Sabtu, 15 Juli 2017



Setan-Setan Gunung

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







"BAIKLAH, saya sampaikan dengan terus terang. Saya tak ingin merepotkan Anda. Keramahtamahan Anda sangat saya hargai, dan itu cukup."

"Baik, Pak. Bapak sungguh baik budi," jawab pendeta itu.

"Saya cuma ingin beristirahat. Itu saja." "Oh, silakan, silakan."

"Nah, sekarang saya harap Anda mau memaafkan kekasaran saya," kata samurai itu sambil seenaknya berbaring miring, dan mengganjal kepalanya yang sudah ubanan dengan lengannya.

Tamu yang baru datang di Kuil Tokuganji itu adalah Nagaoka Sado, tangan kanan Yang Dipertuan Hosokawa Tadaoki dari Buzen. Ia bukan orang yang punya banyak waktu untuk urusan pribadi, tapi pada kesempatan-kesempatan seperti peringatan tahunan meninggalnya ayahnya, ia selalu datang, dan biasanya ia bermalam, karena kuil itu sekitar dua puluh mil jauhnya dari Edo. Untuk ukuran orang berpangkat seperti dirinya, perjalanannya itu ia lakukan dengan sederhana saja, kali ini hanya diiringi dua samurai dan seorang pelayan pribadi yang masih muda. Untuk dapat sebentar saja meninggalkan bangunan Hosokawa itu, ia mesti membuat-buat alasan. Jarang ia mendapat kesempatan melakukan sesuatu yang ia senangi, maka ketika ia dapat melakukannya, seperti sekarang ini, ia dengan sungguh-sungguh menikmati sake buatan setempat, sambil men­dengarkan kodok-kodok berbunyi. Sebentar saja ia sudah dapat melupakan segalanya-masalah-masalah pemerintahan dan kebutuhan yang tak henti-hentinya untuk menyesuaikan diri dengan nuansa peristiwa sehari-hari.

Sesudah makam malam, si pendeta lekas-lekas membereskan pinggan mangkuk, dan pergi. Sado mengobrol iseng dengan para pelayannya yang duduk di dekat dinding. Hanya wajah mereka yang tampak dalam cahaya lampu.

"Mau rasanya berbaring terus di sini, dan masuk Nirwana, seperti sang Budha," kata Sado malas.

"Tapi hati-hati, jangan sampai Bapak pilek. Udara malam lembap."

"Ah, sudahlah. Beberapa pertempuran sudah dialami badan ini dengan selamat. Dia akan sanggup menghadapi sendiri satu-dua bersin. Tapi coba cium bau kembang masak itu! Harum sekali, ya?"

"Saya tak mencium apa-apa."

"Tidak? Kalau indra penciummu begitu lemah... apa kau yakin kau sendiri tidak pilek?"

Sementara mereka sibuk dengan kelakar yang kelihatannya ringan ini, tiba-tiba kodok-kodok berhenti berbunyi, dan seseorang berteriak keras, "Setan kau! Apa kerjamu di sini, mengawas-awasi kamar tamu?"

Seketika pengawal Sado berdiri.

"Ada apa?"

"Siapa di sana?"

Sementara mata tajam mereka menyelidiki halaman, detap kaki-kaki kecil kedengaran menjauh ke arah dapur.

Seorang pendeta masuk dari beranda, membungkuk, dan katanya, "Maaf atas gangguan ini. Cuma seorang dari anak-anak sini. Tak perlu kuatir."

"Anda yakin?"

"Tentu. Dia tinggal beberapa mil dari sini. Ayahnya dulu kerja sebagai tukang kuda, sampai meninggalnya baru-baru ini. Kakeknya kabarnya seorang samurai. Tiap kali anak itu melihat samurai, dia berhenti untuk melihat, dan menggigit jari."

Sado duduk. "Anda jangan terlalu keras dengan dia. Kalau dia ingin menjadi samurai, bawa dia masuk. Kita keluarkan gula-gula, dan kita bicarakan soal itu."

Waktu itu Iori sudah sampai dapur. "Hei, Nek," teriaknya. "Saya kehabisan jewawut. Isi dong ini." Karung yang disodorkannya pada perempuan tua yang sudah keriput dan kerja di dapur itu barangkali bisa muat setengah gantang.

Perempuan itu membalas dengan teriakan. "Jaga lidahmu, pengemis! Bicaramu seakan kami berutang padamu."

"Dan lagi berani-berani amat kau ini!" kata seorang pendeta yang sedang mencuci piring. "Pendeta kepala kasihan padamu, karena itu kami beri kau makanan, tapi jangan kurang ajar. Kalau kau minta bantuan, mesti sopan."

"Saya tidak mengemis. Saya berikan pada pendeta kantung peninggalan ayah saya. Dalam kantung itu ada uang, dan banyak jumlahnva."

"Kau kira berapa banyak dapat ditinggalkan seorang tukang kuda yang hidup di desa itu?"

"Mau kasih jewawut sama saya atau tidak?"

"Nah, begitu lagi. Coba lihat dirimu itu. Kau memang sinting, mau saja menerima perintah-perintah ronin tolol itu. Dari mana pula asal orang itu? Siapa dia? Kenapa dia mesti makan makananmu?"

"Sama sekali bukan urusanmu."

"Huh. Mencangkul terus di tanah tandus, di mana takkan mungkin timbul ladang atau kebun atau apa pun! Seluruh desa menertawakan kalian."

"Siapa yang minta nasihatmu?"

"Apa pun penyakit yang ada dalam kepala ronin itu, pasti menular. Apa yang kalian temukan di sana itu-satu kuali emas, macam dalam dongeng. Kau ini masih plonco, tapi sudah menggali kuburanmu sendiri."

"Tutup mulutmu, dan beri aku jewawut. Jewawut! Sekarang!"

Pendeta masih menggoda Iori beberapa menit lagi, dan tiba-tiba suatu benda dingin berlumpur mengenai wajahnya. Mata si pendeta melotot, kemudian tahulah ia benda apa itu—seekor kodok berkutil. Ia menjerit dan menyerbu ke arah anak itu, tapi ketika ia berhasil mencengkeram leher baju si anak, pendeta lain datang menyatakan bahwa anak itu diminta masuk ruangan samurai.

Pendeta kepala sudah mendengar juga keributan itu, dan bergegas ke dapur. "Apa dia sudah bikin apa-apa yang mengganggu tamu kita?" tanyanya cemas.

"Tidak. Sado baru saja mengatakan ingin bicara dengannya, dan mau memberinya gula-gula."

Pendeta kepala buru-buru menggandeng tangan Iori dan membawanya langsung ke ruangan Sado.

Iori dengan malu-malu duduk di samping sang pendeta, dan Sado bertanya, "Berapa umurmu?"

"Tiga belas."

"Kau ingin menjadi samurai, ya?"

"Betul," jawab Iori sambil mengangguk-angguk bersemangat.

"Ya, ya. Bagaimana kalau kau pindah tinggal di rumahku? Mula-mula kau mesti membantu melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi nanti akan kubikin kau magang samurai."

Iori menggelengkan kepala, tanpa kata-kata. Sado mengira sikap demikian itu disebabkan rasa malu, dan ia meyakinkan anak itu bahwa tawarannya sungguh-sungguh.

Iori melontarkan pandangan marah, katanya, "Saya dengar Bapak mau memberi saya gula-gula. Mana gula-gula itu?"

Dengan wajah pucat, pendeta kepala menampar pergelangan tangannva.

"Jangan marahi dia," kata Sado dengan nada memarahi. Ia memang suka pada anak-anak, dan cenderung untuk selalu menuruti kemauan mereka. "Dia benar. Seorang lelaki mesti memenuhi janjinya. Ambilkan gula-gula itu."

Ketika gula-gula itu dibawa masuk, Iori mulai menjejalkannya ke dalam kimononya.

Sado heran juga, tanyanya, "Kau tidak memakannya di sini?"

"Tidak. Guru saya menanti saya di rumah."

"Oh? Kau punya guru?"

Iori tak mau susah-susah menjawab. Ia meloncat dari ruangan dan merighilang ke kebun.

Sado merasa tingkah laku Iori itu menarik sekali. Tapi tidak demikian halnya dengan pendeta kepala. Ia membungkuk ke lantai dua-tiga kali sebelum pergi ke dapur, mengejar Iori.

"Di mana anak kurang ajar itu?"

"Dia ambil karung jewawut itu, dan pergi."

Mereka mendengarkan sebentar, tapi yang mereka dengar tak lain dari bunyi lengkingan yang tidak selaras. Iori sudah memetik daun sebuah pohon, dan mencoba memainkan satu lagu. Tapi rupanya di antara beberapa lagu yang dikenalnya, tak ada yang dapat dimainkan dengan baik. Lagu kerja tukang-tukang kuda terlalu lambat, sedangkan lagu-lagu pesta Bon terlalu rumit. Akhirnya ia memainkan saja lagu yang mirip dengan musik tari suci di tempat suci setempat. Ini cocok sekali untuknya, karena ia menyukai tari-tarian itu. Kadang-kadang dulu ayahnya membawanya melihat tari-tarian itu.

Sekitar setengah jam ke Hotengahara, di tempat bertemunya dua aliran air menjadi sebuah sungai, tiba-tiba ia terkejut. Daun itu terloncat dari mulutnya, disertai semprotan ludah, dan ia melompat ke rumpun bambu di samping jalan.

Di atas sebuah jembatan sederhana, berdiri tiga atau empat orang, sedang terlibat dalam percakapan rahasia. "Mereka!" seru Iori lirih.

Ancaman yang pernah didengarnya mendering lagi dalam telinganya yang ketakutan. Apabila para ibu di daerah ini memarahi anak-anaknya, mereka terbiasa mengatakan, "Kalau kau nakal, setan-setan gunung akan turun mengambilmu." Terakhir kali setan-setan gunung itu benar-benar datang adalah pada musim gugur dua tahun yang lalu.

Sekitar tiga puluh kilometer dari situ, di Pegunungan Hitachi, ada sebuah tempat suci yang dipersembahkan kepada dewa gunung. Berabad-abad sebelumnya, penduduk begitu takut pada dewa itu, hingga desa-desa bergiliran memberikan sesaji tahunan berupa padi dan perempuan kepadanya. Apabila tiba giliran sebuah desa, maka penduduk desa itu mengumpulkan persembahan dan berarak-arak membawa obor ke tempat suci itu. Kemudian, setelah ketahuan bahwa dewa itu hanya seorang manusia, mereka menjadi lalai memberikan persembahan.

Selama berlangsungnya perang saudara, apa yang dinamakan dewa gunung itu mulai mengumpulkan persembahan dengan paksa. Tiap dua atau tiga tahun, gerombolan perampok bersenjatakan tombak-kapak, tombak berburu, kapak-apa saja yang dapat menimbulkan rasa takut dalam hati penduduk yang damai-turun mula-mula ke satu desa, kemudian ke desa lain, membawa pergi segala yang memenuhi selera mereka, termasuk istri-istri orang dan anak-anak gadis. Kalau korban memberikan perlawanan, penjarahan pun disertai pembantaian.

Karena serbuan terakhir mereka masih tergambar jelas dalam kenangannya, Iori menyembunyikan diri di semak-semak. Kelompok yang terdiri atas lima bayangan datang berlari melintas ladang ke jembatan. Kemudian, di tengah kabut malam itu, datang kelompok lain yang lebih kecil, menyusul kelompok lain lagi, sampai jumlah bandit itu mencapai antara empat puluh dan lima puluh orang.

Iori menahan napas dan memperhatikan baik-baik, sementara mereka bersoal jawab tentang tindakan yang akan mereka ambil. Segera kemudian mereka mencapai kesepakatan. Pemimpin mereka mengeluarkan perintah dan menuding ke arah desa. Orang-orang itu menyerbu ke sana, seperti kawanan belalang.

Tak lama kemudian, kabut malam penuh oleh suara ingar-bingarburung, binatang ternak, kuda, lolongan manusia, tua maupun muda.

Iori cepat mengambil keputusan untuk meminta bantuan dari samurai yang ada di Kuil Tokuganji, tapi begitu ia meninggalkan persembunyian bambu itu, terdengar teriakan dari jembatan, "Siapa di sana?" Ia tak melihat bahwa dua orang ditinggalkan untuk berjaga di jembatan. Dengan napas terengah-engah ia berlari sekencang-kencangnya, tapi kedua kakinya yang pendek itu bukan tandingan untuk dua orang dewasa.

"Ke mana kau pergi?" teriak orang yang pertama menangkapnya.

"Siapa kau?"

Iori bukannya menangis seperti bayi yang akan membuat orang-orang itu lengah, tapi sebaliknya mencakar-cakar memberontak, melawan tangan-tangan kuat yang memenjarakannya.

"Dia melihat kita semua. Dia akan melapor."

"Kita pukuli saja sampai babak belur, lalu kita buang ke sawah."

"Aku ada pikiran yang lebih baik."

Mereka membawa Iori ke sungai, mereka lemparkan ke bawah, kemudian mereka sendiri menyusul melompat, dan mereka ikatkan Iori ke salah satu tiang jembatan.

"Nah, di situ dia akan aman." Kedua bajingan itu naik kembali ke pos mereka di jembatan.

Lonceng kuil berdentang-dentang di kejauhan. Iori ketakutan melihat nyala api yang membubung di atas desa itu membuat sungai menjadi merah darah. Suara bayi menangis dan perempuan-perempuan melolong terdengar makin lama makin dekat. Kemudian terdengar roda-roda berkeracak naik jembatan. Setengah lusin bandit menggiring kereta-kereta sapi dar kuda-kuda yang bermuatan barang rampasan.

"Sampah kotor!" teriak satu suara lelaki.

"Kembalikan istriku!"

Perkelahian di atas jembatan itu singkat, tapi ganas. Orang-orang memekik dan logam berdentangan, jeritan melangit, dan sesosok mayat berlumuran darah mendarat di kaki Iori. Tubuh lain tercebur ke sungai, memerciki wajahnya dengan darah dan air. Satu demi satu para petani jatuh dari jembatan, enam orang semuanya. Tubuh-tubuh itu naik ke permukaan dan mengapung turun menghilir, tapi satu orang yang belum mati benar mencengkeram buluh dan mencakar tanah, hingga ia dapat mengangkat setengah badannya dari air.

"Hei!" teriak Iori. "Lepaskan tali ini. Saya akan minta tolong. Akan saya usahakan supaya Bapak bisa balas dendam." Kemudian suaranya berubah jadi teriakan. "Ayo! Lepaskan saya. Saya mesti selamatkan desa itu." Tapi orang itu tak bergerak.

Iori mendesak ikatannya dengan seluruh tenaganya, dan akhirnya ia berhasil mengendurkannya sedikit, hingga dapat memerosotkan badan dan menendang bahu orang itu.

Wajah yang menoleh kepadanya itu bernoda lumpur dan darah kental. Matanya pudar, tak paham.

Orang itu merangkak dengan penuh kesakitan, mendekat. Dengan sisa tenaganya la lepaskan simpul tali. Ketika tali terlepas, ia rebah dan mati.

Iori memandang hati-hati ke jembatan, dan menggigit bibir. Di atas sana terdapat lebih banyak tubuh orang. Tapi ia beruntung. Sebuah roda gerobak terperosok ke dalam papan yang sudah lapuk. Para perampok menariknya keluar dalam keadaan tergesa-gesa, dan tidak melihat Iori meloloskan diri.

Karena sadar tidak akan bisa sampai ke kuil, Iori berjingkat menyusur bayangan pepohonan, sampai akhirnya tiba di tempat yang cukup dangkal untuk diseberangi. Ketika sampai di seberang sana, ia sudah berada di ujung Hotengahara. Ia tempuh jarak satu kilometer lagi ke pondoknya, seakan-akan kilat sedang menyambar-nyambar tumitnya.

Ketika sudah menghampiri bukit tempat berdirinya pondok, ia lihat Musashi berdiri di luar, memandang langit. "Cepat ikut!" teriak Iori.

"Ada apa?"

"Kita mesti pergi ke desa."

"Apa api itu di sana?"

"Ya, setan-setan gunung itu datang lagi."

"Setan?... Bandit, ya?"

"Ya, paling tidak empat puluh orang jumlahnya. Kita mesti menyelamatkan orang desa."

Musashi masuk ke dalam pondok, dan keluar lagi membawa kedua pedangnya.

Sementara ia mengikatkan sandalnya, Iori berkata, "Ikuti saya. Akan saya tunjukkan jalannya."

"Jangan. Kau tinggal di sini."

Iori tak dapat mempercayai telinganya.

"Terlalu berbahaya."

"Tapi saya tidak takut."

"Kau bisa menghalangi."

"Tapi Bapak tidak tahu jalan terdekat ke sana!"

"Api itu bisa jadi penunjukku. Sekarang jadilah anak baik, dan tinggal saja di sini."

"Baik, Pak." Iori mengangguk patuh, tapi dengan perasaan sangat was-was. Ia menolehkan kepala ke arah desa, dan memandang muram ketika Musashi melejit ke arah nyala merah itu.

Bandit-bandit mengikat para tawanan perempuan yang merintih dan menjerit dalam satu barisan, dan menarik mereka tanpa kenal ampun ke jembatan.

"Jangan lagi berkaok-kaok!" teriak seorang bandit. "Seperti tak bisa jalan saja. Ayo jalan!"

Ketika perempuan-perempuan itu bertahan, bajingan-bajingan itu mendera mereka dengan cambuk. Seorang perempuan jatuh, menyeret jatuh yang lain-lain. Seseorang menangkap tali itu dan memaksa mereka berdiri kembali. Bentaknya, "Anjing-anjing kepala batu! Apa yang kalian rintihkan? Mau saja kalian tinggal di sini, kerja macam budak sepanjang hidup, cuma demi secuwil jewawut? Coba lihat diri kalian itu, cuma kulit pembalut tulang. Kalian bisa jauh lebih makmur, kalau mau bersenang-senang dengan kami.

Mereka pilih salah satu binatang yang tampaknya lebih sehat dan penuh bermuatan barang rampasan, mereka ikatkan tali itu padanya, lalu mereka cambuk pantat binatang itu keras-keras. Tali pun mengencang dengan tibatiba, dan jeritan-jeritan membelah udara ketika perempuan-perempuan itu disentakkan lagi ke depan. Yang terjatuh terseret terus, wajah mereka menggaruk-garuk tanah.

"Berhenti!" jerit seorang. "Tanganku bisa lepas!"

Gelombang tawa parau melanda kawanan perampok itu.

Tapi pada saat itu, kuda dan perempuan-perempuan itu mendadak berhenti.

"Ada apa?... Oh, ada orang di depan!"

Semua mata ditajamkan untuk melihat.

"Siapa di sana?" raung seorang bandit.

Bayangan tenang yang berjalan ke arah mereka itu membawa pedang. Bandit-bandit yang sudah tajam mencium bau, dengan seketika dapat mengenali bau yang mereka cium—darah yang menetes-netes dari pedang.

Orang-orang yang ada di depan mundur dengan kikuk, dan Musashi menaksir kekuatan musuhnya. Dua belas orang, semuanya berotot keras dan tampak kasar. Sesudah sadar kembali dari guncangan awal, mereka menyiapkan senjata dan mengambil jurus bertahan. Satu orang berlari ke depan, membawa kapak. Seorang lagi, yang membawa tombak berburu. mendekat dari arah diagonal sambil merunduk rendah, mengancam rusuk Musashi. Orang yang memegang kapak maju pertama.

"A-w-w-k!" Kedengaran seperti menggigit lidah sendiri sampai putus. orang itu menggeliat hebat, kemudian roboh.

"Kalian tak kenal aku?" suara Musashi mendering tajam. "Aku pelindung rakyat, utusan dewa yang mengawasi desa ini." Detik itu juga ia menangkap tombak yang diarahkan kepadanya, menyentakkannya dari tangan pemiliknya, dan membantingnya keras ke tanah. Dengan cepat ia menyerbu ke tengah gerombolan bajingan itu, sibuk menangkis tusukan-tusukan yang datang dari segala penjuru. Tapi, sesudah serangan pertama yang dilancarkan selagi mereka masih berkelahi dengan penuh keyakinan, tahulah Musashi apa yang bakal terjadi. Persoalannya bukan jumlah, tapi kekompakan dan kontrol diri lawan.

Melihat bahwa satu demi satu rekan mereka berubah menjadi peluru yang menyemburkan darah, bandit-bandit itu segera mengundurkan diri, makin lama makin jauh, akhirnya panik dan kehilangan segala kemampuan untuk menyusun diri.

Selagi berkelahi pun Musashi dapat menarik pelajaran, memanfaatkan pengalaman yang kelak menuntunnya kepada metode khusus untuk dipergunakan pihak lemah terhadap pihak kuat. Ini adalah pelajaran berharga, yang tidak dapat diperoleh dalam perkelahian dengan musuh tunggal.

Kedua pedangnya masih berada dalam sarungnya. Bertahun-tahun ia berlatih menguasai seni menangkap senjata lawan dan membalikkannya untuk menyerang. Sekarang ia melaksanakan teori itu dalam praktek, merebut pedang dari orang pertama yang dihadapinya. Alasannya bukan karena pedangnya, yang ia anggap sebagai jiwanya sendiri itu, terlampau bersih untuk dinodai darah perampok biasa. Ia hanya bertindak praktis: untuk melawan persenjataan yang beraneka ragam itu, pedang bisa rompal, bahkan bisa patah.

Ketika lima atau enam orang yang masih selamat melarikan diri ke arah desa, Musashi mengambil waktu semenit-dua menit untuk beristirahat dan mengatur napas, dengan perkiraan mereka akan datang kembali membawa bala bantuan. Kemudian ia bebaskan perempuan-perempuan itu, dan ia perintahkan mereka yang masih bisa berdiri untuk membantu yang lain.

Sesudah mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur dan menyemangati mereka, ia mengatakan bahwa tergantung pada mereka sendiri untuk menyelamatkan orang tua, anak-anak, dan suami mereka.

"Kalian akan merana kalau kalian tetap hidup, sedangkan mereka tewas, kan?" tanyanya.

Terdengar bisik-bisik setuju.

"Kalian sebetulnya punya kekuatan untuk melindungi diri dan menyelamatkan yang lain-lain. Tapi kalian tidak tahu bagaimana menggunakan kekuatan itu. Karena itulah kalian menjadi korban bandit-bandit itu. Kita mesti mengubah keadaan ini. Akan kubantu kalian menggunakan kekuatan yang kalian miliki. Yang pertama-tama mesti dilakukan, persenjatai diri kalian."

Ia suruh mereka mengumpulkan senjata yang bertebaran itu, dan membagikannya satu-satu pada semua perempuan.

"Sekarang ikut aku, dan lakukan seperti kuperintahkan. Kalian tak perlu takut. Coba yakinkan diri kalian, bahwa dewa daerah ini ada di pihak kalian."

Ketika ia pimpin perempuan-perempuan itu menuju desa yang terbakar, orang-orang lain yang juga menjadi korban, muncul dari balik bayangan pepohonan dan menggabungkan diri dengan mereka. Sebentar kemudian, kelompok itu sudah berkembang menjadi pasukan kecil yang jumlahnya hampir seratus orang. Para perempuan mendekap orang-orang yang mereka cintai sambil berurai air mata. Anak-anak perempuan dipersatukan kembali dengan orangtuanya, istri-istri dengan suaminya, ibu-ibu dengan anak-anaknya.

Semula, ketika perempuan-perempuan menceritakan bagaimana Musashi menghadapi bandit-bandit itu, orang-orang lelaki hanya mendengarkan dengan wajah bengong, tak percaya bahwa itulah ronin goblok dari Hotengahara itu. Ketika mereka mempercayainya, rasa terima kasih mereka tak disembunyikan lagi, sekalipun ada kesulitan dalam hal dialek.

Sambil menoleh kepada kaum pria, Musashi minta mereka mencari senjata. "Apa pun bisa digunakan, bahkan tongkat yang cukup berat dan baik, atau sebatang bambu yang masih baru."

Tak seorang pun membantah atau bertanya tentang perintah-perintahnya.

Musashi bertanya, "Berapa orang bandit semuanya?"

"Sekitar lima puluh."

"Berapa rumah di desa itu?"

"Tujuh puluh."

Musashi memperhitungkan, barangkali seluruhnya ada tujuh atau delapan ratus orang. Biarpun orang tua dan anak-anak tidak dimasukkan, perampok masih kalah jauh jumlahnya, sepuluh lawan satu.

Ia tersenyum geram, karena penduduk desa yang damai itu tadinya percaya tak ada jalan lain kecuali mengangkat tangan dengan putus asa. Ia tahu bahwa jika tidak dilakukan suatu tindakan, kekejian itu akan berulang. Malam itu ia ingin melaksanakan dua hal: menunjukkan pada orang-orang desa, bagaimana melindungi diri sendiri, dan mengusahakan agar para perampok itu pergi untuk selamanya.

"Pak," teriak seorang lelaki yang baru saja datang dari desa. "Mereka sedang jalan ke sini."

Walaupun sekarang orang-orang desa sudah bersenjata, berita itu membuat mereka gelisah. Terlihat tanda-tanda mereka ragu dan akan lari.

Untuk mengembalikan keyakinan mereka, Musashi berkata keras, "Tak ada yang perlu dikuatirkan. Aku sudah menduga. Kuminta kalian bersembunyi di kedua sisi jalan, tapi pertama-tama dengarkan perintahku." Ia berbicara cepat tapi tenang, dan dengan singkat mengulangi beberapa hal yang mesti ditekankan. "Kalau mereka sampai di sini, akan kubiarkan mereka menyerangku. Kemudian aku akan pura-pura lari. Mereka akan mengejarku. Kalian-kalian semua-tinggal di tempat kalian. Aku tak butuh bantuan apa-apa.

"Tapi sebentar kemudian mereka akan kembali. Nah, waktu mereka kembali, serang! Bikin suara ribut, bikin mereka terkejut. Pukul lambung mereka, kaki dan dada meraka-mana saja yang tak terlindung. Habis melayani rombongan pertama itu, kalian sembunyi lagi, dan tunggu yang berikutnya. Lakukan terus begitu, sampai mereka semua mati."

Belum lagi ia selesai mengucapkan kata-kata itu dan para petani menyebar, kaum perusak itu muncul. Dari pakaian dan tiadanya kerja sama pada mereka, Musashi menduga kekuatan tempur mereka itu masih primitif, seperti pada zaman dahulu, ketika orang masih berburu dan menangkap ikan untuk hidup. Nama Tokugawa tak ada artinya bagi mereka, begitu pula nama Toyotomi. Pegununganlah tempat kediaman suku mereka. Orang-orang desa itu bertugas menyediakan makanan dan perbekalan bagi mereka.

"Berhenti!" perintah satu orang yang ada di depan kawanan. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang, sebagian memegang pedang kasar, sebagian lagi lembing, satu membawa kapak perang, yang lain tombak berkarat. Dengan latar belakang nyala api, tubuh mereka tampak seperti bayang-bayang setan sehitam jelaga.

"Apa ini orangnya?"

"Ya, itu dia orangnya."

Musashi berdiri menghadang, sekitar dua puluh meter di hadapan mereka. Mereka bingung, dan mulai meragukan kekuatan sendiri. Untuk sesaat tak seorang pun dari mereka bergerak.

Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Mata Musashi yang menyala-nyala mulai menyeret mereka ke arahnya, tanpa dapat ditawar lagi.

"Kau bajingan mau mencoba menghalangi jalan kami?"

"Betul!" raung Musashi sambil menangkap pedang dan menyerbu ke tengah mereka. Maka berkumandanglah suara seru, diikuti keributan angin pusaran. Tak mungkin lagi melihat gerakan masing-masing orang. Suasana jadi seperti kerumunan semut yang berputar-putar.

Sawah di satu sisi jalan dan tanggul yang dibarisi pepohonan dan semak belukar di sisi yang lain itu baik sekali untuk Musashi, karena memberikan semacam perlindungan, tapi sesudah bertempur sebentar, ia melakukan pengunduran diri secara strategis.

"Lihat."

"Bangsat itu lari!"

"Kejar dia!"

Mereka mengejarnya sampai sudut terjauh ladang terdekat, dan di situ ia membalik dan menghadapi mereka kembali. Karena tak ada apa pun di belakangnya, kedudukannya kelihatan lebih buruk, tapi ia terus memaksa lawan-lawannya bertahan dengan bergerak cepat ke kiri dan ke kanan. Kemudian, bila ada yang membuat gerakan keliru, Musashi segera menghantamnya.

Sosok tubuhnya yang hitam seakan melenting dan tempat yang satu ke tempat lain, sementara darah menyembur di depannya, tiap kali ia berhenti. Bandit-bandit yang tidak terbunuh jadi terlalu bingung untuk berkelahi, sedangkan Musashi sendiri semakin dahsyat pukulannya. Pertempuran ini lain dengan pertempuran di Ichijoji. Ia tidak merasa berdiri di perbatasan antara hidup dan mati. Ia sudah mencapai tingkat di luar dirinya, sementara tubuh dan pedangnya terus bekerja, tanpa mesti berpikir secara sadar. Para penyerang melarikan diri tunggang-langgang.

Bisikan berantai terdengar di antara orang-orang desa. "Mereka datang." Kemudian sekelompok dari mereka melompat keluar dari persembunyian dan menyerang dua-tiga bandit pertama, dan membunuh mereka hampir tanpa kesukaran. Para petani masuk kembali ke dalam kegelapan, dan proses itu berulang lagi, sampai semua bandit berhasil dihadang dan dibunuh. Ketika jumlah mayat dihitung, keyakinan orang desa meningkat.

"Ternyata mereka tidak begitu kuat," satu orang berkata megah.

"Tunggu! Ini datang satu lagi."

"Hajar dia!"

"Hai, jangan serang. Ronin itu!"

Dengan sedikit saja kekacauan, mereka membariskan diri sepanjang jalan, seperti serdadu yang sedang diperiksa oleh jenderalnya. Semua mata tertuju kepada pakaian Musashi yang basah oleh darah, dan pedangnya yang juga mengucurkan darah. Pedang itu rompal di selusin tempat. la buang pedang itu, dan ia pungut sebatang lembing.

"Kerja kita belum selesai," katanya. "Cari senjata buat kalian sendiri, dan mari ikut aku. Dengan menyatukan kekuatan, kalian dapat mengusir kaum perusak itu dari desa dan menyelamatkan keluarga kalian."

Tak seorang pun ragu-ragu. Perempuan dan anak-anak pun mendapat senjata dan ikut serta.

Kerusakan yang menimpa desa tidak seluas yang mereka takutkan, karena kediaman mereka terpisah satu sama lain. Tetapi ternak yang ketakutan menimbulkan keributan baru, dan ada seorang bayi yang menangis keras. Letusan-letusan keras terdengar dari tepi jalan. Di situ api menjalar ke sebuah rumpun bambu yang masih hijau.

Bandit-bandit tidak kelihatan di mana pun.

"Di mana mereka?" tanya Musashi. "Rasanya aku mencium bau sake. Di mana ada banyak sake terkumpul?"

Orang desa demikian sibuk melihat api, hingga tak seorang pun mencium bau itu, tapi seorang dari mereka berkata, "Tentunya di rumah kepala Dia punya bertong-tong sake."

"Kalau begitu, kita cari mereka di sana," kata Musashi.

Sementara mereka maju, lebih banyak lagi orang keluar dari persembunyian dan menyatukan diri dengan barisan mereka. Musashi puas melihat berkembangnya semangat kesatuan.

"Nah, di sana," kata satu orang sambil menuding sebuah rumah besar yang dikelilingi tembok tanah.

Sementara para petani menyusun diri, Musashi memanjat tembok dan memasuki benteng bandit-bandit itu. Pemimpinnya dan wakil-wakil terpentingnya menyembunyikan diri dalam kamar berlantai tanah. Mereka sedang meneguk sake dan memperhatikan gadis-gadis muda yang mereka tawan.

"Jangan bingung!" teriak sang pemimpin marah, dengan dialek gunung yang kasar. "Dia cuma satu orang. Tak perlu aku sendiri yang turun tangan. Kalian semua hadapi dia." Ia sedang memarahi seorang bawahan yang berlari masuk membawa berita kekalahan di luar desa itu.

Ketika pemimpin mereka terdiam, yang lain-lain mulai mendengar ributnya suara marah di luar tembok, dan mulailah mereka bergerak gelisah. Sambil menjatuhkan daging ayam yang baru setengah dimakan dan mangkuk-mangkuk sake, mereka bangkit berdiri dan secara naluriah menjangkau senjata. Kemudian mereka berdiri, menatap pintu masuk ke kamar itu.

Musashi menggunakan lembingnya sebagai galah, melompat lewat jendela samping yang tinggi, dan mendarat langsung di belakang si pemimpin. Orang itu memutar badan, tapi seketika itu juga ia sudah tertembus lembing. Dengan memperdengarkan bunyi "A-w-r-g" mengerikan, ia mencekal lembing yang bersarang di dadanya dengan kedua tangan. Dengan tenang Musashi melepaskan lembing itu, dan rebahlah orang itu ke tanah, sementara mata lembing dan gagangnya mencuat dari punggungnya.

Orang kedua yang menyerang Musashi terampas pedangnya. Musashi membelah tubuhnya, kemudian menebaskan pedang itu ke kepala orang ketiga, dan menusukkannya ke dada orang keempat. Yang lain-lain lari tunggang-langgang ke pintu. Musashi melemparkan pedang itu ke arah mereka, dan sebagai kelanjutan gerak itu, ia mencabut lembing dari tubuh si pemimpin.

"Jangan bergerak!" teriaknya. Ia menyerang dengan lembing yang dipegang mendatar, dan memisahkan para bandit itu menjadi dua, seperti air ditempa galah. Ini memberikan kepadanya cukup ruang untuk secara efektif menggunakan senjata panjang itu. Sekarang lembing diayunkannya dengan penuh kecekatan, untuk mencoba daya lenting gagangnya yang terbuat dari kayu ek hitam itu. Ia memukul ke samping, menebas ke bawah, dan menusuk tanpa kenal ampun ke depan.

Bandit-bandit yang mencoba keluar dari gerbang terhalang jalannya oleh orang-orang desa yang bersenjata. Beberapa orang memanjat dinding. Waktu mereka turun ke tanah, kebanyakan langsung dibunuh di tempat. Dari beberapa orang yang selamat meloloskan diri, hampir seluruhnya mendapat luka yang membikin cacat.

Untuk sesaat udara penuh pekik kemenangan orang-orang muda maupun tua, lelaki maupun perempuan. Ketika gejolak kemenangan yang pertama itu mereda, suami-istri, orang tua, dan anak-anak pun saling mendekap dan mengucurkan air mata kegembiraan.

Di tengah adegan gembira luar biasa, seseorang bertanya, "Bagaimana kalau mereka datang lagi?"

Tiba-tiba suasana jadi diam penuh pertanyaan.

"Mereka takkan kembali," kata Musashi tegas. "Takkan kembali ke desa ini. Tapi jangan terlampau yakin. Urusan kalian menggunakan bajak, bukan pedang. Kalau kalian terlalu bangga dengan kemampuan tempur kalian, hukuman yang akan dijatuhkan dari langit kepada kalian akan lebih buruk daripada gempuran setan-setan gunung mana pun."



"Sudah kalian ketahui apa yang terjadi?" tanya Nagaoka Sado pada kedua samurai itu, ketika mereka kembali ke Kuil Tokuganji. Di kejauhan, di sebelah sana ladang dan paya, ia dapat melihat cahaya api di desa itu semakin surut.

"Semuanya sudah tenang sekarang."

"Apa kalian usir bandit-bandit itu? Berapa banyak kerusakan yang ditimbulkan pada desa?"

"Orang-orang desa sudah membunuh semuanya, kecuali beberapa orang sebelum kami sampai di sana. Yang lain-lain lari."

"Aneh." Ia tampak tekejut, karena jika hal itu benar, ada gagasan yang hendak dilaksanakannya mengenai cara memerintah di daerah tuannya sendiri.

Sewaktu meninggalkan kuil hari berikutnya, ia mengarahkan kudanya ke desa itu. Katanya, "Sebetulnya ini di luar jalur, tapi mari kita lihat."

Seorang pendeta ikut serta untuk menunjukkan jalan. Selagi berjalan. Sado berkata, "Tubuh-tubuh sepanjang tepi jalan itu kelihatannya seperti bukan para petani yang memotong," dan ia minta lebih banyak perincian kepada samurainya.

Penduduk desa tidak jadi tidur, melainkan kerja keras mengubur mayat dan membersihkan reruntuhan kebakaran besar itu. Tapi ketika melihat Sado dan kedua samurai itu, mereka lari ke dalam rumah dan menyembunyikan diri.

"Bawa seorang dari orang-orang desa itu kemari, dan mari kita coba mengetahui apa yang terjadi," katanya kepada si pendeta.

Orang yang datang bersama si pendeta memberikan uraian cukup terperinci tentang peristiwa yang terjadi malam itu.

"Sekarang mulai dapat diterima akal," kata Sado mengangguk. "Siapa nama ronin itu?"

Petani yang tak pernah mendengar nama Musashi itu menelengkan kepala. Ketika Sado mendesak bertanya, si pendeta berkeliling beberapa waktu lamanya, dan kembali dengan membawa keterangan yang dibutuhkan.

"Miyamoto Musashi?" tanya Sado sambil merenung. "Apa dia yang dikatakan guru oleh anak lelaki itu?"

"Betul. Dari caranya mencoba menggarap petak tanah gurun di Hotengahara, penduduk desa menduga dia agak sinting."

"Aku ingin ketemu dia," kata Sado, tapi kemudian teringat olehnya pekerjaan yang menantinya di Edo. "Tapi tak apalah, lain kali saja aku bicara dengannya, kalau aku kemari lagi." Ia memutar kudanya dan meninggalkan petani itu berdiri di tepi jalan.

Beberapa menit kemudian, ia berhenti di depan gerbang kepala desa. Di situ tergantung sebuah papan yang masih baru, dengan tulisan tinta mengilap, Peringatan untuk Penduduk Desa: Bajakmu adalah Pedangmu. Pedangmu adalah Bajakmu. Selagi kerja di ladang, jangan lupa serbuan luar. Selagi memikirkan serbuan luar, jangan lupa ladangmu. Segala hal mesti berimbang dan terpadu. Yang paling penting, jangan melawan Jalan Pergantian Generasi.

"Hmm. Siapa yang menulis ini?"

Kepala desa akhirnya keluar, dan kini membungkuk ke tanah di depan Sado. "Musashi," jawabnya.

Sambil menoleh pada si pendeta, kata Sado, "Terima kasih Anda sudah membawa kami kemari. Sayang sekali saya tak dapat menjumpai Musashi, tapi sekarang memang tak ada waktu. Saya akan kembali tak lama lagi."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP