. "Kamu mengerti sekarang?"
Anak itu menghapus
air matanya, tapi ketika dilepaskannya tangan itu dari wajahnya dan menoleh,
tak ada lagi yang tampak olehnya kecuali kabut hitam tebal.
"Sensei!"
teriaknya.
Biarpun ia berlari ke
sudut tembok tanah yang panjang itu, ia tahu teriakannya takkan menyebabkan
Musashi kembali. Ia menempelkan wajah ke tembok. Air matanya kembali
bercucuran. Ia merasa betul-betul terpukul dan sekali lagi pukulan itu datang
dari pemikiran orang dewasa. Ia menangis terus sampai kerongkongannya tegang
dan suaranya tak lagi keluar, tetapi bahunya terus juga berguncang,
mengejang-ngejang oleh sedu-sedannya. Terlihat olehnya seorang perempuan di
luar pintu pembantu. Pikirnya, tentu itu salah seorang gadis dapur yang sedang
pulang dari mengerjakan suruhan. Ia ingin tahu, apakah gadis itu mendengar
tangisnya.
Sosok tubuh yang
kabur itu mengangkat kerudungnya dan berjalan pelan mendekatinya.
"Jotaro? Kamu,
ya?"
"Otsu! Apa kerja
Kakak di sini? Kakak lagi sakit!"
"Aku kuatir
denganmu. Kenapa kamu pergi tanpa bilang apa-apa pada siapa pun? Di mana saja
kamu tadi? Lampu-lampu sudah menyala dan pintu gerbang sudah tutup, tapi kamu
belum juga kembali. Bukan main kuatirku."
"Gila Kakak ini.
Bagaimana kalau demam Kakak naik lagi? Kembali sana ke tempat tidur, sekarang
juga!
"Kenapa kamu
menangis?"
"Akan
kuceritakan nanti."
"Aku mau tahu
sekarang. Tentunya ada yang bikin kamu jengkel sekali. Kamu mengejar Takuan,
ya?"
"Hmm. Ya."
"Kamu sudah tahu
di mana Musashi?"
"Takuan jahat.
Aku benci dia."
"Dia tidak mau
mengatakan?"
"E...
tidak."
"Kamu
menyembunyikan sesuatu."
"Oh, kalian
berdua ini betul-betul kelewatan!" lolong Jotaro.
"Kakak dan
guruku yang bodoh itu! Aku tak bisa menceritakan sebelum Kakak berbaring dan
aku menempelkan handuk dingin di kepala Kakak. Kalau Kakak tidak kembali ke
rumah sekarang, kuseret Kakak nanti ke sana."
Sambil memegang
pergelangan tangan Otsu dengan sebelah tangan dan tangan yang lain memukul
pintu gerbang, ia berseru-seru marah, "Buka pintu! Gadis sakit ini ada di
luar! Kalau tidak cepat-cepat, dia bisa beku!"
0 komentar:
Posting Komentar