Gema di Dalam Saiju
MUSASHI melewati
banyak gang untuk menghindari kamar-kamar yang berpenerangan sangat terang. Ia
sampai di sebuah kamar gelap tempat menyimpan tilam dan kamar lain yang penuh
perkakas. Dinding-dinding seperti memancarkan bau hangat makanan yang sedang
dimasak, namun ia tak dapat juga menemukan dapur.
Seorang pembantu
keluar dari sebuah kamar, merentangkan tangannya. "Pak, tamu-tamu tak
boleh masuk di sini," katanya mantap, sama sekali tidak kelihatan
kemungilan kanak-kanaknya, seperti biasa ia tunjukkan di kamar tamu.
"Oh, jadi tak
boleh, ya?"
"Tentu saja tak
boleh!" Ia dorong Musashi ke arah depan, lalu ia sendiri berjalan ke arah
yang sama.
"Apa bukan kamu
yang jatuh ke salju tadi? Rin'ya namamu, ya?"
"Ya, nama saya
Rin'ya. Saya kira Bapak tersesat mencari kamar kecil. Mari saya
tunjukkan." Ia memegang tangan Musashi dan menariknya.
"Bukan aku. Aku
tidak mabuk. Aku cuma minta pertolonganmu. Bawa aku ke kamar kosong dan bawakan
aku makanan."
"Makanan? Kalau
itu yang Bapak minta, nanti kubawakan ke kamar Bapak."
"Tidak, tidak ke
sana. Semua orang sedang senang-senang sekarang. Mereka belum mau diingatkan
tentang makan malam."
Rin'ya menelengkan
kepalanya. "Saya kira Bapak benar. Saya bawa makanan ke sini. Bapak mau
makan apa?"
"Tak usah yang
istimewa, dua gumpal besar nasi cukuplah."
Anak itu kembali
beberapa menit kemudian, membawa gumpalan nasi dan menyuguhkannya kepada
Musashi di sebuah kamar tanpa lampu. Sesudah selesai, kata Musashi, "Aku
bisa keluar lewat kebun dalam sana?" Dan tanpa menanti jawaban lagi, ia
berdiri dan berjalan ke beranda.
"Mau ke mana,
Pak?"
"Jangan kuatir,
aku segera kembali."
"Kenapa Bapak
pergi lewat pintu belakang?"
"Orang bisa
ribut kalau aku lewat pintu depan. Dan kalau tuan rumah melihatku, mereka akan
tersinggung dan kesenangan mereka jadi rusak."
"Saya bukakan
pintu gerbang, tapi jangan lupa kembali lagi segera. Kalau tidak, mereka bisa
menyalahkan saya."
"Aku mengerti.
Kalau Pak Mizuochi bertanya tentangku, katakan padanya aku pergi ke dekat
Rengeoin, bertemu orang yang sudah kukenal. Aku bermaksud lekas kembali."
"Bapak mesti
lekas kembali. Teman Bapak malam ini Yoshino Dayu." Ia membuka pintu
gerbang kayu lipat yang bersalju itu dan mempersilakan Musashi keluar.
Tepat di depan pintu
masuk utama ke daerah hiburan itu terdapat Warung Teh Amigasa-jaya. Musashi
berhenti, minta sepasang sandal jerami. tapi mereka tak punya. Seperti
ditunjukkan namanya, warung itu terutama menjual topi anyaman kepada lelaki
yang ingin menyembunyikan identitasnya waktu memasuki daerah itu.
Musashi menyuruh
seorang gadis warung membeli sandal, kemudian duduk di ujung bangku dan
mengeratkan obi dan tali di bawahnya. Ia lepaskan mantelnya yang longgar dan ia
lipat rapi-rapi, kemudian ia pinjam kertas dan kuas, dan ia tulis catatan
singkat yang kemudian ia lipat dan ia selipkan ke dalam lengan mantel. Kemudian
ia sapa orang tua yang meringkuk di samping perapian dalam kamar di belakang
warung, yang ternyata pemilik warung itu. "Boleh saya minta tolong menyimpan
mantel ini? Kalau saya tidak kembali jam sebelas nanti, tolong mantel ini
dibawa ke Ogiya dan diserahkan kepada orang yang namanya Koetsu. Ada surat
untuknya di dalam lengannya."
Orang itu menjawab
bahwa dengan senang hati ia akan menolong. Ketika ditanya, ia memberitahukan
pada Musashi bahwa waktu itu baru sekitar pukul tujuh, karena penjaga baru saja
lewat memberitahukan waktu.
Ketika gadis warung
kembali membawa sandal, Musashi memeriksa talinya untuk memastikan kepangannya
tidak terlalu erat, kemudian ia ikatkan tali itu ke kaus kulitnya. Pemilik
warung ia beri uang yang jumlahnya lebih banyak daripada biasa, kemudian ia
ambil topi anyaman baru, dan keluarlah ia. Topi itu tidak diikatkan, tapi
ditaruh saja di atas kepala untuk menolak saiju yang waktu itu turun
berkeping-keping, lebih lembut dari bunga sakura.
Lampu kelihatan di
sepanjang tepi sungai di Jalan Shijo, tetapi di timur. di hutan Gion, suasana
gelap pekat, hanya ada bercak-bercak cahaya di sana-sini, pancaran
lentera-lentera batu. Ketenangan yang beku itu hanya kadang-kadang saja
dipecahkan oleh bunyi salju yang menggelincir dari cabang pohon.
Di depan sebuah
gerbang tempat suci ada sekitar dua puluh lelaki sedang berdoa sambil berlutut
menghadap bangunan kosong itu. Lonceng kuil di bukit-bukit yang tak jauh dari
sana baru berbunyi lima kali, menandai pukul delapan. Pada malam istimewa ini,
bunyi lonceng yang keras nyaring itu terasa menembus sampai ulu hati.
"Cukup kita
berdoa," kata Denshichiro. "Mari kita jalan."
Ketika mereka
berangkat, seorang dari orang-orang itu bertanya pada Denshichiro apakah tali
sandalnya baik keadaannya. "Malam beku macam ini, kalau terlalu erat bisa
putus."
"Sudah bagus.
Kalau udara dingin macam ini, yang terbaik dipakai adalah tali kain. Lebih baik
itu kauingat."
Di tempat suci itulah
Denshichiro menyelesaikan persiapan tempurnya, sampai pada ikat kepala dan tali
lengan baju dari kulit. Dikelilingi rombongannya yang berwajah seram, ia
berjalan melintasi saiju dengan tarikan napas panjang dan embusan uap putih.
Tantangan yang
disampaikan pada Musashi menyebutkan daerah belakang Rengeoin pada pukul
sembilan. Orang-orang Yoshioka takut atau menyatakan takut bahwa jika mereka
memberikan waktu ekstra pada Musashi, ia bisa lari dan tidak kembali lagi,
karena itu mereka bertindak cepat. Hyosuke tetap tinggal di sekitar rumah Shoyu,
tapi dua rekannya ia suruh melaporkan keadaan.
Ketika mendekati
Rengeoin, mereka melihat api unggun di dekat bagian belakang kuil.
"Siapa
itu?" tanya Denshichiro.
"Barangkali
Ryohei dan Jurozaemon."
"Mereka di sini
juga?" tanya Denshichiro dengan nada jengkel. "Terlalu banyak orang
kita hadir di sini. Aku tak ingin orang bilang Musashi kalah karena diserang
pasukan besar."
"Kalau tiba
saatnya, kami pergi."
Bangunan utama Kuil
Sanjusangendo itu memanjang sederetan lengkung bertiang tiga puluh tiga. Di
belakang terdapat ruangan besar terbuka yang bngus sekali untuk berlatih
panahan dan memang sudah lama dipergunakan untuk tujuan itu. Karena ada
hubungannya dengan salah satu aliran seni pcrang itulah maka Denshichiro
terdorong memilih Rengeoin sebagai tempat bararung melawan Musashi. Denshichiro
dan orang-orangnya senang dengan ptlihan itu. Di situ terdapat beberapa pohon
pinus, cukup untuk membuat pcmandangan di situ tidak tampak gersang, tapi tak
ada rumput liar atau ilalang yang bisa menghambat selama berlangsungnya
pertempuran.
Ryohei dan Jurozaemon
bangkit menyambut Denshichiro. Kata Ryohei, °'Anda tentu kedinginan berjalan
tadi. Masih banyak waktu sekarang. Silahkan duduk menghangatkan diri."
Tanpa mengatakan
sesuatu, Denshichiro duduk di tempat yang ditunjukkan Ryohei. Ia menjulurkan
kedua tangannya ke atas nyala api dan memetakkan buku-buku jarinya satu demi
satu. "Kukira terlalu pagi aku datang," katanya. Wajahnya yang sudah
hangat oleh api mulai tampak haus darah. Sambil mengerutkan kening Ia bertanya,
"Di jalan tadi, apa kita tidak melewati warung teh?"
"Ya, tapi warung
itu tutup."
"Pergilah
seorang dari kalian ke sana ambil sake.
Kalau kau mengetuk cukup
lama, mereka pasti menjawab."
"Sake,
sekarang?"
"Ya, sekarang,
aku kedinginan." Denshichiro lebih mendekatkan diri ke api sambil jongkok,
sampai hampir-hampir mendekap api itu.
Tak seorang pun ingat
kapan Denshichiro masuk dojo tanpa bau alkohol. baik pagi, siang, atau malam.
Karena itu, kebiasaannya minum sudah diterima sebagai hal biasa. Sekalipun
nasib seluruh Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan, ada yang mempunyai
pertimbangan barangkali lebih baik kalau Denshichiro menghangatkan badan dengan
sake sedikit daripada mencoba menggerakkan pedang dengan tangan dan kaki yang
beku. Seorang lagi dengan tenang menyatakan terlalu berbahaya melawan kehendak
Denshichiro, sekalipun untuk kebaikan sendiri. Maka beberapa orang berlari ke
warung teh. Sake yang mereka bawa panas sekali.
"Bagus!"
kata Denshichiro. "Ini teman dan sekutumu yang terbaik."
Denshichiro minum dan
yang lain-lain memperhatikan dengan bingung seraya berdoa semoga ia tidak minum
sebanyak biasanya. Untunglah Denshichiro tidak minum sampai mencapai takarannya
yang biasa. Sekalipun memperlihatkan sikap acuh tak acuh, ia tahu benar bahwa
hidupnya dalam taruhan.
"Hei, dengar!
Apa mungkin itu Musashi?"
Telinga-telinga
ditegakkan.
Orang-orang sekitar
api cepat berdiri, dan satu sosok tubuh gelap muncul di luar sudut bangunan. Ia
melambaikan tangan dan berseru. "Jangan kuatir! Cuma aku
Walaupun berpakaian
megah, dengan hakama yang disingsingkan, orang itu tidak dapat menyembunyikan
umurnya. Punggungnya bungkuk seperti bentuk busur. Ketika orang-orang itu dapat
melihatnya lebih jelas, mereka saling menerangkan bahwa orang itu tak lebih dan
"orang tua dari Mibu" dan keributan pun mereda. Orang tua itu
Yoshioka Genzaemon, saudara lelaki Kempo, paman Denshichiro.
"Oh, Paman Gen!
Kenapa Paman datang ke sini?" tanya Denshichiro.
Tak pernah terpikir
olehnya bahwa pamannya menganggap bantuan darinya diperlukan malam ini.
"Ah,
Denshichiro," kata Genzaemon, "aku yakin engkau dapat
menyelesaikannya dengan baik. Aku lega melihat kau di sini."
"Tadinya saya
bermaksud membicarakan dulu soal ini dengan Paman, tapi. . . "
"Membicarakan?
Apa yang mesti dibicarakan? Nama Yoshioka masuk lumpur, dan kakakmu sudah jadi
cacat! Kalau engkau tidak ambil tindakan, berarti aku yang mesti
menjawab!"
"Tak ada yang
mesti dikuatirkan. Saya bukan orang lembek macam kakakku."
"Aku percaya
dengan kata-katamu. Dan aku tahu engkau akan menang, tapi kupikir lebih baik
aku datang memberikan dorongan kepadamu. Dari Mibu aku lari kemari.
Denshichiro, kuperingatkan kau, menurut yang kudengar, kau tak boleh menganggap
enteng lawanmu ini."
"Saya
tahu."
"Jangan terlalu
buru-buru ingin menang. Tenanglah, dan serahkan semuanya pada dewa-dewa. Kalau
kebetulan engkau terbunuh, aku akan mengurus tubuhmu."
"Ha, ha, ha, ha!
Ayolah, Paman Gen, hangatkan badan dekat api."
Orang tua itu
pelan-pelan minum semangkuk sake, kemudian katanya pada yang lain-lain dengan
nada mencela, "Apa yang kalian buat di sini? Kalian tidak bermaksud
membantu dengan pedang, kan? Pertandingan ini antara seorang pemain pedang
lawan pemain pedang lain. Kelihatan pengecut kalau banyak pendukung di
mana-mana. Sudah hampir waktunya sekarang. Ayo, kalian semua ikut aku. Kita
pergi ke tempat yang cukup jauh, supaya tidak kelihatan kita punya rencana
melakukan serangan keroyokan."
Orang-orang itu
menurut perintah dan meninggalkan Denshichiro sendiri. Denshichiro duduk dekat
api, berpikir, "Waktu aku mendengar lonceng tadi, jam delapan. Mestinya
sudah jam sembilan sekarang. Musashi terlambat."
Satu-satunya tanda
yang ditinggalkan para muridnya adalah jejak-jejak kaki hitam di atas salju,
sedangkan satu-satunya bunyi adalah detak-detik tetesan air membeku yang lepas
dari ujung atap kuil. Satu kali cabang sebuah pohon patah oleh beratnya salju.
Setiap kali ketenangan terganggu, mata Denshichiro jelalatan seperti mata
burung elang pemburu.
Dan seperti elang
pemburu, seorang lelaki datang menderap di saiju.
Dengan gugup dan
terengah-engah, Hyosuke berkata, "Dia datang."
Denshichiro memahami
kabar itu sebelum mendengarnya, dan ia sudah berdiri. "Dia datang?"
tanyanya membeo, dan dengan sendirinya kakinya menginjak bara api yang
terakhir.
Hyosuke melaporkan
bahwa Musashi bersikap tenang sesudah meninggalkan Ogiya, seakan-akan tak
peduli dengan salju yang turun hebat. "Beberapa menit lalu dia mendaki
tangga batu Tempat Suci Gion. Saya ambil jalan belakang dan jalan
secepat-cepatnya, tapi biarpun dia jalan santai saja, saya tak bisa jauh
meninggalkan dia. Saya harap Tuan sudah siap."
"Hmm, ini dia...
Hyosuke, pergi dari sini."
"Di mana yang
lain-lain?"
"Aku tidak tahu,
tapi aku tak ingin engkau di sini. Kau membuatku gugup."
"Baik,
Tuan." Nada bicara Hyosuke tunduk, tapi ia tak mau pergi. Dan ia
berketetapan untuk tidak pergi. Sesudah Denshichiro menginjak-injak api sampai
menjadi lumpur salju, dan kemudian berjalan ke halaman kuil dengan sikap naik
darah, Hyosuke menyuruk ke bawah lantai kuil dan berjongkok di kegelapan. Ia
tidak begitu memperhatikan angin yang datang dari luar, padahal di bawah
bangunan itu angin melecut dingin. Karena dingin merasuk ke tulang, ia
merangkum lutut. Ia mencoba menipu dirinya dengan berpikir bahwa gemeretuk
giginya dan getar nyeri yang menjalari tulang punggungnya itu hanya diakibatkan
oleh dingin dan tak ada hubungannya sama sekali dengan rasa takut.
Denshichiro berjalan
sekitar seratus langkah dari kuil dan mengambil jurus mantap dengan menahankan
sebelah kakinya pada akar pohon pinus yang tinggi dan menanti dengan tak sabar.
Kehangatan sake cepat menghilang. Denshichiro merasa hawa dingin menggigit
dagingnya. Kesabarannya semakin habis. Hal itu tampak juga oleh Hyosuke yang
dapat melihat halaman seterang siang.
Setumpuk salju jatuh
dari cabang sebuah pohon. Denshichiro terkejut dan gugup.
Musashi belum juga
muncul.
Akhirnya, karena
tidak dapat duduk lebih lama lagi, Hyosuke keluar dari tempat persembunyiannya
dan berteriak, "Ada apa dengan Musashi?"
"Kamu masih di
sini, ya?" tanya Denshichiro marah, tapi ia sama jengkelnya dengan Hyosuke,
karena itu ia tidak memerintahkan Hyosuke pergi. Diam-diam kedua orang itu
saling mendekati. Mereka berdiri sambil melihat-lihat ke segala jurusan, dan
berulang kali secara bergantian mereka mengatakan, "Dia tidak
kelihatan." Setiap kali nada bicaranya semakin marah dan curiga.
"Bajingan! Dia
lari!" seru Denshichiro.
"Tak
mungkin," tekan Hyosuke. Kemudian ia menceritakan kembali dengan
sungguh-sungguh segala yang telah ia lihat, juga menerangkan kenapa ia merasa
yakin Musashi akan datang.
Tapi Denshichiro
menyelanya. "Apa itu?" tanyanya sambil cepat melayangkan pandangan ke
salah satu ujung kuil.
Sebuah lilin
bergoyang muncul dari bangunan dapur di belakang aula panjang. Lilin itu
dipegang seorang pendeta. Sampai di situ jelas, tapi mereka tak dapat melihat
sosok tubuh remang-remang yang ada di belakang si pendeta.
Kedua bayangan dan
berkas cahaya itu melintas pintu gerbang antan dapur dan bangunan utama, lalu
naik ke beranda panjang Sanjusangendo.
Si pendeta bicara
dengan suara ditekan, "Malam hari semua di sini tutup, karena itu saya
tidak tahu. Tadi ada beberapa samurai memanaskan diri di halaman. Barangkali
mereka itu yang Anda tanyakan, tapi mereka sudah pergi sekarang, seperti Anda
lihat sendiri."
Orang satunya bicara
pelan. "Saya minta maaf telah mengganggu Bapak sementara Bapak tidur. Ah,
tapi di bawah pohon di sana itu ada dua orang, kan? Mereka itu barangkali yang
mengirim pesan, mengatakan akan menunggu saya di sini."
"Nah, kalau
begitu tak ada salahnya menanyai mereka."
"Saya yang akan
bertanya. Sekarang saya dapat menemukan jalan sendiri, karena itu silakan kalau
Bapak mau kembali ke kamar Bapak."
"Anda ikut
teman-teman berpesta meninjau salju?"
"Yah, semacam
itulah," kata orang satunva itu sambil tertawa sedikit.
Sambil mematikan
lilin, si pendeta berkata, "Saya kira tak perlu saya menyebutkannya, tapi
kalau Anda membuat api dekat kuil seperti orang-orang itu tadi, harap hati-hati
dan mematikannya waktu Anda pergi."
"Pasti saya
lakukan."
"Bagus, kalau
begitu. Sekarang maafkan saya."
Pendeta itu kembali
lewat pintu gerbang dan menutupnya. Orang di beranda itu berdiri diam sejenak
sambil memandang saksama ke arah Denshichiro.
"Hyosuke, siapa
itu?"
"Tak tahu saya,
tapi dia datang dari dapur."
"Kelihatannya
bukan orang kuil."
Kedua orang itu
berjalan sekitar dua puluh langkah mendekati bangunan. Orang yang tak jelas itu
berjalan ke suatu tempat dekat tengah beranda, di situ berhenti dan mengikat
lengan bajunya. Kedua orang di halaman secara tidak sadar sudah demikian
menghampiri, hingga dapat melihatnya, tapi kemudian kaki mereka tak bisa lagi
diajak mendekat.
Selang dua-tiga
tarikan napas, Denshichiro berseru, "Musashi!" Ia sadar benar bahwa
orang yang berdiri beberapa kaki di atas itu berada dalam kedudukan yang sangat
menguntungkan. Tidak hanya ia aman sekali dari belakang, melainkan juga setiap
orang yang mencoba menyerangnya dari kanan atau kiri akan terpaksa naik lebih
dulu sampai ke tingkatnya. Dengan demikian, ia bebas mencurahkan perhatiannya
kepada musuh di depan.
Di belakang
Denshichiro terdapat pekarangan terbuka, salju dan angin, ia yakin Musashi
tidak membawa orang lain, tapi ia tak boleh mengabaikan ruang luas di
belakangnya itu. Ia membuat gerakan seakan melepas sesuatu dari kimononya, dan
mendesak Hyosuke, "Pergi kamu dari sini!" Hyosuke pergi ke ujung
belakang halaman.
"Anda
siap?" pertanyaan Musashi tenang tapi tajam, dan jatuh seperti air es pada
lawannya yang sudah naik darah.
Sekarang untuk
pertama kalinya Denshichiro dapat melihat Musashi dengan jelas. "Jadi,
inilah bajingan itu!" pikirnya. Dendamnya sungguh menyeluruh. Ia benci
karena kakaknya dibikin cacat, ia jengkel karena diperbandingkan dengan Musashi
oleh orang banyak, dan ia jijik sekali melihat orang yang menurut anggapannya
hanya pemuda dari desa yang berlagak sebagai samurai.
"Berani-beraninya
kau bertanya Anda siap? Ini sudah lewat jam sembilan!"
"Apa aku bilang
akan datang tepat jam sembilan?"
"Jangan
cari-cari alasan! Aku sudah lama menunggu. Seperti kaulihat, aku siap. Sekarang
turun kamu dari situ!" Ia tidak menyepelekan lawannya dengan memberanikan
diri menyerang dari kedudukannya sekarang.
"Sebentar,"
jawab Musashi sambil tertawa kecil.
Ada perbedaan
pengertian siap menurut Musashi dan menurut lawannya. Sekalipun secara fisik
Denshichiro sudah siap, secara spiritual ia baru saja mulai mengerahkan
dirinya, sedangkan Musashi sudah mulai bergulat lama sebelum ia tampil di depan
musuhnya. Baginya, pertempuran ini sedang memasuki tahap kedua, tahap utama. Di
Tempat Suci Gion ia telah melihat jejak-jejak kaki di atas salju, dan pada saat
itu naluri juangnya sudah bangkit. Melihat bayangan yang mengikutinya tidak ada
lagi, dengan berani ia masuk gerbang depan Rengeoin dan mendekati dapur. Ia
membangunkan pendeta. lalu memulai percakapan, dan dengan halus bertanya kepada
si pendeta tentang apa yang telah terjadi pada awal petang itu. Walaupun tahu
dirinya terlambat sedikit, ia minum teh juga dan menghangatkan badan. Kemudian.
ketika ia tampil, penampilannya bersifat mendadak dan dari tempat yang relatif
aman pula di beranda. Ia memegang kendali.
Kesempatan kedua
datang dalam bentuk usaha Denshichiro menariknya ke luar. Salah satu cara
berkelahi adalah dengan menerima ajakan itu. Cara lain dengan mengabaikannya
dan membuka peluang sendiri. Sikap hati-hati dijaga. Dalam hal seperti ini,
kemenangan ibarat bulan yang tercermin di danau. Kalau orang melompat
menggapainya secara impulsif, ia bisa tenggelam.
Kejengkelan
Denshichiro tak kenal batas. "Kau tidak hanya terlambat." teriaknya,
"kau juga belum siap. Dan aku tidak mendapat pijakan yang enak di
sini."
Musashi yang masih
tetap tenang menjawab, "Aku akan turun. Tunggu sebentar."
Denshichiro tak perlu
diberitahu bahwa kemarahan dapat mengakibatkan kekalahan, tapi menghadapi usaha
sengaja untuk menjengkelkannya itu ia tidak dapat lagi mengendalikan emosinya.
Pelajaran-pelajaran tentang strategi yang pernah la terima terlupakan sudah.
"Turun!"
pekiknya. "Sini, di halaman! Tinggalkan tipu daya, dan ayo berkelahi
dengan jantan! Aku Yoshioka Denshichiro! Aku muak dengan taktik darurat dan
serangan pengecut. Kalau kau sudah ketakutan sebelum pertandingan mulai, tak
pantas kau menghadapi aku. Turun dari situ!"
Musashi menyeringai.
"Yoshioka Denshichiro, ya? Apa yang mesti kutakutkan padamu? Kau sudah
kupotong dua musim semi tahun lalu. Kalau malam ini kukalahkan lagi, itu cuma
mengulangi yang lalu."
"Apa yang
kaubicarakan itu? Di mana? Kapan?"
"Di Koyagyu,
Yamato."
"Yamato?"
"Tepatnya di
pemandian Penginapan Wataya."
"Kau di
sana?"
"Aku di sana.
Kita telanjang waktu itu, tentu saja, tapi dengan mataku aku sudah
memperhitungkan, aku bisa memotongmu jadi dua atau tidak. Dan dengan mataku aku
sudah memotongmu seketika, dengan agak indah juga, kalau boleh kukatakan
demikian. Kau barangkali tidak memperhatikan, karena tak ada bekas luka pada
badanmu, tapi kau sudah kukalahkan. Pasti. Orang lain mungkin mau mendengarmu
menyombongkan diri tentang kemampuanmu sebagai pemain pedang, tapi dariku kau
hanya akan mendapat tertawaan."
"Tadinya aku
ingin tahu bagaimana bicaramu. Sekarang aku tahu, macam orang goblok! Tapi
ocehanmu itu merangsangku. Turun kamu dari situ! Akan kubukakan matamu yang
congkak itu!"
"Apa senjatamu?
Pedang? Pedang kayu?"
"Kenapa tanya
kalau kau tak punya pedang kayu? Kau datang ingin menggunakan pedang,
kan?"
"Memang, tapi
kupikir kalau kau mau pakai pedang kayu, akan kuambil punyamu dan aku akan
berkelahi dengannya."
"Aku tak punya
pedang kayu, tolol! Cukup omong besar itu. Ayo berkelahi!"
"Siap?"
"Belum!"
Tumit Denshichiro
membuat garis miring hitam sepanjang dua setengah meter ketika ia membuka ruang
tempat Musashi mendarat. Musashi cepat melangkah tujuh-delapan menyamping
sebelum melompat turun. Dengan pedang masih tersarung dan sambil saling
memperhatikan dengan saksama, mereka menjauh sekitar enam puluh meter dari
kuil. Waktu itulah Denshichiro kehilangan kesabarannya. Pedangnya panjang,
ukuran tepat untuk tubuhnya. Pedang itu hanya memperdengar-kan siulan kecil,
membelah udara dengan kecepatan mengagumkan, langsung mengenai tempat Musashi
berdiri.
Musashi lebih cepat
dari pedang. Dan lebih cepat lagi lejitan pedang berkilau dari sarungnya
sendiri. Kedua orang itu sudah terlampau dekat untuk dapat tampil tanpa cedera,
tapi sejenak sesudah cahaya pantulan pedang menari-nari, mereka mundur.
Beberapa menit tegang
berlalu. Keduanya diam tak bergerak, pedang berhenti di udara, ujung bersasaran
ujung, tetapi dipisahkan oleh jarak sekitar dua setengah meter. Salju yang
menumpuk di kening Denshichiro jatuh ke bulu matanya. Untuk mengibaskannya, ia
menggerakkan wajahnya sampai urat-urat nadinya tampak seperti bisul-bisul
bergerak, tak terhitung pumlahnya. Bola matanya membelalak menyala seperti
jendela dapur peleburan besi, dan embusan napasnya yang dalam dan tetap itu
panas dan ribut seperti dalam puputan.
Keputusasaan
menyelinap dalam pikiran, karena ia sadar betapa jelek kedudukannya.
"Kenapa kupegang pedang ini setinggi mata, padahal pedang selamanya
kupegang di atas kepala buat menyerang?" tanyanya pada diri sendiri. Ia
berpikir tidak dalam makna yang biasa. Darahnya berdebur di dalam nadi, sampai
dapat didengar. Sekujur tubuhnya, sampai pada kukukuku jari kakinya, kini
terpusat pada usahanya untuk tampak garang.
Ia tahu, jurus
setinggi mata tidak menempatkannya pada kedudukan unggul, dan ini
menjengkelkannya. Berkali-kali ia ingin mengangkat siku dan menaikkan pedang ke
atas kepala, tapi terlampau berbahaya. Musashi waspada sekali menantikan
peluang itu, menantikan saat sepersekian detik ketika pandangan matanya
tertutup tangannya.
Musashi memegang
pedang setinggi mata juga, tapi sikunya dalam keadaan santai, luwes, dan dapat
digerakkan ke mana saja. Tangan Denshichiro yang berada dalam jurus yang tidak
biasa itu ketat dan kaku. dan pedangnya tidak mantap. Pedang Musashi diam
sepenuhnya. Salju mulai menumpuk di atas ujungnya yang tipis.
Sementara menanti
lawan membuat kekeliruan sekecil apa pun dengan mata elang, Musashi menghitung
jumlah napasnya. Ia tidak hanya ingin menang, ia harus menang. Ia sadar benar bahwa
sekali lagi ia berada di garis perbatasan—di satu pihak hidup, di lain pihak
maut. Ia melihat Denshichiro bagai batu raksasa, suatu sosok yang sungguh
gagah. Teringat olehnya nama dewa perang, Hachiman.
"Tekniknya lebih
baik daripada teknikku," pikirnya jujur. Ia jadi merasa rendah diri,
seperti yang dirasakannya di Benteng Koyagyu dulu, ketika ia dikelilingi empat
pemain pedang terkemuka Perguruan Yagyu. Selamanya seperti ini kalau ia
menghadapi pemain-pemain pedang dari perguruan ortodoks, karena tekniknya
sendiri tanpa bentuk atau penalaran. Metodenya tak lebih dari "lakukanlah,
kalau tidak engkau mati". Sementara memperhatikan Denshichiro, ia melihat
bahwa gaya yang diciptakan dan dikembangkan Yoshioka Kempo dalam masa hidupnya
itu memiliki kesederhanaan dan kerumitan. Gaya itu tersusun baik dan
sistematis, dan tidak dapat diungguli dengan kekuatan kasar atau semangat
belaka.
Musashi menjaga betul
agar tidak melakukan gerakan tak perlu. Taktik-taktiknya yang primitif tidak
dapat dipergunakan. Sampai batas-batas tertentu ia merasa heran, karena
tangannya menolak dijulurkan. Maka hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah
mengambil jurus bertahan konservatif dan menanti. Matanya semakin merah mencari
peluang, dan ia berdoa kepada Hachiman agar menang.
Karena semakin
terangsang, detak jantungnya semakin berpacu. Sekiranya ia orang biasa, pasti
ia sudah terserap ke dalam pusaran kebingungan. dan menyerah. Namun ia tetap
mantap. Perasaan kurang sempurna dikibaskannya seakan tak lebih dari salju di
atas lengan bajunya. Kemampuannya mengendalikan kegairahan yang baru itu adalah
hasil beberapa kali berhadapan dengan maut. Semangatnya sepenuhnya dijaga
sekarang, seakan-akan tabir tengah disingkirkan dari depan matanya.
Diam kini bagai
kuburan. Salju menumpuk di atas rambut Musashi, dan di atas bahu Denshichiro.
Musashi tidak lagi
melihat batu besar di hadapannya. Ia sendiri tidak lagi hadir sebagai manusia
tersendiri. Keinginan menang telah terlupakan. ia memandang putihnya salju yang
jatuh di antara dirinya dan lawannya. Semangat salju itu sama ringan dengan
semangatnya sendiri. Ruang di antaranya kini terasa bagai perpanjangan tubuhnya
sendiri. Ia telah menjadi alam semesta, atau alam semesta menjadi dirinya. Ia
ada di sana, namun tak ada di sana.
Kaki Denshichiro
mengingsut ke depan. Pada ujung pedangnya, daya kemampuannya tampak menggeletar
hendak memulai gerakan.
Dua nyawa melayang
oleh dua pukulan yang berasal dari sebilah pedang. Mula-mula Musashi menyerang
ke belakang, dan kepala Otaguro Hyosuke atau sebagian dari kepala itu melayang
melewati Musashi seperti buah ceri besar merah tua, sementara tubuhnya
terhuyung tanpa nyawa ke arah Denshichiro. Pekik dahsyat yang kedua-pekik
serangan Denshichiro-mati di tengah jalan, dan putus menghilang ke dalam ruang
di seputar mereka. Demikian tinggi lompatan Musashi, hingga seolah ia melompat
dari ketinggian dada lawannya. Sosok tubuh Denshichiro yang besar itu rebah ke
belakang dan jatuh disertai muncratnya salju putih.
Dengan tubuh terlipat
menyedihkan dan wajah terperosok dalam salju, orang sekarat itu berteriak,
"Tunggu! Tunggu!"
Musashi tak lagi di
sana.
"Dengar
itu?"
"Itu
Denshichiro!"
"Dia luka!"
Genzaemon dan
murid-murid Yoshioka bergegas melintas halaman, seperti ombak.
"Lihat! Hyosuke
terbunuh!"
"Denshichiro!"
"Denshichiro!"
Namun mereka tahu tak
ada gunanya memanggil dan tak ada gunanya memikirkan pengobatan. Kepala Hyosuke
terbelah miring dari telinga kanan ke tengah mulut, sedangkan kepala
Denshichiro dari puncak ke nilang pipi kanan. Keduanya terjadi hanya dalam
beberapa detik.
"Itu makanya...
itu makanya kuperingatkan engkau," gerutu Genzaemon. Itu makanya kubilang
engkau jangan menyepelekan dia. Oh, Denshichiro, Denshichiro!"
Orang tua itu
mendekap tubuh kemenakannya, dan sia-sia menghiburnya. Genzaemon terus bergayut
pada mayat Denshichiro. Ia berang melihat orang-orang lain hanya bergerak
kebingungan ke sana kemari di salju yang merah oleh darah.
"Lalu bagaimana
dengan Musashi?" gunturnya.
Beberapa orang mulai
mencari, tapi mereka tidak melihat tanda-tanda Musashi.
"Dia tak
ada," terdengar jawaban malu-malu dan bodoh.
"Dia pasti masih
di sekitar sini!" salak Genzaemon. "Dia tak punya sayap. Kalau aku
tak sempat membalas dendam, aku takkan lagi dapat menegakkan kepala sebagai
anggota Keluarga Yoshioka. Cari dia!"
Satu orang tergagap
dan menuding. Yang lain-lain mundur selangkah dan memandang ke arah yang
dituding.
"Itu
Musashi!"
"Musashi?"
Sementara pikiran
tentang Musashi meresap ke dalam hati, ketenangan pun memenuhi udara, bukan
ketenangan tempat pemujaan, melainkan ketenangan yang celaka dan setani,
seakan-akan telinga, mata, dan otak tidak lagi berfungsi.
Apa pun yang terlihat
oleh seorang dari orang-orang itu, orang yang dituding itu bukan Musashi,
karena Musashi waktu itu sudah berdiri di bawah ujung atap bangunan terdekat.
Ia menatap orang-orang Yoshioka. Punggungnya menempel ke dinding. Ia menyingkir
pelan-pelan, sampai akhirnya tiba di sudut barat daya Sanjusangendo. Ia naik ke
beranda, dan kemudian pelan-pelan dan diam-diam merangkak di tanah.
"Apa mereka akan
menyerang?" tanyanya pada diri sendiri. Setelah dilihatnya mereka tak
bergerak ke arahnya, dengan mencuri-curi ia menuju sisi utara bangunan itu, dan
dengan satu loncatan menghilang ke dalam kegelapan.
Orang-Orang Perlente
"TAK ada
bangsawan kurang ajar yang akan bisa mengalahkan aku! Kalau dia pikir dia dapat
menolakku dengan mengirim kertas kosong, aku terpaksa bicara dengan dia. Dan
akan kuambil Yoshino kembali, demi harga diriku."
Orang bilang, kita
tak perlu berumur muda untuk dapat menikmati permainan. Pada waktu Haiya Shoyu
sedang mabuk, tak bisa ia dicegah.
"Bawa aku ke
kamar mereka!" perintahnya pada Sumigiku. Ia meletakkan sebelah tangannya
ke bahu Sumigiku agar dapat berdiri tegak.
Sia-sia Koetsu
mengingatkannya supaya tenang.
"Tidak! Akan
kurebut Yoshino.... Pemegang panji-panji, maju! Jenderalmu akan bertindak!
Siapa punya keberanian, ikuti aku!"
Ciri khusus orang
mabuk adalah bahwa sekalipun mereka tampak selalu dalam bahaya akan jatuh atau
mengalami kecelakaan yang lebih jelek, namun kalau ditinggalkan sendirian
biasanya mereka dapat lolos dari hal yang tidak menguntungkan. Tapi kalau tak
seorang pun mengambil langkahlangkah untuk melindunginya, kurang kena memang.
Berkat pengalaman bertahun-tahun, Shoyu dapat menetapkan batas yang jelas
antara menghibur diri dan menyenangkan hati orang lain. Apabila orang menyangka
ia sudah cukup pening hingga mudah ditangani, ia akan mengambil sikap
sesukar-sukarnya ditangani, berjalan terhuyung-huyung sedemikian rupa, hingga
orang datang menyelamatkannya. Sampai di situ terjadilah pertempuran semangat
kondisi mabuknya mendapat tanggapan simpatik.
"Bapak bisa
jatuh," teriak Sumigiku sambil bergegas mencegahnya.
"Jangan tolol
kamu. Kakiku boleh saja goyang sedikit, tapi semangatku kokoh!" Suaranya
kedengaran kesal.
"Coba Bapak
berjalan sendiri."
Sumigiku membiarkannya,
tapi segera kemudian Shoyu pun runtuh. "Aku sedikit lelah. Terpaksa
digotong."
Dalam perjalanan ke
kamar Yang Dipertuan Kangan, Shoyu seolah-olah tak tahu apa-apa, padahal ia
sadar sepenuhnya akan segalanya. Ia terhuyung-huyung, terayun-ayun, dan sekali-sekali
ambruk. Kalau tidak, ia membuat para pengikutnya terus gugup dari ujung ke
ujung gang yang panjang.
Yang dipersoalkan
sekarang adalah apakah yang disebutnya "Orang-orang bangsawan kurang ajar
dan setengah matang" itu akan terus memonopoli Yoshino Dayu. Para saudagar
besar yang tak lebih dari orang biasa yang kaya itu tidak menaruh hormat kepada
orang-orang istana Kaisar. Memang orang-orang istana sadar sekali akan pangkat
mereka, tapi hal itu sedikit saja artinya, karena mereka tak punya uang. Dengan
menghamburkan emas untuk menyenangkan hati mereka, ambil bagian dalam acara
hiburan mereka, dan berpura-pura hormat pada kedudukan mereka, sehingga mereka
tetap dapat mempertahankan harga dirinya, para saudagar dapat mengelabui mereka
bagai boneka. Tak seorang pun lebih tahu tentang hal ini daripada Shoyu.
Cahaya lampu
menari-nari riang pada shoji kamar depan yang menuju kamar Yang Dipertuan
Karasumaru ketika Shoyu berusaha membukanya.
Tiba-tiba pintu
dibuka dari dalam. "Oh, engkau, Shoyu!" ucap Takuan Soho.
Mata Shoyu
membelalak, mula-mula karena heran, dan kemudian karena senang. "Pendeta
yang baik," gagapnya, "sungguh ini kejutan yang menyenangkan! Pendeta
sudah sejak tadi di sini?"
"Dan Bapak
sendiri, Bapak yang baik, apa Bapak sudah sejak tadi di sini?" tanya
Takuan menirukan. Lalu ia merangkul Shoyu, dan kedua orang itu seperti sedang
bercintaan, pipi menempel pipi yang berbulu pendek.
"Sehat engkau,
bajingan tua?"
"Ya, dan engkau,
penipu? Dan engkau?"
"Aku memang
ingin ketemu kau."
"Aku juga."
Sebelum kata-kata
sambutan cengeng itu diucapkan, kedua orang itu sudah lebih dulu saling tepuk
kepala dan saling jilat hidung.
Yang Dipertuan
Karasumaru mengalihkan perhatiannya dari kamar depan ke Yang Dipertuan Konoe
Nobutada yang duduk di depannya, dan katanya disertai seringai tajam, "Ha!
Tepat seperti kuharapkan. Tukang ribut itu sudah datang."
Karasumaru Mitsuhiro
masih muda, barangkali tiga puluh tahun umurnya. Walaupun tidak mengenakan
pakaian sempurna, ia tetap kelihatan bangsawan, karena memang ia tampan dan
bekulit putih, alisnya tebal, bibirnya merah tua, dan matanya cerdas. Kesan
yang diberikannya adalah bahwa ia orang yang lemah lembut, tetapi dibalik
permukaan yang dipoles itu bersemayam watak yang kuat, akibat kebencian yang
terpendam pada kelas militer. Sering orang mendengarnya mengatakan, "Oh,
pada abad yang menganggap kaum prajurit sebagai satu-satunya manusia penuh ini,
kenapa aku harus lahir sebagai bangsawan?"
Menurut pendapatnya,
kelas prajurit mesti memusatkan perhatian hanya kepada soal-soal militer, dan
orang istana yang masih muda dan punya kecerdasan namun tidak menguasai keadaan
adalah orang tolol. Anggapan bahwa kaum prajurit memegang kekuasaan mutlak itu
memutarbalikkan asas kuno bahwa pemerintahan mesti dijalankan oleh Istana
Kaisar, dengan bantuan militer.
Kaum samurai tidak
lagi mencoba menjaga keselarasan dengan kaum bangsawan. Mereka menjalankan
segalanya, memperlakukan para anggota istana seolah cuma hiasan. Hiasan kepala
yang mewah pada kaum istana itu tak ada artinya, dan keputusan-keputusan yang
mereka buat dapat saja dibuat oleh boneka.
Yang Dipertuan
Karasumaru menganggap suatu kesalahan besar para dewa bahwa mereka menciptakan
orang seperti dirinya sebagai bangsawan. Sekalipun ia abdi Kaisar, ia hanya
melihat dua jalan terbuka baginya: hidup selalu dalam kesengsaraan atau
menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Dan pilihannya yang masuk akal
adalah meletakkan kepala di pangkuan seorang perempuan cantik, mengagumi cahaya
bulan yang pucat, memandang bunga sakura pada musimnya, dan mati sambil
memegang mangkuk sake.
Sesudah naik pangkat
dari Menteri Keuangan Kaisar menjadi Pembantu Wakil Menteri Kanan dan kemudian
Kanselir Kaisar, ia menjadi pejabat tinggi dalam birokrasi Kaisar yang impoten,
tapi banyak sekali waktu ia habiskan di daerah lokalisasi, karena suasana di
situ memungkinkan ia melupakan hinaan-hinaan yang mesti ia tanggung apabila ia
mengurus soalsoal yang lebih praktis. Di antara teman-teman yang biasa itu
terdapat beberapa bangsawan muda yang tidak puas, semuanya miskin dibandingkan
dengan para pengusaha militer, namun dapat menyediakan uang untuk berpesiar
pada malam hari ke Ogiya. Itulah satu-satunya tempat di mana mereka bebas merasa
sebagai manusia, demikian mereka tegaskan.
Malam ini tamu yang
diterima Yang Dipertuan Karasumaru adalah orang jenis lain, yaitu Konoe
Nobutada yang pendiam dan santun, yang umurnya sekitar sepuluh tahun lebih tua.
Nobutada pun berkelakuan bangsawan, matanya tampak suram, wajahnya gemuk dan
alisnya tebal. Sekalipun kulitnya yang kehitaman dirusak oleh bopeng-bopeng
dangkal, namun kesederhanaan orang itu menyenangkan dan membuat cacatnya terasa
pantas. Di tempat seperti Ogiya, orang luar takkan menyangka bahwa ia salah
seorang bangsawan tinggi Kyoto, kepala dari keluarga tempat asal para wali
Kaisar.
Sambil tersenyum
sopan di samping Yoshino, ia menoleh pada wanita itu dan katanya, "Itu
suara Funabashi, kan?"
Yoshino menggigit
bibirnya yang sudah lebih merah dari kembang prem, dan matanya mengungkapkan
rasa malu melihat kikuknya keadaan itu. "Apa yang akan saya lakukan kalau
dia masuk?" tanyanya resah.
Yang Dipertuan
Karasumaru memerintahkan, "Jangan berdiri!" dan segera mencekal
pinggir kimononya.
"Takuan, apa
kerjamu di situ? Dingin kalau pintu dibuka. Kalau mau pergi, pergi sana, tapi
kalau mau kembali, kembali saja, tapi tutup pintu itu."
Takuan segera
menyambar umpan itu, dan katanya kepada Shoyu, "Mari kita masuk," dan
menarik orang tua itu ke dalam kamar.
Shoyu pun masuk dan
duduk langsung di depan kedua bangsawan itu. "Oh, sungguh kejutan yang
menyenangkan!" seru Mitsuhiro dengan kesungguhan yang dibuat-buat.
Dengan lutut yang
kurus, Shoyu beringsut mendekat. Sambil mengulurkan tangan kepada Nobutada,
katanya, "Tolong kasih aku sake." Dan sesudah menerima mangkuk, ia
pun membungkuk penuh upacara.
"Senang sekali
bertemu denganmu, Funabashi Tua," kata Nobutada sambil menyeringai.
"Semangatmu rupanya selalu tinggi."
Shoyu mengosongkan
mangkuknya dan mengembalikannya. "Sungguh saya tak bermimpi bahwa rekan
Yang Dipertuan Kangan adalah Yang Mulia." Dan sambil terus berpura-pura
lebih mabuk daripada sebenarnya, ia pun menggoyangkan lehernya yang kurus dan berkerut-merut
itu sepeni pelayan kuno, dan katanya dengan nada pura-pura takut, "Maafkan
saya, Yang Mulia!" Kemudian dengan nada lain, "Ah, kenapa pula aku
mesti begitu sopan? Ha, ha! Bukan begitu, Takuan?"
Ia merangkul Takuan,
menarik pendeta itu ke dekatnya, dan menudingkan jarinya ke kedua orang istana
itu. "Takuan," katanya, "di dunia ini orang yang kukasihani
adalah bangsawan. Mereka punya gelar-gelar gemilang seperti patih atau regent,
tapi tak sampai ke mana-mana kehormatan itu. Kaum saudagar lebih beruntung
daripada mereka. Betul, tidak?"
"Memang
betul," jawab Takuan, berusaha melepaskan lehernya.
"Nah," kata
Shoyu, menempatkan sebuah mangkuk langsung di bawah hidung pendeta itu.
"Aku belum menerima minuman darimu."
Takuan menuangkan
sake. Orang tua itu meminumnya.
"Kau ini lihai,
Takuan. Di dunia yang kita diami ini, kaum pendeta macam kau ini cerdik, kaum
saudagar pintar, kaum prajurit kuat, tapi kaum bangsawan bodoh. Ha, ha! Betul,
tidak?"
"Betul,
betul," kata Takuan mengiakan.
"Kaum bangsawan
tak dapat melakukan apa yang mereka kehendaki karena pangkatnya, dan mereka
tersisih dari politik dan pemerintahan. Karena itu yang dapat mereka lakukan
cuma membuat sajak dan menjadi ahli kaligrafi. Betul, kan?" Dan ia pun
tertawa lagi.
Sekalipun Mitsuhiro
dan Nobutada suka lelucon, seperti halnya Shoyu. tapi kekasaran ejekan itu
sungguh membikin malu. Karena itu mereka menerimanya dengan diam mematung.
Dan perasaan tak enak
yang mereka alami itu dipergunakan oleh Shoyu untuk menekan terus.
"Yoshino, bagaimana pendapatmu? Kau menyuka: kaum bangsawan atau lebih
suka kaum saudagar?"
"Hi, hi,"
Yoshino mengikik. "Ah, Tuan Funabashi, itu pertanyaan aneh!"
"Aku tidak
berkelakar. Aku sedang mencoba meninjau ke dalam hati wanita. Dan sekarang aku
tahu apa yang ada dalam hati itu. Engkau sebetulnya lebih suka kaum saudagar,
betul, kan? Kupikir lebih baik kuambil engkau dari sini. Ayo ikut ke
kamar." Ia menggandeng Yoshino dan berdiri dengan wajah cerdik.
Mitsuhiro terperanjat
hingga sake-nya tumpah. "Kelakar bisa juga jadi keterlaluan," katanya
sambil merenggutkan tangan Yoshino dari tangan Shoyu, dan menarik Yoshino ke
sisinya.
Karena diperebutkan
kedua orang itu, Yoshino tertawa dan mencoba mengatasi keadaan tersebut. Sambil
menggenggam tangan Mitsuhiro dengan tangan kanan dan tangan Shoyu dengan tangan
kiri, ia memperlihatkan wajah kuatir dan katanya, "Oh, apa yang mesti saya
perbuat dengan Bapak berdua ini?"
Kedua orang itu tidak
saling membenci, dan bukan pula saingan dalam bercinta, namun bagi keduanya
aturan permainan mengharuskan mereka melakukan segala yang ada dalam kekuasaan
mereka untuk membuat kedudukan Yoshino Dayu lebih memalukan.
"Nah, Nyonya
yang baik," kata Shoyu." Engkau mesti memutuskan sendiri. Engkau
mesti memilih orang yang kamarnya akan kausemarakkan, orang yang kauserahi
hatimu."
Takuan segera
mencampuri keributan itu. "Memang masalah ini sangat menarik, ya? Coba
katakan, Yoshino, siapa pilihanmu?"
Satu-satunya yang tak
ikut ambil bagian adalah Nobutada. Tapi beberapa waktu kemudian rasa kesopanan
mendorongnya mengatakan, "Oh, oh, Tuan-tuan ini tamu, jangan begitu kasar.
Kalau demikian tingkah Anda, saya berani mengatakan, Yoshino dengan senang hati
ingin melepaskan diri dari Anda berdua. Bagaimana kalau kita semua bersenang-senang
saja dan tak usah memedulikan Yoshino? Koetsu mestinya sendirian sekarang.
Seorang dari gadis-gadis mesti mengundangnya datang kemari."
Shoyu mengibaskan
tangannya. "Tak ada alasan mendatangkannya kemari. Aku cuma akan kembali
ke kamarku dengan Yoshino."
"Tidak
bisa," kata Mitsuhiro, mendekap Yoshino lebih erat.
"Inilah yang
dinamakan kekurangajaran aristokrasi!" seru Shoyu. Dengan mata
menyala-nyala ia menawarkan mangkuk kepada Mitsuhiro, katanya, "Baikah,
mari kita putuskan siapa yang akan mendapatkan Yoshino dengan pertandingan
minum... langsung di depan matanya."
"Oh, boleh saja,
kedengarannya menarik juga." Mitsuhiro mengambil mangkuk besar dan
meletakkannya di meja kecil di antara mereka. "Jadi, engkau yakin masih
cukup muda untuk bertanding?" tanyanya melucu.
"Aku tak perlu
umur muda buat bertanding dengan bangsawan kurus!"
"Nah, bagaimana
caranya menentukan giliran minum? Tidak lucu kalau cuma minum. Kita mesti
bermain. Siapa kalah mesti minum semangkuk penuh. Permainan apa yang mesti kita
mainkan?"
"Kita adu
pandang saja."
"Berarti mesti
memandang muka saudagarmu yang jelek itu. Itu bukan permainan, itu
siksaan!"
"Jangan
menghina! Bagaimana kalau permainan batu-gunting-kertas?"
"Bagus!"
"Takuan, kau
jadi wasit."
"Dengan senang
hati."
Dengan wajah
sungguh-sungguh mereka memulai. Setiap kali selesai satu giliran, pihak yang
kalah mengeluh dengan sedihnya, dan semua orang tertawa.
Yoshino Dayu
diam-diam menyelinap keluar kamar, dengan lemah gemulai menyeret ekor kimononya
yang panjang, dan berjalan dengan langkah anggun menyusuri gang. Tak lama
sesudah ia pergi, Konoe Nobutada berkata, "Aku mesti pergi juga," dan
pergi tanpa dilihat orang.
Sambil menguap tanpa
malu-malu, Takuan membaringkan diri dan tanpa permisi lagi meletakkan kepalanya
di pangkuan Sumigiku. Walaupun enak rasanya tidur di sana, ia tiba-tiba merasa
bersalah juga. "Aku mesti pulang," pikirnya. "Mereka barangkali
kesepian tanpa aku." Yang dipikirkannya adalah Jotaro dan Otsu yang sudah
berkumpul kembali di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Takuan membawa Otsu ke
sana sesudah mengalami cobaan di Kiyomizudera itu.
Takuan dan Yang
Dipertuan Karasumaru adalah teman lama dan memiliki banyak minat yang
serupa-puisi, Zen, minum, bahkan juga politik. Menjelang akhir tahun
sebelumnya, Takuan menerima surat yang isinya mengundangnya menghabiskan hari
libur Tahun Baru di Kyoto. "Engkau rupanya terkurung di sebuah kuil kecil
di desa," tulis Mitsuhiro. "Apa kau tidak rindu pada ibu kota, rindu
pada sake Nada yang baik, rindu dikawani perempuan-perempuan cantik, rindu
melihat burung-burung camar kecil di Sungai Kamo? Kalau engkau memang suka
tidur, kukira baik saja engkau mempraktekkan keyakinan Zen-mu di desa, tapi
kalau engkau ingin sesuatu yang lebih hidup, datanglah kemari dan hidup di
tengah orang banyak. Sekiranya engkau merasakan nostalgia kepada ibu kota,
bagaimanapun bertamulah pada kami."
Sebentar sesudah
kedatangannya pada awal tahun baru itu, Takuan heran sekali melihat Jotaro
bermain di halaman. Secara terperinci ia mendengar dari Mitsuhiro apa yang
dilakukan anak itu di sana, kemudian mendengar dari Jotaro bahwa tak ada kabar
berita tentang Otsu semenjak Osugi mencengkeram gadis itu pada Hari Tahun Baru.
Sesudah kembali, Otsu
demam dan masih terbaring di tempat tidur. Jotaro merawatnya, sepanjang hari
duduk di samping bantalnya, mengompres dahi Otsu dengan handuk basah dan
menakar obat pada waktu-waktu tertentu tiap hari.
Biarpun Takuan ingin
pulang, ia tak bisa berbuat demikian sebelum tuan rumahnya datang, sedangkan
Mitsuhiro kelihatannya makin lama makin terbenam dalam pertandingan minum.
Karena kedua belah
pihak yang bertanding adalah veteran, maka tampaknya pertandingan akan berakhir
dengan seri, dan memang benar demikian. Mereka terus juga minum sambil
berhadapan dan mengobrol dengan asyiknya. Takuan tidak tahu apakah pokok
pembicaraannya tentang pemerintahan kelas militer, nilai hakiki kaum bangsawan,
ataukah peran kaum saudagar dalam perkembangan perdagangan luar negeri. Yang
jelas percakapan itu sangat serius. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan
Sumigiku, dan dengan mata masih tertutup ia menyandarkan diri ke tiang ceruk
kamar, dan setiap kali ia menyeringai mendengar potongan percakapan mereka.
Tak lama kemudian
Mitsuhiro bertanya dengan nada kecewa, "Di mana Nobutada? Apa dia
pulang?"
"Biar saja dia.
Di mana Yoshino?" tanya Shoyu, yang tiba-tiba tampak tidak mabuk sama
sekali.
Mitsuhiro menyuruh
Rin'ya pergi dan membawa kembali Yoshino. Ketika melewati kamar tempat Shoyu
dan Koetsu memulai acara malam itu, Rin'ya memandang ke dalam. Musashi duduk di
sana seorang diri, wajahnya berdekatan dengan cahaya putih lampu. "Oh,
saya tidak lihat Anda kembali," kata Rin'ya.
"Aku lama tidak
ada di sini."
"Apa Anda
kembali lewat jalan belakang?"
"Ya."
"Ke mana Anda
pergi?"
"Oh, ke
luar."
"Saya berani
bertaruh, tentu bertemu dengan gadis cantik. Tak tahu malu! Tak tahu malu! Saya
bilang nanti pada Nyonya," kata gadis itu lancang.
Musashi tertawa.
"Tak ada orang di sini," katanya. "Ke mana saja orang-orang
itu?"
"Mereka di kamar
lain, main dengan Yang Dipertuan Kangan dan seorang pendeta."
"Koetsu
juga?"
"Tidak. Saya
tidak tahu di mana dia."
"Barangkali dia
pulang. Kalau dia pulang, aku mesti pulang juga."
"Jangan begitu.
Kalau Anda datang ke rumah ini, Anda tak dapat pulang tanpa izin Yoshino Dayu.
Kalau Anda pergi diam-diam, orang akan menertawakan Anda. Dan saya akan
dimaki-maki." .
Karena tidak terbiasa
dengan humor para pelacur, maka Musashi menerima pernyataan itu dengan wajah
serius, pikirnya, "Oh, jadi begitu aturan mainnya di sini."
"Anda pokoknya
tak boleh pergi sebelum minta permisi seperti semestinya. Tunggu di sini sampai
saya kembali."
Beberapa menit
kemudian Takuan muncul. "Dari mana engkau datang?" tanyanya sambil
menepuk bahu ronin itu.
"Ha?" gagap
Musashi. Sambil meluncur dari bantalnya ia letakkan kedua tangannya ke lantai
dan ia membungkuk dalam-dalam. "Lama sekali saya tak melihat Bapak!"
Sambil mengangkat
tangan Musashi dari lantai, Takuan berkata, "Tempat ini buat
bersenang-senang dan bersantai. Tak perlu sambutan resmi... Aku dengar Koetsu
ada di sini juga, tapi tak kulihat dia."
"Menurut Bapak,
ke mana dia pergi?"
"Mari kita cari
dia. Ada beberapa hal yang hendak kubicarakan secara pribadi denganmu, tapi
kita undurkan saja dulu sampai saat yang lebih cocok."
Takuan membuka pintu
ke kamar sebelah. Di situ Koetsu terbaring dengan kaki terbungkus kotatsu dan
badan tertutup selimut, terpisah dari bagian lain kamar itu oleh tabir emas
kecil, ia tidur dengan tenteram. Takuan tak mau membangunkannya.
Koetsu membuka mata
sendiri. Sesaat ia menatap wajah pendeta itu, kemudian wajah Musashi, tak tahu
apa yang mesti ia perbuat.
Sesudah kedua orang
itu menjelaskan keadaan kepadanya, Koetsu berkata, "Kalau di kamar lain
itu nanti hanya ada kalian berdua dan Mitsuhiro, aku tidak keberatan pergi ke
sana."
Mereka mendapati
Mitsuhiro dan Shoyu yang akhirnya kehabisan pokok pembicaraan itu sedang
tenggelam dalam kesenduan. Mereka mulai merasa bahwa sake pahit, bibir kering,
dan hirupan air membangkitkan pikiran tentang rumah. Malam itu akibatnya lebih
buruk lagi; Yoshino meninggalkan mereka.
"Bagaimana kalau
kita semua pulang?" satu orang menyarankan.
"Baik
juga," kata yang lain-lain menyetujui.
Sebetulnya mereka
tidak benar-benar ingin pulang, tapi mereka kuatir bahwa kalau tinggal lebih
lama lagi, tak ada yang tertinggal dari kelembutan malam itu. Tapi ketika
mereka akan pergi, Rin'ya datang berlari-lari masuk kamar bersama dua gadis
yang lebih kecil. Sambil menggenggam tangan Yang Dipertuan Kangan, kata Rin'ya,
"Kami minta maaf telah memaksa Bapak menunggu. Kami mohon Bapak-bapak
jangan pergi. Yoshino Dayu siap menerima Bapak semua di kamar pribadinya. Saya
tahu hari sudah malam, tapi di luar masih terang karena salju, dan dalam udara
dingin seperti ini setidak-tidaknya Bapak mesti menghangatkan badan baik-baik
sebelum masuk joli. Mari ikut kami."
Tak seorang pun dari
orang-orang itu ingin main lagi. Sekali semangat sudah pergi, sukar ditimbulkan
lagi.
Melihat keraguan
mereka, salah sorang pembantu berkata, "Yoshino mengatakan dia yakin
Bapak-bapak sekalian menganggapnya kasar karena tadi dia pergi, tapi dia tak
bisa berbuat lain. Kalau dia menerima Yang Dipertuan Kangan, Pak Funabashi
tersinggung, dan kalau dia pergi dengan Pak Funabashi, Yang Dipertuan Kangan
akan kesepian. Dia tak ingin ada di antara Bapak-bapak yang merasa diabaikan,
karena itu dia mengundang Bapak-bapak minum. Kami mengharapkan Bapak mengerti
perasaannya, dan kami persilakan Bapak tinggal lebih lama."
Karena merasa bahwa
menolak berarti tidak sopan, lagi pula menarik juga melihat pelacur terkemuka
di kamarnya sendiri, maka mereka menerima bujukan itu. Dibimbing gadis-gadis
itu, mereka mengambil lima pasang sandal jerami kasar yang ada di tangga
halaman. Sesudah mengenakannya, mereka berjalan tanpa bunyi, menyeberangi salju
lembut. Musashi tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi orang-orang lain
menyimpulkan bahwa mereka diundang minum teh,
karena Yoshino terkenal sebagai penganut setia kultus teh. Karena
menarik juga minum teh sesudah begitu banyak sake mereka minum, tak seorang pun
keberatan. Tapi ternyata mereka diantar melewati warung teh, dan masuk ladang
yang penuh tumbuhan.
"Mau kamu bawa
ke mana kami ini?" tanya Yang Dipertuan Kangan dengan nada menuduh.
"Ini ladang buah arbei!"
Gadis-gadis mengikik
dan Rin'ya buru-buru menjelaskan. "Bukan, bukan! Ini kebun peoni kami.
Pada permulaan musim panas kami keluarkan bangku-bangku, dan semua orang datang
kemari buat minum dan mengagumi kembang-kembangnya."
"Tidak di ladang
arbei tidak juga di kebun peoni, sama saja tak enaknya ada di luar begini, di
tengah salju. Apa Yoshino mau bikin kita masuk angin?"
"Maafkan saya.
Tak seberapa jauh lagi."
Di sudut ladang
terdapat sebuah pondok kecil dengan atap ilalang, yang tampaknya seperti rumah
yang telah berdiri di situ sejak sebelum daerah itu dibangun. Di belakangnya
terdapat rumpun pepohonan, dan pekarangan itu terpisah dari halaman Ogiya yang
terawat baik.
"Silakan ke
sini," desak gadis-gadis itu seraya mengantar mereka masuk ke kamar
berlantai tanah liat. Dinding dan tiangnya hitam oleh jelaga.
Rin'ya mengabarkan
kedatangan mereka, dan dari dalam rumah terdengar jawaban Yoshino Dayu,
"Selamat datang! Silakan masuk."
Api dalam perapian
memancarkan sinar merah lembut ke kertas shoji. Suasana di situ kelihatan lain
sama sekali dari di kota. Sementara melihat-lihat dapur dan mantel hujan dari
jerami yang tergantung di dinding, orang-orang itu bertanya-tanya dalam hati, hiburan
apa gerangan yang hendak dihidangkan pada mereka oleh Yoshino. Shoji terbuka,
dan satu-satu mereka memasuki kamar perapian.
Kimono Yoshino
berwarna kuning polos pucat, obi-nya dari kain satin hitam. Ia sedikit sekali
mengenakan hiasan, dan sudah menyusun kembali rambutnya dengan gaya nyonya
rumah yang sederhana. Tamu-tamu memandangnya penuh kekaguman.
"Sungguh lain
dari yang lain!"
"Sungguh
memikat!"
Dalam lingkungan
sederhana yang dimulai dengan dinding-dinding yang menghitam itu, Yoshino
tampak seratus kali lebih cantik daripada waktu ia mengenakan pakaian gaya
Momoyama yang tersulam rumit. Kimono mencolok yang biasa dilihat pria-pria itu,
lipstik warna-warni, dan tabir-tabir emas serta tempat lilin dari perak-semua
itu diperlukan seorang perempuan yang pekerjaannya seperti dia. Tapi Yoshino
tak perlu alat pembantu untuk meningkatkan kecantikannya.
"Hmm," kata
Shoyu, "ini betul-betul istimewa." Tidak gampang memberi pujian,
orang tua yang tajam lidahnya itu untuk sementara tampak jinak.
Tanpa membagikan
bantal, Yoshino mempersilakan tamu-tamunya duduk di dekat perapian.
"Seperti
Bapak-bapak lihat, saya tinggal di sini, dan tidak banyak yang dapat saya
suguhkan kepada Bapak, tapi setidak-tidaknya ada api. Saya harap Bapak setuju
bahwa api adalah hidangan paling bagus yang dapat disuguhkan orang pada malam
bersalju dingin, apakah sang tamu seorang pangeran atau orang miskin. Di sini
kayu api cukup banyak, jadi biarpun kita bicara sepanjang malam, saya tak akan
terpaksa menggunakan tanaman pot sebagai bahan bakar. Saya minta Bapak-bapak
duduk yang enak."
Bangsawan, saudagar,
seniman, dan pendeta itu duduk bersila dekat perapian dengan tangan
dikembangkan di atas api. Koetsu merenungkan perjalanan dingin dari Ogiya dan
undangan untuk mendatangi api riang itu. Betul-betul seperti hidangan, dan
itulah hakikat suguhan.
"Silakan Anda
dekat api juga," kata Yoshino. Ia tersenyum ramah kepada Musashi, dan
bergerak sedikit, menyediakan tempat baginya.
Musashi terpesona
oleh kalangan agung yang sekarang dihadapinya. Sesudah Toyotomi Hideyoshi dan
Tokugawa Ieyasu, barangkali Yoshino orang paling terkenal di Jepang. Tentu saja
ada Okuni dari Kabuki dan gundik Hideyoshi, yaitu Yodogimi, tapi Yoshino
dianggap lebih tinggi kelasnya daripada Okuni, dan memiliki lebih banyak
kecerdasan, kecantikan, dan keramahan daripada Yodogimi. Orang-orang yang
berhubungan dengan Yoshino dikenal sebagai "pembeli", sedangkan
Yoshino sendiri disebut "Si Tayu". Setiap pelacur kelas satu dikenal
dengan nama Tayu, tapi kalau dikatakan "Si Tayu", yang dimaksud
hanyalah Yoshino seorang. Musashi mendengar Yoshino memiliki tujuh pembantu
untuk memandikannya dan dua orang untuk memotong kukunya.
Malam ini untuk
pertama kali dalam hidupnya Musashi mendapati dirinya berada di tengah para
wanita yang bercat dan berpoles, dan sikapnya jadi resmi kaku. Sebagian karena
ia tak habis pikir, sesungguhnya apa yang menurut orang-orang itu luar biasa
pada Yoshino.
"Silakan
bersantai," kata Yoshino. "Silakan duduk di sini."
Sesudah dipersilakan
untuk keempat atau kelima kalinya, akhirnya Musashi menyerah. Ia mengambil
tempat di samping Yoshino dan menirukan yang lain-lain menjulurkan tangan ke
atas api dengan kikuk.
Yoshino memandang
lengan baju Musashi dan melihat noda merah di situ. Sementara yang lain-lain
sibuk bercakap-cakap, diam-diam Yoshino mengambil secarik kertas dari lengan
kimononya dan menghapus noda itu.
"Oh, terima
kasih," kata Musashi. Sekiranya tadi ia diam saja, tak seorang pun akan
melihatnya, tapi begitu ia membuka mulut, semua mata tertuju pada noda merah
tua pada kertas di tangan Yoshino itu.
Dengan mata terbuka
lebar, Mitsuhiro berkata, "Itu darah, kan?"
Yoshino tersenyum.
"Tentu saja bukan. Ini daun bunga peoni merah."
0 komentar:
Posting Komentar