Kembang Pir
DI tengah hutan
kriptomeria yang gelap dan khidmat itu, bunyi burung jagal rendahan bercampur
bunyi burung bulbul surga terdengar seperti nada-nada indah burung mitos
Kalavinka.
Dua lelaki turun dari
puncak Gunung Koya. Mereka baru mengunjungi ruang-ruang dan pagoda-pagoda di
Kuil Kongobuji. Mereka juga baru menyatakan hormat di tempat suci bagian dalam,
dan berhenti di jembatan lengkung kecil antara pekarangan dalam dan luar kuil.
"Nuinosuke,"
kata yang tua, sambil merenung, "dunia ini memang rapuh dan tidak abadi,
ya?" Dari jubah buatan sendiri yang berat, dan hakama-nya yang sederhana,
orang bisa menduga bahwa ia seorang samurai desa, kecuali kalau orang melihat
pedang-pedangnya yang sangat bermutu tinggi, dan temannya yang terlalu sopan
dan berpendidikan bagi seorang abdi samurai daerah.
"Kau sudah
melihat sendiri semua itu," katanya melanjutkan. "Makam Oda Nobunaga,
Akechi Mitsuhide, Ishida Mitsunari, Kobayakawa Kingoyang beberapa tahun lalu
masih menjadi jenderal-jenderal cemerlang dan terkenal. Dan disana itu,
batu-batuan yang tertutup lumut itu menandai tempat-tempat penguburan anggota agung
klan Minamoto dan Taira."
"Jadi, kawan dan
lawan... semuanya ada di sini, ya?"
"Mereka semua
kini tak lebih dari batu-batuan yang sunyi. Benarkah nama-nama seperti Uesugi
dan Takeda itu besar, atau kita cuma bermimpi?"
"Saya juga
merasa janggal. Rasanya dunia yang kita diami ini bukan dunia nyata."
"Begitu, ya?
Atau tempat ini yang tidak nyata?"
"Ya. Siapa
tahu?"
"Menurutmu,
siapa yang punya gagasan menamai jembatan ini Jembatan Khayal?"
"Pilihan nama
yang bagus juga, ya?"
"Saya pikir
khayal sama dengan kebenaran, tepat seperti pencerahan sama dengan kenyataan.
Kalau khayal itu tak nyata, maka dunia ini tak mungkin ada. Seorang samurai
yang membaktikan hidupnya kepada tuannya tidak dapat-sedikit pun
tidak-membiarkan dirinya menjadi seorang nihilis. Karena itu, Zen yang kuhayati
ini adalah Zen yang hidup. Zen dari dunia tercemar, Zen dari neraka. Seorang
samurai yang ngeri memikirkan kefanaan, atau membenci dunia ini, tidak dapat
melaksanakan kewajiban-kewajibannya.... Nah, cukuplah kita di tempat MI. Marl
kita kembali ke dunia lain."
Terlihat olehnya
pendeta-pendeta dari Kuil Seiganji, dan ia mengerutkan kening dan menggerutu,
"Kenapa mereka lakukan hal itu?" Ia telah tinggal di kuil itu malam
sebelumnva, dan sekarang sekitar dua puluh pendeta muda berbaris sepanjang
jalan setapak, hendak melepas keberangkatannya, padahal la minta diri pagi itu
dengan maksud menghindari pertunjukan macam itu.
Ia cepat bersalaman
dengan mereka, sambil mengucapkan kata-kata perpisahan dengan sopan, kemudian
segera menuruni jalan yang menghadap ke sejumlah lembah yang dikenal dengan
nama Kujukutani. Baru sesudah ia mencapai kembali dunianya yang biasa, ia dapat
merasa lega. Sebagai orang yang sadar akan sifat khilafnya sendiri, bau dunia
yang ini terasa melegakan.
"Halo, siapa
Anda ini?" Pertanyaan itu datang kepadanya seperti tembakan, ketika mereka
membelok di tikungan jalan itu.
"Dan Anda
siapa?" tanya Nuinosuke.
Samurai bertubuh
tegap dan berkulit kuning yang berdiri di tengah jalan itu berkata sopan,
"Maafkan saya, kalau saya keliru, tapi apa Anda bukan abdi senior Yang
Dipertuan Hosokawa Tadatoshi, Nagaoka Sado?"
"Saya memang
Nagaoka. Siapa Anda, dan bagaimana Anda bisa tahu saya ada di daerah ini?"
"Nama saya
Daisuke. Saya anak tunggal Gesso, yang hidup memencilkan diri di Gunung
Kudo."
Melihat bahwa nama
itu tidak menimbulkan reaksi apa-apa, Daisuke pun berkata, "Ayah saya
sudah membuang namanya yang lama, tapi sebelum Pertempuran Sekigahara dia
dikenal dengan nama Sanada Saemonnosuke."
"Maksud Anda
Sanada Yukimura?"
"Betul."
Dengan sikap malu yang berlawanan dengan tampangnya, kata Daisuke,
"Seorang pendeta dari Kuil Seiganji singgah di rumah ayah saya tadi pagi.
Dia bilang, Bapak datang berkunjung ke Gunung Koya. Kami mendengar Bapak
mengadakan perjalanan ini secara incognito, tapi ayah saya berpendapat, sayang
sekali kalau tidak mengundang Bapak minum teh."
"Oh, saya
mengucapkan terima kasih atas kebaikan beliau," jawab Sado. Ia menyipitkan
mata sebentar, kemudian katanya pada Nuinosuke, "Kupikir kita mesti
menerima undangannya. Betul?"
"Betul,
Pak," jawab Nuinosuke kurang bersemangat.
Daisuke berkata,
"Hari masih cukup pagi, tapi ayah saya merasa mendapat kehormatan kalau
Bapak sudi bermalam di tempat kami."
Sado ragu-ragu
sejenak, apakah cukup bijaksana kalau ia menerima keramahtamahan orang yang
dianggap musuh Keluarga Tokugawa itu. Tapi kemudian ia mengangguk, katanya,
"Soal itu dapat kita putuskan nanti, tapi dengan senang hati saya akan
minum teh dengan ayah Anda. Setuju, Nuinosuke?"
"Setuju,
Pak."
Nuinosuke kelihatan
agak gelisah, tapi ketika mereka mulai berjalan di belakang Daisuke, tuan dan
abdi itu saling melontarkan pandangan maklum.
Dari kampung di
Gunung Kudo itu, mereka mendaki gunung lagi ke tempat kediaman yang terpisah
dari rumah-rumah lain. Tanah yang dikitari dinding batu rendah, yang disambung
pagar rumput anyam itu, mirip dengan rumah yang setengah dibentengi, milik
panglima perang kecil di daerah, tapi kalau diperhatikan segala sesuatunya,
orang lebih terkesan oleh kehalusannya daripada kesiapan militernya.
"Ayah saya di
sana itu, di dekat rumah beratap lalang," kata Daisuke, ketika mereka
sudah melewati pintu gerbang.
Ada sepetak kecil
kebun sayur, cukup untuk menghasilkan bawang dan dedaunan bahan sup pagi dan
malam hari. Rumah utama berdiri di depan batu terjal, di dekat beranda samping
tumbuh rumpun bambu, dan di baliknya dua rumah lagi baru saja kelihatan.
Nuinosuke berlutut di
beranda, sementara Sado dipersilakan masuk ruangan.
Sado duduk, dan
katanya, "Tenang sekali di sini."
Beberapa menit
kemudian, seorang perempuan muda yang ternyata istri Daisuke diam-diam
menghidangkan teh, kemudian pergi.
Sementara menanti
kedatangan tuan rumah, Sado melayangkan pandangannya ke arah kebun dan lembah.
Di bawah ada desa, dan di kejauhan tampak kota penginapan Kamuro. Bunga-bunga
kecil berkembang di lumut yang bergayut pada atap lalang yang menggelantung.
Tercium pula bau semerbak setanggi yang jarang ditemui. la dapat mendengar
sungai mengalir cepat, melintasi rumpun bambu, sekalipun tak dapat melihatnya.
Ruangan itu sendiri
menimbulkan perasaan keelokan yang tenteram, yang secara halus mengingatkan
orang bahwa pemilik kediaman yang tidak megah ini adalah anak kedua Sanada
Masayuki, Yang Dipertuan Benteng Ueda yang berpenghasilan 190.000 gantang.
Tiang-tiang dan
blandar-blandarnya tipis, langit-langitnya rendah. Dinding di belakang ceruk
kamar yang kecil itu terbuat dari tanah liat merah yang kasar pengerjaannya.
Karangan bunga di dalam ceruk kamar berupa setangkai kembang pir, dalam
jambangan keramik ramping berwarna kuning dan hijau muda. Sado teringat akan
"kembang pit tunggal yang bermandikan hujan muslin semi" karya Po
Chu-i, dan cinta yang menyatukan Kaisar Cina dengan Yang Kuei-fei, seperti
dilukiskan dalam Chang He Ke. Ia pun seolah mendengar sedu-sedan tanpa suara.
Matanya bergerak ke
arah gulungan perkamen di atas karangan bunga. Huruf-huruf yang besar polos itu
berbunyi, "Hokoku Daimyojin", yaitu nama yang diberikan kepada
Hideyoshi ketika ia mencapai tingkat dewa, sesudah meninggal. Di satu sisi,
satu catatan dengan huruf-huruf yang jauh lebih kecil menyatakan bahwa itu
adalah karya putra Hideyoshi, yaitu Hideyori, pada umur delapan tahun. Sado,
yang membelakangi gulungan itu, merasa sikapnya terhadap Hideyoshi kurang
sopan. Sado pun beringsut sedikit ke samping. Selagi ia berbuat demikian, tiba-tiba
ia tersadar bahwa bau menyenangkan itu bukan dari setanggi yang terbakar pada
waktu itu juga, melainkan dari dinding dan shoji, yang tentunya telah menyerap
bau semerbak itu ketika setanggi ditempatkan di sana pagi dan malam untuk
memurnikan ruangan, guna menghormati Hideyoshi. Dapat diperkirakan bahwa
persembahan sake diberikan juga tiap hari, sebagaimana diperbuat terhadap
dewa-dewa Shinto yang ada.
"Ya,"
pikirnya, "Yukimura memang berbakti pada Hideyoshi, sebagaimana dikatakan
orang." Yang tidak dapat ia pahami adalah kenapa Yukimura tidak
menyembunyikan gulungan itu. Ia memang punya reputasi sebagai orang yang tak
dapat diramalkan, orang dalam bayangan, yang mengintai dan menanti saat yang
tepat untuk kembali ke tengah kancah peristiwa negeri. Tidak sukar membayangkan
bahwa para tamu kemudian dapat menyampaikan kesan-kesan mereka kepada
pemerintah Tokugawa.
Terdengar langkah
kaki mendekat di sepanjang gang di luar. Laki-laki kecil kurus yang memasuki
ruangan itu mengenakan jubah tanpa lengan. la hanya mengenakan pedang pendek di
depan obi-nya. Dalam dirinya terpancar kesan kesederhanaan.
Sambil berlutut dan
membungkuk ke lantai, Yukimura berkata, "Maafkan saya, karena menyuruh
anak saya mengundang Bapak kemari dan mengganggu perjalanan Bapak."
Sikap merendahkan
diri itu membuat Sado merasa tak enak. Dari sudut pandangan resmi, Yukimura
sudah melepaskan statusnya. Ia sekarang hanyalah seorang ronin yang bernama
Budha, Denshin Gesso. Namun demikian, ia adalah putra Sanada Masayuki, dan
kakaknya, Nobuyuki, adalah daimyo yang mempunyai hubungan dekat dengan Keluarga
Tokugawa. Sado, yang hanya seorang abdi, berkedudukan jauh lebih rendah.
"Anda tak pantas
membungkuk demikian rupa pada saya," kata Sado, menolak penghormatan itu.
"Sungguh merupakan kehormatan dan kenikmatan tak terduga, bahwa saya
bertemu lagi dengan Anda. Saya senang melihat Anda sehat walafiat."
"Bapak demikian
juga kelihatannya," jawab Yukimura yang mulai santai, sementara Sado masih
membungkuk. "Saya senang mendengar Yang Dipertuan Tadatoshi telah kembali
ke Buzen dengan selamat."
"Terima kasih.
Ini tahun ketiga sejak meninggalnya Yang Dipertuan Yusai, karenanya menurut
beliau sudah tepat waktunya."
"Apa sudah
selama itu?"
"Ya. Saya sudah
pergi ke Buzen juga, walaupun saya tak mengerti untuk apa Yang Dipertuan
Tadatoshi mempertahankan barang peninggalan macam saya ini. Seperti Tuan tahu,
saya juga telah mengabdi kepada ayah dan kakeknya."
Ketika hal-hal resmi
sudah lewat, dan mereka mulai bicara tentang ini-itu, Yukimura bertanya,
"Apa Anda sudah bertemu dengan guru Zen kita belakangan ini?"
"Tidak, cukup
lama juga saya tidak bertemu atau mendengar sesuatu tentang Gudo. Oh, ini jadi
mengingatkan saya. Saya bertemu pertama kali dengan Anda di kamar semedinya.
Waktu itu Anda masih kanak-kanak, dan Anda bersama ayah Anda." Sado
tersenyum senang mengenang masa ia dipercayai membangun Shumpoin, sebuah gedung
yang disumbangkan Keluarga Hosokawa kepada Kuil Myoshinji.
"Banyak setan
telah datang pada Gudo untuk meringankan beban," kata Yukimura. "Dia
menerima mereka semua, tak peduli tua atau muda, daimyo atau ronin."
"Sesungguhnya,
menurut saya, beliau terutama menyukai ronin-ronin muda," renung Sado.
"Beliau selalu mengatakan bahwa seorang ronin sejati tidak mencari
kemasyhuran atau keuntungan, tidak menjilat orang berkuasa, tidak mencoba
menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan sendiri, tidak
mengecualikan dirinya dari penilaian-penilaian moral. Sebaliknya, dia orang
yang berpikiran luas, sebagaimana awan yang mengapung, cepat bertindak
sebagaimana hujan, dan cukup puas berada di tengah kemiskinan. Dia tidak pernah
menetapkan sasaran bagi dirinya sendiri, dan tidak pernah menggerutu."
"Anda ingat semua
itu sesudah bertahun-tahun lm?" tanya Yukimura.
Sado mengangguk
sedikit. "Beliau juga menyatakan bahwa seorang samurai sejati sukar
ditemukan, bagaikan sebutir mutiara di tengah laut biru yang luas.
Tulang-belulang ronin yang tak terhitung jumlahnya, dan terkubur karena
mengorbankan nyawa demi kebaikan negeri mi, beliau perbandingkan dengan
tiang-tiang pendukung bangsa ini." Sado memandang langsung mata Yukimura
ketika mengucapkan kata-kata itu, tapi Yukimura tidak melihat sindiran terhadap
orang-orang yang memperoleh status baru, sebagaimana dirinya itu.
"Semua itu
membuat saya teringat," katanya. "Salah seorang ronin yang duduk di
kaki Gudo waktu itu adalah pemuda dari Mimasaka bernama Miyamoto..."
"Miyamoto
Musashi?"
"Betul, Musashi.
Dia tampaknya memiliki kedalaman, walaupun waktu itu umurnya baru sekitar dua
puluh tahun, dan kimononya selalu kotor."
"Ya, tentunya
itulah orangnya."
"Kalau begitu,
Anda ingat dia?"
"Tidak, saya tak
pernah mendengar apa-apa tentang dia, sampai baru-baru ini saja, waktu saya ada
di Edo."
"Dia orang yang
perlu diperhatikan. Gudo mengatakan bahwa pendekatannya terhadap Zen memberi
harapan; karena itu, saya memperhatikannya. Tapi kemudian tiba-tiba dia
menghilang. Satu-dua tahun kemudian, saya dengar dia memperoleh kemenangan
cemerlang melawan Perguruan Yoshioka. Saya ingat, waktu itulah saya berpikir
bahwa Gudo tentunya pandai sekali menilai orang."
"Saya bertemu
dia kebetulan sekali. Dia berada di Shimosa waktu itu, memberikan pelajaran
kepada sejumlah orang desa, tentang cara mempertahankan diri dari
bandit-bandit. Belakangan dia membantu mereka mengubah tanah gersang menjadi
sawah."
"Saya pikir, dia
jenis ronin sejati yang dibayangkan Gudo—mutiara di tengah samudra luas."
"Apa benar
demikian pendapat Anda? Saya sudah merekomendasikan dia kepada Yang Dipertuan
Tadatoshi, tapi saya kuatir menemukan dia sama sukarnya dengan menemukan
mutiara. Satu hal Anda boleh yakin. Kalau seorang samurai seperti itu menerima
kedudukan resmi, maka pasti bukan demi penghasilan. Yang dipentingkannya adalah
apakah kerjanya sesuai dengan cita-citanya. Ada kemungkinan Musashi lebih
menyukai Gunung Kudo daripada Keluarga Hosokawa."
"Apa?"
Sado menghapus
pernyataannya dengan tawa singkat, seakan-akan pernyataannya itu hanya keseleo
lidah saja.
"Anda tentunya
berkelakar," kata Yukimura. "Dalam keadaan saya sekarang mi, menggaji
seorang pembantu pun saya hampir tak dapat, apalagi seorang ronin terkenal.
Saya sangsi Musashi akan datang, sekalipun misalnya saya mengundangnya."
"Tak ada guna
menyangkalnya," kata Sado. "Bukan rahasia lagi bahwa Keluarga
Hosokawa berada di pihak Keluarga Tokugawa. Dan setiap orang tahu, Anda
penopang andalan Hideyori. Melihat gulungan di ceruk kamar itu, saya terkesan
akan kesetiaan Anda."
Yukimura seakan-akan
tersinggung, katanya, "Gulungan itu saya dapat dari seseorang di Benteng
Osaka, sebagai ganti potter kenangan Hideyoshi. Saya memang berusaha menjaganya
baik-baik. Tapi Hideyoshi sudah meninggal." Ia menelan ludah, lalu
lanjutnya, "Zaman sudah berubah, itu jelas. Orang yang bukan ahli pun bisa
menilai bahwa Osaka telah mengalami hari-hari buruk, sementara kekuasaan
Keluarga Tokugawa terus tumbuh. Tapi saya memang orang yang tak dapat mengubah
kesetiaan dan mengabdi pada majikan lain."
"Saya sangsi
orang akan percaya bahwa soalnya demikian sederhana. Kalau saya boleh bicara
terus terang, tiap orang mengatakan bahwa Hideyori dan ibunya memberikan uang
dalam jumlah besar pada Anda tiap tahun, dan dengan satu lambaian tangan saja,
Anda dapat menggerakkan lima atau enam ribu ronin."
Yukimura tertawa
mencela. "Itu sama sekali tidak benar. Begini, Pak Sado, tidak ada yang
lebih buruk daripada anggapan orang yang menyatakan bahwa kita lebih daripada
yang sebenarnya."
"Anda tak bisa
menyalahkan mereka. Anda menghadap Hideyoshi ketika Anda masih muda, dan di
antara yang lain-lain, Anda yang paling disukainya. Saya mengerti, ayah Anda
kami dengar pernah mengatakan bahwa Anda adalah Kusunoki Masashige, atau
K'ung-ming zaman kita."
"Anda ini bikin
saya malu saja."
"Apa itu
keliru?"
"Saya ingin
menghabiskan sisa hidup saya di sini dengan tenang, dalam bayangan gunung, di
mana Hukum sang Budha masih terjaga. Itu saja. Saya bukan orang yang berbudaya
tinggi. Cukuplah buat saya, kalau saya dapat meluaskan ladang sedikit, sempat
melihat kelahiran cucu saya, makan mi soba yang baru selesai dibuat di musim
gugur, dan makan sayuran segar di musim semi. Lebih dari itu, saya ingin
berumur panjang, jauh dari perang atau selentingan tentang perang."
"Apa betul-betul
demikian?" tanya Sado halus.
"Tertawalah,
kalau Anda suka, tapi saya menghabiskan waktu senggang saya dengan membaca
Lao-tsu dan Chung-tsu. Kesimpulan yang saya peroleh adalah bahwa hidup ini
untuk dinikmati. Tanpa kenikmatan, apa gunanya hidup?"
"Nah, nah,"
seru Sado, pura-pura terkejut.
Mereka bercakap-cakap
sekitar satu jam lagi, sambil minum teh segar yang dihidangkan istri Daisuke.
Akhirnya kata Sado,
"Saya kuatir saya terlalu lama tinggal di sini, menghabiskan waktu Anda
dengan obrolan saya. Nuinosuke, kita pergi sekarang?"
"Janganlah
terburu-buru," kata Yukimura. "Anak saya dan istrinya sudah membuat
mi. Itu makanan desa yang tak bermutu, tapi saya harap Anda suka menyantapnya
bersama kami. Kalau ada rencana singgah di Kamuro, Anda masih punya banyak
waktu."
Tepat waktu itu
Daisuke muncul dan bertanya pada ayahnya, apakah sudah siap menyantap makanan
yang dihidangkan. Yukimura berdiri dan memimpin tamunya menyusuri gang menuju
bagian belakang rumah itu.
Sesudah mereka duduk,
Daisuke menawarkan sumpit pada Sado, katanya, "Saya kuatir masakan ini
tidak terlalu enak, tapi biar bagaimana saya persilakan mencoba."
Istrinya, yang tidak
terbiasa dengan orang lain di tempat itu, malu-malu menawarkan mangkuk sake,
tapi dengan sopan ditolak Sado. Daisuke dan istrinya masih tinggal di tempat
itu beberapa waktu lamanya, tapi kemudian mohon diri.
"Bunyi apa
itu?" tanya Sado. Bunyi itu terdengar agak menyerupai alat tenun, tapi
lebih keras dan nadanya agak lain.
"Ah, itu? Itu
roda kayu untuk membuat tali. Maaf kalau saya katakan bahwa saya terpaksa
mengerahkan keluarga dan para pembantu bekerja memintal tali, yang kemudian
kami jual untuk mengatasi keuangan." Kemudian tambahnya, "Kami semua
sudah terbiasa dengan bunyi itu, tapi saya kira bisa juga mengganggu orang yang
tidak terbiasa. Akan saya suruh menghentikan."
"Ah, tak usah.
Bunyi itu tidak mengganggu saya. Saya tak ingin menghambat pekerjaan
Anda."
Ketika mulai makan,
Sado pun mengarahkan pikiran pada makanan tersebut, sebab kadang kala makanan
dapat mencerminkan seseorang. Namun tak ada yang dapat ia ungkap dari situ.
Yukimura sama sekali tidak mirip dengan samurai muda yang pernah dikenalnya
bertahun-tahun lalu. Rupanya Yukimura telah menyelimuti keadaannya sekarang
dengan kekaburan.
Kemudian terpikir
oleh Sado bunyi-bunyi yang didengarnya-bunyi yang datang dari dapur,
orang-orang yang mondar-mandir, dan beberapa kali denting uang yang sedang
dihitung. Para daimyo yang telantar tidak terbiasa dengan kerja fisik, dan
cepat atau lambat mereka akan kehabisan harta untuk dijual. Maka dapat
dimengerti bahwa Benteng Osaka sudah tidak lagi menjadi sumber dana. Namun
gagasan bahwa Yukimura berada dalam kesulitan keuangan yang sangat, anehnya
membuat ia gelisah.
Ia sadar bahwa tuan
rumah mungkin mencoba merangkaikan bagian-bagian percakapan mereka, untuk
membentuk gambaran tentang apa yang sedang terjadi di Keluarga Hosokawa, namun
tidak ada petunjuk tuan rumah melakukan itu. Yang mencolok mengenai pertemuan
mereka adalah bahwa Yukimura tidak bertanya tentang kunjungannya ke Gunung
Koya. Sado akan memberikan jawaban dengan senang hati, karena memang tidak ada
yang rahasia. Beberapa tahun lalu, Hosokawa Yusai dikirim oleh Hideyoshi ke
Kuil Seiganji, dan tinggal di sana beberapa waktu lamanya. Ia telah
meninggalkan buku-buku, sejumlah tulisan, dan surat-surat pribadi yang menjadi
kenang-kenangan penting. Sado baru memeriksa semuanya itu, memilah-milahnya,
dan mengatur agar kuil dapat mengembalikannya pada Tadatoshi.
Nuinosuke, yang tidak
juga bergerak dari beranda, melontarkan pandangan ingin tahu ke arah belakang
rumah. Hubungan antara Edo dan Osaka boleh dikatakan sedang tegang; Kenapa pula
Sado mengambil risiko macam ini? Bukannya ia membayangkan Sado sudah dekat
dengan bahaya, tapi ia mendengar bahwa Yang Dipertuan dari Provinsi Kii, Asano
Nagaakira, sudah memberikan instruksi untuk mengawasi Gunung Kudo dengan ketat.
Kalau ada di antara orang-orang Asano yang melaporkan bahwa Sado melakukan
kunjungan rahasia pada Yukimura, ke-shogun-an akan curiga pada Keluarga
Hosokawa.
"Sekarang ini
kesempatanku," pikirnya, ketika angin tiba-tiba bertiup melanda kembang
forsitia dan keria di kebun. Awan hitam dengan cepat mengumpul, dan hujan
rintik-rintik mulai turun.
Ia bergegas ke gang,
dan katanya, "Mulai hujan, Pak. Kalau kita akan minta diri, sekarang ini
waktunya."
Merasa senang
mendapat kesempatan melepaskan diri, Sado cepat berdiri. "Terima kasih,
Nuinosuke," katanya. "Betul, mari kita jalan."
Yukimura menahan diri
untuk mendesak Sado bermalam. Ia berseru pada Daisuke dan istrinya, katanya,
"Berikan mantel hujan kepada para tamu kita ini. Dan kau, Daisuke, antar
mereka ke Kamuro."
Di pintu gerbang,
sesudah menyatakan terima kasih atas keramahtamahan Yukimura, Sado berkata,
"Saya yakin kita akan bertemu kembali, tak lama lagi. Barangkali pada hari
hujan macam ini, atau barangkali pada waktu angin kencang bertiup. Sementara
itu, saya harap Anda sehat-sehat saja."
Yukimura menyeringai
dan mengangguk. Ya, tak lama lagi.... Sesaat lamanya, kedua orang itu saling
membayangkan melihat satu sama lain sedang menaiki kuda, memegang lembing.
Namun yang ada saat ini hanyalah tuan rumah yang sedang membungkuk kepada
tamunya, di tengah kelopak bunga aprikot yang berguguran, dan tamu yang hendak
berangkat pulang, mengenakan mantel jerami yang basah oleh air hujan.
Sambil pelan-pelan
menuruni jalan, kata Daisuke, "Hujan tak akan besar. Belakangan ini sering
turun hujan gerimis macam ini. "
Namun demikian, awan
di atas Lembah Senjo dan puncak Koya tampak mengancam, dan tanpa sadar mereka
mempercepat langkah.
Memasuki Kamuro, mereka
disambut oleh pemandangan berupa seorang laki-laki di atas kuda yang juga
dimuati ikatan-ikatan kayu bakar. Orang itu terikat demikian erat, hingga tak
dapat bergerak. Yang menuntun kuda adalah seorang pendeta berjubah putih. Ia
memanggil Daisuke dan berlari mendekati, tapi Daisuke pura-pura tidak
mendengar.
"Ada orang
memanggil Anda," kata Sado, lalu bertukar pandang dengan Nuinosuke.
Daisuke terpaksa
memperhatikan pendeta itu, katanya, "Oh, Rinshobo. Maaf, aku tak melihat
tadi."
"Saya datang
langsung dari Celah Kiimi," kata si pendeta, dengan suara keras
bersemangat. "Orang dari Edo yang mesti kita amat-amati itu saya temui di
Nara. Dia memberikan perlawanan hebat, tapi kami tangkap dia hidup-hidup.
Sekarang, kalau kita bawa dia ke Gesso dan kita paksa dia bicara, kita akan
menemukan..."
"Apa yang
kaubicarakan ini?" sergah Daisuke.
"Orang di atas
kuda itu. Dia mata-mata dari Edo."
"Apa tak bisa
kau tutup mulut, tolol!" desis Daisuke. "Tak tahu kamu, siapa orang
yang bersamaku itu? Nagaoka Sado dari Keluarga Hosokawa! Kita jarang mendapat
hak istimewa melihat dia, dan aku tak ingin kau mengganggu kami dengan
leluconmu yang konyol itu."
Mata Rinshobo yang
melayang pada kedua musafir itu tampak terkejut. Sebelum dapat menahan diri,
sudah terluncur dari mulutnya, "Keluarga Hosokawa?"
Sado dan Nuinosuke
mencoba bersikap tenang dan masa bodoh, tapi angin melecut mantel hujan mereka,
hingga mantel itu mengepak-ngepak seperti sayap burung bangau, dan agak
menggagalkan usaha mereka.
"Kenapa?"
tanya Rinshobo dengan suara rendah.
Daisuke menariknya
sedikit ke samping, dan bicara berbisik. Ketika ia kembali mendekati para
tamunya, kata Sado, "Bagaimana kalau Anda kembali saja sekarang? Saya tak
ingin merepotkan Anda lebih banyak lagi."
Setelah memperhatikan
mereka sampai mereka tidak kelihatan lagi, kata Daisuke pada pendeta itu,
"Bagaimana mungkin kau begitu bodoh? Apa tak bisa kau membuka mata sebelum
membuka mulut? Ayahku takkan senang mendengar ini."
"Ya, Pak. Maaf.
Saya tidak tahu tadi."
Walau mengenakan
jubah, orang itu bukanlah pendeta. Ia adalah Toriumi Benzo, salah seorang abdi
terkemuka Yukimura.
0 komentar:
Posting Komentar