Rabu, 12 Juli 2017



 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg

Manusia Serba bisa  


MUSASHI meninggalkan lapangan itu sambil berpikir, "Aku menang," katanya pada dirinya sendiri, "Sudah kukalahkan Yoshioka Seijuro; sudah kutundukkan benteng Gaya Kyoto!"

Tapi ia tahu hatinya tidak di situ. Matanya tertunduk dan kakinya seperti tenggelam dalam dedaunan kering. Seekor burung kecil yang terbang membubung ke langit memperlihatkan bagian bawah tubuhnya yang mengingatkan pada seekor ikan.

Ketika ia menoleh ke belakang, tampak olehnya pohon-pohon pinus yang ramping di atas gundukan tempat ia menghadapi Seijuro. "Aku memukul cuma satu kali," pikirnya. "Barangkali pukulan itu tidak membunuhnya." Ia memeriksa pedang kayunya untuk memperoleh kepastian bahwa tidak ada sisa darah di situ.

Pagi itu, dalam perjalanan ke tempat yang telah ditentukan, ia menduga akan menjumpai Seijuro ditemani rombongan muridnya, yang bisa saja menempuh jalan licik. Terus terang ia sudah siap menghadapi kemungkinan terbunuh. Agar pada akhir hayatnya ia tidak tampak berantakan, ia sudah menggosok giginya baik-baik dengan garam dan mencuci rambutnya.

Ternyata Seijuro jauh berada di bawah perkiraan Musashi. Musashi bertanya-tanya, apakah Seijuro benar-benar anak Yoshioka Kempo. Di dalam diri Seijuro yang biasa hidup di kota dan jelas berpendidikan baik itu tidak tampak penampilan seorang guru utama Gaya Kyoto. Ia terlalu ramping, terlalu lunak, terlalu sopan santun untuk menjadi jagoan pedang besar.

Ketika mereka bertukar salam, Musashi sudah berpikir tak enak. "Mestinya tak usah aku menjalani pertarungan ini."

Penyesalannya memang benar, kerena tujuannya adalah selalu menghadapi lawan yang lebih baik dari dirinya. Sekali pandang cukuplah. Tidak ada gunanya berlatih setahun penuh hanya untuk menghadapi pertarungan ini. Mata Seijuro tidak menampakkan keyakinan diri. Api yang dibutuhkan itu tidak ada, tidak hanya pada wajahnya, melainkan juga pada seluruh tubuhnya.

"Kenapa dia datang kemari pagi ini," tanya Musashi sendiri, "kalau dia tak punya keyakinan lebih di dalam dirinya?" Tapi Musashi sadar akan kesulitan lawannya, dan ia bersimpati. Seijuro tak dapat membatalkan pertarungan itu, sekalipun meng-hendakinya. Para murid yang diwarisinya dari ayahnya memandangnya sebagai penasihat dan pemimpin. Tak ada pilihan lain baginya kecuali menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ketika kedua orang itu berdiri dan siap bertempur, Musashi menoleh ke sana kemari untuk mencari alasan membatalkan seluruh acara itu, tapi kesempatan untuk itu tidak juga datang.

Kini semuanya sudah berlalu, dan Musashi berpikir, "Berat, berat! Mestinya tidak kulakukan itu." Dan dalam hati ia berdoa semoga luka Seijuro lekas sembuh.

Tetapi kerja hari itu sudah terlaksana. Tidak sewajarnya seorang prajurit matang bermuram durja mengenai hal yang sudah lalu.

Ketika ia mempercepat langkahnya, seorang perempuan tua muncul di atas petak rumput dengan wajah terkejut. Semula perempuan itu sedang menggaruk-garuk tanah mencari sesuatu. Bunyi langkah Musashi membuatnya tersengal. Perempuan itu mengenakan kimono polos tipis. Kalau tidak karena tali lembayung yang mengikat jubahnya, barangkali ia hampir tak bisa dibedakan dari rumput yang diinjaknya. Sekalipun pakaiannya baju orang awam, kerudungnya kerudung biarawati. Perempuan itu bertubuh kecil halus.

Musashi sama kagetnya dengan perempuan itu. Tiga atau empat langkah lagi, pasti ia sudah menginjaknya. "Apa yang Ibu cari?" tanya Musashi ramah. Ia melontarkan pandang ke tasbih yang tersangkut pada lengan perempuan itu di dalam lengan kimononya, dan sekeranjang tumbuhan liar kecil-kecil pada tangan yang lain. Jemari dan tasbih itu bergetar sedikit.

Untuk menenangkannya, Musashi berkata ringan, "Saya heran melihat tumbuhan ini sudah tumbuh. Saya pikir musim semi baru akan mulai. Oh, saya lihat Ibu sudah punya daun seledri yang manis-manis, juga lobak dan bunga kering, Apa Ibu memetiknya sendiri?"

Tapi biarawati itu menjatuhkan keranjangnya dan lari berteriak-teriak, "Koetsu! Koetsu!"

Musashi memandang tertegun melihat sosok kecil itu menghilang ke arah tanjakan kecil di tengah ladang yang umumnya datar. Di belakang tanjakan itu tampak asap mengepul.

Karena menurut pendapatnya sayang kalau perempuan itu kehilangan sayuran yang sudah dengan susah payah dikumpulkannya, maka Musashi pun memungutnya dan pergi mengikutinya sambil menjinjing keranjang. Kira-kira semenit kemudian, muncul dua lelaki.

Mereka telah menghamparkan permadani di sisi selatan yang kena sinar matahari, pada lereng yang landai. Di situ terdapat juga macam-macam alat yang biasa dipergunakan oleh pemeluk kultus teh, termasuk ketel besi di atas api dan cerek air di satu sisi. Mereka membuat kamar teh di udara terbuka, dan menganggap lingkungan alam itu sebagai kebunnya. Semuanya tampak sedikit bergaya dan anggun.

Seorang dari kedua lelaki itu rupanya pelayan, sedangkan yang satunya mengingatkan orang pada boneka porselin besar yang menggambarkan aristokrat Kyoto karena kulitnya yang putih lembut dan garis-garis wajahnya yang serasi. Ia berperut gendut. Keyakinan diri tercermin pada pipi dan posturnya.

"Koetsu". Nama itu membangkitkan kenangan, karena pada waktu itu Hon'ami Koetsu sangat terkenal dan tinggal di Kyoto. Orang mengatakan dengan nada iri bahwa upah tahunan Koetsu, seribu gantang, diperoleh dari Yang Dipertuan Maeda Toshiie dari Kaga yang sangat kaya. Sebagai penduduk kota biasa, ia dapat hidup mewah dari situ saja, tapi di samping itu ia menikmati juga perkenan khusus dari Tokugawa Ieyasu dan sering diterima di rumah kaum bangsawan tinggi. Kabarnya para prajurit terbesar negeri ini terpaksa turun dari kuda dan berjalan kaki bila melewati tokonya, agar tidak memberikan kesan merendahkannya.

Nama keluarga itu dipakai karena mereka menetap di Jalan Hon'ami, dan usaha Koetsu di bidang pembersihan, penyemiran, dan penaksiran pedang. Keluarga itu memperoleh nama baik semenjak abad empat belas dan berkembang pesat di zaman Ashikaga. Di kemudian hari mereka dilindungi daimyo-daimyo terkemuka seperti Imagawa Yoshimoto, Oda Nobunaga, dan Toyotomi Hideyoshi.

Koetsu dikenal sebagai orang yang punya banyak bakat. Ia pelukis, ternama sebagai ahli keramik dan pembuat pernis, dan dianggap ahli seni. Ia sendiri beranggapan bahwa kekuatannya adalah dalam kaligrafi. Di bidang ini umumnya ia disejajarkan dengan ahli-ahli yang sudah diakui seperti Shokado Shojo, Karasumaru Mitsuhiro, dan Konoe Nobutada, pencipta Gaya Sammyakuin, yang demikian populer hari-hari itu.

Sekalipun terkenal, Koetsu merasa belum sepenuhnya dihargai orang, atau demikianlah kelihatannya dari cerita yang beredar. Menurut cerita itu, ia sering mengunjungi tempat kediaman sahabatnya, Konoe Nobutada, yang bukan hanya seorang bangsawan, melainkan sekaligus juga Menteri Kiri dalam pemerintahan Kaisar. Dalam salah satu kunjungan, demikian cerita orang, pembicaraan dengan sendirinya beralih ke kaligrafi, dan Nobutada bertanya, "Koetsu, siapa kiranya yang akan Anda pilih sebagai tiga ahli kaligrafi terbesar negeri ini?"

Tanpa keraguan sedikit pun Koetsu menjawab, "Yang kedua adalah Anda sendiri, dan kemudian saya kira Shokado Shojo."

Sedikit heran, Nobutada bertanya, "Anda mulai dengan kedua terbaik, tapi siapa yang pertama?"

Tanpa senyum sama sekali Koetsu memandang langsung ke mata Nobutada dan menjawab, "Tentu saja saya."

Tenggelam dalam lamunan itu, Musashi berhenti tak jauh dari tempat orang-orang itu.

Koeuu memegang kuas, dan di lututnya tergeletak beberapa lembar kertas. Dengan sangat hati-hati ia membuat sketsa air yang mengalir tak jauh dari situ. Lukisan yang sedang digarapnya maupun beberapa karya sebelumnya yang berserakan di tanah terdiri semata-mata atas garis-garis pucat yang menurut penilaian Musashi bisa saja dibuat oleh setiap pemula.

Koetsu menengadah dan berkata tenang, "Ada apa?" Kemudian ia menatap adegan itu: Musashi di satu sisi, dan di sisi lain ibunya yang gemetar di belakang pelayan.      '

Musashi merasa lebih tenang dengan hadirnya orang itu. Ia jelas bukan macam orang yang biasa ditemui Musashi tiap hari, tapi entah bagaimana orang itu menarik bagi Musashi. Matanya memancarkan sinar yang dalam, yang sebentar kemudian mulai tersenyum kepada Musashi, seakan-akan mereka kenalan lama.

"Selamat datang, anak muda. Apa ibuku berbuat salah? Umurku sendiri empat puluh delapan, jadi bisa kaubayangkan sudah seberapa tua beliau. Dia memang sehat sekali, tapi kadang-kadang beliau mengeluh tentang penglihatannya. Kalau beliau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya, kuharap engkau mau menerima permintaan maaf dariku." Ia meletakkan kuas dan bloknot di permadani kecil tempat ia duduk, dan meletakkan kedua tangannya ke tanah, bersujud.

Musashi buru-buru berlutut untuk menghalangi Koetsu. "Jadi, Anda putra beliau?" tanyanya bingung.

"Ya."

"Sayalah yang mesti mohon maaf. Saya sebenarnya tak mengerti kenapa ibu Anda takut, tapi begitu beliau melihat saya, beliau menjatuhkan keranjangnya dan lari. Melihat sayuran beliau tumpah, saya jadi merasa bersalah. Dan ini saya bawa barang-barang yang jatuh itu. Hanya itu. Tak perlu Anda menghormat begitu."

Sambil tertawa senang, Koetsu menoleh kepada biarawati itu, dan katanya “Sudah Ibu dengar sendiri, kan? Kesan Ibu salah sama sekali."

Dengan perasaaan sangat lega, ibu itu keluar dari tempat sembunyinya di belakang pelayan. "Maksudmu, ronin ini tak ada maksud mencelakaiku?"

"Mencelakai? Sama sekali tidak. Lihatlah, dia bahkan mengembalikan keranjang Ibu. Apa dia tidak baik budi?"

"Oh, maaf," kata biarawati itu sambil membungkuk rendah hingga dahinya menyentuh tasbih yang ada di pergelangan tangannya. Kini ia riang dan tertawa sambil menoleh kepada anaknya. "Aku malu mengakuinya," katanya, "tapi ketika pertama kali kulihat anak muda ini, kupikir aku mencium bau darah. Oh, mengerikan! Jadi tegak bulu romaku. Sekarang aku tahu, betapa tololnya aku tadi."

Daya tinjau perempuan tua itu mengagumkan Musashi. Ia mampu melihat ke dalam diri Musashi, dan tanpa benar-benar memahaminva sudah menyatakannya dengan terus terang. Bagi perasaan perempuan yang lembut ini, pasti Musashi tampak seperti hantu yang mengerikan dan berlumuran darah.

Koetsu tentunya telah menangkap pula dalam pandangan mata Musashi yang tajam menembus, dari rambutnya yang tegak mengancam itu, sifatnya yang tajam bagai duri dan berbahaya, yang menyatakan kesiapsiagaannya untuk menghantam gangguan yang bagaimanapun kecilnya. Meskipun begitu tampaknya Koetsu cenderung mencari unsur yang baik padanya.

"Kalau engkau tidak terburu-buru," katanya, "tinggallah di sini dan istirahat sebentar. Di sini sangat sepi dan tenang. Duduk di tengah lingkungan ini, aku merasa bersih dan segar."

"Kalau saya dapat memetik sedikit lagi sayuran, saya bisa membuat bubur yang enak nanti untukmu," kata biarawati itu. "Dan juga teh. Atau engkau tak suka teh?"

Bersama ibu dan anak itu, Musashi merasa damai dengan dunia ini. Ia me-nyarungkan semangat perangnya, seperti kucing memasukkan cakarnya. Di tengah suasana yang menyenangkan ini, sukar ia mempercayai bahwa ia berada di tengah orang-orang asing sama sekali. Sebelum menyadarinya, ia telah melepaskan sandal jeraminya dan mengambil tempat duduk di atas permadani.

Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, tahulah ia bahwa sang ibu yang nama biaranya Myoshu itu dahulunya seorang istri yang baik dan setia, sebelum akhirnya menjadi biarawati, sedangkan anaknya ternyata memang si estetikus dan seniman terkemuka itu. Di antara para pemain pedang, tak seorang pun yang tidak mengenal nama Hon'ami—begitu hebat reputasi keluarga itu, berkat kemampuan-nya yang sempurna dalar menilai pedang.

Musashi merasa sukar menghubungkan Koetsu dan ibunya denga.gambaran yang ia miliki tentang bagaimana mestinya keadaan orang-orang seterkenal mereka itu. Baginya, mereka sekadar orang-orang biasa yang kebetulan ia jumpai di ladang sepi. Itulah justru yang ia kehendaki, karena kalau tidak, ia sendiri bisa jadi tegang merusak tamasya mereka.

Sambil membawa ketel teh, Myoshu bertanya pada anaknya, "Berapa umur pemuda ini menurutmu?"

Sambil memandang Musashi, jawab Koetsu, "Dua puluh lima atau enam kukira."

Musashi menggeleng. "Tidak, umur saya baru dua puluh tiga."

"Baru dua puluh tiga," kata Myoshu. Kemudian ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang biasa: di mana rumahnya, apakah orangtuanya masih hidup, siapa yang mengajarinya main pedang, dan seterusnya.

Bicaranya lembut, seolah Musashi adalah cucunya, dan ini menyebabkan jiwa kanak-kanak Musashi muncul. Gaya bicaranya berubah menjadi gaya bicara pemuda yang tidak resmi. Karena terbiasa dengan disiplin dan latihan keras, dan terbiasa menghabiskan waktu dengan menempa diri menjadi pedang baja yang bagus, maka tidak sedikit pun ia kenal sisi kehidupan yang lebih beradab. Sementara biarawati tua itu berbicara, kehangatan menyebar di seluruh tubuhnya yang sudah tertempa cuaca.

Myoshu, Koetsu, barang-barang di atas permadani, bahkan mangkuk teh itu, dengan halusnya berpadu dengan suasana menjadi bagian dari alam seluruhnya. Tetapi Musashi tidak sabar. Tubuhnya terlalu gelisah untuk duduk terus berlama-lama. Memang cukup menyenangkan mengobrol demikian, tapi ketika Myoshu mulai menatap diam ke ketel teh dan Koetsu membelakanginya untuk meneruskan melukis, Musashi menjadi bosan. "Apa enaknya datang kemari ini buat mereka?" tanyanya pada diri sendiri. "Musim semi baru saja mulai. Udara masih dingin."

Kalau mereka ingin memetik sayuran liar, kenapa tidak menanti sampai udara lebih hangat dan lebih banyak orang di sekitar? Waktu itu banyak bunga dan tumbuhan hijau yang segar. Kalau mereka ingin menikmati upacara teh, kenapa pula susah-susah membawa ketel dan mangkuk-mangkuk teh ke tempat ini? Keluarga terkenal dan makmur seperti mereka ini pasti punya ruang teh yang anggun di rumahnya.

Apakah untuk melukis?

Ketika memandang punggung Koetsu, tahulah ia bahwa dengan mencondongkan badan ke samping ia dapat melihat kuas yang sedang bergerak. Tiada lain yang dilukis oleh seniman itu kecuali garis-garis air yang mengalir, dan matanya terus tertuju pada kali sempit yang membelok melintasi rumput kering. Koetsu berkonsentrasi hanya pada gerakan air. Berkali-kali ia mencoba menangkap gerak air mengalir itu, namun sentuhan yang tepat kelihatannya belum didapatnya. Tak bosan-bosannya ia terus melukis garis-garis itu.

"Yah," pikir Musashi, "melukis tak semudah kelihatannya." Untuk sesaat rasa bosannya surut, dan ia terpesona memperhatikan goresan kuas Koetsu. Koetsu tentunya sama perasaannya dengan dirinya sewaktu menghadapi musuh dan ujung pedang yang sudah di depan mata. Pada tahap tertentu ia akan bangkit mengatasi dirinya dan merasa telah jadi satu dengan alam-bukan, bukan "merasa", karena segala rasa akan lengkap pada saat pedang melukai lawan. Saat transenden yang magis itulah segala-galanya.

"Koetsu masih memandang air sebagai musuhnya," pikirnya. "Itu sebabnya dia tak dapat melukisnya. Air harus menjadi bagian dan dirinya, baru dia akan berhasil."

Karena tak ada yang dikerjakannya, dari kebosanan ia meluncur ke dalam kelesuan, dan ini menggelisahkannya. Ia tak boleh membiarkan dirinya kendur, biarpun cuma sesaat. Ia mesti pergi dari tempat itu.

"Saya minta maaf sudah mengganggu," katanya agak kasar, dan mulai mengikatkan kembali sandalnya.

"Oh, begitu cepat akan pergi?" tanya Myoshu.

Koetsu menoleh ke belakang pelan-pelan, dan katanya, "Tak bisa engkau tinggal sedikit lama? Ibu mau bikin teh sekarang, Kukira engkaulah orang yang bertarung dengan Perguruan Yoshioka pagi ini. Minum teh sedikit sesudah berkelahi baik untuk badan, setidak-tidaknya itulah yang dikatakan Yang Dipertuan Maeda. Ieyasu demikian juga. Teh itu baik untuk semangat. Aku sangsi apakah ada yang lebih baik dari teh. Menurut pendapatku, aksi dilahirkan oleh ketenangan. Tinggallah, dan bicaralah. Akan kutemani."

Jadi, Koetsu tahu tentang pertarungan itu! Tapi barangkali tidak begitu mengherankan. Rendaiji tidak jauh, hanya di ladang sebelah sana. Persoalan yang lebih menarik adalah, kenapa sampai sedemikian jauh ia tidak mengatakan sesuatu. Apakah karena menurut anggapannya soal-soal macam itu bukan bagian dari dunianya sendiri? Musashi sekali lagi memandang ibu dan anak itu, kemudian duduk lagi.

"Kalau Anda mendesak, saya akan tinggal," katanya.

"Tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami senang engkau bersama kami di sini," kata Koetsu. Ia meletakkan tutup pada kotak tintanya, lalu meletakkan kotak itu di atas lembar-lembar sketsa, agar tidak kabur. Di dalam tangannya kotak tinta itu berkelip-kelip seperti kunangkunang. Rupanya berlapis emas tebal, dengan tatahan perak dan mutiara.

Musashi membungkuk untuk memperhatikannya. Sesudah terletak di atas permadani, kotak itu tidak lagi berkilau cemerlang, Ia tahu, tak ada yang mencolok. Keindahannya terletak pada lapis emas dan lukisan cat kuil-kuil Momoyama yang dikecilkan beberapa kali. Juga terasa ada bagiannya yang sangat kuno, yaitu tahi tembaga yang redup, yang mengingatkan orang pada kebesaran yang sudah pudar. Musashi menatap dengan saksama. Terasa ada sesuatu yang menyenangkan pada kotak itu.

"Aku membuatnya sendiri," kata Koetsu rendah hati. "Engkau suka?"

"Oh, jadi Tuan membuat barang pernis juga?"

Koetsu hanya tersenyum. Ia memandang pemuda yang kelihatannya lebih mengagumi kecerdasan manusia daripada keindahan alam itu, dan pikirnya geli, "Bagaimanapun, dia berasal dari desa."

Tak kenal dengan sikap megah Koetsu, Musashi pun berkata penuh ketulusan, "Ini betul-betul indah." ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari kotak tinta itu.

"Sudah kukatakan itu kubuat sendiri, tapi sajak di atasnya hasil karya Konoe Nobutada. Jadi, ini buatan kami berdua."

"Apa itu keluarga Konoe yang menurunkan wali kaisar?"

"Ya. Nobutada adalah anak wali yang dahulu."

"Suami bibi saya mengabdi pada keluarga Konoe bertahun-tahun."

"Siapa namanya?"

"Matsuo Kaname."

"Oh, aku kenal baik Kaname itu. Aku selalu mengunjunginya kalau pergi ke rumah Konoe, dan dia kadang-kadang datang mengunjungi kami.

"Betul?"

"Bu, dunia ini kecil, ya? Bibi dia ini istri Matsuo Kaname."

"Ah, masa!" kata Myoshu.

Myoshu meninggalkan api dan meletakkan mangkuk-mangkuk teh di depan mereka. Tak sangsi lagi, ia betul-betul ahli dalam hal upacara teh. Gerak-geriknya anggun, namun alamiah, sedangkan tangannya yang lembut itu lemah gemulai. Sekalipun sudah berumur tujuh puluh, ia kelihatan sebagai lambang keluwesan dan kecantikan wanita.

Musashi, yang merasa betul-betul tidak leluasa, duduk bersimpuh dengan sopannya, meniru Koetsu. Kue untuk minum teh berupa kue kismis yang dikenal dengan nama manju Yodo, tetapi kue itu diletakkan dengan apiknya di atas selembar daun hijau yang jenisnya tak ada di ladang sekitar. Musashi tahu ada peraturan tertentu berupa etiket untuk menghidangkan teh, seperti halnya ada peraturan menggunakan pedang, dan selama memperhatikan Myoshu, ia mengagumi keahliannya. Menilainya dalam istilah ilmu pedang, "Dia sempurna sekali! Sama sekali tidak membuka peluang." Ketika ia mengangkat mangkuk, Musashi merasakan di dalam diri perempuan itu keahlian surgawi, seperti kelihatan pada seorang guru pedang yang siap memukul. "Inilah Jalan," demikian pikirnya. "Inilah hakikat seni. Orang harus memilikinya, agar dapat sempurna dalam apa saja."

Ia mengalihkan perhatian kepada mangkuk teh di depannya. Inilah pertama kalinya ia mendapat suguhan dengan cara ini, dan sedikit pun ia tak tahu apa yang mesti dilakukan berikutnya. Mangkuk teh itu membuat ia kagum, karena meskipun mangkuk itu mirip dengan yang dibuat anak kecil sewaktu bermain lumpur, namun kalau warna hijau tua pada busa teh itu diperhatikan dengan latar belakang warna mangkuk, tampaklah warna itu lebih tenteram dan lembut daripada langit.

Tanpa daya ia pun memandang Koetsu yang sudah menghabiskan kuenya dan sedang memegang mangkuk dengan penuh cinta. Ia pegang mangkuk dengan kedua tangannya, seperti sedang membelai benda hangat di malam yang dingin, dan ia habiskan teh itu dengan dua-tiga hirupan.

"Pak," Musashi berkata agak ragu-ragu, "saya ini cuma anak desa yang bodoh, dan saya tidak tahu seluk-beluk upacara teh. Saya bahkan tidak tahu pasti, bagaimana cara minum teh."

Myoshu segera menegurnya baik-baik. "Oh, begini, Nak, semua itu sama saja. Tak ada yang namanya canggih atau khusus dalam minum teh. Kalau engkau anak desa, minum saja seperti caramu di desa."

"Apa boleh begitu?"

"Tentu saja. Tingkah laku itu bukan soal peraturan, tapi berasal dari hati. Sama dengan ilmu pedang, kan?"

"Kalau Ibu nyatakan demikian, memang ya."

"Kalau engkau terlalu memikirkan cara yang benar untuk minum, kau takkan menikmati teh itu. Ketika menggunakan pedang, kau tak bisa membiarkan tubuhmu terlalu tegang. Itu akan mematahkan keselarasan antara pedang dan semangatmu. Betul begitu?"

"Betul, Ibu." Tanpa disadari Musashi menganggukkan kepalanya dan menanti biarawati itu melanjutkan pelajarannya.

Biarawati itu tertawa sedikit berderai. "Coba dengarkan aku ini! Bicara tentang main pedang, padahal aku tak tahu apa-apa tentangnya."

"Saya minum teh saya sekarang," kata Musashi sesudah memperoleh kembali keyakinan dirinya.

Kakinya capek akibat duduk dalam sikap resmi, karena itu ia berganti posisi bersila supaya lebih enak. Sebentar saja sudah ia kosongkan mangkuk teh itu dan ia letakkan kembali. Teh itu sangat pahit. Biarpun untuk sekadar basa-basi, ia tak dapat memaksa diri mengatakan enak.

"Tambah lagi?"

"Tidak, terima kasih, sudah cukup."

Apa enaknya air pahit macam ini buat orang-orang ini? Kenapa mereka bicara begitu serius tentang "kemurnian" rasa dan segala macamnya itu? Musashi tak dapat memahami tuan rumah, namun tak mungkin ia tidak mengaguminya. Bagaimanapun, tentunya ada hal lain yang tak terlihat olehnya. Kalau tidak, mana mungkin masalah minum teh ini menjadi faktor penting filsafat tentang estetika dan hidup? Dan mana mungkin pula orang-orang besar seperti Hideyoshi dan Ieyasu akan mencurahkan perhatian demikian besar pada minum teh ini, demikian pikir Musashi.

Ia ingat betapa Yagyu Sekishusai menghabiskan umur tuanya untuk Jalan Teh, dan Takuan pun bicara tentang kemuliaan. Melihat mangkuk teh dan kain tatakannya, tiba-tiba terbayang olehnya bunga peoni putih dari kebun Sekishusai itu, dan sekali lagi ia rasakan getaran yang dulu pernah ia alami. Kini mangkuk itu memberikan getaran yang sama. Caranya tak bisa dijelaskan. Sesaat lamanya ia bertanya-tanya, jangan-jangan tadi ia terengah keras.

Ia menjulurkan tangan, memungut mangkuk dengan penuh cinta dan meletakkannya di atas lutut. Matanya bercahaya ketika mengamati. Terasa olehnya kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Diperhatikannya dasar mangkuk itu, demikian juga jejak-jejak kape tukang tembikar dan sadarlah ia bahwa garis-garis itu menunjukkan ketajaman yang sama dengan irisan yang dilakukan Sekishusai pada batang bunga peoni. Mangkuk bersahaja ini pun hasil karya seorang genius. Mangkuk ini mengungkapkan sentuhan semangat dan wawasan yang misterius.

Hampir-hampir ia tak dapat bernapas. Tak tahulah ia, tapi kini ia merasakan kekuatan seniman besar itu, kekuatan yang diam tapi Paso, karena ia memang lebih peka terhadap kekuatan laten yang bersemayam di situ daripada kebanyakan orang lain. Ia gosok-gosok mangkuk itu, tak ingin melepaskan kontak fisik dengannya.

"Pak Koetsu," kata Musashi, "pengetahuan saya tentang alat-alat ini tidak lebih baik daripada pengetahuan saya tentang teh, tapi saya kira mangkuk ini dibuat oleh tukang tembikar yang sangat terampil."

"Kenapa begitu?" kata-kata seniman itu sama lembutnya dengan wajahnya. Matanya simpatik dan mulutnya bagus bentuknya. Sudut-sudut mata yang turun sedikit memberikan kesan sungguh-sungguh, namun di sekitar ujung mata terdapat kerut-merut.

"Saya tak bisa menjelaskannya, tapi saya merasakannya."

"Jelasnya, bagaimana menurut perasaanmu? Coba ceritakan."

Musashi berpikir sejenak, kemudian katanya, "Nah, saya tak dapat mengungkapkannya dengan jelas sekali, tapi terasa ada yang melebihi kemampuan manusia pada guratan tajam tanah liat ini..."

"Hmmm." Koetsu memang memiliki sikap seniman sejati. Sesaat pun ia tak pernah menilai orang lain tahu banyak tentang karya seninya, dan karena itu merasa pasti Musashi bukanlah perkecualian. Bibirnya mengerut. "Kenapa guratannya, Musashi?"

"Bersih sekali."

"Cuma itu?"

"Tidak, tidak... lebih rumit dari itu. Ada sesuatu yang besar dan agung dari pembuatnya."

"Apa lagi?"

"Tukang tembikar itu sendiri sama tajamnya dengan pedang Sagami. Tapi dia menyelimuti semuanya itu dengan keindahan. Mangkuk teh ini tampak sangat sederhana, tapi terasa ada keangkuhan, sesuatu yang agung dan congkak, seakan-akan dia menganggap orang lain belum sepenuhnya manusia."

"Mm."

"Sebagai manusia, orang yang membuat mangkuk ini sukar ditaksir, saya kira. Siapa pun orangnya, saya berani bertaruh dia orang terkenal. Tak dapatkah Bapak menyebutkan siapa dia?"

Bibir Koetsu yang tebal itu pun tertawa keras. "Namanya Koetsu. Tapi barang ini kubuat hanya untuk bersenang-senang hati."

Musashi yang tak tahu bahwa dirinya sedang diuji itu terkejut dan kagum mendengar Koetsu dapat membuat keramik sendiri. Tapi yang lebih mengesankan daripada luasnya kecakapan artistik orang itu adalah dalamnya nilai manusia yang tersembunyi dalam mangkuk teh yang kelihatannya sederhana mi. Agak terganggu juga Ia oleh kedalaman sumber spiritual Koetsu. Karena terbiasa mengukur orang lain dengan kemampuan menggunakan pedang, tiba-tiba ia menyimpulkan bahwa kemampuan dirinya terlalu kecil. Pikiran ini membuatnya merasa hina. Ini satu orang lagi, kepada siapa ia mesti mengakui kekalahannya. Walaupun pagi itu ia baru saja mendapat kemenangan gemilang, sekarang ia tak lebih dar seorang pemuda pemalu.

"Jadi, engkau suka keramik juga, ya?" tanya Koetsu. "Engkau rupanya bisa juga menilai barang tembikar."

"Saya sangsi apakah itu benar," jawab Musashi rendah hati. "Saya cuma menyatakan apa yang ada dalam kepala saya. Maafkan saya, kalau ada yang tolol dalam kata-kata saya."

"Ya, tentu saja kita tak bisa mengharapkan kau tahu banyak tentang soal ini. Untuk membuat satu mangkuk teh yang baik saja dibutuhkan pengalaman selama hidup. Tapi engkau memang punya rasa keindahan, ada daya tangkap naluriah yang agak kuat. Kukira engkau sudah mendapat sedikit kemajuan dalam mengembangkan ketajaman matamu, karena engkau mempelajari ilmu pedang." Ada nada kagum dalam nada suara Koetsu, tapi sebagai orang yang lebih tua ia tidak dapat memuji anak itu. Tidak hanya perbuatan itu tidak terpuji, melainkan juga dapat membuat anak itu sombong.

Tak lama kemudian, pelayan kembali membawa lebih banyak sayuran liar, dan Myoshu menyiapkan bubur. Ketika ia sudah memindahkan bubur itu ke piring-piring kecil yang rupanya juga dibuat oleh Koetsu, seguci sake yang harum pun dipanaskan, dan pesta tamasya pun dimulai.

Makanan dalam upacara teh itu terlalu ringan dan lembut untuk selera Musashi. Jasmaninya menghendaki isi dan rasa yang lebih mantap. Namun ia berusaha juga dengan sebaik-baiknya menelan bau halus adonan berdaun itu, karena diakuinya banyak yang dapat ia pelajari dari Koetsu dan ibunya yang luwes itu.

Waktu berlalu terus, dan ia menoleh ke sekitar ladang dengan gelisah. Akhirnya ia menoleh kepada tuan rumah, katanya, "Semua ini sangat menyenangkan, tapi sudah waktunya saya pergi sekarang. Saya masih ingin tinggal di sini, tapi saya kuatir lawan-lawan saya akan datang dan menimbulkan kesulitan. Tak ingin saya melibatkan Bapak dalam hal seperti ini. Saya harap saya akan mendapatkan kesempatan bertemu lagi dengan Bapak."

Myoshu bangkit melepaskan tamunya, katanya, "Kalau kau kebetulan ada di sekitar Jalan Hon'ami, jangan tidak mampir ke tempat kami."

"Ya, silakan datang menengok kami. Kita nanti dapat berbincang-bincang yang enak," tambah Koetsu.

Sebetulnya Musashi sudah kuatir, tapi ternyata tidak tampak tanda-tanda murid-murid Yoshioka. Habis minta diri, ia berhenti untuk menoleh pada kedua teman barunya. Ya, dunia mereka itu lain sekali dengan dunianya. Jalannya sendiri yang panjang dan sempit itu takkan pernah mencapai lingkungan kesenangan hidup Koetsu yang penuh kedamaian. Ia berjalan diam menuju tepi ladang, kepalanya tertunduk merenung.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP