Pohon Pinus Lebar
ANGIN berdesir di
pohon bambu. Walaupun hari masih terlampau gelap untuk terbang, burung-burung
sudah bangun dan berkicau.
"Jangan serang!
Ini aku—Kojiro!" Sesudah berlari seperti setan lebih dari satu mil
jauhnya, napas Kojiro bersemburan sesampainya ia di pohon pinus lebar itu.
Wajah orang-orang
yang muncul dari tempat-tempat persembunyian untuk mengepungnya tampak kaku
karena menanti.
"Tidak
kautemukan dia?" tanya Genzaemon tak sabar.
"Kutemukan,"
jawab Kojiro dengan nada yang membuat semua mata tertuju kepadanya. Sambil
menoleh dingin ke sekitar, katanya, "Aku menemukan dia, dan kami jalan
bersama memudiki Sungai Takano sebentar, tapi kemudian dia..."
"Dia lari!"
seru Miike Jurozaemon.
"Tidak!"
kata Kojiro tegas. "Melihat ketenangannya dan kata-katanya, menurutku dia
tidak lari. Semula memang begitu kelihatannya, tapi sesudah kupikirkan lagi,
aku berpendapat dia cuma mencoba melepaskan diri dariku. Dia barangkali
menyusun strategi yang mau disembunyikan dariku. Lebih baik Anda sekalian siap
sekarang!"
"Strategi?
Strategi macam apa?"
Orang-orang itu
berdesak-desakan agar kata-kata Kojiro tidak terlewatkan sepatah pun.
"Kukira dia
memperoleh beberapa pendukung. Barangkali sekarang dia dalam perjalanan
menjemput mereka, supaya mereka dapat menyerang sekaligus."
"Wah!"
rintih Genzaemon. "Mungkin juga. Artinya, tak lama lagi mereka
datang."
Jurozaemon memisahkan
diri dari kelompok orang itu dan memerintahkan orang-orangnya kembali ke pos
masing-masing. "Kalau Musashi menyerang ketika kita cerai-berai
begini," katanya memperingatkan, "kita bisa kalah dalam pertempuran
pertama. Kita tidak tahu berapa orang akan dibawanya, tapi jumlahnya tak
mungkin banyak sekali. Kita akan berpegang terus pada rencana semula."
"Betul. Tak
boleh kita kena serangan mendadak selagi lengah."
"Mudah sekali
berbuat kesalahan, kalau kita lelah menanti. Hati-hatilah!"
Berangsur-angsur mereka bubar. Pemegang bedil menempatkan diri kembali di
cabang atas pohon pinus.
Melihat Genjiro
berdiri kaku dan bersandar pada batang pohon itu, Kojiro bertanya,
"Mengantuk?"
"Tidak!"
jawab anak itu tabah.
Kojiro menepuk
kepalanya. "Bibirmu sudah biru! Tentunya kau kedinginan. Kau wakil
Keluarga Yoshioka, karena itu kau mesti berani dan kuat. Sabarlah sedikit lagi,
nanti kau akan menyaksikan tontonan menarik." Dan sambil pergi, tambahnya,
"Sekarang aku mesti cari tempat yang baik untuk diriku sendiri."
Bulan berjalan
bersama Musashi dari lembah antara Bukit Shiga dan Bukit Uryu, tempat ia
meninggalkan Otsu. Sekarang bulan itu terbenam di belakang gunung. Awan-awan
pelan-pelan bergerak naik dan berhenti di ketiga puluh enam puncak gunung itu.
Dunia akan segera mengawali pekerjaannya sehari-hari.
Musashi mempercepat
langkahnya. Langsung di bawahnya tampak atap sebuah kuil. "Tak jauh lagi
sekarang," pikirnya. Ia memandang ke atas, dan terpikir olehnya bahwa
dalam waktu singkat-beberapa tarikan napas saja jiwanya akan bergabung dengan
awan-awan yang naik ke udara itu. Bagi alam semesta ini, kematian satu orang
mustahil memiliki nilai yang lebih penting daripada kematian seekor kupu-kupu.
Tetapi di tengah lingkungan manusia, satu kematian bisa mempengaruhi segalanya,
ke arah yang baik atau sebaliknya. Satu-satunya soal yang dihadapi Musashi
sekarang adalah bagaimana mati secara mulia.
Bunyi air yang
mengelu-elukannya terdengar di telinga. Ia berhenti dan berlutut di kaki sebuah
batu besar, lalu menciduk air dari sungai dan meminumnya cepat. Lidahnya terasa
nyeri oleh segarnya air itu, suatu petunjuk bahwa semangatnya tenang dan bulat,
dan keberanian tidak meninggalkan dirinya. Demikian yang diharapkannya.
Selagi istirahat
sebentar, ia seperti mendengar suara memanggilnya. Otsu? Jotaro? ia tahu, tak
mungkin Otsu. Otsu bukan jenis orang yang dapat kehilangan kendali diri, lalu
mengejarnya pada saat seperti ini. Otsu sudah mengenalnya betul, sehingga tak
mungkin melakukannya. Namun Musashi tak dapat melepaskan diri dari perasaan
bahwa ada orang yang sedang memanggilnya. Beberapa kali ia menoleh ke belakang,
dengan harapan akan melihat seseorang. Dugaan bahwa dirinya mendapat halusinasi
sangat melemahkannya.
Namun ia tak dapat
membuang-buang waktu lagi. Terlambat berarti tidak hanya melanggar janji, tapi
juga meletakkannya pada kedudukan yang sangat tidak menguntungkan. Untuk
seorang prajurit yang sedang mencoba menghadapi sebarisan lawan, waktu yang
ideal adalah jeda singkat sesudah bulan tenggelam, tapi sebelum langit
sepenuhnya terang. Demikianlah dugaannya.
Teringat olehnya
pepatah lama, "Mudah menghancurkan musuh di luar diri sendiri, tapi tak
mungkin mengalahkan musuh di dalam." Ia bersumpah mengusir Otsu dari
pikirannya, ia bahkan sudah menyatakan dengan sejelas-jelasnya kepada Otsu
ketika gadis itu bergayut pada lengan kimononya. Namun rupanya ia tak dapat
mengusir suara gadis itu dari otaknya.
Ia mengutuk pelan.
"Seperti perempuan! Lelaki yang sedang menjalankan tugas tak boleh
berpikir tentang tetek-bengek macam cinta!"
Ia memacu terus
dirinya dan berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba tampak di bawahnya jalur
putih yang naik dari kaki gunung melintas rumpun bambu, pepohonan, dan
perladangan. Itu salah satu jalan menuju Ichijoji. Ia kini hanya sekitar tiga
ratus lima puluh meter dari tempat jalan itu bertemu dengan dua jalan lainnya.
Lewat kabut yang seperti susu, ia dapat melihat cabang-cabang pohon pinus besar
itu.
Ia berlutut. Tubuhnya
tegang. Bahkan pepohonan di sekitarnya seperti berubah menjadi musuh yang
potensial. Dengan gerakan kaku seekor kadal, ia tinggalkan jalan setapak itu,
berangkat menuju lokasi yang langsung berada di atas pinus. Tiupan angin dingin
bergerak turun dari puncak gunung, mendesak kabut bergulung-gulung yang melanda
pohon-pohon pinus dan bambu. Cabang-cabang pinus lebar itu bergetar,
seakan-akan mengingatkan kepada dunia tentang datangnya bencana.
Dengan mengerahkan
penglihatannya, Musashi dapat melihat sosok sepuluh orang yang berdiri diam
sempurna di sekitar pohon pinus, dengan lembing siaga di tangan. Hadirnya orang
lain lagi di tempat-tempat lain di gunung itu dapat dirasakannya, sekalipun ia
tidak melihatnya. Musashi tahu, ia sekarang memasuki wilayah maut. Perasaan
dahsyat menyebabkan bulu-bulu di punggung tangannya meremang, namun napasnya
tetap dalam dan mantap. Sampai ujung jari kakinya ia sudah siap beraksi. Selama
merangkak pelan ke depan, jari-jari kakinya dapat mencekam tanah dengan
kekuatan dan kepastian jari-jari tangannya.
Tidak jauh dari
tempat itu tampak tanggul batu yang dulunya tenrbagian dari sebuah kubu.
Sekadar menuruti kehendak hati, ia berjalan d antara batu-batu karang, menuju
tempat berdirinya tanggul itu. Di situ ia mendapatkan sebuah tonjolan batu yang
menghadap langsung ke pohon pinus lebar. Di belakangnya terdapat pekarangan
suci yang dilindungi beberapa jenis pohon hijau tinggi, dan di antara
baris-baris pohon itu ia melihat sebuah bangunan suci
Sekalipun tidak
terbayang olehnya dewa apa yang disembah orang di situ, ia lari juga lewat
pohon itu ke pintu tempat suci dan berlutut di depannya. Sadar akan dekatnya
maut, ia tidak dapat menahan getar jantungnya, mengingat hadirnya sang dewa.
Bagian dalam tempat suci itu gelap, hanya ada sebuah lampu suci yang
berayun-ayun tertiup angin. Lampu itu terancam mati, tapi secara ajaib dapat
merebut kembali kecemerlangan penuhnya. Piagam di atas pintu berbunyi
"Tempat Keramat Hachidai".
Musashi senang karena
merasa memiliki sekutu yang perkasa, dan merasa kalau ia menyerang menuruni
gunung itu, dewa perang akan berada di belakangnya. Ia tahu dewa-dewa selalu
memihak kepada yang benar. Ia ingat, dalam perjalanan ke Pertempuran Okehazama,
Nobunaga yang agung pun beristirahat untuk bersujud di Tempat Keramat Atsuta.
Penemuan tempat suci ini sungguh sangat tepat.
Di dalam pintu
gerbang terdapat sebuah tempayan batu, di mana para pemohon dapat membersihkan
diri sebelum berdoa. Ia berkumur, kemudian mengisi mulutnya dengan air dan
menyemprotkan air itu ke gagang pedang dan tali sandalnya. Dengan cara
demikian, ia disucikan.
Ia menyingsingkan
lengan kimononya dengan tali kulit dan menaikkan ikat kepala dari katun. Ia
lenturkan otot-otot kakinya sambil berjalan dan pergi ke tangga tempat suci,
dan di situ memegang tali yang tergantung pada gong di atas pintu masuk. Dengan
cara yang sepanjang zaman dipatuhi orang, ia hendak membunyikan gong itu dan
berdoa pada dewa.
Tiba-tiba ia ingat
diri dan cepat menarik tangannya. "Apa yang kulakukan ini?" pikirnya
ngeri. Tali yang terjalin dari benang katun merah-putih itu seakan mengajaknya
memegangnya, membunyikan gong itu, dan menyampaikan permohonannya. Ia
menatapnya. "Apa yang hendak kumohon?" tanyanya pada diri sendiri.
"Bantuan apa yang kuharapkan dari dewa-dewa? Apakah aku sudah menjadi satu
dengan alam semesta? Tidakkah aku selalu mengatakan harus siap menghadapi maut
setiap waktu? Tidakkah aku selalu melatih diriku menghadapi maut dengan tenang
dan yakin?"
Ia tertegun. Tanpa
berpikir, tanpa mengingat tahun-tahun yang telah dilaluinya dalam berlatih dan
mendisiplinkan diri, hampir saja ia memohon bantuan adikodrati. Terasa olehnya
ada sesuatu yang salah, karena jauh di dasar hatinya ia tahu sekutu sejati
seorang samurai bukanlah dewa-dewa, melainkan maut itu sendiri. Tadi malam dan
awal pagi tadi ia yakin telah menerima nasib. Tapi lihatlah, hampir saja ia
lupa akan segala yang pernah dipelajarinya, yaitu memohon bantuan kepada dewa.
Maka dengan kepala tertunduk malu, ia berdiri seperti batu.
"Sungguh tolol
aku! Tadinya aku mengira sudah mencapai kemurnian dan pencerahan, tapi ternyata
di dalam diriku masih ada bagian yang menghendaki hidup terus. Suatu khayal
yang membangkitkan pikiran tentang Otsu atau kakak perempuanku! Suatu harapan
palsu yang mendorongku bergayut pada apa saja. Suatu damba setani yang
menyebabkan aku lupa diri dan memikatku berdoa minta bantuan pada
dewa-dewa."
Ia merasa muak dan
jengkel terhadap tubuhnya, jiwanya, dan kegagalannya menguasai Jalan Samurai.
Air mata yang ditahan-tahannya di hadapan Otsu kini bercucuran dari matanya.
"Semua itu tadi tidak
kusadari. Aku tidak bemaksud berdoa, bahkan apa yang akan kudoakan pun tak
terpikir olehku.Tapi bahwa aku telah melakukannya tanpa sadar, itu lebih buruk
lagi."
Tersiksa oleh
kesangsiannya sendiri, ia merasa tolol dan belum matang.
Apakah ia memang
punya kemampuan menjadi seorang prajurit? Kalau ia mencapai keadaan tenang yang
diidam-idamkannya, tentunya ia tidak perlu berdoa atau mengajukan permohonan,
walaupun secara tak sadar. Dalam satu saat yang mengguncangkan, hanya beberapa
menit sebelum pertempuran. ia menemukan di dalam hatinya benih-benih sejati
kekalahan. Tak mungkin sekarang ia menganggap maut yang mendekat sebagai puncak
hidup seorang samurai!
Dalam tarikan napas
berikutnya, gelombang rasa syukur melandanva. Kehadiran dan kebesaran dewata
meliputinya. Pertempuran belum lagi dimulai. Ujian yang sebenarnya masih ada di
depan. Ia mendapat peringatan pada waktunya! Dengan mengakui kegagalannya,
berarti ia telah mengatasinya. Kesangsiannya lenyap. Dewata memimpinnya ke
tempat ini untuk diajari hal itu.
Ia memang percaya
secara tulus kepada dewa-dewa, tapi ia tidak menganggap mencari bantuan kepada
dewa-dewa itu sebagai Jalan Samurai. Jalan Samurai adalah kebenaran tertinggi
yang melebihi dewa-dewa dan para Budha. Ia mundur selangkah dan melipat tangan,
bukannya meminta perlindungan, ia menyatakan terima kasih kepada dewa-dewa atas
bantuan mereka yang datang tepat pada waktunya.
Ia membungkuk cepat
dan bergegas keluar dari pekarangan tempat keramat dan menuruni jalan setapak
yang sempit dan terjal. Kalau hujan deras turun, jalan itu pasti segera berubah
menjadi kali deras. Kerikil dan gumpalan kotoran rapuh hancur di tumitnya,
memecah kesunyian. Begitu pohon pinus lebar tampak lagi, ia meninggalkan jalan
setapak dan merunduk di dalam semak. Belum setitik pun embun jatuh dari
dedaunan, dan lutut serta dadanya pun segera saja basah kuyup. Pohon pinus itu
tidak lebih dari empat atau lima puluh langkah di bawahnya. Terlihat olehnya
orang yang memegang bedil di atas cabangnya.
Kemarahannya meluap.
"Pengecut!" katanya, hampir terdengar keras. "Semua itu hanya
untuk melawan satu orang?"
Tapi ada juga rasa
kasihannya kepada musuh yang sampai harus mengambil tindakan ekstrem macam itu.
Bagaimanapun, ia telah menduga akan menghadapi hal seperti itu, dan sejauh
mungkin siap menghadapinya. Karena mereka pasti beranggapan ia tidak sendirian,
maka sikap bijaksana menyebabkan mereka menyiapkan setidak-tidaknya satu
senjata terbang, bahkan barangkali juga lebih dari satu. Kalau mereka
mempergunakan juga busur-busur pendek, maka para pemanah barangkali bersembunyi
di balik batu-batu karang atau di tempat-tempat rendah.
Musashi punya satu
keuntungan besar. Baik yang ada di atas pohon maupun mereka yang ada di
bawahnya itu membelakanginya. Ia merangkak maju, hampir-hampir merayap, sambil
merunduk demikian rendah hingga gagang pedangnya mencuat di atas kepalanya.
Kemudian ia tempuh jarak sekitar dua puluh langkah dengan berlari kencang.
Pemegang bedil
memutar kepala, melihatnya, dan berteriak, "Itu dia!"
Musashi berlari lagi
sepuluh langkah, tahu bahwa orang itu akan terpaksa mengubah posisi untuk
membidik dan menembak.
"Di mana?"
teriak orang-orang yang paling dekat dengan pohon.
"Di belakang
kalian!" terdengar jawaban yang memecahkan tenggorokan.
Pemegang bedil
mengarahkan senjatanya ke kepala Musashi. Ketika bunga api yang keluar dari
sumbu bedil itu menghujan ke bawah, siku kanan Musashi membuat gerakan
melengkung di udara. Batu yang dilemparkannya tepat mengenai sumbu dengan
kekuatan dahsyat. Pekik pemegang bedil menjadi satu dengan bunyi cabang-cabang
yang berderak-derak, dan orang itu pun terjungkal ke bumi.
Seketika itu juga
nama Musashi ada di setiap bibir. Tak seorang pun dari mereka mau
bersusah-susah memikirkan situasi itu secara menyeluruh, atau memperkirakan
Musashi mungkin menggunakan cara menyerang ke satuan pusat terlebih dahulu.
Maka kebingungan melanda mereka semua. Dalam ketergesaan untuk menyusun diri
kembali, kesepuluh orang itu saling bertubrukan, senjata mereka
tersangkut-sangkut, dan mereka saling menginjak tebing. Suasana kacau balau,
semuanya saling teriak agar jangan sampai melepaskan Musashi.
Baru saja mereka
memilah-milah diri dan mulai membentuk susunan tengah lingkaran, mereka sudah
ditantang, "Aku Miyamoto Musashi, anak Shimmen Munisai dari Provinsi
Mimasaka. Aku datang sesuai dengan persetujuan yang kita buat kemarin dulu di
Yanagimachi.
"Genjiro, kamu
di sana? Kuminta kau jangan ceroboh macam Seijuro dan Denshichiro sebelum ini.
Aku mengerti karena umurmu yang masih muda, kau didukung beberapa orang. Tapi
aku, Musashi, datang sendiri. Orang-orangmu boleh menyerang sendiri-sendiri
atau berkelompok, terserah mereka. Nah, sekarang ayo berkelahi!"
Sekali lagi
orang-orang terkejut luar biasa. Tak seorang pun mengira Musashi akan
menyampaikan tantangan resmi! Sampai-sampai mereka yang ingin sekali menjawab
dengan cara seperti itu juga kehilangan sikap yang diperlukan.
"Musashi, kau
terlambat!" teriak sebuah suara serak.
Banyak di antara
orang-orang itu naik semangatnya oleh pernyataan Musashi bahwa ia sendirian,
tetapi Genzaemon dan Jurozaemon yakin bahwa itu tipu daya, karena itu mereka
menoleh ke sekitar, untuk mencari bala bantuan yang dimiliki Musashi.
Suatu desing keras
melengking ke satu sisi, dan sekejap kemudian disusul oleh kilau pedang Musashi
yang membelah udara. Anak panah yang diarahkan ke wajahnya patah, separuh jatuh
ke belakang bahunya, separuh lagi jatuh ke dekat ujung pedangnya yang
diturunkan, atau lebih tepat dikatakan jatuh ke bekas tempat pedangnya, karena
waktu itu juga Musashi sudah bergerak lagi. Dengan rambut tegak seperti bulu
tengkuk singa, ia menyerang ke arah sosok gelap di belakang pohon pinus lebar.
Genjiro mendekap
batang pohon sambil menjerit, "Tolong! Aku takut!"
Genzaemon melompat
maju sambil melolong, seakan pukulan itu mengenainya, tapi sudah terlambat!
Pedang Musashi menyabet kulit pokok pinus sepanjang dua kaki, dan kulit itu
jatuh ke tanah, di samping kepala Genjiro yang berlumuran darah.
Sungguh perbuatan
setan garang! Tanpa menghiraukan yang lain-lain, Musashi langsung menyerang
anak itu. Dan kelihatan ia memang sudah bermaksud demikian sejak dari semula.
Serangan itu
merupakan suatu kebuasan luar biasa. Tetapi kemarian Genjiro tidak mengurangi
sedikit pun daya tempur orang-orang Yoshioki. Kebingungan campur kegugupan
menjadi nafsu gila untuk membunuh.
"Binatang!"
pekik Genzaemon dengan muka pucat kelabu karena sedih dan berang. Dengan kepala
menyuruk, ia langsung menerjang ke arah Musashi, dengan pedang yang agak
terlalu berat untuk orang seumurmya. Musashi menggeser tumit ke belakang
sekitar satu kaki, mencondongkan badan ke samping, lalu menebas ke atas,
menyerempet siku dan wajah Genzaemon dengan ujung pedangnya. Tak mungkin orang
mengatakan siapa yang melolong, karena justru pada waktu itu seorang yang
menyerang Musashi dengan lembing dari belakang telah terhuyung ke muka dan
jatuh menimpa orang tua itu. Saat berikutnya, pemain pedang ketiga yang datang
dari muka terpapas dari bahu sampai pusar. Kepalanya terkulai dan tangannva
lunglai, sementara kedua kakinya terus membawa tubuhnya yang bernyawa itu maju
beberapa langkah lagi.
Orang-orang lain
dekat pohon itu menjerit sekuat paru-paru mereka, tetapi seruan minta tolong
mereka hilang ditelan angin dari pepohonan. Teman-teman mereka terlalu jauh
untuk dapat mendengarkan dan tidak dapat melihat kejadian itu, sekalipun
misalnya mereka melihat ke arah pohon pinus itu dan bukan mengawasi jalan.
Pohon pinus lebar itu
sudah ratusan tahun umurnya. Ia telah menyaksikan mundurnya pasukan Taira yang
kalah perang dari Kyoto ke Omi dalam peperangan abad dua belas. Tidak terhitung
sudah berapa kali para pendeta Gunung Hiei turun ke ibu kota untuk memberikan
tekanan pada Istana Kaisar. Apakah karena rasa terima kasih atas pemberian
darah segar yang merembes ke akar-akarnya, ataukah karena sedih menyaksikan
pembunuhan besar-besaran itu, cabang-cabang pinus tersebut bergoyang ditimpa
angin berkabut dan menghamburkan titik-titik embun dingin kepada orang-orang di
bawahnya. Angin itu membangkitkan aneka warna bunyi dari cabangcabang pohon,
pada bambu yang berayun-ayun, dari kabut, dan pada rumput yang tinggi.
Musashi mengambil
jurus membelakangi pokok pohon yang lebarnya melebihi pelukan dua orang. Pohon
itu menjadi perisai ideal bagi bagian belakang tubuhnya, tapi rupanya ia
menganggap berbahaya tinggal lama-lama di situ. Matanya mengembara ke ujung
pedangnya dan menatap lawan-lawannya, otaknya menilai medan dan mencari kedudukan
yang lebih baik.
"Pergi ke pinus
lebar! Ke pinus! Pertempuran di sana!" Teriakan itu datang dari puncak
bukit kecil yang dipilih Sasaki Kojiro untuk mengamati tontonan itu.
Kemudian terdengar
bunyi bedil yang memekakkan telinga, dan barulah samurai dari Keluarga Yoshioka
menangkap apa yang sedang terjadi. Seperti tawon, mereka bergerombol
meninggalkan tempat-tempat persembunyian dan meluncur ke persimpangan jalan.
Musashi berkelit ke
samping. Peluru menghunjam batang pohon, beberapa inci dari kepalanya.
Sebaliknya, ketujuh orang yang menghadapinya beringsut memutar beberapa kaki
untuk mengimbangi perubahan kedudukan Musashi itu.
Tanpa peringatan
terlebih dahulu, Musashi menyerbu dengan pedang dipasang setinggi mata, ke arah
orang yang berdiri paling kiri. Kobashi Kurando, seorang dari Sepuluh Pemain
Pedang Yoshioka, terkena serangan itu. Disertai pekik kaget yang rendah
bunyinya, ia memutar badan dengan satu kakinya, tapi tidak cukup cepat untuk
dapat lolos dari pukulan ke lambungnya. Dengan pedang masih diacungkan, Musashi
terus berlari lurus ke depan.
"Jangan biarkan
dia lepas!"
Keenam orang lainnya
maju mengejarnya, tetapi serangan Musashi kembali membuat mereka berantakan,
kehilangan kerja sama. Dalam sekejap mata Musashi berputar sambil menebas
menyamping ke arah orang terdekat. Miike Jurozaemon. Sebagai pemain pedang
berpengalaman, Jurozaemon sudah menebak serangan ini, dan ia memberikan giliran
beraksi pada kakinya, hingga ia dapat cepat bergerak mundur. Ujung pedang
Musashi hampir saja menyerempet dadanya.
Cara Musashi
menggunakan senjatanya berlainan dengan cara pemain pedang biasa pada zamannya.
Menurut teknik yang biasa, kalau hantaman pertama tidak mengena, tenaga pedang
itu habis di udara. Sebelum dapat menghantam lagi, mata pedang harus lebih dulu
ditarik kembali. Ini terlampau lambat untuk Musashi. Bilamana ia menghantam ke
samping, hantaman itu diteruskan dengan hantaman ke arah kebalikan. Tebasan ke
kanan diikutinya dengan pukulan kebalikan ke kiri, dengan gerakan yang hakikatnya
sama. Mata pedangnya dengan demikian menciptakan dua berkas cahaya, yang
gambarnya mirip sekali dengan dua lembar daun pintu yang saling dihubungkan.
Pukulan kebalikan
yang tak disangka-sangka itu menyayat ke muka Jurozaemon hingga kepalanya
menjadi tomat merah besar.
Karena tidak belajar
di bawah pimpinan seorang guru, Musashi merasa kadang-kadang berada pada
kedudukan tidak menguntungkan, tapi kadang-kadang juga ia dapat mengambil
keuntungan dari situ. Salah satu keunggulannya adalah ia tidak pernah dicetak
oleh perguruan tertentu. Ditinjau dari pandangan ortodoks, gayanya tidak
memiliki bentuk yang jelas, tidak ada aturannya, dan tak ada teknik-teknik
rahasianya. Karena gaya itu hanya.didasarkan pada daya cipta dan
kebutuhan-kebutuhannya sendiri, maka sukar disebutkan macamnya atau
golongannya. Sampai taraf tertentu bisa saja ia dilawan secara efektif dengan
menggunakan gaya-gaya konvensional. kalau lawannya sangat terampil. Jurozaemon
tidak dapat menduga lebih dahulu taktik Musashi. Orang yang mahir dalam Gaya
Yoshioka atau dalam salah satu gaya Kyoto lain barangkali juga akan terperangah
seperti Jurozaemon.
Kalau pukulan fatal
yang dijatuhkannya kepada Jurozaemon itu diteruskan dengan menyerang juga
rombongan campuran yang tetap tinggal di sekitar pohon, pasti Musashi dapat
membantai beberapa orang lagi dalam waktu singkat. Tapi ia malah berlari menuju
persimpangan jalan. Kemudian ketika mereka menyangka ia akan melarikan diri,
tiba-tiba saja ia berbalik dan menyerang lagi. Begitu mereka telah menyusun
diri kembali untuk mempertahankan diri, ia lari lagi.
"Musashi!"
"Pengecut!"
"Berkelahilah
seperti lelaki!"
"Urusan kita
belum selesai!"
Kata-kata kutukan
yang memang biasa itu memenuhi udara. Mata yang berang sudah hampir meloncat
dari ceruknya. Orang-orang itu sudah mabuk melihat dan mencium darah, sama
mabuknya dengan orang yang sudah meneguk segudang sake. Darah membuat para
pemberani menjadi lebih tenang, tapi mempunyai efek sebaliknya terhadap para
pengecut. Orang-orang itu seperti setan air yang muncul dari danau darah yang
kental.
Musashi mengabaikan
saja teriakan-teriakan itu. Sesampainya di persimpangan jalan, ia segera
mengambil jalan tersempit di antara ketiga jalan keluar itu, yaitu jalan yang
menuju Shugakuin. Dari arah berlawanan. orang-orang yang telah ditempatkan
sepanjang jalan itu datang secara kacau-balau. Belum sampai empat puluh langkah
berjalan, Musashi melihat orang pertama dalam rombongan itu. Menurut hukum
fisika yang biasa, ia akan segera terperangkap di antara orang-orang itu dan
orang-orang yang mengejarnya. Tapi nyatanya, ketika kedua kesatuan itu
bertumbukan Musashi tidak ada lagi di sana.
"Musashi. Di
mana kau?"
"Dia di sini
tadi. Aku melihatnya!"
"Pasti!"
"Dia tidak
ada!"
Dan suara Musashi
meledak di tengah ocehan bingung itu. "Aku di sini!"
Ia melompat dari
balik bayangan sebuah batu, ke tengah jalan, di belakang para samurai yang
sedang berbalik, hingga ia dapat menghadapi mereka semua dari satu arah.
Tercengang oleh perubahan kilat kedudukan itu, orang-orang Yoshioka bergerak
cepat menghimpitnya, tapi di jalan sempit itu mereka tidak dapat memusatkan
kekuatan. Kalau diukur ruang yang diperlukan untuk mengayunkan pedang, untuk
dua orang saja pun jalan itu berbahaya untuk dipakai bergerak maju bersama.
Orang yang terdekat
dengan Musashi terhuyung ke belakang dan mendorong mundur orang di belakangnya
ke tengah rombongan yang sedang datang. Untuk sesaat mereka semua menggelepar
tanpa daya, kaki saling berkait. Tapi dalam gerombolan, orang memang tak mudah
menyerah. Walaupun gentar oleh kecepatan dan keganasan Musashi, orang-orang itu
segera dapat memperoleh kembali keyakinan mereka akan kekuatan kolektif. Sambil
meraung menggeletar, mereka maju ke depan. Sekali lagi mereka yakin bahwa tak
seorang pemain pedang pun dapat menandingi mereka semua.
Musashi berkelahi
seperti perenang yang sedang melawan gelombang raksasa. Sekali memukul, ia
mundur selangkah-dua langkah. Ia mesti lebih mencurahkan perhatian pada
pertahanan daripada serangan. Ia bahkan menahan diri agar tidak menebas
orang-orang yang terhuyung ke dalam jangkauan tangannya dan merupakan sasaran
empuk, baik karena jatuhnya mereka tidak akan cukup menghasilkan keuntungan,
maupun karena kalau tebasannya meleset, ia akan jadi sasaran lembing-lembing
musuh. Jangkauan pedang memang bisa diukur secara tepat, tapi tidak demikian
halnya dengan lembing.
Sementara ia terus
mengundurkan diri pelan-pelan, para penyerangnya menghimpitnya tanpa kenal
ampun. Wajahnya sudah putih kebiruan, sampai seakan-akan mustahil ia bisa
bernapas cukup. Orang orang Yoshioka berharap akhirnya ia akan terantuk akar
pohon atau tersandung batu. Sementara itu, tak seorang pun dari mereka mau
terlampau dekat dengan orang yang sedang berkelahi mati-matian demi hidupnya
itu. Jatuhnya pukulan pedang dan lembing terdekat yang menghimpit Musashi
selalu lima atau tujuh sentimeter dari jangkauan sasarannya.
Hiruk-pikuk itu
ditambah lagi oleh meringkiknya kuda-kuda beban. Di dukuh terdekat, orang sudah
bangun dan sibuk. Saar itu adalah saat para pendeta yang rajin lewat dalam
perjalanan ke atau dari puncak Gunung Hiei, dengan suara bakiak berdetak-detak
dan bahu tegap dibidangkan. Sementara pertempuran berjalan terus, para penebang
kayu dan petani ikut para pendeta di jalan, menyaksikan pertunjukan itu.
Kemudian ayam dan kuda di kampung ikut pula sibuk memperdengarkan suara.
Segerombolan penonton berkumpul sekitar tempat keramat di mana Musashi tadi
mempersiapkan diri menjelang pertempuran. Angin berhenti bertiup dan kabut
turun lagi seperti tirai putih yang tebal. Kemudian tiba-tiba kabut itu hilang
sama sekali, hingga para penonton dapat menyaksikan pemandangar itu dengan
jelas.
Selama beberapa menit
bertempur, keadaan tubuh Musashi sudah berubah sama sekali. Rambutnya sudah
kusut berlumuran darah. Darah bercampur keringat mencelup ikat kepalanya
menjadi merah muda. Ia tampak seperti penjelmaan setan yang muncul dari neraka.
Ia bernapas dengan seluruh tubuhnya. Dadanya yang seperti perisai itu
naik-turun seperti gunung berapi. Robekan pada hakama-nya memperlihatkan luka
pada lutut kirinya. Jaringan-jaringan putih di dasar luka itu tampak seperti
biji buah delima merekah. Pada lengan bawahnya juga terdapat luka. Luka itu
tidak gawat. tetapi telah memercikkan darah ke dada, sampai ke pedang kecil
dalam obinya. Seluruh kimononya tampak seperti sudah dicelup merah tua.
Penonton yang dapat melihatnya, menutup mata karena ngeri.
Yang lebih mengerikan
lagi adalah melihat orang yang mati dan terluka akibat pertempuran. Melanjutkan
gerakan mundur taktisnya menyusuri jalan setapak, sampailah Musashi di sepetak
tanah terbuka, di mana para pengejarnya menyerbu secara besar-besaran. Dalam
beberapa detik saja. empat atau lima orang sudah terpotong. Mereka
bergelimpangan di sanasini, suatu bukti kecepatan pukulan dan gerakan Musashi.
Ia seperti ada di mana-mana sekaligus.
Tapi sekalipun
Musashi dapat beranjak dan mengelak dengan cekatan, ia berpegang pada satu
strategi dasar. Ia tidak pernah menyerang suatu kelompok dari depan atau
samping-selamanya menyerong, pada sudut yang terbuka. Apabila satu kesatuan
samurai mendekatinya berhadap-hadapan. ia beranjak seperti kilat ke sudut
formasi mereka, agar dari situ ia dapat menghadapi seorang-dua orang saja
berganti-ganti. Dengan cara ini, ia dapat memaksa mereka pada kedudukan yang
sama. Tetapi akhirnya Musashi toh lelah juga. Lawan-lawannya pun akhirnya akan
menemukan cara untuk menggagalkan metode serangan itu. Untuk itu, mereka perlu
menyusun diri dalam dua kekuatan besar, di depan dan di belakang Musashi.
Dengan demikian, Musashi akan berada dalam bahaya yang lebih besar lagi.
Musashi harus mengerahkan seluruh akalnya untuk mencegah terjadinya hal itu.
Pada suatu ketika,
Musashi menarik pedang kecilnya dan mulai bertempur dengan kedua tangannya.
Pedang besar di tangan kanannya berlumuran darah sampai gagang dan kepalan yang
menggenggamnya, sedangkan pedang kecil di tangan kirinya masih bersih. Walaupun
pedang pendek itu sudah dapat mengiris sedikit daging waktu pertama kali
dipergunakan, ia masih juga berkilau, haus oleh darah. Musashi sendiri belum sepenuhnya
sadar bahwa ia telah mencabut pedang pendek itu, walaupun ia sudah
menggunakannya dengan cekatan, sama seperti saat menggunakan pedang besarnya.
Apabila tidak
memukul, ia arahkan pedang kiri itu langsung ke mata lawannya. Pedang kanan
dijulurkan ke samping, membentuk busur horisontal lebar dengan siku dan
bahunya, dan berada betul-betul di luar garis pandangan musuh. Kalau lawan
bergerak ke kanan, Musashi dapat memainkan pedang kanannya. Kalau penyerang
bergerak sebaliknya, Musashi dapat menggerakkan pedang kecil ke kirinya dan
memerangkap musuh di antara kedua pedangnya. Dengan menusuk ke depan, ia dapat
memaku orang itu ke satu tempat dengan pedang kecil, dan sebelum ada waktu
untuk mengelak, ia menyerangnya lagi dengan pedang besar. Bertahun-tahun
kemudian, cara ini akhirnya secara resmi dinamakan Teknik Dua Pedang Melawan
Kekuatan Besar, tapi waktu itu Musashi berkelahi hanya menuruti naluri
semata-mata.
Dinilai dari segala
ukuran yang berlaku, Musashi bukanlah seorang teknikus pedang yang besar.
Sekolah, gaya, teori, tradisi—tak satu pun dari semuanya itu ia pahami. Cara
berkelahinya sepenuhnya pragmatis. Yang diketahuinya hanyalah apa yang
dipelajarinya dari pengalaman. Ia tidak melaksanakan teori dalam praktek. Ia
berkelahi dulu, baru sesudah itu berteori.
Orang-orang Yoshioka,
mulai dari Sepuluh Pemain Pedang sampai ke bawah, semua menguasai teori-teori
Delapan Gaya Kyoto yang dijejalkan ke dalam benak mereka. Beberapa orang bahkan
sampai menciptakan variasi gaya sendiri. Sekalipun mereka petarung yang sangat
terlatih dan sangat disiplin, mereka tidak dapat menaksir kemampuan pemain
pedang seperti Musashi yang menghabiskan waktunya sebagai pertapa di
pegunungan, membuka diri sebanyak-banyaknya terhadap bahasa yang berasal dari
alam maupun dari manusia. Bagi orang-orang Yoshioka, tidaklah dapat dipahami
bahwa dengan napas yang sudah demikian tidak teratur, dengan muka yang sudah
kelabu, mata yang sudah buram karena keringat, dan tubuh yang sudah berlumuran
darah kental, Musashi masih dapat menggunakan dua bilah pedang dan mengancam
akan menghabiskan siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Tetapi ia berkelahi
terus seperti dewa api atau dewa angkara. Mereka sendiri sudah lelah setengah
mati, dan usaha-usaha mereka untuk menaklukkan momok terkutuk ini sudah
histeris sifatnya.
Sekonyong-koyong
hiruk-pikuk itu meningkat.
"Lari!"
teriak seribu suara.
"Hai, engkau
yang sendirian, lari!"
"Kita nanti
terpaksa lewat batu itu lagi."
"Ha, ha! Dan
melihat orang cebol bermuka perempuan lagi? Lupakanlah! Aku bersamamu sekarang.
Oh, tapi dengarkan... apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu? Ayo cepat!
Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka
seram itu."
"Lari, selagi
bisa!"
Teriakan itu datang
dari pegunungan, pepohonan, dari awan-awan di atas. Para penonton di segala
tempat melihat barisan Yoshioka sedang mengepung Musashi. Bahaya yang mengancam
menggerakkan semua penonton untuk mencoba menyelamatkannya, walaupun hanya
dengan suara.
Tetapi peringatan
mereka itu tak berarti. Musashi takkan mendengarnya, sekalipun bumi terbelah
hancur lebur atau langit bertubi-tubi mengirimkan kilat halilintar. Teriakan
itu makin lama makin seru, mengguncang ketiga puluh enam puncak gunung itu,
seperti gempa bumi. Teriakan-teriakan itu datang serentak dari para penonton
dan para samurai Yoshioka yang berdesak-desakan.
Musashi akhirnya
enyah melintasi sisi gunung dengan kecepatan babi liar. Dalam waktu singkat,
lima atau enam orang mengejarnya, mencoba mati-matian agar sempat menjatuhkan
pukulan keras.
Disertai lolongan
dahsyat, Musashi tiba-tiba berputar, merunduk, dan mengayunkan pedang ke
samping, setinggi tulang kering, hingga para pengejarnya berhenti. Satu orang
meluncurkan lembing dari atas, tetapi lembing itu mental ke udara, terkena
pukulan balasan yang perkasa. Mereka serentak mundur. Musashi mengayun ganas
pedang yang kiri. kemudian yang kanan, kemudian kiri lagi. Karena ia bergerak
seperti gabungan api dan air, musuh-musuhnya berputar-putar gemetar,
terhuyunghuyung dan tersandung-sandung di belakangnya.
Kemudian Musashi lari
lagi. Ia melompat dari tanah terbuka tempat berkecamuknya pertempuran, dan
masuk ladang gandum hijau di bawah.
"Berhenti!"
"Balik sini dan
ayo berkelahi!"
Dua orang melompat
membabi buta mengejar Musashi. Sekejap kemudian terdengar dua jeritan meregang
nyawa, dua lembing terbang membelah udara dan terjatuh tegak lurus di tanah
ladang. Musashi menggelincir seperti bola besar dari lumpur, melewati ujung
ladang. Sesudah seratus meter jauhnya, ia cepat memperlebar jarak itu.
"Dia menuju
dusun!"
"Dia ke jalan
besar!"
Padahal nyatanya
Musashi merangkak naik dengan cepat dan tanpa terlihat menuju ke ujung ladang
itu, dan sekarang tersembunyi di hutan sebelah atas. Ia melihat bagaimana para
pengejarnya membagi diri untuk meneruskan pengejaran ke beberapa arah.
Waktu itu sudah
siang. Pagi cerah, mirip hari-hari lain.
0 komentar:
Posting Komentar