Api Pembasuh
ORANG itu mengatupkan
gigi erat-erat, menanti sumbu yang sudah menyala mendesis. Ia bersiap
menembakkan lagi bedilnya. Temannya merunduk dan menjeling ke kejauhan.
Bisiknya, "Kaupikir aman?"
"Aku yakin sudah
kena dengan tembakan pertama tadi," terdengar jawaban yakin.
Kedua orang itu
merangkak hati-hati ke depan, tapi begitu mereka sampai ujung tepi sungai,
Musashi meloncat naik. Pembawa bedil tergagap dan menembak, tapi kehilangan
keseimbangan, hingga peluru melejit tanpa guna ke udara. Suara gema bersahut-sahutan
di dalam lembah, dan dua orang dari warung teh itu pun lari ke atas.
Tiba-tiba seorang di
antaranya berhenti dan berteriak, "Tunggu! Buat apa kita lari? Kita
berdua, dan dia sendiri. Aku hadapi dia, dan kau membantu."
"Aku
bersamamu!" teriak pembawa bedil. Ia melepaskan sumbu dan membidikkan
gagang bedilnya kepada Musashi.
Pasti mereka agak
lebih tinggi dari sekadar penjahat. Menurut dugaan Musashi, mereka pemimpin
gerombolan. Kedua orang itu dapat menggunakan pedang dengan kemahiran sejati, namun
mereka sama sekali bukan tandingan Musashi. Dengan satu kali pukulan pedang
saja, mereka berdua sudah melayang ke udara. Pembawa bedil terbelah dari bahu
sampai pinggang, kemudian jatuh tewas ke tanah, sementara bagian atas tubuhnya
tergantung-gantung di tepi sungai, seperti pada selembar benang. Orang satunya
lari mendaki lereng, sambil mencengkeram lengan bawahnya yang terluka, dikejar
cepat oleh Musashi. Hujan debu dan pasir menjulang, lalu jatuh lagi di
belakangnya.
Lembah bernama Lembah
Buna itu terletak di tengah jalan antara Celah Wada dan Daimon. Namanya diambil
dari pohon-pohon yang menutupnya. Pada puncaknya yang tertinggi, dikelilingi
pepohonan, berdiri sebuah pondok besar dan kasar, terbuat dari balok-balok
kayu.
Sambil berlari cepat
ke nyala obor, bandit itu berteriak, "Padamkan api!"
Seorang perempuan
melindungi nyala api itu dengan lengan baju yang direntangkan, dan serunya,
"Ah, kau—oh, kau berlumuran darah!"
"D—diam kau,
tolol! Matikan lampu—yang di dalam juga." Hampir ia tak dapat mengeluarkan
kata-kata, karena terengah-engah. Ia menoleh sekali lagi ke belakang, dan
meluncur terus melewati perempuan itu. Perempuan itu mematikan obor dan
bergegas mengejarnya.
Begitu Musashi sampai
di pondok itu, tak satu cahaya pun tampak.
"Buka!"
teriaknya. Ia marah, bukan karena dianggap orang tolol, atau karena serangan
pengecut yang dilancarkan kepadanya, melainkan karena orang-orang seperti itu
setiap hari mendatangkan kerugian besar kepada musafir yang tak bersalah.
Sebetulnya bisa saja
ia merusak tirai hujan yang terbuat dari kayu itu, tapi ia tidak mau menyerang
dari depan, hingga bagian belakangnya bisa berada dalam bahaya, melainkan
secara hati-hati menjaga jarak dua-tiga meter.
"Buka!"
Karena tak ada
jawaban, dipungutnya batu terbesar yang dapat diangkatnya, dan dilontarkannya
ke tirai itu. Batu menghantam celah antara dua papan, hingga lelaki dan
perempuan itu sempoyongan masuk rumah. Sebilah pedang terbang dari bawah
mereka, disusul lelaki itu merangkak di lantai. Tapi ia cepat dapat berdiri
kembali dan mengundurkan diri ke dalam rumah. Musashi meloncat maju dan
menangkap belakang kimononya.
"Jangan bunuh
aku! Ampun!" mohon Gion Toji. Suaranya merengek seperti suara bangsat
kecil-kecilan.
Segera kemudian ia
berhasil berdiri lagi, dan mencoba menemukan titik lemah Musashi. Musashi
menangkis setiap gerakannya, tapi ketika ia mendesak terus ke depan untuk
mengimpit lawan, Toji mengerahkan segala kekuatannya dan menarik pedang
pendeknya, serta membuat tusukan keras. Musashi mengelak dengan cekatan,
menyapunya dengan kedua lengannya. dan dengan teriakan menghina membantingnya
ke kamar sebelah. Lengan atau kakinya barangkali menghantam penggantung kuali,
karena tiang bambu tempat bergantungnya kuali itu patah. Suaranya berderak. Abu
putih mengepul naik dari perapian, seperti asap gunung berapi.
Rentetan benda yang
dilemparkan menerjang asap dan abu memaksa Musashi bertahan. Ketika abu sudah
turun, ia lihat lawannya sudah bukan lagi kepala bandit yang kini sudah
telentang di dekat dinding. Sambil memaki-maki, perempuan itulah yang
melemparkan segala yang dapat dipegangnya-tutup kuali, kayu bakar, supit logam,
mangkuk teh.
Musashi melompat ke
depan dan cepat mengimpitnya ke lantai, tapi perempuan itu berhasil menarik
tusuk konde dari rambutnya dan menusuk Musashi. Musashi menginjakkan kakinya ke
pergelangan tangan perempuan itu, dan perempuan itu mengertakkan giginya,
kemudian berteriak marah dan muak kepada Toji yang sudah tak sadar, "Tak
punya nyali kau? Bagaimana mungkin kau kalah dari orang tak punya nama macam
ini?"
Mendengar suaranya,
Musashi tiba-tiba menarik napas panjang dan melepaskannya. Perempuan itu
bangkit berdiri, mencabut pedang pendeknya, dan menerjangnya.
"Hentikan,
Bu," kata Musashi.
Kaget mendengar nada
biasa yang sopan itu, perempuan itu berhenti dan melongo melihat Musashi.
"Lho, ini... ini
kan Takezo!"
Dugaan Musashi benar.
Di luar Osugi, satu-satunya perempuan yang masih mungkin menyebutnya dengan
nama kecilnya adalah Oko.
"Oh, benar
Takezo!" seru Oko, suaranya jadi manis sekali. "Namamu sekarang
Musashi, kan? Kau sudah jadi pemain pedang besar, ya?"
"Apa kerja Ibu
di tempat macam ini?"
"Malu aku mengatakannya."
"Apa yang
terbaring itu suami Ibu?"
"Kau tentunya mengenal
dia. Itulah sisa orang yang namanya Gion Toji."
"Itu Toji?"
bisik Musashi. Ia pernah mendengar di Kyoto bahwa Toji adalah bajingan yang
telah mengantongi uang yang dikumpulkannya untuk memperbesar perguruan dan
melarikan diri dengan Oko. Namun, melihat manusia yang sudah jadi rongsokan di
dekat dinding itu, tak dapat tidak ia merasa kasihan. "Lebih baik Ibu urus
dia," katanya, "Kalau saya tahu dia suami Ibu, tak akan saya berlaku
kasar kepadanya."
"Oh, ingin aku
merangkak masuk lubang, menyembunyikan diri," kata Oko, tersenyum palsu.
Ia pergi ke sisi
Toji, memberikan air, dan membalut luka-lukanya. Ketika Toji mulai siuman, ia
pun bercerita siapa Musashi.
"Apa?"
teriaknya parau. "Miyamoto Musashi? Orang yang... oh, memalukan!"
Sambil menutup muka dengan tangan, ia meringkuk hina-dina.
Musashi melupakan
kemarahannya, dan membiarkan dirinya diperlakukan sebagai tamu terhormat. Oko
menyapu lantai, membereskan perapian, memasukkan kayu api baru, dan
menghangatkan sake.
Sambil mengangsurkan
mangkuk kepada Musashi, katanya santun, "Kami tak dapat menyuguhkan
apa-apa, tapi..."
"Saya sudah
cukup makan-minum di warung teh tadi," jawab Musashi sopan. "Tak usah
repot-repot."
"Tapi kuharap
kau mau makan makanan yang kusiapkan. Begitu lama kita tidak bertemu." Ia
menggantungkan kuali rebusan pada gantungan kuali, kemudian duduk di samping
Musashi dan menuangkan sake.
"Ini
mengingatkan saya pada masa lalu di Gunung Ibuki," kata Musashi ramah.
Angin keras bertiup.
Walaupun tirai-tirai sudah kembali ke tempat masing-masing, angin bertiup masuk
lewat berbagai celah dan mempermainkan asap perapian, sementara asap itu naik
ke langit-langit.
"Tak usah aku
diingatkan pada waktu itu," kata Oko. "Tapi apa kau mendengar sesuatu
tentang Akemi? Bisa kau memperkirakan di mana dia sekarang?"
"Saya dengar dia
menginap beberapa hari di penginapan Gunung Hiei. Dia dan Matahachi rencananya
akan ke Edo. Tapi rupanya dia lari membawa semua uang Matahachi."
"Oh?" kata
Oko kecewa. "Dia juga!" Dan ia menatap lantai, dengan sedih
membandingkan hidup anaknya dengan hidupnya sendiri.
Ketika Toji sudah
cukup pulih, ia menggabungkan diri dengan mereka dan minta maaf kepada Musashi.
Menurut pengakuannya, ia bertindak atas dorongan seketika, dan sekarang ia
menyesalinya. Ia meyakinkan tamunya bahwa akan tiba waktu baginya untuk kembali
memasuki masyarakat sebagai Gion Toji yang pernah dikenal dunia.
Musashi diam saja,
tapi sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa tak banyak yang dapat dipilih antara
Toji samurai dan Toji bandit. Tapi kalau Toji benar-benar kembali ke kehidupan
prajurit, jalanan akan jauh lebih aman bagi para musafir.
Dengan sikap agak
lunak karena sake, katanya pada Oko, "Saya pikir akan bijaksana kalau Ibu
meninggalkan cara hidup yang berbahaya ini."
"Kau benar, tapi
tentu saja saya hidup macam ini bukan atas dasar pilihan. Ketika meninggalkan
Kyoto, kami bermaksud mengadu untung di Edo. Tetapi di Suwa, Toji mulai berjudi
dan menghabiskan semua uang kami-uang perjalanan. Aku bermaksud mengusahakan
moxa, karena itu kami mulai mengumpulkan ramuan dan menjualnya di kota. Oh, aku
sudah cukup banyak mengikuti rencana-rencananya buat kaya mendadak. Sesudah peristiwa
malam ini, aku muak." Seperti biasa, beberapa tegukan sake mendatangkan
nada genit dalam pembicaraannya, dan mulailah ia memasang pesona.
Oko adalah jenis
perempuan yang umurnya tidak bisa ditentukan, dan ia masih berbahaya. Seekor
kucing rumahan akan bermain dengan sikap malu-malu di pangkuan tuannya, selama
diberi makan dan dipelihara, tapi kala dilepaskan di pegunungan, seketika ia
akan mencari mangsa malam hari dengan mata menyala, siap berpesta bangkai atau
mengoyak daging hidup para musafir yang jatuh sakit di pinggir jalan. Oko mirip
sekali dengan kucing.
"Toji,"
katanya mesra, "menurut Takezo, Akemi pergi ke Edo. Apa kita tak bisa
pergi ke sana, dan hidup seperti manusia lagi? Kalau kita dapa: menemukan
Akemi, aku yakin kita akan dapat menemukan usaha yang menguntungkan buat
kita."
"Barangkali
juga," terdengar jawaban lesu. Toji memeluk lutut sambil merenung.
Barangkali, bahkan bagi Toji, pikiran yang hendak dikemukakan Oko
itu—menjajakan tubuh Akemi—terasa
sedikit kasar. Sesudah hidup dengan perempuan ganas ini, Toji sendiri sudah
mulai merasa malu sebagaimana Matahachi.
Untuk Musashi,
ekspresi wajah Toji tampak pedih. Wajah itu mengingatkannya kepada Matahachi.
Ia bergidik saat teringat bagaimana ia pernah dipikat oleh pesona perempuan itu.
"Oko," kata
Toji sambil mengangkat kepala. "Sebentar lagi slang. Musashi barangkali
lelah. Bagaimana kalau disiapkan tempat untuknya di kamar belakang, supaya dia
dapat beristirahat?"
"Tentu."
Sambil melirik dengan mata hampir mabuk kepada Musashi, ia berkata, "Kau
mesti hati-hati, Takezo. Di belakang sana gelap."
"Terima kasih.
Barangkali saya bisa tidur sedikit."
Musashi mengikuti
perempuan itu menyusuri gang gelap ke belakang rumah. Kamar itu rupanya kamar
tambahan untuk pondok tersebut. Dari bawah, ruangan itu didukung oleh sejumlah
balok, dan dibangun menjorok ke atas lembah. Dari dinding luar ke sungai tingginya
sekitar dua puluh meter. Udara di situ lembap, akibat kabut dan cipratan air
yang mengembus masuk dari air terjun. Tiap kali deru angin meningkat sedikit,
ruangan kecil itu berguncang seperti perahu.
Kaki Oko yang putih
kembali melintasi lantai berbilah gang terbuka itu, ke kamar perapian.
"Sudah tidur
dia?"
"Kupikir
begitu," jawab Oko sambil berlutut di samping Toji, lalu berbisik ke
telinganya, "Apa yang mau kaulakukan?"
"Panggil yang
lain-lain."
"Kau mau
melaksanakannya?"
"Tentu saja! Ini
bukan hanya soal uang. Kalau aku bunuh si bangsat itu, berarti aku membalaskan
dendam Keluarga Yoshioka."
Oko menyingsingkan
rok kimononya, dan pergi ke luar rumah. Di bawah langit tak berbintang, jauh di
pegunungan itu, ia berlari kencang melintas angin hitam, seperti kucing setan,
rambut panjangnya berkibar-kibar.
Sudut dan celah di
sisi gunung itu tidak hanya dihuni oleh burung dan binatang liar. Sambil
berlari, Oko berhubungan dengan lebih dari dua puluh anggota gerombolan Toji.
Karena sudah terlatih dalam penggerebekan malam, gerakan mereka lebih tenang
daripada daun yang mengapung, menuju tempat di depan pondok.
"Cuma satu
orang?"
"Samurai?"
"Ada
uangnya?"
Percakapan yang
dilakukan dengan berbisik itu diiringi gerak-gerik penjelasan dan gerakan mata.
Sambil membawa bedil, belati, dan lembing yang biasa dipakai oleh pemburu babi
hutan, sebagian dari mereka mengepung kamar belakang. Sekitar separuhnya turun
ke lembah, dan dua orang berhenti di tengah, tepat di bawah kamar.
Lantai kamar itu
tertutup tikar gelagah. Sepanjang salah satu dindingnya terdapat
tumpukan-tumpukan kecil ramuan kering yang rapi, juga kumpulan lumpang dan
alat-alat lain untuk membuat obat. Musashi merasa terhibur mencium bau ramuan
yang menyenangkan. Bau itu seolah mengajaknya memejamkan mata dan tidur.
Tubuhnya terasa tumpul dan membengkak sampai ujung-ujung anggota badan. Tapi ia
sadar, tidak boleh menyerah pada ajakan manis itu.
Ia sadar, ada sesuatu
yang akan terjadi. Pengumpul ramuan dari Mimasaka tak pernah memiliki lumbung
macam ini. Lumbung mereka tak pernah terletak di tempat berkumpulnya
kelembapan, dan selamanya jauh dari tumbuh-tumbuhan berdaun rimbun. Dari terang
cahaya lampu kecil yang terletak di sebuah mangkuk penumbuk di samping bantal,
ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Siku-siku logam yang mengikat
kamar itu pada sudut-sudutnya dikelilingi sejumlah besar lubang paku. Ia juga
dapat melihat permukaan kayu yang masih baru, yang sebelumnya tentunya tertutup
meja-kursi. Maka tidak mungkin keliru makna yang tersembunyi di situ. Kamar itu
pernah dibangun kembali, barangkali berulang kali.
Senyuman kecil
tersungging di bibirnya, tapi ia tak bergerak.
"Takezo," panggil
Oko lembut. "Kau tidur, ya?" Digesernya pintu shoji pelan-pelan, lalu
la berjingkat menuju kasur dan meletakkan nampan di dekat kepala Musashi.
"Kutaruh air minum buatmu di sini," katanya. Musashi tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa ia masih terjaga.
Ketika Oko kembali ke
pondok, Toji berbisik, "Semuanya beres?"
Sambil memejamkan
mata sebagai penekanan, jawab Oko, "Dia tidur lelap."
Dengan pandangan
puas, Toji bergegas ke luar, menuju belakang pondok. Di situ ia melambaikan
sumbu bedil yang sudah dinyalakan. Melihat itu, orang-orang yang ada di bawah
menarik tiang-tiang pendukung kamar tersebut, hingga kamar runtuh ke dalam
lembah, dinding-dindingnya, kerangkanya, blandar bubungannya, semuanya.
Sambil bersorak penuh
kemenangan, yang lain-lain meloncat dari tempat-tempat persembunyian, seperti
pemburu keluar dari persembunyian buatan, dan menyerbu tepi sungai. Langkah
berikutnya adalah memungut mayat dan harta milik korban reruntuhan. Sesudah
itu, soal kecil mengumpulkan kepingan-kepingan kamar dan membangunnya kembali.
Bandit-bandit itu
berloncatan ke timbunan papan dan tiang, seperti anjing menyerbu tulang.
Bandit-bandit lain
yang datang dari atas bertanya, "Sudah ketemu mayatnya?"
"Belum!"
"Mestinya di
sekitar sini."
Toji berteriak keras,
"Barangkali membentur batu atau yang lain waktu jatuh, dan terlempar ke
samping. Cari."
Batu-batuan, air,
pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan di dalam lembah itu jadi berwarna merah terang.
Diiringi pekikan terkejut, Toji dan para begundalnya memandang ke atas, nyala
terang menyembur dari pintu-pintu, jendela-jendela, dinding-dinding, dan atap
pondok. Pondok itu berubah menjadi bola api yang sangat besar.
"Cepat! Lekas!
Kembali ke atas sini!" Panggilan yang merobek telinga itu datang dari Oko,
dan kedengaran seperti lolongan seorang perempuan yang sudah gila.
Pada waktu
orang-orang itu naik sampai ke batu karang, nyala api sudah menari-nari dengan
hebatnya karena angin. Oko berdiri dalam keadaan terikat erat pada sebatang
pohon, terkena hujan bunga api dan arang.
Semua orang tertegun.
Musashi lenyap? Bagaimana caranya? Bagaimana mungkin ia mengecoh mereka semua?
Toji patah semangat.
Ia bahkan tidak memerintahkan orang-orangnya mengejar. Sudah banyak ia
mendengar tentang Musashi, dan ia tahu, mereka takkan dapat menangkapnya. Tapi,
atas kemauan sendiri, bandit-bandit itu cepat menyusun rombongan-rombongan
pencari, dan terbang ke seluruh penjuru. Mereka tidak menemukan jejak Musashi.
0 komentar:
Posting Komentar