Kuda Terbang
OTSU dan
Jotaro tiba di perbatasan larut malam, menginap di sebuah rumah penginapan,
kemudian melanjutkan perjalanan lagi sebelum kabut pagi menghilang. Dari Gunung
Fudesute mereka berjalan ke Yonkenjaya. Di situ untuk pertama kali mereka
merasakan hangatnya matahari terbit yang menyinari punggung.
"Bukan
main indahnya!" ujar Otsu. Ia berhenti melihat bulatan emas besar itu. Ia
tampak penuh harapan dan keriangan. Itulah saat indah ketika semua benda
bernyawa, bahkan juga tumbuhan dan binatang, merasa puas dan bangga karena
hidup di dunia ini.
Jotaro
berkata senang, "Kita berdua yang pertama di jalan ini. Tak ada orang di
depan kita."
"Kedengarannya
bangga betul kamu. Apa artinya?" "Oh, banyak artinya."
"Apa
menurutmu jalan ini lalu jadi lebih pendek?"
"Oh,
bukan. Senang rasanya menjadi orang pertama, biar cuma pertama di jalan. Mesti
Kakak akui, itu lebih baik daripada berjalan di belakang joli atau kuda."
"Memang
betul."
"Kalau
tak ada orang lain di jalan yang kujalani, aku merasa jalan itu milikku."
"Kalau
begitu, kenapa tidak kamu umpamakan dirimu seorang samurai besar yang sedang
menunggang kuda dan memeriksa tanahmu yang luas? Aku akan jadi
pembantumu." Otsu memungut sebatang bambu, dan sambil mengayun-ayunkan
bambu itu dengan khidmat ia berseru-seru dengan nada sama, "Semua
membungkuk! Semua membungkuk kepada Yang Dipertuan!"
Seorang
lelaki memandang bertanya-tanya dari bawah ujung atap warung teh. Tertangkap
basah sedang bermain seperti anak-anak, wajah Otsu memerah dan ia berjalan
terus secepat-cepatnya.
"Oh,
jangan begitu," protes Jotaro. "Tak boleh kamu lari dari tuanmu.
Kalau lari, terpaksa aku membunuhmu!"
"Aku tak
mau main lagi, ah!"
"Lho,
kan Kakak yang main tadi, bukan aku?"
"Ya,
tapi kamu yang mulai. Lihat itu! Orang di warung teh itu memandang kita terus.
Pasti dikiranya kita sinting."
"Mari
kita kembali ke sana."
"Buat
apa?"
"Aku
lapar."
"Sudah
lapar?"
"Apa tak
bisa kita makan separuh kue nasi yang buat makan siang?"
"Sabar.
Kita belum lagi tiga kilometer. Kalau kubiarkan bisa-bisa kamu makan lima kali
sehari."
"Mungkin.
Tapi Kakak tak pernah lihat aku naik joli atau menaiki kuda seperti
Kakak."
"Ah, itu
kan cuma tadi malam, dan cuma karena sudah gelap dan kita mesti buru-buru.
Kalau begitu pendapatmu, aku akan jalan sepanjang hari im.
"Hari
ini giliranku naik kuda."
"Anak-anak
tak perlu naik kuda."
"Tapi
aku ingin naik kuda. Apa tak bisa? Bisa, kan?"
"Barangkali,
tapi hari ini saja."
"Kulihat
ada kuda terikat di warung teh itu. Kita dapat menyewanya."
"Jangan,
sekarang masih terlalu pagi."
"Kalau
begitu, Kakak bohong tadi bilang aku boleh naik kuda!"
"Aku
tidak bohong, tapi kamu kan belum capek? Menyewa kuda itu membuang-buang uang
saja."
"Kakak
kan tahu betul, aku tak pernah capek. Aku tak akan capek, biar kita jalan
seratus hari atau seribu lima ratus kilo. Kalau mesti tunggu sampai lelah, tak
bakal aku naik kuda. Ayolah, mari kita sewa kuda sekarang, mumpung tak ada
orang di depan kita. Ini lebih aman daripada kalau jalan ramai. Ayolah!"
Karena merasa
bahwa kalau terus begitu mereka akan kehilangan waktu yang sudah mereka hemat
dengan berangkat pagi-pagi, maka Otsu menyetujui. Begitu Jotaro merasa Otsu
mengangguk setuju, ia berlari kembali ke warung teh ia memang tidak menantikan
anggukan Otsu.
Walaupun di
sekitar itu terdapat empat warung teh, seperti ditunjukkan oleh nama Yonkenjaya
itu, warung-warung itu terletak di berbagai tempat yang berlainan di lereng
Gunung Fudesute dan Kutsutake. Adapun warung yang baru mereka lewati itulah
satu-satunya yang tampak oleh mereka.
Jotaro
berlari menjumpai pemilik warung, kemudian berhenti tiba-tiba, serunya,
"Hei, siapa di situ? Aku mau kuda! Keluarkan satu buatku!"
Orang tua itu
sedang menurunkan daun jendela. Teriakan bernafsu anak itu mengejutkannya dan
membangunkannya. Dengan muka masam ia menggerutu, "Apa saja ini! Buat apa
memekik sekeras itu!"
"Aku
perlu kuda. Minta disiapkan sekarang juga. Berapa sampai Minakuchi? Kalau tak
begitu mahal, bisa diteruskan sampai Kusatsu."
"Tapi
kamu ini anak siapa?"
"Aku
anak ibuku dan ayahku," jawab Jotaro kurang ajar.
"Kupikir
turunan liar dewa badai."
"Kamu
ini dewa badainya. Tampangmu gila macam guntur."
"Bandel!"
"Mana
kudanya!"
"Oh, kau
pikir kuda itu buat disewakan? Kuda itu tidak disewakan. Maka aku kuatir tidak
mendapat kehormatan meminjamkannya kepada Tuan."
Dan untuk
mengimbangi nada bicara orang itu, Jotaro menyahut, "Oh, jadi aku tak akan
mendapat kehormatan menyewanya?"
"Lancang
kamu, ya?" teriak orang itu sambil mengambil ranting menyala dari api di
bawah tungku dan melemparkannya kepada anak itu. Ranting iru tidak mengenai
Jotaro, tapi menimpa kuda tua yang tertambat di bawah ujung atap. Sambil
meringkik membelah udara, kuda itu mundur .ian membenturkan punggungnya ke
tiang.
Bajingan!"
jerit si pemilik. Ia melompat keluar dari warung sambil memuntahkan sumpah
serapah dan berlari mendapatkan binatang itu.
Selagi ia
melepaskan tali dan menuntun kuda itu ke pekarangan samping, Jotaro mulai lagi.
"Pinjamkan dia untuk aku."
"Tidak
bisa."
"Kenapa
tak bisa?"
"Tak ada
tukang yang membawanya."
Otsu memihak
Jotaro dan menyarankan, kalau tak ada tukang kuda ia dapat membayar uang di
muka dan mengirimkan kuda pulang kembali dari Minakuchi bersama musafir yang
pergi ke sini. Sikap Otsu yang memohon itu melunakkan si orang tua, dan ia
mengambil keputusan bahwa ia dapat mempercayai Otsu. Sambil menyerahkan tali
kepada Otsu, karanva, "Kalau begitu, bisa kaubawa dia ke Minakuchi, atau
juga ke Kusatsu, kalau kau mau. Cuma permintaanku, kirim dia kembali."
Ketika mereka
akan berangkat, ujar Jotaro marah, "Apa pendapat Kakak tentang dia? Dia
perlakukan aku seperti keledai, tapi begitu dia lihat wajah manis...."
"Hati-hati
kamu, kalau bicara tentang orang tua itu. Kudanya ini mendengarkan. Dia bisa
marah dan melemparkanmu."
"Apa
menurut Kakak, kuda tua lemah kaki ini bisa mengalahkan aku?"
"Kamu
kan belum bisa naik kuda?"
"Siapa
bilang tak bisa?"
"Lalu
macam apa pula ini, naik dari belakang?"
"Ah.
tolong dong!"
"Brengsek!"
Otsu memegang ketiak Jotaro dan menaikkannya ke punggung binatang itu.
Jotaro
memandang megah ke sekitar, ke dunia di bawahnya. "Kakak jalan di depan,
dong," katanya.
"Dudukmu
belum benar."
"Jangan
kuatir. Soal itu beres."
"Baiklah,
tapi kamu menyesal nanti." Sambil memegang tali kekang dengan satu tangan,
Otsu melambaikan ucapan selamat berpisah kepada pemilik kuda dengan tangan
satunya, lalu keduanya berangkat.
Belum lagi
seratus langkah, mereka sudah mendengar pekik keras dari tengah kabut di
belakang mereka, diiringi langkah kaki berlari.
"Siapa
itu kira-kira?" tanya Jotaro.
"Apa kita
yang dipanggilnya?" tanya Otsu.
Mereka
menghentikan kuda itu dan menoleh. Di tengah kabut putih mengasap itu terbentuk
bayangan orang. Semula mereka hanya dapat menangkap garis bentuknya saja,
kemudian warnanya, tapi segera kemudian orang itu sudah cukup dekat, hingga
mereka dapat mengira-ngirakan penampilannya dan umurnya. Hawa setani mengitari
tubuhnya, seakan-akan orang itu diikuti angin pusaran yang sedang mengamuk.
Orang itu cepat mendekat ke samping Otsu, berhenti, dan dengan gerakan cepat
merebut tali kekang dari tangan Otsu.
"Turun!"
perintahnya sambil menatap Jotaro.
Kuda itu
berlari kecil mundur. Sambil mencekal bulu tengkuknya, Jotaro memekik,
"Hei, mana boleh begitu! Aku yang menyewa kuda ini, bukan kamu!"
Orang itu
mendengus, menoleh kepada Otsu, katanya, "Perempuan!"
"Ya?"
kata Otsu lirih.
"Namaku
Shishido Baiken. Aku tinggal di Desa Ujii di pegunungan. sebelah sana
perbatasan. Aku sedang mengejar orang yang namanya Miyamoto Musashi. Dia lewat
jalan ini sebelum fajar tadi. Barangkali dia lewat beberapa jam lalu, jadi aku
mesti jalan cepat kalau mau berhasil mengejar dia di Yasugawa, perbatasan Omi.
Berikan kuda ini padaku." Orang itu bicara sangat cepat, tulang rusuknya
mengembang dan mengempis. Dalam udara dingin itu, kabut mengental menjadi bunga
es pada cabang-cabang dan ranting-ranting pohon, tapi leher orang itu
berkelip-kelip seperti ular karena keringat.
Otsu tegak
diam, wajahnya putih seperti mayat, seakan bumi di bawahnya menguras seluruh
darah tubuhnya. Bibirnya menggeletar. Ingin sekali ia bertanya, untuk
memastikan apa yang didengarnya itu benar. Tapi ia tak dapat mengucapkan
sepatah kata pun.
"Kamu
bilang Musashi?" ucap Jotaro. Ia masih mencengkeram bulu tengkuk kuda itu,
tapi kaki dan tangannya gemetar.
Baiken
demikian terburu-buru, hingga tidak melihat geletar tubuh mereka. "Ayo
cepat! Kalau tidak kucambuk kamu!" Dan ia mengacungkan ujung tali kekang
itu seperti cambuk.
Jotaro tetap
menggeleng. "Aku tak mau."
"Apa
maksudmu tak mau?"
"Ini
kudaku, kamu tak bisa mengambilnya. Tak peduli kamu terburu-buru atau
tidak."
"Awas
kau! Sikapku sudah baik sekali, kujelaskan duduk perkaranya, kalian cuma
seorang perempuan dan anak yang jalan sendiri, tapi..."
"Betul,
kan, Otsu?" sela Jotaro. "Tak boleh dia ambil kuda ini, kan?"
Otsu ingin memeluk anak itu. Baginya soalnya bukanlah kuda itu, tetapi
bagaimana mencegah orang jahat ini mengejar lebih cepat.
"Betul,"
katanya. "Saya percaya Tuan memang buru-buru, tapi kami juga buru-buru.
Tuan dapat menyewa salah satu kuda yang jalan naik-turun gunung ini dengan
teratur. Seperti dikatakan anak ini, tidak adil kalau Tuan mencoba mengambil
kuda ini dari kami."
"Aku tak
mau turun," ulang Jotaro. "Lebih baik aku mati daripada turun!"
"Sudah
bulat kamu tak mau melepaskan kuda ini?" tanya Baiken kasar.
"Mestinya
kamu sudah tahu, kami tak mau," jawab Jotaro geram.
"Anak
anjing!" teriak Baiken, marah oleh nada bicara anak itu.
Jotaro yang
mengetatkan cengkeramannya pada bulu tengkuk kuda itu tampak hanya sedikit
lebih besar dari seekor kucu. Baiken menjangkau sebelah kaki Jotaro dan
menariknya turun. Inilah saatnya Jotaro mesti menggunakan pedang kayunya. Tapi
karena bingung ia lupa sama sekali akan senjata itu. Berhadapan dengan musuh
yang lebih kuat daripada dirinya, satu-satunya cara bertahan yang teringat
olehnya adalah meludahi muka Baiken, dan itulah yang dilakukannya
berulang-ulang.
Otsu jadi
ngeri sekali. Rasa takut akan terluka atau terbunuh oleh orang ini mendatangkan
rasa asam dan kering dalam mulutnya. Tapi memang tak ada soal menyerah dan
membiarkan orang itu mengambil kuda. Musashi sedang dikejar makin lama ia dapat
menghambat iblis ini, makin banyak Musashi punya waktu untuk lari. Tak jadi
soal baginya, apakah jarak antara Musahi dan dirinya akan bertambah juga,
justru pada waktu ia tahu bahwa setidak-tidaknya mereka berada di jalan yang
sama. Sambil menggigit bibir dan kemudian menjerit, "Kamu tidak boleh
berbuat begitu!" ia memukul dada Baiken dengan tenaga yang bahkan ia
sendiri pun tak menduganya.
Karena masih
menghapus ludah dari wajahnya, Baiken kehilangan ke-seimbangan, dan pada detik
itulah tangan Otsu menangkap gagang pedangnya.
"Anjing!"
salak orang itu, berusaha mencengkeram pergelangan tangan Otsu. Tapi tiba-tiba
ia melolong kesakitan. Karena sebagian pedang itu sudah keluar dari sarungnya,
bukan tangan Otsu yang ia parut, tapi mata pedang. Ujung dua jari tangan
kanannya jatuh ke tanah. Sambil memegang tangan yang berdarah itu ia melompat
mundur, sehingga tak sengaja menghunus pedang dari sarungnya. Baja berkilau
cemerlang yang terulur dari tangan Otsu menggaruk tanah dan berhenti di
belakang gadis itu.
Baiken
melakukan kesalahan lebih besar lagi daripada malam sebelumnya.
Sambil
mengutuk diri sendiri karena sikapnya yang tidak hati-hati, ia berjuang untuk
memperoleh kembali keseimbangannya. Otsu kini tidak takut pada apa pun dan
mengayunkan pedang itu ke samping, ke arah orang itu. Tapi senjata itu senjata
besar berlempeng lebar, panjangnya hampir tiga kaki, tidak setiap lelaki dapat
menggunakannya. Ketika Baiken menghindar, tangan Otsu guncang dan ia terhuyung
ke depan. Ia rasakan kedua tangannya terpilin sekilas dan darah hitam kemerahan
menyembur ke wajahnya. Setelah pusing sebentar, ia sadar bahwa pedang mengenai
pantat kuda.
Luka itu tidak
dalam, tapi kuda itu memperdengarkan suara mengerikan, kemudian mundur dan
menyepak dengan liarnya. Disertai teriakan tak keruan, Baiken mencengkeram
terus pergelangan tangan Otsu dan mencoba memperoleh kembali pedangnya, tapi
waktu itu si kuda menyepak mereka berdua ke udara. Kemudian, sambil berdiri
pada kaki belakangnya, kuda meringkik keras dan terbang ke jalan seperti anak
panah lepas dari busurnya, sementara Jotaro terus bergayut kuat-kuat pada
punggungnya dan darah mencurah di belakangnya.
Baiken
terhuyung-huyung di udara penuh debu. Ia tahu tak dapat menangkap binatang yang
menggila itu, karena itu dengan mata marah ia menoleh ke tempat Otsu tadi
berada. Tapi Otsu sudah tak ada.
Sesaat
kemudian ia melihat pedangnya di bawah sebatang pohon larch, dan sekali sergap
ia mengambilnya kembali. Sesudah ia membenahi diri, terpikir olehnya: tentunya
ada hubungan antara perempuan ini dengan Musashi! Dan kalau ia teman Musashi,
ia bisa menjadi umpan yang baik sekali. Setidaknya ia pasti tahu ke mana perginya
Musashi.
Setengah
berlari setengah meluncur ia menuruni tanggul di samping jalan, mengitari
sebuah rumah pertanian beratap lalang, memeriksa bawah lantai dan dalam
gudangnya. Seorang perempuan tua yang membungkuk di balik mesin pemintal dalam
rumah memandangnya ketakutan.
Kemudian
tampak olehnya Otsu berlari kencang melintasi rumpun kriptomeria yang rimbun,
menuju lembah di kejauhan. Kelihatan bercak-bercak salju terakhir.
Ia menyerbu
turun bukit dengan tenaga bagai tanah longsor dan segera dapat menguasai jarak
yang memisahkan mereka.
"Anjing!"
teriaknya sambil mengulurkan tangan kiri dan memegang rambut Otsu.
Otsu jatuh ke
bawah dan berpegangan pada akar-akar sebatang pohon, tapi kakinya tergelincir
dan tubuhnya jatuh ke ujung karang terjal. Di situ tubuh itu berayun-ayun
seperti bandul jam. Lumpur dan kerikil jatuh ke wajahnya ketika ia memandang ke
atas, ke mata Baiken yang besar dan pedangnya yang berkilauan.
"Tolol!"
kata Baiken menghina. "Kau pikir kau bisa lolos sekarang?"
Otsu menatap
ke bawah. Lima puluh atau enam puluh kaki di bawah sana sebatang sungai
melintasi dasar lembah. Anehnya ia tidak takut. Ia menganggap lembah itu
sebagai penyelamatnya. Kapan saja ia mau, ia dapat meloloskan diri hanya dengan
melepaskan pohon itu dan melemparkan diri, menyerahkan diri kepada ruang
terbuka di bawah. Ia merasakan dekatnya maut, tapi bukan itu yang
dipikirkannya. Ia pusatkan pikiran pada satu-satunya bayangan dalam batinnya:
Musashi. Ia seolah melihat Musashi seperti bulan bulat di langit penuh badai.
Baiken cepat
menangkap pergelangan Otsu, mengangkatnya, dan menyeret-nya dari ujung karang.
Tepat pada
saat itu seorang begundalnya memanggil dari jalan. "Apa kerja Bapak di
sana? Sebaiknya kita cepat-cepat. Orang tua di warung itu tadi bilang, seorang
samurai membangunkannva sebelum fajar, memesan makan siang, dan lari ke Lembah
Kaga."
"Lembah
Kaga?"
"Katanya.
Tapi dia pergi ke sana atau menyeberang Gunung Tsuchi ke Minakuchi, bukan soal.
Semua jalan itu sampai Ishibe. Kalau kita cepat-cepat ke Yasugawa, kita akan
bisa menangkapnya di sana."
Punggung
Baiken membelakangi orang itu, sedangkan matanya terpancang pada Otsu yang
meringkuk di depannya, seakan terjebak oleh pandangan ganas Baiken.
"Hei!" raung Baiken. "Kalian bertiga turun sini!"
"Ada
apa?"
"Turun
sini cepat!"
"Kalau
kita buang waktu, Musashi akan mendahului kita ke Yasugawa."
"Biar."
Ketiga orang
itu sebagian orang-orang yang ikut melakukan pencarian sia-sia malam sebelumya.
Karena terbiasa berjalan melintasi pegunungan, mereka dapat menyerbu menuruni
lereng dengan kecepatan gerombolan babi hutan. Sampai di tempat berdirinya
Baiken, mereka melihat Otsu. Pemimpin mereka cepat menjelaskan keadaan itu.
"Ikat
dia dan bawa," kata Baiken sebelum berangkat melintasi hutan.
Mereka
mengikat Otsu, tapi merasa kasihan kepadanya. Otsu terbaring tanpa daya di
tanah, wajahnya menghadap ke samping. Dengan mencuri-curi mereka melontarkan
pandangan malu ke raut muka Otsu yang pucat.
Baiken sudah
di Lembah Kaga. Ia berhenti, menoleh ke karang, dan berteriak, "Kita
ketemu di Yasugawa. Aku ambil jalan pintas, tapi kalian terus ambil jalan raya.
Dan buka mata kalian."
"Baik,
Pak!" sahut mereka serempak.
Baiken
berlari seperti kambing gunung di antara batu-batu karang, dan segera kemudian
sudah tidak kelihatan.
Jotaro terus
meluncur ke jalan raya. Meskipun sudah tua, kuda itu demikian menggila, hingga
tak dapat dihentikan seutas tali kekang, kalaupun Jotaro tahu caranva. Karena
luka baru yang membakar seperti obor, ia melaju membuta ke depan, mendaki bukit
turun lembah, melintasi desa-desa.
Suatu nasib
baik semata-mata bahwa Jotaro tidak terlontar. "Awas! awas!" jeritnya
berulang-ulang. Kata-kata itu sudah seperti doa yang terus diulangulangnya.
Karena tak
bisa lagi bergayut pada bulu tengkuk kuda, ia mengetatkan cekalannya pada leher
kuda. Matanya tertutup.
Apabila
pantat binatang itu naik ke udara, Jotaro ikut juga naik. Karena lama-kelamaan
sadar bahwa teriakan-teriakannya tidak bermanfaat, berangsur-angsur
permohonannya berganti dengan lolongan sedih. Ketika ia minta Otsu
membolehkannya naik kuda tadi, pikirnya alangkah hebat mencongklang sekehendak
hati dengan kuda indah, tapi sesudah beberapa menit saja naik dengan cara yang
menegakkan bulu roma seperti itu, kapoklah ia.
Jotaro
berharap ada orang-siapa saja-yang mau bersukarela menangkap tali kekang yang
lepas itu dan menghentikan si kuda. Tapi harapan itu rasanya berlebihan, karena
orang jalan dan orang desa tak ada yang mau terluka oleh perkara yang tidak
menyangkut kepentingan mereka. Bukannya membantu, semua orang malah mencoba
mencari tempat aman di pinggir jalan dan memaki penunggang kuda yang tidak
bertanggung jawab itu.
Sebentar saja
ia telah melewati Desa Mikumo dan sampai di kota penginapan Natsumi. Sekiranya
ia penunggang ahli yang dapat dengan sempurna mengendalikan kudanya, dapat
kiranya ia memayungi mata dengan tangan, dan dengan tenang meninjau pegunungan
dan lembah Iga yang indah itu-meninjau ke puncak Nunobiki, Sungai Yakota, dan
di kejauhan perairan Danau Biwa yang seperti cermin.
"Berhenti!
Berhenti! Berhenti!" nada teriakannya telah berubah. Lebih kuatir. Dan
ketika mulai menuruni Bukit Koji, teriakannya mendadak berubah lagi.
"Tolong! Tolong!" jeritnya.
Kuda mulai
menuruni lereng terjal, dan Jotaro terpental-pental seperti bola di atas
punggungnya.
Sekitar
sepertiga jalan ke bawah, sebatang pohon ek besar menonjol dari sebuah karang
terjal di sebelah kiri, dan salah satu cabangnya mencongak menyeberang jalan.
Ketika Jotaro merasa daun-daunan menempel di wajahnya, ia menyatukan kedua
tangannya, dengan keyakinan bahwa dewa-dewa telah mendengar doanya dan
menggerakkan anggota badannya ke depan. Barangkali ia benar. Ia melompat
seperti kodok, dan sesaat kemudian sudah tergantung di udara, kedua tangannya
merangkum erat-erat dahan di atas kepalanya. Kuda lolos dari bawahnya dan lari
sedikit lebih cepat, karena tanpa pengendara lagi.
Untuk
menjatuhkan diri ke tanah, jaraknya tidak lebih tiga meter. Tapi Jotaro tak mau
memaksa diri melepaskan cengkeramannya. Dalam keadaan sangat terguncang itu,
jarak yang begitu dekat terasa seperti jurang menganga. Ia bergantung terus
pada dahan penyelamat hidupnya, ia silangkan kedua kakinya di atas dahan itu,
ia perbaiki letak tangannya yang sakit, dan bertanya-tanya dengan gundahnya
dalam hati, apa yang harus dilakukannya. Persoalan segera terpecahkan. Cabang
itu patah dengan suara berderak. Sesaat Jotaro menyangka telah mati, duduk di
tanah tanpa cedera.
"Haa ...
h," hanya itu yang dapat dikatakannya.
Beberapa
menit lamanya ia duduk malas, semangatnya merosot, kalau tak hendak dikatakan
patah. Kemudian ia ingat, kenapa ada di sana, dan langsung lompat berdiri.
Tanpa
mengindahkan tanah yang diinjaknya ia berseru, "Otsu!"
Ia berlari
balik mendaki lereng, sebelah tangannya erat memegang pedang kayu.
"Apa
yang mungkin terjadi dengan dia? ...Otsu, Otsu! O-tsu-u-u!"
Tak lama
kemudian ia bertemu dengan seorang lelaki berkimono merah kelabu yang menuruni
bukit. Orang asing itu mengenakan hakama kulit dan membawa dua bilah pedang,
tapi tak berjubah. Sesudah melewati Jotaro ia menoleh dan katanya,
"Halo!" Jotaro menengok, dan orang itu bertanya, "Apa yang
terjadi?"
"Bapak
datang dari atas bukit sana, kan?" tanya Jotaro.
"Ya."
"Apa
Bapak lihat perempuan manis umur sekitar dua puluh tahun?"
"Ya,
kulihat."
"Di
mana?"
"Di
Natsumi kulihat beberapa bromocorah berjalan dengan seorang gadis. Tangan gadis
itu terikat di belakang. Tentu saja aneh, tapi aku tak punya alasan untuk
campur tangan. Aku yakin orang-orang itu gerombolan Tsujikaze Kohei. Mereka
pindahan satu desa penuh gelandangan dari Yasugawa ke Lembah Suzuka beberapa
tahun lalu."
"Itu
dia, aku yakin," Jotaro mulai berjalan terus, tapi orang itu menghentikannya.
"Apa
kalian tadi jalan bersama?" tanyanya.
"Ya.
Namanya Otsu."
"Kalau
kau nekat, kau bisa terbunuh sebelum dapat menolong orang lain. Kenapa kau
tidak tunggu saja di sini? Cepat atau lambat mereka akan lewat sini. Nah,
sekarang ceritakan padaku, apa saja semua ini. Barangkali aku dapat memberimu
nasihat."
Jotaro segera
menaruh kepercayaan pada orang itu dan menceritakan segala yang terjadi sejak
pagi. Berkali-kali orang bertopi itu menganggukangguk. Ketika Jotaro selesai
bercerita, ia berkata, "Aku mengerti kesulitannya, tapi biarpun dengan
keberanian, seorang perempuan dan... anak lelaki bukan tandingan orang-orang
Kohei. Kupikir lebih baik kuselamatkan Otsu, betul itu namanya?"
"Apa mau
mereka menyerahkannya pada Bapak?"
"Barangkali
tidak, kalau cuma diminta, tapi akan kupikirkan hal itu nanti. Sementara ini
sembunyilah kamu di semak-semak, dan diam di sana."
Sementara
Jotaro memilih rumpun semak dan bersembunyi di baliknya. orang itu melanjutkan
jalan cepat menuruni bukit. Sesaat Jotaro bertanya-tanya dalam hati, apakah ia
tidak tertipu. Karena merasa kuatir, ia mengangkat kepala ke atas belukar, tapi
karena mendengar suara orang, ia menundukkan badan lagi.
Satu-dua
menit kemudian Otsu tampak, dikitari tiga orang dengan tangan terikat erat di
belakang. Darah mengering di goresan pada kakinya yang putih.
Salah seorang
bajingan itu menggeram sambil mendorong bahu Otsu ke depan, "Apa pula
menoleh-noleh! Jalan cepat!"
"Betul
itu, jalan!"
"Saya
mencari teman saya. Apa yang terjadi dengannya?... Jotaro!"
"Diam!"
Jotaro sudah
hampir memekik dan melompat keluar dari persembunyiannya, tapi ronin itu sudah
kembali lagi, kali ini tampak mengenakan topi. Umurnya dua puluh enam atau dua
puluh tujuh, dan warna mukanya gelap. Pandangan matanya tampak lurus dan tidak
mengembara ke kanan atau ke kiri. Sambil berjalan cepat mendaki lereng, ia
berkata seolah kepada diri sendiri, "Mengerikan, betul-betul
mengerikan!"
Ketika
melewati Otsu dan orang-orang yang menangkapnya, ia menegur mereka dengan
gumaman dan berjalan terus cepat-cepat, tetapi orang-orang itu menghentikannya.
"Hei!" seru seorang di antaranya. "Apa kamu bukan kemenakan
Watanabe? Apanya yang mengerikan?"
Watanabe
adalah nama keluarga tua di daerah itu. Kepala keluarganya sekarang Watanabe
Hanzo, seorang pelaksana taktik gaib yang dikenal dengan nama Ninjutzu.
"Belum
dengar?"
"Dengar
apa?"
"Di kaki
bukit ini ada samurai, namanya Miyamoto Musashi, yang siap melakukan
pertarungan besar. Dia berdiri di tengah jalan dengan pedang terhunus, dan
menanyai tiap orang yang lewat. Matanya paling dahsyat yang pernah saya
lihat."
"Musashi?"
"Betul.
Dia langsung mendatangi saya dan menanyakan nama saya, jadi saya katakan
padanya nama saya Tsuge Sannojo, kemenakan Watanabe Hanzo, dan saya datang dari
Iga. Dia minta maaf dan membiarkan saya pergi. Dia sangat sopan sesungguhnya.
Katanya, selama saya tak ada hubungan dengan Tsujikaze Kohei, beres saja."
"Begitu?"
"Saya
bertanya padanya, apa yang terjadi. Dia bilang Kohei ada di jalan itu dengan
begundal-begundalnya, mau menangkap dan membunuhnya. Dia bertekad berkubu di
tempat itu dan menanti serangan di situ. Rupanya dia siap tempur sampai
penghabisan."
"Benar
yang kau katakan itu, Sannojo?"
"Tentu
saja. Buat apa saya bohong?"
Wajah ketiga
orang itu pucat. Mereka saling pandang dengan gelisah, ragu-ragu apa yang
hendak mereka lakukan.
"Lebih
baik Anda sekalian hati-hati," kata Sannojo, pura-pura meneruskan jalan
mendaki bukit.
"Sannojo!"
"Ya?"
"Aku tak
tahu apa yang mesti kami lakukan. Pak Ketua bilang, Musashi ini luar biasa
kuatnya."
"Memang
kelihatannya dia yakin betul dengan dirinya. Waktu dia mendekati saya dengan
pedang, saya betul-betul merasa takkan bisa melawannya."
"Apa
yang mesti kami lakukan menurutmu? Kami lagi membawa perempuan ini ke Yasugawa
atas perintah Pak Ketua."
"Tak ada
hubungannya dengan saya."
"Jangan
seperti itu. Tolonglah kami."
"Mustahil!
Kalau saya tolong Anda sekalian dan paman saya tahu, dia takkan mengakui saya
lagi. Tapi tentu saja saya dapat memberikan nasihat pada kalian."
"Nah,
bicaralah! Apa yang mesti kami lakukan?"
"Hm...
Pertama, kalian dapat mengikat perempuan itu pada sebuah pohon dan
meninggalkannya. Dengan begitu, kalian dapat bergerak lebih cepat."
"Ada
lagi?"
"Kalian
jangan ambil jalan ini. Ada jalan yang agak lebih jauh, Anda sekalian dapat
menempuh jalan lembah ke Yasugawa dan memberitahu orang-orang di sana tentang
semua ini. Kemudian kalian dapat mengepung Musashi dan berangsur-angsur menjepitnya."
"Tidak
jelek gagasan itu."
"Tapi
Anda sekalian mesti hati-hati sekali. Musashi akan berkelahi demi hidupnya, dan
dia akan membawa beberapa nyawa kalau dia pergi. Lebih baik Anda sekalian
menghindar."
Mereka segera
sependapat dengan saran Sannojo, lalu mereka seret Otsu ke sebuah belukar dan
mereka ikatkan talinya pada sebatang pohon. Kemudian mereka pergi, tapi
beberapa menit kemudian mereka kembali untuk menyumbat mulutnya.
"Cukup
kukira," kata seorang.
"Mari
jalan."
Mereka masuk
hutan.
Sambil
jongkok di belakang tabir dedaunan, Jotaro menanti dengan sabar, sebelum
akhirnya mengangkat kepala, meninjau sekitarnya. Tak seorang pun tampak
olehnya-tak ada orang jalan, tak ada bromocorah, tak ada Sannojo.
"Otsu!"
panggilnya sambil berjingkrak keluar dari semak. Ia cepat mendapatkan Otsu,
melepaskan ikatannya, dan menggandengnya. Mereka berlari ke jalan. "Ayo
pergi dari sini!" desaknya.
"Apa
kerjamu sembunyi dalam semak itu?" "Tidak apa-apa! Ayo kita
pergi!"
"Tunggu
sebentar," kata Otsu sambil berhenti untuk merapikan rambutnya, meluruskan
kerahnya, dan membetulkan letak obi-nya.
Jotaro
mendecapkan lidahnya. "Ini bukan waktu buat berdandan. Apa tak bisa Kakak
mengaturnya kemudian?"
"Tapi
ronin itu bilang Musashi ada di kaki bukit."
"Oh, jadi
itu sebabnya Kakak mempercantik diri?"
"Tentu
saja tidak," kata Otsu, mempertahankan diri dengan sikap serius yang
hampir-hampir lucu. "Tapi kalau Musashi sudah begitu dekat, tak ada yang
mesti kita kuatirkan. Dan karena kesulitan kita boleh dibilang sudah lewat, aku
merasa tenang dan cukup aman memikirkan penampilan."
"Apa
Kakak percaya, ronin itu betul-betul melihat Musashi?"
"Tentu
saja. Tapi omong-omong, di mana dia tadi?"
"Dia
baru saja menghilang. Agak aneh juga dia itu, ya?"
"Kita
pergi sekarang?" kata Otsu.
"Kakak
yakin sekarang sudah cukup manis?"
"Jotaro!"
"Ah,
cuma main-main. Kakak kelihatan senang."
"Kamu
juga."
"Memang,
tapi aku tak mencoba menyembunyikannya seperti Kakak. Aku akan berteriak,
supaya tiap orang mendengar, 'Aku senang!"' Ia menari-nari sedikit,
melambai-lambaikan tangan, dan menendang-nendangkan kaki, kemudian katanya,
"Sungguh mengecewakan kalau Musashi tak ada di sana, ya? Aku akan lari
duluan buat melihat."
Otsu tenang
saja. Hatinya sudah terbang ke dasar lereng sana, lebih cepat daripada lari
Jotaro.
"Tampangku
tak keruan," pikirnya sambil mengamati kakinya yang luka dan berlumpur
serta dedaunan yang menempel pada lngan kimononya.
"Ayolah!"
seru Jotaro. "Apa yang dikutik-kutik itu?" Dari irama bicaranya, Otsu
merasa pasti bahwa Jotaro sudah melihat Musashi.
"Akhirnya,"
demikian pikirnya. Sampai waktu itu ia harus mencari kesenangan di dalam
dirinya sendiri, dan ia sudah bosan. Ia merasakan semacam kebanggaan, baik
kepada dirinya maupun kepada dewa-dewa, karena tetap setia pada tujuan.
Sekarang, ketika ia akan bertemu dengan
Musashi kembali, semangatnya menari-nari gembira. Ia tahu kegembiraan ini
disebabkan oleh harapan yang dipendam-nya, namun ia tak dapat meramalkan apakah
Musashi akan menerima kesetiaan-nya. Kegembiraan akan berjumpa dengan Musashi
itu hanya sedikit ternodai firasat pedih, bahwa penemuan mungkin membawa
kesedihan.
Di lereng
bukit Koji yang teduh itu bumi beku, tapi di warung teh dekat kaki bukit, cuaca
hangat hingga lalat-lalat berterbangan. Ini kota penginapan, karena itu tentu
saja warung menjual teh kepada para musafir. Dijual juga berbagai barang
kebutuhan para petani daerah itu, mulai dari gula-gula murah sampai terompah
sapi jerami. Jotaro berdiri di depan warung itu sebagai anak kecil di tengah
lautan manusia vans ribut.
"Di mana
Musashi?" Otsu mencari-cari ke sekitar.
"Tak
ada," jawab Jotaro lesu.
"Tak
ada? Dia mesti ada!"
"Tapi
aku tidak menemukannya dan tukang warung bilang tidak melihat samurai macam itu
di sini. Mestinya keliru." Jotaro memang tapi tidak patah hati.
Otsu bisa
saja mengakui bahwa sebetulnya tak ada alasan baginya berharap seperti sekarang
itu, tapi jawaban Jotaro yang tak acuh menjengkelkannya. Karena guncang hatinya
dan sedikit marah melihat kurangnya perhatian Jotaro, ia berkata, "Apa
sudah kau cari di sana?"
"Sudah."
"Bagaimana
kalau di belakang tonggak kilometer Koshin"
"Aku
sudah lihat. Tak ada di situ."
"Di
belakang warung teh?"
"Sudah
kubilang, tak ada di situ!" Otsu membuang muka dari Jotaro. "Kakak
menangis?" tanya Jotaro.
"Bukan
urusanmu," kata Otsu tajam.
"Sungguh
tak mengerti aku. Kakak ini biasanya cukup bijaksana, tapi kadang-kadang seperi
bayi. Bagaimana mungkin kita tahu apakah Sannojo itu benar atau tidak? Kakak
memutuskan sendiri cerita itu benar, tapi ketika ternyata tidak, Kakak
menangis. Perempuan memang gila," ujar Jotaro, lalu pecah ketawanya.
Otsu merasa
ingin langsung duduk dan menyerah. Dalam sejenak saja cahaya hidupnya hilang.
Ia merasa kehilangan harapan seperti sebehumnya, bahkan lebih lagi. Gigi sulung
rusak dalam mulut Jotaro yang sedang tertawa itu memuakkannya. Dengan marah ia
bertanya pada dirinya, kenapa ia menyeret-nyeret anak semacam ini ke mana-mana.
Ia iadi ingin sekali meninggalkannya di tempat itu juga.
Benar, anak
itu mencari Musashi juga, tapi ia mencarinya hanya sebagai guru. Bagi Otsu,
Musashi adalah hidup itu sendiri. Jotaro dapat melepaskan segalanya dengan tawa
dan kembali girang seperti biasa daiam sekejap, tapi Otsu bisa berhari-hari
lamanya kehilangan daya untuk terus hidup. Dalam pikiran Jotaro yang masih muda
itu terdapat keyakinan gembira bahwa pada suatu hari nanti, cepat atau lambat,
ia akan bertemu kembali dengan Musashi. Otsu tak punya keyakinan akan akhir
yang bahagia seperti itu. Sesudah terlampau optimis akan dapat bertemu dengan
Musashi hari ini, kini ia berayun ke arah yang berlawanan dan bertanya pada
diri sendiri, apakah hidupnya akan berlangsung selamanya seperti ini, dan ia
tak akan lagi melihat atau berbicara dengan orang yang dicintainya.
Orang-orang
yang dilanda cinta biasa mencari filsafat, dan karena itulah mereka suka akan
kesendirian. Dalam hal Otsu yang yatim, ia merasa sangat terpencil dari orang
lain. Untuk membalas sikap tak acuh Jotaro itu, ia mengerutkan kening dan
diam-diam pergi meninggalkan warung teh.
"Otsu!"
Suara itu suara Sannojo. Ia muncul dari belakang tonggak kilometer Koshin dan
menghampiri Otsu lewat belukar yang layu. Sarung pedangnya lembap.
"Bapak
bohong," tuduh Jotaro.
"Apa
maksudmu?"
"Bapak
bilang Musashi menunggu di kaki bukit. Bapak bohong!"
"Jangan
bodoh begitu!" kata Sannojo mencela. "Justru karena kebohongan itu
Otsu dapat lolos, kan? Apa yang kamu keluhkan? Apa kamu tak mesti mengucapkan
terima kasih padaku?"
"Jadi,
Bapak mengarang cerita itu buat mengecoh orang-orang tadi?"
"Tentu
saja."
Sambil
menoleh pada Otsu dengan sikap penuh kemenangan, Jotaro berkata, "Lihat
tidak? Kubilang begitu tadi, kan?"
Otsu merasa
berhak penuh marah kepada Jotaro, tapi tak ada alasan baginya menggerutu kepada
Sannojo. Beberapa kali ia membungkuk pada Sannojo dan banyak-banvak mengucapkan
terima kasih karena Sannojo telah menyelamatkan-nya.
"Gerombolan
gelandangan dari Suzuka itu jauh lebih jinak daripada dulu," kata Sannojo,
"tapi kalau mereka pergi mencegat seseorang, kurang kemungkinannya orang
itu dapat lewat jalan ini dengan selamat. Tapi dari pendengaranku tentang
Musashi yang kalian risaukan itu, rasanya dia cukup cekatan, hingga tak mungkin
masuk salah satu perangkap mereka."
"Apakah
selain jalan ini ada jalan-jalan lain ke Omi?"
"Ada,"
jawab Sannojo sambil menengadahkan mata ke puncak-puncak gunung-gunung yang
berkilauan oleh matahari tengah hari.
"Kalau
kalian pergi ke Lembah Iga, di sana ada jalan menuju Ueno, dan dari Lembah Ano
ada satu jalan yang menuju Yokkaichi dan Kuwana. Kalau tak salah, ada tiga atau
empat jalan gunung dan terobosan lain. Perkiraanku, Musashi sudah meninggalkan
jalan raya pagi-pagi."
"Jadi,
menurut Bapak, dia masih selamat?"
"Itu
yang paling mungkin. Paling tidak, lebih aman daripada kalian berdua. Kalian
sudah selamat satu kali hari ini, tapi kalau kalian tetap ada di jalan ini,
orang-orang Tsujikaze akan menangkap kalian lagi di Yasugawa. Kalau kalian
sanggup sedikit mendaki, ayo jalan denganku. Akan kutunjukkan jalan yang
praktis tak diketahui siapa pun."
Cepat saja
mereka menerima saran itu.
Sannojo
mengantar mereka naik Desa Kaga, menuju Celah Makado. Dari Celah Makado
terdapat jalan setapak turun ke Seto, di Otsu.
Sesudah
menjelaskan seterang-terangnya cara melanjutkan perjalanan, Sannojo berkata,
"Kalian sudah lepas dari jalan yang berbahaya sekarang. Buka mata dan
telinga kalian, dan yakinlah kalian akan menemukan tempat aman sebelum
gelap."
Otsu
mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Sannojo, dan berangkat, tetapi
Sannojo memandangnya dan berkata, "Kita berpisah di sini sekarang."
Kata-kata itu terasa penuh arti, dan tampak matanya memancarkan keprihatinan.
"Sepanjang jalan tadi terpikir olehku. 'Apa dia akan bertanya
sekarang?"' demikian ia melanjutkan, "tapi tak juga kamu bertanya."
"Menanyakan
apa?"
"Namaku."
"Tapi
saya sudah mendengar nama Bapak, waktu kita di Bukit Koji."
"Kamu
ingat nama itu?"
"Tentu
ingat Tsuge Sannojo, kemenakan Watanabe Hanzo."
"Terima
kasih. Bukannya aku minta supaya kamu selamanya berterima kasih padaku atau
yang serupa itu, tapi kuharap betul kamu ingat aku."
"Tentu,
saya berutang sekali pada Tuan."
"Bukan
itu maksudku. Yang kumaksud, nah, aku ini belum kawin. Kalau pamanku tak
sekeras itu, mau aku membawamu langsung pulang sekarang.... Tapi kulihat kamu
tergesa-gesa. Setidaknya akan kamu temui nanti penginapan kecil beberapa mil
dari sini, dan di situ kalian dapat menginap. Aku kenal baik dengan pemilik
penginapan itu, karena icu sebut saja namaku kepadanya. Selamat jalan!"
Sesudah orang
itu pergi, terasa aneh oleh Otsu. Dari semula ia tak dapat menggambarkan orang
macam apakah Sannojo itu, dan ketika mereka berpisah, terasa olehnya seakan ia
lolos dari cengkeraman seekor binatang berbahaya. Selama ini dirasanya ia mesti
terus mengucapkan terima kasih kepada orang itu, padahal di dalam hatinya ia
tak merasa berterima kasih.
Jotaro ada
kecenderungan menyukai orang-orang baru, namun reaksinya terhadap orang itu
hampir sama dengan Otsu. Ketika mereka berdua sudah mulai menuruni celah itu,
ia berkata, "Aku tak suka orang itu."
Otsu tak
ingin bicara buruk di belakang Sannojo, tapi ia membenarkan bahwa ia pun tak
suka orang itu, dan tambahnya, "Menurutmu, apa maksudnya bilang dia masih
sendiri itu?"
"Ah, itu
isyarat dia mau melamarmu nanti."
"Wah,
tidak lucu!"
Mereka
melanjutkan perjalanan ke Kyoto tanpa kejadian apa pun, walaupun merasa kecewa
karena tidak menjumpai Musashi di tempat-tempat yang mereka harapkan di tepi
danau di Omi, di jembatan Kara di Seta, ataupun di perbatasan di Osaka.
Dari Keage
mereka bergabung dengan lautan manusia yang merayakan akhir tahun dekat pintu
masuk Jalan Sanjo yang menuju kota. Di ibu kota itu, seperti sudah menjadi tradisi
pada Tahun Baru, dinding depan rumah dihiasi ranting-ranting pohon pinus.
Melihat perhiasan itu, Otsu menjadi riang. Ia tidak meratapi lepasnya
kesempatan di masa lalu, dan memnutuskan untuk menaruh harapan pada masa depan
dan kemungkinan-kemungkinannya untuk menjumpai Musashi. Jembatan Besar Jalan
Gojo. Hari pertama Tahun Baru. Kalau Musashi tak muncul lagi hari itu, maka
pagi keduanya. atau pagi ketiganya... Musashi sudah mengatakan pasti akan ada
di sana. demikian yang diketahuinya dari Jotaro. Walaupun Musashi datang tidak
untuk menjumpainya, tapi cukuplah kalau ia dapat datang melihat pemuda itu dan
bicara lagi dengannya.
Kemungkinan
berjumpa dengan Matahachi merupakan awan tergelap yang membayangi impiannya.
Menurut Jotaro, pesan Musashi hanya disampaikannya kepada Akemi, jadi Matahachi
kemungkinan tidak menerima pesan itu. Otsu berdoa semoga Matahachi tidak
menerimanya, agar Musashilah yang datang, dan bukan Matahachi.
Otsu
melambatkan jalannya, karena terpikir olehnya mungkin Musashi ada di tengah
orang banyak itu juga. Bulu romanya pun berdiri, dan ia berjalan lebih cepat.
Ibu Matahachi yang mengerikan itu bisa saja muncul setiap saat.
Jotaro
sendiri tak punva masalah di dunia ini. Warna-warna dan suara kota yang dilihat
dan didengarnya sesudah sekian lama, menyegarkan kembali dirinva. "Apa
kita mau langsung ke penginapan?" tanyanya prihatin.
"Tidak,
belum."
"Bagus!
Membosankan tinggal di dalam rumah kalau di luar masih terang. Mari kita jalan
dulu lagi. Kelihatannya ada pasar di sana."
"Tak ada
waktu buat ke pasar. Ada urusan penting yang mesti kira selesaikan."
"Urusan?
Kita punya urusan?"
"Apa
kamu lupa dengan kotak di punggungmu itu?"
"Oh,
ini?"
"Ya,
itu. Takkan tenang perasaanku sebelum aku menemukan tempat semayam Yang
Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro dan menyampaikan gulungan itu kepada
beliau."
"Apa
kita akan tinggal di rumahnya malam ini?"
"Tentu
saja tidak." Otsu tertawa sambil memandang Sungai Kamo. "Apa
menurutmu bangsawan besar macam beliau mau menerima anak kotor macam kamu
menginap di bawah atapnya?"
Kupu-Kupu di
Musim Dingin
AKEMI
menyelinap dari penginapan di Sumiyoshi tanpa memberitahu siapa pun ia merasa
seperti burung lepas sangkar, tapi masih belum cukup wmbuh dari persentuhannya
dengan maut, hingga belum terbang terlampau tinggi. Bekas-bekas luka yang
ditinggalkan oleh kekerasan Seijuro tak akan sembuh dengan cepat. Seijuro telah
memporak-porandakan impian yang diudam-idamkannya, yaitu menyerahkan diri tanpa
noda kepada lelaki yang benar-benar dicintainya.
Di perahu
yang membawanya memudiki Sungai Yodo ke Kyoto ia merasa bahwa seluruh air
sungai itu tidaklah sebanyak air mata yang ingin dicurahkannya. Ketika
perahu-perahu lain yang bermuatan hiasan dan perbekalan peringatan Tahun Baru
didayung lewat dengan cepat, ia menatapnya dan pikirnya, "Sekarang,
walaupun betul-betul bertemu dengan Musashi..." Matanya yang resah
berlinang, dan tumpahlah air matanya. Tak seorang pun tahu, betapa besar
harapannya terhadap pagi Tahun Baru itu, ketika ia akan bertemu dengan Musashi
di Jembatan Besar Jalan Gojo.
Kerinduannya
kepada Musashi tumbuh semakin dalam dan semakin kuat. Benang cinta telah
memanjang, dan menggulung menjadi bola di dalam dadanya. Bertahun-tahun la
terus memintal benang kenangan, jauh dari remah-remah berita yang didengarnya,
dan menggulungnya pada bola itu serta menjadikan benang itu lebih panjang dan
lebih besar. Sampai beberapa hari lalu ia tetap mengagungkan kegadisannya dan
terus membawabawanya seperti bunga liar segar dari lereng Gunung Ibuki. Tapi
kini kembang di dalam dirinya telah hancur. Walaupun kurang kemungkinannya tiap
orang mengetahui kejadian itu, terbayang olehnya setiap orang memandang
kepadanya dengan mata maklum.
Di Kyoto,
dalam cahaya petang yang memudar itu, Akemi berjalan di antara pohon-pohon liu
tak berdaun dan pagoda-pagoda mini Teramachi dekat Jalan Gojo dengan wajah
dingin dan murung, seperti kupu-kupu di musim dingin.
"Hei,
gadis cantik!" tegur seorang lelaki. "Tali obi-mu lepas. Bagaimana
kalau kuikatkan?" Orang itu kurus, pakaiannya jembel, dan bicaranya kurang
ajar, tapi ia menyandang dua pedang samurai.
Akemi belum
pernah melihatnya, tapi para langganan tempat-tempat minum sekitar itu tentu dapat
mengatakan kepadanya nama orang itu, Akakabe Yasoma. Pada malam-malam musim
dingin ia biasa bergelandangan di jalan-jalan gelap. Sandal jeraminya yang
sudah usang mendetap-detap ketika ia berlari ke belakang Akemi dan menangkap
ujung tali obi Akemi yang terlepas.
"Apa
kerjamu sendirian di tempat ini? Kamu bukan bangsanya perempuanperempuan gila
yang suka main sandiwara Kyoken itu, kan? Wajahmu manis. Kenapa tidak kamu tata
rambutmu sedikit, dan jalan macam gadis-gadis lain?"
Akemi
berjalan terus, pura-pura tak bertelinga, tapi Yasoma mengiranya malu.
"Kamu kelihatannya gadis kota. Apa kerjamu? Lari dari rumah? Atau suamimu
mau kamu tinggalkan?"
Akemi tak
menjawab.
"Gadis
manis macam kau mesti hati-hati berkeliaran tak menentu, seperti lagi dalam
kesulitan atau semacam itu. Kamu belum tahu apa yang bisa terjadi. Di sini tak
ada pencuri atau bajingan, macam yang berkeliaran seperti Rashomon. Tapi di
sini banyak bromocorah yang segera mengocor air liurnya kalau lihat perempuan. Juga
gelandangan, dan orang-orang yang suka jual-beli perempuan."
Walau Akemi
tak mengucapkan sepatah kata pun, Yasoma terus ngotot, dan bila diperlukan ia
pun menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
"Betul-betul
bahaya. Kata orang, perempuan Kyoto dijual dengan harga tinggi di Edo sekarang.
Dulu orang biasa membawa perempuan dari sini ke Hiraizumi di timur laut sana,
tapi sekarang ke Edo. Sebabnya shogun kedua, Hidetada, sedang membangun kota
itu secepat mungkin. Rumah-rumah pelesiran di Kyoto semua buka cabang di sana
sekarang."
Akemi diam
saja.
"Kamu
tampak mencolok di mana saja, karena itu mesti hati-hati. Kalau tidak awas,
kamu bisa terlibat dengan bajingan. Betul-betul bahaya!"
Maka habislah
kesabaran Akemi. Sambil menyampirkan lengan kimononya ke bahu dengan marah, ia
menoleh dan mendesis keras kepada Yasoma. Yasoma hanya tertawa. "Percaya
tidak, kupikir kamu ini betul-betul gila!"
"Diam,
dan pergi dari sini!"
"Kamu
memang gila, ya?"
"Kamu
yang gila!"
"Ha, ha,
ha! Itu namanya membuktikan! Kamu gila. Kasihan."
"Kalau
kamu tidak pergi, kulempar batu!"
"Ah,
kamu main-main saja, kan?"
"Pergi
kamu, binatang!" Kedok angkuh yang dikenakannya itu memang untuk menutupi
rasa takut yang dirasakannya. Dibentaknya Yasoma, lalu ia lari masuk ladang
miskantus, bekas tempat bersemayam Yang Dipertuan Komatsu dan kebunnya yang
penuh lentera batu. Akemi seolah berenang di tengah tanaman yang berayun-ayun
itu.
"Tunggu!"
teriak Yasoma, mengejarnya seperti anjing pemburu.
Di atas Bukit
Toribe bulan petang membubung seperti setan betina yang menyeringai liar.
Tak seorang
pun kelihatan di sekitar. Orang terdekat di tempat itu jaraknya sekitar tiga
ratus meter. Mereka adalah rombongan yang pelan-pelan menuruni bukit, tapi
mereka tidak bakal datang menyelamatkan Akemi, sekalipun mendengar pekikannya,
karena mereka sedang kembali dari penguburan. Mereka mengenakan pakaian putih,
topi berpita putih pula, dan memegang tasbih. Sebagian masih menangis.
Tiba-tiba
Akemi didorong tajam dari belakang, terantuk, dan jatuh.
"Oh,
maaf," kata Yasoma. Ia terjatuh menimpa Akemi, dan terus juga meminta
maaf. "Sakit, ya?" tanyanya sok baik, sambil mendekap Akemi.
Mendidih
karena marah, Akemi menampar wajahnya yang berjenggot, tapi tamparan itu tidak
membuat ia mundur, bahkan ia kelihatan senang. Ia melirik dan menyeringai
ketika Akemi memukul, kemudian ia dekap Akemi lebih erat dan ia gosokkan
pipinya ke pipi Akemi. Hampir Akemi tak dapat bernapas. Ia cakar Yasoma dengan
sekenanya, dan kebetulan salah satu kukunya mencakar bagian dalam hidung
Yasoma, hingga darah memancar. Namun Yasoma tidak mengendurkan pelukannya.
Lonceng Gedung
Amida di Bukit Toribe memperdengarkan lagu penguburan, suatu ratapan atas
kefanaan dan kesia-siaan hidup. Tapi lonceng itu tidak membawa kesan kepada dua
orang yang sedang bergumul itu. Miskantus layu berayun-ayun hebat terkena
gerakan mereka.
"Tenanglah,
jangan melawan lagi," mohon Yasoma. "Tak ada yang mesti ditakutkan.
Kamu bisa jadi calon istriku. Kamu suka, kan?"
Akemi
menjerit, "Aku cuma ingin mati!" Derita dalam suaranya mengejutkan
Yasoma.
"Kenapa?
Apa soalnya?" gagapnya.
Posisi Akemi
meringkuk. Tangan, lutut, dan dada yang terikat erat jadi satu itu mirip kuncup
bunga sasankua. Yasoma menghibur dan membujuk, dengan harapan dapat meredakan
Akemi dan menundukkannya. Rupanya bukan pertama kali ini ia menjumpai keadaan
semacam itu. Sebaliknya, kelihatannya ia menyukainya, karena wajahnya bersinar
senang, tapi tetap menyimpan ancaman. Ia tidak terburu-buru. Seperti kucing, ia
menikmati permainan dengan korbannya.
"Jangan
menangis," katanya. "Tak ada yang mesti ditangiskan, kan?"
Sambil memberi ciuman di telinga, ia melanjutkan, "Kamu mestinya sudah
pernah dengan lelaki. Gadis seumurmu tak mungkin masih suci."
Seijuro.
Akemi pun teringat, betapa ia pernah tercekik dan menderita, betapa sosok shoji
itu mengabur di depan matanya.
"Tunggu!"
kata Akemi.
"Tunggu?
Baik, aku akan tunggu," kata Yasoma, yang mengira panas tubuh Akemi yang
seperti demam itu panas nafsu. "Tapi jangan coba-coba kamu lari. Aku bisa
jadi kasar."
Sambil
menggerutu tajam Akemi menggeliatkan bahunya dan mengibaskan tangan Yasoma. Ia
menatap wajah Yasoma dan bangkit pelan-pelan. "Mau berbuat apa kamu
padaku?"
"Kamu
tahu keinginanku!"
"Kaupikir
kau dapat menggarap perempuan seperti orang tolol, kan? Kalian orang lelaki
semuanya begitu! Nah, aku memang perempuan, tapi aku punya keberanian."
Darah merembes keluar dari bibir Akemi yang tergores daun miskantus. Sambil
menggigit bibir itu, ia kembali mengucurkan air mata.
"Bicaramu
aneh," kata Yasoma. "Tak mungkin lain, kamu pasti gila."
"Terserah
aku mau bicara apa!" jerit Akemi. Ia tolakkan dada Yasoma dengan segala
kekuatannya, kemudian ia tinggalkan tempat itu, menempuh padang miskantus yang
menghampar sejauh mata memandang dalam sinar bulan.
"Pembunuh!
Tolong! Pembunuh!"
Yasoma
menyergapnya. Belum lagi Akemi mencapai sepuluh langkah, Yasoma sudah
menangkapnya dan menjatuhkannya kembali. Kaki Akemi yang putih tampak di bawah
kimononya, rambutnya membelit muka, dan ia tergeletak dengan pipi tertempel ke
tanah. Kimononya setengah terbuka, dan buah dadanya yang putih merasakan angin
dingin.
Baru saja
Yasoma akan menerkamnya, sesuatu yang keras mendarat di dekat telinganya. Darah
muncrat ke kepala dan ia menjerit kesakitan. Ketika ia menoleh untuk melihat,
benda keras itu datang lagi menghantam puncak kepalanya. Kali ini tak mungkin
lagi ia merasa sakit, karena ia segera jatuh pingsan, kepalanya bergoyang
kosong seperti kepala macan kertas. Ia tergeletak dengan mulut menganga.
Penyerangnya,
seorang pendeta pengemis, berdiri di atasnya, memegang shakuhachi yang tadi dipergunakannya
memukul.
"Binatang
jahat!" katanya. "Tapi ternyata lebih mudah mengalahkannya daripada
yang kusangka." Pendeta itu memandang Yasoma beberapa waktu lamanya,
ragu-ragu apakah lebih baik ia membunuhnya sekaligus, sebab kalaupun sadar
kembali, orang itu tak bakal dapat waras kembali.
Akemi menatap
kosong kepada penyelamatnya. Kecuali shakuhachi, tak ada hal lain yang dapat
menunjukkan bahwa ia pendeta. Melihat pakaiannya yang kotor dan pedang yang
tergantung di pinggangnya, barangkali ia samurai melarat atau bahkan pengemis.
"Aman
sekarang," katanya. "Kamu tak perlu kuatir lagi."
Setelah pulih
dari bingungnya, Akemi mengucapkan terima kasih kepadanya dan mulai meluruskan
rambut dan kimononya. Namun ia memandang kegelapan di sekitarnya dengan mata
masih ketakutan.
"Di mana
kau tinggal?" tanya pendeta itu.
"Ya?
Tinggal?... Maksud Bapak, di mana rumah saya?" kata Akemi sambil menutup
muka dengan tangan. Disertai sedu sedannya, Akemi mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang itu, tapi ia merasa tak dapat berlaku jujur
sepenuhnya. Sebagian dari yang disampaikannya pada orang itu memang
benar-ibunya lain dengan dirinya, ibunya mencoba menukarkan d:rinya dengan
uang, dan la lari ke sini dari Sumiyoshi-tapi selebihnya dikarangnya seketika
itu juga.
"Lebih
baik saya mati daripada pulang," lolongnya. "Banyak beban Ibu yang
mesti saya tanggung! Saya sudah dipermalukan dengan berbagai macam cara! Bahkan
ketika masih kecil, saya sudah mesti pergi ke medan pertempuran buat mengambil
barang-barang dan tubuh prajurit yang tewas."
Kebencian
terhadap ibunya membuat tulang-tulangnya gemetar.
Aoki
Tanzaemon membantunya menyingkir ke sebuah lembah kecil, di mana keadaan tenang
dan angin tidak begitu dingin. Sampai di sebuah kuil kecil yang sudah runtuh,
ia menyeringai, dan katanya, "Di sini aku tinggal. Semuanya serba
seadanya, tapi aku suka di sini."
Akemi sadar,
pertanyaan berikut ini sedikit kasar, tapi ia tak dapat tidak menyampaikannya,
"Bapak betul-betul tinggal di sini?"
Tanzaemon
membuka pintu berjeruji dengan mendorongnya dan mempersilakan Akemi masuk.
Akemi ragu-ragu.
"Di
dalam lebih hangat daripada yang kauduga," katanya. "Buat tutup
lantai, aku cuma punya tikar jerami tipis. Tap itu lebih baik daripada tak ada.
Kau takut padaku seperti pada binatang di sana tadi?"
Akemi
menggeleng diam. Tanzaemon tidak membuatnya takut. Ia yakin orang itu orang
baik, lagi pula sudah cukup umur. Ia terka umurnya sudah lebih dari lima puluh.
Yang membuatnya mundur adalah kotornya kuil kecil itu dan bau tubuh serta
pakaian Tanzaemon. Tapi ia tak dapat pergi ke tempat lain, belum lagi kalau
Yasoma atau orang lain semacamnya menemukannya, padahal kepalanya masih menyala
oleh demam.
"Apa
saya tidak mengganggu Bapak?" tanyanya ketika ia mendaki anak tangga.
"Sama
sekali tidak. Tak ada yang keberatan, biar engkau tinggal di sini beberapa
bulan."
Bangunan itu
hitam legam, tempat yang cocok buat kelelawar.
"Tunggu
sebentar," kata Tanzaemon.
Terdengar
oleh Akemi suara goresan logam pada batu api, dan sebuah lampu kecil
memancarkan sinar lemah. Entah dari mana dipungutnya lampu itu. Akemi menoleh
ke sekitar, dan tampak olehnya orang aneh itu ternyata telah mengumpulkan
berbagai alat kebutuhan rumah tangga yang pokok-satu-dua buah kuali, beberapa
pinggan, bantal kayu, dan tikar jerami. Ia bilang akan membuat sedikit bubur
soba untuk Akemi, dan mulai meromet dengan anglo tanahnya yang sudah pecah.
Mula-mula dimasukkannya sedikit arang, kemudian beberapa bilah kayu, dan
akhirnya naiklah bunga-bunga api. Api menyala.
"Orang
tua yang baik," pikir Akemi. Sesudah mulai merasa lebih tenang, Akemi
merasa tempat itu tidak lagi kotor.
"Nah,
nah," kata Tanzaemon. "Kaubilang cuma capek, padahal kelihatannya kau
demam. Barangkali masuk angin. Lebih baik kau berbaring di sana, menunggu
makanan siap." Ia menuding ke kasur darurat dari jerami dan kantong beras.
Akemi
menebarkan kertas yang ada padanya di atas bantal kayu, dan berbaringlah ia
sesudah menggumamkan permintaan maaf karena ia beristirahat, sementara
Tanzaemon bekerja. Sebagai selimut dipergunakannya sisasisa kelambu yang sudah
compang-camping. Kelambu itu ditutupkannya ke badannya, tapi justru ketika itu
seekor binatang dengan mata gemerlap meloncat dari bawahnya dan melompati
kepalanya. Akemi menjerit membenamkan muka ke kasur.
Tanzaemon
lebih kaget lagi. Kantong tepung yang sedang dituangkannya ke air terjatuh,
hingga setengahnya tercurah ke lututnya. "Apa itu?" teriaknya.
Akemi
menjawab sambil terus menyembunyikan wajah, "Entahlah, kelihatannya lebih
besar dari tikus."
"Barangkali
bajing. Kadang-kadang memang datang kalau bau makanan. Tapi mana?"
Sambil
mengangkat kepala sedikit, kata Akemi, "Itu dia!" "Di mana?"
Tanzaemon
menegakkan badan dan menoleh ke sekitar. Seekor monyet kecil bertengger di atas
susuran tempat semadi bagian dalam, yang sudah lama tak berpatung Budha lagi.
Monyet itu meringkuk ketakutan oleh pandangan tajam Tanzaemon.
Tanzaemon
tampak terheran-heran, tapi monyet itu tidak kelihatan takut. Sesudah beberapa
kali meloncat naik-turun susuran yang warna merahnya sudah pudar, ia duduk
kembali. Ia perlihatkan mukanya yang seperti buah persik berbulu panjang, dan
mulai mengedip-ngedipkan mata.
"Dari
mana dia datang, menurutmu?... Aha! Aku tahu sekarang. Kalau tak salah, tadi
beras berceceran." Ia bergerak mendekati monyet itu. Melihat ia mendekat,
monyet itu melompat ke belakang tempat semadi dan bersembunyi.
"Setan
kecil mungil," kata Tanzaemon. "Kalau kita beri dia makan sedikit,
barangkali dia tak akan bertingkah. Mari kita biarkan dia." Ia kibaskan
tepung dari lututnya, dan kembali ia duduk di depan anglo. "Tak ada yang
perlu ditakutkan, Akemi. Istirahatlah."
"Apa
menurut Bapak dia baik?"
"Ya.
Monyet ini bukan monyet liar. Tentunya milik seseorang. Tak perlu kita kuatir.
Apa sudah cukup hangat?"
"Ya."
"Kalau
begitu, tidurlah. Itulah obat terbaik buat melawan masuk angin."
Ia tuangkan
lagi tepung di dalam air, dan ia aduk bubur itu dengan sumpit. Api
menyala-nyala sekarang. Sementara adonan memanas, Tanzaemon mengiris-iris
brambang. Daun meja tua dipakainya sebagai talenan, dan pisaunya belati kecil
berkarat. Dengan tangan yang tidak dibasuh ia gusurkan brambang itu ke dalam
mangkuk kayu, kemudian ia bersihkan talenan dan ia ubah menjadi baki.
Gejolak dalam
kuali yang sedang mendidih berangsur-angsur memanaskan ruangan. Sambil duduk
merangkum lutut yang kurus, bekas samurai itu memandang air kaldunya dengan
mata lapar. Ia memandang dengan perasaan bahagia dan penuh hasrat, seakan-akan
kuali di hadapannya itu berisi kenikmatan tertinggi umat manusia.
Lonceng
Kiyomizudera berdentang seperti kebiasaannya tiap malam. Kerasnya udara musim
dingin yang berlangsung tiga puluh hari sudah berakhir, dan Tahun Baru sudah
dekat, tapi seperti biasa kalau tahun akan berakhir, beban jiwa orang banyak
tampak semakin besar. Sampai jauh malam para pemohon berkah masih terus
membunyikan gong timah di atas pintu masuk kuil. Mereka membungkuk berdoa, dan
lagu-lagu bernada tinggi yang menyerukan minta pertolongan sang Budha
mendengung membosankan.
Sambil
mengaduk bubur pelan-pelan agar tidak gosong, Tanzaemon melamun. "Aku
telah menerima hukuman dan bertobat atas dosa-dosaku, tapi apa yang terjadi
dengan Jotaro? Tak ada perbuatan anak itu yang salah. Oh, Kannon yang
terberkati, aku mohon, hukumlah orang tua ini karena dosa-dosanya, tapi
layangkanlah pandangan penuh kecintaan kepada anak..."
Suatu jeritan
tiba-tiba melengking melengkapi doanya. "Binatang kamu!" Mata Akemi
masih terpejam, wajahnya menempel erat ke bantal kayu, tapi ia menangis sedih.
Ia terus mengigau, sampai bunyi suaranya sendiri membangunkannya.
"Apa
saya mengigau?" tanyanya.
"Ya,
bikin aku terkejut," kata Tanzaemon. Ia datang ke sisi tempat tidur dan
menghapus dahi Akemi dengan gombal sejuk. "Keringatmu luar biasa. Tentunya
demam."
"Saya...
saya... bilang apa?"
"Oh,
banyak."
"Apa
saja?" Wajah Akemi yang demam jadi bertambah merah karena malu. Ia tarik
selimut untuk menutupinya.
Tanzaemon
tidak menjawab langsung, tapi katanya, "Akemi, ada lelaki yang ingin kau
kutuk, ya?"
"Apa
saya mengatakannya?"
°Hm. Apa yang
terjadi? Apa dia meninggalkanmu?"
"Tidak.
"
"Oh,
begitu," kata Tanzaemon mengambil kesimpulan sendiri.
Sambil
menggeser badannya ke atas hingga setengah duduk, Akemi berkata, "Oh, apa
yang mesti saya lakukan sekarang? Tolonglah, katakan." Ia sudah bersumpah
takkan mengungkapkan aib yang menjadi rahasianya itu pada siapa pun, tapi
kemarahan, kesedihan, dan rasa kehilangan yang terpendam dalam dirinya demikian
hebat untuk ditanggung sendirian. Ia meringkuk di lutut Tanzaemon dan
mengungkapkan seluruh riwayatnya, sambil tersedu-sedu dan meratap.
"Oh,"
lolongnya akhirnya. "Aku ingin mati, mati! Biarlah aku mati!"
Napas
Tanzaemon menjadi panas. Begitu lama ia tidak begini dekat dengan perempuan.
Bau perempuan itu membakar lubang-lubang hidungnya, juga matanya. Hasrat tubuh,
yang menurut persangkaannya sudah dapat diatasinya, kini mulai membengkak
akibat masuknya darah panas. Tubuhnya yang sampai waktu itu tidak lebih dari
sebatang pohon mandul kini mulai memperlihatkan hidup baru. Sebagai gantinya,
ia teringat bahwa di balik tulang rusuknya bersemayam paru-paru dan jantung.
"Mm,"
gumamnya. "Jadi, begitu macamnya Yoshioka Seijuro." Dan kebencian
hebat terhadap Seijuro menggelegak di dalam dirinya. Bukan hanya kemarahan.
Semacam rasa cemburu menggerakkannya untuk mengetatkan pelukan, seakan-akan
anak perempuannya sendiri yang diperkosa. Sementara Akemi menggeliat berurai
air mata di lututnya. ia merasa memperoleh keakraban, dan pandangan bingung
merayapi wajahnya.
"Sudah,
sudah, jangan menangis lagi. Hatimu masih suci. Engkau tidak membiarkan lelaki
itu menggaulimu dan tidak membalas cintanya. Yang penting pada seorang
perempuan bukan tubuhnya, tapi hatinya, dan kemurnian adalah soal batin.
Sebaliknya, kalau seorang perempuan tidak menyerahkan diri pada seorang lelaki,
namun memandang lelaki itu dengan bernafsu, dia menjadi tidak murni dan tidak
bersih, setidak-tidaknya selama perasaan itu berlangsung.
"Sudahlah,
sudah. Jangan menangis lagi," kata Tanzaemon lagi, menepuk punggung Akemi.
Tetapi geletar leher Akemi yang putih itu tidak memungkinkan ia menunjukkan
simpati yang tulus. Kulit yang lembut itu, yang demikian manis baunya, telah
dicuri lelaki lain.
Tapi tepat
waktu itu si monyet menyelinap ke kuali dan menyantap isinya, maka tanpa
basa-basi Tanzaemon memindahkan kepala Akemi dari lututnya. Ia ayunkan tinjunya
dan ia kutuk binatang itu sehabis-habisnya. Makanan jelas lebih penting
daripada penderitaan seorang perempuan.
Pagi
berikutnya Tanzaemon menyatakan akan pergi ke kota membawa mangkuk
pengemisnya."Engkau tinggal di sini selama aku pergi," katanya.
"Aku mesti cari uang buat membelikanmu obat, dan lagi kita butuh beras dan
minyak, agar dapat makan panas."
Topinya bukan
topi tinggi yang dianyam dari gelagah seperti biasa dipakai kebanyakan pendeta
pengembara, melainkan dari bambu biasa, dan sandal jeraminya yang sudah lusuh
dan belah di tumit mencakar-cakar tanah selagi ia berjalan. Tidak hanya
kumisnya, melainkan segala yang ada padanya menampilkan kemesuman. Namun,
biarpun tampangnya seperti pengejut burung, ia biasa pergi tiap hari, kecuali
kalau hujan.
Karena tak
nyenyak tidur, pagi itu matanya tampak muram sekali. Sesudah menangis
berkepanjangan malam itu, Akemi sempat menyantap bubur hingga bercucuran
keringat, dan ia tidur nyenyak. Sampai fajar, Tanzaemon hampir tak memejamkan
mata. Bahkan ketika berjalan di bawah matahari pagi yang cemerlang, penyebab
kurang tidurnya tetap bertahan. la tak dapat mengusirnya dari pikiran.
"Hampir
sama umurnya dengan Otsu," pikirnya. "Tapi wataknya sama sekali
berlainan. Pada Otsu ada keanggunan dan kehalusan budi, tapi terasa dingin.
Sedangkan Akemi merangsang, baik sedang tertawa, menangis, atau cemberut."
Umur muda di
dalam sel-sel tubuh Tanzaemon yang sudah mengering itu bangkit oleh sinar tajam
pesona Akemi. Perasaan itu membuatnya sadar akan umurnya. Semalam, sementara ia
memandang penuh hasrat kepada Akemi, yaitu selagi gadis itu bergerak dalam
tidurnya, peringatan lain memperdengarkan diri dalam hatinya. "Sungguh aku
orang tolol yang sial! Apa belum juga aku belajar? Biarpun aku memakai jubah
pendeta dan memainkan shakuhachi pengemis, masih jauh aku dari memperoleh
pencerahan P'u-hua yang jernih dan sempurna. Tak pernahkah aku akan menemukan kebijaksanaan
yang akan membebaskan diriku dari tubuh ini?"
Sesudah
menghukum dirinya berkepanjangan, ia memaksa matanya yang sedih memejam dan
mencoba tidur, tapi sia-sia.
Di waktu
fajar, sekali lagi ia memutuskan, "Aku mau dan harus meninggalkan
pikiran-pikiran jahat!" Tapi Akemi itu gadis yang memesona dan demikian
menderita. Ia harus mencoba menyenangkan hatinya. Ia harus memperlihatkan pada
gadis itu, bahwa tidak semua lelaki di dunia ini setan-setan nafsu.
Disamping
obat, ia memikirkan hadiah macam apa yang akan dibawakannya untuk Akemi kalau
ia pulang malam nanti. Selama mengemis sepanjang hari itu, semangatnya
terdorong oleh keinginan melakukan sesuatu untuk membuat Akemi sedikit lebih
bahagia. Cukuplah itu. Ia tidak mendambakan hasrat yang lebih besar.
Kira-kira
ketika ia sudah memperoleh ketenangan kembali, dan ketika warna merah sudah
kembali ke wajahnya, terdengar olehnya kepak-kepak sayap di atas karang terjal
di sampingnya. Bayangan elang pemburu yang besar meluncur, dan tampaklah oleh
Tanzaemon bulu cokelat seekor burung kecil menggeletar turun dari sebuah cabang
pohon ek di tengah belukar tak berdaun di atasnya. Sambil mencengkeram burung
kecil itu, elang pemburu membubung ke udara, memperlihatkan bagian bawah
sayapnya.
Tidak jauh
dari situ terdengar orang mengatakan, "Sukses!" Dan pemilik elang
bersuit kepada burungnya.
Beberapa
detik kemudian Tanzaemon melihat dua orang berpakaian pemburu turun bukit di
belakang Ennenji. Elang itu bertengger di tinju kiri seorang dari mereka yang
menyandang kantong rajut buat tangkapannya di sisi pinggang yang berlawanan
dengan kedua pedangnya. Seekor anjing pemburu yang tampak cerdas dan cokelat
warnanya menderap di belakangnya.
Kojiro
berhenti dan memperhatikan sekitarnya. "Kira-kira di sini kejadiannya
kemarin petang," katanya. "Monyetku berkelahi dengan anjing, dan
anjing itu menggigit ekornya. Dia lalu sembunyi dan tak muncul lagi. Terpikir
olehku sekarang, apa dia tidak berada di atas salah satu pohon itu."
Seijuro
tampak agak tak puas. Ia duduk di sebuah batu. "Mengapa pula dia mesti
terus di sini? Dia kan punya kaki? Dan lagi, aku tak mengerti kenapa Anda
membawa-bawa monyet, padahal Anda berburu dengan elang."
Kojiro duduk
seenak mungkin di akar sebatang pohon. "Oh, aku tidak membawanya, tapi aku
tak dapat mencegahnya ikut. Dan aku begitu terbiasa dengan dia, hingga rasanya
kehilangan kalau dia tak ada."
"Tadinya
aku menyangka cuma perempuan dan orang yang suka melengah waktu yang menyukai
monyet dan anjing timangan, tapi ternyata sangkaanku keliru. Sukar dibayangkan
bahwa seorang prajurit seperti Anda begitu terikat pada seekor monyet."
Sesudah melihat Kojiro beraksi di tanggul Kema itu, Seijuro sungguh menghargai
keahliannya bermain pedang, tetapi selera dan cara hidupnya pada umumnya
kelihatan terlampau kekanak-kanakan. Sesudah tinggal serumah dengannya beberapa
hari itu, yakinlah Seijuro bahwa kematangan dicapai bersamaan dengan
bertambahnya umur. Sukar baginya menghormati Kojiro sebagai pribadi, tapi dalam
hal tertentu hal itu mempermudah ia berhubungan dengan pemuda ini.
Kojiro
menjawab tertawa, "Sebabnya karena aku masih amat muda. Tak lama lagi aku
akan belajar menyukai perempuan, baru sesudah itu barangkali aku akan melupakan
monyet itu."
Kojiro
mengobrol dengan nada ringan, sebaliknya wajah Seijuro kelihatan makin lama
makin prihatin. Matanya memperlihatkan sorot resah, hampir serupa dengan mata
elang yang bertengger di tangannya. Mendadak katanya tak senang, "Apa
kerja pendeta pengemis di sana itu? Dari tadi dia berdiri memandangi kita,
sejak kita sampai di sini."
Seijuro
menatap Tanzaemon dengan curiga, dan Kojiro memutar badan untuk melihat.
Tanzaemon
membalikkan badan dan pergi tertatih-tatih.
Tiba-tiba
Seijuro berdiri. "Kojiro," katanya, "aku mau pulang. Bagaimanapun,
mi bukan waktu buat berburu. Sekarang sudah tanggal dua puluh sembilan."
Sambil
tertawa dan dengan nada mencela, kata Kojiro, "Tapi kita pergi ini buat
berburu, kan? Baru dapat seekor perkutut dan beberapa mural buat bukti. Kita
mesti coba lebih jauh naik bukit."
"Tidak,
mari kita hentikan. Aku tak suka berburu sekarang, dan kalau aku tidak merasa
senang, elang ini jadi tidak benar terbangnya. Mari pulang dan berlatih."
Kemudian tambahnya, seolah kepada diri sendiri, "Itulah yang kuperlukan,
berlatih."
"Nah,
kalau Anda memang mesti pulang, aku ikut." Ia berjalan di samping Seijuro,
tapi tampak kurang senang. "Kupikir saranku keliru."
"Saran
apa?"
"Pergi
berburu kemarin dan hari ini."
"Sudahlah.
Aku tahu Anda bermaksud baik. Cuma, ini akhir tahun, sedang pertarungan dengan
Musashi semakin dekat."
"Itu
sebabnya menurutku baik kalau Anda pergi berburu. Anda dapat bersantai, supaya
semangat Anda wajar. Tapi kukira Anda bukan orang ,vang dapat melakukan hal
itu."
"Hm.
Semakin aku mendengar tentang Musashi, semakin aku cenderung untuk tidak
menyepelekannya."
"Apa itu
bukan lebih merupakan alasan untuk menghindari keresahan dan kepanikan? Anda
mesti mendisiplinkan semangat Anda."
"Aku
tidak panik. Pelajaran pertama dalam seni bela diri adalah tidak :nenganggap
enteng musuh, dan kupikir masuk akal kalau kita mencoba banyak berlatih sebelum
bertarung. Kalau mesti kalah, setidaknya aku tahu. Bahwa aku sudah mencoba
sebaik-baiknya. Kalau orang itu memang lebih baik daripada aku, yah..."
Sekalipun
Kojiro sangat menghargai ketulusan Seijuro, menurutnya dalam diri Seijuro
terdapat kekerdilan semangat, dan ini menyulitkan Seijuro menjunjung tinggi
nama baik Perguruan Yoshioka.
Karena
Seijuro tidak memiliki visi pribadi yang diperlukan untuk mengikuti jejak
ayahnya dan menyelenggarakan perguruan besar itu sebaik-baiknya, maka Kojiro
merasa kasihan kepadanya. Menurut pendapatnya, adik Seijuro, Denshichiro, lebih
kuat wataknya, tapi Denshichiro seorang playboy yang sudah rusak. Sekalipun ia
pemain pedang yang lebih mampu dibanding Seijuro, ia tak bisa diharapkan untuk
mempertahankan nama Yoshioka.
Kojiro
menginginkan Seijuro melupakan pertarungan dengan Musashi yang terus mendekat
itu, karena menurut keyakinannya itulah persiapan terbaik baginya. Pertanyaan
yang ingin dilontarkannya, namun tidak dilontarkannya adalah apa yang ingin
dipelajari Seijuro sejak sekarang sampai saat pertandingan. "Yah,"
demikian pikirnya pasrah, "Itulah dia. Kukira tak banyak yang bisa
kubantu."
Anjing itu
lari dan kini menggonggong galak di kejauhan.
"Itu
berarti dia menemukan mangsa!" kata Kojiro, dan matanya bercahaya.
"Biar
dia pergi. Nanti toh menyusul kita."
"Akan
kulihat. Anda tunggu di sini."
Kojiro
berlari cepat ke arah datangnya gonggongan, dan semenit dua menit kemudian
terlihat olehnya anjing itu berada di beranda sebuah kuil kuno yang sudah
bobrok. Binatang itu melompat-lompat ke pintu kisi-kisi yang bobrok, tapi
berulang-ulang mundur kembali. Sesudah beberapa kali mencoba, ia mencakar-cakar
tiang dan dinding bangunan berlak merah usang itu. Sambil bertanya-tanya dalam
hati, apa gerangan yang membuat anjing itu demikian ribut, Kojiro pergi ke
pintu lain. Melihat ke dalam kisi-kisi itu seperti melihat ke dalam jambangan
lak hitam.
Derak-derik
pintu yang dibukanya membuat anjing itu berlari mengikutinya sambil
mengibas-ngibaskan ekor. Kojiro menendang pergi anjing itu, tapi tak banyak
hasilnya. Dan ketika ia masuk, si anjing cepat berlari menyerobot.
Jeritan
perempuan itu memekakkan telinga, sejenis jeritan yang dapat memecahkan kaca.
Kemudian anjing itu melolong, dan terjadilah adu suara antara dia dan perempuan
yang menjerit itu. Kojiro bertaya-tanya dalam hati, apakah tiang-tiang tak akan
ambruk. Ia berlari maju, dan dilihatnya Akemi berbaring di bawah kelambu,
sementara monyet yang melompat masuk dari jendela untuk menghindari anjing itu
bersembunyi di belakangnya.
Akemi ada di
antara anjing dan monyet, menghalangi jalan anjing. Karena itu anjing
menyerangnya. Ketika Akemi berguling ke samping, lolongan anjing mencapai
puncaknya.
Akemi kini
menjerit bukan karena takut, tapi karena sakit. Anjing menggigit lengannya.
Sambil menyumpah, Kojiro menendangnya lagi keras-keras pada rusuknya. Anjing
itu mati oleh tendangan pertama, tapi sesudah tendangan kedua pun giginya tetap
mengatup erat ke lengan Akemi.
"Lepaskan!
Lepaskan!" jerit Akemi sambil menggeliat di lantai.
Kojiro
berlutut di sampingnya dan membuka paksa rahang anjing itu. Bunyinya seperti
potongan-potongan kayu berlem yang dipisahkan satu dari yang lain. Mulut anjing
itu terluka. Sedikit saja lagi tenaga Kojiro akan membuat kepala anjing itu
belah menjadi dua. Ia lemparkan bangkai anjing itu ke luar pintu, lalu kembali
ke sisi Akemi.
"Beres
sekarang," katanya menghibur, tapi lengan Akemi tampak parah. Darah yang
mengalir di kulit putih itu membuat gigitan tersebut seperti bunga peoni besar
berwarna merah tua.
Melihat itu,
Kojiro menggigil. "Apa tak ada sake di sini? Nanti kubasuh dengan sake....
Oh ya, kukira tak ada sake di tempat seperti ini." Darah hangat mengalir
turun dari lengan ke pergelangan. "Akan kucoba," katanya. "Kalau
tidak, racun gigi anjing bisa bikin kau gila. Dia memang aneh tingkahnya
beberapa hari terakhir ini."
Sementara
Kojiro menimbang-nimbang apa yang dapat diperbuatnva lekas-lekas, Akemi
mengerutkan kening sampai alisnya menjadi satu, menggeliatkan lehernya yang
putih indah, dan teriaknya, "Gila? Oh, itu sungguh bagus! Itu yang saya
inginkan—gila! Betul-betul gila sama sekali!"
"A-a-apa
maksudmu?" gagap Kojiro. Dan tanpa banyak bicara lagi ia membengkokkan
lengan Akemi dan mengisap darah dari lukanya. Ketika mulutnya penuh, ia
ludahkan isinya dan ia lekatkan kembali ke kulit yang putih itu dan ia isap
sampai pipinya menggelembung.
Malam hari
Tanzaemon kembali dari perjalanan hariannya. "Aku pulang, Akemi,"
katanya sambil masuk kuil, "Apa kau kesepian selagi aku pergi?"
Ia letakkan
obat untuk Akemi di sudut, bersama makanan dan guci minyak yang dibelinya, dan katanya,
"Tunggu sebentar, akan kunyalakan lampu."
Ketika lilin
sudah dinyalakan, ia lihat Akemi tak ada di dalam ruangan. "Akemi"
panggilnya. "Ke mana perginya dia?"
Cinta sebelah
tangan tiba-tiba berubah menjadi kemarahan, tapi kemudian cepat digantikan pula
oleh kesepian. Seperti kejadian sebelumnya, Tanzaemon diingatkan bahwa ia
takkan menjadi muda kembali, dan bahwa tak ada lagi padanya kehormatan, tak ada
lagi harapan. Terpikir olehnya tubuhnya yang menua, dan ia menggerenyit.
"Aku
sudah menyelamatkan dia dan merawatnya," gerutunya, "tapi sekarang
dia pergi tanpa pesan. Akan begitukah dunia ini selamanya? Memang begitukah
dia? Atau masihkah dia curiga dengan maksud-maksudku?"
Di tempat
tidur ia temukan potongan kain, jelas sobekan ujung obi Akemi. Bercak darah
pada kain itu membangkitkan naluri binatangnya. Ia tendang tilam jerami itu ke
udara dan ia lemparkan obat ke luar jendela.
Dalam keadaan
lapar, namun tak ingin menyiapkan makanan, ia ambil shakuhachi, dan sambil
mengeluh ia pergi ke beranda. Sekitar sejam lamanva tak henti-henti ia bermain,
mencoba mengusir keinginan dan angan-angannya. Namun jelas baginya, nafsu-nafsu
dalam dirinya tetap dan akan tinggal dengannya sampai ia mati. "Akemi
sudah diambil lelaki lain," renungnya. "Kenapa pula kemarin aku mesti
begitu bermoral dan jujur? Tak ada gunanya aku berbaring sendirian, merana
sepanjang malam."
Separuh
dirinya menyesal karena ia tidak berbuat, tapi separuh lagi mengutuk hasratnya
yang bejat. Justru konflik emosi yang tanpa hentihentinya bergejolak dalam
nadinya itulah yang oleh sang Budha disebut nafsu. Sekarang ia sedang mencoba
membasuh dirinya yang tidak murni, tapi semakin ia berusaha, semakin keruh nada
shakuhachi yang dimainkannya.
Pengemis yang
tidur di bawah kuil itu melongokkan kepalanya dari bawah beranda. "Kenapa
kau main suling?" tanyanya. "Apa ada kejadian yang menyenangkan?
Kalau kau bawa banyak uang dan beli sake, bagaimana kalau aku minta minum?"
Orang itu pincang, dan dari sudut pandangnya yang hina, Tanzaemon hidup seperti
raja.
"Apa kau
tahu, apa yang terjadi dengan gadis yang kubawa semalam?"
"Manis
juga cewek itu, ya? Kalau aku bisa, takkan kubiarkan dia pergi. Tak lama
sesudah kau pergi tadi, seorang samurai muda yang pakai kuncung dan pedang
raksasa membawanya pergi. Juga monyet itu. Yang satu dipikul di kiri, yang lain
di kanan."
"Samurai...
kuncung?"
"Ya. Dan
bukan main tampannya anak itu, jelas lebih tampan daripada kau dan aku!"
Humor kalimat
tersebut membuat pengemis itu tertawa terbahak-bahak.
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar