Rabu, 12 Juli 2017







Pohon Pinus Lebar



 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg



ANGIN berdesir di pohon bambu. Walaupun hari masih terlampau gelap untuk terbang, burung-burung sudah bangun dan berkicau.

"Jangan serang! Ini aku—Kojiro!" Sesudah berlari seperti setan lebih dari satu mil jauhnya, napas Kojiro bersemburan sesampainya ia di pohon pinus lebar itu.

Wajah orang-orang yang muncul dari tempat-tempat persembunyian untuk mengepungnya tampak kaku karena menanti.

"Tidak kautemukan dia?" tanya Genzaemon tak sabar.

"Kutemukan," jawab Kojiro dengan nada yang membuat semua mata tertuju kepadanya. Sambil menoleh dingin ke sekitar, katanya, "Aku menemukan dia, dan kami jalan bersama memudiki Sungai Takano sebentar, tapi kemudian dia..."

"Dia lari!" seru Miike Jurozaemon.

"Tidak!" kata Kojiro tegas. "Melihat ketenangannya dan kata-katanya, menurutku dia tidak lari. Semula memang begitu kelihatannya, tapi sesudah kupikirkan lagi, aku berpendapat dia cuma mencoba melepaskan diri dariku. Dia barangkali menyusun strategi yang mau disembunyikan dariku. Lebih baik Anda sekalian siap sekarang!"

"Strategi? Strategi macam apa?"

Orang-orang itu berdesak-desakan agar kata-kata Kojiro tidak terlewatkan sepatah pun.

"Kukira dia memperoleh beberapa pendukung. Barangkali sekarang dia dalam perjalanan menjemput mereka, supaya mereka dapat menyerang sekaligus."

"Wah!" rintih Genzaemon. "Mungkin juga. Artinya, tak lama lagi mereka datang."

Jurozaemon memisahkan diri dari kelompok orang itu dan memerintahkan orang-orangnya kembali ke pos masing-masing. "Kalau Musashi menyerang ketika kita cerai-berai begini," katanya memperingatkan, "kita bisa kalah dalam pertempuran pertama. Kita tidak tahu berapa orang akan dibawanya, tapi jumlahnya tak mungkin banyak sekali. Kita akan berpegang terus pada rencana semula."

"Betul. Tak boleh kita kena serangan mendadak selagi lengah."

"Mudah sekali berbuat kesalahan, kalau kita lelah menanti. Hati-hatilah!" Berangsur-angsur mereka bubar. Pemegang bedil menempatkan diri kembali di cabang atas pohon pinus.

Melihat Genjiro berdiri kaku dan bersandar pada batang pohon itu, Kojiro bertanya, "Mengantuk?"

"Tidak!" jawab anak itu tabah.

Kojiro menepuk kepalanya. "Bibirmu sudah biru! Tentunya kau kedinginan. Kau wakil Keluarga Yoshioka, karena itu kau mesti berani dan kuat. Sabarlah sedikit lagi, nanti kau akan menyaksikan tontonan menarik." Dan sambil pergi, tambahnya, "Sekarang aku mesti cari tempat yang baik untuk diriku sendiri."

Bulan berjalan bersama Musashi dari lembah antara Bukit Shiga dan Bukit Uryu, tempat ia meninggalkan Otsu. Sekarang bulan itu terbenam di belakang gunung. Awan-awan pelan-pelan bergerak naik dan berhenti di ketiga puluh enam puncak gunung itu. Dunia akan segera mengawali pekerjaannya sehari-hari.

Musashi mempercepat langkahnya. Langsung di bawahnya tampak atap sebuah kuil. "Tak jauh lagi sekarang," pikirnya. Ia memandang ke atas, dan terpikir olehnya bahwa dalam waktu singkat-beberapa tarikan napas saja jiwanya akan bergabung dengan awan-awan yang naik ke udara itu. Bagi alam semesta ini, kematian satu orang mustahil memiliki nilai yang lebih penting daripada kematian seekor kupu-kupu. Tetapi di tengah lingkungan manusia, satu kematian bisa mempengaruhi segalanya, ke arah yang baik atau sebaliknya. Satu-satunya soal yang dihadapi Musashi sekarang adalah bagaimana mati secara mulia.

Bunyi air yang mengelu-elukannya terdengar di telinga. Ia berhenti dan berlutut di kaki sebuah batu besar, lalu menciduk air dari sungai dan meminumnya cepat. Lidahnya terasa nyeri oleh segarnya air itu, suatu petunjuk bahwa semangatnya tenang dan bulat, dan keberanian tidak meninggalkan dirinya. Demikian yang diharapkannya.

Selagi istirahat sebentar, ia seperti mendengar suara memanggilnya. Otsu? Jotaro? ia tahu, tak mungkin Otsu. Otsu bukan jenis orang yang dapat kehilangan kendali diri, lalu mengejarnya pada saat seperti ini. Otsu sudah mengenalnya betul, sehingga tak mungkin melakukannya. Namun Musashi tak dapat melepaskan diri dari perasaan bahwa ada orang yang sedang memanggilnya. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, dengan harapan akan melihat seseorang. Dugaan bahwa dirinya mendapat halusinasi sangat melemahkannya.

Namun ia tak dapat membuang-buang waktu lagi. Terlambat berarti tidak hanya melanggar janji, tapi juga meletakkannya pada kedudukan yang sangat tidak menguntungkan. Untuk seorang prajurit yang sedang mencoba menghadapi sebarisan lawan, waktu yang ideal adalah jeda singkat sesudah bulan tenggelam, tapi sebelum langit sepenuhnya terang. Demikianlah dugaannya.

Teringat olehnya pepatah lama, "Mudah menghancurkan musuh di luar diri sendiri, tapi tak mungkin mengalahkan musuh di dalam." Ia bersumpah mengusir Otsu dari pikirannya, ia bahkan sudah menyatakan dengan sejelas-jelasnya kepada Otsu ketika gadis itu bergayut pada lengan kimononya. Namun rupanya ia tak dapat mengusir suara gadis itu dari otaknya.

Ia mengutuk pelan. "Seperti perempuan! Lelaki yang sedang menjalankan tugas tak boleh berpikir tentang tetek-bengek macam cinta!"

Ia memacu terus dirinya dan berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba tampak di bawahnya jalur putih yang naik dari kaki gunung melintas rumpun bambu, pepohonan, dan perladangan. Itu salah satu jalan menuju Ichijoji. Ia kini hanya sekitar tiga ratus lima puluh meter dari tempat jalan itu bertemu dengan dua jalan lainnya. Lewat kabut yang seperti susu, ia dapat melihat cabang-cabang pohon pinus besar itu.

Ia berlutut. Tubuhnya tegang. Bahkan pepohonan di sekitarnya seperti berubah menjadi musuh yang potensial. Dengan gerakan kaku seekor kadal, ia tinggalkan jalan setapak itu, berangkat menuju lokasi yang langsung berada di atas pinus. Tiupan angin dingin bergerak turun dari puncak gunung, mendesak kabut bergulung-gulung yang melanda pohon-pohon pinus dan bambu. Cabang-cabang pinus lebar itu bergetar, seakan-akan mengingatkan kepada dunia tentang datangnya bencana.

Dengan mengerahkan penglihatannya, Musashi dapat melihat sosok sepuluh orang yang berdiri diam sempurna di sekitar pohon pinus, dengan lembing siaga di tangan. Hadirnya orang lain lagi di tempat-tempat lain di gunung itu dapat dirasakannya, sekalipun ia tidak melihatnya. Musashi tahu, ia sekarang memasuki wilayah maut. Perasaan dahsyat menyebabkan bulu-bulu di punggung tangannya meremang, namun napasnya tetap dalam dan mantap. Sampai ujung jari kakinya ia sudah siap beraksi. Selama merangkak pelan ke depan, jari-jari kakinya dapat mencekam tanah dengan kekuatan dan kepastian jari-jari tangannya.

Tidak jauh dari tempat itu tampak tanggul batu yang dulunya tenrbagian dari sebuah kubu. Sekadar menuruti kehendak hati, ia berjalan d antara batu-batu karang, menuju tempat berdirinya tanggul itu. Di situ ia mendapatkan sebuah tonjolan batu yang menghadap langsung ke pohon pinus lebar. Di belakangnya terdapat pekarangan suci yang dilindungi beberapa jenis pohon hijau tinggi, dan di antara baris-baris pohon itu ia melihat sebuah bangunan suci

Sekalipun tidak terbayang olehnya dewa apa yang disembah orang di situ, ia lari juga lewat pohon itu ke pintu tempat suci dan berlutut di depannya. Sadar akan dekatnya maut, ia tidak dapat menahan getar jantungnya, mengingat hadirnya sang dewa. Bagian dalam tempat suci itu gelap, hanya ada sebuah lampu suci yang berayun-ayun tertiup angin. Lampu itu terancam mati, tapi secara ajaib dapat merebut kembali kecemerlangan penuhnya. Piagam di atas pintu berbunyi "Tempat Keramat Hachidai".

Musashi senang karena merasa memiliki sekutu yang perkasa, dan merasa kalau ia menyerang menuruni gunung itu, dewa perang akan berada di belakangnya. Ia tahu dewa-dewa selalu memihak kepada yang benar. Ia ingat, dalam perjalanan ke Pertempuran Okehazama, Nobunaga yang agung pun beristirahat untuk bersujud di Tempat Keramat Atsuta. Penemuan tempat suci ini sungguh sangat tepat.

Di dalam pintu gerbang terdapat sebuah tempayan batu, di mana para pemohon dapat membersihkan diri sebelum berdoa. Ia berkumur, kemudian mengisi mulutnya dengan air dan menyemprotkan air itu ke gagang pedang dan tali sandalnya. Dengan cara demikian, ia disucikan.

Ia menyingsingkan lengan kimononya dengan tali kulit dan menaikkan ikat kepala dari katun. Ia lenturkan otot-otot kakinya sambil berjalan dan pergi ke tangga tempat suci, dan di situ memegang tali yang tergantung pada gong di atas pintu masuk. Dengan cara yang sepanjang zaman dipatuhi orang, ia hendak membunyikan gong itu dan berdoa pada dewa.

Tiba-tiba ia ingat diri dan cepat menarik tangannya. "Apa yang kulakukan ini?" pikirnya ngeri. Tali yang terjalin dari benang katun merah-putih itu seakan mengajaknya memegangnya, membunyikan gong itu, dan menyampaikan permohonannya. Ia menatapnya. "Apa yang hendak kumohon?" tanyanya pada diri sendiri. "Bantuan apa yang kuharapkan dari dewa-dewa? Apakah aku sudah menjadi satu dengan alam semesta? Tidakkah aku selalu mengatakan harus siap menghadapi maut setiap waktu? Tidakkah aku selalu melatih diriku menghadapi maut dengan tenang dan yakin?"

Ia tertegun. Tanpa berpikir, tanpa mengingat tahun-tahun yang telah dilaluinya dalam berlatih dan mendisiplinkan diri, hampir saja ia memohon bantuan adikodrati. Terasa olehnya ada sesuatu yang salah, karena jauh di dasar hatinya ia tahu sekutu sejati seorang samurai bukanlah dewa-dewa, melainkan maut itu sendiri. Tadi malam dan awal pagi tadi ia yakin telah menerima nasib. Tapi lihatlah, hampir saja ia lupa akan segala yang pernah dipelajarinya, yaitu memohon bantuan kepada dewa. Maka dengan kepala tertunduk malu, ia berdiri seperti batu.

"Sungguh tolol aku! Tadinya aku mengira sudah mencapai kemurnian dan pencerahan, tapi ternyata di dalam diriku masih ada bagian yang menghendaki hidup terus. Suatu khayal yang membangkitkan pikiran tentang Otsu atau kakak perempuanku! Suatu harapan palsu yang mendorongku bergayut pada apa saja. Suatu damba setani yang menyebabkan aku lupa diri dan memikatku berdoa minta bantuan pada dewa-dewa."

Ia merasa muak dan jengkel terhadap tubuhnya, jiwanya, dan kegagalannya menguasai Jalan Samurai. Air mata yang ditahan-tahannya di hadapan Otsu kini bercucuran dari matanya.

"Semua itu tadi tidak kusadari. Aku tidak bemaksud berdoa, bahkan apa yang akan kudoakan pun tak terpikir olehku.Tapi bahwa aku telah melakukannya tanpa sadar, itu lebih buruk lagi."

Tersiksa oleh kesangsiannya sendiri, ia merasa tolol dan belum matang.

Apakah ia memang punya kemampuan menjadi seorang prajurit? Kalau ia mencapai keadaan tenang yang diidam-idamkannya, tentunya ia tidak perlu berdoa atau mengajukan permohonan, walaupun secara tak sadar. Dalam satu saat yang mengguncangkan, hanya beberapa menit sebelum pertempuran. ia menemukan di dalam hatinya benih-benih sejati kekalahan. Tak mungkin sekarang ia menganggap maut yang mendekat sebagai puncak hidup seorang samurai!

Dalam tarikan napas berikutnya, gelombang rasa syukur melandanva. Kehadiran dan kebesaran dewata meliputinya. Pertempuran belum lagi dimulai. Ujian yang sebenarnya masih ada di depan. Ia mendapat peringatan pada waktunya! Dengan mengakui kegagalannya, berarti ia telah mengatasinya. Kesangsiannya lenyap. Dewata memimpinnya ke tempat ini untuk diajari hal itu.

Ia memang percaya secara tulus kepada dewa-dewa, tapi ia tidak menganggap mencari bantuan kepada dewa-dewa itu sebagai Jalan Samurai. Jalan Samurai adalah kebenaran tertinggi yang melebihi dewa-dewa dan para Budha. Ia mundur selangkah dan melipat tangan, bukannya meminta perlindungan, ia menyatakan terima kasih kepada dewa-dewa atas bantuan mereka yang datang tepat pada waktunya.

Ia membungkuk cepat dan bergegas keluar dari pekarangan tempat keramat dan menuruni jalan setapak yang sempit dan terjal. Kalau hujan deras turun, jalan itu pasti segera berubah menjadi kali deras. Kerikil dan gumpalan kotoran rapuh hancur di tumitnya, memecah kesunyian. Begitu pohon pinus lebar tampak lagi, ia meninggalkan jalan setapak dan merunduk di dalam semak. Belum setitik pun embun jatuh dari dedaunan, dan lutut serta dadanya pun segera saja basah kuyup. Pohon pinus itu tidak lebih dari empat atau lima puluh langkah di bawahnya. Terlihat olehnya orang yang memegang bedil di atas cabangnya.

Kemarahannya meluap. "Pengecut!" katanya, hampir terdengar keras. "Semua itu hanya untuk melawan satu orang?"

Tapi ada juga rasa kasihannya kepada musuh yang sampai harus mengambil tindakan ekstrem macam itu. Bagaimanapun, ia telah menduga akan menghadapi hal seperti itu, dan sejauh mungkin siap menghadapinya. Karena mereka pasti beranggapan ia tidak sendirian, maka sikap bijaksana menyebabkan mereka menyiapkan setidak-tidaknya satu senjata terbang, bahkan barangkali juga lebih dari satu. Kalau mereka mempergunakan juga busur-busur pendek, maka para pemanah barangkali bersembunyi di balik batu-batu karang atau di tempat-tempat rendah.

Musashi punya satu keuntungan besar. Baik yang ada di atas pohon maupun mereka yang ada di bawahnya itu membelakanginya. Ia merangkak maju, hampir-hampir merayap, sambil merunduk demikian rendah hingga gagang pedangnya mencuat di atas kepalanya. Kemudian ia tempuh jarak sekitar dua puluh langkah dengan berlari kencang.

Pemegang bedil memutar kepala, melihatnya, dan berteriak, "Itu dia!"

Musashi berlari lagi sepuluh langkah, tahu bahwa orang itu akan terpaksa mengubah posisi untuk membidik dan menembak.

"Di mana?" teriak orang-orang yang paling dekat dengan pohon.

"Di belakang kalian!" terdengar jawaban yang memecahkan tenggorokan.

Pemegang bedil mengarahkan senjatanya ke kepala Musashi. Ketika bunga api yang keluar dari sumbu bedil itu menghujan ke bawah, siku kanan Musashi membuat gerakan melengkung di udara. Batu yang dilemparkannya tepat mengenai sumbu dengan kekuatan dahsyat. Pekik pemegang bedil menjadi satu dengan bunyi cabang-cabang yang berderak-derak, dan orang itu pun terjungkal ke bumi.

Seketika itu juga nama Musashi ada di setiap bibir. Tak seorang pun dari mereka mau bersusah-susah memikirkan situasi itu secara menyeluruh, atau memperkirakan Musashi mungkin menggunakan cara menyerang ke satuan pusat terlebih dahulu. Maka kebingungan melanda mereka semua. Dalam ketergesaan untuk menyusun diri kembali, kesepuluh orang itu saling bertubrukan, senjata mereka tersangkut-sangkut, dan mereka saling menginjak tebing. Suasana kacau balau, semuanya saling teriak agar jangan sampai melepaskan Musashi.

Baru saja mereka memilah-milah diri dan mulai membentuk susunan tengah lingkaran, mereka sudah ditantang, "Aku Miyamoto Musashi, anak Shimmen Munisai dari Provinsi Mimasaka. Aku datang sesuai dengan persetujuan yang kita buat kemarin dulu di Yanagimachi.

"Genjiro, kamu di sana? Kuminta kau jangan ceroboh macam Seijuro dan Denshichiro sebelum ini. Aku mengerti karena umurmu yang masih muda, kau didukung beberapa orang. Tapi aku, Musashi, datang sendiri. Orang-orangmu boleh menyerang sendiri-sendiri atau berkelompok, terserah mereka. Nah, sekarang ayo berkelahi!"

Sekali lagi orang-orang terkejut luar biasa. Tak seorang pun mengira Musashi akan menyampaikan tantangan resmi! Sampai-sampai mereka yang ingin sekali menjawab dengan cara seperti itu juga kehilangan sikap yang diperlukan.

"Musashi, kau terlambat!" teriak sebuah suara serak.

Banyak di antara orang-orang itu naik semangatnya oleh pernyataan Musashi bahwa ia sendirian, tetapi Genzaemon dan Jurozaemon yakin bahwa itu tipu daya, karena itu mereka menoleh ke sekitar, untuk mencari bala bantuan yang dimiliki Musashi.

Suatu desing keras melengking ke satu sisi, dan sekejap kemudian disusul oleh kilau pedang Musashi yang membelah udara. Anak panah yang diarahkan ke wajahnya patah, separuh jatuh ke belakang bahunya, separuh lagi jatuh ke dekat ujung pedangnya yang diturunkan, atau lebih tepat dikatakan jatuh ke bekas tempat pedangnya, karena waktu itu juga Musashi sudah bergerak lagi. Dengan rambut tegak seperti bulu tengkuk singa, ia menyerang ke arah sosok gelap di belakang pohon pinus lebar.

Genjiro mendekap batang pohon sambil menjerit, "Tolong! Aku takut!"

Genzaemon melompat maju sambil melolong, seakan pukulan itu mengenainya, tapi sudah terlambat! Pedang Musashi menyabet kulit pokok pinus sepanjang dua kaki, dan kulit itu jatuh ke tanah, di samping kepala Genjiro yang berlumuran darah.                                                                   

Sungguh perbuatan setan garang! Tanpa menghiraukan yang lain-lain, Musashi langsung menyerang anak itu. Dan kelihatan ia memang sudah bermaksud demikian sejak dari semula.

Serangan itu merupakan suatu kebuasan luar biasa. Tetapi kemarian Genjiro tidak mengurangi sedikit pun daya tempur orang-orang Yoshioki. Kebingungan campur kegugupan menjadi nafsu gila untuk membunuh.

"Binatang!" pekik Genzaemon dengan muka pucat kelabu karena sedih dan berang. Dengan kepala menyuruk, ia langsung menerjang ke arah Musashi, dengan pedang yang agak terlalu berat untuk orang seumurmya. Musashi menggeser tumit ke belakang sekitar satu kaki, mencondongkan badan ke samping, lalu menebas ke atas, menyerempet siku dan wajah Genzaemon dengan ujung pedangnya. Tak mungkin orang mengatakan siapa yang melolong, karena justru pada waktu itu seorang yang menyerang Musashi dengan lembing dari belakang telah terhuyung ke muka dan jatuh menimpa orang tua itu. Saat berikutnya, pemain pedang ketiga yang datang dari muka terpapas dari bahu sampai pusar. Kepalanya terkulai dan tangannva lunglai, sementara kedua kakinya terus membawa tubuhnya yang bernyawa itu maju beberapa langkah lagi.

Orang-orang lain dekat pohon itu menjerit sekuat paru-paru mereka, tetapi seruan minta tolong mereka hilang ditelan angin dari pepohonan. Teman-teman mereka terlalu jauh untuk dapat mendengarkan dan tidak dapat melihat kejadian itu, sekalipun misalnya mereka melihat ke arah pohon pinus itu dan bukan mengawasi jalan.

Pohon pinus lebar itu sudah ratusan tahun umurnya. Ia telah menyaksikan mundurnya pasukan Taira yang kalah perang dari Kyoto ke Omi dalam peperangan abad dua belas. Tidak terhitung sudah berapa kali para pendeta Gunung Hiei turun ke ibu kota untuk memberikan tekanan pada Istana Kaisar. Apakah karena rasa terima kasih atas pemberian darah segar yang merembes ke akar-akarnya, ataukah karena sedih menyaksikan pembunuhan besar-besaran itu, cabang-cabang pinus tersebut bergoyang ditimpa angin berkabut dan menghamburkan titik-titik embun dingin kepada orang-orang di bawahnya. Angin itu membangkitkan aneka warna bunyi dari cabangcabang pohon, pada bambu yang berayun-ayun, dari kabut, dan pada rumput yang tinggi.

Musashi mengambil jurus membelakangi pokok pohon yang lebarnya melebihi pelukan dua orang. Pohon itu menjadi perisai ideal bagi bagian belakang tubuhnya, tapi rupanya ia menganggap berbahaya tinggal lama-lama di situ. Matanya mengembara ke ujung pedangnya dan menatap lawan-lawannya, otaknya menilai medan dan mencari kedudukan yang lebih baik.

"Pergi ke pinus lebar! Ke pinus! Pertempuran di sana!" Teriakan itu datang dari puncak bukit kecil yang dipilih Sasaki Kojiro untuk mengamati tontonan itu.

Kemudian terdengar bunyi bedil yang memekakkan telinga, dan barulah samurai dari Keluarga Yoshioka menangkap apa yang sedang terjadi. Seperti tawon, mereka bergerombol meninggalkan tempat-tempat persembunyian dan meluncur ke persimpangan jalan.

Musashi berkelit ke samping. Peluru menghunjam batang pohon, beberapa inci dari kepalanya. Sebaliknya, ketujuh orang yang menghadapinya beringsut memutar beberapa kaki untuk mengimbangi perubahan kedudukan Musashi itu.

Tanpa peringatan terlebih dahulu, Musashi menyerbu dengan pedang dipasang setinggi mata, ke arah orang yang berdiri paling kiri. Kobashi Kurando, seorang dari Sepuluh Pemain Pedang Yoshioka, terkena serangan itu. Disertai pekik kaget yang rendah bunyinya, ia memutar badan dengan satu kakinya, tapi tidak cukup cepat untuk dapat lolos dari pukulan ke lambungnya. Dengan pedang masih diacungkan, Musashi terus berlari lurus ke depan.

"Jangan biarkan dia lepas!"

Keenam orang lainnya maju mengejarnya, tetapi serangan Musashi kembali membuat mereka berantakan, kehilangan kerja sama. Dalam sekejap mata Musashi berputar sambil menebas menyamping ke arah orang terdekat. Miike Jurozaemon. Sebagai pemain pedang berpengalaman, Jurozaemon sudah menebak serangan ini, dan ia memberikan giliran beraksi pada kakinya, hingga ia dapat cepat bergerak mundur. Ujung pedang Musashi hampir saja menyerempet dadanya.

Cara Musashi menggunakan senjatanya berlainan dengan cara pemain pedang biasa pada zamannya. Menurut teknik yang biasa, kalau hantaman pertama tidak mengena, tenaga pedang itu habis di udara. Sebelum dapat menghantam lagi, mata pedang harus lebih dulu ditarik kembali. Ini terlampau lambat untuk Musashi. Bilamana ia menghantam ke samping, hantaman itu diteruskan dengan hantaman ke arah kebalikan. Tebasan ke kanan diikutinya dengan pukulan kebalikan ke kiri, dengan gerakan yang hakikatnya sama. Mata pedangnya dengan demikian menciptakan dua berkas cahaya, yang gambarnya mirip sekali dengan dua lembar daun pintu yang saling dihubungkan.

Pukulan kebalikan yang tak disangka-sangka itu menyayat ke muka Jurozaemon hingga kepalanya menjadi tomat merah besar.

Karena tidak belajar di bawah pimpinan seorang guru, Musashi merasa kadang-kadang berada pada kedudukan tidak menguntungkan, tapi kadang-kadang juga ia dapat mengambil keuntungan dari situ. Salah satu keunggulannya adalah ia tidak pernah dicetak oleh perguruan tertentu. Ditinjau dari pandangan ortodoks, gayanya tidak memiliki bentuk yang jelas, tidak ada aturannya, dan tak ada teknik-teknik rahasianya. Karena gaya itu hanya.didasarkan pada daya cipta dan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, maka sukar disebutkan macamnya atau golongannya. Sampai taraf tertentu bisa saja ia dilawan secara efektif dengan menggunakan gaya-gaya konvensional. kalau lawannya sangat terampil. Jurozaemon tidak dapat menduga lebih dahulu taktik Musashi. Orang yang mahir dalam Gaya Yoshioka atau dalam salah satu gaya Kyoto lain barangkali juga akan terperangah seperti  Jurozaemon.

Kalau pukulan fatal yang dijatuhkannya kepada Jurozaemon itu diteruskan dengan menyerang juga rombongan campuran yang tetap tinggal di sekitar pohon, pasti Musashi dapat membantai beberapa orang lagi dalam waktu singkat. Tapi ia malah berlari menuju persimpangan jalan. Kemudian ketika mereka menyangka ia akan melarikan diri, tiba-tiba saja ia berbalik dan menyerang lagi. Begitu mereka telah menyusun diri kembali untuk mempertahankan diri, ia lari lagi.

"Musashi!"

"Pengecut!"

"Berkelahilah seperti lelaki!"

"Urusan kita belum selesai!"

Kata-kata kutukan yang memang biasa itu memenuhi udara. Mata yang berang sudah hampir meloncat dari ceruknya. Orang-orang itu sudah mabuk melihat dan mencium darah, sama mabuknya dengan orang yang sudah meneguk segudang sake. Darah membuat para pemberani menjadi lebih tenang, tapi mempunyai efek sebaliknya terhadap para pengecut. Orang-orang itu seperti setan air yang muncul dari danau darah yang kental.

Musashi mengabaikan saja teriakan-teriakan itu. Sesampainya di persimpangan jalan, ia segera mengambil jalan tersempit di antara ketiga jalan keluar itu, yaitu jalan yang menuju Shugakuin. Dari arah berlawanan. orang-orang yang telah ditempatkan sepanjang jalan itu datang secara kacau-balau. Belum sampai empat puluh langkah berjalan, Musashi melihat orang pertama dalam rombongan itu. Menurut hukum fisika yang biasa, ia akan segera terperangkap di antara orang-orang itu dan orang-orang yang mengejarnya. Tapi nyatanya, ketika kedua kesatuan itu bertumbukan Musashi tidak ada lagi di sana.

"Musashi. Di mana kau?"

"Dia di sini tadi. Aku melihatnya!"

"Pasti!"

"Dia tidak ada!"

Dan suara Musashi meledak di tengah ocehan bingung itu. "Aku di sini!"

Ia melompat dari balik bayangan sebuah batu, ke tengah jalan, di belakang para samurai yang sedang berbalik, hingga ia dapat menghadapi mereka semua dari satu arah. Tercengang oleh perubahan kilat kedudukan itu, orang-orang Yoshioka bergerak cepat menghimpitnya, tapi di jalan sempit itu mereka tidak dapat memusatkan kekuatan. Kalau diukur ruang yang diperlukan untuk mengayunkan pedang, untuk dua orang saja pun jalan itu berbahaya untuk dipakai bergerak maju bersama.

Orang yang terdekat dengan Musashi terhuyung ke belakang dan mendorong mundur orang di belakangnya ke tengah rombongan yang sedang datang. Untuk sesaat mereka semua menggelepar tanpa daya, kaki saling berkait. Tapi dalam gerombolan, orang memang tak mudah menyerah. Walaupun gentar oleh kecepatan dan keganasan Musashi, orang-orang itu segera dapat memperoleh kembali keyakinan mereka akan kekuatan kolektif. Sambil meraung menggeletar, mereka maju ke depan. Sekali lagi mereka yakin bahwa tak seorang pemain pedang pun dapat menandingi mereka semua.

Musashi berkelahi seperti perenang yang sedang melawan gelombang raksasa. Sekali memukul, ia mundur selangkah-dua langkah. Ia mesti lebih mencurahkan perhatian pada pertahanan daripada serangan. Ia bahkan menahan diri agar tidak menebas orang-orang yang terhuyung ke dalam jangkauan tangannya dan merupakan sasaran empuk, baik karena jatuhnya mereka tidak akan cukup menghasilkan keuntungan, maupun karena kalau tebasannya meleset, ia akan jadi sasaran lembing-lembing musuh. Jangkauan pedang memang bisa diukur secara tepat, tapi tidak demikian halnya dengan lembing.

Sementara ia terus mengundurkan diri pelan-pelan, para penyerangnya menghimpitnya tanpa kenal ampun. Wajahnya sudah putih kebiruan, sampai seakan-akan mustahil ia bisa bernapas cukup. Orang orang Yoshioka berharap akhirnya ia akan terantuk akar pohon atau tersandung batu. Sementara itu, tak seorang pun dari mereka mau terlampau dekat dengan orang yang sedang berkelahi mati-matian demi hidupnya itu. Jatuhnya pukulan pedang dan lembing terdekat yang menghimpit Musashi selalu lima atau tujuh sentimeter dari jangkauan sasarannya.

Hiruk-pikuk itu ditambah lagi oleh meringkiknya kuda-kuda beban. Di dukuh terdekat, orang sudah bangun dan sibuk. Saar itu adalah saat para pendeta yang rajin lewat dalam perjalanan ke atau dari puncak Gunung Hiei, dengan suara bakiak berdetak-detak dan bahu tegap dibidangkan. Sementara pertempuran berjalan terus, para penebang kayu dan petani ikut para pendeta di jalan, menyaksikan pertunjukan itu. Kemudian ayam dan kuda di kampung ikut pula sibuk memperdengarkan suara. Segerombolan penonton berkumpul sekitar tempat keramat di mana Musashi tadi mempersiapkan diri menjelang pertempuran. Angin berhenti bertiup dan kabut turun lagi seperti tirai putih yang tebal. Kemudian tiba-tiba kabut itu hilang sama sekali, hingga para penonton dapat menyaksikan pemandangar itu dengan jelas.

Selama beberapa menit bertempur, keadaan tubuh Musashi sudah berubah sama sekali. Rambutnya sudah kusut berlumuran darah. Darah bercampur keringat mencelup ikat kepalanya menjadi merah muda. Ia tampak seperti penjelmaan setan yang muncul dari neraka. Ia bernapas dengan seluruh tubuhnya. Dadanya yang seperti perisai itu naik-turun seperti gunung berapi. Robekan pada hakama-nya memperlihatkan luka pada lutut kirinya. Jaringan-jaringan putih di dasar luka itu tampak seperti biji buah delima merekah. Pada lengan bawahnya juga terdapat luka. Luka itu tidak gawat. tetapi telah memercikkan darah ke dada, sampai ke pedang kecil dalam obinya. Seluruh kimononya tampak seperti sudah dicelup merah tua. Penonton yang dapat melihatnya, menutup mata karena ngeri.

Yang lebih mengerikan lagi adalah melihat orang yang mati dan terluka akibat pertempuran. Melanjutkan gerakan mundur taktisnya menyusuri jalan setapak, sampailah Musashi di sepetak tanah terbuka, di mana para pengejarnya menyerbu secara besar-besaran. Dalam beberapa detik saja. empat atau lima orang sudah terpotong. Mereka bergelimpangan di sanasini, suatu bukti kecepatan pukulan dan gerakan Musashi. Ia seperti ada di mana-mana sekaligus.

Tapi sekalipun Musashi dapat beranjak dan mengelak dengan cekatan, ia berpegang pada satu strategi dasar. Ia tidak pernah menyerang suatu kelompok dari depan atau samping-selamanya menyerong, pada sudut yang terbuka. Apabila satu kesatuan samurai mendekatinya berhadap-hadapan. ia beranjak seperti kilat ke sudut formasi mereka, agar dari situ ia dapat menghadapi seorang-dua orang saja berganti-ganti. Dengan cara ini, ia dapat memaksa mereka pada kedudukan yang sama. Tetapi akhirnya Musashi toh lelah juga. Lawan-lawannya pun akhirnya akan menemukan cara untuk menggagalkan metode serangan itu. Untuk itu, mereka perlu menyusun diri dalam dua kekuatan besar, di depan dan di belakang Musashi. Dengan demikian, Musashi akan berada dalam bahaya yang lebih besar lagi. Musashi harus mengerahkan seluruh akalnya untuk mencegah terjadinya hal itu.

Pada suatu ketika, Musashi menarik pedang kecilnya dan mulai bertempur dengan kedua tangannya. Pedang besar di tangan kanannya berlumuran darah sampai gagang dan kepalan yang menggenggamnya, sedangkan pedang kecil di tangan kirinya masih bersih. Walaupun pedang pendek itu sudah dapat mengiris sedikit daging waktu pertama kali dipergunakan, ia masih juga berkilau, haus oleh darah. Musashi sendiri belum sepenuhnya sadar bahwa ia telah mencabut pedang pendek itu, walaupun ia sudah menggunakannya dengan cekatan, sama seperti saat menggunakan pedang besarnya.

Apabila tidak memukul, ia arahkan pedang kiri itu langsung ke mata lawannya. Pedang kanan dijulurkan ke samping, membentuk busur horisontal lebar dengan siku dan bahunya, dan berada betul-betul di luar garis pandangan musuh. Kalau lawan bergerak ke kanan, Musashi dapat memainkan pedang kanannya. Kalau penyerang bergerak sebaliknya, Musashi dapat menggerakkan pedang kecil ke kirinya dan memerangkap musuh di antara kedua pedangnya. Dengan menusuk ke depan, ia dapat memaku orang itu ke satu tempat dengan pedang kecil, dan sebelum ada waktu untuk mengelak, ia menyerangnya lagi dengan pedang besar. Bertahun-tahun kemudian, cara ini akhirnya secara resmi dinamakan Teknik Dua Pedang Melawan Kekuatan Besar, tapi waktu itu Musashi berkelahi hanya menuruti naluri semata-mata.

Dinilai dari segala ukuran yang berlaku, Musashi bukanlah seorang teknikus pedang yang besar. Sekolah, gaya, teori, tradisi—tak satu pun dari semuanya itu ia pahami. Cara berkelahinya sepenuhnya pragmatis. Yang diketahuinya hanyalah apa yang dipelajarinya dari pengalaman. Ia tidak melaksanakan teori dalam praktek. Ia berkelahi dulu, baru sesudah itu berteori.

Orang-orang Yoshioka, mulai dari Sepuluh Pemain Pedang sampai ke bawah, semua menguasai teori-teori Delapan Gaya Kyoto yang dijejalkan ke dalam benak mereka. Beberapa orang bahkan sampai menciptakan variasi gaya sendiri. Sekalipun mereka petarung yang sangat terlatih dan sangat disiplin, mereka tidak dapat menaksir kemampuan pemain pedang seperti Musashi yang menghabiskan waktunya sebagai pertapa di pegunungan, membuka diri sebanyak-banyaknya terhadap bahasa yang berasal dari alam maupun dari manusia. Bagi orang-orang Yoshioka, tidaklah dapat dipahami bahwa dengan napas yang sudah demikian tidak teratur, dengan muka yang sudah kelabu, mata yang sudah buram karena keringat, dan tubuh yang sudah berlumuran darah kental, Musashi masih dapat menggunakan dua bilah pedang dan mengancam akan menghabiskan siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Tetapi ia berkelahi terus seperti dewa api atau dewa angkara. Mereka sendiri sudah lelah setengah mati, dan usaha-usaha mereka untuk menaklukkan momok terkutuk ini sudah histeris sifatnya.

Sekonyong-koyong hiruk-pikuk itu meningkat.

"Lari!" teriak seribu suara.

"Hai, engkau yang sendirian, lari!"

"Kita nanti terpaksa lewat batu itu lagi."

"Ha, ha! Dan melihat orang cebol bermuka perempuan lagi? Lupakanlah! Aku bersamamu sekarang. Oh, tapi dengarkan... apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu? Ayo cepat! Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka seram itu."




"Lari, selagi bisa!"

Teriakan itu datang dari pegunungan, pepohonan, dari awan-awan di atas. Para penonton di segala tempat melihat barisan Yoshioka sedang mengepung Musashi. Bahaya yang mengancam menggerakkan semua penonton untuk mencoba menyelamatkannya, walaupun hanya dengan suara.

Tetapi peringatan mereka itu tak berarti. Musashi takkan mendengarnya, sekalipun bumi terbelah hancur lebur atau langit bertubi-tubi mengirimkan kilat halilintar. Teriakan itu makin lama makin seru, mengguncang ketiga puluh enam puncak gunung itu, seperti gempa bumi. Teriakan-teriakan itu datang serentak dari para penonton dan para samurai Yoshioka yang berdesak-desakan.

Musashi akhirnya enyah melintasi sisi gunung dengan kecepatan babi liar. Dalam waktu singkat, lima atau enam orang mengejarnya, mencoba mati-matian agar sempat menjatuhkan pukulan keras.

Disertai lolongan dahsyat, Musashi tiba-tiba berputar, merunduk, dan mengayunkan pedang ke samping, setinggi tulang kering, hingga para pengejarnya berhenti. Satu orang meluncurkan lembing dari atas, tetapi lembing itu mental ke udara, terkena pukulan balasan yang perkasa. Mereka serentak mundur. Musashi mengayun ganas pedang yang kiri. kemudian yang kanan, kemudian kiri lagi. Karena ia bergerak seperti gabungan api dan air, musuh-musuhnya berputar-putar gemetar, terhuyunghuyung dan tersandung-sandung di belakangnya.

Kemudian Musashi lari lagi. Ia melompat dari tanah terbuka tempat berkecamuknya pertempuran, dan masuk ladang gandum hijau di bawah.

"Berhenti!"

"Balik sini dan ayo berkelahi!"

Dua orang melompat membabi buta mengejar Musashi. Sekejap kemudian terdengar dua jeritan meregang nyawa, dua lembing terbang membelah udara dan terjatuh tegak lurus di tanah ladang. Musashi menggelincir seperti bola besar dari lumpur, melewati ujung ladang. Sesudah seratus meter jauhnya, ia cepat memperlebar jarak itu.

"Dia menuju dusun!"

"Dia ke jalan besar!"

Padahal nyatanya Musashi merangkak naik dengan cepat dan tanpa terlihat menuju ke ujung ladang itu, dan sekarang tersembunyi di hutan sebelah atas. Ia melihat bagaimana para pengejarnya membagi diri untuk meneruskan pengejaran ke beberapa arah.

Waktu itu sudah siang. Pagi cerah, mirip hari-hari lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP