Sabtu, 15 Juli 2017


Rubah

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







"APA ini Kobikicho?"

Walaupun berkali-kali dibenarkan, Iori masih juga sangsi. Lampu-lampu yang tampak di keluasan tanah itu adalah lampu gubuk-gubuk darurat milik pekerja kayu dan tukang batu, dan gubuk itu hanya sedikit jumlahnya dan terpencar-pencar. Di kejauhan sana, yang terlihat olehnya hanyalah ombak putih yang membusa di dalam teluk.

Di dekat sungai terdapat timbunan batu dan tumpukan kayu. Sekalipun Iori tahu bahwa gedung-gedung dibangun dengan cepat sekali di seluruh Edo, ia merasa tidak mungkin bahwa Yang Dipertuan Yagyu akan membangun tempat kediaman di daerah seperti ini.

"Ke mana lagi sekarang?" pikirnya patah hati, seraya duduk di atas kayu. Kedua kakinya sudah lelah dan panas. Untuk mendinginkannya, ia menggosok-gosokkan jari kakinya ke rumput yang berembun. Tak lama kemudian, ketegangan yang dialaminya surut dan keringatnya mengering, tapi semangatnya tetap patah.

"Semua ini kesalahan perempuan itu," gerutunya pada diri sendiri. "Dia salah memberi petunjuk jalan." Ia pun terkenang akan saat ia tadi ternganga melihat-lihat daerah teater di Sakaicho.

Hari sudah larut, dan di sekitar situ tidak ada orang yang dapat ia tanyai arah. Namun ia merasa tak enak juga kalau mesti menginap di lingkungan yang tidak dikenalnya ini. Ia mesti melaksanakan suruhan dan kembali ke penginapan sebelum matahari terbit, sekalipun akan terpaksa membangunkan salah seorang pekerja.

Ketika menghampiri gubuk terdekat yang berlampu, ia melihat seorang perempuan berkerudung anyaman seperti syal. "Selamat malam, Bi," katanya polos.

Perempuan itu mengira Iori pembantu warung sake yang tak jauh dari tempat itu; ia menatap Iori dan dengusnya, "Oh, kau ya? Kau yang melempari aku dengan batu tadi, lalu lari, kan, anak nakal?"

"Bukan saya," protes Iori. "Belum pernah saya melihat Bibi!"

Perempuan itu menghampirinya ragu-ragu, kemudian pecahlah tawanya. "Oh, bukan," katanya, "bukan kau. Tapi apa pula kerja anak sekecil dan semanis kau malam-malam begini berkeliaran di sini?"

"Saya disuruh menyampaikan surat, tapi saya tak dapat menemukan rumah yang saya cari."

"Rumah siapa itu?"

"Yang Dipertuan Yagyu dari Tajima."

"Kau berkelakar, ya?" Perempuan itu tertawa. "Yang Dipertuan Yagyu itu seorang daimyo dan guru shogun. Kaupikir dia akan mau buka pintu buat kamu?" Ia tertawa lagi. "Atau barangkali kau punya kenalan di bagian pelayan?"

"Saya bawa surat."

"Untuk siapa?"

"Untuk samurai yang namanya Kimura Sukekuro."

"Itu tentunya salah seorang abdinya. Tapi kau ini lucu sekali, enak saja menyebut nama Yang Dipertuan Yagyu, seolah kau kenal dia."

"Saya cuma mau menyampaikan surat ini. Kalau Bibi tahu di mana rumahnya, tolong katakan."

"Rumahnya di seberang parit. Kalau kau seberangi jembatan di sana itu, kau akan sampai di depan rumah Yang Dipertuan Kii. Di sebelahnya adalah Yang Dipertuan Kyogoku, lalu Yang Dipertuan Kato, kemudian Yang Dipertuan Matsudaira dari Suo." Dengan jarinya ia menghitung gudang-gudang kokoh di tepi seberang itu. "Aku yakin, yang di belakangnya itulah yang kaucari."

"Kalau sudah saya seberangi parit itu, apa saya masih ada di Kobikicho?"

"Tentu saja."

"Bodoh sekali..."

"Hei, jangan begitu bicaramu. Hmm, kau manis sekali. Biar kuantar kau, dan kutunjukkan tempat Yang Dipertuan Yagyu."

Perempuan itu pun berjalan di depan Iori, berkerudung anyaman. Bagi Iori, ia tampak agak menyerupai hantu.

Sampai di tengah jembatan, seorang lelaki yang berpapasan dengan mereka menyenggol lengan kimono perempuan itu dan bersuit. Orang itu berbau sake. Sebelum Iori tahu apa yang terjadi, perempuan itu sudah membalik dan menghampiri orang mabuk itu. "Aku kenal kau," kicau perempuan itu. "Jangan lewat begitu saja. Itu tidak baik." Ia tangkap lengan baju orang itu, lalu beranjak ke suatu tempat, yang menuju ke bawah jembatan.

"Lepaskan aku," kata lelaki itu.

"Kau tak mau pergi denganku?"

"Tak ada uang."

"Ah, aku tak peduli." Sambil menempelkan diri seperti lintah pada lelaki itu, perempuan itu menoleh pada Iori yang keheranan, katanya, "Lari sana sekarang. Aku ada urusan dengan orang ini."

Iori hanya memandang kebingungan, ketika kedua orang itu saling tarik. Beberapa waktu kemudian, perempuan itu tampaknya dapat mengunggulinya, dan mereka menghilang ke bawah jembatan. Masih terheran-heran, Ion pergi ke susuran jembatan dan melayangkan pandang ke tepi sungai yang berumput.

Sambil menengadah, perempuan itu berteriak, "Hei, dungu!" dan memungut sebuah batu.

Dengan napas terengah-engah, Iori menghindari lemparan batu itu dan pergi ke ujung jembatan. Selama bertahun-tahun tinggal di dataran tandus Hotengahara itu, belum pernah ia melihat hal yang begitu menakutkan seperti wajah putih perempuan yang marah di tengah gelap itu.

Di seberang sungai, ia ternyata berhadapan dengan sebuah gudang. Di sampingnya ada pagar, kemudian gudang lain, kemudian pagar lagi, dan begitu seterusnya, menyusur jalan. "Tentunya ini," katanya, ketika ia sampai di bangunan kelima. Pada tembok yang putih berkilau terdapat lambang berbentuk topi perempuan bertingkat dua. Itulah lambang Keluarga Yagyu. seperti ia kenal dari kata-kata sebuah lagu populer.

"Siapa di situ?" terdengar suara dari dalam gerbang.

Ia menjawab sekeras-kerasnya, "Saya murid Miyamoto Musashi. Saya bawa surat."

Penjaga itu mengucapkan beberapa patah kata yang tak dimengerti Ion. Pada pintu gerbang terdapat pintu kecil, dan lewat pintu itu orang dapat masuk atau keluar tanpa membuka pintu gerbang besar. Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka pelan-pelan, dan orang itu bertanya curiga, "Apa kerjamu di sini, malam-malam begini?"

Iori menyodorkan surat itu ke wajah si pengawal. "Tolong saya menyampaikan ini. Kalau ada jawabannya, akan saya bawa sekalian."

"Hmm," renung orang itu sambil mengambil surat tersebut. "Untuk Kimura Sukekuro, ya?"

"Ya, Pak."

"Tapi dia tak ada di sini."

"Di mana dia?"

"Dia ada di rumah di Higakubo."

"Hah? Tapi semua orang bilang, dia ada di rumah kediaman Yang Dipertuan Yagyu di Kobikicho."

"Memang orang selalu bilang begitu, tapi di sini cuma ada gudanggudang betas, kayu, dan beberapa barang lain."

"Yang Dipertuan Yagyu tidak tinggal di sini?"

"Tidak."

"Berapa jam ke tempat yang lain itu—Higakubo?"

"Cukup jauh juga."

"Tapi di mana itu?"

"Di perbukitan luar kota, di Desa Azabu."

"Tak pernah saya dengar nama itu." Iori mengeluh kecewa, tapi rasa tanggung jawab mencegahnya untuk menyerah. "Bisa Bapak membuatkan petanya?"

"Jangan bodoh. Biarpun kau tahu jalannya, sepanjang malam baru kau bisa sampai di sana."

"Tidak apa."

"Di Azabu banyak rubah. Kau tak ingin ditenung rubah, kan?"

"Tidak."

"Apa kau kenal baik dengan Sukekuro?"

"Guru saya yang kenal."

"Begini saja. Karena sekarang sudah larut, bagaimana kalau kau tidur dulu di lumbung sana itu, dan baru besok pagi berangkat?"



"Lho, di mana aku?" seru Iori sambil menggosok matanya. Ia melompat berdiri dan berlari ke luar. Matahari siang membuatnya pening. Sambil mengedipkan mata ke sinar menyilaukan itu, ia pergi ke pos gerbang, di mana penjaga sedang makan siang.

"Jadi, akhirnya bangun juga kau."

"Ya, Pak. Bisa Bapak membuatkan peta itu sekarang?"

"Buru-buru, ya, tukang tidur? Lebih baik kau makan dulu. Makanan ini cukup buat kita berdua."

Sementara anak itu mengunyah dan menelan, si penjaga membuat peta kasar dan menjelaskan cara pergi ke Higakubo. Mereka selesai bersamaan. Karena merasa tugasnya penting sekali, Iori segera berlari tanpa pikir lagi, bahwa ada kemungkinan Musashi menguatirkan ketidakpulangannya ke penginapan.

Cukup cepat juga ia melewati jalan-jalan ramai itu, sampai tiba di daerah Benteng Edo. Rumah-rumah indah para daimyo terkemuka berdiri di tanah yang terletak di tengah silang-siurnya parit. Sementara memandang sekeliling, ia melambatkan jalannya. Kanal-kanal penuh dengan kapal barang. Kubu batu pada benteng itu sendiri setengah tertutup perancah dari balok, yang dari jauh mirip dengan terali bambu yang biasa dipergunakan untuk rambatan tumbuhan jalar morning glory "kemuliaan pagi".

Beberapa waktu lamanya ia habiskan di dataran luas bernama Hibiya, di mana detak-detik pahat dan ketak-ketuk kapak membubungkan lagu pujaan tak selaras mengenai kekuasaan shogun baru. Iori berhenti, terpesona oleh pemandangan di hadapannya: para pekerja yang menyeret batu-batu besar, tukang-tukang kayu dengan serut dan gergajinya, dan samurai itu, samurai gagah yang berdiri dengan bangga, mengawasi semua itu. Oh, ingin sekali ia lekas besar dan menjadi seperti mereka!

Suatu lagu yang penuh semangat berkumandang dari tenggorokan orangorang yang menyeret batu itu.



Kita kan memetik bunga

Di Wang Musashi

Bunga gentian, loncengan,

Bunga-bunga liar yang bertebaran

Berkacau-balau.

Tapi gadis manis itu,

Bunga yang tak terpetik itu,

Yang basah oleh embun

Ia hanya akan melembapkan lenganmu,

Seperti air mata yang tercurah.



Ia berdiri terpesona. Tanpa disadarinya, air parit sudah mulai berwarna kemerahan, dan suara-suara burung gagak petang mulai terdengar oleh telinganya.

"Ah, matahari sudah hampir tenggelam," katanya mengecam diri sendiri. Ia berlari, dan beberapa waktu lamanya ia berlari terus sekencang-kencangnya, tanpa memperhatikan apa pun kecuali peta yang dibuat oleh pengawal itu. Baru kemudian disadarinya bahwa ia sudah mendaki jalan yang menuju Bukit Azabu yang demikian rimbun ditumbuhi pepohonan, hingga kelihatan seolah hari sudah tengah malam. Namun, ketika ia sampai di puncak bukit itu, dilihatnya matahari masih ada di atas sana, sekalipun letaknya sudah rendah di kaki langit.

Di atas bukit itu sendiri hampir tidak terdapat rumah, sedangkan desa Azabu hanyalah merupakan tebaran perladangan dan rumah-rumah pertanian di dalam lembah di bawah. Iori berdiri di tengah lautan rumput dan pohon-pohon tua, mendengarkan sungai-sungai kecil yang bergemerecik menuruni sisi bukit. Letihnya terasa hilang, berganti dengan kesegaran yang aneh. Samar-samar ia menyadari bahwa tempat ia berdiri adalah tempat bersejarah, sekalipun ia tidak tahu mengapa demikian. Sesungguhnya itulah tempat kelahiran sederetan prajurit besar dari Keluarga Taira dan Minamoto di masa lalu.

Ia mendengar dentam-dentam keras genderang sedang ditabuh, jenis genderang yang sering kali dipergunakan dalam perayaan-perayaan Shinto. Di bawah bukit, di tengah hutan, tampak kayu palang yang kokoh pada bubungan tempat suci. Iori tidak tahu bahwa itulah Kuil Agung ligura yang pernah dipelajarinya, yaitu bangunan terkenal yang suci bagi dewi matahari dari Ise.

Kuil itu berbeda sekali dengan benteng mahabesar yang baru saja ia lihat, bahkan berbeda dari gerbang-gerbang megah milik para daimyo. Dalam kesederhanaannya, kuil itu hampir tak dapat dibedakan dengan rumah-rumah pertanian di sekitarnya, dan Iori merasa heran juga, kenapa orang berbicara dengan lebih takzim tentang keluarga Tokugawa daripada tentang dewa-dewa yang paling suci. Apakah dengan begitu Keluarga Tokugawa itu lebih agung daripada dewa matahari? Ia bertanya-tanya. "Aku akan bertanya pada Musashi soal itu nanti, kalau aku pulang."

Ia keluarkan peta itu, ia pelajari baik-baik, kemudian la perhatikan keadaan sekitar, dan akhirnya ia amati lagi peta itu. Namun belum juga kelihatan tanda-tanda rumah kediaman Yagyu.

Kabut petang yang menyebar di atas tanah mendatangkan perasaan ngeri kepadanya. ia pernah mendapat perasaan serupa itu, ketika berada dalam sebuah kamar dengan shoji tertutup. Sinar matahari yang sedang tenggelam waktu itu bermain di kertas dinding, sehingga suasana dalam kamar seolah menjadi lebih terang, sementara suasana di luar menjadi gelap. Tentu saja itu cuma khayal senja, tapi ia merasakannya demikian kuat, dalam beberapa kelebat, hingga ia menggosok matanya, seakan hendak menghapus khayal sinar itu. Ia tahu bahwa ia tidak bermimpi, dan ia memandang ke sekitarnya dengan sikap curiga.

"Oh, bajingan licik kau!" teriaknya sambil melompat ke depan dan melecutkan pedangnya. Dengan pedang itu pula la menebas serumpun rumput tinggi di depannya.

Seekor rubah meloncat dari tempat persembunyiannya dan melejit diiringi raungan kesakitan, ekornya berkilau-kilau oleh darah dari luka di bagian belakang tubuhnya.

"Binatang setan!" Iori mengejar. Rubah itu berlari kencang. Ion demikian juga. Ketika makhluk yang sudah pincang itu terhuyung-huyung, Iori menerjang, karena yakin akan mendapat kemenangan, namun rubah itu menyelinap dengan gesitnya, untuk kemudian menyembul lagi beberapa meter di depan. Betapapun cepatnya Iori menyerang, tiap kali binatang itu berhasil meloloskan diri.

Di pangkuan ibunya, Iori pernah mendengarkan dongeng yang tak terhitung jumlahnya, tentang rubah yang memiliki kekuatan untuk memesona dan menyusupi manusia. Iori suka pada sebagian besar binatang lain, termasuk babi hutan dan kuskus yang berbau busuk, tapi ia benci dan takut pada rubah. Pada pikirnya, menemukan makhluk licik ini sedang bersembunyi di rumput, cuma berarti satu hal: binatang itulah yang harus dipersalahkan, bahwa ia sampai tersesat. Ia yakin binatang itu makhluk pengkhianat dan jahat, yang sudah mengikutinya semenjak malam kemarin, dan yang baru saja melontarkan sihir jahat kepadanya. Kalau ia tidak membunuh binatang itu sekarang, pasti ia akan diguna-gunai lagi. Iori hendak mengejar binatang buruannya itu sampai ke ujung dunia, tapi ternyata rubah itu berhasil meloncati tepi jurang dan hilang dari pemandangan, masuk ke dalam semak.

Embun bercahaya berkilauan di atas bunga-bunga jelatang dan tumbuhan labah-labah. Karena kehabisan tenaga dan kering tenggorokan, Iori menjatuhkan diri ke tanah dan menjilati air pada dedaunan. Dengan bahu naik-turun, akhirnya ia dapat mengambil napas dalam-dalam, dan keringat pun bercucuran dari dahinya. Jantungnya berdetak keras. "Ke mana rubah itu tadi?" tanyanya antara jeritan dan cekikan.

Kalau memang sudah pergi, memang lebih baik, tapi Iori tidak yakin mana yang hendak dipercayainya. Karena ia sudah melukai binatang itu, pastilah binatang itu akan membalas dendam, entah dengan cara bagaimana. Dengan sikap pasrah ia duduk diam dan menanti.

Justru ketika ia mulai merasa lebih tenang, suatu suara mengerikan menyusupi telinganya. Dengan mata membelalak ia memandang ke sekitarnya. "Pasti rubah itu," katanya sambil menguatkan diri jangan sampai tersihir. Sambil cepat berdiri, ia membasahi alisnya dengan ludah, suatu gerak tipu yang menurut keyakinan dapat menangkal pengaruh rubah.

Tidak jauh dari tempat itu, datang seorang perempuan seperti mengapung melintasi kabut petang, wajahnya setengah tertutup kerudung sutra tipis. Ia duduk miring di atas pelana kuda, kendali kuda tergantung bebas menyilang tunas pelana yang rendah. Pelana itu terbuat dari kayu berpernis dan berhiaskan indung mutiara.

"Dia sudah berubah menjadi perempuan," pikir Iori. Bayangan yang mengenakan kerudung, memainkan suling, dan muncul dengan latar belakang sinar tipis matahari petang ini tak mungkin makhluk dari dunia ini.

Sementara berjongkok di rerumputan, seperti kodok, Iori mendengar suara dari dunia lain yang memanggil "Otsu", dan ia yakin suara itu datang dari salah satu teman rubah itu.

Si pengendara kuda sudah hampir mencapai belokan di mana ada sebuah jalan menyimpang ke selatan. Bagian atas tubuhnya bersinar kemerahmerahan. Matahari yang sedang tenggelam di belakang Bukit Shibuya tampak dilingkari awan.

Kalau ia membunuh perempuan itu, ia dapat mengungkapkan bentuknya yang sebenarnya, yaitu bentuk rubah. Ia mengetatkan pegangan atas pedangnya dan meneguhkan diri. Pikirnya, "Untung binatang itu tidak tahu aku sembunyi di sini." Seperti semua orang yang kenal hakikat rubah, ia tahu bahwa nyawa binatang itu terletak beberapa kaki di belakang bentuk manusianya. Napas Iori sudah terengah-engah karena menantikan bayangan itu berjalan dan membelok ke selatan.

Tapi, ketika kuda itu sampai di belokan, perempuan itu berhenti bermain, memasukkan sulingnya ke dalam bungkus kain, dan menyelipkannya ke dalam obi-nya. Ia singkapkan kerudungnya, lalu meninjau sekitarnya dengan mata menyelidik.

"Otsu!" terdengar suara itu memanggil lagi.

Senyuman menyenangkan tersungging pada wajah perempuan itu ketika ia membalas, "Aku di sini, Hyogo. Di atas sini."

Iori melihat seorang samurai mendaki jalan dari dalam lembah. "Oh, oh!" gagapnya, ketika melihat bahwa orang itu pincang sedikit jalannya.

Inilah rubah yang telah dilukainya itu, tidak sangsi lagi! Ia menyamar bukan sebagai seorang penggoda yang cantik, tapi sebagai samurai tampan. Hantu itu membuat Iori ngeri. Tubuhnya gemetar hebat dan basah kuyup.

Sesudah perempuan dan samurai itu bercakap-cakap sebentar, si samurai memegang kekang kuda itu dan menuntunnya lewat tempat Iori bersembunyi.

"Sekarang saatnya!" demikian Iori memutuskan, namun tubuhnya tak mau bergerak.

Si samurai melihat gerak sedikit itu dan memandang ke sekitar. Pandangannya tepat ke wajah Iori yang ketakutan. Sinar yang keluar dan mata samurai itu seolah lebih berkilau daripada tepi matahari yang sedang tenggelam. Iori meniarapkan diri dan membenamkan wajahnya ke rumput. Belum pernah selama hidupnya yang empat belas tahun, ia mengalami rasa takut seperti itu.



Hyogo tak melihat ada yang menguatirkan pada anak itu, dan berjalan terus. Lereng di tempat itu terjal, dan ia harus berdiri agak condong ke belakang untuk dapat terus mengendalikan kuda itu. Ia menoleh pada Otsu, dan tanyanya lembut, "Kenapa begitu terlambat pulang? Sudah dari tadi engkau berangkat, dan hanya untuk ke kuil, lalu kembali. Pamanku jadi kuatir dan menyuruhku mencarimu."

Otsu meloncat turun, tanpa mengatakan sesuatu.

Hyogo berhenti. "Kenapa turun? Apa ada yang salah?"

"Tidak, tapi kurang tepat kalau seorang perempuan naik kuda, sedangkan seorang lelaki berjalan. Mari kita jalan sama-sama. Kita bisa sama-sama pegang kendali." Ia menempatkan diri di sisi lain kuda itu.

Mereka turun ke dalam lembah yang gelap, dan melewati sebuah papan bertulisan Akademi Pendeta Sendan'en Sekte Zen Soda Langit penuh dengan bintang, dan suara Sungai Shibuya terdengar di kejauhan. Sungai itu membagi lembah menjadi Higakubo Utara dan Higakubo Selatan. Karena perguruan yang didirikan oleh biarawan Rintatsu itu terletak di lereng utara, para pendeta di situ biasa disebut "kawan-kawan dari utara". "Kawan-kawan dari selatan" adalah orang-orang yang mempelajari permainan pedang di bawah pimpinan Yagyu Munenori, yang bangunan kediamannya terletak tepat di seberang lembah.

Sebagai anak emas di tengah anak-anak dan cucu-cucu Yagyu Sekishusai, Yagyu Hyogo memiliki status istimewa di antara "kawan-kawan dari selatan". Ia sendiri sudah terkenal. Pada umur dua puluh tahun, ia sudah dipanggil oleh Jenderal Kato Kiyomasa yang terkenal itu, dan mendapat kedudukan di Benteng Kumamoto di Provinsi Higo, dengan penghasilan lima belas ribu gantang. Hat itu belum pernah terjadi pada orang semuda itu. Tapi, sesudah Pertempuran Sekigahara, Hyogo mulai memikirkan kembali statusnya, karena ia merasakan bahayanya berpihak pada golongan Tokugawa ataupun Osaka. Tiga tahun sebelum itu, dengan alasan kakeknya sakit, ia meninggalkan Kumamoto dan kembali ke Yamato. Sesudah itu ia mengadakan perjalanan ke pedesaan beberapa waktu lamanya. Alasannya, ia membutuhkan lebih banyak latihan.

Ia dan Otsu secara kebetulan bertemu tahun lalu, ketika ia datang ke rumah pamannya. Selama lebih dari tiga tahun sebelum itu, Otsu menempuh hidup yang menyedihkan. Tidak pernah ia dapat melepaskan diri dari Matahachi yang menyeret-nyeretnya ke mana-mana, dan dengan licinnya menyatakan kepada para calon majikannya bahwa Otsu adalah istrinya. Sekiranya ia mau bekerja sebagai magang tukang kayu, tukang plester, atau tukang batu, ia tentu sudah mendapat pekerjaan pada hari ia tiba di Edo, tapi ia lebih suka membayangkan diri mereka melakukan pekerjaan yang lebih halus bersama-sama, Otsu sebagai pembantu rumah tangga barangkali, sedangkan ia sendiri sebagai kerani atau akuntan.

Karena tidak menemukan orang yang mau menerima tawarannya, mereka hidup dari kerja serabutan. Bulan-bulan berlalu. Dengan maksud membuai penyiksanya agar merasa nyaman, Otsu menyerah saja kepadanya dalam segala hal, terkecuali menyerahkan tubuhnya.

Kemudian, pada suatu hari, ketika sedang berjalan, mereka bertemu dengan arak-arakan seorang daimyo. Bersama semua orang yang lain, mereka pun minggir ke tepi jalan dan menunjukkan sikap hormat.

Joli-joli dan peti-peti besi tampak mengenakan lambang Yagyu. Otsu mengangkat mata, hingga dapat melihatnya. Maka kenangan tentang Sekishusai dan hari-hari bahagia di Benteng Koyagyu membanjiri hatinya. Oh, alangkah enaknya kalau sekarang ia dapat kembali ke Yamato yang damai itu! Tapi karena Matahachi ada di sampingnya, ia hanya dapat menatap kosong ke arah rombongan yang lewat itu.

"Lho, ini Otsu, kan?" sebuah caping ilalang hampir-hampir menutupi wajah samurai itu, tapi ketika ia mendekat, Otsu melihat bahwa orang itu Kimura Sukekuro, orang yang diingatnya dengan rasa kasih dan hormat. Sekiranya orang itu sang Budha sendiri, yang dikelilingi sinar ajaib belas kasihannya yang tak terbatas itu, ia takkan merasa lebih heran atau berterima kasih dari itu. Ia menyelinap dari sisi Matahachi dan bergegas mendapatkan Sukekuro, dan Sukekuro pun segera menawarkan diri membawa Otsu pulang.

Matahachi membuka mulut untuk memprotes, tapi Sukekuro mengatakan dengan tegas, "Kalau ada yang hendak Anda katakan, datang saja ke Higakubo dan katakan nanti di sana."

Matahachi menahan lidahnya, karena tak berdaya menghadapi Keluarga Yagyu yang bermartabat tinggi itu. Ia menggigit bibir bawahnya dengan penuh kecewa, bercampur kemarahan, melihat hartanya yang berharga itu lepas dari tangannya.


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP