Tantangan
BEBERAPA hari saja
Iori sudah bosan tinggal di kediaman Hojo. Tak ada yang dilakukannya, kecuali
bermain.
"Kapan Takuan
kembali?" tanyanya pada Shinzo pada suatu pagi, karena ia memang ingin
mengetahui kabar Musashi.
"Ayahku masih
ada di benteng, jadi kukira Takuan masih di sana juga," kata Shinzo.
"Nantilah, mereka pasti kembali. Bagaimana kalau kau menghibur diri dengan
main bersama kuda-kuda itu?"
Maka Iori berlari ke
kandang, dan segera melemparkan pelana berpernis dan berindung mutiara ke
punggung kuda jantan yang disukainya. Ia sudah mengendarai kuda itu hari
sebelumnya dan sebelumnya lagi, tanpa memberitahu Shinzo. Izin itu membuatnya
merasa bangga. Ia pun naik, lalu melintas ke luar gerbang belakang dengan
mencongklang penuh.
Rumah-rumah daimyo, jalan-jalan
yang melintasi perladangan, sawahsawah, hutan-hutan-semuanya dengan cepat ia
lintasi bergantian, dan ia tinggalkan di belakang. Labu ular yang merah
cemerlang dan rumput yang cokelat muda menandakan bahwa musim gugur sedang
memuncak sehebathebatnya. Punggung Gunung Chichibu menjulang di sebelah Dataran
Musashino. "Tentunya dia di pegunungan sana itu," pikir Iori. Ia
membayangkan guru yang dicintainya itu dalam penjara, dan air mata di pipinya
membuat angin terasa dingin menyejukkan.
Apa salahnya bertemu
dengan Musashi? Tanpa memikirkan lebih lanjut, ia melecut kudanya, dan kuda
beserta pengendaranya terbang menempuh lautan perak elalia lembut.
Sesudah menempuh
jarak satu kilometer dengan kecepatan penuh, ia mengekang kudanya, pikirnya,
"Barangkali dia kembali ke rumah itu."
Ia mendapati rumah
baru itu sudati selesai, tapi tidak ditinggali. Di sawah terdekat, ia berseru
kepada para petani yang sedang menuai padi, "Apa ada di antara bapak-bapak
yang melihat guru saya?" Mereka menjawab dengan gelengan sedih.
Kalau begitu,
mestinya di Chichibu. Dengan kuda ia dapat menempuh jarak itu dalam sehari.
Sebentar kemudian, ia sampai di Kampung Nobidome. Jalan masuk ke kampung sesak
dipenuhi kuda tunggang samurai, kuda beban, peti perjalanan, joli, dan sekitar
empat puluh sampai lima puluh samurai yang sedang makan siang. Ia memandang ke
sekitar, untuk mencari jalan kampung.
Tiga-empat orang
membantu samurai berlari mengejarnya.
"Hai, bajingan!
Tunggu!"
"Kalian sebut
apa aku?" tanya Iori marah.
"Turun dari kuda
itu!" Mereka sudah ada di kedua sisinya sekarang.
"Kenapa begitu?
Aku tidak kenal kalian."
"Pokoknya tutup
mulutmu, dan turun!"
"Tidak! Mana
bisa!"
Belum lagi Iori tahu
apa yang terjadi, salah seorang dari mereka sudah menangkap kaki kanannya
tinggi-tinggi, hingga ia terjungkal ke sisi lain kudanya.
"Ada yang mau
ketemu denganmu. Ayo ikut aku." Dipegangnya kerah Iori, dan diseretnya
anak itu ke warung teh di pinggir jalan.
Osugi berdiri di luar
warung, memegang tongkat. Ia suruh pergi para
pembantu dengan
gerakan tangannya yang tidak memegang tongkat. Ia mengenakan pakaian
perjalanan, dan berada di tengah semua samurai itu. Iori tidak tahu mesti
berbuat apa, dan ia tak punya waktu buat memikirkannya.
"Anak
bandel!" kata Osugi, lalu dipukulnya bahu Iori keras-keras dengan
tongkatnya. Iori membuat gerakan pasang kuda-kuda, walaupun tahu ia betul-betul
kalah jumlah. "Musashi cuma punya murid terbaik. Ha! Kudengar kau seorang
dari muridnya."
"Ah... Saya
takkan bicara begitu, seandainya saya ini Nenek."
"Oh, takkan
bicara, ya?"
"Saya... saya
tak punya urusan dengan Nenek."
"Oh, ada! Kau
mesti mengatakan beberapa hal pada kami. Siapa yang menyuruhmu mengikuti
kami?"
"Mengikuti
kalian?" dengus Iori menghina.
"Berani amat kau
bicara begitu!" pekik perempuan tua itu. "Apa Musashi tak pernah
mengajarkan kesopanan padamu?"
"Saya tidak
butuh pelajaran dari Nenek. Saya mau pergi sekarang."
"Kau takkan
pergi!" teriak Osugi yang segera memukul tulang kering Iori dengan
tongkatnya.
"O-w-w!"
Iori runtuh ke tanah.
Para pembantu
mencekal anak itu, dan menyeretnya ke bengkel kilang di dekat gerbang kampung.
Di situ duduk seorang samurai yang agaknya berpangkat tinggi. Ia baru selesai
makan, dan sedang menghirup air panas. Melihat keadaan Iori, ia menyeringai.
"Berbahaya,"
pikir anak itu, ketika matanya bertemu dengan mata Kojiro.
Dengan tampang penuh
kemenangan, Osugi mendongakkan dagunya, katanya, "Lihat! Tepat seperti
yang kuduga—Iori! Apa yang mau dilakukan Musashi sekarang? Siapa lagi kalau
bukan dia yang mengirim anak ini buat mengikuti kita?"
"Ya," gumam
Kojiro sambil mengangguk, lalu menyuruh para pembantu pergi. Seorang pembantu
bertanya, apakah ia menghendaki anak itu diikat. Kojiro tersenyum dan
menggelengkan kepala. Ia tak dapat berdiri tegak, apalagi lari.
Kata Kojiro,
"Kau dengar apa kata Nenek. Apa itu betul?"
"Tidak. Saya
cuma jalan-jalan berkuda. Saya tidak mengikuti kalian atau siapa pun."
"Hmm, mungkin
juga. Kalau Musashi memang seorang samurai, dia tak akan menggunakan tipu daya
murahan." Kemudian ia mulai bersoal-jawab sendiri. "Sebaliknya, kalau
dia dengar kami tiba-tiba berangkat dengan serombongan samurai Hosokawa, dia
mungkin curiga dan mengirimkan orang untuk memeriksa gerakan kami. Itu wajar sekali."
Perubahan yang
terjadi pada Kojiro sungguh mencolok. Ia tidak lagi mengenakan jambul,
sebaliknya kepalanya tercukur seperti wajarnya seorang samurai. Dan sebagai
ganti pakaian mencolok yang biasa dikenakannya, kini ia mengenakan kimono
hitam. Hakama kasar yang dikenakannya menimbulkan kesan amat konservatif. Galah
Pengering disandangnya di sisi. Keinginannya untuk menjadi pengikut Keluaarga
Hosokawa telah terlaksana—bukan dengan imbalan lima ribu gantang seperti
dikehendakinya, melainkan imbalan sekitar separuh jumlah itu.
Rombongan yang
dipimpin Kakubei itu rombongan pendahuluan yang sedang dalam perjalanan ke
Buzen, untuk mempersiapkan kembalinya Hosokawa Tadatoshi. Karena prihatin akan
umur ayahnya, ia menyampaikan permohonan kepada shogun beberapa waktu
sebelumnya. Izin akhirnya diberikan, suatu petunjuk bahwa shogun tidak memiliki
prasangka apa pun terhadap kesetiaan Keluarga Hosokawa.
Osugi minta ikut
serta, karena ia memang merasa harus pulang. Ia tidak melepaskan kedudukannya
sebagai kepala keluarga, namun sudah hampir sepuluh tahun ia tidak hadir di
tempat. Paman Gon-lah yang mestinya mengurus segala sesuatu atas namanya, jika
orang itu masih hidup. Karena Paman Gon sudah meninggal, ia menduga kini banyak
soal keluarga yang butuh perhatiannya.
Mereka akan melewati
Osaka, di mana ia meninggalkan abu Paman Gon. Ia akan dapat membawa abu itu ke
Mimasaka dan mengadakan upacara doa. Sudah lama juga ia menelantarkan upacara
doa untuk nenek moyangnya. Ia dapat kembali mengadakan pencarian nanti, sesudah
membereskan soal-soal di rumah.
Baru-baru ini ia
merasa senang-dengan dirinya, karena menurut keyakinannya ia telah menjatuhkan
pukulan keras terhadap Musashi. Mula-mula, ketika mendengar tentang usulan itu
dari Kojiro, ia merasa semangatnya akan runtuh. Kalau Musashi memperoleh
pengangkatan, berarti Musashi akan semakin tak terjangkau olehnya.
Maka ia memutuskan
untuk mencegah agar tidak terjadi bencana pada shogun dan seluruh bangsa. Ia
belum bertemu dengan Takuan, tapi ia telah mengunjungi keluarga Yagyu maupun
Hojo, untuk mencela Musashi dan menyatakan bahwa mengangkat Musashi untuk
kedudukan tinggi berarti kebodohan berbahaya. Belum puas dengan hal itu, ia
mengulangi fitnah-fitnahnya di rumah setiap menteri pemerintah yang mengizinkan
ia masuk pintu gerbang.
Tentu saja Kojiro
tidak berusaha mencegahnya, namun tidak pula memberikan dorongan khusus
kepadanya, karena ia tahu Osugi takkan mau berhenti sebelum menuntaskan
misinya. Dan ia amat serius menjalaninya: ia bahkan menulis surat-surat jahat
tentang masa lalu Musashi, dan melemparkan surat-surat itu ke pekarangan
Komisaris Edo dan para anggota Dewan Sesepuh. Sebelum ia selesai dengan
pekerjaannya, Kojiro sendiri sampai bertanya-tanya, apakah perempuan itu tidak
melangkah terlalu jauh.
Kojiro mendorong
Osugi ikut dalam perjalanan itu, karena ia percaya akan lebih baik kalau Osugi
kembali ke kampung. Di sana ia tidak akan terlalu menimbulkan kerugian.
Kalaupun ada yang disesali Osugi, itu karena Matahachi tidak pergi bersamanya;
ia masih yakin bahwa suatu hari nanti, Matahachi akan sadar dan kembali
kepadanya.
Iori sendiri tak
mungkin tahu keadaan yang melingkunginya. Ia tak dapat melarikan diri, dan
segan menangis, karena takut hal itu merusak nama Musashi. Kini ia merasa
tertangkap di tengah musuh.
Kojiro dengan sengaja
memandang langsung mata itu, dan alangkah herannya ia, karena tatapan matanya
mendapat balasan. Tak sekali pun mata Iori goyah.
"Ibu punya kuas
dan tinta?" tanya Kojiro pada Osugi.
"Ya, tapi
tintanya sudah kering. Kenapa?"
"Saya mau
menulis surat. Papan pengumuman yang dipasang anak buah Yajibei itu tidak
membuat Musashi keluar, dan saya tidak tahu di mana dia berada sekarang. Di
sini Iori bisa menjadi utusan terbaik. Saya akan kirim surat pada Musashi,
berkenaan dengan keberangkatan saya dari Edo."
"Apa yang hendak
kautuliskan?"
"Biasa saja.
Akan saya minta dia berlatih pedang dan mengunjungi saya di Buzen hari-hari
ini. Akan saya beritahukan padanya, saya bersedia menunggunya sepanjang sisa
hidup saya. Dia bisa datang kapan saja, kalau dia sudah merasakan keyakinan
yang dibutuhkannya."
Osugi melambungkan
tangannya dengan ngeri. "Bagaimana mungkin kau bicara begitu? Seluruh sisa
hidupmu! Ya, ya! Aku tak punya waktu sebanyak itu buat menunggu. Aku harus
lihat Musashi mati, paling lama dalam dua atau tiga tahun ini."
"Serahkan soal
itu pada saya. Akan saya urus, sementara saya mengurus urusan saya."
"Apa kau tidak
lihat, aku bertambah tua? Mesti dilakukan selagi aku masih hidup."
"Kalau Ibu bisa
menjaga diri, Ibu akan hadir waktu pedang saya yang tak terkalahkan ini
melakukan tugasnya."
Kojiro mengeluarkan
kantung tulisnya dan pergi ke sungai terdekat. Di situ ia basahi jarinya untuk
membasahi potongan tinta. Sambil berdiri, ia keluarkan kertas dari kimononya.
Ia menulis cepat, namun tulisan dan susunan kata-katanya benar-benar goresan
seorang ahli.
"Kau bisa pakai
ini buat lem," kata Osugi, mengeluarkan beberapa butir nasi dan
meletakkannya di selembar daun. Kojiro meremas nasi itu dengan jari-jarinya,
mengoleskannya sepanjang tepi surat, dan menutup surat itu. Di belakang
ditulisnya: Dari Sasaki Ganryu. Abdi Keluarga Hosokawa.
"Hei, sini kau!
Kau takkan diapa-apakan. Tapi bawa surat ini pada Musashi, dan jaga betul
supaya sampai, karena surat ini penting."
Iori mundur sejenak,
tapi kemudian bergumam menyatakan kesediaannya, dan mengambil surat itu dari
tangan Kojiro. "Apa isinya?"
"Seperti
kukatakan pada ibu tua tadi."
"Boleh saya
lihat?"
"Kau tak boleh
membuka lemnya."
"Kalau tulisanmu
menghina, saya tak mau membawanya."
"Tak ada yang
kasar dalam surat itu. Kuminta dia ingat pada janji kami untuk masa depan, dan
kukatakan padanya, aku menanti bertemu lagi dengan dia, barangkali di Buzen,
kalau kebetulan dia datang ke sana."
"Apa maksudmu
dengan bertemu lagi dengan dia?"
"Maksudku,
bertemu dengan dia di batas antara hidup dan mati." Pipi Kojiro memerah
sedikit.
Sambil memasukkan
surat itu ke dalam kimononya, Iori berkata, "Baik, akan saya
sampaikan," lalu ia berlari pergi. Baru sekitar tiga puluh meter ia
berhenti, menoleh, dan menjulurkan lidahnya kepada Osugi, "Tukang sihir
tua gila!" teriaknya.
"A-apa?"
kata Osugi, yang lalu siap mengejarnya, tapi Kojiro memegang tangannya dan
menahannya.
"Biarlah,"
kata Kojiro disertai senyum sedih. "Dia cuma anak kecil." Kemudian
teriaknya pada Iori, "Apa tak bisa kau mengatakan yang lebih baik dari
itu?"
"Tak
bisa...." Air mata marah menggejolak dari dalam dada Iori. "Tapi kau
akan menyesal. Musashi tidak bakal kalah dengan orang macam kau."
"Kau mirip dia
rupanya? Pantang menyerah. Tapi aku senang melihat caramu membela dia. Kalau
nanti dia mati, datanglah padaku. Akan kuberi kau kerja menyapu halaman, atau
yang lain."
Iori tak mengerti
bahwa Kojiro hanya bergurau, dan ia pun merasa sangat terhina. Dipungutnya
batu. Tapi, ketika ia mengangkat tangan untuk melemparkannya, Kojiro
menatapnya.
"Jangan lakukan
itu!" katanya dengan suara tenang, tapi mantap.
Iori merasa kedua
mata itu menembusnya seperti dua butir peluru; ia menjatuhkan batu itu dan
lari. Ia lari terus, sampai akhirnya ia kehabisan tenaga dan roboh di tengah
Dataran Musashino.
Dua jam lamanya ia
duduk di sana, memikirkan orang yang ia anggap sebagai gurunya. Walaupun ia
tahu Musashi punya banyak musuh, ia menganggap Musashi orang besar, dan ia
ingin dirinya menjadi orang besar juga. Karena merasa mesti melakukan sesuatu
untuk memenuhi kewajiban kepada gurunya dan menjamin keselamatannya, ia
memutuskan untuk mengembangkan kekuatannya sendiri secepat mungkin.
Kemudian kenangan
tentang sorot mata Kojiro yang mengerikan kembali menghantuinya. Ia
bertanya-tanya, dapatkah Musashi mengalahkan orang sekuat itu. Dengan kecil
hati ia menyimpulkan, bahkan gurunya pun akan terpaksa belajar dan berlatih
lebih keras. Ia berdiri.
Kabut putih yang
turun dari pegunungan itu menyebar ke seluruh dataran. Ia putuskan untuk jalan
terus ke Chichibu, menyampaikan surat Kojiro itu, tapi tiba-tiba ia teringat
kudanya. Ia kuatir para bandit sudah menguasai kuda itu, karena itu ia setengah
mati mencarinya, memanggil dan menyiulinya setiap dua kali melangkah.
Ia merasa mendengar
suara sepatu kuda dari arah yang menurutnya sebuah kolam. Ia lari ke sana. Tapi
ternyata tak ada kuda, juga tak ada kolam. Kabut yang berkelap-kelip menarik
diri ke kejauhan.
Dilihatnya benda
hitam bergerak, dan didekatinya. Seekor babi hutan berhenti menggusur makanan
dan mengamuk ganas di dekatnya. Kemudian babi hutan itu tertelan rumpun buluh,
dan sesudah itu membentuk garis putih, seolah-olah ditaburkan lewat tongkat
tukang sulap. Begitu ditatapnya benda itu, sadarlah ia bahwa ada suara gemercik
air. Ia mendekat, dan tampak olehnya bayangan bulan di sungai gunung.
Sejak dulu ia selalu
peka terhadap misteri yang ada di dataran terbuka. Ia yakin benar bahwa kumbang
tutul yang sekecil-kecilnya pun memiliki kekuatan spiritual dewa-dewa. Dalam
pandangannya, tak ada suatu pun yang tak berjiwa, termasuk dedaunan yang
bergoyang, air yang memberi isyarat, atau angin yang bertiup. Kini, di tengah alam,
ia dapat merasakan sepinya musim gugur yang hampir lewat, juga kekecewaan muram
yang tentunya dirasakan oleh rumput, serangga, dan air.
Ia tersedu-sedan
demikian keras, hingga bahunya berguncang-tapi air matanya air mata manis,
bukan air mata pahit. Sekiranya waktu itu ada makhluk lain yang bukan
manusia-barangkali sebuah bintang atau roh dataran-bertanya kepadanya kenapa ia
menangis, pasti ia tak dapat menjawabnya. Tapi kalau roh yang selalu ingin tahu
itu berkeras bertanya, diiringi belaian dan bujukan, akhirnya ia akan
mengatakan, "Aku sering menangis kalau berada di tempat terbuka. Aku
selalu merasa rumah di Hotengahara itu ada di dekatku."
Menangis merupakan
penyegar jiwanya. Sesudah ia menangis sepuaspuasnya, langit dan bumi akan
menghiburnya. Apabila air matanya sudah kering, semangatnya akan muncul kembali
dari tengah awan, bersih dan segar.
"Itu Iori,
kan?"
"Saya kira
begitu."
Iori menoleh ke arah
suara-suara iru. Kedua sosok itu berdiri tegak, hitam, dengan latar belakang
langit petang.
"Sensei!"
teriaknya. Iori lalu mendapatkan orang yang duduk di pelana itu.
"Bapak!" Tak tahan lagi karena gembira, ia bergayut ke sanggurdi
untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak bermimpi.
"Ada apa?"
tanya Musashi. "Apa kerjamu di sini sendirian?" Wajah Musashi tampak
kurus sekali—apakah karena cahaya bulan? Tapi kehangatan suaranya itulah yang
selama berminggu-minggu ingin sekali didengar Iori. "Saya bermaksud pergi
ke Chichibu..." Sampai di situ, Iori melihat sadel kuda itu. "Lho,
ini kuda yang saya naiki tadi!"
Sambil tertawa, kata
Gonnosuke, "Ini kudamu?"
"Ya."
"Kami tidak tahu
milik siapa kuda ini. Dia berkelana dekat Sungai Iruma, maka saya anggap dia
hadiah dari langit untuk Musashi."
"Dewa dataran
ini yang tentunya mengirimkan kuda ini buat menjemput Bapak," kata Iori
penuh ketulusan.
"Kaubilang ini
kudamu? Pelananya ini tak mungkin milik seorang samurai yang penghasilannya
kurang dari lima ribu gantang."
"Memang kuda ini
milik Shinzo."
Sambil turun, tanya
Musashi, "Kalau begitu, kau tinggal di rumahnya?"
"Ya, Takuan yang
membawa saya ke situ."
"Bagaimana
dengan rumah baru kita?"
"Sudah
selesai."
"Bagus. Kita
bisa kembali ke sana."
"Sensei."
"Ya."
"Bapak begitu
kurus. Kenapa?"
"Aku cukup lama
bersemadi."
"Bagaimana Bapak
keluar dari penjara?"
"Nanti kau dapat
mendengarnya dari Gonnosuke. Untuk sementara, kita anggap saja dewa-dewa ada di
pihakku."
"Kau tak perlu
kuatir, Iori," kata Gonnosuke. "Tak ada yang menyangsikan bahwa dia
tak bersalah."
Karena merasa lega,
Iori jadi suka bicara. Ia bercerita tentang pertemuannya dengan Jotaro, dan
tentang kepergian Jotaro ke Edo. Ketika ceritanya sampai pada "perempuan
tua menjijikkan" yang datang ke kediaman Hojo itu, ingatlah ia akan surat
Kojiro.
"Oh, saya sampai
lupa!" serunya, lalu menyerahkan surat itu kepada Musashi.
"Surat dari
Kojiro?" Dengan heran Musashi memegang surat itu beberapa saat,
seolah-olah surat itu dari seorang sahabat yang lama hilang.
"Di mana kau
ketemu dia?" tanyanya.
"Di Kampung
Nobidome. Perempuan tua jelek itu ada bersamanya. Kojiro bilang, dia akan pergi
ke Buzen."
"Oh?"
"Dia bersama
banyak samurai Hosokawa... Sensei, lebih baik Bapak hati-hati, dan jangan ambil
risiko."
Musashi memasukkan
surat itu, tanpa dibuka, ke dalam kimononya dan mengangguk.
Karena merasa belum
pasti, apakah maksudnya dimengerti, Iori berkata lagi, "Kojiro itu kuat
sekali, kan? Apa dia punya masalah dengan Bapak?" Lalu ia bercerita pada
Musashi sampai sekecil-kecilnya tentang perjumpaannya dengan musuh itu.
Sesampai mereka di
pondok, Iori turun ke kaki bukit, mencari makanan, sementara Gonnosuke mengumpulkan
kayu dan mengambil air.
Mereka duduk
melingkar sekitar api yang menyala terang di perapian. Mereka menikmati
kegembiraan itu, karena masing-masing dari mereka sehat tak kurang suatu apa.
Justru waktu itulah Iori melihat bekas-bekas luka yang masih baru, dan
tanda-tanda memar di tangan dan leher Musashi.
"Bagaimana Bapak
mendapat tanda-tanda itu?" tanyanya. "Sekujur tubuh Bapak penuh tanda
itu."
"Ah, ini tidak
begitu penting. Apa kuda sudah kauberi makan?"
"Sudah."
"Besok mesti
kaukembalikan."
Hari berikutnya,
pagi-pagi Iori sudah menaiki kuda itu dan mencongklang sebentar menjelang makan
pagi. Begitu matahari sudah di atas kaki langit, ia hentikan kuda itu, dan ia
terperangah kagum. Ia pacu kudanya pulang ke pondok, pekiknya, "Sensei! Bangun!
Cepat! Mataharinya seperti waktu kita melihatnya dan atas gunung di Chichibu.
Matahari itu... besar sekali, seperti mau menggelinding di atas dataran.
Bangun, Gonnosuke!"
"Selamat
pagi!" kata Musashi dari belukar tempat ia berjalan-jalan. Karena terlalu
girang, Iori lupa makan pagi, katanya, "Saya pergi sekarang," lalu
berangkat.
Musashi memperhatikan
ketika anak itu, bersama kudanya, akhirnya tinggal seperti sosok burung gagak
di pusat matahari. Noda hitam itu makin lama makin kecil, sampai akhirnya tertelan
oleh bulatan menyala yang mahabesar.
0 komentar:
Posting Komentar