Rabu, 12 Juli 2017




Bagian 25
Perangkap Maut

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





KARENA bulan masih tinggi di langit pagi buta itu, bayangan orang-orang yang mendaki jalan gunung yang putih saling bertumbukan menakutkan, membuat para pendaki merasa lebih tidak tenang lagi.

"Ini lain dengan yang kuharapkan," kata seseorang.

"Aku begitu juga. Banyak wajah tidak kelihatan. Tadinya kusangka paling tidak ada seratus lima puluh orang."

"Kelihatannya kurang dari separuhnya."

"Kukira, kalau Genzaemon datang dengan orang-orangnya, jumlah kita akan mencapai sekitar tujuh puluh orang."

"Berat. Keluarga Yoshioka jelas tidak lagi seperti dulu."

Dan dari kelompok lain, "Siapa yang peduli dengan orang-orang yang tak ada di sini? Begitu dojo ditutup, banyak yang terpaksa memikirkan dulu kehidupannya. Yang di sini ini orang-orang yang paling punya harga diri dan paling setia. Itu lebih penting daripada jumlah!"

'Betul! Sekiranya di sini ada seratus atau dua ratus orang, mereka cuma akan saling silang."

"Ha, ha! Omong hebat lagi. Ingat pengalaman di Rengeoin. Dua puluh orang berdiri berkeliling, tapi Musashi lolos juga!"

Gunung Hiei dan puncak-puncaknya yang lain masih tidur lelap dalam lipatan awan-awan. Orang-orang itu berkumpul di persimpangan jalan desa kecil, jalan yang satu menuju puncak Hiei, sedang yang lain mengarah ke Ithijoji. Jalannya terjal, berbatu-batu, dan disimpangsiuri selokan dalam. Di sekitar tanda paling menonjol berupa pohon pinus besar yang mengembang seperti payung raksasa itu berkumpul sekelompok murid senior. Sambil dwduk di tanah seperti kawanan kepiting yang biasa merangkak malam hari. mereka memperbincangkan medan.

"Jalan itu bercabang tiga, jadi persoalannya adalah yang mana yang akan dipergunakan Musashi. Strategi terbaik adalah membagi orang-orang itu menjadi tiga regu dan menempatkannya di masing-masing jalan. Kemudian Genjiro dan ayahnya tinggal di sini dengan satu korps sekitar sepuluh pedang yang terbaik—Miike, Ueda, dan lain-lain."

"Tidak, medan ini terlalu kasar untuk penempatan sejumlah besar orang di satu tempat. Kita mesti menyebar mereka di ketiga jalan itu. Mereka mesti tetap tersembunyi, sampai Musashi menempuh setengah jalan. Kemudian mereka dapat menyerang dari depan dan belakang dengan serentak."

Kelompok-kelompok orang itu datang dan pergi. Bayang-bayang yang terus bergerak-gerak kelihatan disatukan dengan lembing atau sarung pedang panjang. Memang ada kecenderungan menyepelekan musuh, namun antara mereka tidak terdapat pengecut.

"Dia datang!" teriak orang yang ada di lingkungan luar.

Bayang-bayang itu jadi diam. Denyutan dingin menjalari nadi setiap samurai.

"Tenang-tenang saja! Cuma Genjiro."

"Lho, dia naik joli?"

"Ah, dia kan masih kanak-kanak!"

Lentera-lentera yang pelan-pelan mendekat dan terayun ke sana kemari dalam angin dingin dari Gunung Hiei itu tampak membosankan dibandingkan dengan cahaya bulan.

Beberapa menit kemudian, Genzaemon turun dari joli dan menyatakan. "Saya kira kita semua sudah di sini sekarang."

Genjiro, anak lelaki umur tiga belas tahun, muncul dari joli di sampingnya. Bapak dan anak mengenakan ikat kepala putih yang dipasang ketat, sedangkan hakama-nya disingsingkan tinggi-tinggi.

Genzaemon memerintahkan anaknya pergi berdiri ke bawah pohon pinus. Anak itu mengangguk diam ketika ayahnya menepuk kepalanya untuk membesarkan hatinya, katanya, "Pertempuran akan dilaksanahan dengan namamu, tapi perkelahian akan dilakukan oleh para murid. Karena kamu masih terlalu kecil untuk ambil bagian, kamu tak perlu melakukan apa-apa kecuali berdiri di sana memperhatikan."

Genjiro berlari langsung ke pohon itu. Di situ ia mengambil sikap bermartabat, seperti boneka samurai pada Festival Anak Lelaki.

"Kita datang terlalu pagi," kata Genzaemon. "Matahari belum akan naik." Ia mencari-cari sesuatu di pinggangnya, kemudian mengeluarlan pipa panjang yang besar mangkuknya. "Ada yang punya api?" tanyanya biasa saja, untuk menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa ia sepenuhnya menguasai diri.

Satu orang melangkah maju, dan katanya, "Sebelum duduk merokok, apa menurut Bapak tak perlu kita memutuskan dulu bagaimana membagi orang-orang itu?"

"Ya, kukira begitu. Mari kita tempatkan mereka dengan cepat, kita siap. Bagaimana rencana kalian?"

"Gugus pusat ditempatkan di bawah pohon. Orang-orang lain sembunyi di beberapa tempat, pada jarak sekitar dua puluh langkah di kiri-kanan ketiga jalan."

"Siapa di bawah pohon?"

"Anda, saya, dan sekitar sepuluh lainnya. Dengan berada di sini, kita dapat melindungi Genjiro dan siap terjun kalau ada isyarat bahwa Musashi sudah datang."

"Tunggu sebentar," kata Genzaemon yang memikirkan strategi itu dengan sikap hati-hati penuh kebijaksanaan. "Kalau orang disebar macam itu, hanya akan ada sekitar dua puluh orang yang bisa melakukan serangan awal."

"Betul, tapi dia akan terkepung."

"Belum tentu. Kalian boleh yakin, dia pasti akan membawa bantuan. Dan kalian mesti ingat, sepandai dia berkelahi, pandai juga dia melepaskan diri dari kepungan ketat. Dia bisa menyerang tempat yang kurang orangnya, melukai tiga atau empat orang, kemudian pergi. Lalu dia akan berkeliling membual bahwa dia sudah menghadapi lebih dari tujuh puluh anggota Perguruan Yoshioka, dan keluar sebagai pemenang."

"Kita takkan membiarkan dia berbuat begitu."

"Kemudian kita cuma akan perang kata saja. Biarpun dia membawa pendukung, orang banyak akan menganggap pertandingan ini pertandingan antara dia pribadi melawan Perguruan Yoshioka secara keseluruhan. Dan simpati mereka akan tertuju kepada pemain pedang yang sendirian."

"Saya pikir," kata Miike Jurozaemon, "dengan sendirinya kalau dia lolos lagi, kita tak bisa lagi menebus aib, apa pun yang akan kita katakan. Kita di sini sekarang untuk membunuh Musashi, dan tak usah repot-repot memikirkan apa cara kita itu lurus atau tidak. Orang mati akan bungkam."

Jurozaemon memanggil empat orang dari kelompok terdekat untuk maju. Tiga di antaranya membawa busur kecil, yang keempat membawa bedil. Ia suruh mereka menghadap Genzaemon. "Barangkali Bapak ingin melihat tindakan berjaga-jaga yang telah kami ambil."

"Oh, senjata terbang."

'Kita dapat menempatkan mereka ini di ketinggian atau di pohon."

"Tapi orang banyak takkan mengatakan kita menggunakan taktik kotor?"

"Kita tak perlu peduli apa yang dikatakan orang. Kita ingin yakin Musashi mati."

"Baiklah. Kalau kalian memang siap menghadapi ancaman, tak perlu lagi aku bicara," kata orang tua itu, tidak melawan lagi. "Biarpun Musashi membawa lima atau enam orang, kurang kemungkinannya dia lolos kalau kita bawa busur dan anak panah, serta senapan. Nah, kalau kita terus brndiri di sini, kita bisa kecolongan. Kuserahkan penempatan orang-orang itu padamu, dan bawa mereka ke tempat masing-masing, segera."

Bayang-bayang hitam menyebar seperti angsa liar di rawa-rawa, sebagian tmettvelam ke dalam belukar bambu, sebagian lagi menghilang di belakang pepohonan atau meratakan diri di atas pematang sawah. Ketiga pemanah naik ke tempat tinggi yang menghadap lapangan. Dan di bawah sana, pernbawa senapan memanjat cabang atas pohon pinus lebar. Sementara ia sibuk mencari tempat persembunyian diri, daun dan kulit pinus itu menghujani Genjiro.

Melihat anak itu menggeliat-geliat, Genzaemon memarahinya, "Kamu belum gelisah, kan? Jangan seperti pengecut!"

"Bukan begitu, Pak. Daun pinus jatuh ke punggung."

"Tenang. Tahan saja. Ini pengalaman baik buatmu. Perhatikan baik-baik kalau perkelahian yang sebenarnya mulai nanti."

Di jalan paling timur tedengar teriakan ribut. "Berhenti, tolol!" Rumpun-rumpun bambu bergemeresik demikian kerasnya, hingga Cuma orang tuli yang tidak tahu bahwa ada yang bersembunyi di sepanjang ketiga jalan itu.

Genjiro berteriak, "Takut!" dan mendekap pinggang ayahnya.

Jurozaemon segera berangkat menuju tempat keributan itu, sekalipun ia merasa bahwa tanda bahaya itu pasti tidak betul.

Sasaki Kojiro menghardik salah seorang anggota Yoshioka. "Kalian punya mata tidak? Aku disangka Musashi! Aku datang kemari buat menjadi saksi tapi kalian mengejarku dengan lembing. Betapa goblok!"

Orang-orang Yoshioka marah juga. Sebagian mencurigainya sedang memata-matai mereka. Mereka mundur, tapi terus menghalangi jalan Kojiro.

Ketika Jurozaemon kemudian memasuki lingkaran, Kojiro beralih kepadanya. "Aku datang kemari buat menjadi saksi, tapi orang-orangmu memperlakukan aku seperti musuh. Kalau mereka bertindak atas perintahmu, biarpun aku pemain pedang yang kikuk, aku lebih dari senang kalau menghadapi kamu. Tak ada alasanku membantu Musashi, tapi aku punvu kehormatan yang mesti kujunjung tinggi. Kecuali itu, ini kesempatan baik bagiku membasahi Galah Pengering ini dengan darah segar, karena memang sudah agak lama juga aku tidak melakukannya." Kojiro seperti macan tutul meludahkan api. Orang-orang Yoshioka yang terkecoh oleh pemunculannya yang perlente itu mundur oleh sikapnya yang garang.

Jurozaemon berketetapan untuk memperlihatkan bahwa ia tidak gentar oleh kata-kata Kojiro, dan ia tertawa, "Ha, ha! Kamu gusar, ya? Tapi cola katakan, siapa yang memintamu jadi saksi. Tak ingat aku ada permintaan macam itu. Apa Musashi yang minta?"

"Jangan bicara kosong kamu. Waktu kita memasang papan pengumuman di Yanagimachi itu, kusampaikan pada kedua belah pihak, aku akan bertindak sebagai saksi."

"Oh, begitu. Itu kamu yang mengatakan. Dengan kata lain, Musashi tidak minta, dan kami pun tidak minta. Kamu menunjuk dirimu sendiri sebagai peninjau. Yah, dunia ini memang penuh dengan orang yang ikut campur urusan orang."

"Itu penghinaan!" bentak Kojiro.

Dengan ludah berpercikan dari mulutnya, Jurozaemon berteriak. Kami di sini bukan buat bikin pertunjukan."

Kojiro yang biru mukanya karena marah cepat menyingkir dari kelompok itu dan lari ke jalan beberapa jauhnya. "Waspadalah, kamu bajingan!" pekiknya dan bersiap menyerang.

Genzaemon yang selama ini terus mengikuti Jurozaemon berkata, "Tunggu, anak muda!"

"Kamu yang tunggu!" pekik Kojiro. "Tak ada urusanku dengan kamu. Tapi akan kutunjukkan padamu, apa jadinya orang yang menghinaku!"

Orang tua itu lari mendatanginya. "Oh, oh, engkau selalu serius menanggapi ini! Harap maklum, orang-orang kami ini sedang naik semangat. Saya paman Seijuro. Saya sudah mendengar dari Seijuro bahwa engkau pemain pedang yang baik. Saya yakin sudah terjadi kekeliruan tadi itu. Saya harap kamu mau memaafkan saya pribadi atas kelakuan orang-orang kami."

"Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang menyambut saya dengan cara ini. Saya punya hubungan baik dengan Seijuro, dan saya mengharapkan kebaikan Keluarga Yoshioka, walaupun tak dapat saya bertindak sebagai pendukungnya. Tapi itu bukan alasan bagi orang-orang Bapak menghina saya."

Sambil berlutut resmi, Genzaemon berkata, "Engkau benar. Saya harap engkau melupakan yang sudah terjadi, demi Seijuro dan Denshichiro." Orang tua itu memilih kata-katanya dengan bijaksana, karena kuatir kalau Kojiro tersinggung ia bisa menyiar-nyiarkan strategi pengecut yang mereka tempuh.

Kemarahan Kojiro mereda. "Silakan berdiri, Pak. Saya malu melihat orang tua berlutut di depan saya." Lalu mendadak sontak pemilik Galah Pengering itu menggunakan lidahnya yang fasih untuk membesarkan hati orang-orang Yoshioka dan menjelek-jelekkan Musashi. "Beberapa waktu lamanya saya bersahabat dengan Seijuro, dan seperti saya katakan tadi, saya tak punya hubungan dengan Musashi. Dengan sendirinya saya berpihak pada Keluarga Yoshioka.

"Sudah banyak saya menyaksikan pertentangan antarpetarung, tapi belum pernah saya menyaksikan tragedi seperti yang menimpa Anda sekalian ini. Sungguh tak bisa dipercaya bahwa keluarga yang telah mengabdi kepada para shogun Ashikaga sebagai instruktur seni perang bisa diruntuhkan nama baiknya hanya oleh seorang udik."

Kata-kata yang diucapkan dengan sengaja untuk mencoba membuat telinga pendengarnya terbakar itu diterima dengan penuh perhatian. Pada wajah Jurozaemon terlihat penyesalan karena telah bicara demikian kasar kepada orang yang begitu berkemauan baik terhadap Keluarga Yoshioka.

Reaksi yang mereka perlihatkan itu tidak disia-siakan oleh Kojiro. Ia memanfaatkan momentum itu. "Di masa depan, saya punya rencana mendirikan perguruan saya sendiri. Karena itulah, bukan karena sekadar ingin tahu. Saya berlatih mengamati pertarungan-pertarungan dan mempelajari taktik-taktik para pesilat lain. Ini bagian dari pendidikan saya. Tapi rasanya belum pernah saya menyaksikan atau mendengar tentang pertarungan yang lebih menjengkelkan daripada kedua pertarungan Anda sekalian dengan Musashi itu. Coba, berapa banyak jumlah Anda sekalian di Rengeoin, dan sebelum itu juga dia Redaiji. Tapi Anda sekalian membiarkan Musaslu lolos, hingga dia bisa petentengan di jalan-jalan Kyoto! Sungguh saya tak dapat memahami itu."

Sambil menjilat bibirnya yang kering, la melanjutkan, "Tak sangsi lagi. Musashi seorang petarung yang ulet luar biasa, sebagaimana pemain pedang pengembara lainnya. Saya tahu itu dari beberapa kali melihatnya. Sekarang saya ingin menyampaikan pada Anda sekalian apa yang saya ketahui tentang Musashi, walaupun ini bisa menimbulkan kesan seolah saya campur tangan."

Tanpa menyebut nama Akemi, ia memberikan uraiannya. "Keterangar pertama sampai di tangan saya ketika kebetulan saya bertemu dengan seorang perempuan yang mengenal Musashi sejak dia umur tujuh betas tahun. Kalau keterangan yang diberikannya pada saya itu dilengkapi dengan lain-lain keterangan yang dapat saya pungut di sana-sini, pada Anda sekalian bisa diberikan garis besar yang cukup lengkap mengenai kehidupan Musashi.

"Dia lahir sebagai anak samurai lokal di Provinsi Mimasaka. Dia ambil bagian di Pertempuran Sekigahara, dan sesudah pulang dia melakukan demikian banyak kekejian, hingga dia diusir dari kampung. Sejak itu dia mengembara di pedesaan.

"Walaupun wataknya jelek, dia memiliki bakat tertentu dalam main pedang. Dan secara fisik dia kuat sekali. Lebih dari itu, dia berkelahi tanpa menghiraukan hidupnya sendiri. Karena itu cara-cara ortodoks dalam permainan pedang tidak efektif melawannya, sama seperti akal sehat tidak efektif untuk melawan penyakit gila. Anda sekalian mesti menjebaknya, seperti Anda sekalian menjebak binatang ganas. Kalau tidak, Anda sekalian akan gagal. Sekarang pertimbangkan sendiri, macam apa musuh Anda sekalian itu, dan buatlah rencana-rencana yang sesuai dengan itu."

Dengan segala keresmian Genzaemon mengucapkan terima kasih kepada Kojiro, dan selanjutnya melukiskan tindakan berjaga-jaga yang telah diambilnya.

Kojiro mengangguk tanda setuju. "Kalau Anda sekalian bertindak demikian saksama, dia barangkali tak punya kesempatan lolos dalam keadaan hidup. Namun Anda sekalian barangkali dapat menggunakan tipu daya yang lebih efektif."

"Tipu daya?" ulang Genzaemon sambil melontarkan pandangan kasar, dan kurang memuji ke wajah Kojiro yang congkak itu. "Terima kasih. Tapi saya pikir sudah cukup yang kami lakukan mi.

"Belum, kawan, belum cukup. Kalau Musashi datang lewat jalan itu, jujur dan terus terang, barangkali tak bisa dia meloloskan diri. Tapi bagaimana kalau dia sudah tahu lebih dulu strategi Anda sekalian dan dia tidak muncul sama sekali? Semua perencanaan Anda akan sia-sia, kan?"

"Kalau itu yang dia lakukan, kami tinggal memasang papan pengumuman di seluruh kota, yang akan menjadikan dia bahan tertawaan seluruh kota Kyoto."

"Memang tindakan demikian dapat menyelamatkan wajah Anda sampai taraf tertentu, tapi jangan lupa, dia masih bebas berkeliaran dan menyatakan taktik-taktik Anda sekalian kotor. Dalam hal seperti itu, berarti Anda sekalian tidak sepenuhnya menjernihkan nama guru Anda. Persiapan Anda tak punya arti, kecuali kalau Anda sekalian membunuh Musashi di sini, di hutan ini. Untuk mendapat kepastian bahwa Anda sekalian akan dapat melakukan itu, Anda harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar dia betul-betul datang kemari dan jatuh ke perangkap maut yang Anda pasang."

"Apa ada jalan untuk melakukan itu?"

"Tentu saja. Sebetulnya saya dapat merencanakan beberapa cara." Suara Kojiro penuh keyakinan. Ia pun membungkuk, dan dengan pandangan ramah yang tidak sering tampak pada mukanya yang angkuh itu ia membisikkan beberapa patah kata ke telinga Genzaemon. "Bagaimana kalau begitu?" tanyanya keras.

"Hmmm, ya. Saya mengerti yang engkau maksud." Orang tua itu mengangguk beberapa kali, kemudian menoleh kepada Jurozaemon dan membisikkan rencana itu kepadanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP