Rubah
"APA ini
Kobikicho?"
Walaupun berkali-kali
dibenarkan, Iori masih juga sangsi. Lampu-lampu yang tampak di keluasan tanah
itu adalah lampu gubuk-gubuk darurat milik pekerja kayu dan tukang batu, dan
gubuk itu hanya sedikit jumlahnya dan terpencar-pencar. Di kejauhan sana, yang
terlihat olehnya hanyalah ombak putih yang membusa di dalam teluk.
Di dekat sungai
terdapat timbunan batu dan tumpukan kayu. Sekalipun Iori tahu bahwa
gedung-gedung dibangun dengan cepat sekali di seluruh Edo, ia merasa tidak
mungkin bahwa Yang Dipertuan Yagyu akan membangun tempat kediaman di daerah
seperti ini.
"Ke mana lagi
sekarang?" pikirnya patah hati, seraya duduk di atas kayu. Kedua kakinya
sudah lelah dan panas. Untuk mendinginkannya, ia menggosok-gosokkan jari
kakinya ke rumput yang berembun. Tak lama kemudian, ketegangan yang dialaminya
surut dan keringatnya mengering, tapi semangatnya tetap patah.
"Semua ini
kesalahan perempuan itu," gerutunya pada diri sendiri. "Dia salah
memberi petunjuk jalan." Ia pun terkenang akan saat ia tadi ternganga
melihat-lihat daerah teater di Sakaicho.
Hari sudah larut, dan
di sekitar situ tidak ada orang yang dapat ia tanyai arah. Namun ia merasa tak
enak juga kalau mesti menginap di lingkungan yang tidak dikenalnya ini. Ia
mesti melaksanakan suruhan dan kembali ke penginapan sebelum matahari terbit,
sekalipun akan terpaksa membangunkan salah seorang pekerja.
Ketika menghampiri
gubuk terdekat yang berlampu, ia melihat seorang perempuan berkerudung anyaman
seperti syal. "Selamat malam, Bi," katanya polos.
Perempuan itu mengira
Iori pembantu warung sake yang tak jauh dari tempat itu; ia menatap Iori dan
dengusnya, "Oh, kau ya? Kau yang melempari aku dengan batu tadi, lalu
lari, kan, anak nakal?"
"Bukan
saya," protes Iori. "Belum pernah saya melihat Bibi!"
Perempuan itu
menghampirinya ragu-ragu, kemudian pecahlah tawanya. "Oh, bukan,"
katanya, "bukan kau. Tapi apa pula kerja anak sekecil dan semanis kau
malam-malam begini berkeliaran di sini?"
"Saya disuruh
menyampaikan surat, tapi saya tak dapat menemukan rumah yang saya cari."
"Rumah siapa
itu?"
"Yang Dipertuan
Yagyu dari Tajima."
"Kau berkelakar,
ya?" Perempuan itu tertawa. "Yang Dipertuan Yagyu itu seorang daimyo
dan guru shogun. Kaupikir dia akan mau buka pintu buat kamu?" Ia tertawa
lagi. "Atau barangkali kau punya kenalan di bagian pelayan?"
"Saya bawa
surat."
"Untuk
siapa?"
"Untuk samurai
yang namanya Kimura Sukekuro."
"Itu tentunya
salah seorang abdinya. Tapi kau ini lucu sekali, enak saja menyebut nama Yang
Dipertuan Yagyu, seolah kau kenal dia."
"Saya cuma mau
menyampaikan surat ini. Kalau Bibi tahu di mana rumahnya, tolong katakan."
"Rumahnya di
seberang parit. Kalau kau seberangi jembatan di sana itu, kau akan sampai di
depan rumah Yang Dipertuan Kii. Di sebelahnya adalah Yang Dipertuan Kyogoku,
lalu Yang Dipertuan Kato, kemudian Yang Dipertuan Matsudaira dari Suo."
Dengan jarinya ia menghitung gudang-gudang kokoh di tepi seberang itu.
"Aku yakin, yang di belakangnya itulah yang kaucari."
"Kalau sudah
saya seberangi parit itu, apa saya masih ada di Kobikicho?"
"Tentu
saja."
"Bodoh
sekali..."
"Hei, jangan
begitu bicaramu. Hmm, kau manis sekali. Biar kuantar kau, dan kutunjukkan
tempat Yang Dipertuan Yagyu."
Perempuan itu pun
berjalan di depan Iori, berkerudung anyaman. Bagi Iori, ia tampak agak
menyerupai hantu.
Sampai di tengah
jembatan, seorang lelaki yang berpapasan dengan mereka menyenggol lengan kimono
perempuan itu dan bersuit. Orang itu berbau sake. Sebelum Iori tahu apa yang
terjadi, perempuan itu sudah membalik dan menghampiri orang mabuk itu.
"Aku kenal kau," kicau perempuan itu. "Jangan lewat begitu saja.
Itu tidak baik." Ia tangkap lengan baju orang itu, lalu beranjak ke suatu
tempat, yang menuju ke bawah jembatan.
"Lepaskan
aku," kata lelaki itu.
"Kau tak mau
pergi denganku?"
"Tak ada
uang."
"Ah, aku tak
peduli." Sambil menempelkan diri seperti lintah pada lelaki itu, perempuan
itu menoleh pada Iori yang keheranan, katanya, "Lari sana sekarang. Aku
ada urusan dengan orang ini."
Iori hanya memandang
kebingungan, ketika kedua orang itu saling tarik. Beberapa waktu kemudian,
perempuan itu tampaknya dapat mengunggulinya, dan mereka menghilang ke bawah
jembatan. Masih terheran-heran, Ion pergi ke susuran jembatan dan melayangkan
pandang ke tepi sungai yang berumput.
Sambil menengadah,
perempuan itu berteriak, "Hei, dungu!" dan memungut sebuah batu.
Dengan napas
terengah-engah, Iori menghindari lemparan batu itu dan pergi ke ujung jembatan.
Selama bertahun-tahun tinggal di dataran tandus Hotengahara itu, belum pernah
ia melihat hal yang begitu menakutkan seperti wajah putih perempuan yang marah
di tengah gelap itu.
Di seberang sungai,
ia ternyata berhadapan dengan sebuah gudang. Di sampingnya ada pagar, kemudian
gudang lain, kemudian pagar lagi, dan begitu seterusnya, menyusur jalan.
"Tentunya ini," katanya, ketika ia sampai di bangunan kelima. Pada tembok
yang putih berkilau terdapat lambang berbentuk topi perempuan bertingkat dua.
Itulah lambang Keluarga Yagyu. seperti ia kenal dari kata-kata sebuah lagu
populer.
"Siapa di
situ?" terdengar suara dari dalam gerbang.
Ia menjawab
sekeras-kerasnya, "Saya murid Miyamoto Musashi. Saya bawa surat."
Penjaga itu
mengucapkan beberapa patah kata yang tak dimengerti Ion. Pada pintu gerbang
terdapat pintu kecil, dan lewat pintu itu orang dapat masuk atau keluar tanpa
membuka pintu gerbang besar. Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka
pelan-pelan, dan orang itu bertanya curiga, "Apa kerjamu di sini,
malam-malam begini?"
Iori menyodorkan
surat itu ke wajah si pengawal. "Tolong saya menyampaikan ini. Kalau ada
jawabannya, akan saya bawa sekalian."
"Hmm," renung
orang itu sambil mengambil surat tersebut. "Untuk Kimura Sukekuro,
ya?"
"Ya, Pak."
"Tapi dia tak
ada di sini."
"Di mana
dia?"
"Dia ada di
rumah di Higakubo."
"Hah? Tapi semua
orang bilang, dia ada di rumah kediaman Yang Dipertuan Yagyu di Kobikicho."
"Memang orang
selalu bilang begitu, tapi di sini cuma ada gudanggudang betas, kayu, dan
beberapa barang lain."
"Yang Dipertuan
Yagyu tidak tinggal di sini?"
"Tidak."
"Berapa jam ke
tempat yang lain itu—Higakubo?"
"Cukup jauh
juga."
"Tapi di mana
itu?"
"Di perbukitan
luar kota, di Desa Azabu."
"Tak pernah saya
dengar nama itu." Iori mengeluh kecewa, tapi rasa tanggung jawab
mencegahnya untuk menyerah. "Bisa Bapak membuatkan petanya?"
"Jangan bodoh.
Biarpun kau tahu jalannya, sepanjang malam baru kau bisa sampai di sana."
"Tidak
apa."
"Di Azabu banyak
rubah. Kau tak ingin ditenung rubah, kan?"
"Tidak."
"Apa kau kenal
baik dengan Sukekuro?"
"Guru saya yang
kenal."
"Begini saja.
Karena sekarang sudah larut, bagaimana kalau kau tidur dulu di lumbung sana
itu, dan baru besok pagi berangkat?"
"Lho, di mana
aku?" seru Iori sambil menggosok matanya. Ia melompat berdiri dan berlari
ke luar. Matahari siang membuatnya pening. Sambil mengedipkan mata ke sinar
menyilaukan itu, ia pergi ke pos gerbang, di mana penjaga sedang makan siang.
"Jadi, akhirnya
bangun juga kau."
"Ya, Pak. Bisa
Bapak membuatkan peta itu sekarang?"
"Buru-buru, ya,
tukang tidur? Lebih baik kau makan dulu. Makanan ini cukup buat kita
berdua."
Sementara anak itu
mengunyah dan menelan, si penjaga membuat peta kasar dan menjelaskan cara pergi
ke Higakubo. Mereka selesai bersamaan. Karena merasa tugasnya penting sekali,
Iori segera berlari tanpa pikir lagi, bahwa ada kemungkinan Musashi
menguatirkan ketidakpulangannya ke penginapan.
Cukup cepat juga ia
melewati jalan-jalan ramai itu, sampai tiba di daerah Benteng Edo. Rumah-rumah
indah para daimyo terkemuka berdiri di tanah yang terletak di tengah
silang-siurnya parit. Sementara memandang sekeliling, ia melambatkan jalannya.
Kanal-kanal penuh dengan kapal barang. Kubu batu pada benteng itu sendiri
setengah tertutup perancah dari balok, yang dari jauh mirip dengan terali bambu
yang biasa dipergunakan untuk rambatan tumbuhan jalar morning glory
"kemuliaan pagi".
Beberapa waktu
lamanya ia habiskan di dataran luas bernama Hibiya, di mana detak-detik pahat
dan ketak-ketuk kapak membubungkan lagu pujaan tak selaras mengenai kekuasaan
shogun baru. Iori berhenti, terpesona oleh pemandangan di hadapannya: para
pekerja yang menyeret batu-batu besar, tukang-tukang kayu dengan serut dan
gergajinya, dan samurai itu, samurai gagah yang berdiri dengan bangga,
mengawasi semua itu. Oh, ingin sekali ia lekas besar dan menjadi seperti
mereka!
Suatu lagu yang penuh
semangat berkumandang dari tenggorokan orangorang yang menyeret batu itu.
Kita kan memetik
bunga
Di Wang Musashi
Bunga gentian,
loncengan,
Bunga-bunga liar yang
bertebaran
Berkacau-balau.
Tapi gadis manis itu,
Bunga yang tak
terpetik itu,
Yang basah oleh embun
Ia hanya akan
melembapkan lenganmu,
Seperti air mata yang
tercurah.
Ia berdiri terpesona.
Tanpa disadarinya, air parit sudah mulai berwarna kemerahan, dan suara-suara
burung gagak petang mulai terdengar oleh telinganya.
"Ah, matahari
sudah hampir tenggelam," katanya mengecam diri sendiri. Ia berlari, dan
beberapa waktu lamanya ia berlari terus sekencang-kencangnya, tanpa
memperhatikan apa pun kecuali peta yang dibuat oleh pengawal itu. Baru kemudian
disadarinya bahwa ia sudah mendaki jalan yang menuju Bukit Azabu yang demikian
rimbun ditumbuhi pepohonan, hingga kelihatan seolah hari sudah tengah malam.
Namun, ketika ia sampai di puncak bukit itu, dilihatnya matahari masih ada di
atas sana, sekalipun letaknya sudah rendah di kaki langit.
Di atas bukit itu
sendiri hampir tidak terdapat rumah, sedangkan desa Azabu hanyalah merupakan
tebaran perladangan dan rumah-rumah pertanian di dalam lembah di bawah. Iori
berdiri di tengah lautan rumput dan pohon-pohon tua, mendengarkan sungai-sungai
kecil yang bergemerecik menuruni sisi bukit. Letihnya terasa hilang, berganti
dengan kesegaran yang aneh. Samar-samar ia menyadari bahwa tempat ia berdiri
adalah tempat bersejarah, sekalipun ia tidak tahu mengapa demikian.
Sesungguhnya itulah tempat kelahiran sederetan prajurit besar dari Keluarga
Taira dan Minamoto di masa lalu.
Ia mendengar
dentam-dentam keras genderang sedang ditabuh, jenis genderang yang sering kali
dipergunakan dalam perayaan-perayaan Shinto. Di bawah bukit, di tengah hutan,
tampak kayu palang yang kokoh pada bubungan tempat suci. Iori tidak tahu bahwa
itulah Kuil Agung ligura yang pernah dipelajarinya, yaitu bangunan terkenal
yang suci bagi dewi matahari dari Ise.
Kuil itu berbeda
sekali dengan benteng mahabesar yang baru saja ia lihat, bahkan berbeda dari
gerbang-gerbang megah milik para daimyo. Dalam kesederhanaannya, kuil itu
hampir tak dapat dibedakan dengan rumah-rumah pertanian di sekitarnya, dan Iori
merasa heran juga, kenapa orang berbicara dengan lebih takzim tentang keluarga
Tokugawa daripada tentang dewa-dewa yang paling suci. Apakah dengan begitu
Keluarga Tokugawa itu lebih agung daripada dewa matahari? Ia bertanya-tanya.
"Aku akan bertanya pada Musashi soal itu nanti, kalau aku pulang."
Ia keluarkan peta
itu, ia pelajari baik-baik, kemudian la perhatikan keadaan sekitar, dan akhirnya
ia amati lagi peta itu. Namun belum juga kelihatan tanda-tanda rumah kediaman
Yagyu.
Kabut petang yang
menyebar di atas tanah mendatangkan perasaan ngeri kepadanya. ia pernah
mendapat perasaan serupa itu, ketika berada dalam sebuah kamar dengan shoji
tertutup. Sinar matahari yang sedang tenggelam waktu itu bermain di kertas
dinding, sehingga suasana dalam kamar seolah menjadi lebih terang, sementara
suasana di luar menjadi gelap. Tentu saja itu cuma khayal senja, tapi ia
merasakannya demikian kuat, dalam beberapa kelebat, hingga ia menggosok
matanya, seakan hendak menghapus khayal sinar itu. Ia tahu bahwa ia tidak
bermimpi, dan ia memandang ke sekitarnya dengan sikap curiga.
"Oh, bajingan
licik kau!" teriaknya sambil melompat ke depan dan melecutkan pedangnya.
Dengan pedang itu pula la menebas serumpun rumput tinggi di depannya.
Seekor rubah meloncat
dari tempat persembunyiannya dan melejit diiringi raungan kesakitan, ekornya
berkilau-kilau oleh darah dari luka di bagian belakang tubuhnya.
"Binatang
setan!" Iori mengejar. Rubah itu berlari kencang. Ion demikian juga.
Ketika makhluk yang sudah pincang itu terhuyung-huyung, Iori menerjang, karena
yakin akan mendapat kemenangan, namun rubah itu menyelinap dengan gesitnya,
untuk kemudian menyembul lagi beberapa meter di depan. Betapapun cepatnya Iori
menyerang, tiap kali binatang itu berhasil meloloskan diri.
Di pangkuan ibunya,
Iori pernah mendengarkan dongeng yang tak terhitung jumlahnya, tentang rubah
yang memiliki kekuatan untuk memesona dan menyusupi manusia. Iori suka pada
sebagian besar binatang lain, termasuk babi hutan dan kuskus yang berbau busuk,
tapi ia benci dan takut pada rubah. Pada pikirnya, menemukan makhluk licik ini
sedang bersembunyi di rumput, cuma berarti satu hal: binatang itulah yang harus
dipersalahkan, bahwa ia sampai tersesat. Ia yakin binatang itu makhluk
pengkhianat dan jahat, yang sudah mengikutinya semenjak malam kemarin, dan yang
baru saja melontarkan sihir jahat kepadanya. Kalau ia tidak membunuh binatang
itu sekarang, pasti ia akan diguna-gunai lagi. Iori hendak mengejar binatang
buruannya itu sampai ke ujung dunia, tapi ternyata rubah itu berhasil meloncati
tepi jurang dan hilang dari pemandangan, masuk ke dalam semak.
Embun bercahaya
berkilauan di atas bunga-bunga jelatang dan tumbuhan labah-labah. Karena
kehabisan tenaga dan kering tenggorokan, Iori menjatuhkan diri ke tanah dan
menjilati air pada dedaunan. Dengan bahu naik-turun, akhirnya ia dapat
mengambil napas dalam-dalam, dan keringat pun bercucuran dari dahinya.
Jantungnya berdetak keras. "Ke mana rubah itu tadi?" tanyanya antara
jeritan dan cekikan.
Kalau memang sudah
pergi, memang lebih baik, tapi Iori tidak yakin mana yang hendak dipercayainya.
Karena ia sudah melukai binatang itu, pastilah binatang itu akan membalas
dendam, entah dengan cara bagaimana. Dengan sikap pasrah ia duduk diam dan
menanti.
Justru ketika ia
mulai merasa lebih tenang, suatu suara mengerikan menyusupi telinganya. Dengan
mata membelalak ia memandang ke sekitarnya. "Pasti rubah itu,"
katanya sambil menguatkan diri jangan sampai tersihir. Sambil cepat berdiri, ia
membasahi alisnya dengan ludah, suatu gerak tipu yang menurut keyakinan dapat
menangkal pengaruh rubah.
Tidak jauh dari
tempat itu, datang seorang perempuan seperti mengapung melintasi kabut petang,
wajahnya setengah tertutup kerudung sutra tipis. Ia duduk miring di atas pelana
kuda, kendali kuda tergantung bebas menyilang tunas pelana yang rendah. Pelana
itu terbuat dari kayu berpernis dan berhiaskan indung mutiara.
"Dia sudah
berubah menjadi perempuan," pikir Iori. Bayangan yang mengenakan kerudung,
memainkan suling, dan muncul dengan latar belakang sinar tipis matahari petang
ini tak mungkin makhluk dari dunia ini.
Sementara berjongkok
di rerumputan, seperti kodok, Iori mendengar suara dari dunia lain yang
memanggil "Otsu", dan ia yakin suara itu datang dari salah satu teman
rubah itu.
Si pengendara kuda
sudah hampir mencapai belokan di mana ada sebuah jalan menyimpang ke selatan.
Bagian atas tubuhnya bersinar kemerahmerahan. Matahari yang sedang tenggelam di
belakang Bukit Shibuya tampak dilingkari awan.
Kalau ia membunuh
perempuan itu, ia dapat mengungkapkan bentuknya yang sebenarnya, yaitu bentuk
rubah. Ia mengetatkan pegangan atas pedangnya dan meneguhkan diri. Pikirnya,
"Untung binatang itu tidak tahu aku sembunyi di sini." Seperti semua
orang yang kenal hakikat rubah, ia tahu bahwa nyawa binatang itu terletak
beberapa kaki di belakang bentuk manusianya. Napas Iori sudah terengah-engah
karena menantikan bayangan itu berjalan dan membelok ke selatan.
Tapi, ketika kuda itu
sampai di belokan, perempuan itu berhenti bermain, memasukkan sulingnya ke
dalam bungkus kain, dan menyelipkannya ke dalam obi-nya. Ia singkapkan
kerudungnya, lalu meninjau sekitarnya dengan mata menyelidik.
"Otsu!"
terdengar suara itu memanggil lagi.
Senyuman menyenangkan
tersungging pada wajah perempuan itu ketika ia membalas, "Aku di sini,
Hyogo. Di atas sini."
Iori melihat seorang
samurai mendaki jalan dari dalam lembah. "Oh, oh!" gagapnya, ketika
melihat bahwa orang itu pincang sedikit jalannya.
Inilah rubah yang
telah dilukainya itu, tidak sangsi lagi! Ia menyamar bukan sebagai seorang
penggoda yang cantik, tapi sebagai samurai tampan. Hantu itu membuat Iori
ngeri. Tubuhnya gemetar hebat dan basah kuyup.
Sesudah perempuan dan
samurai itu bercakap-cakap sebentar, si samurai memegang kekang kuda itu dan
menuntunnya lewat tempat Iori bersembunyi.
"Sekarang saatnya!"
demikian Iori memutuskan, namun tubuhnya tak mau bergerak.
Si samurai melihat
gerak sedikit itu dan memandang ke sekitar. Pandangannya tepat ke wajah Iori
yang ketakutan. Sinar yang keluar dan mata samurai itu seolah lebih berkilau
daripada tepi matahari yang sedang tenggelam. Iori meniarapkan diri dan
membenamkan wajahnya ke rumput. Belum pernah selama hidupnya yang empat belas
tahun, ia mengalami rasa takut seperti itu.
Hyogo tak melihat ada
yang menguatirkan pada anak itu, dan berjalan terus. Lereng di tempat itu
terjal, dan ia harus berdiri agak condong ke belakang untuk dapat terus
mengendalikan kuda itu. Ia menoleh pada Otsu, dan tanyanya lembut, "Kenapa
begitu terlambat pulang? Sudah dari tadi engkau berangkat, dan hanya untuk ke
kuil, lalu kembali. Pamanku jadi kuatir dan menyuruhku mencarimu."
Otsu meloncat turun,
tanpa mengatakan sesuatu.
Hyogo berhenti.
"Kenapa turun? Apa ada yang salah?"
"Tidak, tapi
kurang tepat kalau seorang perempuan naik kuda, sedangkan seorang lelaki
berjalan. Mari kita jalan sama-sama. Kita bisa sama-sama pegang kendali."
Ia menempatkan diri di sisi lain kuda itu.
Mereka turun ke dalam
lembah yang gelap, dan melewati sebuah papan bertulisan Akademi Pendeta
Sendan'en Sekte Zen Soda Langit penuh dengan bintang, dan suara Sungai Shibuya
terdengar di kejauhan. Sungai itu membagi lembah menjadi Higakubo Utara dan
Higakubo Selatan. Karena perguruan yang didirikan oleh biarawan Rintatsu itu
terletak di lereng utara, para pendeta di situ biasa disebut "kawan-kawan
dari utara". "Kawan-kawan dari selatan" adalah orang-orang yang
mempelajari permainan pedang di bawah pimpinan Yagyu Munenori, yang bangunan
kediamannya terletak tepat di seberang lembah.
Sebagai anak emas di
tengah anak-anak dan cucu-cucu Yagyu Sekishusai, Yagyu Hyogo memiliki status
istimewa di antara "kawan-kawan dari selatan". Ia sendiri sudah
terkenal. Pada umur dua puluh tahun, ia sudah dipanggil oleh Jenderal Kato
Kiyomasa yang terkenal itu, dan mendapat kedudukan di Benteng Kumamoto di Provinsi
Higo, dengan penghasilan lima belas ribu gantang. Hat itu belum pernah terjadi
pada orang semuda itu. Tapi, sesudah Pertempuran Sekigahara, Hyogo mulai
memikirkan kembali statusnya, karena ia merasakan bahayanya berpihak pada
golongan Tokugawa ataupun Osaka. Tiga tahun sebelum itu, dengan alasan kakeknya
sakit, ia meninggalkan Kumamoto dan kembali ke Yamato. Sesudah itu ia
mengadakan perjalanan ke pedesaan beberapa waktu lamanya. Alasannya, ia
membutuhkan lebih banyak latihan.
Ia dan Otsu secara
kebetulan bertemu tahun lalu, ketika ia datang ke rumah pamannya. Selama lebih
dari tiga tahun sebelum itu, Otsu menempuh hidup yang menyedihkan. Tidak pernah
ia dapat melepaskan diri dari Matahachi yang menyeret-nyeretnya ke mana-mana,
dan dengan licinnya menyatakan kepada para calon majikannya bahwa Otsu adalah
istrinya. Sekiranya ia mau bekerja sebagai magang tukang kayu, tukang plester,
atau tukang batu, ia tentu sudah mendapat pekerjaan pada hari ia tiba di Edo,
tapi ia lebih suka membayangkan diri mereka melakukan pekerjaan yang lebih
halus bersama-sama, Otsu sebagai pembantu rumah tangga barangkali, sedangkan ia
sendiri sebagai kerani atau akuntan.
Karena tidak
menemukan orang yang mau menerima tawarannya, mereka hidup dari kerja
serabutan. Bulan-bulan berlalu. Dengan maksud membuai penyiksanya agar merasa
nyaman, Otsu menyerah saja kepadanya dalam segala hal, terkecuali menyerahkan
tubuhnya.
Kemudian, pada suatu
hari, ketika sedang berjalan, mereka bertemu dengan arak-arakan seorang daimyo.
Bersama semua orang yang lain, mereka pun minggir ke tepi jalan dan menunjukkan
sikap hormat.
Joli-joli dan
peti-peti besi tampak mengenakan lambang Yagyu. Otsu mengangkat mata, hingga
dapat melihatnya. Maka kenangan tentang Sekishusai dan hari-hari bahagia di
Benteng Koyagyu membanjiri hatinya. Oh, alangkah enaknya kalau sekarang ia
dapat kembali ke Yamato yang damai itu! Tapi karena Matahachi ada di sampingnya,
ia hanya dapat menatap kosong ke arah rombongan yang lewat itu.
"Lho, ini Otsu,
kan?" sebuah caping ilalang hampir-hampir menutupi wajah samurai itu, tapi
ketika ia mendekat, Otsu melihat bahwa orang itu Kimura Sukekuro, orang yang
diingatnya dengan rasa kasih dan hormat. Sekiranya orang itu sang Budha
sendiri, yang dikelilingi sinar ajaib belas kasihannya yang tak terbatas itu,
ia takkan merasa lebih heran atau berterima kasih dari itu. Ia menyelinap dari
sisi Matahachi dan bergegas mendapatkan Sukekuro, dan Sukekuro pun segera
menawarkan diri membawa Otsu pulang.
Matahachi membuka
mulut untuk memprotes, tapi Sukekuro mengatakan dengan tegas, "Kalau ada
yang hendak Anda katakan, datang saja ke Higakubo dan katakan nanti di
sana."
Matahachi menahan
lidahnya, karena tak berdaya menghadapi Keluarga Yagyu yang bermartabat tinggi
itu. Ia menggigit bibir bawahnya dengan penuh kecewa, bercampur kemarahan,
melihat hartanya yang berharga itu lepas dari tangannya.
0 komentar:
Posting Komentar