Rabu, 12 Juli 2017



Api Pembasuh


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg




ORANG itu mengatupkan gigi erat-erat, menanti sumbu yang sudah menyala mendesis. Ia bersiap menembakkan lagi bedilnya. Temannya merunduk dan menjeling ke kejauhan. Bisiknya, "Kaupikir aman?"

"Aku yakin sudah kena dengan tembakan pertama tadi," terdengar jawaban yakin.

Kedua orang itu merangkak hati-hati ke depan, tapi begitu mereka sampai ujung tepi sungai, Musashi meloncat naik. Pembawa bedil tergagap dan menembak, tapi kehilangan keseimbangan, hingga peluru melejit tanpa guna ke udara. Suara gema bersahut-sahutan di dalam lembah, dan dua orang dari warung teh itu pun lari ke atas.

Tiba-tiba seorang di antaranya berhenti dan berteriak, "Tunggu! Buat apa kita lari? Kita berdua, dan dia sendiri. Aku hadapi dia, dan kau membantu."

"Aku bersamamu!" teriak pembawa bedil. Ia melepaskan sumbu dan membidikkan gagang bedilnya kepada Musashi.

Pasti mereka agak lebih tinggi dari sekadar penjahat. Menurut dugaan Musashi, mereka pemimpin gerombolan. Kedua orang itu dapat menggunakan pedang dengan kemahiran sejati, namun mereka sama sekali bukan tandingan Musashi. Dengan satu kali pukulan pedang saja, mereka berdua sudah melayang ke udara. Pembawa bedil terbelah dari bahu sampai pinggang, kemudian jatuh tewas ke tanah, sementara bagian atas tubuhnya tergantung-gantung di tepi sungai, seperti pada selembar benang. Orang satunya lari mendaki lereng, sambil mencengkeram lengan bawahnya yang terluka, dikejar cepat oleh Musashi. Hujan debu dan pasir menjulang, lalu jatuh lagi di belakangnya.

Lembah bernama Lembah Buna itu terletak di tengah jalan antara Celah Wada dan Daimon. Namanya diambil dari pohon-pohon yang menutupnya. Pada puncaknya yang tertinggi, dikelilingi pepohonan, berdiri sebuah pondok besar dan kasar, terbuat dari balok-balok kayu.

Sambil berlari cepat ke nyala obor, bandit itu berteriak, "Padamkan api!"

Seorang perempuan melindungi nyala api itu dengan lengan baju yang direntangkan, dan serunya, "Ah, kau—oh, kau berlumuran darah!"

"D—diam kau, tolol! Matikan lampu—yang di dalam juga." Hampir ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, karena terengah-engah. Ia menoleh sekali lagi ke belakang, dan meluncur terus melewati perempuan itu. Perempuan itu mematikan obor dan bergegas mengejarnya.

Begitu Musashi sampai di pondok itu, tak satu cahaya pun tampak.

"Buka!" teriaknya. Ia marah, bukan karena dianggap orang tolol, atau karena serangan pengecut yang dilancarkan kepadanya, melainkan karena orang-orang seperti itu setiap hari mendatangkan kerugian besar kepada musafir yang tak bersalah.

Sebetulnya bisa saja ia merusak tirai hujan yang terbuat dari kayu itu, tapi ia tidak mau menyerang dari depan, hingga bagian belakangnya bisa berada dalam bahaya, melainkan secara hati-hati menjaga jarak dua-tiga meter.

"Buka!"

Karena tak ada jawaban, dipungutnya batu terbesar yang dapat diangkatnya, dan dilontarkannya ke tirai itu. Batu menghantam celah antara dua papan, hingga lelaki dan perempuan itu sempoyongan masuk rumah. Sebilah pedang terbang dari bawah mereka, disusul lelaki itu merangkak di lantai. Tapi ia cepat dapat berdiri kembali dan mengundurkan diri ke dalam rumah. Musashi meloncat maju dan menangkap belakang kimononya.

"Jangan bunuh aku! Ampun!" mohon Gion Toji. Suaranya merengek seperti suara bangsat kecil-kecilan.

Segera kemudian ia berhasil berdiri lagi, dan mencoba menemukan titik lemah Musashi. Musashi menangkis setiap gerakannya, tapi ketika ia mendesak terus ke depan untuk mengimpit lawan, Toji mengerahkan segala kekuatannya dan menarik pedang pendeknya, serta membuat tusukan keras. Musashi mengelak dengan cekatan, menyapunya dengan kedua lengannya. dan dengan teriakan menghina membantingnya ke kamar sebelah. Lengan atau kakinya barangkali menghantam penggantung kuali, karena tiang bambu tempat bergantungnya kuali itu patah. Suaranya berderak. Abu putih mengepul naik dari perapian, seperti asap gunung berapi.

Rentetan benda yang dilemparkan menerjang asap dan abu memaksa Musashi bertahan. Ketika abu sudah turun, ia lihat lawannya sudah bukan lagi kepala bandit yang kini sudah telentang di dekat dinding. Sambil memaki-maki, perempuan itulah yang melemparkan segala yang dapat dipegangnya-tutup kuali, kayu bakar, supit logam, mangkuk teh.

Musashi melompat ke depan dan cepat mengimpitnya ke lantai, tapi perempuan itu berhasil menarik tusuk konde dari rambutnya dan menusuk Musashi. Musashi menginjakkan kakinya ke pergelangan tangan perempuan itu, dan perempuan itu mengertakkan giginya, kemudian berteriak marah dan muak kepada Toji yang sudah tak sadar, "Tak punya nyali kau? Bagaimana mungkin kau kalah dari orang tak punya nama macam ini?"

Mendengar suaranya, Musashi tiba-tiba menarik napas panjang dan melepaskannya. Perempuan itu bangkit berdiri, mencabut pedang pendeknya, dan menerjangnya.

"Hentikan, Bu," kata Musashi.

Kaget mendengar nada biasa yang sopan itu, perempuan itu berhenti dan melongo melihat Musashi.

"Lho, ini... ini kan Takezo!"

Dugaan Musashi benar. Di luar Osugi, satu-satunya perempuan yang masih mungkin menyebutnya dengan nama kecilnya adalah Oko.

"Oh, benar Takezo!" seru Oko, suaranya jadi manis sekali. "Namamu sekarang Musashi, kan? Kau sudah jadi pemain pedang besar, ya?"

"Apa kerja Ibu di tempat macam ini?"

 "Malu aku mengatakannya."

"Apa yang terbaring itu suami Ibu?"

"Kau tentunya mengenal dia. Itulah sisa orang yang namanya Gion Toji."

"Itu Toji?" bisik Musashi. Ia pernah mendengar di Kyoto bahwa Toji adalah bajingan yang telah mengantongi uang yang dikumpulkannya untuk memperbesar perguruan dan melarikan diri dengan Oko. Namun, melihat manusia yang sudah jadi rongsokan di dekat dinding itu, tak dapat tidak ia merasa kasihan. "Lebih baik Ibu urus dia," katanya, "Kalau saya tahu dia suami Ibu, tak akan saya berlaku kasar kepadanya."

"Oh, ingin aku merangkak masuk lubang, menyembunyikan diri," kata Oko, tersenyum palsu.

Ia pergi ke sisi Toji, memberikan air, dan membalut luka-lukanya. Ketika Toji mulai siuman, ia pun bercerita siapa Musashi.

"Apa?" teriaknya parau. "Miyamoto Musashi? Orang yang... oh, memalukan!" Sambil menutup muka dengan tangan, ia meringkuk hina-dina.

Musashi melupakan kemarahannya, dan membiarkan dirinya diperlakukan sebagai tamu terhormat. Oko menyapu lantai, membereskan perapian, memasukkan kayu api baru, dan menghangatkan sake.

Sambil mengangsurkan mangkuk kepada Musashi, katanya santun, "Kami tak dapat menyuguhkan apa-apa, tapi..."

"Saya sudah cukup makan-minum di warung teh tadi," jawab Musashi sopan. "Tak usah repot-repot."

"Tapi kuharap kau mau makan makanan yang kusiapkan. Begitu lama kita tidak bertemu." Ia menggantungkan kuali rebusan pada gantungan kuali, kemudian duduk di samping Musashi dan menuangkan sake.

"Ini mengingatkan saya pada masa lalu di Gunung Ibuki," kata Musashi ramah.

Angin keras bertiup. Walaupun tirai-tirai sudah kembali ke tempat masing-masing, angin bertiup masuk lewat berbagai celah dan mempermainkan asap perapian, sementara asap itu naik ke langit-langit.

"Tak usah aku diingatkan pada waktu itu," kata Oko. "Tapi apa kau mendengar sesuatu tentang Akemi? Bisa kau memperkirakan di mana dia sekarang?"

"Saya dengar dia menginap beberapa hari di penginapan Gunung Hiei. Dia dan Matahachi rencananya akan ke Edo. Tapi rupanya dia lari membawa semua uang Matahachi."

"Oh?" kata Oko kecewa. "Dia juga!" Dan ia menatap lantai, dengan sedih membandingkan hidup anaknya dengan hidupnya sendiri.

Ketika Toji sudah cukup pulih, ia menggabungkan diri dengan mereka dan minta maaf kepada Musashi. Menurut pengakuannya, ia bertindak atas dorongan seketika, dan sekarang ia menyesalinya. Ia meyakinkan tamunya bahwa akan tiba waktu baginya untuk kembali memasuki masyarakat sebagai Gion Toji yang pernah dikenal dunia.

Musashi diam saja, tapi sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa tak banyak yang dapat dipilih antara Toji samurai dan Toji bandit. Tapi kalau Toji benar-benar kembali ke kehidupan prajurit, jalanan akan jauh lebih aman bagi para musafir.

Dengan sikap agak lunak karena sake, katanya pada Oko, "Saya pikir akan bijaksana kalau Ibu meninggalkan cara hidup yang berbahaya ini."

"Kau benar, tapi tentu saja saya hidup macam ini bukan atas dasar pilihan. Ketika meninggalkan Kyoto, kami bermaksud mengadu untung di Edo. Tetapi di Suwa, Toji mulai berjudi dan menghabiskan semua uang kami-uang perjalanan. Aku bermaksud mengusahakan moxa, karena itu kami mulai mengumpulkan ramuan dan menjualnya di kota. Oh, aku sudah cukup banyak mengikuti rencana-rencananya buat kaya mendadak. Sesudah peristiwa malam ini, aku muak." Seperti biasa, beberapa tegukan sake mendatangkan nada genit dalam pembicaraannya, dan mulailah ia memasang pesona.

Oko adalah jenis perempuan yang umurnya tidak bisa ditentukan, dan ia masih berbahaya. Seekor kucing rumahan akan bermain dengan sikap malu-malu di pangkuan tuannya, selama diberi makan dan dipelihara, tapi kala dilepaskan di pegunungan, seketika ia akan mencari mangsa malam hari dengan mata menyala, siap berpesta bangkai atau mengoyak daging hidup para musafir yang jatuh sakit di pinggir jalan. Oko mirip sekali dengan kucing.

"Toji," katanya mesra, "menurut Takezo, Akemi pergi ke Edo. Apa kita tak bisa pergi ke sana, dan hidup seperti manusia lagi? Kalau kita dapa: menemukan Akemi, aku yakin kita akan dapat menemukan usaha yang menguntungkan buat kita."

"Barangkali juga," terdengar jawaban lesu. Toji memeluk lutut sambil merenung. Barangkali, bahkan bagi Toji, pikiran yang hendak dikemukakan Oko itu—menjajakan  tubuh Akemi—terasa sedikit kasar. Sesudah hidup dengan perempuan ganas ini, Toji sendiri sudah mulai merasa malu sebagaimana Matahachi.

Untuk Musashi, ekspresi wajah Toji tampak pedih. Wajah itu mengingatkannya kepada Matahachi. Ia bergidik saat teringat bagaimana ia pernah dipikat oleh pesona perempuan itu.

"Oko," kata Toji sambil mengangkat kepala. "Sebentar lagi slang. Musashi barangkali lelah. Bagaimana kalau disiapkan tempat untuknya di kamar belakang, supaya dia dapat beristirahat?"

"Tentu." Sambil melirik dengan mata hampir mabuk kepada Musashi, ia berkata, "Kau mesti hati-hati, Takezo. Di belakang sana gelap."

"Terima kasih. Barangkali saya bisa tidur sedikit."

Musashi mengikuti perempuan itu menyusuri gang gelap ke belakang rumah. Kamar itu rupanya kamar tambahan untuk pondok tersebut. Dari bawah, ruangan itu didukung oleh sejumlah balok, dan dibangun menjorok ke atas lembah. Dari dinding luar ke sungai tingginya sekitar dua puluh meter. Udara di situ lembap, akibat kabut dan cipratan air yang mengembus masuk dari air terjun. Tiap kali deru angin meningkat sedikit, ruangan kecil itu berguncang seperti perahu.

Kaki Oko yang putih kembali melintasi lantai berbilah gang terbuka itu, ke kamar perapian.

"Sudah tidur dia?"

"Kupikir begitu," jawab Oko sambil berlutut di samping Toji, lalu berbisik ke telinganya, "Apa yang mau kaulakukan?"

"Panggil yang lain-lain."

"Kau mau melaksanakannya?"

"Tentu saja! Ini bukan hanya soal uang. Kalau aku bunuh si bangsat itu, berarti aku membalaskan dendam Keluarga Yoshioka."

Oko menyingsingkan rok kimononya, dan pergi ke luar rumah. Di bawah langit tak berbintang, jauh di pegunungan itu, ia berlari kencang melintas angin hitam, seperti kucing setan, rambut panjangnya berkibar-kibar.

Sudut dan celah di sisi gunung itu tidak hanya dihuni oleh burung dan binatang liar. Sambil berlari, Oko berhubungan dengan lebih dari dua puluh anggota gerombolan Toji. Karena sudah terlatih dalam penggerebekan malam, gerakan mereka lebih tenang daripada daun yang mengapung, menuju tempat di depan pondok.

"Cuma satu orang?"

"Samurai?"

"Ada uangnya?"

Percakapan yang dilakukan dengan berbisik itu diiringi gerak-gerik penjelasan dan gerakan mata. Sambil membawa bedil, belati, dan lembing yang biasa dipakai oleh pemburu babi hutan, sebagian dari mereka mengepung kamar belakang. Sekitar separuhnya turun ke lembah, dan dua orang berhenti di tengah, tepat di bawah kamar.

Lantai kamar itu tertutup tikar gelagah. Sepanjang salah satu dindingnya terdapat tumpukan-tumpukan kecil ramuan kering yang rapi, juga kumpulan lumpang dan alat-alat lain untuk membuat obat. Musashi merasa terhibur mencium bau ramuan yang menyenangkan. Bau itu seolah mengajaknya memejamkan mata dan tidur. Tubuhnya terasa tumpul dan membengkak sampai ujung-ujung anggota badan. Tapi ia sadar, tidak boleh menyerah pada ajakan manis itu.

Ia sadar, ada sesuatu yang akan terjadi. Pengumpul ramuan dari Mimasaka tak pernah memiliki lumbung macam ini. Lumbung mereka tak pernah terletak di tempat berkumpulnya kelembapan, dan selamanya jauh dari tumbuh-tumbuhan berdaun rimbun. Dari terang cahaya lampu kecil yang terletak di sebuah mangkuk penumbuk di samping bantal, ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Siku-siku logam yang mengikat kamar itu pada sudut-sudutnya dikelilingi sejumlah besar lubang paku. Ia juga dapat melihat permukaan kayu yang masih baru, yang sebelumnya tentunya tertutup meja-kursi. Maka tidak mungkin keliru makna yang tersembunyi di situ. Kamar itu pernah dibangun kembali, barangkali berulang kali.

Senyuman kecil tersungging di bibirnya, tapi ia tak bergerak.

"Takezo," panggil Oko lembut. "Kau tidur, ya?" Digesernya pintu shoji pelan-pelan, lalu la berjingkat menuju kasur dan meletakkan nampan di dekat kepala Musashi. "Kutaruh air minum buatmu di sini," katanya. Musashi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia masih terjaga.

Ketika Oko kembali ke pondok, Toji berbisik, "Semuanya beres?"

Sambil memejamkan mata sebagai penekanan, jawab Oko, "Dia tidur lelap."

Dengan pandangan puas, Toji bergegas ke luar, menuju belakang pondok. Di situ ia melambaikan sumbu bedil yang sudah dinyalakan. Melihat itu, orang-orang yang ada di bawah menarik tiang-tiang pendukung kamar tersebut, hingga kamar runtuh ke dalam lembah, dinding-dindingnya, kerangkanya, blandar bubungannya, semuanya.

Sambil bersorak penuh kemenangan, yang lain-lain meloncat dari tempat-tempat persembunyian, seperti pemburu keluar dari persembunyian buatan, dan menyerbu tepi sungai. Langkah berikutnya adalah memungut mayat dan harta milik korban reruntuhan. Sesudah itu, soal kecil mengumpulkan kepingan-kepingan kamar dan membangunnya kembali.

Bandit-bandit itu berloncatan ke timbunan papan dan tiang, seperti anjing menyerbu tulang.

Bandit-bandit lain yang datang dari atas bertanya, "Sudah ketemu mayatnya?"

"Belum!"

"Mestinya di sekitar sini."

Toji berteriak keras, "Barangkali membentur batu atau yang lain waktu jatuh, dan terlempar ke samping. Cari."

Batu-batuan, air, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan di dalam lembah itu jadi berwarna merah terang. Diiringi pekikan terkejut, Toji dan para begundalnya memandang ke atas, nyala terang menyembur dari pintu-pintu, jendela-jendela, dinding-dinding, dan atap pondok. Pondok itu berubah menjadi bola api yang sangat besar.

"Cepat! Lekas! Kembali ke atas sini!" Panggilan yang merobek telinga itu datang dari Oko, dan kedengaran seperti lolongan seorang perempuan yang sudah gila.

Pada waktu orang-orang itu naik sampai ke batu karang, nyala api sudah menari-nari dengan hebatnya karena angin. Oko berdiri dalam keadaan terikat erat pada sebatang pohon, terkena hujan bunga api dan arang.

Semua orang tertegun. Musashi lenyap? Bagaimana caranya? Bagaimana mungkin ia mengecoh mereka semua?

Toji patah semangat. Ia bahkan tidak memerintahkan orang-orangnya mengejar. Sudah banyak ia mendengar tentang Musashi, dan ia tahu, mereka takkan dapat menangkapnya. Tapi, atas kemauan sendiri, bandit-bandit itu cepat menyusun rombongan-rombongan pencari, dan terbang ke seluruh penjuru. Mereka tidak menemukan jejak Musashi.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP