Sabtu, 15 Juli 2017




 Kembang Pir


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






DI tengah hutan kriptomeria yang gelap dan khidmat itu, bunyi burung jagal rendahan bercampur bunyi burung bulbul surga terdengar seperti nada-nada indah burung mitos Kalavinka.

Dua lelaki turun dari puncak Gunung Koya. Mereka baru mengunjungi ruang-ruang dan pagoda-pagoda di Kuil Kongobuji. Mereka juga baru menyatakan hormat di tempat suci bagian dalam, dan berhenti di jembatan lengkung kecil antara pekarangan dalam dan luar kuil.

"Nuinosuke," kata yang tua, sambil merenung, "dunia ini memang rapuh dan tidak abadi, ya?" Dari jubah buatan sendiri yang berat, dan hakama-nya yang sederhana, orang bisa menduga bahwa ia seorang samurai desa, kecuali kalau orang melihat pedang-pedangnya yang sangat bermutu tinggi, dan temannya yang terlalu sopan dan berpendidikan bagi seorang abdi samurai daerah.

"Kau sudah melihat sendiri semua itu," katanya melanjutkan. "Makam Oda Nobunaga, Akechi Mitsuhide, Ishida Mitsunari, Kobayakawa Kingoyang beberapa tahun lalu masih menjadi jenderal-jenderal cemerlang dan terkenal. Dan disana itu, batu-batuan yang tertutup lumut itu menandai tempat-tempat penguburan anggota agung klan Minamoto dan Taira."

"Jadi, kawan dan lawan... semuanya ada di sini, ya?"

"Mereka semua kini tak lebih dari batu-batuan yang sunyi. Benarkah nama-nama seperti Uesugi dan Takeda itu besar, atau kita cuma bermimpi?"

"Saya juga merasa janggal. Rasanya dunia yang kita diami ini bukan dunia nyata."

"Begitu, ya? Atau tempat ini yang tidak nyata?"

"Ya. Siapa tahu?"

"Menurutmu, siapa yang punya gagasan menamai jembatan ini Jembatan Khayal?"

"Pilihan nama yang bagus juga, ya?"

"Saya pikir khayal sama dengan kebenaran, tepat seperti pencerahan sama dengan kenyataan. Kalau khayal itu tak nyata, maka dunia ini tak mungkin ada. Seorang samurai yang membaktikan hidupnya kepada tuannya tidak dapat-sedikit pun tidak-membiarkan dirinya menjadi seorang nihilis. Karena itu, Zen yang kuhayati ini adalah Zen yang hidup. Zen dari dunia tercemar, Zen dari neraka. Seorang samurai yang ngeri memikirkan kefanaan, atau membenci dunia ini, tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya.... Nah, cukuplah kita di tempat MI. Marl kita kembali ke dunia lain."

Terlihat olehnya pendeta-pendeta dari Kuil Seiganji, dan ia mengerutkan kening dan menggerutu, "Kenapa mereka lakukan hal itu?" Ia telah tinggal di kuil itu malam sebelumnva, dan sekarang sekitar dua puluh pendeta muda berbaris sepanjang jalan setapak, hendak melepas keberangkatannya, padahal la minta diri pagi itu dengan maksud menghindari pertunjukan macam itu.

Ia cepat bersalaman dengan mereka, sambil mengucapkan kata-kata perpisahan dengan sopan, kemudian segera menuruni jalan yang menghadap ke sejumlah lembah yang dikenal dengan nama Kujukutani. Baru sesudah ia mencapai kembali dunianya yang biasa, ia dapat merasa lega. Sebagai orang yang sadar akan sifat khilafnya sendiri, bau dunia yang ini terasa melegakan.

"Halo, siapa Anda ini?" Pertanyaan itu datang kepadanya seperti tembakan, ketika mereka membelok di tikungan jalan itu.

"Dan Anda siapa?" tanya Nuinosuke.

Samurai bertubuh tegap dan berkulit kuning yang berdiri di tengah jalan itu berkata sopan, "Maafkan saya, kalau saya keliru, tapi apa Anda bukan abdi senior Yang Dipertuan Hosokawa Tadatoshi, Nagaoka Sado?"

"Saya memang Nagaoka. Siapa Anda, dan bagaimana Anda bisa tahu saya ada di daerah ini?"

"Nama saya Daisuke. Saya anak tunggal Gesso, yang hidup memencilkan diri di Gunung Kudo."

Melihat bahwa nama itu tidak menimbulkan reaksi apa-apa, Daisuke pun berkata, "Ayah saya sudah membuang namanya yang lama, tapi sebelum Pertempuran Sekigahara dia dikenal dengan nama Sanada Saemonnosuke."

"Maksud Anda Sanada Yukimura?"

"Betul." Dengan sikap malu yang berlawanan dengan tampangnya, kata Daisuke, "Seorang pendeta dari Kuil Seiganji singgah di rumah ayah saya tadi pagi. Dia bilang, Bapak datang berkunjung ke Gunung Koya. Kami mendengar Bapak mengadakan perjalanan ini secara incognito, tapi ayah saya berpendapat, sayang sekali kalau tidak mengundang Bapak minum teh."

"Oh, saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan beliau," jawab Sado. Ia menyipitkan mata sebentar, kemudian katanya pada Nuinosuke, "Kupikir kita mesti menerima undangannya. Betul?"

"Betul, Pak," jawab Nuinosuke kurang bersemangat.

Daisuke berkata, "Hari masih cukup pagi, tapi ayah saya merasa mendapat kehormatan kalau Bapak sudi bermalam di tempat kami."

Sado ragu-ragu sejenak, apakah cukup bijaksana kalau ia menerima keramahtamahan orang yang dianggap musuh Keluarga Tokugawa itu. Tapi kemudian ia mengangguk, katanya, "Soal itu dapat kita putuskan nanti, tapi dengan senang hati saya akan minum teh dengan ayah Anda. Setuju, Nuinosuke?"

"Setuju, Pak."

Nuinosuke kelihatan agak gelisah, tapi ketika mereka mulai berjalan di belakang Daisuke, tuan dan abdi itu saling melontarkan pandangan maklum.

Dari kampung di Gunung Kudo itu, mereka mendaki gunung lagi ke tempat kediaman yang terpisah dari rumah-rumah lain. Tanah yang dikitari dinding batu rendah, yang disambung pagar rumput anyam itu, mirip dengan rumah yang setengah dibentengi, milik panglima perang kecil di daerah, tapi kalau diperhatikan segala sesuatunya, orang lebih terkesan oleh kehalusannya daripada kesiapan militernya.

"Ayah saya di sana itu, di dekat rumah beratap lalang," kata Daisuke, ketika mereka sudah melewati pintu gerbang.

Ada sepetak kecil kebun sayur, cukup untuk menghasilkan bawang dan dedaunan bahan sup pagi dan malam hari. Rumah utama berdiri di depan batu terjal, di dekat beranda samping tumbuh rumpun bambu, dan di baliknya dua rumah lagi baru saja kelihatan.

Nuinosuke berlutut di beranda, sementara Sado dipersilakan masuk ruangan.

Sado duduk, dan katanya, "Tenang sekali di sini."

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda yang ternyata istri Daisuke diam-diam menghidangkan teh, kemudian pergi.

Sementara menanti kedatangan tuan rumah, Sado melayangkan pandangannya ke arah kebun dan lembah. Di bawah ada desa, dan di kejauhan tampak kota penginapan Kamuro. Bunga-bunga kecil berkembang di lumut yang bergayut pada atap lalang yang menggelantung. Tercium pula bau semerbak setanggi yang jarang ditemui. la dapat mendengar sungai mengalir cepat, melintasi rumpun bambu, sekalipun tak dapat melihatnya.

Ruangan itu sendiri menimbulkan perasaan keelokan yang tenteram, yang secara halus mengingatkan orang bahwa pemilik kediaman yang tidak megah ini adalah anak kedua Sanada Masayuki, Yang Dipertuan Benteng Ueda yang berpenghasilan 190.000 gantang.

Tiang-tiang dan blandar-blandarnya tipis, langit-langitnya rendah. Dinding di belakang ceruk kamar yang kecil itu terbuat dari tanah liat merah yang kasar pengerjaannya. Karangan bunga di dalam ceruk kamar berupa setangkai kembang pir, dalam jambangan keramik ramping berwarna kuning dan hijau muda. Sado teringat akan "kembang pit tunggal yang bermandikan hujan muslin semi" karya Po Chu-i, dan cinta yang menyatukan Kaisar Cina dengan Yang Kuei-fei, seperti dilukiskan dalam Chang He Ke. Ia pun seolah mendengar sedu-sedan tanpa suara.

Matanya bergerak ke arah gulungan perkamen di atas karangan bunga. Huruf-huruf yang besar polos itu berbunyi, "Hokoku Daimyojin", yaitu nama yang diberikan kepada Hideyoshi ketika ia mencapai tingkat dewa, sesudah meninggal. Di satu sisi, satu catatan dengan huruf-huruf yang jauh lebih kecil menyatakan bahwa itu adalah karya putra Hideyoshi, yaitu Hideyori, pada umur delapan tahun. Sado, yang membelakangi gulungan itu, merasa sikapnya terhadap Hideyoshi kurang sopan. Sado pun beringsut sedikit ke samping. Selagi ia berbuat demikian, tiba-tiba ia tersadar bahwa bau menyenangkan itu bukan dari setanggi yang terbakar pada waktu itu juga, melainkan dari dinding dan shoji, yang tentunya telah menyerap bau semerbak itu ketika setanggi ditempatkan di sana pagi dan malam untuk memurnikan ruangan, guna menghormati Hideyoshi. Dapat diperkirakan bahwa persembahan sake diberikan juga tiap hari, sebagaimana diperbuat terhadap dewa-dewa Shinto yang ada.

"Ya," pikirnya, "Yukimura memang berbakti pada Hideyoshi, sebagaimana dikatakan orang." Yang tidak dapat ia pahami adalah kenapa Yukimura tidak menyembunyikan gulungan itu. Ia memang punya reputasi sebagai orang yang tak dapat diramalkan, orang dalam bayangan, yang mengintai dan menanti saat yang tepat untuk kembali ke tengah kancah peristiwa negeri. Tidak sukar membayangkan bahwa para tamu kemudian dapat menyampaikan kesan-kesan mereka kepada pemerintah Tokugawa.

Terdengar langkah kaki mendekat di sepanjang gang di luar. Laki-laki kecil kurus yang memasuki ruangan itu mengenakan jubah tanpa lengan. la hanya mengenakan pedang pendek di depan obi-nya. Dalam dirinya terpancar kesan kesederhanaan.

Sambil berlutut dan membungkuk ke lantai, Yukimura berkata, "Maafkan saya, karena menyuruh anak saya mengundang Bapak kemari dan mengganggu perjalanan Bapak."

Sikap merendahkan diri itu membuat Sado merasa tak enak. Dari sudut pandangan resmi, Yukimura sudah melepaskan statusnya. Ia sekarang hanyalah seorang ronin yang bernama Budha, Denshin Gesso. Namun demikian, ia adalah putra Sanada Masayuki, dan kakaknya, Nobuyuki, adalah daimyo yang mempunyai hubungan dekat dengan Keluarga Tokugawa. Sado, yang hanya seorang abdi, berkedudukan jauh lebih rendah.

"Anda tak pantas membungkuk demikian rupa pada saya," kata Sado, menolak penghormatan itu. "Sungguh merupakan kehormatan dan kenikmatan tak terduga, bahwa saya bertemu lagi dengan Anda. Saya senang melihat Anda sehat walafiat."

"Bapak demikian juga kelihatannya," jawab Yukimura yang mulai santai, sementara Sado masih membungkuk. "Saya senang mendengar Yang Dipertuan Tadatoshi telah kembali ke Buzen dengan selamat."

"Terima kasih. Ini tahun ketiga sejak meninggalnya Yang Dipertuan Yusai, karenanya menurut beliau sudah tepat waktunya."

"Apa sudah selama itu?"

"Ya. Saya sudah pergi ke Buzen juga, walaupun saya tak mengerti untuk apa Yang Dipertuan Tadatoshi mempertahankan barang peninggalan macam saya ini. Seperti Tuan tahu, saya juga telah mengabdi kepada ayah dan kakeknya."

Ketika hal-hal resmi sudah lewat, dan mereka mulai bicara tentang ini-itu, Yukimura bertanya, "Apa Anda sudah bertemu dengan guru Zen kita belakangan ini?"

"Tidak, cukup lama juga saya tidak bertemu atau mendengar sesuatu tentang Gudo. Oh, ini jadi mengingatkan saya. Saya bertemu pertama kali dengan Anda di kamar semedinya. Waktu itu Anda masih kanak-kanak, dan Anda bersama ayah Anda." Sado tersenyum senang mengenang masa ia dipercayai membangun Shumpoin, sebuah gedung yang disumbangkan Keluarga Hosokawa kepada Kuil Myoshinji.

"Banyak setan telah datang pada Gudo untuk meringankan beban," kata Yukimura. "Dia menerima mereka semua, tak peduli tua atau muda, daimyo atau ronin."

"Sesungguhnya, menurut saya, beliau terutama menyukai ronin-ronin muda," renung Sado. "Beliau selalu mengatakan bahwa seorang ronin sejati tidak mencari kemasyhuran atau keuntungan, tidak menjilat orang berkuasa, tidak mencoba menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan sendiri, tidak mengecualikan dirinya dari penilaian-penilaian moral. Sebaliknya, dia orang yang berpikiran luas, sebagaimana awan yang mengapung, cepat bertindak sebagaimana hujan, dan cukup puas berada di tengah kemiskinan. Dia tidak pernah menetapkan sasaran bagi dirinya sendiri, dan tidak pernah menggerutu."

"Anda ingat semua itu sesudah bertahun-tahun lm?" tanya Yukimura.

Sado mengangguk sedikit. "Beliau juga menyatakan bahwa seorang samurai sejati sukar ditemukan, bagaikan sebutir mutiara di tengah laut biru yang luas. Tulang-belulang ronin yang tak terhitung jumlahnya, dan terkubur karena mengorbankan nyawa demi kebaikan negeri mi, beliau perbandingkan dengan tiang-tiang pendukung bangsa ini." Sado memandang langsung mata Yukimura ketika mengucapkan kata-kata itu, tapi Yukimura tidak melihat sindiran terhadap orang-orang yang memperoleh status baru, se­bagaimana dirinya itu.

"Semua itu membuat saya teringat," katanya. "Salah seorang ronin yang duduk di kaki Gudo waktu itu adalah pemuda dari Mimasaka bernama Miyamoto..."

"Miyamoto Musashi?"

"Betul, Musashi. Dia tampaknya memiliki kedalaman, walaupun waktu itu umurnya baru sekitar dua puluh tahun, dan kimononya selalu kotor."

"Ya, tentunya itulah orangnya."

"Kalau begitu, Anda ingat dia?"

"Tidak, saya tak pernah mendengar apa-apa tentang dia, sampai baru-baru ini saja, waktu saya ada di Edo."

"Dia orang yang perlu diperhatikan. Gudo mengatakan bahwa pendekatannya terhadap Zen memberi harapan; karena itu, saya memperhatikannya. Tapi kemudian tiba-tiba dia menghilang. Satu-dua tahun kemudian, saya dengar dia memperoleh kemenangan cemerlang melawan Perguruan Yoshioka. Saya ingat, waktu itulah saya berpikir bahwa Gudo tentunya pandai sekali menilai orang."

"Saya bertemu dia kebetulan sekali. Dia berada di Shimosa waktu itu, memberikan pelajaran kepada sejumlah orang desa, tentang cara mempertahankan diri dari bandit-bandit. Belakangan dia membantu mereka mengubah tanah gersang menjadi sawah."

"Saya pikir, dia jenis ronin sejati yang dibayangkan Gudo—mutiara di tengah samudra luas."

"Apa benar demikian pendapat Anda? Saya sudah merekomendasikan dia kepada Yang Dipertuan Tadatoshi, tapi saya kuatir menemukan dia sama sukarnya dengan menemukan mutiara. Satu hal Anda boleh yakin. Kalau seorang samurai seperti itu menerima kedudukan resmi, maka pasti bukan demi penghasilan. Yang dipentingkannya adalah apakah kerjanya sesuai dengan cita-citanya. Ada kemungkinan Musashi lebih menyukai Gunung Kudo daripada Keluarga Hosokawa."

"Apa?"

Sado menghapus pernyataannya dengan tawa singkat, seakan-akan pernyataannya itu hanya keseleo lidah saja.

"Anda tentunya berkelakar," kata Yukimura. "Dalam keadaan saya sekarang mi, menggaji seorang pembantu pun saya hampir tak dapat, apalagi seorang ronin terkenal. Saya sangsi Musashi akan datang, sekalipun misalnya saya mengundangnya."

"Tak ada guna menyangkalnya," kata Sado. "Bukan rahasia lagi bahwa Keluarga Hosokawa berada di pihak Keluarga Tokugawa. Dan setiap orang tahu, Anda penopang andalan Hideyori. Melihat gulungan di ceruk kamar itu, saya terkesan akan kesetiaan Anda."

Yukimura seakan-akan tersinggung, katanya, "Gulungan itu saya dapat dari seseorang di Benteng Osaka, sebagai ganti potter kenangan Hideyoshi. Saya memang berusaha menjaganya baik-baik. Tapi Hideyoshi sudah meninggal." Ia menelan ludah, lalu lanjutnya, "Zaman sudah berubah, itu jelas. Orang yang bukan ahli pun bisa menilai bahwa Osaka telah mengalami hari-hari buruk, sementara kekuasaan Keluarga Tokugawa terus tumbuh. Tapi saya memang orang yang tak dapat mengubah kesetiaan dan mengabdi pada majikan lain."

"Saya sangsi orang akan percaya bahwa soalnya demikian sederhana. Kalau saya boleh bicara terus terang, tiap orang mengatakan bahwa Hideyori dan ibunya memberikan uang dalam jumlah besar pada Anda tiap tahun, dan dengan satu lambaian tangan saja, Anda dapat menggerakkan lima atau enam ribu ronin."

Yukimura tertawa mencela. "Itu sama sekali tidak benar. Begini, Pak Sado, tidak ada yang lebih buruk daripada anggapan orang yang menyatakan bahwa kita lebih daripada yang sebenarnya."

"Anda tak bisa menyalahkan mereka. Anda menghadap Hideyoshi ketika Anda masih muda, dan di antara yang lain-lain, Anda yang paling disukainya. Saya mengerti, ayah Anda kami dengar pernah mengatakan bahwa Anda adalah Kusunoki Masashige, atau K'ung-ming zaman kita."

"Anda ini bikin saya malu saja."

"Apa itu keliru?"

"Saya ingin menghabiskan sisa hidup saya di sini dengan tenang, dalam bayangan gunung, di mana Hukum sang Budha masih terjaga. Itu saja. Saya bukan orang yang berbudaya tinggi. Cukuplah buat saya, kalau saya dapat meluaskan ladang sedikit, sempat melihat kelahiran cucu saya, makan mi soba yang baru selesai dibuat di musim gugur, dan makan sayuran segar di musim semi. Lebih dari itu, saya ingin berumur panjang, jauh dari perang atau selentingan tentang perang."

"Apa betul-betul demikian?" tanya Sado halus.

"Tertawalah, kalau Anda suka, tapi saya menghabiskan waktu senggang saya dengan membaca Lao-tsu dan Chung-tsu. Kesimpulan yang saya peroleh adalah bahwa hidup ini untuk dinikmati. Tanpa kenikmatan, apa gunanya hidup?"

"Nah, nah," seru Sado, pura-pura terkejut.

Mereka bercakap-cakap sekitar satu jam lagi, sambil minum teh segar yang dihidangkan istri Daisuke.

Akhirnya kata Sado, "Saya kuatir saya terlalu lama tinggal di sini, menghabiskan waktu Anda dengan obrolan saya. Nuinosuke, kita pergi sekarang?"

"Janganlah terburu-buru," kata Yukimura. "Anak saya dan istrinya sudah membuat mi. Itu makanan desa yang tak bermutu, tapi saya harap Anda suka menyantapnya bersama kami. Kalau ada rencana singgah di Kamuro, Anda masih punya banyak waktu."

Tepat waktu itu Daisuke muncul dan bertanya pada ayahnya, apakah sudah siap menyantap makanan yang dihidangkan. Yukimura berdiri dan memimpin tamunya menyusuri gang menuju bagian belakang rumah itu.

Sesudah mereka duduk, Daisuke menawarkan sumpit pada Sado, katanya, "Saya kuatir masakan ini tidak terlalu enak, tapi biar bagaimana saya persilakan mencoba."

Istrinya, yang tidak terbiasa dengan orang lain di tempat itu, malu-malu menawarkan mangkuk sake, tapi dengan sopan ditolak Sado. Daisuke dan istrinya masih tinggal di tempat itu beberapa waktu lamanya, tapi kemudian mohon diri.

"Bunyi apa itu?" tanya Sado. Bunyi itu terdengar agak menyerupai alat tenun, tapi lebih keras dan nadanya agak lain.

"Ah, itu? Itu roda kayu untuk membuat tali. Maaf kalau saya katakan bahwa saya terpaksa mengerahkan keluarga dan para pembantu bekerja memintal tali, yang kemudian kami jual untuk mengatasi keuangan." Kemudian tambahnya, "Kami semua sudah terbiasa dengan bunyi itu, tapi saya kira bisa juga mengganggu orang yang tidak terbiasa. Akan saya suruh menghentikan."

"Ah, tak usah. Bunyi itu tidak mengganggu saya. Saya tak ingin menghambat pekerjaan Anda."

Ketika mulai makan, Sado pun mengarahkan pikiran pada makanan tersebut, sebab kadang kala makanan dapat mencerminkan seseorang. Namun tak ada yang dapat ia ungkap dari situ. Yukimura sama sekali tidak mirip dengan samurai muda yang pernah dikenalnya bertahun-tahun lalu. Rupanya Yukimura telah menyelimuti keadaannya sekarang dengan kekaburan.

Kemudian terpikir oleh Sado bunyi-bunyi yang didengarnya-bunyi yang datang dari dapur, orang-orang yang mondar-mandir, dan beberapa kali denting uang yang sedang dihitung. Para daimyo yang telantar tidak terbiasa dengan kerja fisik, dan cepat atau lambat mereka akan kehabisan harta untuk dijual. Maka dapat dimengerti bahwa Benteng Osaka sudah tidak lagi menjadi sumber dana. Namun gagasan bahwa Yukimura berada dalam kesulitan keuangan yang sangat, anehnya membuat ia gelisah.

Ia sadar bahwa tuan rumah mungkin mencoba merangkaikan bagian-bagian percakapan mereka, untuk membentuk gambaran tentang apa yang sedang terjadi di Keluarga Hosokawa, namun tidak ada petunjuk tuan rumah melakukan itu. Yang mencolok mengenai pertemuan mereka adalah bahwa Yukimura tidak bertanya tentang kunjungannya ke Gunung Koya. Sado akan memberikan jawaban dengan senang hati, karena memang tidak ada yang rahasia. Beberapa tahun lalu, Hosokawa Yusai dikirim oleh Hideyoshi ke Kuil Seiganji, dan tinggal di sana beberapa waktu lamanya. Ia telah meninggalkan buku-buku, sejumlah tulisan, dan surat-surat pribadi yang menjadi kenang-kenangan penting. Sado baru memeriksa semuanya itu, memilah-milahnya, dan mengatur agar kuil dapat mengembalikannya pada Tadatoshi.

Nuinosuke, yang tidak juga bergerak dari beranda, melontarkan pandangan ingin tahu ke arah belakang rumah. Hubungan antara Edo dan Osaka boleh dikatakan sedang tegang; Kenapa pula Sado mengambil risiko macam ini? Bukannya ia membayangkan Sado sudah dekat dengan bahaya, tapi ia mendengar bahwa Yang Dipertuan dari Provinsi Kii, Asano Nagaakira, sudah memberikan instruksi untuk mengawasi Gunung Kudo dengan ketat. Kalau ada di antara orang-orang Asano yang melaporkan bahwa Sado melakukan kunjungan rahasia pada Yukimura, ke-shogun-an akan curiga pada Keluarga Hosokawa.

"Sekarang ini kesempatanku," pikirnya, ketika angin tiba-tiba bertiup melanda kembang forsitia dan keria di kebun. Awan hitam dengan cepat mengumpul, dan hujan rintik-rintik mulai turun.

Ia bergegas ke gang, dan katanya, "Mulai hujan, Pak. Kalau kita akan minta diri, sekarang ini waktunya."

Merasa senang mendapat kesempatan melepaskan diri, Sado cepat berdiri. "Terima kasih, Nuinosuke," katanya. "Betul, mari kita jalan."

Yukimura menahan diri untuk mendesak Sado bermalam. Ia berseru pada Daisuke dan istrinya, katanya, "Berikan mantel hujan kepada para tamu kita ini. Dan kau, Daisuke, antar mereka ke Kamuro."

Di pintu gerbang, sesudah menyatakan terima kasih atas keramahtamahan Yukimura, Sado berkata, "Saya yakin kita akan bertemu kembali, tak lama lagi. Barangkali pada hari hujan macam ini, atau barangkali pada waktu angin kencang bertiup. Sementara itu, saya harap Anda sehat-sehat saja."

Yukimura menyeringai dan mengangguk. Ya, tak lama lagi.... Sesaat lamanya, kedua orang itu saling membayangkan melihat satu sama lain sedang menaiki kuda, memegang lembing. Namun yang ada saat ini hanyalah tuan rumah yang sedang membungkuk kepada tamunya, di tengah kelopak bunga aprikot yang berguguran, dan tamu yang hendak berangkat pulang, mengenakan mantel jerami yang basah oleh air hujan.

Sambil pelan-pelan menuruni jalan, kata Daisuke, "Hujan tak akan besar. Belakangan ini sering turun hujan gerimis macam ini. "

Namun demikian, awan di atas Lembah Senjo dan puncak Koya tampak mengancam, dan tanpa sadar mereka mempercepat langkah.

Memasuki Kamuro, mereka disambut oleh pemandangan berupa seorang laki-laki di atas kuda yang juga dimuati ikatan-ikatan kayu bakar. Orang itu terikat demikian erat, hingga tak dapat bergerak. Yang menuntun kuda adalah seorang pendeta berjubah putih. Ia memanggil Daisuke dan berlari mendekati, tapi Daisuke pura-pura tidak mendengar.

"Ada orang memanggil Anda," kata Sado, lalu bertukar pandang dengan Nuinosuke.

Daisuke terpaksa memperhatikan pendeta itu, katanya, "Oh, Rinshobo. Maaf, aku tak melihat tadi."

"Saya datang langsung dari Celah Kiimi," kata si pendeta, dengan suara keras bersemangat. "Orang dari Edo yang mesti kita amat-amati itu saya temui di Nara. Dia memberikan perlawanan hebat, tapi kami tangkap dia hidup-hidup. Sekarang, kalau kita bawa dia ke Gesso dan kita paksa dia bicara, kita akan menemukan..."

"Apa yang kaubicarakan ini?" sergah Daisuke.

"Orang di atas kuda itu. Dia mata-mata dari Edo."

"Apa tak bisa kau tutup mulut, tolol!" desis Daisuke. "Tak tahu kamu, siapa orang yang bersamaku itu? Nagaoka Sado dari Keluarga Hosokawa! Kita jarang mendapat hak istimewa melihat dia, dan aku tak ingin kau mengganggu kami dengan leluconmu yang konyol itu."

Mata Rinshobo yang melayang pada kedua musafir itu tampak terkejut. Sebelum dapat menahan diri, sudah terluncur dari mulutnya, "Keluarga Hosokawa?"

Sado dan Nuinosuke mencoba bersikap tenang dan masa bodoh, tapi angin melecut mantel hujan mereka, hingga mantel itu mengepak-ngepak seperti sayap burung bangau, dan agak menggagalkan usaha mereka.

"Kenapa?" tanya Rinshobo dengan suara rendah.

Daisuke menariknya sedikit ke samping, dan bicara berbisik. Ketika ia kembali mendekati para tamunya, kata Sado, "Bagaimana kalau Anda kembali saja sekarang? Saya tak ingin merepotkan Anda lebih banyak lagi."

Setelah memperhatikan mereka sampai mereka tidak kelihatan lagi, kata Daisuke pada pendeta itu, "Bagaimana mungkin kau begitu bodoh? Apa tak bisa kau membuka mata sebelum membuka mulut? Ayahku takkan senang mendengar ini."

"Ya, Pak. Maaf. Saya tidak tahu tadi."

Walau mengenakan jubah, orang itu bukanlah pendeta. Ia adalah Toriumi Benzo, salah seorang abdi terkemuka Yukimura.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP