Bagian 25
Perangkap Maut
KARENA bulan masih
tinggi di langit pagi buta itu, bayangan orang-orang yang mendaki jalan gunung
yang putih saling bertumbukan menakutkan, membuat para pendaki merasa lebih
tidak tenang lagi.
"Ini lain dengan
yang kuharapkan," kata seseorang.
"Aku begitu
juga. Banyak wajah tidak kelihatan. Tadinya kusangka paling tidak ada seratus
lima puluh orang."
"Kelihatannya
kurang dari separuhnya."
"Kukira, kalau
Genzaemon datang dengan orang-orangnya, jumlah kita akan mencapai sekitar tujuh
puluh orang."
"Berat. Keluarga
Yoshioka jelas tidak lagi seperti dulu."
Dan dari kelompok lain,
"Siapa yang peduli dengan orang-orang yang tak ada di sini? Begitu dojo
ditutup, banyak yang terpaksa memikirkan dulu kehidupannya. Yang di sini ini
orang-orang yang paling punya harga diri dan paling setia. Itu lebih penting
daripada jumlah!"
'Betul! Sekiranya di
sini ada seratus atau dua ratus orang, mereka cuma akan saling silang."
"Ha, ha! Omong
hebat lagi. Ingat pengalaman di Rengeoin. Dua puluh orang berdiri berkeliling,
tapi Musashi lolos juga!"
Gunung Hiei dan
puncak-puncaknya yang lain masih tidur lelap dalam lipatan awan-awan.
Orang-orang itu berkumpul di persimpangan jalan desa kecil, jalan yang satu
menuju puncak Hiei, sedang yang lain mengarah ke Ithijoji. Jalannya terjal,
berbatu-batu, dan disimpangsiuri selokan dalam. Di sekitar tanda paling
menonjol berupa pohon pinus besar yang mengembang seperti payung raksasa itu
berkumpul sekelompok murid senior. Sambil dwduk di tanah seperti kawanan
kepiting yang biasa merangkak malam hari. mereka memperbincangkan medan.
"Jalan itu
bercabang tiga, jadi persoalannya adalah yang mana yang akan dipergunakan
Musashi. Strategi terbaik adalah membagi orang-orang itu menjadi tiga regu dan
menempatkannya di masing-masing jalan. Kemudian Genjiro dan ayahnya tinggal di
sini dengan satu korps sekitar sepuluh pedang yang terbaik—Miike, Ueda, dan
lain-lain."
"Tidak, medan
ini terlalu kasar untuk penempatan sejumlah besar orang di satu tempat. Kita
mesti menyebar mereka di ketiga jalan itu. Mereka mesti tetap tersembunyi,
sampai Musashi menempuh setengah jalan. Kemudian mereka dapat menyerang dari
depan dan belakang dengan serentak."
Kelompok-kelompok
orang itu datang dan pergi. Bayang-bayang yang terus bergerak-gerak kelihatan
disatukan dengan lembing atau sarung pedang panjang. Memang ada kecenderungan
menyepelekan musuh, namun antara mereka tidak terdapat pengecut.
"Dia
datang!" teriak orang yang ada di lingkungan luar.
Bayang-bayang itu
jadi diam. Denyutan dingin menjalari nadi setiap samurai.
"Tenang-tenang
saja! Cuma Genjiro."
"Lho, dia naik
joli?"
"Ah, dia kan
masih kanak-kanak!"
Lentera-lentera yang
pelan-pelan mendekat dan terayun ke sana kemari dalam angin dingin dari Gunung
Hiei itu tampak membosankan dibandingkan dengan cahaya bulan.
Beberapa menit
kemudian, Genzaemon turun dari joli dan menyatakan. "Saya kira kita semua
sudah di sini sekarang."
Genjiro, anak lelaki
umur tiga belas tahun, muncul dari joli di sampingnya. Bapak dan anak
mengenakan ikat kepala putih yang dipasang ketat, sedangkan hakama-nya
disingsingkan tinggi-tinggi.
Genzaemon
memerintahkan anaknya pergi berdiri ke bawah pohon pinus. Anak itu mengangguk
diam ketika ayahnya menepuk kepalanya untuk membesarkan hatinya, katanya,
"Pertempuran akan dilaksanahan dengan namamu, tapi perkelahian akan
dilakukan oleh para murid. Karena kamu masih terlalu kecil untuk ambil bagian,
kamu tak perlu melakukan apa-apa kecuali berdiri di sana memperhatikan."
Genjiro berlari
langsung ke pohon itu. Di situ ia mengambil sikap bermartabat, seperti boneka
samurai pada Festival Anak Lelaki.
"Kita datang
terlalu pagi," kata Genzaemon. "Matahari belum akan naik." Ia
mencari-cari sesuatu di pinggangnya, kemudian mengeluarlan pipa panjang yang
besar mangkuknya. "Ada yang punya api?" tanyanya biasa saja, untuk
menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa ia sepenuhnya menguasai diri.
Satu orang melangkah
maju, dan katanya, "Sebelum duduk merokok, apa menurut Bapak tak perlu
kita memutuskan dulu bagaimana membagi orang-orang itu?"
"Ya, kukira
begitu. Mari kita tempatkan mereka dengan cepat, kita siap. Bagaimana rencana
kalian?"
"Gugus pusat
ditempatkan di bawah pohon. Orang-orang lain sembunyi di beberapa tempat, pada
jarak sekitar dua puluh langkah di kiri-kanan ketiga jalan."
"Siapa di bawah
pohon?"
"Anda, saya, dan
sekitar sepuluh lainnya. Dengan berada di sini, kita dapat melindungi Genjiro
dan siap terjun kalau ada isyarat bahwa Musashi sudah datang."
"Tunggu
sebentar," kata Genzaemon yang memikirkan strategi itu dengan sikap
hati-hati penuh kebijaksanaan. "Kalau orang disebar macam itu, hanya akan
ada sekitar dua puluh orang yang bisa melakukan serangan awal."
"Betul, tapi dia
akan terkepung."
"Belum tentu.
Kalian boleh yakin, dia pasti akan membawa bantuan. Dan kalian mesti ingat,
sepandai dia berkelahi, pandai juga dia melepaskan diri dari kepungan ketat.
Dia bisa menyerang tempat yang kurang orangnya, melukai tiga atau empat orang,
kemudian pergi. Lalu dia akan berkeliling membual bahwa dia sudah menghadapi
lebih dari tujuh puluh anggota Perguruan Yoshioka, dan keluar sebagai
pemenang."
"Kita takkan
membiarkan dia berbuat begitu."
"Kemudian kita
cuma akan perang kata saja. Biarpun dia membawa pendukung, orang banyak akan
menganggap pertandingan ini pertandingan antara dia pribadi melawan Perguruan
Yoshioka secara keseluruhan. Dan simpati mereka akan tertuju kepada pemain
pedang yang sendirian."
"Saya
pikir," kata Miike Jurozaemon, "dengan sendirinya kalau dia lolos
lagi, kita tak bisa lagi menebus aib, apa pun yang akan kita katakan. Kita di
sini sekarang untuk membunuh Musashi, dan tak usah repot-repot memikirkan apa
cara kita itu lurus atau tidak. Orang mati akan bungkam."
Jurozaemon memanggil
empat orang dari kelompok terdekat untuk maju. Tiga di antaranya membawa busur
kecil, yang keempat membawa bedil. Ia suruh mereka menghadap Genzaemon.
"Barangkali Bapak ingin melihat tindakan berjaga-jaga yang telah kami
ambil."
"Oh, senjata
terbang."
'Kita dapat
menempatkan mereka ini di ketinggian atau di pohon."
"Tapi orang
banyak takkan mengatakan kita menggunakan taktik kotor?"
"Kita tak perlu
peduli apa yang dikatakan orang. Kita ingin yakin Musashi mati."
"Baiklah. Kalau
kalian memang siap menghadapi ancaman, tak perlu lagi aku bicara," kata
orang tua itu, tidak melawan lagi. "Biarpun Musashi membawa lima atau enam
orang, kurang kemungkinannya dia lolos kalau kita bawa busur dan anak panah,
serta senapan. Nah, kalau kita terus brndiri di sini, kita bisa kecolongan.
Kuserahkan penempatan orang-orang itu padamu, dan bawa mereka ke tempat
masing-masing, segera."
Bayang-bayang hitam
menyebar seperti angsa liar di rawa-rawa, sebagian tmettvelam ke dalam belukar
bambu, sebagian lagi menghilang di belakang pepohonan atau meratakan diri di
atas pematang sawah. Ketiga pemanah naik ke tempat tinggi yang menghadap
lapangan. Dan di bawah sana, pernbawa senapan memanjat cabang atas pohon pinus
lebar. Sementara ia sibuk mencari tempat persembunyian diri, daun dan kulit
pinus itu menghujani Genjiro.
Melihat anak itu
menggeliat-geliat, Genzaemon memarahinya, "Kamu belum gelisah, kan? Jangan
seperti pengecut!"
"Bukan begitu,
Pak. Daun pinus jatuh ke punggung."
"Tenang. Tahan
saja. Ini pengalaman baik buatmu. Perhatikan baik-baik kalau perkelahian yang
sebenarnya mulai nanti."
Di jalan paling timur
tedengar teriakan ribut. "Berhenti, tolol!" Rumpun-rumpun bambu
bergemeresik demikian kerasnya, hingga Cuma orang tuli yang tidak tahu bahwa
ada yang bersembunyi di sepanjang ketiga jalan itu.
Genjiro berteriak,
"Takut!" dan mendekap pinggang ayahnya.
Jurozaemon segera
berangkat menuju tempat keributan itu, sekalipun ia merasa bahwa tanda bahaya
itu pasti tidak betul.
Sasaki Kojiro
menghardik salah seorang anggota Yoshioka. "Kalian punya mata tidak? Aku
disangka Musashi! Aku datang kemari buat menjadi saksi tapi kalian mengejarku
dengan lembing. Betapa goblok!"
Orang-orang Yoshioka
marah juga. Sebagian mencurigainya sedang memata-matai mereka. Mereka mundur,
tapi terus menghalangi jalan Kojiro.
Ketika Jurozaemon
kemudian memasuki lingkaran, Kojiro beralih kepadanya. "Aku datang kemari
buat menjadi saksi, tapi orang-orangmu memperlakukan aku seperti musuh. Kalau
mereka bertindak atas perintahmu, biarpun aku pemain pedang yang kikuk, aku
lebih dari senang kalau menghadapi kamu. Tak ada alasanku membantu Musashi,
tapi aku punvu kehormatan yang mesti kujunjung tinggi. Kecuali itu, ini
kesempatan baik bagiku membasahi Galah Pengering ini dengan darah segar, karena
memang sudah agak lama juga aku tidak melakukannya." Kojiro seperti macan
tutul meludahkan api. Orang-orang Yoshioka yang terkecoh oleh pemunculannya
yang perlente itu mundur oleh sikapnya yang garang.
Jurozaemon
berketetapan untuk memperlihatkan bahwa ia tidak gentar oleh kata-kata Kojiro,
dan ia tertawa, "Ha, ha! Kamu gusar, ya? Tapi cola katakan, siapa yang
memintamu jadi saksi. Tak ingat aku ada permintaan macam itu. Apa Musashi yang
minta?"
"Jangan bicara
kosong kamu. Waktu kita memasang papan pengumuman di Yanagimachi itu,
kusampaikan pada kedua belah pihak, aku akan bertindak sebagai saksi."
"Oh, begitu. Itu
kamu yang mengatakan. Dengan kata lain, Musashi tidak minta, dan kami pun tidak
minta. Kamu menunjuk dirimu sendiri sebagai peninjau. Yah, dunia ini memang
penuh dengan orang yang ikut campur urusan orang."
"Itu
penghinaan!" bentak Kojiro.
Dengan ludah
berpercikan dari mulutnya, Jurozaemon berteriak. Kami di sini bukan buat bikin
pertunjukan."
Kojiro yang biru
mukanya karena marah cepat menyingkir dari kelompok itu dan lari ke jalan
beberapa jauhnya. "Waspadalah, kamu bajingan!" pekiknya dan bersiap
menyerang.
Genzaemon yang selama
ini terus mengikuti Jurozaemon berkata, "Tunggu, anak muda!"
"Kamu yang
tunggu!" pekik Kojiro. "Tak ada urusanku dengan kamu. Tapi akan
kutunjukkan padamu, apa jadinya orang yang menghinaku!"
Orang tua itu lari
mendatanginya. "Oh, oh, engkau selalu serius menanggapi ini! Harap maklum,
orang-orang kami ini sedang naik semangat. Saya paman Seijuro. Saya sudah
mendengar dari Seijuro bahwa engkau pemain pedang yang baik. Saya yakin sudah
terjadi kekeliruan tadi itu. Saya harap kamu mau memaafkan saya pribadi atas
kelakuan orang-orang kami."
"Saya
mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang menyambut saya dengan cara ini. Saya
punya hubungan baik dengan Seijuro, dan saya mengharapkan kebaikan Keluarga
Yoshioka, walaupun tak dapat saya bertindak sebagai pendukungnya. Tapi itu
bukan alasan bagi orang-orang Bapak menghina saya."
Sambil berlutut
resmi, Genzaemon berkata, "Engkau benar. Saya harap engkau melupakan yang
sudah terjadi, demi Seijuro dan Denshichiro." Orang tua itu memilih
kata-katanya dengan bijaksana, karena kuatir kalau Kojiro tersinggung ia bisa
menyiar-nyiarkan strategi pengecut yang mereka tempuh.
Kemarahan Kojiro
mereda. "Silakan berdiri, Pak. Saya malu melihat orang tua berlutut di
depan saya." Lalu mendadak sontak pemilik Galah Pengering itu menggunakan
lidahnya yang fasih untuk membesarkan hati orang-orang Yoshioka dan
menjelek-jelekkan Musashi. "Beberapa waktu lamanya saya bersahabat dengan
Seijuro, dan seperti saya katakan tadi, saya tak punya hubungan dengan Musashi.
Dengan sendirinya saya berpihak pada Keluarga Yoshioka.
"Sudah banyak
saya menyaksikan pertentangan antarpetarung, tapi belum pernah saya menyaksikan
tragedi seperti yang menimpa Anda sekalian ini. Sungguh tak bisa dipercaya
bahwa keluarga yang telah mengabdi kepada para shogun Ashikaga sebagai
instruktur seni perang bisa diruntuhkan nama baiknya hanya oleh seorang
udik."
Kata-kata yang
diucapkan dengan sengaja untuk mencoba membuat telinga pendengarnya terbakar
itu diterima dengan penuh perhatian. Pada wajah Jurozaemon terlihat penyesalan
karena telah bicara demikian kasar kepada orang yang begitu berkemauan baik
terhadap Keluarga Yoshioka.
Reaksi yang mereka
perlihatkan itu tidak disia-siakan oleh Kojiro. Ia memanfaatkan momentum itu.
"Di masa depan, saya punya rencana mendirikan perguruan saya sendiri.
Karena itulah, bukan karena sekadar ingin tahu. Saya berlatih mengamati
pertarungan-pertarungan dan mempelajari taktik-taktik para pesilat lain. Ini
bagian dari pendidikan saya. Tapi rasanya belum pernah saya menyaksikan atau
mendengar tentang pertarungan yang lebih menjengkelkan daripada kedua
pertarungan Anda sekalian dengan Musashi itu. Coba, berapa banyak jumlah Anda
sekalian di Rengeoin, dan sebelum itu juga dia Redaiji. Tapi Anda sekalian
membiarkan Musaslu lolos, hingga dia bisa petentengan di jalan-jalan Kyoto!
Sungguh saya tak dapat memahami itu."
Sambil menjilat
bibirnya yang kering, la melanjutkan, "Tak sangsi lagi. Musashi seorang
petarung yang ulet luar biasa, sebagaimana pemain pedang pengembara lainnya.
Saya tahu itu dari beberapa kali melihatnya. Sekarang saya ingin menyampaikan
pada Anda sekalian apa yang saya ketahui tentang Musashi, walaupun ini bisa
menimbulkan kesan seolah saya campur tangan."
Tanpa menyebut nama
Akemi, ia memberikan uraiannya. "Keterangar pertama sampai di tangan saya
ketika kebetulan saya bertemu dengan seorang perempuan yang mengenal Musashi
sejak dia umur tujuh betas tahun. Kalau keterangan yang diberikannya pada saya
itu dilengkapi dengan lain-lain keterangan yang dapat saya pungut di sana-sini,
pada Anda sekalian bisa diberikan garis besar yang cukup lengkap mengenai
kehidupan Musashi.
"Dia lahir
sebagai anak samurai lokal di Provinsi Mimasaka. Dia ambil bagian di Pertempuran
Sekigahara, dan sesudah pulang dia melakukan demikian banyak kekejian, hingga
dia diusir dari kampung. Sejak itu dia mengembara di pedesaan.
"Walaupun
wataknya jelek, dia memiliki bakat tertentu dalam main pedang. Dan secara fisik
dia kuat sekali. Lebih dari itu, dia berkelahi tanpa menghiraukan hidupnya
sendiri. Karena itu cara-cara ortodoks dalam permainan pedang tidak efektif
melawannya, sama seperti akal sehat tidak efektif untuk melawan penyakit gila.
Anda sekalian mesti menjebaknya, seperti Anda sekalian menjebak binatang ganas.
Kalau tidak, Anda sekalian akan gagal. Sekarang pertimbangkan sendiri, macam
apa musuh Anda sekalian itu, dan buatlah rencana-rencana yang sesuai dengan
itu."
Dengan segala
keresmian Genzaemon mengucapkan terima kasih kepada Kojiro, dan selanjutnya
melukiskan tindakan berjaga-jaga yang telah diambilnya.
Kojiro mengangguk
tanda setuju. "Kalau Anda sekalian bertindak demikian saksama, dia
barangkali tak punya kesempatan lolos dalam keadaan hidup. Namun Anda sekalian
barangkali dapat menggunakan tipu daya yang lebih efektif."
"Tipu
daya?" ulang Genzaemon sambil melontarkan pandangan kasar, dan kurang
memuji ke wajah Kojiro yang congkak itu. "Terima kasih. Tapi saya pikir
sudah cukup yang kami lakukan mi.
"Belum, kawan,
belum cukup. Kalau Musashi datang lewat jalan itu, jujur dan terus terang,
barangkali tak bisa dia meloloskan diri. Tapi bagaimana kalau dia sudah tahu
lebih dulu strategi Anda sekalian dan dia tidak muncul sama sekali? Semua
perencanaan Anda akan sia-sia, kan?"
"Kalau itu yang
dia lakukan, kami tinggal memasang papan pengumuman di seluruh kota, yang akan
menjadikan dia bahan tertawaan seluruh kota Kyoto."
"Memang tindakan
demikian dapat menyelamatkan wajah Anda sampai taraf tertentu, tapi jangan
lupa, dia masih bebas berkeliaran dan menyatakan taktik-taktik Anda sekalian
kotor. Dalam hal seperti itu, berarti Anda sekalian tidak sepenuhnya
menjernihkan nama guru Anda. Persiapan Anda tak punya arti, kecuali kalau Anda
sekalian membunuh Musashi di sini, di hutan ini. Untuk mendapat kepastian bahwa
Anda sekalian akan dapat melakukan itu, Anda harus mengambil langkah-langkah
untuk menjamin agar dia betul-betul datang kemari dan jatuh ke perangkap maut
yang Anda pasang."
"Apa ada jalan
untuk melakukan itu?"
"Tentu saja.
Sebetulnya saya dapat merencanakan beberapa cara." Suara Kojiro penuh
keyakinan. Ia pun membungkuk, dan dengan pandangan ramah yang tidak sering
tampak pada mukanya yang angkuh itu ia membisikkan beberapa patah kata ke
telinga Genzaemon. "Bagaimana kalau begitu?" tanyanya keras.
"Hmmm, ya. Saya
mengerti yang engkau maksud." Orang tua itu mengangguk beberapa kali,
kemudian menoleh kepada Jurozaemon dan membisikkan rencana itu kepadanya.
0 komentar:
Posting Komentar