HIDUP hari
ini, yang tak kenal hari esok....
Di Jepang,
pada awal abad tujuh belas, kesadaran orang mengenai hidup yang hanya selintas
terdapat pada orang kebanyakan maupun pada golongan elite. Jenderal terkenal
Oda Nobunaga, yang telah meletakkan dasar-dasar bagi Toyotomi Hideyoshi dalam
mempersatukan Jepang, menyimpulkan pandangan ini dalam sebuah sajak pendek:
Umur manusia yang lima puluh tahun Tidak lebih
dari impian maya Dalam perjalanan lewat Perpindaban perpindahan abadi.
Kalah dalam
suatu pertempuran kecil dengan salah seorang jenderalnya sendiri, yang
menyerangnya secara mendadak dalam usaha balas dendam, Nobunaga bunuh diri di
Kyoto pada umur empat puluh delapan.
Tahun 1605,
sekitar dua dasawarsa kemudian, perang yang tak kenal henti antara para daimyo
pada pokoknya sudah lewat. Tokugawa Ieyasu telah memerintah sebagai shogun dua
tahun lamanya. Lentera di jalan-jalan Kyoto dan Osaka bersinar terang
sebagaimana pada masa kejayaan zaman ke-shogun-an Ashikaga. Suasana umumnya
riang dan penuh pesta.
Tapi hanya
sedikit orang yang yakin bahwa perdamaian itu akan kekal. Perang saudara selama
lebih dari seratus tahun telah demikian mewarnai pandangan hidup rakyat, hingga
mereka beranggapan bahwa ketenangan yang sedang berlangsung itu rapuh belaka
dan bakal berumur pendek. Ibu kota memang berkembang, tetapi ketegangan akibat
tidak diketahuinya berapa lama keadaan itu akan berlangsung lebih merangsang
keinginan rakyat untuk bersuka ria.
Sekalipun
masih memegang kekuasaan, Ieyasu secara resmi sudah mengundurkan diri dari
kedudukan shogun. Selagi masih cukup kuat untuk menguasai daimyo lain dan
mempertahankan hak keluarga untuk berkuasa, ia menyerahkan gelarnya kepada anak
lelakinya yang ketiga, Hidetada. Ada desas-desus bahwa shogun baru akan segera
mengunjungi Kyoto untuk menyatakan hormatnya kepada Kaisar, tapi semua orang
tahu bahwa perjalanannya ke barat itu akan lebih dari sekadar kunjungan
kesopanan. Saingan terbesarnya yang potensial, Toyotomi Hideyori, adalah anak
Hideyoshi, penerus Nobunaga. Hideyoshi telah berbuat sebisa-bisanya agar kekuasaan
tetap berada di tangan keluarga Toyotomi sampai Hideyori cukup umur, tetapi
pemenang di Sekigahara adalah Ieyasu.
Hideyori
masih bersemayam di Puri Osaka. Meskipun Ieyasu tidak menying-kirkannya,
malahan mengizinkannya menikmati penghasilan tahunan yang besar jumlahnya, ia
sadar bahwa Osaka merupakan ancaman besar. Tempat ini bisa menjadi titik kumpul
yang mungkin dipakai untuk perlawanan. Banyak penguasa feodal lainnya juga
mengetahui hal ini. Mereka memasang taruhan yang jumlahnya sama untuk kemenangan
kedua belah pihak. Mereka pun berbaik-baik dengan Hideyori maupun shogun untuk
mengamankan diri. Sering orang mengatakan bahwa Hideyori memiliki cukup banyak
puri dan emas hingga bisa membeli semua samurai tak bertuan atau ronin di
negeri itu, jika ia mau.
Spekulasi
kosong mengenai masa depan politik negeri itu merupakan bahan utama
pergunjingan di udara Kyoto.
"Perang
pasti pecah, cepat atau lambat."
"Tinggal
masalah waktu."
"Lentera-lentera
jalan ini bisa padam besok." "Kenapa mesti pusing? Apa yang terjadi,
terjadilah." "Mari kita bersuka ria selagi bisa!"
Kehidupan
malam yang sibuk dan tempat-tempat hiburan yang semakin meriah merupakan bukti
nyata bahwa kebanyakan penduduk memang melakukannya.
Di antaranya
adalah sekelompok samurai yang kini sedang berjalan membelok masuk Jalan Shijo.
Di samping mereka berdiri tembok panjang berplester putih yang berakhir pada
sebuah gerbang mengesankan dan beratap mengagumkan. Sebuah papan kayu yang
sudah hitam warnanya karena usia, memuat tulisan yang hampir tak terbaca lagi:
Yoshioka Kempo dari Kyoto. Instruktur Militer
bagi para Shogun Ashikaga.
Kedelapan samurai muda itu kelihatannya
selesai berlatih pedang terus-menerus sepanjang hari. Sebagian mengenakan
pedang kayo sebagai pelengkap pedang baja yang biasa, dan sebagian lagi membawa
lembing. Mereka tampak kuat, jenis orang pertama yang melihat tumpahnya darah
pada saat pertarungan senjata meletus. Wajah mereka sekeras batu dan mata
mereka penuh ancaman, seakan selamanya berada di ambang letusan kemarahan.
"Ke mana
kita pergi malam ini, Tuan Muda?" tanya mereka beramai-ramai sambil
mengelilingi guru mereka.
"Ke mana
lagi kalau bukan ke tempat kemarin malam?" jawab sang guru dengan muram.
"Ah!
Perempuan-perempuan itu semuanya jatuh hati kepada Tuan! Mereka hampir tidak
memandang kami."
"Barangkali
dia benar," yang lain menyela. "Kenapa tidak kita coba tempat lain
yang baru, di mana tak ada orang mengenal Tuan Muda atau salah seorang dari
kita?" Sambil berteriak-teriak dan ribut tak keruan, tampaknya mereka
benar-benar tenggelam dalam persoalan ke mana akan pergi minum dan melacur.
Mereka masuk
daerah yang berpenerangan balk di sepanjang tepi Sungai Kamo. Bertahun-tahun
tanah itu kosong dan penuh ditumbuhi rumput, benar-benar lambang kehancuran
perang. Tetapi bersamaan dengan datangnya damai, nilainya pun melonjak.
Rumah-rumah rapuh tersebar di sana-sini, tirai-tirai merah dan kuning pucat
tergantung melengkung di pintu masuk. Di situ kupu-kupu malam menjalankan
usahanya. Gadis-gadis dari Provinsi Tamba dengan muka berpupur sembarangan
menyiuli calon pelanggan. Perempuan-perempuan malang yang dibeli secara
berkelompok itu memetik shamisen, alat musik yang belum lama populer. Mereka
menyanyikan lagulagu mesum clan tertawa-tawa antara sesamanya.
Nama tuan
muda itu Yoshioka Seijuro. Kimono cokelat tua yang bagus potongannya menutup
tubuhnya yang jangkung. Begitu mereka memasuki daerah pelacuran, ia menoleh ke
belakang dan katanya kepada salah seorang dari kelompoknya, "Toji, belikan
aku topi anyaman."
"Yang
dapat menyembunyikan wajah Anda?"
"Ya."
"Anda
membutuhkannya bukan untuk di sini, bukan?" jawab Gion Toji.
"Aku
takkan minta kalau tidak membutuhkannya di sini!" decap Seijuro tak sabar.
"Aku tak suka orang melihat anak Yoshioka Kempo berkeliaran di tempat
seperti ini."
Toji tertawa.
"Tapi itu justru menarik perhatian. Semua perempuan di sini tahu bahwa
kalau Anda menyembunyikan wajah dengan topi, tentunya Anda dari keluarga
baik-baik, dan barangkali dari keluarga kaya. Tentu saja ada alasan lain kenapa
mereka suka pada Anda, tapi itu salah satu di antaranya."
Toji,
sebagaimana biasa, sedang menggoda dan sekaligus menjilat tuannya. Ia menoleh
dan memerintahkan salah seorang untuk mencari topi yang dimaksud, lalu ia
berdiri menanti orang yang disuruh itu pergi melewati lentera-lentera dan
orang-orang yang sedang bersuka ria. Ketika orang yang disuruh itu kembali,
Seijuro mengenakan topi dan merasa lebih santai.
"Dengan
topi itu," ucap Toji, "Anda lebih tampak seperti orang yang tahu
mode." Sambil menoleh kepada yang lain-lain, ia melanjutkan jilatannya
secara tak langsung.
"Lihat,
perempuan-perempuan itu semua melongok dari pintu, supaya dapat benar-benar
melihatnya."
Tanpa jilatan
Toji pun, Seijuro memang memiliki tubuh yang bagus. Dengan dua sarung pedang
bersemir mengilat yang tergantung di sisinya, ia memancarkan kemuliaan dan
kelas yang memang pantas bagi anak keluarga kaya. Maka tak ada topi jerami yang
dapat menghentikan perempuanperempuan itu menegurnya ketika ia lewat.
"Hei,
tampan! Kenapa sembunyi di bawah topi jelek?"
"Ayolah
kemari! Saya ingin lihat yang di bawahnya."
"Ayo,
jangan malu-malu. Biar kami melihat."
Seijuro
menanggapi ajakan-ajakan menggoda ini dengan berusaha kelihatan lebih tinggi
dan lebih mulia lagi. Sikap ini diambilnya belum lama setelah ia, untuk pertama
kalinya, berhasil dibujuk Toji untuk menginjakkan kaki di daerah itu, dan ia
masih malu dilihat orang di sana. Terlahir sebagai anak tertua pemain pedang
terkenal, Yoshioka Kempo, tak pernah ia kekurangan uang, tapi sampai waktu
belum lama berselang ia tak kenal dengan sisi buruk kehidupan ini. Perhatian
yang ditunjukkan orang kepadanya membuat detak darahnya berpacu. Masih ada rasa
malu yang disembunyikannya. Sebagai anak manja dari keluarga kaya, ia selalu
suka pamer. Jilatan pengiringnya tak kalah ampuhnya dengan cumbuan perempuan,
menyokong kesombongannya seperti racun yang manis. "Oh, itu tuan dari
Jalan Shijo!" ujar salah seorang perempuan itu.
"Kenapa
Anda menyembunyikan wajah? Anda tidak bisa mengecoh siapa pun."
"Bagaimana
perempuan itu bisa tahu siapa aku?" geram Seijuro kepada Toji, pura-pura
tersinggung.
"Mudah
sekali," kata perempuan itu, sebelum Toji dapat membuka mulut. "Semua
orang tahu, orang dari Perguruan Yoshioka suka memakai warna cokelat tua.
Namanya 'warna Yoshioka'. Warna itu populer sekali di sini."
"Betul.
Tapi seperti kaukatakan, banyak orang lain yang memakainya juga."
"Ya,
tapi mereka tidak mengenakan hiasan tiga lingkaran pada kimononya."
Seijuro
menunduk memandang lengan kimononya, "Aku mesti lebih hati-hati,"
katanya. Saat itu juga sebuah tangan dari belakang kisi-kisi terulur dan menarik
pakaian itu.
"Wah,
wah," kata Toji. "Menyembunyikan wajah, tapi tidak menyembunyikan
hiasannya. Tentunya dia memang ingin dikenali. Jadi, saya kira, betul-betul tak
mungkin sekarang untuk tidak singgah."
"Semaumulah,"
kata Seijuro yang tampak tak enak, "tapi suruh perempuan ini melepaskan
lengan bajuku."
"Lepaskan,
perempuan!" raung Toji. "Beliau bilang, kami akan masuk!" Para
siswa itu pun berkerumun masuk ke bawah tirai warung. Kamar yang mereka masuki
itu, hiasannya tanpa selera sama sekali. Gambar-gambar kampungan dan
bunga-bungaan disusun morat-marit, hingga sukar bagi Seijuro untuk merasa
senang. Namun yang lain-lain tidak memperhatikan joroknya lingkungan.
"Keluarkan
sake!" perintah Toji, yang juga memesan beberapa penganan pilihan.
Sesudah makanan
datang, Ueda Ryohei yang menjadi tandingan Toji dalam permainan pedang
berteriak, "Keluarkan perempuan!" Perintah itu diberikan dengan nada
yang sama masamnya dengan nada yang dipakai Toji untuk memesan makanan dan
minuman.
"Hei,
Ueda tua bilang, keluarkan perempuan!" kata yang lain-lain serentak
menirukan suara Ryohei.
"Aku tak
suka disebut tua," kata Ryohei, memberengutkan muka. "Memang aku
lebih lama dari yang lain-lain belajar di perguruan ini, tapi kalian takkan
menemukan uban dalam rambutku."
"Kau
menyemirnya barangkali."
"Siapa
yang mengatakan itu, maju ke depan dan minum satu sloki sebagai hukuman!"
"Susah-susah
amat. Lemparkan ke sini!" Sloki sake pun melayang di udara.
"Dan ini
balasannya." Dan satu sloki lagi terbang. "He, siapa yang
menari!"
Seijuro
berseru, "Kau menari, Ryohei! Menarilah, dan tunjukkan kau masih
muda."
"Boleh.
Lihat!" Ryohei pergi ke sudut beranda. Di situ diikatkannya celemek merah
milik pelayan ke belakang kepalanya, ditusukkannya kembang prem ke dalam
simpulnya, dan diambilnya sapu.
"Lihat!
Dia mau menarikan tarian Perawan Hida! Mari kita dengarkan nyanyiannya juga,
Toji!"
Ia mengajak
mereka semua menggabungkan diri, dan mulailah mereka, mengetuk-ngetuk piring
secara berirama dengan sumpitnya, sedangkan satu orang mendentang-dentangkan
penjepit api ke pinggir anglo.
Di balik pagar bambu, pagar bambu, pagar
bambu, Kulihat kimono berlengan panjang, Kimono berlengan panjang di salju....
Tenggelam dalam tepuk tangan sesudah bait
pertama, Toji pun membungkuk, dan perempuan-perempuan melanjutkannya dengan
iringan shamisen.
Gadis yang kulihat kemarin Tak ada lagi hari
ini. Gadis yang kulihat hari ini
Takkan datang
lagi esok hari.
Tak tahulah
apa yang terjadi esok, Aku ingin mencumbunya hari ini
Di sebuah
sudut, seorang siswa mengangkat mangkuk sake yang besar untuk rekannya.
Katanya, "Bagaimana kalau minum ini sekali teguk?"
"Tidak,
terima kasih."
"Terima
kasih? Katanya kau samurai, tapi tak bisa kau menghabiskan ini?"
"Tentu
saja bisa. Tapi kalau aku minum, kau juga mesti!"
"Ya, itu
adil!"
Pertandingan
pun dimulai. Mereka minum seperti kuda di palungan, dan sake mengucur dart
sudut-sudut mulut mereka. Kira-kira sejam kemudian, beberapa orang di antaranya
sudah mulai muntah, sedang lain-lainnya tak bisa bergerak lagi dan hanya
melotot kosong dengan mata merah.
Satu orang
yang punya kebiasaan bicara keras, dan semakin lantang bicaranya kalau makin
banyak minumnya, menyatakan, "Apakah di negeri ini, di luar Tuan Muda, ada
yang benar-benar mengerti teknik-teknik Delapan Gaya Kyoto? Kalau ada-hik-ingin
aku ketemu dengannya.... Hups!"
Seorang
anggota perguruan yang duduk dekat Seijuro tertawa. Bicaranya tersendat-sendat,
cegukan, "Dia mengumbar jilatan karena Tuan Muda ada di sini. Ada
perguruan lain di samping delapan yang ada di Kyoto ini, dan Perguruan Yoshioka
ini tidak lagi yang terbesar. Di Kyoto saja ada Perguruan Toda Seigen di
Kurotani, dan Ogasawara Genshinsai di Kitano. Dan jangan lupa Ito Ittosai di
Shirakawa, walaupun tidak menerima siswa."
"Apa
istimewanya mereka itu?"
"Maksudku,
kita tidak boleh merasa kita ini satu-satunya pemain pedang di dunia."
"Bajingan
picik kamu!" seru seorang yang merasa tersinggung harga dirinya.
"Maju!"
"Begini?"
jawab si pengecam dengan tajam sambil bangkit.
"Kau
anggota perguruan ini, tapi kau mengecilkan Gaya Yoshioka Kempo?"
"Aku
tidak mengecilkannya! Sekarang ini tidak seperti dulu, ketika guru mengajar
para shogun dan dianggap pemain pedang terbesar. Sekarang jauh lebih banyak
orang yang mempraktekkan Jalan Pedang, tidak hanya di Kyoto, tapi juga di Edo,
Hitachi, Echizen, provinsi-provinsi dalam, provinsiprovinsi barat, Kyushu-di
seluruh negeri ini. Ketenaran Yoshioka Kempo tidak berarti Tuan Muda dan kita
semua ini pemain-pemain pedang terbesar masa kini. Itu sama sekali tidak benar,
kenapa pula mesti membohongi diri sendiri?"
"Pengecut!
Kau pura-pura jadi samurai, tapi kau takut pada perguruan lain!"
"Siapa
yang takut? Aku cuma ingin kita menjaga diri dari rasa puas diri."
"Tapi
siapa kau ini, berani-berani memberi peringatan?"
Murid yang
tersinggung itu meninju dada lawannya hingga terjatuh.
"Kau
ingin berkelahi?" geram orang yang jatuh.
"Ya.
Ayo."
Murid-murid
senior, Gion Toji dan Ueda Ryohei, menengahi.
"Berhenti
kalian!" Keduanya melompat, memisahkan yang berkelahi, dan mencoba
meredakan kemarahan mereka. "Tenang!"
"Kami
semua mengerti perasaan kalian."
Beberapa
sloki sake lagi dituangkan untuk mereka yang berkelahi, dan akhirnya keadaan
normal kembali. Si penghasut sekali lagi memuji-muji dirinya dan lain-lainnya,
sedang si pengecam, sambil menangis memeluk Ryohei, mempertahankan pendapatnya.
"Aku
cuma mengemukakan pendapat untuk kebaikan perguruan ini," sedannya.
"Kalau orang terus menyemburkan jilatan, nama baik Yoshioka Kempo akhirnya
akan runtuh. Percayalah, runtuh!"
Hanya Seijuro
yang tetap paling tenang. Melihat ini, Toji berkata,
"Apakah
Anda tidak menikmati pesta ini?"
"Ah. Apa
mereka itu betul-betul menikmatinya? Rasanya tidak."
"Tentu.
Inilah cara mereka bergembira."
"Aku tak
percaya kalau kelakuan mereka seperti itu."
"Bagaimana
kalau kita pergi ke tempat yang lebih tenang? Saya sendiri sudah bosan di
sini."
Seijuro
tampak sangat lega dan segera saja setuju. "Aku ingin pergi ke tempat
kemarin malam."
"Maksud
Anda Yomogi?"
"Ya."
"Di sana
memang jauh lebih baik. Tadinya saya kira Anda memang ingin pergi ke sana, tapi
di sana cuma buang-buang uang saja kalau membawa gerombolan orang bebal ini.
Itu sebabnya saya giring mereka kemari-murah."
"Mari
kita pergi diam-diam. Biar Ryohei mengurus orang-orang ini."
"Anda
pura-pura pergi ke belakang. Saya akan menyusul beberapa menit lagi."
Seijuro menghilang dengan lihainya. Tak seorang pun melihat.
Di luar
rumah, tak jauh dari situ, seorang perempuan sedang berdiri berjinjit, mencoba
menggantungkan kembali lentera ke pakunya. Angin mengembus lilin lentera itu,
dan ia menurunkannya untuk menyalakannya kembali. Punggungnya tegak di bawah
tepi atap, dan rambutnya yang baru dikeramas tergerai di sekitar wajahnya.
Untaian rambut dan cahaya lentera menimbulkan bayang-bayang yang terus
berubah-ubah di kedua tangannya yang terulur. Semerbak kembang prem mengambang
di angin petang.
"Oko!
Biar kugantungkan lampunya."
"Oh,
Tuan Muda," kata Oko kaget.
"Tunggu."
Ketika orang itu mendekat ternyata bukan Seijuro, tapi Toji. "Cukup?"
tanya Toji.
"Ya,
bagus. Terima kasih."
Tetapi Toji
melirik lentera itu, menganggapnya miring, dan menggantungkannya kembali. Oko
heran, kenapa sebagian lelaki bisa begitu suka menolong dan penuh perhatian
bila sedang mengunjungi tempat seperti mi, padahal di rumah sendiri mereka sama
sekali menolak mengulurkan tangan. Sering kali mereka membuka dan menutup
jendela sendiri, mengeluarkan bantal-bantal sendiri, dan melakukan selusin
pekerjaan kecil lain yang tak terbayang akan mereka lakukan di rumah sendiri.
Toji
berpura-pura tidak mendengar, dan mempersilakan tuannya masuk. Begitu duduk,
Seijuro berkata, "Tenang sekali di sini."
"Saya
buka pintu ke beranda," kata Toji.
Di bawah
beranda sempit itu berdesir air Sungai Takase. Di sebelah selatan, di seberang
jembatan kecil di Jalan Sanjo, menghampar halaman luas Zuisenin, jajaran hitam
Teramachi atau "Kota Kumpulan Kuil", dan padang miskantus. Tempat ini
berada dekat Kayahara. Di sini pasukan Toyotomi Hideyoshi membantai istri,
gundik-gundik, dan anak-anak kemenakannya, regent Hidetsugu yang kejam. Suatu
peristiwa yang masih segar tersimpan dalam kenangan banyak orang.
Toji jadi
gugup. "Masih terlalu sepi di sini. Di mana saja perempuanperempuan
sembunyi? Rupanya tak ada pelanggan lain malam ini." la gelisah sedikit.
"Saya heran, kenapa Oko lama betul. Dia malahan tidak membawakan kita
teh." Ketika akhirnya ketidaksabaran itu berubah jadi kegelisahan, ia
tidak dapat lagi duduk tenang. Ia berdiri mencari tahu, kenapa teh tidak
dihidangkan.
Waktu
melangkah ke beranda, hampir saja ia bertumbukan dengan
Akemi yang
sedang membawa baki berpernis emas. Giring-giring kecil pada obi-nya berdering
ketika ia berseru, "Awas! Bisa tumpah teh ini!"
"Kenapa
kau begitu lambat? Tuan Muda di sini. Kurasa kau suka dia."
"Lihat,
tumpah sebagian. Ini salahmu. Ayo ambilkan lap."
"Ha!
Lancang kamu, ya? Di mana Oko?"
"Berhias
tentu saja."
"Jadi,
dia belum selesai?"
"Ya,
siang hari kami sibuk sekali."
"Siang?
Siapa yang datang siang-siang?"
"Itu
bukan urusanmu. Biarkan aku lewat."
Toji minggir,
dan Akemi masuk kamar menyalami tamunya. "Selamat malam. Terima kasih atas
kedatangan Anda."
Seijuro
berpura-pura acuh tak acuh, memandang ke samping, dan katanya,
"Oh,
kamu, Akemi. Terima kasih atas yang semalam." Ia merasa jengah.
Dari baki itu
Akemi menurunkan guci yang menyerupai pedupaan dan meletakkan di atasnya sebuah
pipa yang bagian pengisap dan kepalanya terbuat dari keramik.
"Anda
ingin merokok?" tanyanya sopan.
"Rasanya
tembakau baru-baru ini dilarang."
"Memang,
tapi semua orang masih juga merokok."
"Baiklah,
aku akan merokok."
"Saya
nyalakan apinya."
Akemi
mengambil sejumput tembakau dari sebuah kotak kecil dari kerang mutiara dan
memasukkannya ke dalam pipa dengan jari-jarinya yang mungil dan molek. Kemudian
diselipkannya pipa itu ke mulut Seijuro. Karena tidak terbiasa, Seijuro
memegang pipa itu dengan kaku.
"Hmm,
pahit, ya!" katanya.
Akemi
mengikik.
"Toji ke
mana?"
"Barangkali
di kamar Ibu."
"Rupanya
dia suka Oko. Paling tidak, begitulah kelihatannya. Kukira dia sering datang
kemari tanpa aku. Betul?" Akemi tertawa, tapi tidak menjawabnya.
"Apanya
yang lucu? Kupikir ibumu suka dia juga."
"Saya
betul-betul tidak tahu."
"Tapi
aku yakin! Betul-betul yakin! Pertemuan yang menyenangkan, ya? Dua pasangan
bahagia-ibumu dengan Toji, kau dengan aku."
Berusaha
selugu mungkin, Seijuro meletakkan tangannya ke tangan Akemi yang terletak di
pangkuan. Akemi menyingkirkan tangan itu dengan santun, tetapi tindakan ini
malah membuat Seijuro menjadi lebih berani. Ketika Akemi berdiri, ia
melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Akemi dan menariknya.
"Tak
usah lari," katanya. "Aku tak akan menyakitimu."
"Lepaskan!"
protes Akemi.
"Baik,
asalkan kau duduk lagi."
"Sake....
Saya cuma mau ambil sake."
"Aku tak mau sake."
"Tapi
kalau saya tidak ambil, Ibu marah."
"Ibu di
kamar lain, sedang asyik ngobrol dengan Toji."
Seijuro
mencoba menggosokkan pipinya ke wajah Akemi yang tertunduk, tapi Akemi mengelak
dan berteriak-teriak meminta tolong. "Ibu! Ibu!" Seijuro
melepaskannya, dan Akemi lari ke belakang rumah.
Seijuro jadi
gundah. Ia kesepian, tapi tak ingin memaksakan kehendaknya pada gadis itu. Tak
tahu apa yang hendak dilakukannya, ia menggerutu keras, "Aku pulang
sekarang," dan turun ke gang luar. Semakin jauh ia melangkah, semakin
merah tua mukanya.
"Tuan
Muda, mau ke mana? Tuan Muda belum mau pulang, kan?" Entah dari mana
datangnya, Oko muncul begitu saja di belakangnya, berlari lewat ruang depan. Ia
memeluk pinggang Tuan Muda, dan tampak rambut Oko sudah rapi dan riasannya
sudah beres. Oko minta pertolongan Toji, dan bersama-sama mereka membujuk
Seijuro untuk kembali duduk.
Oko
membawakan sake dan mencoba menggembirakan Seijuro, kemudian Toji mendatangkan
kembali Akemi ke kamar itu. Melihat betapa kecewanya Seijuro, gadis itu pun
melontarkan senyuman.
"Akemi,
tuang sedikit sake untuk Tuan Muda."
"Ya,
Bu," kata Akemi patuh.
"Tuan
lihat sendiri," kata Oko. "Tingkahnya seperti anak kecil saja."
"Itulah
daya tariknya-dia masih muda," kata Toji sambil menggeser bantalnya ke
dekat meja.
"Tapi
dia sudah dua puluh satu umurnya."
"Dua
puluh satu? Tak kukira sudah setua itu. Dia begitu kecil. Kelihatannya baru
sekitar enam betas atau tujuh belas."
Akemi
tiba-tiba jadi kembali hidup seperti ikan, dan katanya, "Betul? Oh, saya
senang sekali. Saya ingin tetap umur enam belas selamanya. Sesuatu yang indah
terjadi, ketika saya umur enam betas."
"Apa?"
"Oh,"
katanya sambil menangkupkan tangannya ke dada. "Saya tak bisa menceritakan
pada siapa pun. Tapi betul. Waktu itu tahun pertempuran di Sekigahara."
Dengan
pandangan mengancam, Oko berkata, "Tukang bual! Kau jangan bikin kami
bosan di sini. Pergi sana ambil shamisen-mu."
Sambil
cemberut sedikit, Akemi berdiri dan pergi mengambil alat musiknya. Ketika
kembali, ia mulai bermain dan menyanyi, tapi kelihatannya ia lebih cenderung
menghibur diri sendiri daripada menyenangkan hati para tamu.
Malam ini,
Kalau
berawan, Biarlah ia berawan, Menyembunyikan bulan
Yang hanya
terlihat lewat air mataku.
Ia berhenti menyanyi, dan tanyanya, "Anda
paham, Toji?"
"Aku tak
yakin. Teruskanlah."
Bahkan di malam yang tergelap pun Tak hilang
jalanku. Tapi oh! Betapa kau memikatku!
"Yah, bagaimanapun dia memang sudah dua
puluh satu tahun," kata Toji. Seijuro yang selama ini duduk diam sambil
menyandarkan dahi di tangan kini tergugah lagi, dan katanya, "Akemi, ayo
minum sake sama-sama."
Ia
mengulurkan sloki pada Akemi dan mengisinya dari tempat pemanasannya. Akemi
mereguknya tanpa menolak-nolak lagi dan cepat menyerahkan kembali sloki itu
pada Seijuro.
Seijuro agak
heran, katanya, "Bisa juga kau minum, ya?"
Selesai meneguk
bagiannya, Seijuro menawarkan lagi pada Akemi, yang diteguk lagi dengan
cekatan. Rupanya karena tak puas dengan ukuran sloki itu, ia mengambil sloki
lain yang lebih besar, dan selama setengah jam sesudah itu ia terus menandingi
Seijuro, sloki demi sloki.
Seijuro
kagum. Gadis yang tampaknya berumur enam belas tahun, dengan bibir yang tidak
pernah dicium dan mata yang memejam malu, ternyata dapat mereguk sake seperti
lelaki. Ke mana saja perginya sake itu dalam tubuh mungil itu?
"Anda
sebaiknya berhenti saja," kata Oko pada Seijuro, "Entah kenapa, anak
itu dapat minum semalam suntuk tanpa mabuk. Sebaiknya biarkan dia main shamisen
saja."
"Tapi
ini benar-benar menyenangkan!" kata Seijuro yang kini betul-betul merasa
senang.
Karena merasa
suaranya sudah terdengar aneh, Toji bertanya, "Anda tak apa-apa? Tidak
kebanyakan minum?"
"Tak
apa-apa. Malam ini aku tidak pulang, Toji!"
"Bisa
saja," jawab Toji. "Anda dapat tinggal di sini selama Anda maubetul
kan, Akemi?"
Toji mengedip
pada Oko, kemudian menuntun Oko ke kamar lain, di mana ia mulai berbisik-bisik
cepat. Ia mengatakan pada Oko bahwa kalau Tuan Muda sudah demikian bersemangat,
berarti ia ingin tidur dengan Akemi. Akan susah jadinya kalau Akemi menolak.
Tapi tentu saja perasaan seorang ibulah yang terpenting dalam hal-hal seperti
itu-atau dengan kata lain, berapa bayarannya?
"Nah?"
desak Toji mendadak.
Oko
menempelkan jarinya ke pipi yang berbedak tebal itu, berpikir.
"Ya, ya,
pikirlah!" desak Toji. Sambil semakin mendekati Oko, katanya, "Bukan
pasangan yang jelek! Dia guru seni bela diri yang terkenal, dan keluarganya
punya banyak uang. Ayahnya punya murid yang jumlahnya lebih banyak daripada
murid siapa pun di negeri ini. Dan lagi, dia belum kawin. Dari segala segi, ini
tawaran menarik."
"Nah,
aku juga pikir begitu, tapi..."
"Tak ada
tapi-tapian. Pokoknya jadi! Kami berdua akan menginap disini. "
Tak ada
penerangan di kamar itu. Dengan seenaknya Toji meletakkan tangan ke bahu Oko.
Justru pada waktu itu terdengar suara keras di kamar sebelah, di belakang.
"Apa
itu?" tanya Toji. "Ada langganan lain?"
Oko
mengangguk, kemudian meletakkan bibirnya yang basah ke telinga Toji, bisiknya,
"Nanti." Keduanya lalu mencoba bersikap biasa saja dan kembali ke
kamar Seijuro, dan mendapati Seijuro seorang diri, tidur nyenyak.
Toji
mengambil kamar sebelahnya, merebahkan diri di kasur jerami. Ia berbaring di
sana sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke tatami, menantikan Oko. Oko lama
tidak juga muncul. Akhirnya pelupuk mata Toji menjadi berat dan berlayarlah ia
ke alam mimpi. Sudah siang ketika ia bangun esok harinya, wajahnya masam.
Seijuro sudah
bangun dan sedang minum di kamar yang menghadap sungai. Baik Oko maupun Akemi
tampak cerah dan gembira, seolah-olah mereka telah lupa malam sebelumnya.
Mereka sedang membujuk Seijuro agar mau berjanji.
"Jadi,
Tuan akan ajak kami?"
"Baiklah,
kita pergi. Siapkan beberapa kotak makan siang dan bawa juga sedikit
sake."
Mereka bicara
tentang Kabuki Okuni yang sedang mengadakan pertunjukan di tepi sungai di Jalan
Shijo. Kabuki adalah tarian jenis baru yang disertai kata-kata dan musik, yang
sedang digemari orang di ibu kota. Diciptakan oleh seorang biarawati bernama
Okuni di Kuil Izumo. Kepopulerannya menyebabkan banyak orang lain meniru. Di
daerah ramai sepanjang sungai itu berdiri panggung berderet-deret. Di sana
kelompok-kelompok pemain wanita berlomba-lomba memikat penonton. Masing-masing
berusaha mencapai taraf kepribadian sendiri dengan menambahkan tari-tarian dan
lagu-lagu daerah yang istimewa ke dalam repertoarnya. Para aktris itu sebagian
besar mulai sebagai wanita malam. Namun kini sesudah naik panggung, mereka
biasa dipanggil untuk mengadakan pertunjukan di rumahrumah orang paling kaya di
ibu kota. Banyak di antara mereka menggunakan nama pria, mengenakan pakaian
pria, dan mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang menggetarkan sebagai prajurit
yang gagah berani.
Seijuro duduk
memandang ke luar pintu. Di bawah jembatan kecil di Jalan Sanjo
perempuan-perempuan sedang mengelantang kain di sungai; pria-pria berkuda
mondar-mandir di jembatan.
"Apa
kedua orang itu belum juga siap?" tanyanya kesal. Sudah lewat tengah hari.
Lebam karena minum dan lelah karena menanti, sudah tak ingin lagi ia melihat
Kabuki.
Toji, yang
merasa jengkel karena pengalaman malam sebelumnya, tidak bersemangat seperti
biasanya. "Memang menarik membawa perempuan ke luar," gerutunya,
"tapi kenapa justru waktu kita sudah siap berangkat, tiba-tiba mereka
mulai ribut soal apa rambutnya sudah benar atau obi-nya sudah lurus? Brengsek
betul!"
Pikiran
Seijuro melayang ke perguruannya. Ia seakan mendengar bunyi pedang kayu dan
detak gagang-gagang lembing. Apa kata para siswanya tentang ketidakhadirannya?
Tidak sangsi lagi, pasti adiknya, Denshichiro, mendecap mengecamnya.
"Toji,"
katanya, "Aku tidak betul-betul ingin membawa mereka itu melihat Kabuki.
Mari kita pulang."
"Sesudah
Tuan berjanji?"
"Yaaa..."
"Mereka
sudah begitu gembira! Mereka akan marah besar kalau kita ingkar janji. Saya
akan menyuruh mereka buru-buru."
Dari gang
rumah, Toji melayangkan pandang ke kamar tempat pakaian para wanita itu
berserakan. Alangkah herannya ia, karena kedua wanita itu tidak kelihatan.
"Ke mana
pula mereka itu?" tanyanya tak habis pikir.
Di kamar
sebelah pun mereka tak ada. Di sebelahnya lagi terdapat kamar kecil yang suram,
tidak tembus matahari dan berbau apak kain seprai. Toji membuka pintu, disambut
oleh raungan kemarahan, "Siapa itu?"
Melompat
mundur, Toji menatap ke dalam kamar sempit yang gelap itu; kamar itu beralas
tikar rombeng, lain sekali dengan kamar-kamar depan yang menyenangkan, seperti
malam dengan siang bedanya. Seorang samurai jorok tergeletak di lantai,
pedangnya terletak sembarangan di atas perutnya; pakaian dan penampilannya tak
bisa disangsikan lagi menunjukkan bahwa ia salah seorang ronin yang sering
kelihatan bergelandangan di jalan-jalan. Telapak kakinya yang kotor menghadap
muka Toji. Ia tidak berusaha bangun; terbaring saja di situ setengah sadar.
Toji berkata,
"Oh, maaf. Saya tidak tahu di sini ada tamu."
"Aku
bukan tamu!" pekik orang itu ke langit-langit, memancarkan bau sake. Toji
tidak tahu siapa orang itu, dan juga tak ingin berurusan dengannya.
"Maaf,
mengganggu," katanya cepat, dan membalik pergi.
"Tunggu!"
kata orang itu dengan kasar sambil bangkit sedikit. "Tutup pintu!"
Kaget oleh
kekasaran itu, Toji pun melakukan apa yang diminta, dan pergi.
Begitu Toji
pergi, muncullah Oko. Dandanannya habis-habisan, jelas ingin kelihatan sebagai
nyonya besar. Seakan-akan sedang mengomeli anak kecil, ia berkata pada
Matahachi, "Nah, marah apa lagi sekarang?"
Akemi yang
baru saja berdiri di belakang ibunya, bertanya, "Tak mau ikut kami?"
"Ke
mana?"
"Lihat
Kabuki Okuni."
Mulut
Matahachi mencibir muak. "Suami macam apa yang mau jalan bersama lelaki
lain yang sedang mengejar-ngejar istrinya?" tanyanya pahit.
Oko merasa
wajahnya bagai disiram air dingin. Matanya menyala marah, dan katanya,
"Ini omongan apa? Apa maksudmu antara aku dan Toji ada apa-apa?"
"Siapa
bilang ada apa-apa?"
"Kata-katamu
itu yang bilang."
Matahachi
tidak menjawab lagi.
"Katanya
kamu lelaki!" Walaupun Oko melontarkan kata-kata itu dengan penuh
kejijikan, Matahachi tetap diam dengan muka cemberut. "Tapi kau membuatku
muak!" desisnya. "Kau selalu cemburu tanpa alasan! Ayo, Akemi. Kita
jangan buang-buang waktu untuk orang gila ini."
Matahachi
mengulurkan tangan, mencekal kimono Oko. "Siapa yang kausebut orang gila?
Apa maksudmu bicara begitu pada suamimu?"
Oko
melepaskan diri darinya. "Kenapa tidak?" katanya kejam. "Kalau
kau seorang suami, kenapa tidak bertindak seperti suami? Siapa menurutmu yang
memberimu makan, gelandangan tak berguna?"
"Heh!"
"Kau
hampir tidak menghasilkan apa-apa sejak kita meninggalkan Provinsi Omi. Kau
cuma menggantungkan diri padaku, minum sake dan malas-malasan. Mengeluh apa
lagi?"
"Aku
sudah bilang mau pergi dan kerja! Aku sudah bilang, menyeret batu pun aku mau
buat dinding puri. Tapi itu tak cukup baik buatmu. Kaubilang tak bisa makan
ini, tak bisa memakai itu, tak bisa tinggal di rumah kecil yang kotor-tak ada
yang kausukai. Lalu tidak kaubolehkan aku melakukan kerja yang jujur, dan kau
mulai membuka kedai minum yang busuk ini. Nah, tutup itu, ya, tutup itu!"
pekiknya. Badannya pun mulai gemetar.
"Tutup
apa?"
"Tutup
kedai minummu."
"Dan
kalau kututup, mau makan apa besok?"
"Aku
bisa dapat cukup uang untuk hidup kita, biar dengan menyeret batu karang. Cukup
untuk kita bertiga."
"Kalau
ingin angkat batu atau potong kayu, kenapa tidak pergi saja? Sana, jadilah
buruh, atau yang lain, tapi kalau begitu, hidup sendiri saja! Susahnya, kau
dilahirkan sebagai orang goblok, dan selamanya kau akan jadi orang goblok.
Mestinya kau tetap tinggal di Mimasaka! Percayalah, aku tidak minta kau tinggal
terus di sini. Kau bebas pergi, kapan saja!"
Selagi
Matahachi berusaha menahan air mata kemarahan, Oko dan Akemi berpaling
meninggalkannya. Tapi lama sesudah mereka tidak kelihatan, ia masih juga
menatap pintu. Ketika Oko menyembunyikannya di rumahnya dekat Gunung Ibuki dulu
itu, ia merasa beruntung telah menemukan orang yang akan mencintai dan
mengurusnya. Tapi sekarang rasanya sama saja seperti ditangkap musuh. Mana yang
lebih baik? Menjadi tawanan, atau menjadi piaraan seorang janda jalang, dan
tidak lagi menjadi lelaki sejati? Apakah lebih buruk merana di dalam penjara
daripada menderita di sini, dalam kegelapan, dan selalu menjadi sasaran hinaan
perempuan pemberang? Dulu ia pernah punya harapan besar pada masa depan, namun
telah dibiarkannya sundal berbedak dan bernafsu garang ini menurunkan
derajatnya hingga sama tingkatannya dengan dia.
"Sundal!"
Matahachi menggigil karena berang. "Anjing betina busuk!"
Air mata
meluap langsung dari dasar hatinya. Kenapa, oh, kenapakah ia dulu tidak kembali
ke Miyamoto? Kenapa ia tidak kembali kepada Otsu? Ibunya ada di Miyamoto.
Saudara perempuannya juga, iparnya juga, Paman Gon juga. Mereka semua begitu
baik padanya.
Lonceng di
Shippoji tentunya berdentang hari ini. Seperti dentangnya pada hari-hari lain.
Dan Sungai Aida menghilir menyusuri alurnya, sepertibiasa. Bunga-bunga
berkembang di tepi sungai dan burung-burung erkicau menyambut datangnya musim
semi.
"Sungguh
tolol aku ini! Sungguh aku si tolol gila, goblok!" Matahachi memukul-mukul
kepalanya dengan tinjunya.
Di luar, ibu
dan anak perempuannya, disertai kedua tamu yang bermalam itu sudah berjalan
sambil mengobrol dengan riangnya.
"Kelihatannya
sudah seperti musim semi!"
"Orang
bilang shogun sebentar lagi akan datang ke ibu kota. Kalau dia datang nanti,
kalian berdua tentunya dapat uang banyak, ya?"
"Ah,
tidak, saya yakin tidak."
"Kenapa?
Apa samurai dari Edo tak suka main?"
"Mereka
terlalu kurang ajar."
"Ibu,
bukankah itu musik Kabuki? Aku mendengar suara giring-giring. Juga
suling."
"Coba
dengar anak ini! Dia selalu seperti itu. Dia pikir dia sudah di tempat
pertunjukan."
"Tapi,
Bu, aku sudah mendengarnya."
"Sudahlah.
Bawakan topi Tuan Muda ini."
Langkah-langkah
kaki dan suara-suara orang itu mengambang sampai Yomogi. Dengan mata masih
merah karena marah, Matahachi mencuri pandang dari jendela pada keempat orang
yang bahagia itu. Ia merasa pemandangan itu sangat menghinanya, karena itu ia
sekali lagi menjatuhkan diri di tatami di kamar yang gelap itu sambil mengutuki
dirinya.
"Apa
kerjamu di sini? Apa tak ada lagi harga dirimu? Bagaimana mungkin kau
membiarkan segalanya seperti itu? Idiot! Lakukanlah sesuatu!" Kata-kata
itu ditujukan pada diri sendiri, ia begitu marah pada kelemahannya sendiri yang
seperti pengecut itu.
"Dia
bilang pergi. Baiklah, aku pergi!" demikian kilahnya. "Buat apa duduk
di sini menggemerutukkan gigi. Umurmu baru dua puluh dua. Kau masih muda.
Pergilah dan lakukan sesuatu sendiri."
Ia merasa tak
bisa tinggal lebih lama lagi dalam rumah kosong dan lengang itu, tapi entah
kenapa, tak mau ia berangkat. Kepalanya sakit
karena bingung. Ia sadar bahwa cara hidupnya beberapa tahun belakangan
ini telah membuatnya kehilangan kemampuan berpikir dengan jelas. Bagaimana ia
dapat menahan diri? Istrinya menghabiskan malam-malamnya menghibur lelaki lain,
menjual kepada mereka pesona yang dahulu dicurahkan kepadanya. Malam ia tak
dapat tidur, sedang di siang hari tak ada semangat untuk pergi. Tinggal diam di
dalam kamar gelap ini, tak ada yang dapat dilakukannya kecuali minum.
Dan semua itu
demi sundal tua itu! pikirnya. Ia pun muak dengan dirinya sendiri. Ia tahu
bahwa jalan satu-satunya untuk keluar dari hidup sekarat ini adalah
meninggalkan segalanya dan kembali kepada aspirasi masa mudanya. Ia harus
menemukan jalannya yang telah hilang.
Namun...
namun...
Ada daya
tarik ajaib yang mengikatnya. Jenis pesona jahat apakah yang mengikatnya di
sini? Apakah perempuan itu setan yang menyamar? Perempuan itu bisa memakinya,
menyuruhnya enyah, bersumpah bahwa ia cuma beban, tapi kemudian di tengah malam
ia akan meleleh seperti madu dan mengatakan bahwa semua itu cuma gurauan dan ia
sama sekali tidak bermaksud demikian. Lagi pula, sekalipun perempuan itu sudah
hampir empat puluh tahun, bibirnya itu, oh... bibir merah cemerlang yang sama
merangsangnya dengan bibir anaknya.
Namun ini
belum cerita seluruhnya. Pada dasarnya Matahachi tak punya nyali untuk dilihat
Oko dan Akemi bekerja sebagai buruh harian. Ia telah menjadi malas dan lembek;
pemuda berpakaian sutra yang dari rasa saja dapat membedakan sake Nada dari
bikinan setempat, berbeda sekali dengan Matahachi sederhana yang
compang-camping, yang pernah ikut pertempuran di Sekigahara. Yang paling parah
adalah bahwa hidupnya yang aneh dengan perempuan yang lebih tua itu telah
merampas kebeliaannya. Dalam umur ia masih muda, tapi dalam semangat ia cabul
dan pendengki, malas dan penggerutu.
"Tapi
akan kulakukan!" janjinya. "Aku akan pergi sekarang!" Sesudah
menjatuhkan pukulan kemarahan terakhir ke kepalanya, ia pun melompat bangkit,
dan pekiknya, "Aku akan pergi dari sini hari ini juga!"
Ia mendengar
sendiri suaranya tertahan karena menyadari bahwa tak ada orang lain yang akan
menahannya pergi, dan tak ada sesungguhnya yang mengikatnya di rumah ini.
Satu-satunya barang yang sungguh-sungguh miliknya dan tidak dapat ia tinggalkan
adalah pedangnya, maka cepat-cepat ia selipkan pedang itu dalam obi-nya. Sambil
menggigit bibir, ia berkata dengan penuh kepastian. "Biar bagaimana, aku
seorang lelaki."
Sebetulnya ia
dapat menderap keluar lewat pintu depan, melambaikan pedang bagai seorang
jenderal yang menang perang, tapi karena kebiasaan, ia sorongkan kaki ke
sandalnya yang kotor dan keluar lewat pintu dapur.
Sejauh ini
belum ada masalah. Ia sudah di luar rumah! Tapi mau apa sekarang? Kedua kaki
itu berhenti. Ia berdiri tak bergerak-gerak dalam angin musim semi yang
menyegarkan. Bukan cahaya menyilaukan yang menahannya. Persoalannya adalah, ke
mana ia pergi?
Pada saat
itulah terasa oleh Matahachi betapa dunia ini bagai lautan luas yang
bergejolak, tiada pegangan tempat bergayut. Di luar Kyoto, penga-lamannya hanya
meliputi kehidupan di kampung dan satu pertempuran. Selagi terombang-ambing
oleh situasi, suatu pikiran lain mendadak datang dan membuatnya bergegas sepeti
anak anjing, pulang kembali melalui pintu dapur.
"Aku
butuh uang," katanya pada diri sendiri. "Aku pasti akan butuh
uang."
Ia langsung
menuju kamar Oko, digeledahnya kotak-kotak kosmetik, gagang cermin, peti laci,
dan apa saja yang terpikir olehnya. Ia obrak-abrik tempat itu, tapi tak ada
uang sama sekali. Tentu saja seharusnya ia sudah dapat mengira-ngira bahwa Oko
bukanlah jenis perempuan yang tidak bakal mengambil tindakan berjaga-jaga
terhadap hal-hal seperti ini.
Dengan kecewa
Matahachi menjatuhkan diri ke atas pakaian yang masih tersebar di lantai. Bau
Oko mengambang seperti kabut tebal di sekitar pakaian dalamnya yang terbuat
dari sutra merah, di sekitar obi Nishijinnya, dan di sekitar kimononya yang
celupan Momoyama. Terbayang olehnya, kini Oko sedang berada di lapangan
pertunjukan di tepi sungai, menonton tari-tarian Kabuki di samping Toji. Ia pun
membayangkan kulitnya yang putih dan wajahnya yang kenes merangsang.
"Sundal
iblis!" teriaknya. Pikiran-pikiran pahit dan kejam bangkit langsung dari
isi perutnya.
Kemudian,
tanpa diduga-duga, timbul padanya kenangan pedih akan Otsu. Sesudah lama
berpisah, barulah ia dapat memahami kemurnian dan bakti gadis ini, yang telah
berjanji akan menantikannya. Dengan senang hati ia akan bersedia berlutut dan
mengangkat tangan memohon di hadapannya jika kiranya gadis itu man
memaafkannya. Tapi ia sudah putus dengan Otsu, menelantarkannya demikian rupa,
hingga mustahil baginya untuk menemui gadis itu lagi.
"Semuanya
gara-gara perempuan ini," pikirnya sedih. Sekarang, ketika sudah
terlambat, segalanya menjadi jelas baginya; mestinya ia tidak memberitahukan
apa-apa tentang Otsu kepada Oko. Ketika Oko pertama kali mendengar tentang
gadis itu, ia tersenyum kecil dan berpura-pura tidak acuh sama sekali, padahal
sebetulnya ia sangat cemburu. Kemudian, apabila mereka bertengkar, ia selalu
mengungkit soal itu dan mendesak agar Matahachi menulis surat untuk memutuskan
pertunangannya. Dan ketika akhirnya Matahachi menyetujui dan melakukannya,
perempuan itu secara tak tahu malu melampirkan satu surat dengan tulisannya
sendiri yang jelas bergaya perempuan, dan tanpa perasaan sama sekali
menyampaikan surat resmi itu melalui seorang pesuruh yang tidak dikenal.
"Lalu
apa pikir Otsu tentang diriku?" rintih Matahachi dengan sedih. Bayangan
wajah Otsu yang masih polos itu tergambar di depan matanyawajah yang penuh
gugatan. Sekali lagi terbayang olehnya pegunungan dan sungai di Mimasaka. Ingin
ia memanggil ibunya, sanak keluarganya. Mereka semua begitu baik. Tanah di sana
pun kini agaknya hangat dan menyenangkan.
"Tak
akan bisa lagi aku pulang!" pikirnya. "Aku sudah membuang semua itu
untuk... untuk..." Kembali dilanda kemarahan, dikeluarkannya semua pakaian
Oko dari peti-peti pakaian, dirobek-robeknya, kemudian serpihanserpihan dan
sobekan-sobekan itu dihamburkannya di seluruh rumah.
Perlahan-lahan
kemudian sadarlah ia bahwa ada orang memanggil dari pintu depan.
"Maafkan,"
kata suara itu. "Saya dari Perguruan Yoshioka. Apakah Tuan Muda dan Toji
ada di sini?"
"Bagaimana
aku tahu?" jawab Matahachi pedas.
"Mereka
tentunya di sini! Saya tahu, memang tidak pantas mengganggu mereka selagi
sedang mencari kesenangan, tapi ada satu kejadian yang sangat penting. Ini
menyangkut nama baik Keluarga Yoshioka."
"Pergi
sana! Jangan ganggu aku!"
"Tapi
apa tak bisa setidak-tidaknya Anda menyampaikan berita ini pada mereka? Tolonglah
katakan bahwa seorang pemain pedang bernama Miyamoto Musashi sudah datang di
perguruan, dan yah, tak seorang pun dari kami dapat mengunggulinya. Dia
menunggu Tuan Muda kembali dan menolak pergi sebelum mendapat kesempatan
menghadapinya. Tolonglah sampaikan pada mereka supaya lekas-lekas pulang!"
"Miyamoto?
Miyamoto?"
Roda
Keberuntungan
HARI itu adalah hari aib yang tak terlupakan bagi
Perguruan Yoshioka. Tak pernah sebelumnya pusat seni bela diri yang bernama
besar ini menderita penghinaan yang begitu tandas.
Murid-murid
yang biasanya bersemangat kini duduk berkeliling dalam keputusasaan yang
mengenaskan; wajah mereka murung dan buku-buku jari mereka yang putih
mencerminkan penderitaan dan frustrasi. Sebagian besar dari mereka ada di kamar
depan yang berlantai kayu, sedangkan sebagian kecil di kamar samping. Hari
sudah senja; biasanya mereka sudah berangkat pulang atau pergi minum. Tak
seorang pun beranjak pergi. Senyap bagai kuburan. Suasana itu hanya dipecahkan
oleh derit gerbang depan yang sesekali berbunyi.
"Diakah
itu?"
"Apa
Tuan Muda sudah kembali?"
"Belum."
Ini diucapkan oleh seorang lelaki yang sudah setengah sore itu bersandar putus
asa pada tiang pintu masuk.
Dan setiap
kali pula orang-orang itu lebih dalam lagi terbenam dalam rawa kemuraman.
Lidah-lidah berdecap putus asa, dan pelupuk mereka melelehkan air mata pedih.
Dokter keluar
dari kamar belakang dan berkata kepada orang yang bersandar di pintu masuk,
"Saya tahu Seijuro tak ada di sini. Tapi apa Anda tidak tahu di mana
dia?"
"Sedang
dicari. Barangkali sebentar lagi kembali." Dokter mendeham dan pergi.
Di depan perguruan
itu, lilin altar pemujaan Hachiman dikitari lingkaran sinar yang melantunkan
bencana.
Tak seorang
pun akan membantah bahwa pendiri, dan guru pertama, Yoshioka Kempo, adalah
orang yang jauh lebih besar daripada Seijuro atau adik lelakinya. Kempo memulai
hidup hanya sebagai pedagang, seorang pencelup kain, tetapi dari tak
henti-henti mengulang irama dan gerak pencelupan anti luntur, akhirnya ia
menemukan cara baru memainkan pedang pendek. Sesudah mempelajari cara
menggunakan tombak-kapak dari salah seorang prajurit-pendeta yang cakap di
Kurama dan kemudian mendalami Delapan Seni Pedang Gaya Kyoto, ia pun
menciptakan gaya yang sepenuhnya orisinal. Teknik pedang pendeknya kemudian
dipergunakan oleh shogun-shogun Ashikaga yang mendatangkannya sebagai guru
resmi. Kempo adalah seorang ahli besar, orang yang kearifannya setara dengan
keterampilannya.
Sekalipun
kedua anaknya, Seijuro dan Denshichiro, menerima latihan sekeras ayahnya,
mereka telah mewarisi kekayaan yang besar dan kemasyhuran ayahnya, dan menurut
pendapat beberapa orang itulah sebab dari kelemahan mereka. Seijuro biasa
dipanggil "Tuan Muda", tapi sebenarnya ia belum benar-benar mencapai
taraf keterampilan yang dapat memikat banyak pengikut. Para siswa datang ke
sekolah itu karena di bawah pimpinan Kempo, Gaya Yoshioka telah menjadi
demikian termasyhur, hingga bisa masuk sekolah itu saja sudah berarti diakui
oleh masyarakat sebagai prajurit terampil.
Sesudah
runtuhnya ke-shogun-an Ashikaga tiga dasawarsa sebelum itu, Keluarga Yoshioka
tidak lagi memperoleh tunjangan resmi, tetapi pada masa hidup Kempo yang hemat,
keluarga itu sedikit demi sedikit telah berhasil memupuk kekayaan besar. Selain
itu ia memiliki bangunan besar di Jalan Shijo, dengan siswa yang jumlahnya lebih
besar daripada perguruan mana pun di Kyoto; Kyoto waktu itu adalah kota
terbesar di negeri ini. Tetapi sebenarnya sekolah yang menduduki taraf puncak
di bidang seni pedang itu tinggal namanya saja.
Dunia dl luar
dinding perguruan yang putih besar ini telah berubah lebih dari yang disadari
oleh kebanyakan orang di dalamnya. Bertahun-tahun mereka telah menepuk dada,
bermalas-malasan, dan hanya bermain-main, dan waktu pun melangkahi mereka. Hari
ini mata mereka terbuka oleh kekalahan yang memalukan, setelah bertanding
dengan seorang pemain pedang pedesaan yang tak dikenal.
Menjelang
tengah hari, salah seorang pesuruh datang ke dojo untuk melaporkan bahwa
seorang yang menamakan dirinya Musashi berdiri di pintu, mohon diizinkan masuk.
Ketika ditanya macam apa orang itu, pesuruh menjawab bahwa orang itu seorang
ronin, datang dari Miyamoto di Mimasaka, umur dua puluh satu atau dua puluh
dua, kira-kira 1,83 meter tingginya, dan kelihatannya agak bodoh. Rambutnya
yang tidak disisir setidak-tidaknya satu tahun diikat sembarangan saja dengan
kain gombal yang kemerah-merahan, sedangkan pakaiannya begitu kotor, hingga
susah ditentukan hitam atau cokelatkah warnanya, poloskah atau berpola kembang.
Pesuruh merasa mencium bau orang itu, tapi mengakui bahwa mungkin juga ia keliru.
Tamu itu menyandang kantong kulit beranyam yang biasa disebut orang tas belajar
prajurit; ini barangkali berarti ia seorang shugyosha, salah seorang dari para
samurai yang banyak jumlahnya waktu itu, yang kerjanya mengembara dan
menghabiskan waktu di luar tidurnya untuk mempelajari seni pedang. Namun
demikian, kesan umum yang didapat pesuruh itu adalah bahwa orang yang namanya
Musashi itu jelas janggal hadir di Perguruan Yoshioka tersebut.
Kalau orang
itu hanya minta makan, tidak masalah. Tapi ketika orang-orang mendengar bahwa
pengganggu bulukan itu datang ke gerbang besar untuk menantang Yoshioka Seijuro
yang termasyhur itu bertanding, mereka pun terbahak-bahak. Beberapa orang
berpendapat lebih baik mengusirnya saja tanpa banyak ribut, sedang yang lain-lain
mengatakan mereka harus melihat dulu, gaya apa yang dipakainya dan siapa nama
gurunya.
Pesuruh, yang
sama merasa geli seperti yang lain-lain, pergi dan kembali lagi dengan kabar
bahwa tamu itu sewaktu masih kanak-kanak belajar menggunakan pentung dari
ayahnya, dan kemudian memungut pelajaran dari prajurit mana saja yang lewat di
kampungnya. Meninggalkan rumah ketika berumur tujuh belas, dan "karena
alasan-alasan pribadi" ia pun menenggelamkan diri dalam mempelajari ilmu
pengetahuan pada umur delapan belas, sembilan belas, dan dua puluh. Sepanjang
tahun sebelum itu, ia hanya sendirian tinggal di pegunungan, melulu berguru
pada pepohonan dan keheningan gunung. Oleh karena itu, tidak dapat ia
menyebutkan suatu aliran khusus atau nama seorang guru. Tapi di masa depan ia
berharap akan mempelajari ajaran-ajaran Kiichi Hogen, ahli hakikat Delapan Gaya
Kyoto, dan akan berusaha meniru Yoshioka Kempo yang agung dengan menciptakan
gayanya sendiri, yang menurut keputusannya akan dinamakannya Gaya Miyamoto. Memang
ia memiliki banyak kekurangan, tapi itulah tujuannya, dan untuk itulah ia
berhasrat bekerja dengan sepenuh hati dan jiwanya.
Pesuruh
mengakui bahwa semua itu merupakan jawaban yang jujur dan tidak dibuat-buat,
tetapi orang itu beraksen kampung dan hampir tiap kata ia ucapkan dengan
menggagap. Pesuruh dengan senang hati menirukannya untuk para pendengarnya, dan
mereka pun sekali lagi terpingkal-pingkal.
Orang itu
tentunya sudah sinting. Menyatakan tujuannya menciptakan gaya sendiri
benar-benar gila. Untuk memberikan sedikit ajaran kepada orang sombong itu,
para siswa menyuruh pesuruh keluar lagi, kali ini dengan pertanyaan apakah tamu
itu sudah menunjuk orang untuk mengambil mayatnya sesudah pertandingan nanti.
Musashi
memberikan jawaban, "Kalau kebetulan saya terbunuh, tak ada bedanya,
apakah Anda membuang tubuh saya ke Gunung Toribe atau melemparkannya ke Sungai
Kamo bersama sampah. Baik untuk yang pertama maupun yang kedua, saya berjanji
tak akan menuntut balas."
Menurut
pesuruh, caranya menjawab kali ini sangat jelas, tidak mengandung kekakuan
seperti jawaban-jawaban sebelumnya.
Sesudah
ragu-ragu sebentar, akhirnya satu orang berkata, "Suruh dia masuk!"
Itulah awal
mulanya; para siswa menyangka mereka akan berhasil menyayat pendatang baru itu
sedikit, kemudian melemparkannya ke luar. Namun pada pertandingan pertama saja
juara perguruanlah yang keluar sebagai pihak yang kalah. Tangannya putus. Hanya
sedikit kulit yang masih menghubungkan pergelangan dengan tangan.
Satu demi
satu yang lain-lain pun menerima tantangan orang asing itu, dan satu demi satu
pula mereka kalah secara memalukan. Beberapa orang luka parah, dan pedang kayo
Musashi bergelimang darah. Sesudah kekalahan kesekian kali, para siswa berubah
jadi ingin membunuh; kalaupun mereka semua harus terbunuh, tak akan mereka
membiarkan orang gila biadab ini pergi dalam keadaan hidup, membawa serta
kehormatan Perguruan Yoshioka.
Musashi
sendirilah yang mengakhiri pertumpahan darah itu. Sejak tantangannya diterima,
tak ada rasa kuatir padanya tentang jatuhnya korban, tapi ia menyatakan,
"Tak ada gunanya melanjutkan ini sebelum Seijuro kembali," dan ia
menolak untuk bertempur lagi. Karena tak ada pilihan lain, atas permintaannya
sendiri ia dipersilakan masuk ke sebuah kamar untuk menunggu. Baru pada waktu
itulah satu orang tersadar dan memanggil dokter.
Tak lama
sesudah dokter pergi, suara-suara yang memekikkan nama dua orang yang terluka
menyebabkan selusin orang masuk kamar belakang. Mereka mengerumuni kedua
samurai itu dengan sikap tak percaya bercampur takjub; wajah mereka kelabu dan
napas mereka tidak tetap. Kedua orang itu tewas.
Langkah-langkah
kaki bergegas melintas dojo dan masuk ke kamar mati. Para siswa memberikan
jalan bagi Seijuro dan Toji. Keduanya pucat, seakan-akan baru saja keluar dari
air terjun yang dingin.
"Apa
yang terjadi di sini?" tanya Toji. "Apa arti semua ini?" Nada
bicaranya gusar seperti biasa.
Seorang
samurai yang berlutut dengan wajah tercekam di camping bantal salah seorang
kawannya yang mati melontarkan pandangan penuh tuduhan kepada Toji, dan
katanya, "Kau yang mesti menjelaskan apa yang sedang terjadi. Kau yang
membawa Tuan Muda minum-minum. Nab, kali ini kau sudah bertindak terlalu
jauh."
"Jaga
lidahmu, atau kupotong nanti."
"Ketika
Tuan Kempo masih hidup, tak ada hari lewat tanpa dia ada di dojo",
"Lantas
mau apa? Tuan Muda ingin bersenang-senang sedikit, dan kami pergi ke Kabuki.
Apa maksudmu bicara demikian di depannya? Kaupikir siapa kau ini?"
"Apa
untuk melihat Kabuki saja dia mesti tinggal di luar sepanjang malam? Bisa-bisa
Tuan Kempo bangkit dari kuburnya."
"Cukup!"
teriak Toji sambil menyerang orang itu.
Ketika yang
lain-lain campur tangan pula dan mencoba memisahkan serta menenangkan kedua
orang itu, satu suara berat karena beban sakit terdengar sedikit mengungguli
suara percekcokan itu. "Kalau Tuan Muda sudah kembali, sudah waktunya
menghentikan percekcokan. Terserah kepadanya untuk mengembalikan kehormatan
perguruan. Ronin itu tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup."
Beberapa di
antara yang luka menjerit dan memukul-mukul lantai. Tindakan itu merupakan
celaan yang seterang-terangnya terhadap mereka yang belum menghadapi pedang
Musashi.
Bagi samurai
zaman itu, yang terpenting di dunia ini adalah kehormatan. Sebagai golongan,
mereka benar-benar saling berlomba mencari jalan untuk mati lebih dulu dalam
mempertahankannya. Pemerintah sampai hari-hari terakhir terlampau sibuk dengan
perang, hingga tak ada waktu untuk menyusun sistem administrasi yang memadai
bagi suatu negeri yang damai, bahkan Kyoto pun hanya diatur dengan seperangkat
peraturan yang longgar dan bersifat tambal sulam. Toh pentingnya kehormatan
pribadi bagi golongan prajurit itu tetap dihargai, baik oleh kaum petani maupun
orang-orang kota, dan ini besar artinya dalam menjamin ketenteraman. Pendapat
umum mengenai mana tindakan terhormat dan mana yang tidak telah memungkinkan
rakyat mengatur diri sendiri, sekalipun hanya dengan undangundang yang tidak
memadai.
Sekalipun
tidak terpelajar, orang-orang dari Perguruan Yoshioka sama sekali bukan
orang-orang rendah yang tak kenal malu. Ketika mereka sadar kembali sesudah
menderita guncangan kekalahan itu, hal pertama yang terpikir oleh mereka adalah
kehormatan, yaitu kehormatan perguruan, kehormatan guru, kehormatan pribadi
mereka sendiri.
Dengan
menyingkirkan permusuhan perseorangan, sebagian besar dari mereka berkumpul di
sekitar Seijuro, memperbincangkan apa yang harus diperbuat. Sayang sekali,
kebetulan hari itu Seijuro sedang kehilangan semangat juangnya. Pada saat itu,
ia yang seharusnya berada dalam keadaan prima, justru loyo, lemah, dan
kehabisan tenaga.
"Di mana
orang itu?" tanyanya seraya mengikatkan lengan kimononya dengan tali
kulit.
"Dia di
kamar kecil di samping kamar terima tamu," kata seorang murid sambil
menunjuk ke seberang kebun.
"Panggil
dia!" perintah Seijuro. Mulutnya kering karena tegang. Ia pun duduk di
tempat guru, sebuah mimbar kecil, dan bersiap-siap menerima salam dari Musashi.
Dipilihnya salah satu pedang kayu yang disodorkan para muridnya, dan
dipegangnya tegak di samping.
Tiga-empat
orang menerima perintah dan mulai meninggalkan tempat, tetapi Toji dan Ryohei
menyuruh mereka menanti.
Menyusullah
bisik-bisik lama, jauh dari pendengaran Seijuro. Konsultasi diam-diam itu
berpusat pada Toji dan murid-murid senior lain perguruan itu. Tak lama
kemudian, para anggota keluarga dan beberapa orang lain menggabungkan diri,
begitu banyak yang hadir di situ, hingga kerumunan itu terpecah dalam kelompok-kelompok.
Meski berlangsung seru, perdebatan dapat diselesaikan dalam waktu cukup
singkat.
Sebagian
besar tidak hanya memprihatinkan nasib perguruan, melainkan juga menyadari
benar kekurangan Seijuro sebagai seorang pejuang, dan mereka pun menyimpulkan
bahwa tidak bijaksana membiarkannya menghadapi Musashi satu lawan satu, waktu
itu juga dan di tempat itu juga. Dua orang sudah tewas dan beberapa orang
terluka. Kalau Seijuro pun menderita kekalahan, krisis yang mengancam perguruan
akan berat luar biasa. Itu tindakan yang terlampau riskan.
Kebanyakan
orang itu berpendapat, walaupun tidak diucapkan, bahwa jika waktu itu
Denshichiro hadir, tidak banyak yang perlu dikuatirkan. Pada umumnya ada
anggapan bahwa ia lebih cocok untuk melanjutkan kerja ayahnya, tapi karena ia
anak kedua dan tidak mempunyai tanggung jawab serius, maka ia pun menjadi orang
yang berwatak sangat santai. Pagi itu ia sudah meninggalkan rumah dengan
teman-temannya ke Ise, dan bahkan tidak merasa perlu berpesan kapan akan
pulang.
Toji mendekati
Seijuro, dan katanya, "Kami sudah mencapai kesimpulan."
Mendengar
laporan yang disampaikan dengan bisikan itu, Seijuro tampak semakin berang,
sampai akhirnya ia pun tersengal-sengal dan hampir tidak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. "Mengakali dia?"
Toji mencoba
meredakan dengan gerakan mata, tapi Seijuro tidak dapat diredakan. "Aku
tak setuju dengan tindakan seperti itu! Itu pengecut. Bagaimana kalau sampai
kedengaran orang bahwa Perguruan Yoshioka takut pada seorang prajurit tak
dikenal, dan menyembunyikan diri, lalu menyergapnya?"
"Tenanglah,"
Toji memohon, tapi Seijuro terus juga membangkang. Maka Toji pun mengungguli
suaranya, dan katanya keras, "Serahkan pada kami. Kami yang akan
mengurus."
Namun Seijuro
tak juga bisa menerima. "Apa menurutmu aku, Yoshioka Seijuro, akan kalah
dengan si Musashi atau siapa pun namanya itu?"
"Oh,
tidak, sama sekali tidak begitu," kata Toji berbohong. "Cuma kami tak
percaya Anda dapat memperoleh kehormatan dengan mengalahkan dia. Kedudukan Anda
terlalu tinggi untuk menghadapi gelandangan kurang ajar seperti itu. Lagi pula,
tidak ada alasan kenapa orang di luar rumah ini mesti tahu soal itu, bukan?
Hanya satu yang penting, yaitu tidak membiarkan dia pergi dalam keadaan
hidup."
Belum selesai
mereka beradu pendapat, jumlah orang yang berada di dalam ruangan sudah
berkurang lebih dari setengahnya. Diam-diam, seperti kucing, mereka menghilang
ke kebun, ke arah pintu belakang dan ke kamar-kamar dalam, dan secara hampir
tidak kelihatan menghilang ke kegelapan.
"Tuan
Muda, kita tak dapat menangguhkannya lagi," kata Toji tegas, lalu
memadamkan lampu. Ia pun melonggarkan pedang dalam sarungnya dan menaikkan
lengan kimononya. Seijuro tetap duduk. Sekalipun dalam batas-batas tertentu ia
puas karena tidak harus bertempur melawan orang asing itu, namun ia sama sekali
tidak merasa senang. Menurut pengertiannya, dengan mengambil langkah itu,
berarti para muridnya menilai rendah kemampuannya. Ia pun terkenang bagaimana
ia telah mengabaikan latihan sejak meninggalnya ayahnya, dan ini membuatnya
sangat sedih.
Rumah itu
semakin dingin dan senyap seperti dasar sumur. Karena tak dapat duduk tenang,
Seijuro pun bangkit dan berdiri dekat jendela. Lewat pintu-pintu kamar Musashi
yang tertutup kertas ia dapat melihat cahaya lampu yang berkelap-kelip lembut.
Itulah satu-satunya cahaya yang ada di sekitar tempat itu.
Banyak juga
mata lain mengintip ke arah yang sama. Para penyerang meletakkan pedangnya di
tanah di hadapan mereka, menahan napas dan mendengarkan baik-baik setiap bunyi
yang dapat mengungkapkan kepada mereka sedang apakah Musashi.
Apa pun
kekurangan Toji, ia telah memperoleh latihan sebagai seorang samurai.
Mati-matian sekarang ia mencoba membayang-bayangkan apa yang mungkin diperbuat
Musashi. "Dia sama sekali tak dikenal di ibu kota, tapi dia seorang
pendekar hebat. Mungkinkah dia sekadar duduk diam di kamar itu? Pengepungan
kami cukup hati-hati, tapi dia tentunya merasa bahwa orang banyak sedang
mendesaknya sekarang. Setiap orang yang mencoba hidup sebagai prajurit pasti
mengetahuinya; kalau tidak, dia sudah mati sekarang.
"Mm,
barangkali dia sudah tertidur. Agaknya itulah yang terjadi. Memang sudah lama
juga dia menanti.
"Di
pihak lain, dia sudah membuktikan dirinya cerdik. Kemungkinan dia sedang
berdiri di sana dalam keadaan siap tempur, membiarkan lampu menyala untuk
membuat orang-orang ini kehilangan kewaspadaan dan tinggal menanti serangan
pertama.
"Mestinya
begitu. Betul begitu!"
Orang-orang
itu menanti dengan gelisah, karena orang yang menjadi sasaran nafsu membunuh
mereka juga sama inginnya membantai mereka. Mereka pun bertukar pandang,
diam-diam saling menanyakan, siapa yang pertama-tama akan maju menyerbu dan
mempertaruhkan nyawanya.
Akhirnya Toji
yang licik dan persis berada di luar kamar Musashi, berseru, "Musashi!
Maaf membiarkanmu lama menunggu! Boleh aku bertemu sebentar?"
Karena tak
ada jawaban, Toji menyimpulkan bahwa Musashi memang sudah siap menanti
serangan. Sambil bersumpah tak akan membiarkan Musashi meloloskan diri, Toji
pun memberikan isyarat ke kanan dan ke kiri, kemudian menerjang ke arah pintu.
Bagian bawah pintu bergeser sekitar dua kaki ke dalam kamar, terlepas dari
lekuknya akibat hantaman itu. Mendengar bunyi itu, orang-orang yang seharusnya
menyerbu ke dalam kamar secara tak sengaja mundur selangkah. Tapi dalam
beberapa detik saja seseorang menyerukan serang, dan semua pintu lain dalam
kamar itu pun gemerantang terbuka.
"Dia tak
ada!"
"Kamar
kosong!"
Suara-suara
yang mencerminkan pulihnya keberanian pun terdengar menggerutu menyatakan tak
percaya. Musashi masih duduk di sana sejenak sebelum itu, ketika seseorang
membawakan lampu. Lampu masih menyala, bantalan yang tadi didudukinya masih di
sana, anglo masih menyala dengan baik, dan masih ada cangkir teh yang belum
disentuh. Tapi Musashi tak ada!
Satu orang
berlari ke beranda, memberitahukan kepada yang lain-lain bahwa Musashi sudah
pergi. Dari. bawah beranda dan dari tempat-tempat gelap di kebun para murid dan
pesuruh pun berkumpul, mengentakkan kaki dengan marah dan memaki-maki orang
yang menjaga kamar yang kecil itu. Namun para penjaga tetap menyatakan bahwa
Musashi tak mungkin pergi. Ia memang pergi ke kamar kecil kurang dari sejam
sebelum itu, tapi segera kembali ke kamarnya lagi. Tak ada jalan baginya untuk
pergi tanpa terlihat.
"Apa
maksudmu dia tidak kelihatan, seperti angin?" satu orang bertanya dengan
nada mencemooh.
Tepat waktu
itu satu orang yang selama itu celingukan di kamar kecil berseru, "Dari
sini dia pergi! Lihat, papan-papan lantai ini sudah lepas."
"Belum
lama lampu itu tadi dirapikan. Tak mungkin dia sudah pergi jauh!"
"Kejar
dia!"
Kalau Musashi
memang melarikan diri, pasti dalam hatinya ia seorang pengecut! Jalan pikiran
ini mengobarkan kembali semangat para pengejarnya yang beberapa lama sebelumnya
sudah sangat kehilangan semangat. Baru saja mereka berduyun-duyun keluar dari
gerbang depan, belakang, dan samping, satu orang memekik, "Itu dia!"
Dekat gerbang
belakang, satu sosok melejit keluar dari bayangan, menyeberang jalan, dan masuk
lorong gelap di sisi lain. Sosok itu berlari seperti kelinci, melenceng ke satu
sisi ketika hampir mencapai dinding di ujung lorong. Dua-tiga orang murid
berhasil mengejarnya antara Kuyado dan puing-puing kebakaran Honnoji.
"Pengecut!"
"Mau
lari, ya?"
"Sesudah
tindakanmu hari ini?"
Terdengar
bunyi tonjokan dan tendangan keras, juga lolongan menantang. Orang yang
terkepung itu memperoleh kembali kekuatannya dan membalik menghadapi para
penangkapnya. Dalam sekejap ketiga orang yang menjambak tengkuknya terjerembap
ke tanah. Pedang orang itu sudah mau ditebaskan kepada mereka, ketika orang
keempat datang berlari dan berseru, "Tunggu! Salah! Ini bukan orang yang
kita kejar."
Matahachi
menurunkan pedangnya, dan orang-orang itu pun berdiri.
"Hei,
kau benar! Bukan Musashi!"
Selagi mereka
berdiri di sana dengan kebingungan, Toji sampai di tempat kejadian. "Sudah
kalian tangkap?" tanyanya.
"Uh,
orang lain-bukan orang yang bikin ribut itu."
Toji
memperhatikan tangkapan itu dengan lebih saksama, dan katanya heran, "Ini
orang yang kalian kejar?"
"Ya. Kau
kenal dia?"
"Baru
tadi siang aku melihatnya di Warung Teh Yomogi."
Sementara
mereka memandangnya dengan diam dan curiga, Matahachi tenang-tenang merapikan
rambutnya yang kusut clan meratakan kimononya. "Apa dia pemilik
Yornogi?"
"Tidak,
nyonya rumah mengatakan padaku bukan. Rupanya dia cuma semacam benalu."
"Kelihatannya
memang mencurigakan. Apa kerjanya di dekat-dekat gerbang ini? Memata-matai?"
Tapi Toji
sudah mulai bergerak. "Kalau kita menghabiskan waktu dengan dial kita akan
kehilangan Musashi. Sekarang kita berpencar saja dan jalan. Paling tidak, kita
bisa tahu di mana dia tinggal."
Terdengar
suara-suara mengiakan, dan mereka pun berangkat.
Menghadapi
parit Honnoji, Matahachi berdiri diam dengan kepala menunduk, sementara
orang-orang itu lewat berlarian. Ketika orang terakhir lewat, ia pun berseru
kepadanya.
Orang itu
berhenti. "Ada apa?" tanyanya.
Matahachi
mendekatinya, dan tanyanya, "Berapa umur orang yang namanya Musashi
itu?"
"Mana
aku tahu?"
"Apa
kira-kira seumurku?"
"Kira-kira
begitu. Ya."
"Apa dia
dari Desa Miyamoto di Provinsi Mimasaka?"
"Ya."
"Kukira
'Musashi' itu cara lain untuk membaca dua huruf yang bisa dipakai menuliskan
'Takezo', kan?"
"Kenapa
kau menanyakan sernua itu? Apa dia temanmu?"
"Ah,
tidak. Aku cuma heran."
"Nah,
lain kali apa tidak lebih baik kau jauh-jauh saja dari tempat-tempat yang bukan
tempatmu? Kalau tidak, kau bisa mendapat kesulitan besar hari-hari ini."
Sesudah menyampaikan peringatan itu, orang itu pun lari.
Matahachi
lalu berjalan pelan-pelan di samping parit gelap itu, dan sekali-sekali
berhenti untuk memandang bintang-bintang. Ia rupanya tidak mempunyai tujuan
khusus.
"Pasti
dialah itu!" demikian kesimpulannya. "Dia tentunya sudah mengubah
namanya menjadi Musashi dan menjadi pemain pedang. Boleh jadi dia lain sekali
dengan dahulu." Maka disurukkannya tangannya ke dalam obi, dan mulailah ia
menendang-nendang sebuah batu dengan jari sandalnya. Tiap kali menendang, ia
pun merasa melihat wajah Takezo di hadapannya.
"Ini
bukan waktu yang tepat," gumamnya. "Aku akan malu kepadanya kalau dia
melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku cukup punya harga diri dan takkan
membiarkan dia memandang rendah kepadaku.... Tapi kalau gerombolan Yoshioka itu
berhasil mengejarnya, kemungkinan mereka akan membunuhnya. Di mana dia berada
kira-kira? Paling tidak, ingin aku memperingatkannya."
Berhadapan
dan Mundur
SEPANJANG
jalan setapak berbatu yang menuju Kuil Kiyomizudera berdiri sederetan rumah
kumuh dengan atap papan yang tersusun seperti gigi rusak, demikian tuanya
hingga lumut sudah menumbuhi tepi-tepi atapnya. Di bawah sinar matahari siang
yang panas, jalan itu semerbak oleh bau ikan asin yang dibakar di atas arang.
Sebuah piring
melayang keluar dari pintu salah satu gubuk bobrok itu dan pecah berantakan di
jalan. Seorang lelaki umur sekitar lima puluh tahun, yang agaknya seorang
pekerja tangan, menyusul terhuyung ke luar. Sekejap kemudian menyusul pula
istrinya yang bertelanjang kaki, rambutnya awut-awutan dan payudaranya
tergantung-gantung seperti tetek sapi.
"Apa
kaubilang, orang udik?" jeritnya serak. "Kau pergi meninggalkan istri
dan anak kelaparan, lalu datang lagi merangkak seperti cacing!"
Dari dalam
rumah terdengar suara anak-anak menangis, dan tidak jauh dari situ seekor
anjing menggonggong. Perempuan itu akhirnya berhasil mengejar suaminya,
menangkap gelung rambutnya, dan mulai memukulinya.
"Sekarang
mau pergi ke mana kamu, orang sinting tua?"
Para tetangga
bergegas datang dan mencoba melerai.
Musashi
tersenyum ironis dan membalikkan badan menuju toko barang tembikar. Beberapa
waktu sebelum pecahnya pertengkaran keluarga itu, ia sudah berdiri di luar,
mengamati para pembuat tembikar dengan kegairahan kanak-kanaknya. Dua lelaki
yang ada di dalam tidak menyadari kehadirannya. Karena mata mereka terpaku
kepada pekerjaan, mereka seakan-akan sudah menyatu dengan tanah liat itu.
Konsentrasi mereka sungguh bulat.
Musashi
sebetulnya ingin mencoba bekerja dengan tanah liat itu. Sejak kecil ia menyukai
pekerjaan tangan; menurut pendapatnya, paling tidak ia akan dapat membuat
mangkuk teh sederhana. Namun justru pada waktu itu salah seorang tukang
tembikar yang umurnya hampir enam puluh tahun mulai membuat mangkuk teh.
Melihat betapa cekatan orang itu menggerakkan jari-jarinya clan memainkan
kape-nya, Musashi pun sadar bahwa ia terlalu tinggi menilai kemampuannya
sendiri. "Ternyata diperlukan banyak teknik untuk membuat barang sederhana
itu saja," demikian kagumnya.
Hari-hari itu
sering kali ia merasa amat kagum pada kerja orang lain. Ia merasa menghargai
teknik, seni, bahkan kemampuan melakukan tugas yang sederhana dengan baik,
terutama jika itu adalah keterampilan yang tidak dikuasainya.
Di sebuah
sudut toko itu, di sebuah meja panjang darurat yang terbuat dari papan pintu
tua, berderet-deret piring, sloki sake, clan kendi. Barangbarang itu dijual
untuk tanda mata dengan harga dua puluh atau tiga puluh sen saja kepada
orang-orang yang pergi atau datang dari kuil. Sesuatu yang bertentangan sekali
dengan kesungguh-an para tukang tembikar pada pekerjaan mereka adalah
hina-dinanya pondok papan mereka. Terpikir oleh Musashi, apakah mereka selalu
dapat makan cukup. Hidup ini agaknya tidak semudah kelihatannya.
Memikirkan
keterampilan, konsentrasi, dan kesetiaan yang dicurahkan untuk membuat
barang-barang semurah itu, Musashi pun merasa jalannya sendiri masih panjang,
jika ia ingat bagaimana ia mencapai taraf kesempurnaan dalam seni pedang yang
diinginkannya itu. Pikiran itu sungguh pikiran yang menyadarkan, karena dalam
tiga minggu terakhir itu ia telah mengunjungi pusat-pusat latihan terkenal lain
di Kyoto disamping Perguruan Yoshioka, dan sempat bertanya-tanya kepada dirinya
apakah ia tidak terlampau kritis terhadap diri sendiri semenjak dikurung di
Himeji dulu. Keinginannya semula adalah melihat Kyoto sebagai tempat penuh
orang yang telah menguasai seni bela diri. Bukankah kota itu ibu kota
kekaisaran dan dahulu menjadi pusat ke-shogun-an Ashikaga, dan sudah lama
menjadi tempat berkumpulnya jenderal-jenderal ternama dan prajurit-prajurit
legendaris? Namun selama berada di sana, belum pernah ia menemukan satu pun
pusat latihan yang mengajarkan kepadanya sesuatu yang benar-benar pantas diberi
ucapan terima kasih. Sebaliknya, hanya kekecewaan yang diperolehnya di setiap
perguruan itu. Sekalipun selalu memenangkan pertandingan, tak dapat ia
menetapkan apakah itu disebabkan ia yang bagus atau lawan-lawannya yang jelek.
Baik dalam hal yang pertama maupun kedua, kalau para samurai yang dijumpainya
itu memang gambaran dari samurai masa kini, berarti negeri itu berada dalam
keadaan memprihatinkan.
Tergugah oleh
keberhasilannya, ia pun sampai kepada pemikiran untuk merasa bangga akan
keahliannya. Tetapi sekarang, ingat akan bahaya puas diri, ia pun merasa
bersalah dan patut dihukum. Dalam hati ia merasa sangat hormat kepada
orang-orang tua bergelimang tanah liat yang sedang bekerja pada rodanya itu,
dan mulailah ia mendaki lereng terjal Kiyomizudera.
Belum lagi
jauh, terdengar suara memanggilnya dari bawah. "Hei, tuan yang di sana!
Ronin!'
"Maksud
Anda... saya?" tanya Musashi sambil menoleh.
Melihat
pakaian katunnya yang berlapis, kakinya yang telanjang, dan tongkat yang
dibawanya, orang itu adalah pemikul joli. Dari balik jenggotnya ia berkata,
cukup sopan untuk orang yang kedudukannya serendah itu, "Tuan, apa nama
Tuan Miyamoto?"
"Ya."
"Terima
kasih." Orang itu pun membalik dan turun ke Bukit Chawan.
Musashi
melihatnya memasuki rumah yang nampaknya warung teh. Sewaktu melewati daerah
itu tadi, ia memang melihat satu rombongan besar kuli dan pemikul joli sedang
berdiri di sana-sini di bawah sinar matahari. Tak dapat ia memperkirakan, siapa
yang kini telah menyuruh salah seorang dari mereka itu untuk menanyakan
namanya, tapi ia mengira, siapa pun yang telah menyuruh itu pasti akan segera
datang menemuinya. Ia pun berdiri dulu di sana sebentar, tapi karena tak
seorang pun muncul, ia kembali mendaki.
Di sepanjang
jalan itu ia berhenti menjenguk kuil-kuil terkenal, dan di tiap kuil ia
membungkukkan badan dan mengucapkan dua doa. Doa pertama: "Lindungilah
kakak perempuanku dari bahaya." Yang kedua: "Ujilah Musashi yang hina
ini dengan kesulitan. Jadikanlah dia pemain pedang terbesar di negeri ini, atau
biarlah dia mati."
Sampai di
tepi tebing karang ia jatuhkan topi anyaman yang dipakainya ke tanah dan duduk.
Dari situ ia dapat memandang seluruh kota Kyoto. Sementara ia duduk merangkul
lutut, bergejolaklah ambisi yang sederhana namun kuat dalam dadanya yang masih
muda.
"Aku
ingin menempuh hidup yang berarti. Aku mau menempuhnya, karena aku lahir
sebagai manusia."
Ia pernah
membaca bahwa pada abad sepuluh, dua pemberontak bernama Taira no Masakado dan
Fujiwara no Sumitomo yang sama-sama ambisius telah bergabung dan bersepakat,
kalau menang perang, mereka akan membagi Jepang di antara mereka berdua. Sukar
memastikan kebenaran cerita itu, tapi Musashi ingat, waktu itu ia berpendapat
alangkah bodoh dan tidak realistis sekiranya mereka percaya bisa melaksanakan
rencana gila-gilaan semacam itu. Namun sekarang ia merasa hal itu tidak lagi
menggelikan. Impian yang dimilikinya lain jenisnya, tapi ada beberapa
persamaan. Kalau orang muda tidak dapat menggantungkan cita-cita besar dalam
jiwanya, siapa lagi yang dapat? Saat itu Musashi pun membayangkan bagaimana ia
dapat menciptakan tempatnya sendiri di dunia ini.
Ia berpikir
tentang Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi, tentang visi mereka untuk
mempersatukan Jepang dan tentang banyak pertempuran yang telah mereka lakukan
untuk mencapai tujuan itu. Tetapi jelas, jalan menuju kebesaran itu kini tidak
lagi terletak dalam memenangkan perang. Sekarang rakyat hanya menginginkan
perdamaian yang telah begitu lama mereka rindukan. Merenungkan perjuangan
panjang yang harus ditempuh Tokugawa Ieyasu dalam mengubah keinginan itu
menjadi kenyataan, Musashi pun sadar sekali lagi, betapa susahnya berpegang
teguh pada cita-cita.
"Ini
zaman baru," pikirnya. "Sisa hidupku masih ada di hadapanku. Memang
terlambat aku menempuh jalan yang dilalui Nobunaga atau Hideyoshi, tapi masih
dapat aku memimpikan dunia yang harus kutaklukkan sendiri. Tak seorang pun
dapat menghentikanku melakukan itu. Pemikul joli tadi pun mempunyai impiannya
sendiri."
Sesaat ia
singkirkan gagasan-gagasan itu dari pikirannya dan mencoba meninjau keadaan
dirinya secara objektif. Ia memiliki pedang, dan jalan Pedang adalah jalan yang
telah dipilihnya. Kiranya bagus juga menjadi seorang Hideyoshi atau Ieyasu,
tetapi zaman tidak lagi membutuhkan orang-orang dengan bakat seperti mereka. Ieyasu
sudah mengatur segala hal; tidak lagi ada keperluan akan perang-perang
berdarah. Di Kyoto yang terhampar di bawah sana kehidupan tidak lagi soal
untung-untungan.
Bagi Musashi,
yang penting sejak sekarang dan untuk seterusnya adalah pedangnya dan masyarakat
sekitarnya, juga seni pedang yang dikuasainya dalam hubungan kehadirannya
sebagai manusia. Pada saat memperoleh pemahaman mendalam itu, ia pun puas
karena telah menemukan hubungan antara seni bela diri dan visinya mengenai
kebesaran.
Sementara ia duduk
tenggelam dalam pemikiran itu, wajah pemikul joli muncul kembali di bawah
tebing karang. la menudingkan tongkat bambunya kepada Musashi, clan serunya,
"Itu dia di sana!"
Musashi
memandang ke bawah, ke arah kuli-kuli yang sedang bergerak ke sana kemari
sambil berteriak-teriak. Mereka mulai mendaki bukit menuju ke arahnya. Ia pun
bangkit; sambil mencoba mengabaikan mereka, ia berjalan terus mendaki bukit.
Tetapi tak lama kemudian ia melihat jalannya tercegat. Dengan bergandengan
tangan dan mengacung-acungkan tongkat, sejumlah besar orang telah mengepungnya
dari jauh. Ketika ia menoleh, tampak olehnya orang-orang di belakangnya itu
berhenti. Seorang dari mereka menyeringai memperlihatkan giginya dan
memberitahukan kepada yang lain-lain bahwa Musashi rupanya "sedang
memperhatikan tanda peringatan atau entah apa".
Musashi yang
kini berada di depan tangga Hongando memang sedang menengadah memperhatikan
tanda peringatan yang sudah dimakan cuaca, yang tergantung pada blandar pintu
masuk kuil. Ia merasa gelisah dan bertanya-tanya dalam hati apakah ia sebaiknya
menakut-nakuti mereka dengan teriakan perang. Walaupun ia tahu dapat
membereskan mereka dengan cepat, tak ada gunanya ribut dengan gerombolan
pekerja kasar itu. Lagi pula, barangkali ada kekeliruan. Kalau demikian, lambat
atau cepat mereka akan bubar. Ia pun berdiri saja di sana dengan sabar, sambil
membaca dan membaca sekali lagi kata-kata pada tanda peringatan itu: "Kaul
sejati".
"Ini dia
datang!" salah seorang kuli berteriak.
Mereka pun
mulai bicara antara sesamanya dengan suara tertahan-tahan. Kesan Musashi adalah
mereka sedang saling merangsang semangat. Pekarangan dalam gerbang barat kuil
itu dengan segera penuh orang, dan sekarang para pendeta, peziarah, dan tukang
jualan menajamkan mata untuk melihat apa yang sedang terjadi. Penuh rasa ingin
tahu, mereka membentuk kelompok-kelompok di luar lingkaran kuli-kuli yang
mengepung Musashi.
Dari arah
Bukit Sannen kedengaran nyanyian berirama pengatur langkah oleh orang-orang
yang membawa beban. Suara itu makin lama makin dekat, sampai akhirnya dua orang
memasuki pekarangan kuil dengan menggendong seorang perempuan tua dan seorang
samurai desa yang tampak agak lelah.
Dan punggung
pengusungnya Osugi melambaikan tangan dengan gerakan cepat, dan katanya,
"Di sini saja." Si pengusung melipat kakinya dan Osugi pun melompat
sigap ke tanah sambil mengucapkan terima kasih. Sembari menoleh kepada Paman
Gon, ia berkata, "Kali ini kita takkan membiarkannya lepas, kan?"
Pakaian dan sepatu kedua orang itu mengesankan seolah-olah mereka hendak
menghabiskan sisa hidupnya dalam perjalanan.
"Mana
dia?" seru Osugi.
Salah seorang
kuli pikul menjawab, "Itu di sana," dan menuding bangga ke arah kuil.
Paman Gon
membasahi gagang pedangnya dengan ludah, dan kedua orang itu pun menerobos
lingkaran manusia tersebut.
"Tenang
saja," salah seorang kuli pikul mengingatkan. "Orangnya tampak
tangguh," kata yang lain.
"Pastikan
dulu apa Anda sudah betul-betul siap," nasihat yang lain. Sementara para
pekerja memberikan dorongan dan dukungan bagi Osugi, para penonton merasa
cemas.
"Apa
perempuan tua ini betul-betul mau menantang duel ronin itu?"
"Kelihatannya begitu."
"Tapi
dia sudah begitu tua! Malah pengiringnya juga sudah goyah kakinya! Mestinya ada
alasan kuat, mengapa mereka mencoba menghadapi orang yang begitu jauh lebih
muda."
"Tentulah
sekitar permusuhan keluarga!"
"Lihat
tuh! Dia memarahi lelaki tua itu. Ada memang nenek-nenek tua yang betul-betul
gagah berani."
Seorang kuli
berlari datang membawa segayung air untuk Osugi. Sesudah minum seteguk besar,
Osugi menyerahkan gayung itu kepada Paman Gon dan berkata tegas kepadanya,
"Sekarang jaga jangan sampai kau bingung, sebab tak ada yang perlu
dibingungkan. Takezo itu cuma manusia jerami. Bisa saja dia belajar sedikit
cara memakai pedang, tapi tak mungkin dia belajar banyak. Tenang saja
kamu!"
Untuk
memelopori, ia pun langsung menuju tangga depan Hongando dan duduk di tangga,
tak sampai sepuluh langkah dari Musashi. Tanpa memperhatikan Musashi atau orang
banyak yang memandangnya, ia mengeluarka tasbihnya dan memejamkan mata, lalu
mulai menggerak-gerakkan bibir. Diilhami oleh semangat keagamaannya, Paman Gon
menangkupkan kedua tangannya dan berbuat demikian pula.
Pemandangan
itu ternyata agak terlampau melodramatis, dan salah seorang penonton mulai
tertawa terkekeh. Seketika itu juga salah seorang kuli memutar badan dan
katanya menantang, "Siapa menganggap ini lucu? Ini bukan bahan tertawaan,
orang sinting! Jauh-jauh perempuan tua ini datang dari Mimasaka untuk mencari
manusia sampah yang melarikan istri anaknya. Saban hari selalu dia berdoa di
kuil ini selama hampir dua bulan, dan akhirnya hari ini orang itu muncul."
"Orang-orang
samurai ini lain dengan kita," kata kuli yang lain. "Pada umur
seperti itu, perempuan tua ini mestinya dapat hidup senang di rumah, bermain
dengan cucu-cucunya; tapi tidak, dia malah di sini menggantikan anaknya
menuntut balas atas penghinaan terhadap keluarganya. Melulu karena itu saja
patutlah dia kita hormati."
Orang ketiga
mengatakan, "Kita bukan membantu dia karena dia memberi kita uang. Dia
punya semangat, sungguh! Sudah tua, tapi tidak takut berkelahi. Menurutku, kita
mesti membantunya sedapat-dapatnya. Membantu pihak yang lemah itu benar! Kalau
nanti dia kalah, mari kita hadapi sendiri ronin itu."
"Kau
benar! Tapi mari kita lakukan sekarang saja! Tak dapat kita berdiri saja di
sini dan membiarkan dia terbunuh."
Ketika orang
banyak mengetahui sebab-sebab Osugi berada di situ, kegairahan pun meningkat.
Beberapa penonton mulai mendorong kuli-kuli itu maju.
Osugi
memasukkan tasbih ke dalam kimononya dan keheningan pun mencekam pekarangan
kuil. "Takezo!" seru Osugi keras, sambil meletakkan tangan kirinya ke
pedang pendek di pinggangnya.
Selama itu
Musashi hanya berdiri tak bergerak. Bahkan ketika Osugi memanggil namanya pun
ia berbuat seolah-olah tidak mendengarnya. Tak gentar oleh hal itu, Paman Gon
yang berdiri di samping Osugi memilih saat itu untuk mengambil sikap menyerang,
clan sambil mendongakkan kepala ke depan ia pun meneriakkan tantangan.
Sekali lagi
Musahi tidak menjawab. Ia tak dapat menjawab. Betul-betul tak tahu ia bagaimana
akan menjawab. Ia ingat peringatan Takuan di Himeji bahwa ia kemungkinan akan
bertemu dengan Osugi. Sebetulnya ingin ia mengabaikan saja perempuan itu sama
sekali, tapi ia sangat tersinggung oleh pembicaraan para kuli yang tersebar di
tengah orang banyak itu. Lagi pula, sukarlah baginya mengekang kekesalan
terhadap rasa benci yang disimpan keluarga Hon'iden terhadapnya selama ini.
Seluruh perkara itu tidak lebih dari soal kecil Miyamoto, suatu salah paham
yang dapat dengan mudah dijelaskan, jika saja Matahachi ada.
Namun
demikian, ia sungguh bingung mengenai apa yang hendak diperbuat di sini,
sekarang ini. Bagaimana kita mesti menjawab tantangan seorang perempuan tua
yang sudah reyot dan seorang samurai yang sudah kisut wajahnya? Musashi tetap
diam memandang, pikirannya serba ragu.
"Lihat
bajingan itu! Dia takut!" seorang kuli berseru.
"Bersikaplah
jantan! Beri kesempatan perempuan ini membunuhmu!" cemooh yang lain.
Tak satu
orang pun tidak berada di pihak Osugi.
Perempuan itu
mengedipkan mata dan menggelengkan kepala, kemudian memandang para pemikul dan
mendecap merah. "Diam kalian! Kalian cuma saksi. Kalau kami berdua nanti
terbunuh, kalian yang mengirim mayat kami kembali ke Miyamoto. Di luar itu aku
tak butuh omongan kalian, juga bantuan kalian!" Sambil menarik pedang
pendeknya setengah jalan dari sarungnya, ia pun bergerak beberapa langkah
mendekati Musashi.
"Takezo!"
katanya lagi. "Takezo itu selamanya namamu di kampung, jadi kenapa kamu
tidak menjawab? Kudengar kau sudah mengambil nama baru yang bagus-Miyamoto
Musashi, betul? Tapi bagiku tetap saja kamu Takezo! Ha, ha, ha!" Leher
keriput itu menggetar selagi ia tertawa. Agaknya ia mau membunuh Musashi dengan
kata-kata, sebelum pedang dihunus.
"Apa
kaukira dapat mencegahku mencari jejakmu, hanya karena kau mengubah nama? Bodoh
sekali! Dewa-dewa di langit sudah memimpinku menemukanmu, dan aku tahu
dewa-dewa pasti berbuat begitu. Ayo sekarang berkelahi! Akan kita lihat, apa
kubawa kepalamu pulang, atau kau berhasil lagi tetap hidup!"
Dengan
suaranya yang sudah layu, Paman Gon pun mengeluarkan tantangannya sendiri,
"Sudah empat tahun kau selalu meloloskan diri, dan kami selalu mencarimu
selama ini. Sekarang doa kami di Kiyomizudera sudah memasukkanmu dalam
genggaman kami. Memang aku sudah tua, tapi tak bakal aku kalah dengan orang
macam kamu! Siap-siap saja kau mati!" Sambil menarik pedangnya ia pun
berteriak kepada Osugi, "Minggir kau!"
Osugi menoleh
kepadanya dengan marah, "Apa maksudmu, orang sinting tua? Kau sendiri yang
menggigil!"
"Tidak
apa! Bodisatwa kuil ini akan melindungi kita!"
"Betul,
Paman Gon. Dan nenek moyang orang Hon'iden juga beserta kita! Tak ada yang
perlu ditakutkan."
"Takezo!
Maju dan ayo berkelahi!"
"Apa
yang kau tunggu?"
Musashi tidak
beranjak. Ia berdiri saja seperti orang bisu-tuli, memandang dua orang tua itu
dan pedang mereka yang sudah terhunus.
Osugi
berteriak, "Ada apa, Takezo! Kau takut?"
Ia pun maju
dengan badan dimiringkan dan siap menyerang, tapi tiba-tiba ia terantuk batu
dan jatuh ke depan, mendarat tengkurap hampir di kaki Musashi.
Orang banyak
terkesiap, dan seseorang menjerit, "Bisa terbunuh dia!" "Cepat
selamatkan dia!"
Tetapi Paman
Gon hanya menatap muka Musashi, terlalu takjub, hingga tak dapat bergerak.
Kemudian
perempuan tua itu mengejutkan semua orang, karena ia mencekal lagi pedangnya
dan berjalan kembali ke sisi Paman Gon, lalu kembali mengambil sikap menantang.
"Kenapa kamu, orang udik?" teriak Osugi. "Apa pedang di tanganmu
itu cuma hiasan? Apa tak tahu kamu menggunakannya?"
Wajah Musashi
seperti topeng, tapi akhirnya ia pun berkata dengan suara mengguntur, "Aku
tak dapat melakukannya."
Mulailah ia
berjalan ke arah mereka, dan Paman Gon dan Osugi pun seketika undur ke sisi
masing-masing.
"Ke-ke
mana kamu pergi, Takezo?"
"Tak
bisa aku menggunakan pedangku."
"Berhenti!
Kenapa tidak berhenti dan berkelahi?"
"Sudah
kukatakan! Tak bisa aku!"
Ia berjalan
terus ke depan, tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan. Ia langsung melintasi
orang banyak, tanpa sekali pun membelok.
Begitu
tersadar kembali, Osugi pun berteriak, "Dia lari! Jangan biarkan dia
lolos!"
Orang banyak
pun sekarang bergerak mengepung Musashi, tapi ketika mereka kira telah
mengimpitnya, ternyata ia tidak lagi di sana. Bukan main bingungnya mereka.
Mata mereka menyala keheranan, tapi kemudian jadi tertegun.
Mereka pun
memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dan terus juga hilir-mudik sampai
matahari tenggelam, mencari dengan kalutnya di bawah lantai-lantai bangunan
kuil dan di tengah hutan untuk menemukan mangsa mereka yang telah lenyap itu.
Kemudian,
ketika orang pulang lewat lereng bukit-bukit Sannen dan Chawan yang gelap,
seseorang bersumpah telah melihat Musashi melompat, ringan bagai kucing ke atas
dinding setinggi hampir dua meter di gerbang barat dan menghilang.
Tak seorang
pun percaya, terutama Osugi dan Paman Gon.
Peri Air
DI sebuah
dusun sebelah barat laut Kyoto, dentam-dentam berat alu penumbuk padi
menggetarkan bumi. Hujan salah musim menembus atap lalang. Tempat itu semacam
tanah tak bertuan yang terletak antara kota dan daerah pertanian. Kemiskinannya
demikian sarat, hingga waktu senja asap api dapur hanya mengepul dari beberapa
rumah saja.
Sebuah topi
anyaman tergantung di bawah tepian atap sebuah rumah kecil. Rumah itu bertuliskan
huruf-huruf tebal dan kasar, menyatakan rumah itu sebuah penginapan, walau dari
jenis yang termurah. Musafir yang berhenti di situ hanya orang-orang melarat
yang cuma menyewa lantai. Untuk sewa kasur jerami, mereka harus bayar lagi.
Hanya sedikit yang dapat membeli kemewahan itu.
Di dapur yang
kotor lantainya, di samping pintu masuk, seorang anak lelaki melongok dengan
tangan bertumpu pada tatami kamar sebelah yang lebih tinggi letaknya. Di tengah
kamar itu terdapat perapian yang hampir man.
"Halo!...
Selamat malam!... Ada orang di sini?" Ia anak suruhan toko minuman, sebuah
tempat kotor lain di jalan itu.
Melihat
orangnya, suara anak itu terlalu keras kedengarannya. Umurnya. tak lebih dari
sepuluh atau sebelas tahun. Rambutnya yang basah oleh hujan dan menjurai
menutupi telinga membuat ia tampak tak lebih besar dari peri air dalam lukisan
khayal. Pakaiannya pun sesuai untuk peran itu: kimono yang hanya sampai paha
dengan lengan berbentuk tabung, dan seutas tali besar pengganti obi. Lumpur
yang memercik tidak mengotori punggung ketika ia berlari dengan bakiaknya.
"Kamu
itu, Jo?" seru pak tua pemilik penginapan dari kamar belakang.
"Ya.
Bapak mau menyuruh saya ambil sake?"
"Tidak
hari ini. Tamuku belum kembali. Aku belum butuh."
"Kalau
dia kembali, tentunya dia perlu sake. Akan saya bawakan nanti, sejumlah
biasanya."
"Kalau
dia kembali, nanti aku ambil sendiri."
Enggan pergi
tanpa membawa pesanan, anak itu pun bertanya, "Apa yang Bapak
kerjakan?"
"Aku
lagi nulis surat; akan kukirimkan lewat kuda beban ke Kurama besok. Tapi ini
sedikit sukar. Dan punggungku pun sakit. Diamlah, jangan ganggu aku."
"Oh,
lucu juga. Bapak sudah begitu tua, sampai sudah mulai bungkuk, tapi masih belum
bisa menulis!"
"Cukup!
Kalau sampai kudengar kamu lancang lagi, kuambilkan pentung kayu api."
"Mau
saya tuliskan?"
"Sok
bisa kamu!"
"Bisa,"
ucap anak itu sambil masuk kamar. la memandang surat itu dari atas bahu orang
tua itu, dan pecahlah tawanya. "Bapak mau nulis 'kentang', ya? Huruf yang
Bapak tulis itu artinya 'tongkat'."
"Diam!"
"Saya
akan diam, kalau Bapak suruh. Tapi tulisan Bapak itu salah. Bapak mau mengirim
kentang atau tongkat kepada teman-teman Bapak?"
"Kentang."
Anak itu pun
membaca sedikit lebih lama, kemudian katanya, "Ah, ini kurang baik. Tak
ada yang dapat menduga maksud surat ini, kecuali Bapak sendiri."
"Nah,
kalau kamu memang pintar, coba kamu yang tulis."
"Baik.
Sekarang katakan apa yang mau Bapak tuliskan." Jotaro duduk dan mengambil
kuas.
"Keledai
kikuk kamu!" ucap orang tua itu.
"Kenapa
Bapak sebut saya kikuk? Bapak sendiri yang tak bisa menulis!"
"Hidungmu
menetesi kertas."
"Oh,
maaf. Tapi Bapak boleh berikan ini pada saya untuk bayarannya." Ia
membuang ingusnya dengan kertas yang sudah kotor itu. "Sekarang, apa yang
mau Bapak katakan?" Dengan pegangan kuas yang mantap, anak itu menulis
dengan lancarnya apa-apa yang didiktekan orang tua itu.
Baru saja
surat itu selesai ditulis, tamu pulang, dan begitu saja melemparkan karung
arang yang baru diambilnya di suatu tempat dan tadi dibawa di atas kepalanya.
Musashi
berhenti di pintu dan memeras air dari lengan bajunya, dan gerutunya,
"Kukira inilah akhir musim bunga prem." Lebih dari dua puluh hari
Musashi berada di situ. Penginapan itu telah terasa seperti rumahnya. Ia
memandang ke luar, ke arah pohon di dekat gerbang depan. Bunga-bunga mesh muda
menyambutnya tiap pagi semenjak ia datang. Daun bunga jatuh berserakan di
lumpur.
Ketika masuk
dapur, ia heran melihat anak toko sake itu duduk akrab dengan pemilik
penginapan. Karena ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan, diam-diam ia
berdiri di belakang orang tua itu dan mengintip dari atas bahunya.
Jotaro
menengadah ke wajah Musashi, kemudian buru-buru menyembunyikan kuas dan kertas
di belakangnya. "Tidak boleh memata-matai orang macam itu," keluhnya.
"Lihat,
dong," kata Musashi mengganggu.
"Jangan,"
kata Jotaro menggeleng.
"Ayolah
tunjukkan," kata Musashi.
"Asal
Kakak mau beli sake."
"Oh,
jadi itu yang kamu mainkan, ya? Baik, aku beli."
"Lima
gelas?'
"Tidak
sebanyak itu yang kubutuhkan."
"Tiga
gelas?"
"Masih
kebanyakan."
"Kalau
begitu, berapa? Jangan kikir, ah!"
"Kikir?
Kau tahu, aku cuma pemain pedang miskin. Kaukira aku banyak uang buat
dihamburkan?"
"Balk.
Saya yang menakarnya sendiri nanti. Saya beri seharga uangmu. Tapi janji, Kakak
mesti mendongengkan beberapa cerita."
Tawar-menawar
berakhir. Jotaro berkecipak dengan riangnya menempuh hujan.
Musashi
memungut surat itu dan membacanya. Sesaat-dua saat kemudian ia menoleh kepada
pemilik penginapan, dan tanyanya, "Betul-betul dia yang menulis ini?"
"Ya.
Mengagumkan, ya? Kelihatannya pintar sekali anak itu."
Sementara
Musashi pergi ke sumur, mandi air dingin dan mengenakan pakaian kering, orang
itu menggantungkan kuali di atas api dan mengeluarkan acar serta mangkuk nasi.
Musashi kembali dan duduk dekat perapian.
"Apa
pula kerja bajingan kecil itu?" gerutu pemilik penginapan. "Lama
sekali dia ambil sake."
"Berapa
umur anak itu?"
"Sebelas,
kalau tak salah. Pernah dikatakannya."
"Terlalu
dewasa untuk anak seusianya, bukan?"
"Mm.
Mungkin karena dia bekerja di toko sake ini sejak umur tujuh tahun. Di situ dia
bertemu dengan segala macam orang-kusir kereta, pembuat kertas di ujung jalan
sana, para musafir, dan siapa saja."
"Saya
heran, bagaimana dia bisa menulis begitu baik."
"Apa
memang baik betul?"
"Ya,
tulisannya memang ada sifat kekanakannya, tapi ada juga-apa, ya,
namanya-semacam sifat terus terang yang menggugah. Sekiranya saya sedang
memikirkan seorang pemain pedang, bisa saya katakan tulisan itu memperlihatkan
keluasan spiritual. Anak itu nantinya bisa jadi orang."
"Maksud
Anda?"
"Maksud
saya, menjadi manusia sejati."
"Oh?"
Orang tua itu pun mengerutkan kening, mengangkat tutup kuali, dan meneruskan
gerutuannya. "Belum juga kembali. Saya berani bertaruh, dia lagi ngeluyur
sekarang."
Baru saja ia
hendak mengenakan sandal untuk pergi mengambil sake itu sendiri, Jotaro
kembali.
"Ke mana
saja kamu?" tanyanya pada anak itu. "Kau bikin tamuku ini lama
menunggu."
"Saya tak
bisa apa-apa. Ada pembeli datang ke toko, mabuk sekali. Saya dipegangnya
erat-erat, dan ditanyai macam-macam."
"Pertanyaan
apa?"
"Dia
tanya tentang Miyamoto Musashi."
"Dan
kamu mengoceh, kan?"
"Tak ada
salahnya, kalaupun saya ngoceh. Semua orang di sini tahu apa yang terjadi di
Kiyomizudera hari itu. Perempuan sebelah rumah dan anak tukang pernis, keduanya
ada di kuil hari itu. Mereka lihat sendiri kejadiannya."
"Tak
usah lagi kamu bicara itu!" kata Musashi, hampir-hampir dengan nada
memohon.
Anak yang
bermata tajam itu menaksir sikap Musashi, dan tanyanya,
"Boleh
saya tinggal di sini sebentar dan bicara dengan Kakak?"
Dan mulailah
ia membasuh kaki dan bersiap-siap masuk kamar perapian. "Aku sih boleh
saja, kalau majikanmu tidak keberatan."
"Oh, dia
tidak butuh saya sekarang."
"Baiklah."
"Akan
saya panaskan sake Kakak. Saya mahir sekali soal itu." Ia memasukkan guci
sake ke dalam abu hangat di sekitar api, dan tak lama kemudian ia pun menyatakan
sudah siap.
"Cepat,
ya?" kata Musashi dengan nada menghargai.
"Kakak
senang sake?"
"Ya."
"Tapi
karena miskin, saya kira Kakak tak banyak minum, ya?"
"Betul."
"Tadinya
saya mengira orang yang pintar dalam seni bela diri dapat mengabdi tuan-tuan
besar dengan gaji besar. Seorang pengunjung toko pernah bilang pada saya,
Tsukahara Bokuden selalu berkeliling dengan tujuh puluh atau delapan puluh
pesuruh, dan mendapat penggantian kuda dan burung elang juga."
"Itu
betul."
"Dan
saya mendengar prajurit kenamaan, bernama Yagyu, yang mengabdi Keluarga
Tokugawa, mempunyai pendapatan lima puluh ribu gantang padi."
"Itu
betul juga."
"Kalau
begitu, kenapa Kakak begitu miskin?"
"Aku
masih belajar."
"Mesti
umur berapa dulu, sebelum Kakak punya banyak pengikut?"
"Tak
tahu aku, apa akan punya pengikut."
"Kenapa?
Apa Kakak kurang pandai?"
"Kamu
sudah dengar apa yang dikatakan orang yang melihatku di kuil. Bagaimana juga
kamu menilainya, aku lari waktu itu."
"Itulah
yang dikatakan semua orang; kata mereka, shugyosha di penginapan itu—yaitu
Kakak—orang lemah. Tapi sungguh jengkel saya mendengarkan mereka itu."
Bibir Jotaro mengatup menjadi garis lurus.
"Ha, ha!
Kenapa pula kamu risau? Mereka tidak bicara tentang dirimu."
"Yah,
tapi saya kasihan pada Kakak. Kakak tahu, anak pembuat kertas, anak tukang
kaleng, dan beberapa pemuda itu kadang-kadang berkumpul di belakang toko pernis
buat latihan main pedang. Kenapa Kakak tidak berkelahi dengan salah seorang
dari mereka dan mengalahkannya?"
"Baiklah.
Kalau itu yang kaukehendaki, akan kulakukan." Musashi merasa sukar menolak
apa saja yang diminta anak itu. Sebagian karena ia sendiri dalam banyak hal
masih kanak-kanak dalam hatinya, dan karena itu bersimpati kepada Jotaro.
Selamanya ia mencari, sebagian besar secara tak sadar, pengganti kasih sayang
keluarga yang semenjak kanak-kanak tak pernah dimilikinya.
"Mari
kita bicara soal lain saja," katanya. "Di mana kamu lahir?"
"Di
Himeji."
"Oh,
jadi kamu dari Harima."
"Ya, dan
Kakak dari Mimasaka, ya? Ada orang mengatakan demikian."
"Betul.
Apa kerja ayahmu?"
"Dia
dulu samurai. Samurai yang betul-betul setia pada kebaikan!"
Semula
Musashi tampak kaget, tapi baginya jawaban itu telah membikin jelas beberapa
persoalan, walaupun sama sekali bukan soal betapa baiknya anak itu menulis. Ia
menanyakan nama ayah anak itu.
"Namanya
Aoki Tanzaemon. Dulu dia punya gaji dua ribu lima ratus gantang padi, tapi
ketika saya umur tujuh tahun, dia tinggalkan kerjanya dan pergi ke Kyoto
sebagai ronin. Sesudah semua uangnya habis, dia tinggalkan saya di toko sake
itu dan pergi ke kuil untuk menjadi biarawan. Tapi saya tak man tinggal di toko
itu. Saya ingin menjadi samurai seperti ayah saya, dan saya ingin belajar main
pedang seperti Kakak. Apa bukan jalan terbaik menjadi samurai?"
Anak itu
berhenti, kemudian melanjutkan dengan sungguh-sungguh. "Saya ingin menjadi
pengikut Kakak—keliling negeri, belajar dengan Kakak. Apa Kakak tak mau
mengajak saya jadi murid?"
Selesai
mengungkapkan maksudnya itu, Jotaro pun memperlihatkan wajah yang jelas-jelas
mencerminkan tekadnya untuk tidak mendapat jawaban tidak. Tentu saja ia tidak
tahu bahwa orang tempatnya memohon itu adalah orang yang telah menjadi sebab
ayahnya mendapat kesulitan bertubi-tubi. Adapun Musashi, ia tak dapat menolak
permintaan itu mentah-mentah. Namun yang benar-benar dipikirkannya bukan soal
mengatakan ya atau tidak, melainkan tentang Aoki Tanzaemon dan nasibnya yang
tidak beruntung. Dalam hal ini tak bisa tidak ia bersimpati pada orang itu.
Jalan Samurai memang perjudian tanpa henti, dan seorang samurai harus siap
sepanjang waktu untuk membunuh atau dibunuh. Memikirkan contoh perubahan hidup
ini, Musashi menjadi sedih dan efek sake yang diminumnya lenyap secara
tiba-tiba. Ia merasa kesepian.
Jotaro
mendesak terus. Ketika pemilik penginapan mencoba menyuruhnya meninggalkan
Musashi, ia menjawab secara kurang ajar, lalu melipatgandakan usahanya.
Dipegangnya pergelangan tangan Musashi erat-erat, kemudian dipeluknya, dan
akhirnya ia berurai air mata.
Karena tak
melihat jalan lain, Musashi pun berkata, "Baiklah, baiklah, cukup. Kau
boleh menjadi pengikutku, asal kau pergi dan bicara dulu dengan
majikanmu."
Karena
akhirnya terpenuhi keinginannya, Jotaro lari menderap ke toko sake.
Pagi
berikutnya Musashi bangun pagi-pagi, berpakaian, dan berkata kepada pemilik
penginapan, "Tolong siapkan kotak makan siang untuk saya. Saya senang
tinggal di sini beberapa minggu ini, tapi saya pikir saya harus terus pergi ke
Nara sekarang."
"Begitu
cepat?" tanya pemilik penginapan yang tidak mengharapkan tamunya pergi
begitu mendadak. "Apa karena anak itu terus mendesak Anda?"
"Oh,
tidak, bukan salah dia. Saya memang sudah lama bermaksud pergi ke Nara-bertemu
dengan pemain-pemain tombak terkenal di Hozoin. Saya harap dia tidak terlalu
menyulitkan Bapak, kalau dia tahu saya sudah pergi."
"Jangan kuatir.
Dia masih anak-anak. Dia akan menjerit dan memekik sebentar, kemudian akan
melupakannya sama sekali."
"Dan
lagi, tak mungkin rasanya tukang sake itu akan mengizinkannya pergi," kata
Musashi ketika sudah turun ke jalan.
Badai sudah
lewat, seakan-akan tersapu bersih, dan angin sepoi-sepoi mengelus kulit Musashi
dengan lembut, berlainan sekali dengan angin ganas sehari sebelumnya.
Sungai Kamo
naik, airnya berlumpur. Di salah satu ujung jembatan kayu di Jalan Sanjo,
samurai memeriksa orang-orang yang datang dan pergi. Ketika Musashi bertanya
kenapa ada inspeksi itu, ia mendapat jawaban, karena akan datang kunjungan
shogun baru. Barisan depan kaum feodal berpengaruh dan juga feodal-feodal kecil
sudah datang. Langkah-langkah sedang diambil untuk menyingkirkan samurai tak
bertuan dan berbahaya ke luar kota. Musashi juga seorang ronin, tapi ia sudah
menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dan ia dibolehkan
lewat.
Pengalaman
memaksanya memikirkan statusnya sendiri sebagai prajurit tak bertuan yang
mengembara, tak terikat ikrar kepada Tokugawa ataupun para saingannya di Osaka.
Ketika berangkat ke Sekigahara dan berpihak pada pasukan Osaka melawan kaum
Tokugawa, itu soal warisan. Soalnya adalah kesetiaan ayahnya yang tidak pernah
berubah semenjak ia mengabdi pada Yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Toyotomi
Hideyoshi sudah meninggal dua tahun sebelum pertempuran. Para pendukungnya,
yang setia kepada anaknya, membentuk fraksi Osaka. Di Miyamoto, Hideyoshi
dianggap pahlawan terbesar. Musashi ingat betapa dahulu ia duduk di dekat
perapian, mendengarkan cerita-cerita tentang kegagahan prajurit besar itu
semasa ia kanak-kanak. Gambaran ini semakin terbentuk di masa remajanya dan
terus merasuk dalam dirinya. Sekarang pun, apabila didesak untuk mengatakan
pihak mana yang dipilihnya, barangkali ia akan mengatakan Osaka.
Sejak itu
Musashi mulai paham, dan sekarang ia menyadari bahwa tindakan-tindakannya pada
umur tujuh belas itu kurang pertimbangan dan tanpa hasil. Untuk orang yang
hendak mengabdi kepada tuannya dengan setia, tidaklah cukup hanya dengan
melompat membabi-buta ke tengah keributan dan mengacungkan lembing. Ia harus
melewati jalan panjang menuju maut.
"Kalau
seorang samurai mati sambil mengucapkan doa bagi kemenangan tuannya, berarti
dia telah melakukan sesuatu yang indah dan bermakna," demikian jalan
pikiran Musashi sekarang. Tetapi pada waktu itu ia maupun Matahachi tidak
memiliki rasa setia. Yang mereka hausi hanyalah kemasyhuran dan kemuliaan, atau
lebih tepat lagi, usaha memperoleh penghidupan tanpa pengorbanan.
Sungguh
ganjil dulu mereka dapat berpikir seperti itu. Sesudah belajar dari Takuan
bahwa hidup adalah permata yang harus ditimang-timang, Musashi sadar bahwa
waktu itu mereka tidak hanya menyia-nyiakan, bahkan juga tanpa pikir panjang
mengorbankan milik mereka yang paling berharga. Secara harafiah mereka
mempertaruhkan segala yang dipunyai, dengan harapan akan memperoleh gaji tetap
yang tak berarti sebagai samurai. Merenungkan masa lalu itu ia heran, bagaimana
mungkin ia bertindak demikian tolol.
Musashi
melihat bahwa kini ia sudah mendekati Daigo, bagian selatan kota. Karena
keringatnya mengucur, ia memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.
Dari jauh
didengarnya suara berseru-seru, "Tunggu! Tunggu!" Ketika menatap
jalan gunung yang curam itu, tampaklah olehnya sosok si peri air kecil Jotaro,
yang sedang berlari sekuat-kuatnya. Pandangan mata anak itu menghunjam marah ke
mata Musashi.
"Kakak
bohong!" seru Jotaro. "Kenapa Kakak lakukan itu!" Napasnya
megap-megap karena berlari dan wajahnya merah. Ia berbicara dengan sikap
bermusuhan, meski kelihatan hampir menangis.
Musashi
hampir tertawa melihat pakaiannya. Anak itu membuang pakaian kerja sehari
sebelumnya, dan menggantinya dengan kimono biasa. Tapi kimono itu dua kali
lebih kecil dari badannya, hingga roknya hampir tak sampai lututnya dan
lengannya hanya sampai siku. Pada pinggangnya tergantung pedang kayu yang lebih
panjang dari tinggi badannya, dan di punggungnya tergantung topi anyaman
sebesar payung.
Selagi masih
berseru-seru kepada Musashi karena sudah meninggalkannya, ia berurai air mata.
Maka Musashi mendekapnya dan berusaha menyenangkan hatinya, tapi anak itu terus
juga rnelolong. Agaknya karena merasa bahwa di pegunungan tak ada orang, ia dapat
melepaskan perasaannya.
Akhirnya
Musashi berkata, "Kau senang berlaku seperti bayi cengeng?"
"Saya
tak peduli!" sedan Jotaro. "Kakak orang dewasa, tapi Kakak membohongi
saya. Kakak bilang mau menerima saya jadi pengikut, tapi Kakak meninggalkan
saya. Apa orang dewasa memang suka begitu?"
"Maafkan
aku," kata Musashi.
Permintaan
maaf yang sederhana ini mengubah tangis anak itu menjadi rengekan.
"Diam
sekarang," kata Musashi. "Aku tidak bermaksud berbohong padamu, tapi
kamu kan masih ada ayah, dan kamu punya majikan? Aku tak bisa membawamu,
kecuali kalau majikanmu menyetujui. Kuminta kamu pergi bicara dengannya, bukan?
Kurasa waktu itu dia tak akan setuju."
"Kenapa
Kakak tidak tunggu sampai mendapat jawabannya, paling tidak?"
"Itu
sebabnya aku minta maaf padamu sekarang. Apa betul kamu membicarakannya dengan
dia?"
"Ya."
Jotaro mengendalikan sedu-sedannya, kemudian ia tarik dua lembar daun dari
sebuah pohon. Dengan daun itu ia membuang ingusnya.
"Dan apa
katanya?"
"Dia
bilang saya boleh pergi."
"Lalu?"
"Dia
bilang, tak ada prajurit terhormat atau perguruan yang mau menerima anak
seperti saya. Tapi karena samurai di penginapan itu orang lemah, tentunya dia
orang yang tepat untuk saya. Katanya, barangkali saja Kakak dapat memakai saya
untuk membawakan barang, dan dia memberi saya pedang kayu ini sebagai hadiah
perpisahan."
Musashi
tersenyum mendengar jalan pikiran orang itu.
"Sudah
itu," kata anak itu melanjutkan, "saya pergi ke penginapan. Orang tua
itu tak ada, jadi saya pinjam saja topinya dari sangkutannya di bawah pinggiran
atap."
"Tapi
itu kan papan nama tempat itu? Di situ tertulis 'Penginapan'."
"Ah,
biar saja. Saya butuh topi, siapa tahu hujan."
Jelaslah dari
sikap Jotaro bahwa segala janji dan sumpah yang diperlukan telah dilaksanakan.
Sekarang ia menjadi murid Musashi. Merasakan hal ini, Musashi terpaksa menerima
kenyataan bahwa ia kurang-lebih sudah terikat pada anak itu. Tapi terpikir juga
olehnya bahwa ini semua demi kebaikan. Memang, ketika ia merenungkan peranannya
sendiri dalam peristiwa hilangnya status Tanzaemon, ia menyimpulkan bahwa
barangkali ia mesti berterima kasih atas kesempatan yang diperolehnya untuk
membentuk masa depan anak ini. Itulah agaknya yang harus dilakukannya.
Sesudah
tenang dan tenteram, Jotaro tiba-tiba ingat akan sesuatu dan merogoh kimononya.
"Saya hampir lupa. Ada sesuatu untuk Kakak. Ini dia." ia mengeluarkan
sepucuk surat.
Memandang
surat itu dengan rasa ingin tahu, Musashi bertanya, "Di mana kamu
mendapatkannya?"'
"Kakak
ingat, tadi malam saya bilang ada seorang ronin minum di toko, dan mengajukan
banyak pertanyaan."
"Ya."
"Waktu
saya pulang, dia masih ada di sana. Dia terus juga bertanya tentang Kakak. Dia
tukang minum juga-satu botol penuh sake diminumnya sendiri! Kemudian dia
menulis surat ini dan minta saya memberikannya pada Kakak."
Musashi
menelengkan kepala keheranan, lalu membuka meterai surat tersebut. Mula-mula ia
melihat bagian bawahnya, dan tahulah ia bahwa surat itu dari Matahachi yang
memang dalam keadaan mabuk. Huruf-hurufnya pun tampak agak mabuk. Membaca
gulungan itu, Musashi tercengkeram nostalgia dan kesedihan menjadi satu. Tidak
saja karena tulisan itu kalut, tapi juga karena pesan yang disampaikannya pun
melantur dan tidak pasti.
Sejak
meninggalkanmu di Gunung Ibuki, aku tak lupa desa kita. Dan tak lupa aku pada
teman lamaku. Kebetulan kudengar namamu di Perguruan Yoshioka. Waktu itu aku
bingung dan tak bisa memutuskan, apa aku harus menjumpaimu. Sekarang aku di
toko sake. Aku banyak minum.
Sampai di
situ maknanya cukup jelas, tapi mulai dari situ surat itu sukar diikuti
maksudnya.
Semenjak
berpisah denganmu, aku terkurung dalam sangkar nafsu, dan kemalasan memakan
tulangku. Lima tahun lamanya aku menghabiskan waktu dalam keadaan setengah
sadar, tanpa melakukan sesuatu. Di ibu kota, kau sekarang terkenal sebagai
pemain pedang. Aku minum untukmu! Beberapa orang mengatakan Musashi pengecut,
bisanya cuma lari. Beberapa lagi bilang kau pemain pedang yang tak ada
tandingannya. Tak peduli aku mana yang benar. Aku cuma senang bahwa pedangmu
sudah bikin orang ibu kota bicara tentangmu. Kau cakap. Kau mesti bisa menempuh
jalanmu lewat pedang. Tapi kalau aku menoleh ke belakang, aku heran dengan
diriku, seperti sekarang ini. Aku memang orang sinting! Bagaimana mungkin orang
sial macam aku ini bertemu dengan teman bijaksana seperti kamu tanpa mati
karena malu?
Tapi nanti
dulu! Hidup ini panjang, dan terlalu dini sekarang untuk dikatakan apa yang
akan terjadi di masa depan. Aku tak ingin bertemu denganmu sekarang, tapi akan
tiba waktunya, aku mau bertemu.
Aku berdoa
untuk kesehatanmu.
Kemudian
menyusul tambahan yang ditulis cepat bagai cakar ayam, yang isinya
panjang-lebar, memberitakan kepadanya bahwa Perguruan Yoshioka memandang sangat
serius kejadian yang baru lalu itu, dan bahwa mereka sedang mencarinya ke
mana-mana; karena itu ia mesti hati-hati dengan tindakannya. Tambahan itu
berakhir dengan: Kau tak boleh mati sekarang, karena kau baru mulai menciptakan
nama. Kalau nanti aku pun sudah melakukan sesuatu untuk diriku, ingin aku
bertemu denganmu dan bicara tentang masa lalu. Jagalah dirimu, tetaplah hidup,
supaya kau bisa mengilhami diriku.
Tidak sangsi
lagi Matahachi punya maksud baik, tapi ada sesuatu yang tak beres dengan sikapnya.
Kenapa ia mesti menyanjung Musashi sedemikian rupa dan berikutnya bicara
sedemikian rupa tentang kegagalan-kegagalan sendiri? "Yah," Musashi
heran, "apa tak bisa dia sekadar menulis bahwa sudah lama waktu berlalu,
dan kenapa kita tidak bertemu dan ngobrol sepuasnya?"
"Jo, apa
kau menanyakan alamat orang ini?"
"Tidak."
"Apa dia
sering datang ke sana?"
"Tidak,
ini yang pertama kali."
Terpikir oleh
Musashi bahwa kalau ia tahu di mana Matahachi tinggal, pasti ia akan kembali ke
Kyoto sekarang juga untuk bertemu dengannya. Ingin ia bicara dengan kawan masa
kecilnya itu, mencoba menyadarkannya, membangkitkan kembali semangat yang
pernah dimilikinya. Karena ia masih menganggap Matahachi sebagai temannya,
ingin ia menariknya keluar dari suasana hatinya yang sekarang, yang jelas
cenderung menghancurkan diri sendiri. Tentu saja ia juga ingin Matahachi
menjelaskan kepada ibunya betapa salah perbuatan ibunya itu.
Kedua orang
itu berjalan terus dalam diam. Mereka menuruni Gunung Daigo. Persimpangan
Rokujizo sudah tampak di bawah mereka.
Mendadak
Musashi menoleh kepada anak itu, clan katanya, "Jo, aku mau minta
tolong."
"Apa?"
"Menyampaikan
pesanku."
"Ke
mana?"
"Kyoto."
"Itu
berarti balik kanan dan kembali ke tempat yang baru saja saya tinggalkan."
"Betul.
Aku ingin kamu menyampaikan suratku kepada Perguruan Yoshioka di Jalan
Shijo."
Dengan kecewa
Jotaro menendang batu dengan jari kakinya.
"Tak
mau, ya?" tanya Musashi sambil menatap anak itu.
Jotaro
menggelengkan kepala tak menentu. "Saya tidak keberatan, tapi apa Kakak
menyuruh saya ini buat menyingkirkan saya?"
Kecurigaan
anak itu membuat Musashi merasa bersalah, karena bukankah ia sendiri yang telah
menghilangkan kepercayaan itu pada orang dewasa?
"Tidak!"
katanya tegas. "Seorang samurai tidak berbohong. Maafkan aku atas kejadian
pagi tadi. Itu cuma kesalahan."
"Baik,
saya pergi."
Mereka masuk
warung teh di persimpangan yang dikenal dengan nama Rokuamida, memesan teh, dan
makan siang. Kemudian Musashi menulis surat yang dialamatkan kepada Yoshioka
Seijuro:
Saya mendapat
kabar bahwa Anda dan murid-murid Anda sedang mencari saya. Sekarang saya berada
di jalan raya Yamato, karena saya bermaksud mengadakan perjalanan keliling di
kawasan Iga dan Ise sekitar setahun lamanya untuk melanjutkan pelajaran saya
dalam ilmu pedang. Saya tak ingin mengubah rencana waktu ini, tapi karena saya
sama kecewanya dengan Anda berhubung tidak dapat bertemu dengan Anda selama
kunjungan saya ke perguruan Anda, maka ingin saya memberitahukan bahwa saya
pasti akan kembali ke ibu kota pada bulan pertama atau kedua tahun depan. Dari
sekarang sampai waktu itu saya berharap akan dapat memperbaiki teknik saya
sebaik-baiknya. Saya percaya Anda sendiri tak akan mengabaikan latihan Anda.
Akan merupakan aib besar jika Perguruan Yoshioka Kempo yang sedang mekar itu
harus menderita kekalahan kedua seperti kekalahan di waktu lalu. Sebagai
penutup, saya sampaikan harapan penuh hormat agar Anda selalu dalam keadaan
sehat walafiat.
Shimmen
Miyamoto Musashi Masana.
Surat itu
memang sopan, namun jelas nampak keyakinan Musashi pada diri sendiri. Sesudah
mengubah alamat surat itu agar tidak hanya mencakup Seijuro saja, melainkan
juga semua murid di sekolah itu, ia letakkan kuasnya dan ia serahkan surat itu
kepada Jotaro.
"Apa
bisa saya masukkan saja surat ini di perguruan itu, lalu pergi?" tanya
anak itu.
"Tidak.
Kamu mesti menyapa dulu di pintu depan, lalu menyerahkan surat itu langsung
kepada pembantu di sana."
"Baik."
"Ada hal
lain lagi yang harus kamu lakukan, tapi barangkali agak sukar."
"Apa?"
"Apakah
kamu dapat menemukan orang yang memberikan surat padamu itu? Namanya Hon'iden
Matahachi. Dia teman lamaku."
"Oh, itu
sama sekali tidak sukar."
"Betul?
Bagaimana caramu?"
"Ah,
saya tanyakan saja di semua toko minuman."
Musashi
tertawa. "Boleh juga pikiranmu itu. Tapi menurut surat Matahachi itu, dia
kenal orang di Perguruan Yoshioka. Kupikir lebih cepat kalau tanya tentang dia
di sana."
"Apa
yang harus saya lakukan kalau sudah menemukan dia?"
"Aku
ingin kamu menyampaikan pesan. Katakan padanya, dari hari pertama sampai hari
ketujuh tahun baru nanti, tiap pagi aku akan ke jembatan besar di Jalan Gojo
menantikan dia. Suruh dia datang menemuiku pada salah satu hari itu."
"Cuma
itu?"
"Ya,
tapi sampaikan juga kepadanya bahwa aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Baik,
saya mengerti. Lalu Kakak ada di mana, kalau saya kembali nanti?"
"Kuterangkan sekarang. Kalau nanti aku sampai Nara, akan kuatur supaya
kamu dapat mengetahui tempatku dengan bertanya di Hozoin. Hozoin adalah kuil
terkenal karena permainan lembingnya."
"Sungguh?"
"Ha, ha!
Kamu masih curiga, ya? Jangan kuatir. Kalau aku tidak memenuhi janjiku kali
ini, boleh kamu memotong kepalaku."
Musashi masih
juga tertawa ketika meninggalkan warung teh. la berangkat menuju Nara,
sedangkan Jotaro ke arah yang berlawanan, ke arah Kyoto.
Di
persimpangan jalan itu bercampur aduk orang banyak yang mengenakan topi
anyaman, burung layang-layang, dan kuda-kuda meringkik. Sementara melintasi
gerombolan orang banyak itu, Jotaro menoleh ke belakang dan melihat Musashi
masih berdiri di tempat semula dan memperhatikannya. Mereka tersenyum dari jauh
sebagai tanda perpisahan, lalu masing-masing menempuh jalannya sendiri.
sambung
USASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
dikirim oleh
: syauqy_arr@yahoo.co.id
buku 2 : A i R
0 komentar:
Posting Komentar