Sabtu, 15 Juli 2017



Bakti Seorang Anak

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





"SEDANG apa, Nek, latihan nulis, ya?" Wajah Juro si Tikar Buluh itu menunjukkan ekspresi kagum bercampur heran.

"Oh, kau," kata Osugi, sedikit kesal.

Sambil duduk di sampingnya, Juro bergumam, "Menyalin kitab sutra Budha, ya?" Pertanyaan itu tak dijawab. "Nenek kan sudah tua. Apa masih perlu berlatih menulis? Atau Nenek bermaksud jadi guru kaligrafi di dunia sana?"

"Diam kau! Untuk menyalin kitab suci, orang perlu suasana tenang. Kesunyian adalah yang terbaik. Bagaimana kalau kau pergi saja?"

"Padahal aku buru-buru pulang buat menceritakan apa yang kualami hari ini!"

"Soal itu bisa menunggu."

"Kapan Nenek akan selesai?"

"Mesti kumasukkan semangat pencerahan sang Budha ke dalam setiap huruf yang kutulis ini. Untuk membuat satu salinan, kubutuhkan tiga hari."

"Sabar sekali Nenek, kalau begitu."

"Tiga hari apa artinya? Musim panas ini akan kubuat beberapa lusin salinan. Aku bersumpah akan membuat seribu salinan, sebelum mati. Akan kutinggalkan kepada orang-orang yang tidak menaruh cinta yang wajar kepada orangtua mereka."

"Seribu salinan? Banyak sekali."

"Itu sumpahku yang suci."

"Ah, saya tidak begitu bangga dengan itu, tapi saya kira, saya memang tidak begitu hormat pada orangtua saya, seperti halnya semua orang yang ada di sini ini. Mereka sudah lama melupakan orangtua mereka. Satu-satunya yang masih ingat ibu dan bapaknya adalah majikan kita itu."

"Sungguh menyedihkan dunia tempat hidup kita ini."

"Ha, ha. Nenek benar. Tentunya Nenek punya anak yang tidak berbakti juga."

"Menyesal harus kukatakan bahwa anakku itu memang sudah banyak menimbulkan kesedihan padaku. Itu sebabnya aku bersumpah. Ini kitab Sutra tentang Cinta Agung Orangtua. Semua orang yang tidak memperlakukan ibu dan ayah mereka dengan benar, mesti dipaksa membacanya."

"Nenek betul-betul akan memberikan salinan... apa namanya itu... pada seribu orang?"

"Orang bilang, dengan menanam satu benih pencerahan, kita dapat memenangkan seratus orang, dan kalau satu tunas pencerahan dapat menyediakan tempat untuk seratus hati, berarti sepuluh juta jiwa akan dapat diselamatkan." Osugi meletakkan kuasnya, mengambil satu salinan yang sudah selesai, dan menyerahkannya kepada Juro. "Nah, kau boleh ambil ini. Coba kaubaca, kalau ada waktu."

Osugi tampak begitu saleh, hingga tawa Juro hampir pecah, tapi ia dapat mengendalikan diri. Ditahannya dirinya untuk tidak menjejalkan saja kertas itu ke dalam kimononya, seperti kertas lap yang lain; sebaliknya diangkatnya kertas itu dengan penuh hormat ke dahinya, lalu diletakkannya di pangkuan.

"Jadi, Nenek benar-benar tak ingin tahu tentang apa yang terjadi hari ini? Barangkali kepercayaan Nenek kepada sang Budha itu ada hasilnya. Saya sudah bertemu dengan orang yang agak khusus hari ini."

"Siapa pula itu?"

"Miyamoto Musashi. Saya lihat dia di Sungai Sumida, sedang turun dari perahu tambang."

"Kau melihat Musashi? Kenapa tidak kaukatakan dari tadi?" Didorongnya meja tulis itu sambil bersungut-sungut. "Apa betul itu? Di mana dia sekarang?"

"Nah, nah, tenang dulu, Nek. Juro tua ini tidak biasa melakukan sesuatu setengah-setengah. Sesudah saya ketahui siapa dia, saya ikuti dia tanpa sepengetahuannya. Dia pergi ke sebuah penginapan di Bakurocho."

"Oh, dia tinggal dekat sini?"

"Ya, tidak dekat sekali."

"Mungkin buatmu tidak dekat, tapi buatku, ya. Aku sudah pergi ke mana-mana di negeri ini, mencari dia." Osugi serentak berdiri, pergi ke lemari pakaian, dan mengeluarkan pedang pendek yang sudah beberapa angkatan disimpan keluarganya.

"Bawa aku ke sana," perintahnya.

"Sekarang?"

"Tentu saja sekarang."

"Tadinya saya kira Nenek ini punya banyak kesabaran tapi... kenapa Nenek mesti pergi sekarang?"

"Aku selalu siap menjumpai Musashi, kalau perlu seketika itu juga. Kalau aku terbunuh, kau dapat mengirimkan tubuhku pada keluargaku di Mimasaka."

"Apa Nenek tak bisa menunggu sampai majikan pulang? Kalau kita pergi macam ini, saya bisa didamprat gara-gara menemukan Musashi."

"Tapi kita tidak tahu, kapan Musashi akan pergi ke tempat lain lagi."

"Nenek jangan kuatir. Saya sudah mengirimkan orang buat mengamatamati tempat itu."

"Kau bisa jamin Musashi takkan pergi?"

"Ha? Saya sudah menolong Nenek, tapi Nenek mau mengikat saya dengan kewajiban? Tapi baiklah, saya jamin betul-betul. Nah, sekarang ini Nenek mesti tenang, duduklah menyalin kitab sutra atau kegiatan semacamnya."

"Di mana Yajibei?"

"Dia dalam perjalanan ke Chichibu, dengan kelompok agamanya. Saya tak tahu pasti, kapan dia kembali."

"Tak bisa aku menunggu."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita undang Sasaki Kojiro? Nenek bisa membicarakan soal itu dengannya."



Pagi harinya, sesudah menghubungi mata-matanya, Juro memberitahu Osugi bahwa Musashi sudah pindah dari penginapan, ke rumah seorang penggosok pedang.

"Nah, apa kataku!" ujar Osugi. "Tak bisa kita mengharapkan dia tinggal diam selamanya di satu tempat. Tahu-tahu nanti dia sudah pergi lagi." Osugi duduk menghadap meja tulis, tapi sepanjang pagi itu ia tidak menulis satu patah kata pun.

"Tapi Musashi tak bersayap," Juro menandaskan. "Tenanglah. Koroku akan menjumpai Kojiro hari ini."

"Hari ini? Bukannya tadi malam kau mengirim orang ke sana? Coba katakan sekarang, di mana Kojiro tinggal. Aku akan pergi sendiri."

Ia bersiap-siap pergi, tapi tiba-tiba Juro sudah menghilang, hingga Osugi terpaksa minta petunjuk pada sejumlah anak buah lain. Karena jarang meninggalkan rumah selama lebih dari dua tahun di Edo itu, Osugi tidak kenal betul dengan kota tersebut.

"Kojiro tinggal dengan Iwama Kakubei," kata orang kepadanya.

"Kokubei adalah pengikut Keluarga Hosokawa, tapi rumahnya sendiri ada di jalan raya Takanawa."

"Jaraknya sekitar setengah perjalanan mendaki Bukit Isarago. Semua orang bisa menunjukkan tempat itu."

"Kalau Nenek ada kesulitan, tanyakan Tsukinomisaki. Itu nama lain untuk Bukit Isarago."

"Rumah itu mudah dikenal, karena gerbangnya bercat merah terang. Itu satu-satunya tempat yang pakai gerbang merah di sana."

"Baiklah, aku mengerti," kata Osugi tak sabar, dengan perasaan benci karena secara tak langsung orang menganggapnya pikun atau bodoh.

"Rasanya tidak begitu sukar, karena itu lebih baik aku jalan. Jaga semuanya selagi aku pergi. Hati-hati dengan api. Kita tak ingin tempat ini terbakar, selagi Yajibei pergi." Ia mengenakan zori, memeriksa apakah benar pedang pendeknya sudah di pinggangnya, lalu memegang erat tongkatnya dan berangkat.

Beberapa menit kemudian, Juro kembali dan bertanya di mana Osugi. "Dia tanya kami, bagaimana pergi ke rumah Kakubei, lalu pergi sendiri."

"Yah, apa yang bisa kita lakukan dengan perempuan tua yang keras kepala?" Kemudian Juro berteriak ke arah kamar orang-orang lelaki,

"Koroku!"

Koroku meninggalkan judinya dan seketika menjawab panggilan itu. "Kau mau ketemu Kojiro tadi malam, tapi kau undurkan. Sekarang lihat apa yang terjadi. Perempuan tua itu sudah pergi sendiri."

"Betul?"

"Kalau nanti majikan datang, perempuan itu pasti buka mulut."

"Betul. Dan dengan lidahnya yang brengsek itu, kita bisa celaka dibuatnya."

"Yah. Kalau jalannya sama dengan bicaranya, itu baik saja, tapi badan sekurus belalang begitu! Kalau dia ditubruk kuda, matilah dia. Aku tak suka menyuruhmu, tapi lebih baik susullah dia, dan jaga supaya dia sampai di sana dalam keadaan utuh."

Koroku pun lari. Juro merenungkan brengseknya keadaan itu, dan duduk di sudut kamar para pemuda. Kamar itu besar, barangkali sepuluh kali tiga belas meter luasnya. Lantainya tertutup tikar tipis dari anyaman halus. Berbagai macam pedang dan senjata lain bertebaran di mana-mana. Pada beberapa paku tergantung sapu tangan, kimono, pakaian dalam, topi kebakaran, dan barang-barang lain yang biasa diperlukan gerombolan bandit. Dan ada dua barang yang tak pantas ada di sana. Yang pertama, kimono perempuan berwarna terang dengan pelipit sutra merah. Yang lain, gagang cermin bersepuh emas, tempat menggantungkan kimono itu. Kedua barang itu diletakkan di sana atas perintah Kojiro. Diterangkan oleh Kojiro kepada Yajibei secara agak misterius, bahwa kalau sekelompok lelaki hidup bersama di satu kamar, tanpa ada sesuatu yang sifatnya perempuan, orangorang itu akan cenderung tak terkendalikan dan saling berkelahi, bukan sebaliknya, menyimpan tenaga untuk pertempuran yang bermakna.

"Curang kau, bangsat!"

"Siapa yang curang? Gila kau!"

Juro melontarkan pandangan menghina kepada para penjudi itu, dan berbaring menyilangkan kaki seenaknya. Karena adanya keributan itu, tak mungkin ia tidur, tapi ia tak hendak merendahkan diri dengan ikut salah satu permainan kartu atau dadu itu. Tak ada saingan, seperti dilihatnya.

Ketika la memejamkan mata, terdengar satu suara kesal mengatakan, "Sial hari ini-sama sekali tak ada untung!" Orang yang kalah itu menjatuhkan bantal ke lantai, dengan mata sedih orang yang kalah besar, dan membaringkan diri di samping Juro. Sesudah itu disusul orang lain, lalu yang lain-lain juga.

"Apa ini?" tanya seorang dari mereka, sambil mengulurkan tangan untuk memegang kertas yang jatuh dari kimono Juro. "Aku akan... Iho, ini dari kitab sutra! Apa pula gunanya orang hina macam kau membawa-bawa kitab sutra?"

Juro membuka sebelah matanya yang mengantuk, dan katanya malas, "Oh, itu ya? Perempuan itu yang menyalin. Dia bilang, dia sudah bersumpah akan membuat seribu lembar."

"Coba kulihat," kata yang lain, dan merebut kertas itu.  "Tahu apa sih kau ini! Oh, tulisan ini manis dan jelas. Tiap orang bisa membacanya."

"Maksudmu, kau bisa membacanya?"

"Tentu. Ini permainan anak-anak."

"Baiklah, mari kita dengar sebagian. Coba nyanyikan yang baik. Nyanyimu macam pendeta."

"Kau bercanda, ya? Ini bukan lagu pop."

"Aah, apa bedanya? Dulu orang biasa menyanyikan kitab sutra. Begitulah mulanya lagu pujaan Budha itu. Kita kenal lagu pujaan, karena kita mendengarnya, kan?"

"Tak bisa kita menyanyikan kata-kata ini dengan lagu pujaan." "Kalau begitu, pakai lagu apa saja yang kau suka."

"Nyanyikan, Juro."

"Karena terdorong oleh semangat orang-orang lain itu, sambil terus menelentang Juro membuka kitab sutra di atas wajahnya, dan memulai,



"Sutra tentang Cinta Agung Orangtua.

Demikianlah yang pernah kudengar. Sekali, ketika sang Budha berada Di Puncak Burung Nasar yang Suci Di Kota penuh Istana Kerajaan,

Dan berkhotbah kepada para bodhisatwa dan murid, Berkumpullah massa biarawan, Biarawati dan orang awam, lelaki dan perempuan, Seluruh rakyat dari sekalian langit, Dewa-dewa naga dan jin,

Mendengarkan Hukum yang Suci.

Mereka berkumpul sekitar takhta bertatah permata Dan menatap dengan mata nyalang Ke arah wajah yang suci... "



"Apa maksudnya semua itu?"

"Kalau di situ dikatakan 'biarawati', apa itu maksudnya gadis-gadis yang kita namakan biarawati itu? Soalnya, kudengar biarawati-biarawati Yoshiwara sudah mulai membedaki mukanya sampai putih, dan mau memberikannya pada kita dengan bayaran lebih murah daripada di rumah pelacuran..."

"Diam kau!"



"Pada waktu itu sang Budha Mengkhotbahkan Hukum sebagai berikut: 'Hai, kalian lelaki dan wanita yang baik, Akuilah utangmu atas belas kasih ayahmu, Akuilah utangmu atas kemampuan ibumu. Demi kehidupan manusia di dunia ini, Milikilah karma sebagai asas pokok, Dan milikilah orangtua sebagai sumber terdekat nasabmu."



"Ah, isinya cuma bagaimana bersikap baik kepada ibu dan bapak. Kita sudah sejuta kali mendengarnya."

"Ssst!"

"Ayo nyanyikan lagi. Kami akan diam."



"Tanpa ayah, anak takkan lahir. Tanpa ibu, anak takkan diberi makan. Semangat berasal dari benih ayah; Tubuh tumbuh di dalam rahim ibu'"



Juro berhenti untuk mempersiapkan diri kembali dan mengorek hidungnya, kemudian mulai lagi.



"Karena hubungan ini,

Maka perhatian seorang ibu kepada anaknya Sungguh tiada bandingannya di dunia ini..., "



Melihat orang-orang lain diam, Juro bertanya, "Kalian mendengarkan, tidak?"

"Ya. Teruskan."



"Semenjak ia menerima anak di dalam rahimnya,

Maka sembilan bulan lamanya,

Selagi pergi, datang, duduk, dan tidur, Ia selalu dikunjungi penderitaan,

Ia tak lagi mencintai makanan, minuman, atau pakaian seperti biasa,

Dan hanya memprihatinkan keselamatan kelahiran. "



"Capek aku," keluh Juro. "Sudah cukup, kan?"

"Belum. Ayo terus nyanyi. Kami mendengarkan."



"Bulannya pun penuh, dan harinya mencukupi.

Pada saat kelahiran, angin karma mendorong, Tulang sang ibu diamuk rasa nyeri. Sang ayah menggigil takut.

Sanak keluarga dan pembantu kuatir dan merana. Dan ketika anak lahir dan jatuh ke atas rumput, Kegembiraan sang ayah dan ibu tak terbatas, Bandingannya perempuan pelit Yang menemukan permata ajaib mahakuasa. Ketika sang anak memperdengarkan bunyi-bunyi pertama,

Sang ibu merasa ia sendiri lahir kembali. Dadanya menjadi tempat istirahat sang anak, Pangkuannya menjadi tempat mainnya,

Dan buah dadanya menjadi sumber makanannya Cinta sang ibu, itulah hidupnya.

Tanpa sang ibu, sang anak tak dapat mengenakan atau menanggalkan pakaian. Walaupun sang ibu lapar.

Ia ambil makanan dari mulutnya sendiri dan ia berikan kepada anaknya.

Tanpa sang ibu, sang anak tak dapat makan.... "



"Ada apa? Kenapa berhenti?"

"Tunggu dulu sebentar!"

"Hei, coba lihat itu. Dia nangis seperti bayi."

 "Diam kau!"

Semua tadi dimulai secara iseng untuk melewatkan waktu, hampir-hampir sebagai kelakar, tapi makna kata-kata sutra itu ternyata berhasil mengendap. Tiga-empat orang, di luar si pembaca, memperlihatkan wajah tanpa senyum, dengan mata menerawang jauh.



"Sang ibu pergi ke kampung yang bertetangga untuk bekerja. Ia menimba air, membuat api, Menumbuk beras, membuat tepung. Malam hari, ketika ia kembali, Sebelum ia sampai rumah, ia dengar bayinya menangis, Dan hatinya penuh cinta.

Dadanya naik-turun, hatinya memekik, Air susu memancar, tak dapat ia menahan.

Ia lari ke rumab. Melihat ibunya mendekat dari jauh. Sang bayi menggerakkan otak, menggoyangkan kepala, Dan melolong memanggil ibunya. Ibunya membungkuk, Mengangkat kedua tangan anak itu, Meletakkan bibirnya ke bibir anaknya. Tak ada cinta yang lebih besar dari ini. Bila anak itu berumur dua tahun, la meninggalkan dada ibunya.

Tapi tanpa ayahnya, tak mungkin ia tahu api dapat membakar. Tanpa ibunya, tak mungkin ia tahu pisau dapat mengiris jari. Bila ia berumur tiga tahun, ia disapih dan belajar makan. Tanpa ayahnya, tak mungkin ia tahu racun dapat membunuh. Tanpa ibunya, tak mungkin ia tahu obat dapat menyembuhkan.

Apabila orangtua pergi ke rumah-rumah lain Dan mendapat makanan lezat, Mereka tidak memakannya, tapi memasukkannya ke kantung Dan membawanya pulang untuk anak itu, agar ia girang.... "



"Kau mewek lagi, ya?"

"Tak tahan aku. Teringat sesuatu."

"Hentikan. Kau bisa bikin aku nangis juga."

Sifat sentimental dalam hubungan dengan orangtua adalah tabu keras bagi para warga masyarakat tersingkir ini, karena menyatakan rasa cinta sebagai anak akan mengundang tuduhan lemah, keperempuan-perempuanan, atau lebih buruk lagi dari itu. Tapi hati Osugi yang sudah tua itu pasti akan senang sekali bila melihat mereka sekarang. Pembacaan kitab sutra itu telah mencapai inti hidup mereka, kemungkinan karena kesederhanaan bahasanya.

"Sudah habis, ya? Tak ada lagi?"

"Oh, masih banyak lagi."

"Nah?"

"Tunggu sebentar dong!" Juro berdiri, membuang ingus keras-keras, lalu duduk untuk melagukan sisanya.

"Anak itu semakin besar.

Sang ayah membawa pakaian untuk dikenakannya. Sang ibu menyisir ikal rambutnya. Mereka berdua memberikan segala yang indah dari milik mereka, Sedang untuk mereka sendiri hanya yang sudah tua dan usang. Akhirnya anak itu mengambil istri Dan membawa orang asing itu masuk rumah. Orangtua itu menjadi lebih jauh. Suami-istri yang baru itu akrab satu dengan yang lain.

Mereka diam di kamar mereka sendiri, dan mengobrol bahagia berdua. "



"Memang begitu itu," sela satu suara.



"Orangtua menjadi tua.

Semangat mereka melemah, kekuatan mereka menghilang. Hanya anak tumpuan mereka, Hanya istrinya bekerja untuk mereka.

Tetapi sang anak tidak lagi mendatangi mereka. Malam hari maupun siang hari. Kamar mereka dingin.

Tiada lagi pembicaraan menyenangkan. Mereka seperti tamu yang kesepian di sebuah penginapan.

Datang saat gawat, dan mereka memanggil anaknya. Sembilan dari sepuluh, sang anak tidak datang, Tidak juga ia melayani mereka. Ia jadi marab dan mencerca mereka, katanya, lebih baik mati daripada hidup terus tanpa guna di dunia ini. Orangtua mendengarkan, dan hatinya penub keberangan. Sambil menangis, kata mereka, ketika kau kecil,

Tanpa kami, tak akan kau lahir. Tanpa kami, tak akan kau tumbuh. Ah! Betapa kami..."



Juro mendadak berhenti dan melemparkan teks itu. "Oh, aku... aku tak bisa. Yang lain saja yang baca."


Tapi tak seorang pun menggantikan tempatnya. Mereka semua menangis seperti anak hilang. Ada yang berbaring menelentang, ada yang tengkurap, ada yang duduk bersilang kaki, dengan kepala menunduk di antara kedua lututnya. Mereka berurai air mata, seperti anak-anak yang tersesat.

Ke tengah suasana yang hampir tak mungkin terjadi ini masuklah Sasaki Kojiro.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP