Rabu, 12 Juli 2017









 Gema di Dalam Saiju

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







MUSASHI melewati banyak gang untuk menghindari kamar-kamar yang berpenerangan sangat terang. Ia sampai di sebuah kamar gelap tempat menyimpan tilam dan kamar lain yang penuh perkakas. Dinding-dinding seperti memancarkan bau hangat makanan yang sedang dimasak, namun ia tak dapat juga menemukan dapur.

Seorang pembantu keluar dari sebuah kamar, merentangkan tangannya. "Pak, tamu-tamu tak boleh masuk di sini," katanya mantap, sama sekali tidak kelihatan kemungilan kanak-kanaknya, seperti biasa ia tunjukkan di kamar tamu.

"Oh, jadi tak boleh, ya?"

"Tentu saja tak boleh!" Ia dorong Musashi ke arah depan, lalu ia sendiri berjalan ke arah yang sama.

"Apa bukan kamu yang jatuh ke salju tadi? Rin'ya namamu, ya?"

"Ya, nama saya Rin'ya. Saya kira Bapak tersesat mencari kamar kecil. Mari saya tunjukkan." Ia memegang tangan Musashi dan menariknya.

"Bukan aku. Aku tidak mabuk. Aku cuma minta pertolonganmu. Bawa aku ke kamar kosong dan bawakan aku makanan."

"Makanan? Kalau itu yang Bapak minta, nanti kubawakan ke kamar Bapak."

"Tidak, tidak ke sana. Semua orang sedang senang-senang sekarang. Mereka belum mau diingatkan tentang makan malam."

Rin'ya menelengkan kepalanya. "Saya kira Bapak benar. Saya bawa makanan ke sini. Bapak mau makan apa?"

"Tak usah yang istimewa, dua gumpal besar nasi cukuplah."

Anak itu kembali beberapa menit kemudian, membawa gumpalan nasi dan menyuguhkannya kepada Musashi di sebuah kamar tanpa lampu. Sesudah selesai, kata Musashi, "Aku bisa keluar lewat kebun dalam sana?" Dan tanpa menanti jawaban lagi, ia berdiri dan berjalan ke beranda.

"Mau ke mana, Pak?"

"Jangan kuatir, aku segera kembali."

"Kenapa Bapak pergi lewat pintu belakang?"

"Orang bisa ribut kalau aku lewat pintu depan. Dan kalau tuan rumah melihatku, mereka akan tersinggung dan kesenangan mereka jadi rusak."

"Saya bukakan pintu gerbang, tapi jangan lupa kembali lagi segera. Kalau tidak, mereka bisa menyalahkan saya."

"Aku mengerti. Kalau Pak Mizuochi bertanya tentangku, katakan padanya aku pergi ke dekat Rengeoin, bertemu orang yang sudah kukenal. Aku bermaksud lekas kembali."

"Bapak mesti lekas kembali. Teman Bapak malam ini Yoshino Dayu." Ia membuka pintu gerbang kayu lipat yang bersalju itu dan mempersilakan Musashi keluar.

Tepat di depan pintu masuk utama ke daerah hiburan itu terdapat Warung Teh Amigasa-jaya. Musashi berhenti, minta sepasang sandal jerami. tapi mereka tak punya. Seperti ditunjukkan namanya, warung itu terutama menjual topi anyaman kepada lelaki yang ingin menyembunyikan identitasnya waktu memasuki daerah itu.

Musashi menyuruh seorang gadis warung membeli sandal, kemudian duduk di ujung bangku dan mengeratkan obi dan tali di bawahnya. Ia lepaskan mantelnya yang longgar dan ia lipat rapi-rapi, kemudian ia pinjam kertas dan kuas, dan ia tulis catatan singkat yang kemudian ia lipat dan ia selipkan ke dalam lengan mantel. Kemudian ia sapa orang tua yang meringkuk di samping perapian dalam kamar di belakang warung, yang ternyata pemilik warung itu. "Boleh saya minta tolong menyimpan mantel ini? Kalau saya tidak kembali jam sebelas nanti, tolong mantel ini dibawa ke Ogiya dan diserahkan kepada orang yang namanya Koetsu. Ada surat untuknya di dalam lengannya."

Orang itu menjawab bahwa dengan senang hati ia akan menolong. Ketika ditanya, ia memberitahukan pada Musashi bahwa waktu itu baru sekitar pukul tujuh, karena penjaga baru saja lewat memberitahukan waktu.

Ketika gadis warung kembali membawa sandal, Musashi memeriksa talinya untuk memastikan kepangannya tidak terlalu erat, kemudian ia ikatkan tali itu ke kaus kulitnya. Pemilik warung ia beri uang yang jumlahnya lebih banyak daripada biasa, kemudian ia ambil topi anyaman baru, dan keluarlah ia. Topi itu tidak diikatkan, tapi ditaruh saja di atas kepala untuk menolak saiju yang waktu itu turun berkeping-keping, lebih lembut dari bunga sakura.



Lampu kelihatan di sepanjang tepi sungai di Jalan Shijo, tetapi di timur. di hutan Gion, suasana gelap pekat, hanya ada bercak-bercak cahaya di sana-sini, pancaran lentera-lentera batu. Ketenangan yang beku itu hanya kadang-kadang saja dipecahkan oleh bunyi salju yang menggelincir dari cabang pohon.

Di depan sebuah gerbang tempat suci ada sekitar dua puluh lelaki sedang berdoa sambil berlutut menghadap bangunan kosong itu. Lonceng kuil di bukit-bukit yang tak jauh dari sana baru berbunyi lima kali, menandai pukul delapan. Pada malam istimewa ini, bunyi lonceng yang keras nyaring itu terasa menembus sampai ulu hati.

"Cukup kita berdoa," kata Denshichiro. "Mari kita jalan."

Ketika mereka berangkat, seorang dari orang-orang itu bertanya pada Denshichiro apakah tali sandalnya baik keadaannya. "Malam beku macam ini, kalau terlalu erat bisa putus."

"Sudah bagus. Kalau udara dingin macam ini, yang terbaik dipakai adalah tali kain. Lebih baik itu kauingat."

Di tempat suci itulah Denshichiro menyelesaikan persiapan tempurnya, sampai pada ikat kepala dan tali lengan baju dari kulit. Dikelilingi rombongannya yang berwajah seram, ia berjalan melintasi saiju dengan tarikan napas panjang dan embusan uap putih.

Tantangan yang disampaikan pada Musashi menyebutkan daerah belakang Rengeoin pada pukul sembilan. Orang-orang Yoshioka takut atau menyatakan takut bahwa jika mereka memberikan waktu ekstra pada Musashi, ia bisa lari dan tidak kembali lagi, karena itu mereka bertindak cepat. Hyosuke tetap tinggal di sekitar rumah Shoyu, tapi dua rekannya ia suruh melaporkan keadaan.

Ketika mendekati Rengeoin, mereka melihat api unggun di dekat bagian belakang kuil.

"Siapa itu?" tanya Denshichiro.

"Barangkali Ryohei dan Jurozaemon."

"Mereka di sini juga?" tanya Denshichiro dengan nada jengkel. "Terlalu banyak orang kita hadir di sini. Aku tak ingin orang bilang Musashi kalah karena diserang pasukan besar."

"Kalau tiba saatnya, kami pergi."

Bangunan utama Kuil Sanjusangendo itu memanjang sederetan lengkung bertiang tiga puluh tiga. Di belakang terdapat ruangan besar terbuka yang bngus sekali untuk berlatih panahan dan memang sudah lama dipergunakan untuk tujuan itu. Karena ada hubungannya dengan salah satu aliran seni pcrang itulah maka Denshichiro terdorong memilih Rengeoin sebagai tempat bararung melawan Musashi. Denshichiro dan orang-orangnya senang dengan ptlihan itu. Di situ terdapat beberapa pohon pinus, cukup untuk membuat pcmandangan di situ tidak tampak gersang, tapi tak ada rumput liar atau ilalang yang bisa menghambat selama berlangsungnya pertempuran.

Ryohei dan Jurozaemon bangkit menyambut Denshichiro. Kata Ryohei, °'Anda tentu kedinginan berjalan tadi. Masih banyak waktu sekarang. Silahkan duduk menghangatkan diri."

Tanpa mengatakan sesuatu, Denshichiro duduk di tempat yang ditunjukkan Ryohei. Ia menjulurkan kedua tangannya ke atas nyala api dan memetakkan buku-buku jarinya satu demi satu. "Kukira terlalu pagi aku datang," katanya. Wajahnya yang sudah hangat oleh api mulai tampak haus darah. Sambil mengerutkan kening Ia bertanya, "Di jalan tadi, apa kita tidak melewati warung teh?"

"Ya, tapi warung itu tutup."

"Pergilah seorang dari kalian ke sana ambil sake.  Kalau kau mengetuk          cukup lama,  mereka pasti menjawab."

"Sake, sekarang?"

"Ya, sekarang, aku kedinginan." Denshichiro lebih mendekatkan diri ke api sambil jongkok, sampai hampir-hampir mendekap api itu.

Tak seorang pun ingat kapan Denshichiro masuk dojo tanpa bau alkohol. baik pagi, siang, atau malam. Karena itu, kebiasaannya minum sudah diterima sebagai hal biasa. Sekalipun nasib seluruh Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan, ada yang mempunyai pertimbangan barangkali lebih baik kalau Denshichiro menghangatkan badan dengan sake sedikit daripada mencoba menggerakkan pedang dengan tangan dan kaki yang beku. Seorang lagi dengan tenang menyatakan terlalu berbahaya melawan kehendak Denshichiro, sekalipun untuk kebaikan sendiri. Maka beberapa orang berlari ke warung teh. Sake yang mereka bawa panas sekali.

"Bagus!" kata Denshichiro. "Ini teman dan sekutumu yang terbaik."

Denshichiro minum dan yang lain-lain memperhatikan dengan bingung seraya berdoa semoga ia tidak minum sebanyak biasanya. Untunglah Denshichiro tidak minum sampai mencapai takarannya yang biasa. Sekalipun memperlihatkan sikap acuh tak acuh, ia tahu benar bahwa hidupnya dalam taruhan.        

"Hei, dengar! Apa mungkin itu Musashi?"      

Telinga-telinga ditegakkan.

Orang-orang sekitar api cepat berdiri, dan satu sosok tubuh gelap muncul di luar sudut bangunan. Ia melambaikan tangan dan berseru. "Jangan kuatir! Cuma aku

Walaupun berpakaian megah, dengan hakama yang disingsingkan, orang itu tidak dapat menyembunyikan umurnya. Punggungnya bungkuk seperti bentuk busur. Ketika orang-orang itu dapat melihatnya lebih jelas, mereka saling menerangkan bahwa orang itu tak lebih dan "orang tua dari Mibu" dan keributan pun mereda. Orang tua itu Yoshioka Genzaemon, saudara lelaki Kempo, paman Denshichiro.

"Oh, Paman Gen! Kenapa Paman datang ke sini?" tanya Denshichiro.

Tak pernah terpikir olehnya bahwa pamannya menganggap bantuan darinya diperlukan malam ini.

"Ah, Denshichiro," kata Genzaemon, "aku yakin engkau dapat menyelesaikannya dengan baik. Aku lega melihat kau di sini."

"Tadinya saya bermaksud membicarakan dulu soal ini dengan Paman, tapi. . . "

"Membicarakan? Apa yang mesti dibicarakan? Nama Yoshioka masuk lumpur, dan kakakmu sudah jadi cacat! Kalau engkau tidak ambil tindakan, berarti aku yang mesti menjawab!"

"Tak ada yang mesti dikuatirkan. Saya bukan orang lembek macam kakakku."

"Aku percaya dengan kata-katamu. Dan aku tahu engkau akan menang, tapi kupikir lebih baik aku datang memberikan dorongan kepadamu. Dari Mibu aku lari kemari. Denshichiro, kuperingatkan kau, menurut yang kudengar, kau tak boleh menganggap enteng lawanmu ini."

"Saya tahu."

"Jangan terlalu buru-buru ingin menang. Tenanglah, dan serahkan semuanya pada dewa-dewa. Kalau kebetulan engkau terbunuh, aku akan mengurus tubuhmu."

"Ha, ha, ha, ha! Ayolah, Paman Gen, hangatkan badan dekat api."

Orang tua itu pelan-pelan minum semangkuk sake, kemudian katanya pada yang lain-lain dengan nada mencela, "Apa yang kalian buat di sini? Kalian tidak bermaksud membantu dengan pedang, kan? Pertandingan ini antara seorang pemain pedang lawan pemain pedang lain. Kelihatan pengecut kalau banyak pendukung di mana-mana. Sudah hampir waktunya sekarang. Ayo, kalian semua ikut aku. Kita pergi ke tempat yang cukup jauh, supaya tidak kelihatan kita punya rencana melakukan serangan keroyokan."

Orang-orang itu menurut perintah dan meninggalkan Denshichiro sendiri. Denshichiro duduk dekat api, berpikir, "Waktu aku mendengar lonceng tadi, jam delapan. Mestinya sudah jam sembilan sekarang. Musashi terlambat."

Satu-satunya tanda yang ditinggalkan para muridnya adalah jejak-jejak kaki hitam di atas salju, sedangkan satu-satunya bunyi adalah detak-detik tetesan air membeku yang lepas dari ujung atap kuil. Satu kali cabang sebuah pohon patah oleh beratnya salju. Setiap kali ketenangan terganggu, mata Denshichiro jelalatan seperti mata burung elang pemburu.

Dan seperti elang pemburu, seorang lelaki datang menderap di saiju.

Dengan gugup dan terengah-engah, Hyosuke berkata, "Dia datang."

Denshichiro memahami kabar itu sebelum mendengarnya, dan ia sudah berdiri. "Dia datang?" tanyanya membeo, dan dengan sendirinya kakinya menginjak bara api yang terakhir.

Hyosuke melaporkan bahwa Musashi bersikap tenang sesudah meninggalkan Ogiya, seakan-akan tak peduli dengan salju yang turun hebat. "Beberapa menit lalu dia mendaki tangga batu Tempat Suci Gion. Saya ambil jalan belakang dan jalan secepat-cepatnya, tapi biarpun dia jalan santai saja, saya tak bisa jauh meninggalkan dia. Saya harap Tuan sudah siap."

"Hmm, ini dia... Hyosuke, pergi dari sini."

"Di mana yang lain-lain?"

"Aku tidak tahu, tapi aku tak ingin engkau di sini. Kau membuatku gugup."

"Baik, Tuan." Nada bicara Hyosuke tunduk, tapi ia tak mau pergi. Dan ia berketetapan untuk tidak pergi. Sesudah Denshichiro menginjak-injak api sampai menjadi lumpur salju, dan kemudian berjalan ke halaman kuil dengan sikap naik darah, Hyosuke menyuruk ke bawah lantai kuil dan berjongkok di kegelapan. Ia tidak begitu memperhatikan angin yang datang dari luar, padahal di bawah bangunan itu angin melecut dingin. Karena dingin merasuk ke tulang, ia merangkum lutut. Ia mencoba menipu dirinya dengan berpikir bahwa gemeretuk giginya dan getar nyeri yang menjalari tulang punggungnya itu hanya diakibatkan oleh dingin dan tak ada hubungannya sama sekali dengan rasa takut.

Denshichiro berjalan sekitar seratus langkah dari kuil dan mengambil jurus mantap dengan menahankan sebelah kakinya pada akar pohon pinus yang tinggi dan menanti dengan tak sabar. Kehangatan sake cepat menghilang. Denshichiro merasa hawa dingin menggigit dagingnya. Kesabarannya semakin habis. Hal itu tampak juga oleh Hyosuke yang dapat melihat halaman seterang siang.

Setumpuk salju jatuh dari cabang sebuah pohon. Denshichiro terkejut dan gugup.

Musashi belum juga muncul.

Akhirnya, karena tidak dapat duduk lebih lama lagi, Hyosuke keluar dari tempat persembunyiannya dan berteriak, "Ada apa dengan Musashi?"

"Kamu masih di sini, ya?" tanya Denshichiro marah, tapi ia sama jengkelnya dengan Hyosuke, karena itu ia tidak memerintahkan Hyosuke pergi. Diam-diam kedua orang itu saling mendekati. Mereka berdiri sambil melihat-lihat ke segala jurusan, dan berulang kali secara bergantian mereka mengatakan, "Dia tidak kelihatan." Setiap kali nada bicaranya semakin marah dan curiga.

"Bajingan! Dia lari!" seru Denshichiro.

"Tak mungkin," tekan Hyosuke. Kemudian ia menceritakan kembali dengan sungguh-sungguh segala yang telah ia lihat, juga menerangkan kenapa ia merasa yakin Musashi akan datang.

Tapi Denshichiro menyelanya. "Apa itu?" tanyanya sambil cepat melayangkan pandangan ke salah satu ujung kuil.

Sebuah lilin bergoyang muncul dari bangunan dapur di belakang aula panjang. Lilin itu dipegang seorang pendeta. Sampai di situ jelas, tapi mereka tak dapat melihat sosok tubuh remang-remang yang ada di belakang si pendeta.

Kedua bayangan dan berkas cahaya itu melintas pintu gerbang antan dapur dan bangunan utama, lalu naik ke beranda panjang Sanjusangendo.

Si pendeta bicara dengan suara ditekan, "Malam hari semua di sini tutup, karena itu saya tidak tahu. Tadi ada beberapa samurai memanaskan diri di halaman. Barangkali mereka itu yang Anda tanyakan, tapi mereka sudah pergi sekarang, seperti Anda lihat sendiri."

Orang satunya bicara pelan. "Saya minta maaf telah mengganggu Bapak sementara Bapak tidur. Ah, tapi di bawah pohon di sana itu ada dua orang, kan? Mereka itu barangkali yang mengirim pesan, mengatakan akan menunggu saya di sini."

"Nah, kalau begitu tak ada salahnya menanyai mereka."

"Saya yang akan bertanya. Sekarang saya dapat menemukan jalan sendiri, karena itu silakan kalau Bapak mau kembali ke kamar Bapak."

"Anda ikut teman-teman berpesta meninjau salju?"

"Yah, semacam itulah," kata orang satunva itu sambil tertawa sedikit.

Sambil mematikan lilin, si pendeta berkata, "Saya kira tak perlu saya menyebutkannya, tapi kalau Anda membuat api dekat kuil seperti orang-orang itu tadi, harap hati-hati dan mematikannya waktu Anda pergi."

"Pasti saya lakukan."

"Bagus, kalau begitu. Sekarang maafkan saya."

Pendeta itu kembali lewat pintu gerbang dan menutupnya. Orang di beranda itu berdiri diam sejenak sambil memandang saksama ke arah Denshichiro.

"Hyosuke, siapa itu?"

"Tak tahu saya, tapi dia datang dari dapur."

"Kelihatannya bukan orang kuil."

Kedua orang itu berjalan sekitar dua puluh langkah mendekati bangunan. Orang yang tak jelas itu berjalan ke suatu tempat dekat tengah beranda, di situ berhenti dan mengikat lengan bajunya. Kedua orang di halaman secara tidak sadar sudah demikian menghampiri, hingga dapat melihatnya, tapi kemudian kaki mereka tak bisa lagi diajak mendekat.

Selang dua-tiga tarikan napas, Denshichiro berseru, "Musashi!" Ia sadar benar bahwa orang yang berdiri beberapa kaki di atas itu berada dalam kedudukan yang sangat menguntungkan. Tidak hanya ia aman sekali dari belakang, melainkan juga setiap orang yang mencoba menyerangnya dari kanan atau kiri akan terpaksa naik lebih dulu sampai ke tingkatnya. Dengan demikian, ia bebas mencurahkan perhatiannya kepada musuh di depan.

Di belakang Denshichiro terdapat pekarangan terbuka, salju dan angin, ia yakin Musashi tidak membawa orang lain, tapi ia tak boleh mengabaikan ruang luas di belakangnya itu. Ia membuat gerakan seakan melepas sesuatu dari kimononya, dan mendesak Hyosuke, "Pergi kamu dari sini!" Hyosuke pergi ke ujung belakang halaman.

"Anda siap?" pertanyaan Musashi tenang tapi tajam, dan jatuh seperti air es pada lawannya yang sudah naik darah.

Sekarang untuk pertama kalinya Denshichiro dapat melihat Musashi dengan jelas. "Jadi, inilah bajingan itu!" pikirnya. Dendamnya sungguh menyeluruh. Ia benci karena kakaknya dibikin cacat, ia jengkel karena diperbandingkan dengan Musashi oleh orang banyak, dan ia jijik sekali melihat orang yang menurut anggapannya hanya pemuda dari desa yang berlagak sebagai samurai.

"Berani-beraninya kau bertanya Anda siap? Ini sudah lewat jam sembilan!"

"Apa aku bilang akan datang tepat jam sembilan?"    

"Jangan cari-cari alasan! Aku sudah lama menunggu. Seperti kaulihat, aku siap. Sekarang turun kamu dari situ!" Ia tidak menyepelekan lawannya dengan memberanikan diri menyerang dari kedudukannya sekarang.

"Sebentar," jawab Musashi sambil tertawa kecil.

Ada perbedaan pengertian siap menurut Musashi dan menurut lawannya. Sekalipun secara fisik Denshichiro sudah siap, secara spiritual ia baru saja mulai mengerahkan dirinya, sedangkan Musashi sudah mulai bergulat lama sebelum ia tampil di depan musuhnya. Baginya, pertempuran ini sedang memasuki tahap kedua, tahap utama. Di Tempat Suci Gion ia telah melihat jejak-jejak kaki di atas salju, dan pada saat itu naluri juangnya sudah bangkit. Melihat bayangan yang mengikutinya tidak ada lagi, dengan berani ia masuk gerbang depan Rengeoin dan mendekati dapur. Ia membangunkan pendeta. lalu memulai percakapan, dan dengan halus bertanya kepada si pendeta tentang apa yang telah terjadi pada awal petang itu. Walaupun tahu dirinya terlambat sedikit, ia minum teh juga dan menghangatkan badan. Kemudian. ketika ia tampil, penampilannya bersifat mendadak dan dari tempat yang relatif aman pula di beranda. Ia memegang kendali.

Kesempatan kedua datang dalam bentuk usaha Denshichiro menariknya ke luar. Salah satu cara berkelahi adalah dengan menerima ajakan itu. Cara lain dengan mengabaikannya dan membuka peluang sendiri. Sikap hati-hati dijaga. Dalam hal seperti ini, kemenangan ibarat bulan yang tercermin di danau. Kalau orang melompat menggapainya secara impulsif, ia bisa tenggelam.

Kejengkelan Denshichiro tak kenal batas. "Kau tidak hanya terlambat." teriaknya, "kau juga belum siap. Dan aku tidak mendapat pijakan yang enak di sini."

Musashi yang masih tetap tenang menjawab, "Aku akan turun. Tunggu sebentar."

Denshichiro tak perlu diberitahu bahwa kemarahan dapat mengakibatkan kekalahan, tapi menghadapi usaha sengaja untuk menjengkelkannya itu ia tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Pelajaran-pelajaran tentang strategi yang pernah la terima terlupakan sudah.

"Turun!" pekiknya. "Sini, di halaman! Tinggalkan tipu daya, dan ayo berkelahi dengan jantan! Aku Yoshioka Denshichiro! Aku muak dengan taktik darurat dan serangan pengecut. Kalau kau sudah ketakutan sebelum pertandingan mulai, tak pantas kau menghadapi aku. Turun dari situ!"

Musashi menyeringai. "Yoshioka Denshichiro, ya? Apa yang mesti kutakutkan padamu? Kau sudah kupotong dua musim semi tahun lalu. Kalau malam ini kukalahkan lagi, itu cuma mengulangi yang lalu."

"Apa yang kaubicarakan itu? Di mana? Kapan?"

"Di Koyagyu, Yamato."

"Yamato?"

"Tepatnya di pemandian Penginapan Wataya."

"Kau di sana?"

"Aku di sana. Kita telanjang waktu itu, tentu saja, tapi dengan mataku aku sudah memperhitungkan, aku bisa memotongmu jadi dua atau tidak. Dan dengan mataku aku sudah memotongmu seketika, dengan agak indah juga, kalau boleh kukatakan demikian. Kau barangkali tidak memperhatikan, karena tak ada bekas luka pada badanmu, tapi kau sudah kukalahkan. Pasti. Orang lain mungkin mau mendengarmu menyombongkan diri tentang kemampuanmu sebagai pemain pedang, tapi dariku kau hanya akan men­dapat tertawaan."

"Tadinya aku ingin tahu bagaimana bicaramu. Sekarang aku tahu, macam orang goblok! Tapi ocehanmu itu merangsangku. Turun kamu dari situ! Akan kubukakan matamu yang congkak itu!"

"Apa senjatamu? Pedang? Pedang kayu?"

"Kenapa tanya kalau kau tak punya pedang kayu? Kau datang ingin menggunakan pedang, kan?"

"Memang, tapi kupikir kalau kau mau pakai pedang kayu, akan kuambil punyamu dan aku akan berkelahi dengannya."

"Aku tak punya pedang kayu, tolol! Cukup omong besar itu. Ayo berkelahi!"

"Siap?"

"Belum!"

Tumit Denshichiro membuat garis miring hitam sepanjang dua setengah meter ketika ia membuka ruang tempat Musashi mendarat. Musashi cepat melangkah tujuh-delapan menyamping sebelum melompat turun. Dengan pedang masih tersarung dan sambil saling memperhatikan dengan saksama, mereka menjauh sekitar enam puluh meter dari kuil. Waktu itulah Denshichiro kehilangan kesabarannya. Pedangnya panjang, ukuran tepat untuk tubuhnya. Pedang itu hanya memperdengar-kan siulan kecil, membelah udara dengan kecepatan mengagumkan, langsung mengenai tempat Musashi berdiri.

Musashi lebih cepat dari pedang. Dan lebih cepat lagi lejitan pedang berkilau dari sarungnya sendiri. Kedua orang itu sudah terlampau dekat untuk dapat tampil tanpa cedera, tapi sejenak sesudah cahaya pantulan pedang menari-nari, mereka mundur.

Beberapa menit tegang berlalu. Keduanya diam tak bergerak, pedang berhenti di udara, ujung bersasaran ujung, tetapi dipisahkan oleh jarak sekitar dua setengah meter. Salju yang menumpuk di kening Denshichiro jatuh ke bulu matanya. Untuk mengibaskannya, ia menggerakkan wajahnya sampai urat-urat nadinya tampak seperti bisul-bisul bergerak, tak terhitung pumlahnya. Bola matanya membelalak menyala seperti jendela dapur peleburan besi, dan embusan napasnya yang dalam dan tetap itu panas dan ribut seperti dalam puputan.

Keputusasaan menyelinap dalam pikiran, karena ia sadar betapa jelek kedudukannya. "Kenapa kupegang pedang ini setinggi mata, padahal pedang selamanya kupegang di atas kepala buat menyerang?" tanyanya pada diri sendiri. Ia berpikir tidak dalam makna yang biasa. Darahnya berdebur di dalam nadi, sampai dapat didengar. Sekujur tubuhnya, sampai pada kukukuku jari kakinya, kini terpusat pada usahanya untuk tampak garang.

Ia tahu, jurus setinggi mata tidak menempatkannya pada kedudukan unggul, dan ini menjengkelkannya. Berkali-kali ia ingin mengangkat siku dan menaikkan pedang ke atas kepala, tapi terlampau berbahaya. Musashi waspada sekali menantikan peluang itu, menantikan saat sepersekian detik ketika pandangan matanya tertutup tangannya.

Musashi memegang pedang setinggi mata juga, tapi sikunya dalam keadaan santai, luwes, dan dapat digerakkan ke mana saja. Tangan Denshichiro yang berada dalam jurus yang tidak biasa itu ketat dan kaku. dan pedangnya tidak mantap. Pedang Musashi diam sepenuhnya. Salju mulai menumpuk di atas ujungnya yang tipis.

Sementara menanti lawan membuat kekeliruan sekecil apa pun dengan mata elang, Musashi menghitung jumlah napasnya. Ia tidak hanya ingin menang, ia harus menang. Ia sadar benar bahwa sekali lagi ia berada di garis perbatasan—di satu pihak hidup, di lain pihak maut. Ia melihat Denshichiro bagai batu raksasa, suatu sosok yang sungguh gagah. Teringat olehnya nama dewa perang, Hachiman.

"Tekniknya lebih baik daripada teknikku," pikirnya jujur. Ia jadi merasa rendah diri, seperti yang dirasakannya di Benteng Koyagyu dulu, ketika ia dikelilingi empat pemain pedang terkemuka Perguruan Yagyu. Selamanya seperti ini kalau ia menghadapi pemain-pemain pedang dari perguruan ortodoks, karena tekniknya sendiri tanpa bentuk atau penalaran. Metodenya tak lebih dari "lakukanlah, kalau tidak engkau mati". Sementara memperhatikan Denshichiro, ia melihat bahwa gaya yang diciptakan dan dikembangkan Yoshioka Kempo dalam masa hidupnya itu memiliki kesederhanaan dan kerumitan. Gaya itu tersusun baik dan sistematis, dan tidak dapat diungguli dengan kekuatan kasar atau semangat belaka.

Musashi menjaga betul agar tidak melakukan gerakan tak perlu. Taktik-taktiknya yang primitif tidak dapat dipergunakan. Sampai batas-batas tertentu ia merasa heran, karena tangannya menolak dijulurkan. Maka hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mengambil jurus bertahan konservatif dan menanti. Matanya semakin merah mencari peluang, dan ia berdoa kepada Hachiman agar menang.

Karena semakin terangsang, detak jantungnya semakin berpacu. Sekiranya ia orang biasa, pasti ia sudah terserap ke dalam pusaran kebingungan. dan menyerah. Namun ia tetap mantap. Perasaan kurang sempurna dikibaskannya seakan tak lebih dari salju di atas lengan bajunya. Kemampuannya mengendalikan kegairahan yang baru itu adalah hasil beberapa kali berhadapan dengan maut. Semangatnya sepenuhnya dijaga sekarang, seakan-akan tabir tengah disingkirkan dari depan matanya.

Diam kini bagai kuburan. Salju menumpuk di atas rambut Musashi, dan di atas bahu Denshichiro.

Musashi tidak lagi melihat batu besar di hadapannya. Ia sendiri tidak lagi hadir sebagai manusia tersendiri. Keinginan menang telah terlupakan. ia memandang putihnya salju yang jatuh di antara dirinya dan lawannya. Semangat salju itu sama ringan dengan semangatnya sendiri. Ruang di antaranya kini terasa bagai perpanjangan tubuhnya sendiri. Ia telah menjadi alam semesta, atau alam semesta menjadi dirinya. Ia ada di sana, namun tak ada di sana.

Kaki Denshichiro mengingsut ke depan. Pada ujung pedangnya, daya kemampuannya tampak menggeletar hendak memulai gerakan.

Dua nyawa melayang oleh dua pukulan yang berasal dari sebilah pedang. Mula-mula Musashi menyerang ke belakang, dan kepala Otaguro Hyosuke atau sebagian dari kepala itu melayang melewati Musashi seperti buah ceri besar merah tua, sementara tubuhnya terhuyung tanpa nyawa ke arah Denshichiro. Pekik dahsyat yang kedua-pekik serangan Denshichiro-mati di tengah jalan, dan putus menghilang ke dalam ruang di seputar mereka. Demikian tinggi lompatan Musashi, hingga seolah ia melompat dari ke­tinggian dada lawannya. Sosok tubuh Denshichiro yang besar itu rebah ke belakang dan jatuh disertai muncratnya salju putih.

Dengan tubuh terlipat menyedihkan dan wajah terperosok dalam salju, orang sekarat itu berteriak, "Tunggu! Tunggu!"

Musashi tak lagi di sana.

"Dengar itu?"

"Itu Denshichiro!"

"Dia luka!"

Genzaemon dan murid-murid Yoshioka bergegas melintas halaman, seperti ombak.

"Lihat! Hyosuke terbunuh!"

"Denshichiro!"

"Denshichiro!"

Namun mereka tahu tak ada gunanya memanggil dan tak ada gunanya memikirkan pengobatan. Kepala Hyosuke terbelah miring dari telinga kanan ke tengah mulut, sedangkan kepala Denshichiro dari puncak ke nilang pipi kanan. Keduanya terjadi hanya dalam beberapa detik.

"Itu makanya... itu makanya kuperingatkan engkau," gerutu Genzaemon. Itu makanya kubilang engkau jangan menyepelekan dia. Oh, Denshichiro, Denshichiro!"

Orang tua itu mendekap tubuh kemenakannya, dan sia-sia menghiburnya. Genzaemon terus bergayut pada mayat Denshichiro. Ia berang melihat orang-orang lain hanya bergerak kebingungan ke sana kemari di salju yang merah oleh darah.

"Lalu bagaimana dengan Musashi?" gunturnya.

Beberapa orang mulai mencari, tapi mereka tidak melihat tanda-tanda Musashi.

"Dia tak ada," terdengar jawaban malu-malu dan bodoh.

"Dia pasti masih di sekitar sini!" salak Genzaemon. "Dia tak punya sayap. Kalau aku tak sempat membalas dendam, aku takkan lagi dapat menegakkan kepala sebagai anggota Keluarga Yoshioka. Cari dia!"

Satu orang tergagap dan menuding. Yang lain-lain mundur selangkah dan memandang ke arah yang dituding.

"Itu Musashi!"

"Musashi?"

Sementara pikiran tentang Musashi meresap ke dalam hati, ketenangan pun memenuhi udara, bukan ketenangan tempat pemujaan, melainkan ketenangan yang celaka dan setani, seakan-akan telinga, mata, dan otak tidak lagi berfungsi.

Apa pun yang terlihat oleh seorang dari orang-orang itu, orang yang dituding itu bukan Musashi, karena Musashi waktu itu sudah berdiri di bawah ujung atap bangunan terdekat. Ia menatap orang-orang Yoshioka. Punggungnya menempel ke dinding. Ia menyingkir pelan-pelan, sampai akhirnya tiba di sudut barat daya Sanjusangendo. Ia naik ke beranda, dan kemudian pelan-pelan dan diam-diam merangkak di tanah.

"Apa mereka akan menyerang?" tanyanya pada diri sendiri. Setelah dilihatnya mereka tak bergerak ke arahnya, dengan mencuri-curi ia menuju sisi utara bangunan itu, dan dengan satu loncatan menghilang ke dalam kegelapan.

Orang-Orang Perlente





"TAK ada bangsawan kurang ajar yang akan bisa mengalahkan aku! Kalau dia pikir dia dapat menolakku dengan mengirim kertas kosong, aku terpaksa bicara dengan dia. Dan akan kuambil Yoshino kembali, demi harga diriku."

Orang bilang, kita tak perlu berumur muda untuk dapat menikmati permainan. Pada waktu Haiya Shoyu sedang mabuk, tak bisa ia dicegah.

"Bawa aku ke kamar mereka!" perintahnya pada Sumigiku. Ia meletakkan sebelah tangannya ke bahu Sumigiku agar dapat berdiri tegak.

Sia-sia Koetsu mengingatkannya supaya tenang.

"Tidak! Akan kurebut Yoshino.... Pemegang panji-panji, maju! Jenderalmu akan bertindak! Siapa punya keberanian, ikuti aku!"

Ciri khusus orang mabuk adalah bahwa sekalipun mereka tampak selalu dalam bahaya akan jatuh atau mengalami kecelakaan yang lebih jelek, namun kalau ditinggalkan sendirian biasanya mereka dapat lolos dari hal yang tidak menguntungkan. Tapi kalau tak seorang pun mengambil langkahlangkah untuk melindunginya, kurang kena memang. Berkat pengalaman bertahun-tahun, Shoyu dapat menetapkan batas yang jelas antara menghibur diri dan menyenangkan hati orang lain. Apabila orang menyangka ia sudah cukup pening hingga mudah ditangani, ia akan mengambil sikap sesukar-sukarnya ditangani, berjalan terhuyung-huyung sedemikian rupa, hingga orang datang menyelamatkannya. Sampai di situ terjadilah pertempuran semangat kondisi mabuknya mendapat tanggapan simpatik.

"Bapak bisa jatuh," teriak Sumigiku sambil bergegas mencegahnya.

"Jangan tolol kamu. Kakiku boleh saja goyang sedikit, tapi semangatku kokoh!" Suaranya kedengaran kesal.

"Coba Bapak berjalan sendiri."

Sumigiku membiarkannya, tapi segera kemudian Shoyu pun runtuh. "Aku sedikit lelah. Terpaksa digotong."

Dalam perjalanan ke kamar Yang Dipertuan Kangan, Shoyu seolah-olah tak tahu apa-apa, padahal ia sadar sepenuhnya akan segalanya. Ia terhuyung-huyung, terayun-ayun, dan sekali-sekali ambruk. Kalau tidak, ia membuat para pengikutnya terus gugup dari ujung ke ujung gang yang panjang.

Yang dipersoalkan sekarang adalah apakah yang disebutnya "Orang-orang bangsawan kurang ajar dan setengah matang" itu akan terus memonopoli Yoshino Dayu. Para saudagar besar yang tak lebih dari orang biasa yang kaya itu tidak menaruh hormat kepada orang-orang istana Kaisar. Memang orang-orang istana sadar sekali akan pangkat mereka, tapi hal itu sedikit saja artinya, karena mereka tak punya uang. Dengan menghamburkan emas untuk menyenangkan hati mereka, ambil bagian dalam acara hiburan mereka, dan berpura-pura hormat pada kedudukan mereka, sehingga mereka tetap dapat mempertahankan harga dirinya, para saudagar dapat mengelabui mereka bagai boneka. Tak seorang pun lebih tahu tentang hal ini daripada Shoyu.

Cahaya lampu menari-nari riang pada shoji kamar depan yang menuju kamar Yang Dipertuan Karasumaru ketika Shoyu berusaha membukanya.

Tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. "Oh, engkau, Shoyu!" ucap Takuan Soho.

Mata Shoyu membelalak, mula-mula karena heran, dan kemudian karena senang. "Pendeta yang baik," gagapnya, "sungguh ini kejutan yang menyenangkan! Pendeta sudah sejak tadi di sini?"

"Dan Bapak sendiri, Bapak yang baik, apa Bapak sudah sejak tadi di sini?" tanya Takuan menirukan. Lalu ia merangkul Shoyu, dan kedua orang itu seperti sedang bercintaan, pipi menempel pipi yang berbulu pendek.

"Sehat engkau, bajingan tua?"

"Ya, dan engkau, penipu? Dan engkau?"

"Aku memang ingin ketemu kau."

"Aku juga."

Sebelum kata-kata sambutan cengeng itu diucapkan, kedua orang itu sudah lebih dulu saling tepuk kepala dan saling jilat hidung.

Yang Dipertuan Karasumaru mengalihkan perhatiannya dari kamar depan ke Yang Dipertuan Konoe Nobutada yang duduk di depannya, dan katanya disertai seringai tajam, "Ha! Tepat seperti kuharapkan. Tukang ribut itu sudah datang."

Karasumaru Mitsuhiro masih muda, barangkali tiga puluh tahun umurnya. Walaupun tidak mengenakan pakaian sempurna, ia tetap kelihatan bangsawan, karena memang ia tampan dan bekulit putih, alisnya tebal, bibirnya merah tua, dan matanya cerdas. Kesan yang diberikannya adalah bahwa ia orang yang lemah lembut, tetapi dibalik permukaan yang dipoles itu bersemayam watak yang kuat, akibat kebencian yang terpendam pada kelas militer. Sering orang mendengarnya mengatakan, "Oh, pada abad yang menganggap kaum prajurit sebagai satu-satunya manusia penuh ini, kenapa aku harus lahir sebagai bangsawan?"

Menurut pendapatnya, kelas prajurit mesti memusatkan perhatian hanya kepada soal-soal militer, dan orang istana yang masih muda dan punya kecerdasan namun tidak menguasai keadaan adalah orang tolol. Anggapan bahwa kaum prajurit memegang kekuasaan mutlak itu memutarbalikkan asas kuno bahwa pemerintahan mesti dijalankan oleh Istana Kaisar, dengan bantuan militer.

Kaum samurai tidak lagi mencoba menjaga keselarasan dengan kaum bangsawan. Mereka menjalankan segalanya, memperlakukan para anggota istana seolah cuma hiasan. Hiasan kepala yang mewah pada kaum istana itu tak ada artinya, dan keputusan-keputusan yang mereka buat dapat saja dibuat oleh boneka.

Yang Dipertuan Karasumaru menganggap suatu kesalahan besar para dewa bahwa mereka menciptakan orang seperti dirinya sebagai bangsawan. Sekalipun ia abdi Kaisar, ia hanya melihat dua jalan terbuka baginya: hidup selalu dalam kesengsaraan atau menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Dan pilihannya yang masuk akal adalah meletakkan kepala di pangkuan seorang perempuan cantik, mengagumi cahaya bulan yang pucat, memandang bunga sakura pada musimnya, dan mati sambil memegang mangkuk sake.

Sesudah naik pangkat dari Menteri Keuangan Kaisar menjadi Pembantu Wakil Menteri Kanan dan kemudian Kanselir Kaisar, ia menjadi pejabat tinggi dalam birokrasi Kaisar yang impoten, tapi banyak sekali waktu ia habiskan di daerah lokalisasi, karena suasana di situ memungkinkan ia melupakan hinaan-hinaan yang mesti ia tanggung apabila ia mengurus soalsoal yang lebih praktis. Di antara teman-teman yang biasa itu terdapat beberapa bangsawan muda yang tidak puas, semuanya miskin dibandingkan dengan para pengusaha militer, namun dapat menyediakan uang untuk berpesiar pada malam hari ke Ogiya. Itulah satu-satunya tempat di mana mereka bebas merasa sebagai manusia, demikian mereka tegaskan.

Malam ini tamu yang diterima Yang Dipertuan Karasumaru adalah orang jenis lain, yaitu Konoe Nobutada yang pendiam dan santun, yang umurnya sekitar sepuluh tahun lebih tua. Nobutada pun berkelakuan bangsawan, matanya tampak suram, wajahnya gemuk dan alisnya tebal. Sekalipun kulitnya yang kehitaman dirusak oleh bopeng-bopeng dangkal, namun kesederhanaan orang itu menyenangkan dan membuat cacatnya terasa pantas. Di tempat seperti Ogiya, orang luar takkan menyangka bahwa ia salah seorang bangsawan tinggi Kyoto, kepala dari keluarga tempat asal para wali Kaisar.

Sambil tersenyum sopan di samping Yoshino, ia menoleh pada wanita itu dan katanya, "Itu suara Funabashi, kan?"

Yoshino menggigit bibirnya yang sudah lebih merah dari kembang prem, dan matanya mengungkapkan rasa malu melihat kikuknya keadaan itu. "Apa yang akan saya lakukan kalau dia masuk?" tanyanya resah.

Yang Dipertuan Karasumaru memerintahkan, "Jangan berdiri!" dan segera mencekal pinggir kimononya.

"Takuan, apa kerjamu di situ? Dingin kalau pintu dibuka. Kalau mau pergi, pergi sana, tapi kalau mau kembali, kembali saja, tapi tutup pintu itu."

Takuan segera menyambar umpan itu, dan katanya kepada Shoyu, "Mari kita masuk," dan menarik orang tua itu ke dalam kamar.

Shoyu pun masuk dan duduk langsung di depan kedua bangsawan itu. "Oh, sungguh kejutan yang menyenangkan!" seru Mitsuhiro dengan kesungguhan yang dibuat-buat.

Dengan lutut yang kurus, Shoyu beringsut mendekat. Sambil mengulurkan tangan kepada Nobutada, katanya, "Tolong kasih aku sake." Dan sesudah menerima mangkuk, ia pun membungkuk penuh upacara.

"Senang sekali bertemu denganmu, Funabashi Tua," kata Nobutada sambil menyeringai. "Semangatmu rupanya selalu tinggi."

Shoyu mengosongkan mangkuknya dan mengembalikannya. "Sungguh saya tak bermimpi bahwa rekan Yang Dipertuan Kangan adalah Yang Mulia." Dan sambil terus berpura-pura lebih mabuk daripada sebenarnya, ia pun menggoyangkan lehernya yang kurus dan berkerut-merut itu sepeni pelayan kuno, dan katanya dengan nada pura-pura takut, "Maafkan saya, Yang Mulia!" Kemudian dengan nada lain, "Ah, kenapa pula aku mesti begitu sopan? Ha, ha! Bukan begitu, Takuan?"

Ia merangkul Takuan, menarik pendeta itu ke dekatnya, dan menudingkan jarinya ke kedua orang istana itu. "Takuan," katanya, "di dunia ini orang yang kukasihani adalah bangsawan. Mereka punya gelar-gelar gemilang seperti patih atau regent, tapi tak sampai ke mana-mana kehormatan itu. Kaum saudagar lebih beruntung daripada mereka. Betul, tidak?"

"Memang betul," jawab Takuan, berusaha melepaskan lehernya.

"Nah," kata Shoyu, menempatkan sebuah mangkuk langsung di bawah hidung pendeta itu. "Aku belum menerima minuman darimu."

Takuan menuangkan sake. Orang tua itu meminumnya.

"Kau ini lihai, Takuan. Di dunia yang kita diami ini, kaum pendeta macam kau ini cerdik, kaum saudagar pintar, kaum prajurit kuat, tapi kaum bangsawan bodoh. Ha, ha! Betul, tidak?"

"Betul, betul," kata Takuan mengiakan.

"Kaum bangsawan tak dapat melakukan apa yang mereka kehendaki karena pangkatnya, dan mereka tersisih dari politik dan pemerintahan. Karena itu yang dapat mereka lakukan cuma membuat sajak dan menjadi ahli kaligrafi. Betul, kan?" Dan ia pun tertawa lagi.

Sekalipun Mitsuhiro dan Nobutada suka lelucon, seperti halnya Shoyu. tapi kekasaran ejekan itu sungguh membikin malu. Karena itu mereka menerimanya dengan diam mematung.

Dan perasaan tak enak yang mereka alami itu dipergunakan oleh Shoyu untuk menekan terus. "Yoshino, bagaimana pendapatmu? Kau menyuka: kaum bangsawan atau lebih suka kaum saudagar?"

"Hi, hi," Yoshino mengikik. "Ah, Tuan Funabashi, itu pertanyaan aneh!"

"Aku tidak berkelakar. Aku sedang mencoba meninjau ke dalam hati wanita. Dan sekarang aku tahu apa yang ada dalam hati itu. Engkau sebetulnya lebih suka kaum saudagar, betul, kan? Kupikir lebih baik kuambil engkau dari sini. Ayo ikut ke kamar." Ia menggandeng Yoshino dan berdiri dengan wajah cerdik.

Mitsuhiro terperanjat hingga sake-nya tumpah. "Kelakar bisa juga jadi keterlaluan," katanya sambil merenggutkan tangan Yoshino dari tangan Shoyu, dan menarik Yoshino ke sisinya.

Karena diperebutkan kedua orang itu, Yoshino tertawa dan mencoba mengatasi keadaan tersebut. Sambil menggenggam tangan Mitsuhiro dengan tangan kanan dan tangan Shoyu dengan tangan kiri, ia memperlihatkan wajah kuatir dan katanya, "Oh, apa yang mesti saya perbuat dengan Bapak berdua ini?"

Kedua orang itu tidak saling membenci, dan bukan pula saingan dalam bercinta, namun bagi keduanya aturan permainan mengharuskan mereka melakukan segala yang ada dalam kekuasaan mereka untuk membuat kedudukan Yoshino Dayu lebih memalukan.

"Nah, Nyonya yang baik," kata Shoyu." Engkau mesti memutuskan sendiri. Engkau mesti memilih orang yang kamarnya akan kausemarakkan, orang yang kauserahi hatimu."

Takuan segera mencampuri keributan itu. "Memang masalah ini sangat menarik, ya? Coba katakan, Yoshino, siapa pilihanmu?"

Satu-satunya yang tak ikut ambil bagian adalah Nobutada. Tapi beberapa waktu kemudian rasa kesopanan mendorongnya mengatakan, "Oh, oh, Tuan-tuan ini tamu, jangan begitu kasar. Kalau demikian tingkah Anda, saya berani mengatakan, Yoshino dengan senang hati ingin melepaskan diri dari Anda berdua. Bagaimana kalau kita semua bersenang-senang saja dan tak usah memedulikan Yoshino? Koetsu mestinya sendirian sekarang. Seorang dari gadis-gadis mesti mengundangnya datang kemari."

Shoyu mengibaskan tangannya. "Tak ada alasan mendatangkannya kemari. Aku cuma akan kembali ke kamarku dengan Yoshino."

"Tidak bisa," kata Mitsuhiro, mendekap Yoshino lebih erat.

"Inilah yang dinamakan kekurangajaran aristokrasi!" seru Shoyu. Dengan mata menyala-nyala ia menawarkan mangkuk kepada Mitsuhiro, katanya, "Baikah, mari kita putuskan siapa yang akan mendapatkan Yoshino dengan pertandingan minum... langsung di depan matanya."

"Oh, boleh saja, kedengarannya menarik juga." Mitsuhiro mengambil mangkuk besar dan meletakkannya di meja kecil di antara mereka. "Jadi, engkau yakin masih cukup muda untuk bertanding?" tanyanya melucu.

"Aku tak perlu umur muda buat bertanding dengan bangsawan kurus!"

"Nah, bagaimana caranya menentukan giliran minum? Tidak lucu kalau cuma minum. Kita mesti bermain. Siapa kalah mesti minum semangkuk penuh. Permainan apa yang mesti kita mainkan?"

"Kita adu pandang saja."

"Berarti mesti memandang muka saudagarmu yang jelek itu. Itu bukan permainan, itu siksaan!"

"Jangan menghina! Bagaimana kalau permainan batu-gunting-kertas?"

"Bagus!"

"Takuan, kau jadi wasit."

"Dengan senang hati."

Dengan wajah sungguh-sungguh mereka memulai. Setiap kali selesai satu giliran, pihak yang kalah mengeluh dengan sedihnya, dan semua orang tertawa.

Yoshino Dayu diam-diam menyelinap keluar kamar, dengan lemah gemulai menyeret ekor kimononya yang panjang, dan berjalan dengan langkah anggun menyusuri gang. Tak lama sesudah ia pergi, Konoe Nobutada berkata, "Aku mesti pergi juga," dan pergi tanpa dilihat orang.

Sambil menguap tanpa malu-malu, Takuan membaringkan diri dan tanpa permisi lagi meletakkan kepalanya di pangkuan Sumigiku. Walaupun enak rasanya tidur di sana, ia tiba-tiba merasa bersalah juga. "Aku mesti pulang," pikirnya. "Mereka barangkali kesepian tanpa aku." Yang dipikirkannya adalah Jotaro dan Otsu yang sudah berkumpul kembali di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Takuan membawa Otsu ke sana sesudah mengalami cobaan di Kiyomizudera itu.

Takuan dan Yang Dipertuan Karasumaru adalah teman lama dan memiliki banyak minat yang serupa-puisi, Zen, minum, bahkan juga politik. Menjelang akhir tahun sebelumnya, Takuan menerima surat yang isinya mengundangnya menghabiskan hari libur Tahun Baru di Kyoto. "Engkau rupanya terkurung di sebuah kuil kecil di desa," tulis Mitsuhiro. "Apa kau tidak rindu pada ibu kota, rindu pada sake Nada yang baik, rindu dikawani perempuan-perempuan cantik, rindu melihat burung-burung camar kecil di Sungai Kamo? Kalau engkau memang suka tidur, kukira baik saja engkau mempraktekkan keyakinan Zen-mu di desa, tapi kalau engkau ingin sesuatu yang lebih hidup, datanglah kemari dan hidup di tengah orang banyak. Sekiranya engkau merasakan nostalgia kepada ibu kota, bagaimanapun bertamulah pada kami."

Sebentar sesudah kedatangannya pada awal tahun baru itu, Takuan heran sekali melihat Jotaro bermain di halaman. Secara terperinci ia mendengar dari Mitsuhiro apa yang dilakukan anak itu di sana, kemudian mendengar dari Jotaro bahwa tak ada kabar berita tentang Otsu semenjak Osugi mencengkeram gadis itu pada Hari Tahun Baru.

Sesudah kembali, Otsu demam dan masih terbaring di tempat tidur. Jotaro merawatnya, sepanjang hari duduk di samping bantalnya, mengompres dahi Otsu dengan handuk basah dan menakar obat pada waktu-waktu tertentu tiap hari.

Biarpun Takuan ingin pulang, ia tak bisa berbuat demikian sebelum tuan rumahnya datang, sedangkan Mitsuhiro kelihatannya makin lama makin terbenam dalam pertandingan minum.

Karena kedua belah pihak yang bertanding adalah veteran, maka tampaknya pertandingan akan berakhir dengan seri, dan memang benar demikian. Mereka terus juga minum sambil berhadapan dan mengobrol dengan asyiknya. Takuan tidak tahu apakah pokok pembicaraannya tentang pemerintahan kelas militer, nilai hakiki kaum bangsawan, ataukah peran kaum saudagar dalam perkembangan perdagangan luar negeri. Yang jelas percakapan itu sangat serius. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan Sumigiku, dan dengan mata masih tertutup ia menyandarkan diri ke tiang ceruk kamar, dan setiap kali ia menyeringai mendengar potongan percakapan mereka.

Tak lama kemudian Mitsuhiro bertanya dengan nada kecewa, "Di mana Nobutada? Apa dia pulang?"

"Biar saja dia. Di mana Yoshino?" tanya Shoyu, yang tiba-tiba tampak tidak mabuk sama sekali.

Mitsuhiro menyuruh Rin'ya pergi dan membawa kembali Yoshino. Ketika melewati kamar tempat Shoyu dan Koetsu memulai acara malam itu, Rin'ya memandang ke dalam. Musashi duduk di sana seorang diri, wajahnya berdekatan dengan cahaya putih lampu. "Oh, saya tidak lihat Anda kembali," kata Rin'ya.

"Aku lama tidak ada di sini."

"Apa Anda kembali lewat jalan belakang?"

"Ya."

"Ke mana Anda pergi?"

"Oh, ke luar."

"Saya berani bertaruh, tentu bertemu dengan gadis cantik. Tak tahu malu! Tak tahu malu! Saya bilang nanti pada Nyonya," kata gadis itu lancang.

Musashi tertawa. "Tak ada orang di sini," katanya. "Ke mana saja orang-orang itu?"

"Mereka di kamar lain, main dengan Yang Dipertuan Kangan dan seorang pendeta."

"Koetsu juga?"

"Tidak. Saya tidak tahu di mana dia."

"Barangkali dia pulang. Kalau dia pulang, aku mesti pulang juga."

"Jangan begitu. Kalau Anda datang ke rumah ini, Anda tak dapat pulang tanpa izin Yoshino Dayu. Kalau Anda pergi diam-diam, orang akan menertawakan Anda. Dan saya akan dimaki-maki."       .

Karena tidak terbiasa dengan humor para pelacur, maka Musashi menerima pernyataan itu dengan wajah serius, pikirnya, "Oh, jadi begitu aturan mainnya di sini."

"Anda pokoknya tak boleh pergi sebelum minta permisi seperti semestinya. Tunggu di sini sampai saya kembali."

Beberapa menit kemudian Takuan muncul. "Dari mana engkau datang?" tanyanya sambil menepuk bahu ronin itu.

"Ha?" gagap Musashi. Sambil meluncur dari bantalnya ia letakkan kedua tangannya ke lantai dan ia membungkuk dalam-dalam. "Lama sekali saya tak melihat Bapak!"

Sambil mengangkat tangan Musashi dari lantai, Takuan berkata, "Tempat ini buat bersenang-senang dan bersantai. Tak perlu sambutan resmi... Aku dengar Koetsu ada di sini juga, tapi tak kulihat dia."

"Menurut Bapak, ke mana dia pergi?"

"Mari kita cari dia. Ada beberapa hal yang hendak kubicarakan secara pribadi denganmu, tapi kita undurkan saja dulu sampai saat yang lebih cocok."

Takuan membuka pintu ke kamar sebelah. Di situ Koetsu terbaring dengan kaki terbungkus kotatsu dan badan tertutup selimut, terpisah dari bagian lain kamar itu oleh tabir emas kecil, ia tidur dengan tenteram. Takuan tak mau membangunkannya.

Koetsu membuka mata sendiri. Sesaat ia menatap wajah pendeta itu, kemudian wajah Musashi, tak tahu apa yang mesti ia perbuat.

Sesudah kedua orang itu menjelaskan keadaan kepadanya, Koetsu berkata, "Kalau di kamar lain itu nanti hanya ada kalian berdua dan Mitsuhiro, aku tidak keberatan pergi ke sana."

Mereka mendapati Mitsuhiro dan Shoyu yang akhirnya kehabisan pokok pembicaraan itu sedang tenggelam dalam kesenduan. Mereka mulai merasa bahwa sake pahit, bibir kering, dan hirupan air membangkitkan pikiran tentang rumah. Malam itu akibatnya lebih buruk lagi; Yoshino meninggalkan mereka.

"Bagaimana kalau kita semua pulang?" satu orang menyarankan.

"Baik juga," kata yang lain-lain menyetujui.

Sebetulnya mereka tidak benar-benar ingin pulang, tapi mereka kuatir bahwa kalau tinggal lebih lama lagi, tak ada yang tertinggal dari kelembutan malam itu. Tapi ketika mereka akan pergi, Rin'ya datang berlari-lari masuk kamar bersama dua gadis yang lebih kecil. Sambil menggenggam tangan Yang Dipertuan Kangan, kata Rin'ya, "Kami minta maaf telah memaksa Bapak menunggu. Kami mohon Bapak-bapak jangan pergi. Yoshino Dayu siap menerima Bapak semua di kamar pribadinya. Saya tahu hari sudah malam, tapi di luar masih terang karena salju, dan dalam udara dingin seperti ini setidak-tidaknya Bapak mesti menghangatkan badan baik-baik sebelum masuk joli. Mari ikut kami."

Tak seorang pun dari orang-orang itu ingin main lagi. Sekali semangat sudah pergi, sukar ditimbulkan lagi.

Melihat keraguan mereka, salah sorang pembantu berkata, "Yoshino mengatakan dia yakin Bapak-bapak sekalian menganggapnya kasar karena tadi dia pergi, tapi dia tak bisa berbuat lain. Kalau dia menerima Yang Dipertuan Kangan, Pak Funabashi tersinggung, dan kalau dia pergi dengan Pak Funabashi, Yang Dipertuan Kangan akan kesepian. Dia tak ingin ada di antara Bapak-bapak yang merasa diabaikan, karena itu dia mengundang Bapak-bapak minum. Kami mengharapkan Bapak mengerti perasaannya, dan kami persilakan Bapak tinggal lebih lama."

Karena merasa bahwa menolak berarti tidak sopan, lagi pula menarik juga melihat pelacur terkemuka di kamarnya sendiri, maka mereka menerima bujukan itu. Dibimbing gadis-gadis itu, mereka mengambil lima pasang sandal jerami kasar yang ada di tangga halaman. Sesudah mengenakannya, mereka berjalan tanpa bunyi, menyeberangi salju lembut. Musashi tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi orang-orang lain menyimpulkan bahwa mereka diundang minum teh,  karena Yoshino terkenal sebagai penganut setia kultus teh. Karena menarik juga minum teh sesudah begitu banyak sake mereka minum, tak seorang pun keberatan. Tapi ternyata mereka diantar melewati warung teh, dan masuk ladang yang penuh tumbuhan.

"Mau kamu bawa ke mana kami ini?" tanya Yang Dipertuan Kangan dengan nada menuduh. "Ini ladang buah arbei!"

Gadis-gadis mengikik dan Rin'ya buru-buru menjelaskan. "Bukan, bukan! Ini kebun peoni kami. Pada permulaan musim panas kami keluarkan bangku-bangku, dan semua orang datang kemari buat minum dan mengagumi kembang-kembangnya."

"Tidak di ladang arbei tidak juga di kebun peoni, sama saja tak enaknya ada di luar begini, di tengah salju. Apa Yoshino mau bikin kita masuk angin?"

"Maafkan saya. Tak seberapa jauh lagi."

Di sudut ladang terdapat sebuah pondok kecil dengan atap ilalang, yang tampaknya seperti rumah yang telah berdiri di situ sejak sebelum daerah itu dibangun. Di belakangnya terdapat rumpun pepohonan, dan pekarangan itu terpisah dari halaman Ogiya yang terawat baik.

"Silakan ke sini," desak gadis-gadis itu seraya mengantar mereka masuk ke kamar berlantai tanah liat. Dinding dan tiangnya hitam oleh jelaga.

Rin'ya mengabarkan kedatangan mereka, dan dari dalam rumah terdengar jawaban Yoshino Dayu, "Selamat datang! Silakan masuk."

Api dalam perapian memancarkan sinar merah lembut ke kertas shoji. Suasana di situ kelihatan lain sama sekali dari di kota. Sementara melihat-lihat dapur dan mantel hujan dari jerami yang tergantung di dinding, orang-orang itu bertanya-tanya dalam hati, hiburan apa gerangan yang hendak dihidangkan pada mereka oleh Yoshino. Shoji terbuka, dan satu-satu mereka memasuki kamar perapian.

Kimono Yoshino berwarna kuning polos pucat, obi-nya dari kain satin hitam. Ia sedikit sekali mengenakan hiasan, dan sudah menyusun kembali rambutnya dengan gaya nyonya rumah yang sederhana. Tamu-tamu memandangnya penuh kekaguman.

"Sungguh lain dari yang lain!"

"Sungguh memikat!"

Dalam lingkungan sederhana yang dimulai dengan dinding-dinding yang menghitam itu, Yoshino tampak seratus kali lebih cantik daripada waktu ia mengenakan pakaian gaya Momoyama yang tersulam rumit. Kimono mencolok yang biasa dilihat pria-pria itu, lipstik warna-warni, dan tabir-tabir emas serta tempat lilin dari perak-semua itu diperlukan seorang perempuan yang pekerjaannya seperti dia. Tapi Yoshino tak perlu alat pembantu untuk meningkatkan kecantikannya.

"Hmm," kata Shoyu, "ini betul-betul istimewa." Tidak gampang memberi pujian, orang tua yang tajam lidahnya itu untuk sementara tampak jinak.

Tanpa membagikan bantal, Yoshino mempersilakan tamu-tamunya duduk di dekat perapian.

"Seperti Bapak-bapak lihat, saya tinggal di sini, dan tidak banyak yang dapat saya suguhkan kepada Bapak, tapi setidak-tidaknya ada api. Saya harap Bapak setuju bahwa api adalah hidangan paling bagus yang dapat disuguhkan orang pada malam bersalju dingin, apakah sang tamu seorang pangeran atau orang miskin. Di sini kayu api cukup banyak, jadi biarpun kita bicara sepanjang malam, saya tak akan terpaksa menggunakan tanaman pot sebagai bahan bakar. Saya minta Bapak-bapak duduk yang enak."

Bangsawan, saudagar, seniman, dan pendeta itu duduk bersila dekat perapian dengan tangan dikembangkan di atas api. Koetsu merenungkan perjalanan dingin dari Ogiya dan undangan untuk mendatangi api riang itu. Betul-betul seperti hidangan, dan itulah hakikat suguhan.

"Silakan Anda dekat api juga," kata Yoshino. Ia tersenyum ramah kepada Musashi, dan bergerak sedikit, menyediakan tempat baginya.

Musashi terpesona oleh kalangan agung yang sekarang dihadapinya. Sesudah Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu, barangkali Yoshino orang paling terkenal di Jepang. Tentu saja ada Okuni dari Kabuki dan gundik Hideyoshi, yaitu Yodogimi, tapi Yoshino dianggap lebih tinggi kelasnya daripada Okuni, dan memiliki lebih banyak kecerdasan, kecantikan, dan keramahan daripada Yodogimi. Orang-orang yang berhubungan dengan Yoshino dikenal sebagai "pembeli", sedangkan Yoshino sendiri disebut "Si Tayu". Setiap pelacur kelas satu dikenal dengan nama Tayu, tapi kalau dikatakan "Si Tayu", yang dimaksud hanyalah Yoshino seorang. Musashi mendengar Yoshino memiliki tujuh pembantu untuk memandikannya dan dua orang untuk memotong kukunya.

Malam ini untuk pertama kali dalam hidupnya Musashi mendapati dirinya berada di tengah para wanita yang bercat dan berpoles, dan sikapnya jadi resmi kaku. Sebagian karena ia tak habis pikir, sesungguhnya apa yang menurut orang-orang itu luar biasa pada Yoshino.

"Silakan bersantai," kata Yoshino. "Silakan duduk di sini."

Sesudah dipersilakan untuk keempat atau kelima kalinya, akhirnya Musashi menyerah. Ia mengambil tempat di samping Yoshino dan menirukan yang lain-lain menjulurkan tangan ke atas api dengan kikuk.

Yoshino memandang lengan baju Musashi dan melihat noda merah di situ. Sementara yang lain-lain sibuk bercakap-cakap, diam-diam Yoshino mengambil secarik kertas dari lengan kimononya dan menghapus noda itu.

"Oh, terima kasih," kata Musashi. Sekiranya tadi ia diam saja, tak seorang pun akan melihatnya, tapi begitu ia membuka mulut, semua mata tertuju pada noda merah tua pada kertas di tangan Yoshino itu.

Dengan mata terbuka lebar, Mitsuhiro berkata, "Itu darah, kan?"

Yoshino tersenyum. "Tentu saja bukan. Ini daun bunga peoni merah."


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP