bagian 7
Pembalasan
Jotaro
KEMBALI di
penginapan, Jotaro duduk di depan Musashi dengan wajah puas. Ia melaporkan
sudah melaksanakan tugasnya. Beberapa goresan menyilangi muka anak itu, sedang
hidungnya tampak seperti buah arbei masak. Tak sangsi lagi, ia pasti kesakitan,
tapi karena ia tidak memberikan penjelasan, Musashi tidak mengajukan
pertanyaan.
"Ini
jawaban mereka," kata Jotaro sambil menyerahkan kepada Musashi surat Shoda
Kizaemon serta menambahkan beberapa patah kata tentang pertemuannya dengan
samurai itu. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang anjing itu. Sementara ia
bicara, luka-lukanya mulai berdarah lagi.
"Cukup
sekian saja?" tanyanya.
"Ya,
sekian saja. Terima kasih."
Musashi
membuka surat Kizaemon, dan Jotaro menutup mukanya dengan tangan dan buru-buru
meninggalkan kamar. Kocha memburunya dan mem perhatikan goresan-goresan di
wajahnya dengan pandangan kuatir. "Kenapa mukamu itu?" tanyanya.
"Seekor
anjing menyerangku."
"Anjing
siapa?"
"Salah
satu anjing di puri."
"Oh, apa
bukan anjing Kishu yang besar hitam itu? Dia memang jahat. Aku yakin, biarpun
kamu kuat, takkan dapat kamu menandinginya. Oh, dia sudah menggigit
tukang-tukang rampas sampai mati!"
Walaupun
hubungan mereka berdua tidak begitu balk, Kocha mengantar Jotaro ke kali dan
menyuruhnya membasuh wajahnya. Kemudian ia pergi mengambil salep dan
mengoleskannya ke wajah Jotaro. Jotaro bersikap sopan. Sesudah gadis itu
selesai menolongnya, Jotaro membungkukan badan berulang-ulang untuk mengucapkan
terima kasih.
"Hentikan
angguk-angguk itu. Kamu kan lelaki, dan perbuatan itu lucu kelihatannya."
"Tapi
aku menghargai sekali jasamu."
"Biar
kita banyak berkelahi, tapi aku suka kamu," kata gadis itu mengaku.
"Aku
suka kamu juga."
"Betul?"
Bagian-bagian
wajah Jotaro yang tidak terkena salep berubah menjadi merah tua, dan pipi Kocha
jadi manyala. Tak seorang pun kelihatan. Matahari bersinar lewat kembang persik
merah muda.
"Tuanmu
barangkali akan segera pergi, ya?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Kami
masih akan tinggal di sini sebentar," jawab Jotaro, berusaha meyakinkan
Kocha.
"Aku
ingin kamu bisa tinggal di sini setahun atau dua tahun."
Keduanya lalu
masuk gubuk tempat menyimpan makanan kuda, dan di sana mereka berbaring
telentang di atas jerami. Tangan mereka bersentuhan, dan rasa hangat menyengat
tubuh Jotaro. Tanpa peringatan lagi ia menarik tangan Kocha dan menggigit
jarinya.
"Ohh!"
"Sakit
ya? Maaf."
"Tak
apa-apa. Gigit sekali lagi."
"Kamu
tidak keberatan?"
"Tidak,
tidak, terus gigit lagi! Gigit lebih keras!"
Jotaro
memenuhi permintaannya dan menyentak-nyentak jari-jari gadis itu seperti anak
anjing. Jerami berhamburan menutupi kepala mereka, dan tak lama kemudian mereka
sudah saling peluk, tanpa ada maksud lain, ketika ayah Kocha datang mencari
anaknya. Ngeri melihat pemandangan itu, ekspresinya berubah keras, seperti
wajah orang bijaksana dalam agama Kong-Hu-Cu.
"He,
geblek, apa yang kalian lakukan ini? Kalian ini masih anak-anak!"
Diseretnya mereka keluar pada tengkuknya, dan diberinya Kocha beberapa pukulan
keras di pantat.
Seterusnya
hari itu Musashi sedikit sekali bicara dengan orang lain. Ia duduk saja dengan
tangan terlipat dan berpikir.
Sekali, di
tengah malam, Jotaro terbangun, dan dengan mengangkat kepala sedikit ia mencuri
pandang pada tuannya. Musashi berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka
lebar, menatap langit-langit dengan pemusatan penuh.
Hari
berikutnya pun Musashi tetap menyendiri. Jotaro ketakutan. Kemungkinan gurunya
sudah mendengar tentang bagaimana ia main dengan Kocha di dalam gubuk. Namun
Musashi tidak mengatakan apa-apa. Sorenya Musashi menyuruh anak itu minta
kuitansi mereka dan bersiap-siap berangkat, dan juru tulis datang membawanya.
Ketika ditanya apakah ia menghendaki makan malam, ia menjawab tidak.
Sambil
berdiri menganggur di sudut kamar, Kocha bertanya, "Tuan tak akan pulang
tidur malam ini?"
"Tidak.
Terima kasih, Kocha, atas pelayanan yang balk. Aku yakin kami sudah banyak
mengganggu. Selamat tinggal."
rom
"Jaga
diri Tuan baik-baik," kata Kocha. Ia menutupkan tangannya ke muka,
menyembunyikan air matanya.
Di pintu
gerbang, kepala penginapan dan dua pelayan lain berbaris mengantar mereka.
Sangat aneh bagi mereka bahwa kedua tamu itu berangkat tepat sebelum matahari
tenggelam.
Sesudah
berjalan sebentar, Musashi menoleh mencari Jotaro. Karena tidak melihat anak
itu, ia kembali ke penginapan. Anak itu berada di bawah gudang, sedang
mengucapkan selamat berpisah pada Kocha. Melihat Musashi mendekat, mereka
cepat-cepat saling memisahkan diri.
"Selamat
jalan," kata Kocha.
"Selamat
tinggal," seru Jotaro sambil berlari ke sisi Musashi. Walaupun takut
kepada mata Musashi, anak itu tak dapat tidak mencuri pandangnya ke belakang,
sampai penginapan tidak kelihatan lagi.
Lampu-lampu
mulai bermunculan dalam lembah itu. Musashi berjalan terus tanpa berkata-kata
dan tidak sekali pun menoleh ke belakang. Jotaro mengikuti dengan murung.
Beberapa
waktu kemudian Musashi bertanya, "Apa kita belum sampai?"
"Di
mana?"
"Di
gerbang utama Puri Koyagyu."
"Apa
kita pergi ke puri itu?"
"Ya."
"Apa
kita akan menginap di sana malam ini?"
"Tak
tahu aku. Itu tergantung perkembangan nanti."
"Itu.
Itu gerbangnya."
Musashi
berhenti dan berdiri di depan gerbang, kedua kakinya dirapatkan. Di atas
benteng yang ditumbuhi lumut, pohon-pohon besar memperdengarkan bunyi desir.
Seberkas cahaya tunggal menyorot dari sebuah jendela persegi.
Musashi berseru,
dan seorang pengawal muncul. Sambil menyerahkan surat dari Shoda Kizaemon ia
berkata, "Nama saya Musashi, dan saya datang kemari atas undangan Shoda.
Minta tolong disampaikan kepadanya, saya sudah datang."
Pengawal itu
memang sudah menantinya. "Mereka sedang menanti Anda," katanya sambil
memberikan isyarat kepada Musashi untuk mengikutinya.
Disamping
fungsi-fungsi lainnya, Shin'indo merupakan tempat bagi para pemuda puri untuk
mempelajari agama Kong-Hu-Cu. Tempat itu juga menjadi perpustakaan tanah perdikan
tersebut. Kamar-kamar di sepanjang lorong yang menuju belakang bangunan itu
semuanya didereti rak-rak buku. Sekalipun Keluarga Yagyu termasyhur berkat
kecakapan militernya, namun Musashi dapat melihat bahwa puri itu menekankan
sekali pendidikan. Segala sesuatu dalam puri kelihatan diliputi sejarah.
Dan segala
sesuatu kelihatan terurus baik, kalau dinilai dari kerapian jalan dari gerbang
sampai Shin'indo, sikap sopan santun pengawalnya, dan pemberian lampu yang
cermat, damai, di sekitar menara utama.
Pada waktu
memasuki sebuah rumah untuk pertama kali, kadang-kadang seorang tamu merasa
sudah kenal baik dengan tempat itu dan para penghuninya. Musashi mendapat kesan
itu sekarang, ketika ia duduk di lantai kayu dalam kamar besar yang ditunjukkan
kepadanya oleh pengawal. Pengawal menyerahkan kepadanya bantalan bundar keras
dari jerami, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih, kemudian
meninggalkannya sendiri. Di perjalanan, Jotaro ditinggalkan di kamar tunggu
pembantu.
Pengawal
kembali beberapa menit kemudian, dan mengatakan kepada Musashi bahwa tuan rumah
akan segera datang.
Musashi
menggeser bantal bundar itu ke sebuah sudut dan bersandar pada tiang. Dari
cahaya lampu rendah yang bersinar ke halaman ia dapat melihat lilitan tanaman
wisteria yang sedang berkembang, berwarna putih dan lembayung muda. Bau
wisteria yang manis itu mengambang di udara. la kaget mendengar dengkung katak.
Dengkung pertama tahun itu.
Air terdengar
berkericik di suatu tempat di halaman. Sungai agaknya mengalir di bawah bangunan.
Sesudah ia duduk tenang, terdengar olehnya bunyi air mengalir di bawah dirinya.
Namun tak lama kemudian terasa olehnya bahwa bunyi itu datang dari
langit-langit, dari dinding, bahkan dari lampu. Ia merasa sejuk dan santai.
Namun jauh di dalam dirinya menindih suatu perasaan gelisah yang tak dapat
ditekan. Itulah semangat juang yang tak terpuaskan, yang mengalir dalam
nadinya, sekalipun dalam suasana setenang itu. Dari bantalan pada tiang itu ia
memandang ke sekeliling dengan hati bertanya-tanya.
"Siapakah
Yagyu itu?" tanyanya dengan mata menantang. "Dia pemain pedang, dan
aku pun pemain pedang. Dalam hal ini kami sama. Tapi malam ini aku akan maju
selangkah ke depan dan meninggalkan Yagyu di belakang."
"Maaf,
kami membiarkan Anda menanti."
Shoda Kizaemon
masuk ke kamar bersama Kimura, Debuchi, dan Murata.
"Selamat
datang di Koyagyu," kata Kizaemon hangat.
Sesudah
ketiga orang lain memperkenalkan diri, para pelayan mendatangkan berbaki-baki
sake dan penganan. Sake di situ merupakan hasil rebusan sendiri, pekat, agak
seperti sirup, dan dihidangkan dalam mangkukmangkuk besar gaya lama yang tinggi
pegangannya.
"Di desa
ini," kata Kizaemon, "tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami
harap Anda kerasan."
Dengan penuh
kehangatan, yang lain-lain pun mendorongnya untuk merasa senang dan tidak
berkukuh pada upacara. Sesudah diajak, Musashi pun mau menerima sedikit sake,
sekalipun ia tidak suka benar minuman itu. Bukannya ia membenci sake, melainkan
karena ia masih terlalu muda untuk dapat menghargai kehalusan rasanya. Sake
malam itu cukup lezat, tapi tidak begitu lekas mendatangkan akibat kepadanya.
"Kelihatannya
Anda biasa juga minum," kata Kimura Sukekuro, dan menawarkan untuk mengisi
lagi mangkuknya. "Omong-omong, saya mendengar bahwa peoni yang Anda
tanyakan kemarin dipotong sendiri oleh Yang Dipertuan puri ini."
Musashi
menepuk lututnya. "Memang sudah saya duga!" serunya. "Potongan
itu bagus sekali!"
Kimura
mendekat. "Yang ingin saya ketahui adalah, bagaimana Anda dapat mengatakan
bahwa potongan batang lunak dan kecil itu dibuat oleh guru pemain pedang. Kami
semua terkesan oleh kemampuan Anda melihatnva."
Karena belum
tahu benar ke mana arah pembicaraan itu, Musashi berkata, sekadar memenangkan
waktu, "Begitu, ya? Betul?"
"Ya, tak
salah lagi!" kata Kizaemon, Debuchi, dan Murata hampir bersamaan.
"Kami
sendiri tidak melihat ada hal khusus di situ," kata Kizaemon. "Dan
kami sampai pada kesimpulan bahwa dibutuhkan seorang jenius untuk mengenali
jenius yang lain. Kami berpendapat akan sangat membantu pendidikan kami di masa
depan kalau Anda dapat menjelaskannya pada kami."
Sesudah
menghirup sake lagi, Musashi berkata, "Ah, tak ada yang khusus di sini-itu
cuma terkaan yang mengena."
"Ayolah,
jangan merendahkan diri."
"Saya
bukan merendahkan diri. Saya cuma merasa begitu sesudah melihat potongan batang
itu."
"Merasa
bagaimana?"
Keempat siswa
senior Keluarga Yagyu itu mencoba menganalisis Musashi sebagai seorang manusia
dan sekaligus mengujinya, seperti yang akan mereka lakukan juga terhadap orang
asing lain. Mereka sudah mengamati fisiknya, mengagumi pembawaannya, dan
ekspresi matanya. Tetapi cara Musashi memegang mangkuk sake dan sumpit itu
bagaimanapun menunjukkan bahwa ia berpendidikan kampung, dan ini membuat mereka
cenderung mengguruinya. Baru menghabiskan tiga atau empat mangkuk sake saja,
wajah Musashi sudah jadi merah tembaga. Karena malu, dua-tiga kali ia menyentuh
dahi dan pipinya. Sikap kekanak-kanakan ini membuat mereka tertawa.
"Tentang
perasaan Anda itu," ulang Kizaemon, "apa tidak bisa Anda
menceritakannya lebih banyak? Anda tahu gedung Shin'indo ini dibangun dengan
sengaja untuk kediaman Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, kalau beliau sedang
berkunjung. Ini gedung penting dalam sejarah seni pedang. Tempat yang cocok
bagi kami untuk mendengar kuliah dari Anda malam ini."
Karena sadar
bahwa memprotes sanjungan itu tak akan dapat meloloskan dirinya, Musashi
memutuskan untuk mencebur sekalian.
"Kalau
kita merasakan sesuatu, itu artinya kita merasakannya," katanya.
"Betul-betul tak ada cara lain untuk menjelaskannya. Kalau Anda sekalian
menghendaki saya memperlihatkan apa yang saya maksudkan itu, terpaksa Anda
sekalian mencabut pedang dan menghadapi saya dalam pertarungan. Tak ada cara
lain."
Asap lampu
naik, sehitam tinta cumi-cumi, ke udara malam yang tenang itu. Dengkung katak
terdengar lagi.
Kizaemon dan
Debuchi, yang tertua di antara mereka, saling pandang dan tertawa. Sekalipun
Musashi berbicara tenang, pernyataannya tentang keharusan mengujinya tidak
dapat disangkal lagi merupakan tantangan, dan mereka memang menganggapnya
demikian.
Tanpa
menanggapi tantangan itu, mereka berbicara tentang pedang, kemudian tentang
Zen, tentang peristiwa-peristiwa di provinsi-provinsi lain, tentang Pertempuran
Sekigahara. Kizaemon, Debuchi, dan Kimura telah ambil bagian dalam pertempuran
berdarah itu. Bagi Musashi, yang dalam pertempuran berdarah itu berada di pihak
lawan, cerita-cerita mereka terdengar bagai kebenaran yang pahit. Tuan rumah
tampaknya sangat menikmati percakapan itu, sedangkan Musashi merasa sangat
terpesona mendengarkannya.
Namun
demikian, ia sadar bahwa waktu berlalu dengan cepat, dan dalam hati ia tahu,
kalau malam ini ia tidak bertemu dengan Sekishusai, ia tak akan bertemu
dengannya untuk selamanya.
Kizaemon
mengatakan sudah waktunya menghidangkan makanan terakhir, yaitu gerst campur
nasi. Sake pun diundurkan.
"Bagaimana
aku bisa bertemu dengannya?" pikir Musashi. Semakin lama semakin jelas
baginya bahwa ia mungkin terpaksa harus menggunakan akal licik. Haruskah ia
menyodok salah seorang dari tuan rumah itu supaya naik darah? Itu sukar kalau
ia sendiri tidak sedang marah, karena itu dengan sengaja ia beberapa kali
mengatakan tidak sependapat dengan apa yang mereka katakan, dan bicara dengan
cara kasar dan kurang ajar. Mendengar itu, Shoda dan Debuchi memilih tertawa.
Tak seorang pun dari keempat orang itu mau kena provokasi untuk melakukan
sesuatu yang kurang pikir.
Maka akhirnya
Musashi pun nekat. Ia tak dapat menerima kalau ia harus meninggalkan tempat itu
tanpa melaksanakan maksudnya. Untuk memperoleh mahkota, ia menghendaki bintang
kemenangan yang cemerlang, dan untuk sejarah, ia ingin orang mengetahui bahwa
Musashi pernah berkunjung ke tempat itu, sudah pergi, dan sudah meninggalkan
tanda pada Keluarga Yagyu. Dengan pedangnya sendiri ia ingin membuat
Sekishusai, bapak agung seni perang yang disebut "naga kuno" itu,
bertekuk lutut.
Apakah mereka
sudah mengenalinya sepenuhnya? Baru saja ia memikirkan hal itu, tiba-tiba jalan
peristiwa membelok tak terduga-duga.
"Kalian
dengar?" tanya Kimura.
Murata keluar
ke beranda, kemudian ketika masuk kamar kembali, katanva, "Taro
menyalak-biasanya tidak begitu salaknya. Saya pikir ada yang tak beres."
Taro anjing
yang bermasalah dengan Jotaro. Tak bisa dibantah bahwa salak anjing yang
sepertinya datang dari lingkaran kedua puri itu sangat mengerikan.
Kedengarannya terlalu keras dan mengerikan, kalau berasal hanya dari seekor
anjing saja.
Debuchi
berkata, "Lebih baik saya lihat. Maafkan saya, Musashi, pesta ini
terganggu. Tapi barangkali ini penting. Silakan terus tanpa saya."
Baru saja ia
pergi, Murata dan Kimura minta mengundurkan diri juga dan dengan sopan minta
maaf kepada Musashi.
Salak anjing
itu jadi semakin mendesak. Ia rupanya berusaha memberikan peringatan tentang
adanya bahaya. Kalau salah satu anjing puri berbuat demikian, hampir merupakan
tanda pasti bahwa sedang terjadi sesuatu yang tak menguntungkan. Memang
kedamaian yang dinikmati negeri itu belumlah mantap sehingga seorang daimyo
dapat mengendurkan kewaspadaannya terhadap tanah-tanah perdikan yang
berdekatan. Masih ada prajurit-prajurit rusak yang suka melongok-longok untuk
memuaskan ambisinya sendiri, juga mata-mata yang bergelandangan mencari sasaran
empuk dan mudah dijadikan mangsa.
Kizaemon
tampak sangat terganggu. Ia terus menatap cahaya lampu kecil yang tak
menyenangkan, seolah-olah sedang menghitung gema suara yang tak wajar.
Akhirnya
terdengar raungan panjang dan sedih. Kizaemon berkomat-kamit dan memandang
Musashi.
"Mati
dia," kata Musashi.
"Ya, dia
dibunuh." Tak lagi dapat menahan diri, Kizaemon pun bangkit. "Saya
tak bisa mengerti."
Ia berangkat,
tapi Musashi menghentikannya, katanya, "Tunggu. Apa Jotaro, anak yang
datang dengan saya itu, masih di kamar tunggu?"
Mereka pun
menujukan pertanyaan itu kepada samurai muda di depan Shin'indo. Sesudah
mencari-cari, samurai mengatakan bahwa anak itu tak ditemukan di mana pun.
Musashi
menunjukkan wajah prihatin. Sambil menoleh pada Kizaemon, ia berkata,
"Saya pikir, saya tahu apa yang sudah terjadi. Boleh saya pergi bersama
Anda?"
"Tentu."
Sekitar tiga
ratus meter dari dojo telah berkumpul sejumlah orang, dan beberapa obor
dinyalakan. Di samping Murata, Debuchi, dan Kimura, ada sejumlah prajurit biasa
dan pengawal, membentuk lingkaran hitam, semuanya berbicara dan
berteriak-teriak.
Dari pinggir
luar lingkaran itu Musashi mengintip ke tempat terbuka di tengah. Maka hatinya
pun serasa terbang. Tepat seperti yang ditakutkannya, Jotaro ada di sana,
berlumuran darah dan tampak seperti anak setantangannya memegang pedang kayu,
giginya mengatup erat, dan bahunya naik-turun akibat napasnya yang berat.
Di sampingnya
terbaring Taro, giginya menyeringai, kakinya terjulur. Matanya yang tak melihat
lagi memantulkan cahaya obor. Darah mengucur dari mulutnya.
"Ini
anjing Yang Dipertuan," kata seseorang sedih.
Seorang
samurai mendekati Jotaro dan pekiknya, "Bajingan kecil kamu! Apa yang kau
lakukan? Kau yang membunuh anjing ini?" Orang itu mengangkat tangannya dan
menampar dengan berang, tapi dapat dielakkan Jotaro.
Sambil
membidangkan bahunya, Jotaro berseru menantang, "Ya, saya yang
melakukan!"
"Kamu
mengaku?"
"Ada
sebabnya!"
"Ha!"
"Saya
cuma membalas dendam."
"Apa?"
Semua orang heran mendengar jawaban Jotaro. Dan semuanya marah. Taro binatang
kesayangan Yang Dipertuan Munenori dari Tajima. Bukan hanya itu, ia keturunan
ras dari Raiko, anjing betina milik Yang Dipertuan Yorinori dari Kishu yang
sangat disayanginya. Yang Dipertuan Yorinori secara pribadi memberikan anak
anjing itu kepada Munenori, dan Munenori merawatnya sendiri. Pembantaian
binatang itu sudah pasti akan diperiksa dengan tuntas, dan nasib dua orang
samurai yang telah dibayar untuk mengurus anjing itu sekarang dalam bahaya.
Yang
berhadapan dengan Jotaro itu seorang dari kedua samurai tersebut.
"Tutup
mulut!" serunya sambil melayangkan tinjunya ke kepala Jotaro. Kali ini
Jotaro tidak menghindar pada waktunya. Pukulan mendarat di sekitar telinganya.
Jotaro
mengangkat tangan meraba lukanya. "Apa pula ini?" jeritnya.
"Kamu
sudah membunuh anjing Tuan. Jadi, kamu tidak keberatan kalau aku memukul kamu
juga sampai mati, kan? Dan memang itu yang akan kulakukan."
"Saya
cuma membalas apa yang sudah dia perbuat. Kenapa saya dihukum? Orang dewasa
mesti tahu, itu tidak betul!"
Menurut
pandangan Jotaro, ia cuma membela kehormatannya dan membahayakan hidupnya dalam
melakukan hal itu, karena luka yang kelihatan adalah aib besar bagi seorang
samurai. Untuk membela harga diri, tidak ada pilihan lain kecuali membunuh
anjing itu. Memang, bagaimanapun ia mengharapkan dipuji atas perbuatannya yang
berani itu. Ia telah bertahan dan bertekad tidak akan mundur.
"Tutup
mulutmu yang kurang ajar itu!" raung perawat anjing. "Aku tak peduli,
biar kamu anak kecil, kamu sudah cukup besar untuk dapat membedakan anjing dan
manusia. Macam apa pula itu—membalas dendam kepada binatang yang bodoh!"
Ia
mencengkeram kerah Jotaro, memandang orang banyak untuk meminta persetujuan,
dan menyatakan bahwa ia wajib menghukum pembunuh anjing itu. Orang banyak mengangguk
diam sebagai pernyataan setuju. Keempat orang yang belum lama sebelumnya
menjamu Musashi itu tampak sedih, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
"Menyalaklah,
Nak! Menyalak seperti anjing!" perawat anjing itu berteriak. Lalu ia
ayunkan Jotaro berputar-putar pada kerahnya dan dengan pandangan muram ia
jatuhkan Jotaro ke tanah. Kemudian ia ambil tongkat kayu ek dan ia hantamkan
kuat-kuat ke tubuh anak itu.
"Kamu
membunuh anjing itu, penjahat kecil. Sekarang datang giliranmu! Berdiri kamu,
supaya dapat aku membunuhmu! Menyalaklah! Gigit aku!"
Jotaro
mengatupkan giginya erat-erat, kemudian menopang dirinya dengan sebelah tangan
dan berjuang menegakkan diri sambil memegang pedang kayunya. Air mukanya tidak
meninggalkan ciri peri air, dan ekspresi wajahnya pun tetap saja ekspresi
kanak-kanak, tapi lolongan yang keluar dari tenggorokannya terdengar sangat
liar mengerikan.
Apabila
seorang dewasa marah, sering ia menyesal di kemudian hari, tapi apabila
kemarahan anak-anak sudah bangkit, ibunya sendiri yang melahirkannya ke dunia
pun tak dapat menenteramkannya.
"Bunuh
aku!" jeritnya. "Ayo, bunuh aku!"
"Nah,
matilah kamu!" pekik perawat anjing mengamuk. Ia pun memukul.
Pukulannya
bisa membunuh anak itu jika mengena, tapi pukulan itu tidak mengena. Bunyi berderak
tajam bergema di telinga orang-orang yang berdiri menonton, dan pedang kayu
Jotaro terbang ke udara. Tanpa pikir lagi ia menangkis pukulan perawat anjing
itu.
Tanpa senjata
ia menutup mata dan secara membuta menyerang tubuh bagian depan musuh itu dan
menguncikan gigi ke obi-nya. Dengan anggapan bahwa hidup itu berharga, ia
mencakar selangkangan si perawat anjing dengan kukunya, sedangkan si perawat
anjing dengan sia-sia mengayun-ayunkan tongkatnya.
Musashi tetap
diam, tangannya dilipatkan dan wajahnya tidak mengungkapkan sesuatu, namun pada
waktu itu muncullah tongkat kayu ek lain. Orang kedua menderap ke tengah
lingkaran dan sudah hendak memverang Jotaro dari belakang. Musashi bertindak.
Tangannya turun, dan dalam sekejap ia sudah menerobos dinding manusia yang
kokoh itu dan meloncat ke tengah medan.
"Pengecut!"
pekiknya kepada orang kedua itu.
Sebuah
tongkat kayu ek dan dua kaki itu membentuk sebuah relung di udara, dan mendarat
jadi onggokan sekitar empat meter jauhnya.
Musashi
memekik, "Dan sekarang giliranmu, setan kecil!" Ia mencengkeram obi
Jotaro dengan kedua tangan, ia angkat anak itu ke atas kepala dan ia biarkan
terus di sana. Sambil menoleh kepada perawat anjing yang waktu itu kembali
menggenggam tongkatnya, ia mengatakan, "Saya sudah melihat semua ini dari
permulaan, dan saya pikir Anda keliru menindaknya. Anak ini pembantu saya, dan
kalau Anda mau memeriksa dia, Anda mesti memeriksa saya juga."
Dengan nada
berapi-api, perawat anjing menjawab, "Baik. Kami periksa kalian
berdua!"
"Bagus!
Kami berdua akan menghadapi Anda. Nah, ini anaknya!"
Ia
melemparkan Jotaro langsung kepada orang itu. Orang banyak pun menggagap kaget
dan mundur selangkah. Apa orang itu sudah gila? Siapa pernah mendengar ada
orang menggunakan manusia sebagai senjata pelawan manusia lain?
Perawat
anjing memandang bengong ketika Jotaro melayang di udara dan membentur dadanya.
Orang itu langsung rebah ke belakang, seolah-olah penopang yang mengganjalnya
tiba-tiba diambil. Sukar dikatakan, apakah kepalanya yang telah membentur batu
karang, atau tulang iganya yang patah, tapi ia menghantam tanah diiringi suara
lolongan, dan langsung muntah darah. Jotaro melentingkan diri dari dada orang
itu, berjungkir balik di udara, dan berguling seperti bola ke tempat yang
jauhnya dua puluh atau tiga puluh kaki dari situ.
"Kalian
lihat?" pekik satu orang.
"Siapa
pula ronin gila ini?"
Perkelahian
kini tidak lagi hanya melibatkan perawat anjing, samurai-samurai lain mulai
memaki-maki Musashi. Kebanyakan mereka sudah tidak sadar bahwa Musashi tamu
yang diundang, dan beberapa orang menyarankan untuk membunuhnya seketika itu
juga dan di tempat itu juga.
"Nah,"
kata Musashi, "dengarkan, hai, kalian semua!"
Mereka
menatapnya dengan saksama ketika ia mengambil pedang kayu Jotaro dan menghadapi
mereka dengan wajah memberengut menakutkan.
"Kejahatan
anak ini adalah kejahatan tuannya. Dan kami berdua siap membayarnya. Tapi
pertama-tama, izinkan saya mengatakan ini: kami tidak bermaksud membiarkan diri
kami dibunuh seperti anjing. Kami siap menghadapi kalian."
Jadi, ia
bukannya mengakui kejahatannya dan menerima hukuman, melainkan menantang
mereka! Kalau pada waktu itu Musashi minta maaf untuk Jotaro dan bicara
membelanya, kalau sekiranya ia mau sedikit saja berusaha meredakan perasaan
para samurai Yagyu yang sedang kacau itu, maka seluruh kejadian itu akan
berlalu dengan damai. Tetapi sikap Musashi mencegah terjadinya hal itu. Ia
rupanya sudah bertekad menciptakan gangguan yang lebih besar lagi.
Shoda,
Kimura, Debuchi, dan Murata semuanya mengerutkan kening, tak habis-habis heran
mereka. Orang sinting macam apakah yang telah mereka undang datang ke puri itu?
Mereka menyesal bahwa Musashi tidak berakal sehat, dan berangsur-angsur mereka
pun mengitari orang banyak itu, dengan mata menatap tajam kepada Musashi.
Orang banyak
itu sudah menggelegak darahnya, kini ditambah lagi dengan tantangan Musashi.
"Dengarkan
dia itu! Dia orang di luar hukum!"
"Dia
mata-mata! Ikat dia!"
"Tidak,
potong saja dia!"
"Jangan
biarkan dia lari!"
Untuk sesaat
lamanya tampak seolah Musashi dan Jotaro yang sudah kembali ke sisinya itu akan
ditelan oleh lautan pedang, tetapi saat itu juga terdengar teriakan berwibawa.
"Tunggu!"
Itulah suara
Kizaemon, yang bersama Debuchi dan Murata berusaha mengendalikan orang banyak
itu.
"Orang
itu rupanya sudah merencanakan semua ini," kata Kizaemon. "Kalau
kalian membiarkan dia menyesatkan kalian, dan kalian terluka atau terbunuh,
kita terpaksa mempertanggungjawabkannya kepada Yang Dipertuan. Anjing itu
memang penting, tapi tidak sepenting hidup manusia. Kami berempat akan
mengambil alih tanggung jawab ini. Yakinlah bahwa tak ada hal buruk akan
menimpa kalian, kalau nanti kami mengambil tindakan. Sekarang tenanglah, dan
pulanglah."
Dengan enggan
orang-orang itu bubar, meninggalkan keempat orang yang telah menjamu Musashi di
Shin'indo itu. Sekarang persoalannya bukanlah tamu dengan tuan rumah, tetapi
persoalan orang di luar hukum dengan para hakimnya.
"Musashi,"
kata Kizaemon, "maaf terpaksa saya sampaikan kepada Anda bahwa rencana
Anda telah gagal. Saya kira ada orang yang menugaskan Anda memata-matai Puri
Koyagyu ini atau sekadar menimbulkan kerusuhan, tapi saya kira rencana itu
tidak berhasil."
Sementara
mereka berempat mengepung Musashi, Musashi sadar bahwa tak ada di antara mereka
yang bukan ahli pedang. Ia berdiri diam sambil menopangkan tangan ke bahu
Jotaro. Dalam keadaan terkepung demikian, tidak akan dapat ia meloloskan diri,
biarpun misalnya ia memiliki sayap.
"Musashi!"
panggil Debuchi sambil mencabut sedikit pedangnya dari sarungnya. "Anda
gagal. Yang pantas untuk Anda adalah bunuh diri. Anda mungkin seorang bajingan,
tapi Anda sudah memperlihatkan keberanian luar biasa dengan datang di puri ini
hanya berteman anak itu. Kita sudah berpesta bersama dalam suasana bersahabat,
sekarang kami akan menanti, sementara Anda menyiapkan diri melakukan harakiri.
Kalau Anda siap, Anda dapat membuktikan bahwa Anda seorang samurai
sejati!"
Itu merupakan
pemecahan ideal kiranya. Mereka tidak berkonsultasi dengan Sekishusai, dan jika
Musashi mati sekarang, seluruh kejadian akan dikubur bersama badan Musashi.
Tetapi
Musashi punya pikiran lain. "Anda mengira saya akan membunuh diri sendiri?
Oh, itu keterlaluan! Saya tidak bermaksud untuk mati, tidak untuk waktu
lama." Dan bahunya pun berguncang karena tertawa.
"Baiklah,"
kata Debuchi. Nadanya tenang, tetapi maknanya jelas seperti kristal. "Kami
sudah mencoba memperlakukan Anda dengan pantas, tapi Anda justru mengambil
keuntungan dari kami."
Kimura
menyela, katanya, "Tak ada gunanya bicara lagi!"
Ia pergi ke
belakang Musashi dan mendorongnya. "Jalan!" perintahnya.
"Jalan
ke mana?"
"Ke
sel!"
Musashi
mengangguk dan mulai berjalan, tetapi ke arah yang dipilihnya sendiri, langsung
menuju menara utama.
"Ke mana
jalanmu ini?" teriak Kimura sambil melompat ke depan Musashi clan
merentangkan tangan untuk menghalanginya.
"Ini
bukan jalan ke sel. Sel ada di belakangmu. Balik!"
"Tidak!"
teriak Musashi. Ia menunduk memandang Jotaro yang masih bergayut di sisinya.
Disuruhnya Jotaro pergi duduk di bawah pohon pinus di halaman, di depan menara
utama. Tanah di sekitar pohon-pohon pinus itu ditimbuni pasir putih yang
digaruk baik-baik.
Jotaro
melejit dari bawah lengan kimono Musashi dan bersembunyi di balik pohon. Ia
bertanya-tanya dalam hati, apakah yang hendak diperbuat Musashi. Kenangan
tentang keberanian gurunya di Dataran Hannya datang kembali padanya, dan
tubuhnya membengkak karena gembira.
Kizaemon dan
Debuchi mengambil posisi di kedua sisi Musashi clan mencoba menariknya ke
belakang dengan menarik lengannya, tapi Musashi tak beranjak.
"Ayo!"
"Aku tak
akan pergi!"
"Kau mau
melawan?"
"Betul!"
Kimura
kehilangan kesabaran dan mulai menarik pedangnya, tetapi temannya yang lebih
senior, Kizaemon dan Debuchi, memerintahkannya untuk menahan diri.
"Apa
pula ini? Mau ke mana kamu?"
"Mau
bertemu Yagyu Sekishusai."
"Apa?"
Tidak
terlintas dalam pikiran mereka bahwa pemuda tak waras itu punya maksud yang
demikian tak masuk akal.
"Dan apa
yang akan kaulakukan, kalau sudah bertemu dengan beliau?" tanya Kizaemon.
"Aku
seorang pemuda, dan aku sedang belajar seni perang. Salah satu tujuanku dalam
hidup ini adalah menerima pelajaran dari guru Gaya Yagyu."
"Kalau
itu yang kauinginkan, kenapa kau tidak minta?"
"Bukankah
Sekishusai tak pernah bertemu dengan siapa pun, dan tak pernah memberikan
pelajaran kepada murid prajurit?"
"Betul."
"Kalau
begitu, apa lagi yang bisa kuperbuat selain menantangnya? Memang aku sadar
bahwa kalaupun aku menantangnya, barangkali dia menolak meninggalkan
istirahatnya. Karena itu, sebagai gantinya aku menantang seluruh puri ini untuk
bertempur."
"Bertempur?"
kata keempat orang itu bersama-sama.
Dengan lengan
masih dipegang oleh Kizaemon dan Debuchi, Musashi menengadah ke langit.
Terdengar bunyi mengepak ketika seekor rajawali terbang ke arah mereka dari
balik awan hitam yang menyelimuti Gunung Kasagi. Seperti kain kafan raksasa,
bayangan burung itu menutupi bintangbintang dari pandangan mata, sebelum ia
meluncur dengan ributnya dan turun ke atap gudang beras.
Bagi keempat
pegawai itu, kata "bertempur" terdengar begitu melodramatis hingga
patut ditertawakan, tetapi bagi Musashi kata itu cukup memadai untuk
mengungkapkan pengertiannya mengenai apa yang bakal terjadi. Yang
dibicarakannya bukan hanya pertandingan pedang yang harus diselesaikan dengan
keterampilan teknik semata-mata. Yang dimaksudkan olehnya adalah perang total,
di mana kedua pihak yang berperang memusatkan segenap jiwa dan kecakapannya dan
nasib mereka ditentukan. Pertempuran antara dua tentara bisa saja lain
bentuknya, tapi hakikatnya sama saja. Pertempuran sekarang ini sederhana saja.
Satu orang lawan satu puri. Tekad Musashi dalam hal ini kelihatan dengan jelas
dari teguhnya tumitnya menghunjam ke bumi. Tekad baja inilah yang membuat kata
"bertempur" itu wajar diucapkan bibirnya.
Keempat orang
itu merenungi wajah Musashi dan sekali lagi bertanyatanya, apakah Musashi masih
memiliki akal sehat, biarpun sedikit.
Akhirnya
Kimura menerima tantangan itu. Sambil menendang sandal jeraminya ke udara dan
menyingsingkan hakama-nya ia berkata, "Bagus! Tak ada yang lebih kusukai
daripada pertempuran! Tak dapat aku menyuguhkan dentam genderang atau dengung
gong, tapi aku dapat menyuguhkan perkelahian. Shoda, Debuchi, dorong dia
kemari." Kimura-lah yang pertama kali tadi menyarankan agar mereka
menghukum Musashi, tapi kemudian ia mengendalikan diri dan berusaha bersabar.
Sekarang ia sudah kehilangan kesabaran.
"Ayo
dorong!" desaknya. "Biar aku yang membereskannya!"
Saat itu juga
Kizaemon dan Debuchi menolakkan Musashi ke depan. Musashi terhuyung empat atau
lima langkah ke arah Kimura. Kimura undur selangkah, mengangkat siku ke depan
wajahnya, dan sambil menarik napas cepat ia menebaskan pedang ke arah sosok
Musashi yang sedang terhuyung-huyung. Terdengar bunyi serupa bunyi pasir yang
aneh ketika pedang itu mendesah di udara.
Saar itu juga
terdengar pekikan, bukan dart Musashi, melainkan dari Jotaro yang waktu itu
meloncat keluar dari tempatnya di belakang pohon pinus. Segengggam pasir yang
dilemparkannya itulah sumber dari bunyi aneh itu.
Karena sadar
bahwa Kimura menaksir jarak untuk dapat menebas dengan efektif, maka Musashi
dengan sengaja menambah kecepatan langkahnya yang terhuyung itu, dan pada saat
jatuhnya tebasan itu ia menjadi jauh lebih dekat kepada Kimura daripada yang
diduga oleh Kimura. Pedang tidak menyentuh apa pun kecuali udara dan pasir.
Kedua pihak
dengan cepat melompat mundur, dipisahkan oleh jarak tiga atau empat langkah. Di
sana mereka berdiri, saling tatap penuh ancaman, dalam kediaman penuh
ketegangan.
"Oh, ini
pantas untuk ditonton," kata Kizaemon pelan.
Debuchi dan
Murata tidak berada dalam wilayah pertempuran, tapi keduanya mengambil posisi
baru dan menyiapkan langkah bertahan. Dan apa yang mereka lihat sampai
sedemikian jauh, nyatalah bahwa Musashi seorang pejuang terampil. Caranya
mengelak dan menyusun kembali posisi sudah meyakinkan mereka bahwa ia lawan
setanding Kimura.
Pedang Kimura
ditempatkan sedikit lebih rendah dari dadanya. Ia berdiri tak bergerak. Musashi
sama diamnya, tangannya memegang gagang pedang, bahu kanan maju ke depan dan
sikunya di atas. Matanya seperti dua batu putih yang digosok di tengah wajah
yang kabur.
Untuk sesaat
yang terjadi adalah pertempuran saraf. Tapi sebelum salah satu pihak bergerak,
kegelapan sekitar Kimura seperti goyah, berubah, namun sukar dilukiskan. Segera
kemudian jelaslah bahwa ia bernapas lebih cepat dan lebih gelisah daripada
Musashi.
Bunyi gerutu
pelan yang hampir tak terdengar dikeluarkan oleh Debuchi. Ia tahu sekarang
bahwa apa yang dimulai sebagai sesuatu yang agak tak berarti itu akan berubah
menjadi bencana besar. Ia yakin Kizaemon dan Murata pun mengerti hat ini. Tidak
mudah mengakhiri semua itu.
Hasil
pertarungan antara Musashi clan Kimura kini boleh dikatakan telah ditentukan,
kecuali kalau langkah-langkah istimewa diambil. Walau enggan melakukan sesuatu
yang dapat dinilai sebagai sikap pengecut, tapi mereka terpaksa bertindak untuk
mencegah terjadinya bencana. Pemecahan terbaik adalah melepaskan diri mereka
dari si penyerbu yang aneh dan tak punya keseimbangan ini secepat mungkin dan
mencegah agar diri mereka tidak mendapat luka secara sia-sia. Di sini tidak
diperlukan tukar kata. Mereka dapat saling berhubungan dengan baik sekali lewat
mata.
Secara
serentak mereka bertiga mengepung Musashi. Pada detik yang sama, pedang Musashi
mengoyak udara seperti desing tali busur, dan pekik mengguntur memenuhi ruangan
kosong. Pekik pertempuran itu tidak hanya keluar dari mulutnya, tapi dari
seluruh tubuhnya, sedangkan dentang-dentang lonceng kuil yang tiba-tiba
terdengar menggemakannya ke segala penjuru. Dari arah keempat lawannya yang
tersusun di kedua sisinya, di depan dan di belakangnya, terdengar bunyi mereguk
dan mendesis.
Musashi
merasa benar-benar hidup. Darahnya terasa seperti mau meletus dari setiap
pori-porinya, tapi kepalanya sendiri sedingin es. Inikah bunga seroja yang
menyala, seperti dikatakan oleh orang-orang Budha? Yaitu panas yang teramat
sangat bergabung dengan dingin yang teramat sangat, sintesa nyala api dan air?
Tak ada lagi
pasir dihamburkan ke udara. Jotaro sudah menghilang. Angin bersiul turun dari
puncak Gunung Kasagi; pedang-pedang yang digenggam erat berkilau bercahaya.
Satu lawan
empat. Namun Musashi merasa tidak berada dalam posisi yang sangat tidak
menguntungkan. Ia sadar terjadinya pembengkakan pada urat-urat nadinya. Pada
saat-saat seperti itu, kata orang pikiran tentang mati akan mendesakkan diri ke
dalam otak, tapi pada Musashi tak ada sedikit pun pikiran tentang maut. Namun
bersamaan dengan itu ia pun tidak merasa yakin akan mampu menang.
Angin terasa
seperti bertiup melintasi kepalanya, menyejukkan otaknya, membikin terang
pandangannya, sekalipun tubuhnya jadi bertambah pekat dan titik-titik keringat
berminyak berkilau-kilau di dahinya.
Terdengar
gemeresik pelan. Seperti sungut kumbang, pedang Musashi menyampaikan kepadanya
bahwa orang yang di sebelah kin telah menggerakkan sebelah kakinya seinci dua
inci. Ia pun melakukan penyesuaian dalam meletakkan senjatanya, dan sang musuh
yang juga tanggap itu pun tidak membuat gerakan lebih lanjut untuk menyerang.
Kelima orang itu membentuk tablo yang seakan-akan statis.
Musashi sadar
bahwa makin lama hal ini berlangsung, makin kurang menguntungkan keadaan
baginya. Ingin ia sebenarnyar agar lawan-lawannya bukan mengepungnya, tetapi
menyebar dalam garis lurus-agar dapat dihadapinya satu per satu-tetapi ia tidak
berhadapan dengan orang-orang amatir sekarang ini. Kenyataannya, sebelum salah
seorang dari mereka mengubah kedudukan atas kehendak sendiri, tak dapat ia
membuat gerakan. Satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah menanti, dan
berharap bahwa pada akhirnya salah seorang dari mereka akan mengambil langkah
sementara yang keliru dan memberikan peluang kepadanya.
Lawan-lawan
Musashi sebetulnya sedikit saja merasa enak memiliki keunggulan jumlah itu.
Mereka tahu bahwa apabila seorang dari mereka memperlihatkan tanda sekecil apa
pun bahwa mereka mengendurkan sikap, Musashi akan menyerang. Mereka mengerti
bahwa Musashi bukanlah jenis orang yang biasa dijumpai di dunia ini.
Kizaemon pun
tidak dapat membuat gerakan. "Aneh sekali orang ini!" pikirnya.
Pedang,
manusia, tanah, dan langit-semuanya seperti sudah membeku jadi padat. Tetapi
justru pada waktu itu ke tengah kediaman tersebut mengalun bunyi yang sama
sekali tak diduga-duga, yaitu bunyi alunan suling yang ditiup angin.
Begitu
nadanya menyerobot ke dalam telinga Musashi, ia lupa akan dirinya, lupa akan
musuh, lupa akan hidup dan man. Jauh di dasar hatinya ia mengenali bunyi ini.
Bunyi inilah yang telah memikatnya keluar dari persembunyian di Gunung Takateru
dulu-bunyi yang telah menjatuhkannya ke tangan Takuan. Itulah suling Otsu, dan
Otsu-lah yang memainkannya.
Batinnya
menjadi lumpuh. Dari luar, perubahan itu hampir tidak dapat dilihat, tapi itu
sudah cukup. Dengan memperdengarkan teriakan perang yang keluar dari
pinggangnya, Kimura menerjang ke depan, lengan pedangnya seakan-akan menjelma
enam atau tujuh kaki panjangnya.
Otot-otot
Musashi menegang, dan darah seakan-akan menderas di dalam dirinya, menjurus
kepada perdarahan. Ia yakin telah terluka. Lengan kimono kirinya tersobek dari
bahu sampai pergelangan tangan, dan lengannya yang tiba-tiba kelihatan itu
membuatnya menyangka bahwa ia terluka.
Untuk sesaat
ia kehilangan penguasaan diri, dan ia pun menjerit menyerukan nama dewa perang.
Ia melompat, tiba-tiba berpaling, dan melihat Kimura sudah menghuyung ke tempat
tadi ia berdiri.
"Musashi!"
seru Debuchi Magobei.
"Kau ini
lebih pintar bicara daripada berkelahi!" ejek Murata ketika ia dan
Kizaemon berusaha menghadang Musashi.
Tetapi
Musashi waktu itu juga menendang tanah sekuat-kuatnya dan melompat demikian
tinggi, hingga mengenai cabang-cabang bawah pepohonan pinus. Kemudian ia
melompat berulang-ulang lagi, lenyap ke dalam gelap, dan tidak menoleh-noleh
lagi.
"Pengecut!"
"Musashi!"
"Ayo
berkelahi seperti lelaki!"
Ketika
Musashi sampai di tepi parit sekitar kuil dalam, terdengar gemeretak
rerantingan, tapi sudah itu diam. Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah
alunan suara suling yang manis di kejauhan.
Burung-Burung
Bulbul
TIDAK
mungkinlah untuk mengetahui berapa lama air hujan yang ada di dasar parit yang
dalamnya tiga puluh kaki itu dapat menggenang. Musashi menyuruk ke dalam pagar
di dekat puncak parit clan meluncur cepat setengah jalan turun, lalu berhenti
dan melemparkan sebuah batu. Karena tidak mendengar kecipak air, ia meloncat ke
dasar pant, dan di situ ia berbaring telentang di rumput, tanpa membuat bunyi
apa pun.
Sebentar
kemudian tulang-tulang iganya sudah berhenti naik-turun clan detak nadinya
kembali normal. Ketika keringat sudah menyejuk, ia mulai bernapas teratur
kembali.
"Tak
mungkin Otsu ada di Koyagyu ini!" katanya pada diri sendiri.
"Telingaku tentunya salah.... Meskipun begitu, bukan tak mungkin juga dia
di sini. Mungkin juga dia."
Sambil
berdebat dengan dirinya, ia membayangkan mata Otsu di tengah bintang-bintang di
atasnya, dan segera kemudian ia terbawa hanyut oleh kenangan: Otsu di celah
perbatasan Mimasaka-Harima, mengatakan tidak dapat hidup tanpa dirinya dan tak
ada lelaki lain baginya di dunia ini. Kemudian di Jembatan Hanada di Himeji,
gadis itu mengatakan kepadanya telah menantinya hampir seribu hari, dan akan
menanti sepuluh atau dua puluh tahun lagi-sampai ia tua dan putih rambutnya.
Lalu minta dibawa serta, dan menyatakan bahwa ia dapat menahan kesukaran apa
pun.
Perbuatan
Musashi lari dari Himeji itu merupakan pengkhianatan. Oh, tentunya sesudah
peristiwa itu gadis itu sangat membencinya! Oh, tentunya ia menggigit bibir dan
mengutuk sifat lelaki yang tak dapat diduga-duga itu.
"Maafkan
aku!" Kata-kata yang diukirnya di pagar jembatan itu kini keluar dari
bibirnya. Air mata meleleh dari sudut-sudut matanya.
Terkejut ia
mendengar teriakan dari puncak parit. Kedengarannya seperti, "Tak ada dia
di sini." Tiga atau empat obor kayu pinus menyala di antara pepohonan, kemudian
menghilang. Mereka tidak mengetahui tempatnya.
Ia jadi
kecewa melihat dirinya menangis. "Apa yang kubutuhkan dari seorang
perempuan?" katanya mengolok-olok dirinya, sambil menghapus mata dengan
tangannya. Ia bangkit berdiri dan menengadah memandang sosok hitam Puri
Koyagyu.
"Mereka
sebut aku pengecut, dan katanya aku tak dapat berkelahi seperti lelaki! Tapi
aku belum lagi menyerah, sama sekali belum menyerah! Aku tidak melarikan diri.
Aku cuma melakukan gerak mundur taktis."
Hampir satu
jam berlalu. Ia mulai berjalan pelan-pelan sepanjang dasar parit itu.
"Bagaimanapun, tak ada gunanya bertempur dengan keempat orang itu. Bukan
itu sasaranku. Kalau aku bertemu dengan Sekishusai sendiri, di situlah
pertempuran dimulai."
Ia berhenti
dan mulai mengumpulkan ranting-ranting jatuhan yang kemudian ia patah-patahkan
menjadi bilah-bilah pendek dengan lututnya. Satu demi satu bilah-bilah itu ia
masukkan ke celah-celah dinding batu dan ia gunakan sebagai tempat menapak,
lalu memanjat ke luar parit.
Tak ia dengar
lagi bunyi suling. Sesaat ia mendapat perasaan samar-samar bahwa Jotaro
memanggilnya, tapi ketika ia berhenti dan mendengarkan lebih saksama, ternyata
tidak ada sesuatu pun yang terdengar. Sebetulnya ia tidak begitu gundah
memikirkan anak itu. Anak itu dapat menjaga dirinya. Barangkali ia kini sudah
bermil-mil jauhnya. Tidak adanya obor lagi menunjukkan bahwa pencarian sudah
dihentikan, setidaknya untuk malam itu.
Keinginan
untuk menemukan dan mengalahkan Sekishusai sekali lagi menjadi nafsu yang
mengendalikan semuanya, menjadi hantu utama yang terbentuk akibat hasratnya
yang mahahebat untuk mendapat pengakuan dan kehormatan.
Ia sudah
mendengar dari pemilik penginapan itu bahwa Sekishusai mundur bukan ke salah
satu lingkaran puri, melainkan ke satu tempat terpencil di wilayah luar.
Musashi berjalan terus menembus hutan dan lembah. Kadang-kadang ia merasa sudah
tersesat di luar wilayah puri, tapi kemudian potongan pant, dinding batu, atau
lumbung padi meyakinkannya kembali bahwa ia masih ada di dalam.
Sepanjang
malam ia mencari, dipaksa oleh dorongan setani. ia bermaksud, kalau nanti
menemukan rumah pegunungan itu, akan menerobos masuk sambil mengucapkan
tantangannya. Tapi ketika jam demi jam berlalu, mau rasanya ia melihat hantu
dalam bentuk Sekishusai.
Hari sudah
mendekati fajar ketika ia berada di gerbang belakang puri. Di sebelah sana
menjulang tebing, dan di atas tebing itu Gunung Kasagi. Ketika ia sudah hampir
menjerit karena frustrasi, ia kembali mengayun langkah ke arah selatan.
Akhirnya, di kaki lereng yang menjurus ke bagian tenggara purl, pepohonan yang
bagus bentuknya dan rumput yang terawat balk pun menyatakan kepadanya bahwa ia
telah menemukan tempat memencilkan diri itu. Terkaannya segera dibenarkan oleh
sebuah gerbang beratap lalang dengan gaya yang disukai ahli upacara minum teh
besar Sen no Rikyu. Di dalam sana ia melihat rumpun bambu yang terselimut kabut
pagi.
Ketika
mengintip lewat celah di pintu gerbang, ia melihat jalan itu berkelok-kelok
melintasi rumpun pohon, mendaki bukit, seperti yang terdapat di tempat-tempat
penganut Budha Zen menyendiri di pegunungan. Sesaat ia tergiur untuk melompati
pagar, tetapi ia masih menahan diri. Ada sesuatu pada lingkungan itu yang
menghambatnya berbuat demikian. Apakah karena perawatan penuh cinta yang telah
diberikan pada daerah itu, ataukah karena ia melihat daun-daun bunga putih di
tanah? Apa pun alasannya, kepekaan penghuni tempat itu menembusnya hingga
gejolak perasaan Musashi mereda. Tetapi tiba-tiba terpikir olehnya
penampilannya sendiri. Tentunya ia tampak seperti orang gelandangan sekarang,
dengan rambut awut-awutan dan kimono berantakan.
"Tak
perlu buru-buru," katanya pada diri sendiri, karena ia sekarang sadar
bahwa tenaganya sudah habis. Ia mesti menguasai diri terlebih dahulu, sebelum
menampilkan diri kepada tuan di dalam itu.
"Lambat
atau cepat," pikirnya, "pasti seseorang datang ke gerbang ini. Dan
itulah waktunya. Kalau dia masih menolak menemuiku sebagai murid pengembara,
akan kupergunakan pendekatan lain." Ia duduk di bawah tepi atap gerbang,
bersandar ke tiang, dan jatuh tertidur.
Bintang-bintang
sedang memudar dan bunga-bunga aster putih berayunayun, ketika sebutir embun
besar jatuh dengan dinginnya ke lehernya dan membangunkannya. Cahaya siang
datang, dan ketika ia menggerakkan badan dari tidurnya, kepalanya dibasuh oleh
angin pagi dan nyanyian burung bulbul. Tak ada lagi kelelahan yang tersisa ia
merasa lahir kembali.
Ketika ia
menggosok-gosok matanya dan menengadah, tampak olehnya matahari merah cemerlang
naik di atas pegunungan. Ia bangkit. Panas matahari telah menghidupkan kembali
semangatnya, dan tenaga yang tertimbun di dalam anggota badannya menghendaki
kegiatan. Sambil meregangkan badan, ia berkata lirih, "Hari inilah
harinya."
Ia lapar, dan
entah kenapa ia teringat pada Jotaro. Barangkali ia telah memperlakukan anak
itu terlalu kasar malam sebelumnya, tapi itu gerakan yang sudah
diperhitungkannya, dan bagian dari latihan anak itu. Sekali lagi Musashi merasa
yakin bahwa di mana pun Jotaro waktu itu, ia tidak berada dalam bahaya.
Ia
mendengarkan suara sungai kecil yang mengalir menuruni sisi gunung, mengambil
jalan memutar dalam pagar, mengitari rumpun bambu, dan kemudian muncul dari
bawah pagar dalam perjalanan menuju wilayah puri bawah. Musashi membasuh wajah
dan minum sekenyang-kenyangnya untuk ganti makan pagi. Air itu bagus, ya, bagus
sekali, hingga Musashi membayangkan bahwa mungkin itulah alasan utama
Sekishusai memilih tempat ini untuk mengundurkan diri dari dunia. Namun karena
ia tak tahu apa-apa tentang seni upacara minum teh, tak terbayang olehnya bahwa
air semurni itulah yang menjadi cita-cita setiap ahli upacara minum teh.
Ia basuh
handuk tangannya di dalam sungai, dan sesudah menggosok tengkuk seluruhnya, ia
membersihkan kotoran kukunya. Kemudian ia rapikan rambut dengan belati yang
melekat pada pedangnya. Karena Sekishusai tidak hanya pemilik Gaya Yagyu,
tetapi juga salah satu orang besar di negeri itu, Musashi bermaksud menampilkan
diri sebaik-baiknya. Ia sendiri tidak lebih dari seorang prajurit tak bernama.
Ia berbeda dari Sekishusai, seperti berbedanya bintang yang terkecil dengan
bulan.
Ia
menepuk-nepuk rambutnya dan meluruskan kerahnya, dan ia merasa mantap dalam
hati. Pikirannya terang; ia bertekad mengetuk pintu gerbang itu sebagai tamu
yang sah.
Rumah itu
cukup jauh letaknya di atas bukit. Karena itu kemungkinan ketukan biasa tidak
akan terdengar. Maka dicarinya alat pengetuk, kalau ada, dan terlihatlah
olehnya sepasang tanda peringatan di kedua sisi gerbang. Keduanya ditulis
dengan indah, dan tulisan yang berupa ukiran itu diisi dengan tanah liat
kebiruan yang tampaknya seperti lapisan perunggu. Di sebelah kanan tertulis:
Janganlah curiga, hai para penulis,
Akan dia yang
menyukai purinya tertutup.
Dan di sebelah kiri:
Takkan kautemukan pemain pedang di sini, Hanya
burung-burung bulbul muda di ladang.
Sajak itu ditujukan kepada para
"penulis", maksudnya para pejabat puri, namun maknanya lebih dalam
dari itu. Orang tua itu menutup gerbangnya tidak hanya bagi para murid yang
mengembara, tetapi juga bagi semua peristiwa dunia ini, bagi segala kemuliaan
ataupun kesengsaraannya. Ia sudah meninggalkan sama sekali hasrat dunia, baik
itu hasratnya sendiri maupun hasrat orang lain.
"Aku
masih muda," pikir Musashi. "Terlalu muda! Orang ini ada di luar
jangkauanku sama sekali."
Keinginan
untuk mengetuk gerbang pun menguap. Ya, pikiran untuk menyerobot masuk
mendatangi pertapa kuno itu kini terasa liar, dan ia merasa sangat malu
terhadap diri sendiri.
Hanya bunga
dan burung, angin dan bulan, yang akan memasuki gerbang ini. Sekishusai bukan
lagi pemain pedang terbesar di negeri ini, bukan lagi penguasa tanah perdikan,
tetapi orang yang telah kembali kepada alam, yang menolak kesia-siaan hidup
manusia. Mengganggu rumah tangganya akan merupakan pelanggaran besar. Dan
kehormatan apakah, dan jasa apakah, yang mungkin diperoleh dari mengalahkan
orang yang sudah tidak menghargai kehormatan dan jasa?
"Bagus
juga aku membaca ini," kata Musashi pada diri sendiri. "Kalau tidak,
aku akan menjadikan diriku orang yang setolol-tololnya!"
Bersama
dengan semakin tingginya matahari di langit, nyanyian burung bulbul mereda.
Dari kejauhan di atas bukit terdengar bunyi langkah-langkah cepat. Agaknya
karena takut mendengar bunyi ribut itu, sekelompok burung kecil mengangkasa.
Musashi mengintip lewat gerbang, siapakah yang datang itu.
Ternyata
Otsu.
Jadi, suling
gadis itulah yang telah didengarnya! Haruskah ia menanti dan kemudian
menjumpainya? Atau pergi saja? "Aku ingin bicara dengannya,"
pikirnya. "Aku harus!"
Keragu-raguan
mencengkamnya. Jantungnya berdebar-debar dan keyakinan dirinya terbang.
Otsu berlari
turun, hingga jaraknya tinggal beberapa meter saja dari tempatnya berdiri.
Kemudian Otsu berhenti dan membalik, serta memperdengarkan teriakan terkejut.
"Kukira
tadi dia ada di belakangku," gumamnya sambil menoleh ke sekitar. Kemudian
ia berlari kembali ke atas bukit, dan serunya, "Jotaro! Di mana
kamu?"
Mendengar
suaranya, Musashi menjadi merah mukanya karena malu, dan mulailah ia
berkeringat. Ia merasa muak karena telah kehilangan keyakinan. Tak dapat ia
bergerak dari tempat sembunyinya di dalam bayangan pepohonan itu.
Beberapa
waktu kemudian Otsu memanggil kembali, dan kali ini terdengar balasannya.
"Saya di sini! Di mana Kakak?" seru Jotaro dari bagian atas rumpun.
"Di
sini!" jawab Otsu. "Aku kan sudah bilang tadi, jangan pergi ke
manamana."
Jotaro datang
berlari-lari mendekati Otsu. "Oh, jadi Kakak di sini, ya?" serunya.
"Kan
sudah kubilang kau ikut aku."
"Saya
juga sudah ikut, tapi kemudian saya lihat ayam pegar, jadi saya
mengejarnya."
"Mana
bisa begitu, mengejar ayam pegar! Apa kamu lupa, mesti mencari orang penting
pagi ini?"
"Ah,
tapi saya tidak kuatir dengan dia. Dia bukan orang yang gampang terluka."
"Kedengarannya
lain dengan kejadian tadi malam itu: kamu datang lari-lari ke kamarku dan
langsung mau nangis saja."
"Ah,
tidak betul, saya bukan mau menangis. Cuma semuanya itu begitu cepat, sampai
tak tahu saya, apa yang mesti saya lakukan."
"Aku
juga begitu, terutama sesudah kamu menyebut nama gurumu itu."
"Tapi
bagaimana Kakak bisa kenal dengan Musashi?"
"Kami
datang dari desa yang sama."
"Cuma
itu?"
"Tentu
saja cuma itu."
"Lucu.
Saya tak mengerti, kenapa pula Kakak mesti menangis hanya karena ada orang
sedesa datang ke sini."
"Tapi
apa aku menangis lama?"
"Bagaimana
bisa Kakak ingat semua yang saya lakukan, kalau Kakak tak bisa ingat apa yang
Kakak lakukan sendiri? Tapi biar bagaimana, saya kira, saya cukup gentar juga.
Kalau soalnya cuma empat orang biasa lawan guru saya, saya tak akan kuatir.
Tapi kabarnya mereka semua itu jagoan. Ketika mendengar suling itu, saya pun
ingat Kakak ada di puri ini, karena itu saya pikir kalau saya dapat minta maaf
kepada Yang Dipertuan..."
"Kalau
kamu memang mendengarku main suling, Musashi tentunya mendengar juga. Bahkan dia
mungkin tahu yang main itu aku." Suara Otsu menjadi lunak. "Aku
sedang memikirkan dia ketika aku main itu."
"Saya
tak melihat apa pentingnya itu. Cuma, dari bunyi suling itu saya dapat
mengira-ngira di mana Kakak berada."
"Tapi
sungguh pertunjukan besar yang kamu lakukan-menyerbu rumah orang dan
menjerit-jerit tentang 'pertempuran' yang sedang terjadi. Yang Dipertuan jadi
terkejut juga."
"Tapi
dia orang baik. Ketika saya katakan padanya saya sudah membunuh Taro, dia tidak
mengamuk seperti yang lain-lain."
Tiba-tiba,
karena sadar sedang membuang-buang waktu, Otsu bergegas pergi ke gerbang.
"Kita bisa bicara lagi nanti," katanya. "Sekarang ada yang lebih
penting dilakukan. Kita mesti mencari Musashi. Sekishusai malahan sudah
melanggar peraturannya sendiri. Katanya dia mau menemui orang yang sudah
melakukan apa yang kamu katakan itu."
Otsu tampak
benar-benar riang, seperti bunga. Dalam matahari terang awal musim panas itu
pipinya bersinar seperti buah masak. Ia mencium daun-daun muda, dan ia merasa
kesegaran dedaunan itu mengisi paruparunya.
Musashi yang
sedang bersembunyi di antara pepohonan memperhatikannya baik-baik clan
mengagumi kesehatan tubuhnya. Otsu yang ia lihat sekarang ini lain sekali
dengan gadis yang duduk patah hati di beranda Kuil Shippoji dan memandang dunia
luar dengan mata kosong. Perbedaannya adalah karena waktu itu Otsu tak punya
orang yang dicintai. Atau setidak-tidaknya, cinta yang dirasakannya waktu itu
hanyalah samar-samar dan sukar dipegang. Waktu itu ia masih anak-anak yang sentimental,
yang sadar benar akan keyatimannya dan merasa agak benci dengan kenyataan itu.
Sesudah
mengenal Musashi dan mengaguminya, lahirlah cinta yang kini menetap di dalam
dirinya dan memberikan arti pada hidupnya. Sepanjang tahun yang dihabiskannya
untuk mengembara mencari Musashi, tubuh dai pikirannya membentuk keberanian
untuk menghadapi apa pun.
Musashi cepat
menangkap daya hidup Otsu yang baru dan membuatnya bertambah cantik itu, dan
ingin ia membawa gadis itu ke suatu tempat, di mana mereka dapat berduaan saja,
dan menceritakan semua kepadanya Betapa ia merindukan Otsu secara fisik. Ia
ingin mengungkapkan bahwa jauh di dalam hatinya yang terbuat dari baja itu
terdapat kelemahan. Ia ingin menarik kembali kata-kata yang diukirkannya di
Jembatan Hanada itu. Kalau tidak ada orang yang tahu, ia dapat menunjukkan
kepada Otst bahwa ia pun dapat bersikap mesra. Ia akan menyatakan kepada Otsu.
Ia dapat mendekapnya, membelaikan pipinya ke pipi Otsu, mencurahkan air mata
yang ingin ia tangiskan. Sekarang ia cukup kuat untuk mengaku bahwa semua
perasaannya itu nyata.
Hal-hal yang
dikatakan Otsu kepadanya di masa lampau kini kembal mengiang di telinganya, dan
ia melihat betapa kejam dan buruknya ia menolak cinta yang sederhana dan terus
terang seperti yang diungkapkan Otsu.
Ia memang
merasa sengsara, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak dapat menyerah
kepada segala perasaan itu, sesuatu yang menyatakan kepadanya bahwa itu salah.
Dirinya terpecah menjadi dua: pertama, yang berseru kepada Otsu, dan kedua yang
mengatakan kepadanya bahwa ia orang tolol. Ia tak bisa mengatakan, manakah
dirinya yang sebenarnya Seraya memperhatikan dari balik pohon dan tenggelam
dalam keraguan itu ia seperti melihat dua jalan di hadapanya, satu jalan
terang, dan yang lain jalan gelap.
Karena tak
tahu adanya Musashi, Otsu berjalan beberapa langkah meninggalkan gerbang. Dan
ketika menoleh ke belakang, ia melihat Jotaro membungkuk mengambil sesuatu.
"Jotaro,
apa yang kamu lakukan itu? Ayo cepat!"
"Tunggu!"
seru Jotaro riang. "Lihat ini!"
"Ah, itu
kan cuma gombal tua yang kotor! Buat apa itu?"
"Ini
milik Musashi." .
"Milik
Musashi?" ucap Otsu sambil berlari kembali mendapatkan Jotaro.
"Ya, ini
miliknya," jawab Jotaro seraya membeberkan handuk tangan itu untuk dilihat
Otsu.
"Saya
ingat ini. Ini dari rumah janda tempat kami menginap di Nara Lihat ini: ada
gambar daun mapel celupan di sini, dan ada huruf yang bunyinya 'Lin'. Ini nama
pemilik restoran bakpau di sana."
"Apa
menurutmu Musashi ada di sini?" teriak Otsu sambil memandang bingung ke
sekitarnya.
Jotaro
berdiri tegak sampai hampir setinggi gadis itu, dan dengan sekuat suaranya ia
memekik, "Sensei!"
Di tengah
rumpun terdengar bunyi gemeresik. Tersengal Otsu memutai badan dan melejit ke
arah pepohonan, diikuti anak itu.
"Ke mana
Kakak pergi?" tanya Jotaro.
"Musashi
baru saja lari!"
"Ke
mana?"
"Ke
situ."
"Saya
tak melihat dia."
"Di
rumpun pohon sana itu!"
Otsu melihat
sosok tubuh Musashi, tetapi kegembiraan sekilas yang dirasakannya segera
digantikan oleh keprihatinan, karena Musashi dengan cepat meningkatkan jarak
yang memisahkan mereka. Otsu berlari mengejar dengan sekuat kakinya. Jotaro
berlari mengikutinya, walau tidak yakin benar bahwa Otsu melihat Musashi.
"Kakak
keliru!" pekik Jotaro. "Barangkali orang lain. Kenapa Musashi mesti
lari?"
"Coba
lihat itu!"
"Ke
mana?"
"Ke
sana!" Ia mengambil napas dalam-dalam, dan sambil mengerahkan suara
sekuat-kuatnya ia menjerit, "Musashi!!" Tapi baru saja teriakan kalut
itu keluar dari bibirnya, ia terhuyung jatuh. Jotaro menolongnya berdiri, tapi
ia berteriak, "Kenapa kamu tidak memanggilnya juga? Panggil dia! Panggil
dia!"
Jotaro
bukannya melakukan yang disuruhkan Otsu, melainkan kelu karena terkejut, dan
menatap wajah Otsu. Sudah pernah ia melihat wajah itu, dengan matanya yang
merah, alis yang seperti jarum, serta hidung dan rahang yang seperti lilin.
Itulah muka topeng! Topeng perempuan gila yang diberikan kepadanya oleh janda
di Nara itu. Pada mulut Otsu tidak ada bengkokan aneh ke atas, tapi di luar itu
keduanya serupa. Jotaro cepat menarik tangannya dan undur dengan ketakutan.
Otsu terus
mencelanya. "Kita tak boleh menyerah! Dia tak akan kembali lagi kalau kita
biarkan dia pergi sekarang! Panggil dia! Suruh dia kembali!"
Ada sesuatu
yang menolak dalam diri Jotaro, tapi pandangan wajah Otsu menyatakan kepadanya,
tak ada gunanya berdebat dengannya. Maka mereka berlari kembali, dan ia mulai
berteriak juga sekuat-kuatnya.
Di sebelah
hutan terdapat bukit rendah, dan sepanjang kaki bukit itu menghampar jalan
belakang dari Tsukigase ke Iga. "Itu Musashi!" teriak Jotaro. Sampai
di jalan tersebut, anak itu dapat dengan jelas melihat gurunya, tetapi Musashi
sudah terlalu jauh di depan mereka, hingga tak dapat mendengar teriakan mereka.
Otsu dan
Jotaro berlari sekuat kaki mereka sambil berteriak-teriak sampai parau. Jeritan
mereka menggema melintasi peladangan. Di ujung lembah mereka tidak melihat
Musashi lagi, karena ia lari langsung masuk kaki perbukitan yang berhutan
lebat.
Mereka
berhenti dan berdiri di sana, sedih, seperti anak-anak telantar. Awan putih
menghampar kosong di atas mereka, sementara gemericik sungai menambah kesepian mereka.
"Dia
sudah gila! Dia tak berakal! Bagaimana mungkin dia meninggalkan saya seperti
ini?" teriak Jotaro sambil mengentak-entakkan kakinya.
Otsu
bersandar ke pohon berangan besar, dan air matanya mengucur sejadi-jadinya.
Cintanya yang besar pada Musashi tak mampu menahan kepergian Musashi—walaupun
untuk cinta itu ia bersedia mengorbankan segalanya. Ia heran, merasa
kehilangan, dan marah. Ia tahu, apa tujuan hidup Musashi dan kenapa Musashi
menghindari dirinya. Ia sudah tahu itu, sejak pengalaman di Jembatan Hanada.
Namun ia tak bisa mengerti, kenapa Musashi menganggapnya penghalang antara
dirinya dan cita-citanya. Kenapa tekadnya itu mesti dilemahkan oleh
kehadirannya?
Ataukah itu
cuma alasan? Apakah alasan sebenarnya karena Musashi tidak cukup mencintainya?
Itulah yang barangkali lebih masuk akal. Namun... namun... Otsu mulai memahami
Musashi ketika melihatnya terikat di pohon di Shippoji itu. Ia tak percaya
bahwa Musashi orang yang bisa berbohong kepada perempuan. Kalau Musashi tak ada
minat kepadanya, ia akan mengatakannya demikian, tapi kenyataannya di Jembatan
Hanada Musashi mengatakan senang sekali kepadanya. Ia mengingat kembali
katakata Musashi dengan sedihnya.
Sebagai anak
yatim, sikap dingin tertentu mencegah dirinya mempercayai banyak orang, tapi
sekali ia percaya pada seseorang, ia akan mempercayainya sepenuhnya. Pada waktu
ini ia merasa tidak ada orang lain kecuali Musashi yang patut dibela atau
diandalkannya. Pengkhianatan Matahachi telah mengajarkan kepadanya betapa
seorang gadis harus berhati-hati dalam menilai lelaki. Tetapi Musashi bukanlah
Matahachi. Ia telah memutuskan akan hidup untuk Musashi, apa pun yang terjadi,
dan ia telah membulatkan tekad untuk tidak menyesal berbuat demikian.
Tapi kenapa
Musashi tak dapat mengucapkan kata-kata, biarpun hanya sepatah? Ini sungguh
terlalu berat untuk ditanggung. Daun-daun pohon berangan bergetar, seakan-akan
pohon itu sendiri mengerti dan bersimpati.
Semakin
marah, semakin ia tenggelam dalam cinta pada Musashi. Apakah itu nasib atau
bukan, tidak dapat Ia mengatakannya, tetapi semangatnya yang dirobek-robek
kesedihan menunjukkan bahwa tidak ada hidup sejati baginya di luar Musashi.
Jotaro
memandang ke jalan, dan ucapnya, "Nah, ini datang seorang pendeta."
Otsu tidak memperhatikannya.
Dengan
semakin dekatnya siang, langit di atas berubah menjadi biru tua, transparan.
Biarawan yang menuruni lereng di kejauhan itu tampak seperti turun dari atas
awan dan tak ada hubungan apa pun dengan bumi ini. Ketika mendekati pohon
berangan itu, ia memandangnya dan melihat Otsu.
"Lho,
ada apa ini?" katanya. Mendengar suaranya, Otsu menengadah.
Dengan
matanya yang bengkak dan lebar karena kagum ia berseru, "Takuan!"
Dalam keadaannya sekarang ini, ia melihat Takuan Soho sebagai penyelamat. Ia
bertanya-tanya dalam hati, apakah ia tidak sedang bermimpi.
Sekalipun
melihat Takuan merupakan guncangan bagi Otsu, namun bagi Takuan menemukan Otsu
tidak lebih daripada pembenaran atas sesuatu yang telah ia curigai.
Kedatangannya bukan kebetulan, dan bukan pula keajaiban.
Takuan sudah
lama menjalin hubungan persahabatan dengan Keluarga Yagyu. Perkenalannya dengan
mereka bermula ketika ia masih seorang biarawan muda di Kuil Sangen'in,
Daitokuji. Kewajibannya mencakup pembersihan dapur dan pembuatan empleng
kacang.
Pada masa
itu, Sangen'in yang dikenal dengan nama "Sektor Utara" Daitokuji
termasyhur sebagai tempat berkumpul para samurai "luar biasa",
artinya samurai yang mencurahkan perhatiannya kepada pemikiran filsafat tentang
makna hidup dan mati, yaitu orang-orang yang merasakan perlunya mempelajari
peristiwa-peristiwa kejiwaan maupun keterampilan teknik dalam seni perang. Kaum
samurai yang bergerombol di sana lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan kaum
biarawan Zen, dan salah satu hasilnya adalah kuil itu jadi dikenal sebagai wilayah
pembibitan pemberontakan.
Di antara
samurai yang sering datang ke sana adalah Suzuki Ihaku, saudara lelaki Yang
Dipertuan Koizumi dari Ise, Yagyu Gorozaemon, ahli waris Keluarga Yagyu, dan
saudara lelaki Gorozaemon, yaitu Munenori. Munenori cepat menyukai Takuan, dan
keduanya bersahabat semenjak itu. Sesudah beberapa kali mengadakan kunjungan ke
Puri Koyagyu, Takuan berjumpa dengan Sekishusai dan menaruh rasa hormat yang
besar kepada orang tua itu. Sekishusai pun menyukai biarawan muda ini, yang baginya
mengesankan, karena memiliki banyak harapan di masa depan.
Baru-baru ini
Takuan singgah beberapa waktu lamanya di Kuil Nansoji di Provinsi Izumi, dan
dari sana ia mengirimkan surat menanyakan kesehatan Sekishusai dan Munenori.
Dan ia telah menerima jawaban panjang dari Sekishusai, yang di antaranya
berbunyi:
Saya sangat beruntung akhir-akhir ini.
Munenori sudah mendapat kedudukan dalam Keluarga Tokugawa di Edo, dan cucu saya
yang telah meninggalkan pekerjaannya pada Yang Dipertuan Kato dari Higo, dan
pergi belajar sendiri, banyak mendapat kemajuan. Saya sendiri sekarang memiliki
tenaga seorang gadis muda dan cantik, yang tidak hanya dapat bermain suling
dengan baik, tetapi juga berbicara dengan saya, dan bersama-sama kami
menyiapkan teh, menyusun bunga, dan mengarang sajak. la menjadi kegembiraan
dalam umur tua saya, menjadi bunga yang berkembang di rumah, yang kalau tidak
berkat dirinya akan merupakan gubuk tua yang dingin dan layu. Karena ia
mengatakan datang dari Mimasaka yang berdekatan dengan tempat kelahiran Anda
dan dibesarkan di kuil yang bernama Shippoji, saya pikir Anda dan dia banyak
memiliki persamaan. Menyenangkan luar biasa minum sake malam hari dengan
iringan suling yang baik permainannya, dan karena Anda demikian dekat dengan
tempat ini, saya harap Anda datang dan menikmati santapan ini bersama saya.
Dalam keadaan bagaimanapun, sangat sukar bagi
Takuan menolak andangan ini, tetapi dugaannya bahwa gadis yang dilukiskan dalam
surat itu adalah Otsu, membuatnya bersungguh-sungguh menerimanya.
Ketika mereka
bertiga berjalan menuju rumah Sekishusai, Takuan mengajukan banyak pertanyaan
pada Otsu, dan Otsu menjawabnya tanpa bertele-tele. Ia menyampaikan kepada
Takuan apa yang dilakukannya semenjak wrakhir kali mereka bertemu di Himeji
dahulu, lalu apa yang telah terjadi pagi itu, dan akhirnya bagaimana
perasaannya terhadap Musashi.
Takuan
mendengarkan cerita Otsu yang menyedihkan itu sambil mengangguk-angguk sabar.
Ketika Otsu selesai bercerita, ia mengatakan, "Kukira kaum perempuan mampu
memilih jalan hidup yang mustahil bagi kaum lelaki. Menurut penangkapanku, kau
menghendaki aku memberikan nasihat padamu tentang jalan yang harus kautempuh di
masa depan."
"Oh,
tidak."
"Nah....
"
"Saya
sudah memutuskan apa yang akan saya perbuat."
Takuan memperhatikan
dengan saksama. Otsu sudah berhenti berjalan dan kini memandang tanah. Ia
kelihatan berada dalam lembah keputusasaan, namun ada suatu kekuatan dalam nada
bicaranya, yang memaksa Takuan melakukan penilaian kembali.
"Sekiranya
saya punya keraguan, sekiranya saya bermaksud menyerah," kata Otsu,
"barangkali tak akan saya meninggalkan Shippoji. Saya masih bertekad
menemui Musashi. Satu-satunya pertanyaan dalam pikiran saya adalah, apakah hal
ini akan menimbulkan kesulitan baginya, dan apakah kalau saya terus hidup akan
mendatangkan ketidakbahagiaan padanya. Kalau memang demikian, saya harus
melakukan sesuatu untuknya."
"Dan apa
itu artinya?"
"Tak
dapat saya mengatakannya pada Bapak."
"Hati-hatilah,
Otsu!"
"Terhadap
apa?"
'Di bawah
matahari yang terang riang ini dewa maut sedang menariknarikmu. "
"Sava...
saya tak mengerti apa yang Bapak maksudkan."
"Kukira
memang tak akan kamu mengerti, tapi itu karena dewa maut ncminjamkan tenaga
kepadamu. Tolol kamu, Otsu, kalau kau mau mati, khususnva demi hal yang tak
lebih dari cinta yang bertepuk sebelah rangan." kata Takuan tertawa.
Otsu menjadi
marah kembali. Pikirnya, tak ada bedanya ini dengan udara kosong, karena Takuan
tidak pernah jatuh cinta. Tak mungkin bagi orang yang tidak pernah jatuh cinta
memahami apa yang dirasakannya. Baginya, mencoba menjelaskan perasaannya kepada
Takuan sama saja dengan Takuan mencoba menjelaskan Budhisme Zen kepada orang
pandir. Tapi seperti halnya terdapat kebenaran dalam Zen, entah yang pandir dapat
memahaminya atau tidak, ada orang-orang yang bersedia mati demi cinta, entah
Takuan dapat memahaminya atau tidak. Setidak-tidaknya bagi perempuan, cinta itu
satu hal yang jauh lebih serius daripada teka-teki sulit seorang pendeta Zen.
Bagi seorang yang dibuai oleh cinta yang bermakna hidup atau mati, tidak ada
bedanya bunyi tepukan sebelah tangan. Sambil menggigit bibir, Otsu bersumpah
tak akan mengatakan apa-apa lagi.
Takuan
menjadi sungguh-sungguh. "Kau mestinya dilahirkan sebagai laki-laki, Otsu.
Seorang lelaki yang memiliki kemauan seperti yang kaumiliki ini pasti dapat
melaksanakan sesuatu demi kebaikan negeri."
"Jadi,
apakah salah, seorang perempuan seperti saya ini hidup? Karena akan
mendatangkan kerugian pada Musashi?"
"Jangan
putar balikkan apa-apa yang kukatakan. Aku tidak bicara soal itu. Betapapun
kamu mencintainya, dia masih lari, bukan? Dan aku berani mengatakan kamu tak
akan dapat menangkapnya."
"Saya
lakukan ini bukan karena saya senang melakukannya. Saya tak bisa berbuat lain.
Saya mencintainya!"
"Coba,
belum lama aku tidak melihatmu, dan melihatmu lagi kamu sudah berbuat seperti
semua perempuan lain."
"Oh,
jadi Bapak tidak lihat, ya? Baiklah, tak usah kita bicara lagi. Pendeta
cemerlang seperti Bapak tak akan dapat memahami perasaan perempuan!"
"Tak
bisa aku menjawab ini. Memang benar, perempuan bagiku merupakan
teka-teki."
Otsu
melengos, dan katanya, "Ayo pergi, Jotaro."
Takuan berdiri
memperhatikan, sedangkan Otsu dan Jotaro menuruni jalan samping. Diiringi
kerjapan alisnya yang sedih, biarawan itu sampai pada kesimpulan bahwa tak ada
lagi yang dapat dilakukannya. Maka serunya kepada Otsu, "Apa kamu takkan
mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai, sebelum pergi menuruti kehendak
hati?"
"Saya
akan mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Beliau tahu, saya tak pernah
bermaksud tinggal lama di sini."
"Jadi,
kamu tak akan mempertimbangkannya kembali?"
"Mempertimbangkan
apa?"
"Tinggal
di Pegunungan Mimasaka itu indah, tapi di sini juga indah. Di sini damai dan
tenang, dan hidup di sini sederhana. Daripada melihat kamu pergi memasuki dunia
biasa dengan segala kesengsaraan dan kesulitannya, aku lebih suka melihatmu
hidup dalam kedamaian, di tengah pegunungan dan sungai-sungai ini, seperti juga
burung-burung bulbul yang kita dengar sedang menyanyi itu."
"Ha, ha!
Terima kasih banyak, Pak!"
Takuan
mengeluh, karena sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi perempuan muda yang
berkemauan keras ini, yang demikian bertekad pergi membuta menempuh jalan yang
telah dipilihnya. "Kamu boleh tertawa, Otsu, tapi jalan yang hendak kamu
tempuh itu jalan kegelapan."
"Kegelapan?"
"Kamu
dibesarkan di dalam kuil. Kamu mesti tahu, bahwa jalan kegelapan dan keinginan
itu hanya menjurus pada kekecewaan dan kesengsaraan. Kekecewaan dan
kesengsaraan yang tak bisa diselamatkan lagi."
"Tidak
pernah ada jalan terang bagi saya, tidak ada, sejak saya lahir."
"Ah,
ada, ada!" Takuan memasukkan tetesan daya terakhir ke dalam
permohonan-nya, dan ia dekati gadis itu dan ia pegang tangannya. Ia ingin
sekali agar gadis itu mempercayainya.
"Aku
akan bicara dengan Sekishusai tentang itu," demikian ditawarkannya.
"Tentang bagaimana kamu bisa hidup dan bahagia. Kamu bisa mendapatkan
suami yang baik di Koyagyu, memiliki anak-anak, dan melakukan hal-hal yang juga
dilakukan perempuan lain. Kamu akan membuat tempat ini lebih baik. Dan itu akan
membuatmu lebih bahagia."
"Saya
mengerti, Bapak berusaha membantu, tapi..."
"Cobalah!
Kuminta kamu mencoba!"
Sambil
menarik tangan gadis itu, ia memandang Jotaro, dan katanya, "Kamu juga,
Nak!"
Jotaro
menggelengkan kepala dengan tegas. "Saya tidak. Saya akan mengikuti guru
saya."
"Nah,
lakukanlah apa yang kamu suka, tapi setidak-tidaknya kembalilah ke puri
mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai."
"Oh,
saya lupa!" kata Jotaro terengah. "Topeng saya tertinggal di sana.
Akan saya ambil dulu." Ia segera berlari, tak peduli dengan jalan
kegelapan dan jalan terang itu.
Otsu berdiam
diri di persimpangan. Takuan diam, dan kembali menjadi teman lama yang pernah
dikenalnya. Takuan sudah mengingatkannya akan bahaya yang mengintai dalam hidup
yang hendak ditempuhnya dan mencoba meyakinkannya bahwa ada jalan lain untuk
menemukan kebahagiaan. Tapi Otsu tetap tak tergoyahkan.
Kemudian
Jotaro kembali berlari-lari mengenakan topeng. Takuan mengerut melihatnya, dan
secara naluriah merasa bahwa itulah wajah masa depan Otsu, wajah yang akan ia
saksikan sesudah Otsu menanggung derita dalam perjalanan panjangnya menelusuri
jalan kegelapan.
"Saya
pergi sekarang," kata Otsu, dan melangkah meninggalkan Takuan. Jotaro
bergayut pada lengan kimononya, katanya, "Ya, ayo pergi! Sekarang!"
Takuan
menengadahkan mata ke awan-awan putih, meratapi kegagalannya. "Tak ada
lagi yang dapat kuperbuat," katanya. "Sang Budha sendiri pun berputus
asa menyelamatkan perempuan."
"Selamat
tinggal, Pak," kata Otsu. "Saya nyatakan hormat kepada Sekishusai di
sini, tapi saya mohon Bapak menyampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat
berpisah kepada beliau."
"Oh, aku
bahkan mulai berpikir sekarang bahwa pendeta-pendeta adalah orang gila. Ke mana
saja mereka pergi, mereka bertemu dengan orang-orang yang berduyun-duyun menuju
neraka." Takuan mengangkat kedua tangannya, menjatuhkannya, dan katanya
dengan sangat khidmat, "Otsu, kalau kau nanti mulai tenggelam dalam Enam
Jalan Jahat atau Tiga Persimpangan, sebutlah namaku. Pikirkan diriku, dan
panggillah namaku! Sementara ini, yang bisa kukatakan cuma, pergilah sejauh kau
bisa, dan cobalah berhati-hati!"
tamat buku 2
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar