Sabtu, 15 Juli 2017



Belas Kasihan Kannon

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg











OTSU duduk mendengarkan tetesan air yang turun dari atap yang bocor. Karena terpaan angin, hujan itu melecut masuk dari bawah ujung atap, dan berkecipak mengenai tirai. Tapi kini musim gugur, karenanya tak dapat diramalkan apakah pagi akan merekah cerah dan jernih.

Kemudian Otsu berpikir akan Osugi. "Apakah dia ada di luar, dalam badai ini, basah dan kedinginan? Dia sudah tua. Mungkin dia takkan hidup sampai pagi. Biarpun tetap hidup, bisa berhari-hari lagi sebelum akhirnya dia ditemukan orang. Dia bisa mati kelaparan."

"Jotaro," panggilnya pelan. "Bangun." Ia kuatir Jotaro melakukan sesuatu yang kejam. Ia mendengar sendiri Jotaro mengatakan kepada para kakitangan perempuan tua itu, bahwa ia sedang menghukum perempuan itu, dan sambil lalu anak itu juga menyatakan hal serupa dalam perjalanan ke penginapan.

"Hatinya sebetulnya tidak begitu jahat," pikir Otsu. "Kalau aku mau terus terang padanya, dia pasti dapat memahami diriku.... Aku mesti menemui dia."

Ia buka daun pintu, sambil pikirnya, "Kalau Jotaro marah, apa boleh buat." Hujan tampak putih pada latar belakang langit yang hitam. Ia singsingkan kimononya, lalu dari dinding ia ambil topi anyaman dari kulit bambu, dan ia ikatkan pada kepalanya. Kemudian ia tutupkan mantel besar dari jerami ke bahunya, ia kenakan sandal jerami, dan berangkat menerobos cucuran hujan yang turun dari atap.

Dekat kuil tempat ia ditangkap Mambei, ia lihat tangga barn yang menuju kuil itu telah menjadi air terjun bertingkat banyak. Di puncak tangga, angin jauh lebih kuat, melolong, melintasi rumpun pohon kriptomeria, seperti kawanan anjing marah.

"Di mana dia kira-kira?" pikirnya sambil mencoba menatap ke dalam tempat suci. Ia berseru ke dalam ruang gelap di bawahnya, tapi tak ada jawaban. Ia menikung ke belakang bangunan, dan berdiri di sana beberapa menit lamanya. Angin yang melolong menerpanya seperti ombak di laut yang menggila. Berangsur-angsur sadarlah ia akan adanya bunyi lain, yang hampir-hampir tak dapat dibedakan dari bunyi badai. Bunyi itu berhenti, lalu mulai lagi.

"Oh-h-h! Dengarkan aku...! Ada orang di situ?... Oh-h-h!"

"Nenek!" seru Otsu. "Nek, di mana Nenek?" Karena boleh dikatakan ia hanya berteriak ke dalam angin, suaranya tidak bisa terdengar jauh.

Tapi, entah bagaimana, perasaan itu membentuk hubungan sendiri. "Oh! Ada orang di sana. Ya, aku tahu... Tolong aku! Aku di sini! Tolong!"

Potongan-potongan bunyi itu sampai ke telinga Otsu, dan ia mendengar nada putus asa di dalamnya.

"Nenek di mana?" jeritnya parau. "Nenek, di mana Nenek?" Ia berlari mengelilingi kuil, berhenti sebentar, kemudian berlari lagi keliling. Secara kebetulan ia melihat semacam gua beruang, sekitar dua puluh langkah jauhnya, dekat dasar jalan terjal yang menanjak ke tempat suci bagian dalam.

Ketika ia semakin mendekat, ia tahu pasti bahwa suara perempuan tua itu datang dari dalam. Sampai di pintu masuk. Ia berhenti dan menatap batu-batu besar yang menghalanginya.

"Siapa itu? Siapa di situ? Jelmaan Kannon, ya? Kupuja dia tiap hari. Kasihanilah aku. Selamatkan perempuan tua malang yang sudah diperangkap musuh!" Permohonan Osugi bernada histeris. Setengah menangis setengah memohon, di celah gelap antara hidup dan mati, ia membayangkan Kannon yang menaruh belas kasihan, dan memanjatkan kepadanya doa berapi-api demi kelangsungan hidupnya.

"Oh, bahagiaku!" teriaknya lupa daratan. "Kannon yang maha pengasih sudah melihat kebaikan hatiku dan kasihan kepadaku. Dia datang menyelamatkan diriku! Belas kasihan yang agung! Hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah..."

Suara itu terhenti seketika. Barangkali ia merasa sudah cukup, karena sudah sewajarnya bahwa pada waktu ia sangat membutuhkan, Kannon akan datang dalam bentuk tertentu untuk menolongnya. Ia kepala keluarga yang baik, ibu yang baik, dan ia merasa dirinya adalah manusia lurus tanpa cacat. Karena itu, apa pun yang ia lakukan tentu benar menurut akhlak.

Tapi kemudian, karena merasa bahwa orang yang ada di luar gua bukan hantu, melainkan manusia yang nyata dan hidup, ia pun tenang, dan ketika sudah tenang, ia pun pingsan.

Karena tak mengerti kenapa tiba-tiba teriakan Osugi berhenti, Otsu jadi hilang kesabaran. Bagaimanapun, pintu gua itu harus dibersihkan. Ia melipatgandakan usahanya, hingga tali yang mengikat topi anyamannya lepas, dan topi serta jalinan rambutnya yang hitam jadi berkibar-kibar ditiup angin.

Heran juga ia, bagaimana Jotaro bisa meletakkan batu-batuan itu sendirian. Ia dorong dan ia tarik batu-batuan itu dengan seluruh kekuatannya, namun tak satu pun bergerak. Karena kehabisan tenaga, ia merasa jengkel pada Jotaro. Perasaan lega yang semula meliputinya karena menemukan tempat Osugi, kini berubah menjadi rasa gelisah yang pedih. "Tahan dulu, Nek! Sebentar lagi. Akan kukeluarkan Nenek!" teriaknya. Biarpun sudah menekankan bibirnya ke dalam celah di antara bebatuan itu, ia tak berhasil memperoleh balasan.

Segera kemudian ia perdengarkan nyanyian lirih dan sayup:


"Pada waktu berjumpa setan-setan pemakan manusia,

Naga berbisa atau iblis,

Jika ia masih ingat akan kekuasaan Kannon,

Maka tak suatu pun berani mencederainya.

Jika pada waktu dikepung binatang jahat,

Dengan taring tajam dan cakar mengerikan,

ia masih ingat akan kekuasaan Kannon..."


Sementara itu, Osugi menyanyikan kitab Sutra tentang Kannon. Hanya suara bodhisatwa yang dapat dipahaminya. Dengan tangan terkatup, kini ia berserah diri dengan air mata menuruni pipi dan bibir bergetar, sementara kata-kata suci meluncur dari mulutnya.

Tiba-tiba merasa ganjil, Osugi berhenti menyanyi dan mengintip dari celah antara bebatuan. "Siapa di sana?" teriaknya. "Aku tanya, siapa kamu?"

Angin sudah menerbangkan mantel Otsu. Dalam keadaan bingung, kehabisan tenaga, dan berlumur lumpur, ia membungkuk dan berseru, "Nenek baik-baik saja? Ini Otsu!"

"Siapa, katamu?" terdengar pertanyaan curiga.

"Otsu!"

"Begitu." Menyusul kediaman panjang, tapi akhirnya terdengar pertanyaan bernada tak percaya. "Apa maksudmu, Otsu?"

Justru pada waktu itulah gelombang guncangan pertama menimpa Osugi, dan dengan kasar memorakporandakan pikiran-pikiran keagamaannya. "Kkenapa kau datang kemari? Oh, aku tahu. Kau mencari si setan Jotaro itu!"

"Tidak, saya datang buat menyelamatkan Nenek! Saya minta Nenek melupakan masa lalu. Saya ingat, Nenek baik sekali pada saya, waktu saya masih gadis kecil. Tapi kemudian Nenek memusuhi saya dan mencoba melukai saya. Saya tidak dendam pada Nenek. Saya akui, saya memang keras kepala."

"Oh, jadi matamu terbuka sekarang, dan kau bisa melihat buruknya perbuatan-perbuatanmu. Begitu, ya? Maksudmu, apa kau mau kembali pada Keluarga Hon'iden, sebagai istri Matahachi?"

"Oh, tidak, bukan itu," kata Otsu cepat.

"Nah, kalau begitu, kenapa kau di sini?"

"Saya kasihan pada Nenek, dan saya tidak tahan."

"Dan sekarang kau ingin aku berutang budi padamu. Itu yang kaucoba lakukan, ya?"

Otsu terlalu terguncang untuk mengatakan sesuatu.

"Siapa yang menyuruhmu datang menyelamatkan aku? Aku tak perlu bantuanmu sekarang. Kalau kau menyangka dengan menolongku kau dapat membuatku tidak membencimu lagi, kau keliru. Aku tak peduli betapa buruknya keadaanku, lebih baik aku mati daripada kehilangan kebanggaan."

"Tapi, Nek, bagaimana bisa Nenek menyuruhku meninggalkan orang seumur Nenek di tempat mengerikan semacam ini?"

"Begitulah bicaramu, enak dan manis. Kaukira aku tidak tahu, apa yang hendak dilakukan olehmu dan Jotaro? Kalian berdua bersekongkol memasukkan aku ke dalam gua ini, buat mempermainkan diriku. Kalau nanti aku keluar, aku mesti membalas dendam. Kalian boleh yakin itu."

"Saya yakin Nenek akan mengerti, bagaimana sesungguhnya perasaan saya. Biar bagaimana, Nenek tak bisa tinggal di sini. Nenek akan sakit."

"Huh, aku bosan dengan omong kosong ini!"

Otsu berdiri. Tiba-tiba penghalang yang tak dapat digesernya dengan tenaga fisik itu bergerak sendiri, seakan-akan digerakkan oleh air matanya. Sesudah batu teratas berguling ke tanah, mengherankan bahwa ia tidak mengalami kesulitan lagi menggulingkan batu di bawahnya ke samping.

Namun bukan air mata Otsu sendiri yang membuka gua itu, karena Osugi mendorongnya juga dari dalam. Ia pun menyeruduk ke luar, wajahnya merah manyala.

Otsu memperdengarkan teriakan gembira, dan ia masih terhuyung-huyung karena mengerahkan tenaga, tapi begitu Osugi berada di luar, ia langsung menangkap kerah Otsu. Dari ganasnya serangan itu, seakan-akan tujuan Osugi bertahan hidup adalah untuk menyerang penyelamatnya.

"Oh! Apa yang Nenek lakukan? Ow!"

"Tutup mulut!"

"Ken-napa!"

"Apa maumu?" teriak Osugi sambil menjatuhkan Otsu ke tanah, dengan kemarahan seorang perempuan liar. Otsu terkejut luar biasa.

"Ayo, sekarang kita pergi!" dengus Osugi sambil menyeret gadis itu di tanah basah.

Sambil mengatupkan tangan, kata Otsu, "Saya mohon, Nek. Hukumlah saya, kalau Nenek mau, tapi jangan Nenek tinggal dalam hujan."

"Pandir! Tak kenal malu, ya? Apa pikirmu kau bisa bikin aku kasihan padamu?"

"Saya takkan lari. Tak akan... Oh! Sakit!"

"Tentu saja sakit."

"Biarkan saya...!" Tiba-tiba Otsu mengerahkan tenaga untuk meloloskan diri, dan melompat berdiri.

"Tak bakalan!" Seketika itu Osugi memperbarui serangannya dan mencengkeram segenggam rambut Otsu . Wajah Otsu yang putih tertengadah ke langit, air hujan membasahinya. Ia menutup mata.

"Perempuan sial! Berapa banyak aku menderita bertahun-tahun ini karena kau!"

Setiap kali Otsu membuka mulut untuk berbicara atau berusaha meloloskan diri, perempuan tua itu menyentakkan rambutnya dengan kejam. Tanpa melepaskan rambut itu, ia banting Otsu ke tanah, ia injak, dan ia tendang.

Kemudian, tiba-tiba pada wajah Osugi muncul sebersit rasa terkejut, dan ia melepaskan rambut itu.

"Oh, apa yang kulakukan?" gagapnya ketakutan. "Otsu?" panggilnya kuatir, memandang sosok lemas yang tergeletak di kakinya.

"Otsu!" Sambil membungkuk ia tatap baik-baik wajah yang basah oleh hujan dan sedingin ikan mati itu. Gadis itu sepertinya sudah tidak bernapas.

"Dia... dia mati!"

Osugi terperanjat. Walaupun ia tak rela memaafkan Otsu, tak ada maksudnya membunuh gadis itu. Maka ia meluruskan badan, merintih sambil mundur.

Berangsur-angsur baru ia tenang, dan tak lama kemudian katanya, "Kukira tak ada yang bisa dilakukan, kecuali pergi mencari pertolongan." Ia pun berangkat, tapi kemudian ragu-ragu, menoleh, dan kembali. Ia gendong tubuh Otsu yang dingin itu dan ia bawa masuk gua.

Pintu masuk gua itu memang kecil, tapi bagian dalamnya luas. Di dekat dinding terdapat tempat yang dulu dipakai para peziarah yang sedang mencari jalan untuk bersemadi berlama-lama.

Ketika hujan reda, ia pergi ke pintu dan mulai merangkak ke luar, tapi justru waktu itu hujan mulai turun lagi. Air yang membanjiri mulut gua gemerecik hampir sampai ke bagian terdalam gua.

"Tak lama lagi pagi," pikirnya. Ia berjongkok acuh tak acuh, dan menanti badai reda kembali.

Keadaan gelap gulita. Tubuh Otsu pelan-pelan mulai mempengaruhi pikirannya. Ia merasa wajah yang kelabu dingin itu menatap dirinya dengan nada menuduh. Mula-mula ia menenteramkan dirinya dengan mengatakan, "Segalanya sudah ditakdirkan untuk terjadi. Ambillah tempatmu di surga, sebagai Budha yang baru lahir. Jangan simpan dendam terhadapku." Tapi, tak lama kemudian, rasa takut dan tanggung jawab yang hebat mendorongnya untuk mencari perlindungan dalam kesalehan. Sambil memejamkan mata, ia mulai menyanyikan sutra. Beberapa jam berlalu.

Ketika akhirnya bibirnya berhenti bergerak dan ia membuka mata, ia dengar burung-burung mencicit. Udara tenang, hujan sudah berhenti. Lewat mulut gua, matahari keemasan menjenguk kepadanya, mencurahkan cahayanya yang putih ke tanah kasar di dalam.

"Apa pula itu?" tanyanya keras, ketika la bangkit; matanya menatap sebuah prasasti ukiran tangan tak dikenal pada dinding gua.

Ia berdiri di dekat prasasti itu, dan membaca, "Pada tahun 1544, saya kirimkan anak saya yang berumur enam belas tahun, bernama Mori Kinsaku, untuk ikut pertempuran Benteng Tenjinzan di pihak Yang Dipertuan Uragami. Sejak itu saya tak pernah melihatnya. Karena sedih, saya mengembara ke berbagai tempat suci bagi sang Budha. Sekarang saya tempatkan di gua ini patung Bodhisatwa Kannon. Saya doakan agar perbuatan ini, disertai air mata seorang ibu, akan melindungi hidupnya di masa depan. Kalau di kemudian hari ada orang lewat tempat ini, saya mohon dia menyerukan nama sang Budha. Inilah tahun kedua puluh satu, sejak kematian Kinsaku. Penyumbang: Ibu Kinsaku, Kampung Aita."

Huruf-huruf yang sudah mengalami pengikisan di beberapa tempat itu sukar dibaca. Hampir tujuh puluh tahun sudah kampung-kampung yang berdekatan, seperti Sanumo, Aita, dan Katsuta, diserang oleh Keluarga Amako, dan Yang Dipertuan Uragami diusir dari bentengnya. Kenangan masa kecil yang takkan terhapus dari pikiran Osugi adalah pembakaran benteng itu. Ia sempat melihat asap hitam melayang ke langit, mayat-mayat manusia dan kuda menyeraki perladangan dan jalan-jalan kecil, berhari-hari sesudahnya. Pertempuran itu hampir mencapai rumah-rumah petani.

Memikirkan ibu-anak itu, termasuk kesedihannya, pengembaraannya, doanya, dan persembahannya, Osugi merasa seperti ditikam. "Tentunya dia sedih sekali," katanya. Ia berlutut dan mengatupkan tangannya.

"Hiduplah sang Budha Amida. Hiduplah sang Budha Amida..."

Ia tersedu-sedu, air mata jatuh ke tangannya, tapi belum lagi ia puas menangis, pikirannya sudah tersadar kembali akan wajah Otsu yang dingin, tak peka terhadap sinar pagi, di samping lututnya.

"Maafkan aku, Otsu. Sungguh aku kejam! Aku mohon, maafkanlah aku!" Dengan wajah mengungkapkan sesal yang sangat, ia angkat tubuh Otsu disertai pelukan lembut. "Mengerikan... mengerikan. Buta oleh cinta ibu. Gara-gara bakti kepada anak, aku menjadi setan buat perempuan lain. Kau punya ibu juga. Kalau ibu itu mengenalku, pasti dia memandangku sebagai... iblis yang kotor...! Aku yakin diriku benar, tapi buat orang lain aku monster yang jahat."

Kata-kata itu seperti memenuhi gua, lalu meloncat kembali ke telinganya. Tak ada orang di situ, tak ada mata mengawasi, tak ada telinga mendengar. Gelap malam telah berubah menjadi sinar kebijaksanaan sang Budha.

"Kau sungguh baik selama ini, Otsu. Bertahun-tahun lamanya kau disiksa orang tua bodoh yang mengerikan ini, tapi tak pernah kau mengembalikan dendamku. Kau datang mencoba menyelamatkan diriku, menantang segalanya... Aku menyadarinya sekarang. Semula aku salah mengerti. Semua kebaikan hatimu kupandang jahat. Kebaikanmu kubalas dengan dendam. Pikiranku kacau, menyeleweng. Oh, maafkan aku, Otsu."

Ia tekankan wajahnya yang basah ke wajah Otsu. "Alangkah baiknya kalau anakku semanis dan sebaik dirimu... Buka matamu, dan lihat aku memohon maaf padamu. Buka mulutmu, caci diriku. Aku pantas diperlakukan begitu. Otsu... maafkan aku."

Sementara ia memandang wajah itu sambil mencucurkan air mata kesedihan, di depan matanya melintas gambaran dirinya sendiri. Gambaran itulah yang kelihatan pada pertemuan-pertemuannya yang lalu dengan Otsu. Kesadaran akan betapa kejam dirinya kini mencekam hatinya. Berkalikali ia berbisik, "Maafkan aku... maafkan aku!" Bahkan terpikir olehnya, apakah tidak lebih baik ia duduk di sana, sampai ia mati bersama gadis itu.

"Tidak!" serunya mantap. "Tak perlu lagi menangis dan merintih! Barangkali... barangkali dia tidak mati. Kalau kucoba, barangkali aku dapat berusaha supaya dia kembali hidup. Dia masih muda. Hidupnya masih terbentang di depannya."

Pelan-pelan ia letakkan kembali Otsu ke tanah, lalu ia merangkak keluar dari gua, ke tengah sinar matahari yang menyilaukan. Ia tutup matanya, dan ia corongkan kedua tangannya ke mulut. "Di mana orang-orang? Hei, orang-orang kampung! Sini! Tolong!" Ia berlari ke depan beberapa langkah, sambil terus berseru-seru.

Terlihat gerakan di tengah semak kriptomeria, kemudian terdengar teriakan, "Dia di sini! Ternyata selamat!"

Sekitar sepuluh orang anggota klan Hon'iden keluar dari semak. Mereka mendengar berita dari orang yang masih selamat dan berlumuran darah akibat perkelahian dengan Jotaro malam sebelumnya, lalu mereka menyusun kelompok pencari yang segera berangkat, walaupun hujan turun membutakan mata. Mereka masih mengenakan mantel hujan, dan tampak basah kuyup.

"Jadi, ibu selamat!" seru orang pertama yang sampai pada Osugi, dengan gembira. Mereka mengerumuni Osugi, wajah mereka mengungkapkan rasa lega luar biasa.

"Jangan kuatirkan diriku," perintah Osugi. "Cepat lihat sana, apa gadis dalam gua itu masih bisa ditolong. Sudah berjam-jam tak sadar. Kalau tidak kita berikan obat sekarang juga... " Suaranya pekat.

Seperti hampir kesurupan, ia menunjuk ke arah gua. Barangkali itu air mata kesedihan yang pertama dicurahkannya sesudah kematian Paman Gon.

104. Pasang-Surut Kehidupan










MUSIM gugur telah lewat. Juga musim dingin.

Pagi-pagi, pada suatu hari di bulan keempat tahun 1612, para penumpang menyiapkan diri di atas dek kapal biasa yang berlayar dari Sakai di Provinsi Izumi ke Shimonoseki di Nagato.

Sesudah mendapat pemberitahuan bahwa kapal siap berangkat, Musashi bangkit dari bangku toko Kobayashi Tarozaemon, dan membungkuk kepada orang-orang yang datang melepas kepergiannya.

"Pertahankan semangat," dorong mereka, sambil ikut bersamanya menuju dermaga.

Wajah Hon'ami Koetsu terdapat di antara orang-orang yang hadir. Teman karibnya, Haiya Shoyu, tidak bisa datang karena sakit, tapi ia diwakili anaknya, Shoeki. Bersama Shoeki ikut juga istrinya, seorang wanita yang kecantikannya menyilaukan, hingga ke mana saja ia pergi, kepala orang menoleh.

"Itu Yoshino, kan?" seorang laki-laki berbisik sambil menarik lengan baju temannya.

"Dari Yanagimachi?"

"Umm. Yoshino Dayu dari Ogiya."

Shoeki memperkenalkan wanita itu pada Musashi, tanpa menyebutkan namanya. Wajahnya tentu saja tak dikenal Musashi, karena ia adalah Yoshino Dayu yang kedua. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dengan Yoshino yang pertama, di mana tinggalnya sekarang, dan apakah sudah menikah atau masih sendiri. Orang banyak sudah lama tak lagi membicarakan kecantikannya yang luar biasa. Bunga berkembang, dan kemudian gugur. Dan di dunia lokalisasi yang serba tak tetap itu, waktu berlalu dengan cepat.

Yoshino Dayu. Nama itu pasti membangkitkan kenangan tentang malammalam bersaiju, tentang api kayu peoni, dan tentang kecapi yang rusak. "Sudah delapan tahun berlalu, sejak kita pertama bertemu," kata Koetsu.

"Ya, delapan tahun," sahut Musashi, yang juga heran, ke mana saja perginya tahun-tahun itu. Ia merasa acara naik kapal hari ini menandai akhir satu tahap hidup baginya.

Matahachi termasuk salah seorang yang ikut mengantar, demikian juga beberapa samurai dari tempat kediaman Hosokawa di Kyoto. Samurai-samurai lain menyampaikan ucapan selamat dari Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro, dan ada pula satu rombongan, dua sampai tiga puluh pemain pedang, yang karena pergaulan dengan Musashi di Kyoto, menganggap diri mereka pengikut Musashi, sekalipun Musashi memprotes.

Musashi akan pergi ke Kokura di Provinsi Buzen. Di sana ia akan berhadapan dengan Sasaki Kojiro, untuk menguji keterampilan dan kematangannya. Atas usaha Nagaoka Sado, konfrontasi yang menentukan dan lama prosesnya itu akhirnya akan berlangsung juga. Perundingan-perundingannya panjang dan sukar, memerlukan pengiriman banyak kurir dan surat. Bahkan sesudah Sado pada musim gugur lalu memastikan bahwa Musashi ada di rumah Hon'ami Koetsu, penyempurnaan persiapan masih membutuhkan waktu setengah tahun lagi.

Walaupun Musashi tahu pertarungan akan terjadi, tak pernah terbayang olehnya ia akan berangkat sebagai bintang yang dipuja-puja sejumlah besar pengikut dan pengagum. Besarnya jumlah pengantarnya itu membuatnya malu, juga tidak memungkinkan ia berbicara dengan orang-orang tertentu, seperti yang diinginkannya.

Yang paling memukau dari acara pemberangkatan yang hebat ini adalah absurditasnya. Tak ada keinginannya untuk menjadi idola siapa pun. Namun mereka datang untuk mengungkapkan niat baik. Karena itu, tak kuasa ia menghentikan mereka.

Ia merasa sebagian dari mereka dapat memahami dirinya. Ia berterima kasih atas ucapan selamat mereka. Kekaguman mereka menyuntikkan ke dalam dirinya rasa takzim. Bersamaan dengan itu, ia tersapu juga oleh gelombang sentimen dangkal yang namanya popularitas. Reaksinya terhadap hal ini hampir-hampir berupa rasa takut, kalau-kalau pujian berlebihan itu akan membuatnya lupa daratan. Bagaimanapun, ia hanya manusia biasa.

Hal lain yang mengesalkannya adalah proses pendahuluan yang berteletele itu. Dapat dikatakan bahwa baik dirinya maupun Kojiro sudah tahu ke mana arah hubungan mereka, tapi sementara itu dapat juga dikatakan bahwa orang banyak telah memaksa mereka berdua untuk saling berhadapan, dan menetapkan bahwa mereka harus mengadakan penentuan akhir, siapa yang lebih baik.

Dimulai dengan omongan orang, "Saya dengar mereka merundingkan itu." Kemudian, kata mereka, "Ya, mereka sudah pasti akan berhadapan." Dan kemudian lagi, "Kapan pertarungan itu?"

Akhirnya, hari dan jamnya sekalian disebarkan orang, sebelum mereka sendiri secara resmi memutuskannya.

Musashi tak suka menjadi pujaan khalayak. Dilihat dari perbuatan besarnya, memang tak dapat dihindari lagi, ia akan dijadikan pahlawan. Tapi ia sendiri tidak mengejar hal itu. Yang diinginkannya adalah kesempatan lebih banyak untuk bersemadi. Ia perlu mengembangkan keselarasan, untuk menjamin agar gagasan-gagasannya tidak melampaui kemampuannya bertindak. Melalui pengalamannya yang baru dengan Gudo, ia telah maju selangkah lagi di jalan menuju pencerahan. Dan ia mulai merasakan sukarnya mengikuti Jalan itu dengan lebih peka Jalan panjang dalam menempuh hidup.

"Namun...," pikirnya. Di mana ia akan berada, kalau semua itu bukan demi kebaikan orang-orang Zang mendukungnya? Apakah ia akan tetap hidup? Apakah ia akan mengenakan pakaian? Kimono berlengan pendek hitam yang dikenakannya saat itu khusus dijahit untuknya oleh ibu Koetsu. Sandal barunya, topi anyaman baru yang dipegangnya, dan semua yang dibawanya sekarang, adalah pemberian orang yang menaruh penghargaan kepadanya. Nasi yang ia makan ditanam orang lain. Ia hidup dari karunia kerja orang lain. Bagaimana ia dapat membalas segala yang telah mereka perbuat baginya?

Apabila pikirannya menjurus ke arah ini, kebencian terhadap tuntutan para pendukungnya jadi berkurang. Namun demikian, rasa kuatir akan mengecewakan mereka akan terus terasa.

Tibalah waktunya untuk berlayar. Terdengar doa-doa untuk keselamatan perjalanan, kata-kata terakhir sebagai ucapan selamat jalan. Sementara itu, waktu yang tak kelihatan mulai memisahkan lelaki dan perempuan yang ada di atas dermaga dengan pahlawan mereka yang berangkat.

Tali penambat sudah dilontarkan, kapal bergerak ke taut terbuka, dan layar besar mengembang seperti sayap, berlatar belakang langit biru.

Seorang lelaki berlari ke ujung dermaga, berhenti, dan mengentakkan kaki dengan jengkel. "Terlambat!" geramnya. "Mestinya tadi aku tidak tidur siang.

Koetsu mendekatinya, bertanya, "Apa Anda bukan Muso Gonnosuke?"

"Ya," jawab yang ditanya sambil mengempit tongkatnya. "Saya pernah ketemu Anda di Kuil Kongoji di Kawachi."

"Ya, tentu. Anda Hon'ami Koetsu."

"Saya senang sekali melihat Anda sehat walafiat. Dari apa yang saya dengar, sebetulnya saya tak percaya Anda masih hidup."

"Dengar dari siapa itu?"

"Musashi."

"Musashi?"

"Ya, dia tinggal di rumah saya sampai kemarin. Dia menerima beberapa surat dari Kokura. Dalam salah satu surat, Nagaoka Sado mengatakan Anda tertawan di Gunung Kudo. Menurut dugaannya, Anda tentu terluka atau terbunuh."

"Semua itu salah."

"Kami mendengar juga bahwa Iori masih hidup di rumah Sado."

"Oh, jadi dia selamat!" seru Gonnosuke, dan perasaan lega membanjiri wajahnya.

"Ya. Mari kita duduk bercakap-cakap."

Ia ajak ahli tongkat yang tegap itu ke sebuah warung. Sambil minum teh, Gonnosuke menyampaikan ceritanya. Ia beruntung, karena sesudah melihat sendiri, Sanada Yukimura berkesimpulan bahwa Gonnosuke bukan mata-mata. Ia pun dilepaskan, dan kedua orang itu jadi bersahabat. Yukimura tidak hanya minta maaf atas kekeliruan para anak buahnya, tapi juga mengirimkan sejumlah anak buahnya untuk mencari Iori.

Karena mereka tak berhasil menemukan tubuh anak itu, Gonnosuke menyimpulkan anak itu masih hidup. Sejak itu, ia menghabiskan waktunya untuk melakukan pencarian di provinsi-provinsi berdekatan. Ketika mendengar bahwa Musashi berada di Kyoto dan pertarungan antara dia dan Kojiro akan berlangsung, Gonnosuke melipatgandakan usahanya. Kemudian, sekembalinya ke Gunung Kudo kemarin, ia mendengar dari Yukimura bahwa Musashi akan berlayar menuju Kokura hari ini. Ia takut bertemu dengan Musashi tanpa Iori di sampingnya, atau tanpa berita apa pun tentang anak itu. Tapi, karena ia tak tahu apakah akan pernah melihat gurunya lagi dalam keadaan hidup, ia memberanikan diri datang. Ia minta maaf pada Koetsu, seakan-akan Koetsu itu korban keteledorannya.

"Tak usah kuatir," kata Koetsu. "Dalam beberapa hari akan ada kapal lain."

"Saya betul-betul ingin melakukan perjalanan dengan Musashi." Ia berhenti di situ, kemudian lanjutnya sungguh-sungguh, "Saya pikir perjalanan ini bisa menjadi titik menentukan dalam hidup Musashi. Dia hidup sangat disiplin. Kemungkinannya dia tak akan kalah dengan Kojiro. Namun dalam pertempuran macam itu, siapa tahu? Di sini ada unsur supramanusia yang ikut terlibat. Semua petarung harus menghadapinya; menang atau kalah, sebagian merupakan soal keberuntungan."

"Saya pikir Anda tak perlu kuatir. Ketenangan Musashi sungguh sempurna. Dia kelihatan betul-betul yakin."

"Saya yakin memang demikian, tapi Kojiro punya reputasi tinggi juga. Dan orang bilang, sejak bertugas pada Yang Dipertuan Tadatoshi, dia berlatih dan tetap menjaga kesiapan dirinya."

"Tapi ini akan menjadi ujian kekuatan antara seorang jenius yang betul-betul angkuh, dengan seorang biasa yang sudah menggosok bakat-bakatnya sebaik-baiknya, kan?"

"Saya sendiri takkan menyebut Musashi orang biasa."

"Tapi dia memang orang biasa. Itulah yang luar biasa padanya. Dia tak puas dengan hanya mengandalkan diri pada pemberian alam. Karena tahu dirinya orang biasa, maka dia selalu mencoba meningkatkan diri. Tak seorang pun menghargai usaha mati-matian yang harus dia lakukan. Tapi sekarang, ketika latihannya yang bertahun-tahun sudah memberikan hasil demikian hebat, tiap orang lalu bicara bahwa dia memiliki 'bakat pemberian dewa'. Begitulah cara orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri."

"Terima kasih atas ucapan itu," kata Gonnosuke. Ia merasa kata-kata Koetsu ini mungkin ditujukan pada dirinya juga, selain Musashi. Sambil memandang tampang orang tua yang lebar dan menyenangkan itu, pikirnya, "Dia pun begitu."

Koetsu waktu itu tampak sebagaimana biasanya, sebagai orang yang suka bersenang-senang dan dengan sengaja memisahkan dirinya dari bagian dunia lain. Pada waktu itu matanya tidak memancarkan cahaya yang biasa diperlihatkannya apabila ia sedang memusatkan diri pada cipta seni. Kim mata itu seperti lautan yang lembut, tenang, dan tak terusik, di bawah langit yang jernih terang.

Seorang pemuda menjenguk ke pintu dan berkata pada Koetsu, "Kita kembali sekarang?"

"Ah, Matahachi!" jawab Koetsu bersahabat. Sambil menoleh pada Gonnosuke, katanya, "Rasanya saya terpaksa meninggalkan Anda. Teman-teman saya rupanya menanti."

"Apa Anda kembali lewat Osaka?"

"Ya. Kalau kami bisa sampai di sana pada waktunya, saya ingin naik kapal malam ke Kyoto."

"Oh, kalau begitu saya berjalan bersama Anda saja sampai tempat itu." Demikianlah Gonnosuke memutuskan melakukan perjalanan darat, bukannya menanti kapal berikutnya.

Ketiga orang itu berjalan berdampingan. Pembicaraan mereka jarang menyimpang dari Musashi, tentang statusnya sekarang, dan perbuatan-perbuatan besarnya di masa lalu. Pada suatu saat, Matahachi mengungkapkan keprihatinannya, katanya, "Saya berharap Musashi menang, tapi Kojiro itu cerdik. Tekniknya bagus sekali." Namun dalam suaranya tidak terasa kegairahan. Kenangannya tentang pertemuannya dengan Kojiro begitu gamblang!

Senja hari mereka sampai di jalan Osaka yang ramai. Secara bersamaan, Koetsu dan Gonnosuke tiba-tiba sadar bahwa Matahachi tidak lagi bersama mereka.

"Ke mana perginya dia?" tanya Koetsu.

Ketika mereka menempuh kembali jalan itu, mereka lihat Matahachi sedang berdiri di ujung jembatan, dengan asyik melihat ke arah tepi sungai. Di sana ibu-ibu dari perkampungan gubuk-gubuk reyot yang atapnya hanva selembar itu sedang mencuci alat-alat masak, gabah, dan sayuran.

"Aneh pancaran wajahnya," kata Gonnosuke. Ia dan Koetsu berdiri di tempat yang agak jauh, dan memperhatikan.

"Dia!" teriak Matahachi. "Akemi!"

Detik pertama Matahachi mengenalinya, ia dikagetkan oleh nasib yang tak terduga-duga. Tapi, beberapa saat kemudian, nasib malah mulai tampak sebaliknya. Takdir tidak memperdayakan dirinya—melainkan sekadar menghadapkannya pada masa lalunya. Akemi telah menjadi istrinya tanpa menikah. Karma mereka berdua memang terjalin. Selama mendiami bumi yang sama, mereka ditakdirkan untuk bersatu kembali, cepat atau lambat.

Tadi ia sukar mengenali Akemi. Pesona dan kegenitannya dua tahun lalu sudah hilang. Wajahnya kurus luar biasa, rambutnya tidak dicuci, dan hanya disanggul asal saja di bawah tengkuk. Ia mengenakan kimono katun berlengan bentuk pipa, yang panjangnya sedikit di bawah lutut, pakaian kerja istri kelas rendahan yang tinggal di kota. Beda sekali dengan sutra warna-warni yang dikenakannya ketika menjadi pelacur.

Ia berjongkok dalam posisi yang biasa dilakukan para penjaja, dan ia memegang keranjang yang tampaknya berat. Di dalam keranjang itu ia menjual remis besar, tiram laut, dan lumut laut. Dagangannya masih banyak, menunjukkan bahwa jualannya tidak begitu lancar.

Di punggungnya, ia menggendong bayi berumur sekitar setahun dengan selembar kain kotor.

Yang paling membuat jantung Matahachi berdentam lebih keras adalah anak itu. Ia hitung jumlah bulan, sambil menekankan kedua telapak tangannya ke pipi. Kalau anak itu umurnya jalan dua tahun, pasti terjadinya ketika mereka berdua tinggal di Edo... dan Akemi sedang mengandung ketika mereka dicambuk di depan umum dulu.

Sinar matahari petang yang terpantul dari sungai menari-nari di wajah Matahachi, hingga wajah itu seperti bermandikan air mata. Ia sudah tuli terhadap kesibukan lalu lintas di jalan. Akemi berjalan pelan sepanjang sungai. Matahachi menghampirinya sambil melambai-lambaikan tangan dan berteriak-teriak. Koetsu dan Gonnosuke mengikuti.

"Matahachi, mau ke mana?"

Matahachi sudah lupa sama sekali akan dua orang itu. la berhenti, dan menanti mereka menyusulnya. "Maaf," gumamnya. "Terus terang..." Terus terang? Bagaimana mungkin ia menjelaskan pada mereka, apa yang akan dilakukannya sementara dirinya pun tak dapat menjelaskannya pada diri sendiri? Pada waktu itu ia tidak dapat memilah-milah perasaannya, namun akhirnya terlontar dari mulutnya, "Saya sudah memutuskan untuk tidak menjadi pendeta... dan akan kembali menjalani hidup biasa. Saya belum ditakdirkan untuk itu."

"Kembali kepada hidup biasa?" seru Koetsu. "Begitu tiba-tiba? Hmm. Kau tampak aneh, Matahachi."

"Saya tidak bisa menjelaskan sekarang. Kalau saya jelaskan, barangkali akan kedengaran gila. Baru saja saya lihat perempuan yang pernah hidup bersama saya. Dan dia menggendong bayi. Saya pikir, itu pasti anak saya."

"Kau yakin itu?"

"Ya, yah...."

"Nah, tenangkan hatimu, dan pikirkan. Apa itu betul-betul anakmu?"

"Ya! Saya sudah jadi ayah... Maaf. Saya tidak tahu.... Saya malu. Tak dapat saya membiarkan dia menempuh hidup semacam itu—menjual dagangan dengan keranjang, macam gelandangan biasa. Saya mesti kerja dan menolong anak saya."

Koetsu dan Gonnosuke saling pandang dengan cemas. Walau tidak yakin benar apakah Matahachi masih lurus otaknya, kata Koetsu, "Kuharap kau sadar, apa yang sedang kauperbuat."

Matahachi melepaskan jubah pendeta yang menutup kimononya yang biasa, dan menyerahkannya kepada Koetsu, bersama tasbihnya. "Saya minta maaf karena menyusahkan Bapak, tapi apa boleh saya minta tolong menyampaikan ini kepada Gudo di Kuil Myoshinji? Saya akan berterima kasih kalau Bapak sudi menyampaikan kepadanya bahwa saya akan tinggal di Osaka ini, mencari pekerjaan dan menjadi ayah yang baik."

"Kau betul-betul mau melakukan ini? Meninggalkan kependetaan begitu saj a?"

"Ya. Biar bagaimana, Guru mengatakan pada saya, saya dapat kembali pada kehidupan biasa, kapan saja saya mau."

"Hmm."

"Beliau mengatakan kita tidak mesti berada dalam kuil untuk mempraktekkan ajaran keagamaan. Itu lebih sukar, tapi beliau mengatakan, yang lebih terpuji adalah mampu mengendalikan diri dan menjaga iman di tengah kebohongan, kemesuman, dan pertentangan-segala yang buruk di dunia luar itu-daripada di lingkungan kuil yang bersih dan murni."

"Saya yakin dia benar."

"Sampai sekarang ini, sudah setahun saya tinggal bersama beliau, tapi beliau belum memberikan nama pendeta pada saya. Beliau selalu menyebut saya Matahachi. Barangkali ada sesuatu yang bakal terjadi di masa depan, yang tidak saya mengerti. Waktu itulah saya akan pergi menemuinya. Boleh saya minta tolong menyampaikan hal itu kepada beliau?"

Dan dengan kata-kata itu, Matahachi pergi.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP