bagian 9
Berkumpul
kembali di Osaka
LADANG itu
diselimuti kabut kelabu, dan udara dingin pagi hari mengisyaratkan musim gugur
sudah benar-benar dimulai. Bajing-bajing berkeliaran di mana-mana, dan di dapur
tak berpintu pada rumah tak berpenghuni itu jejak-jejak rubah yang masih baru
simpang siur di lantai.
Pendeta
pengemis yang kembali dengan terhuyung-huyung sebelum matahari terbit
membaringkan diri karena lelah di lantai kamar sepen. Tangannya masih
menggenggam shakuhachi. Kimono dan jubahnya yang kotor basah oleh embun, dan di
sana-sini dikotori rumput yang menempel selagi ia mengembara seperti orang
hilang melewati malam. Ketika ia membuka matanya dan duduk, hidungnya mengerut,
lubang hidung dan matanya membuka lebar, dan berguncanglah tubuhnya oleh bersin
hebat. Namun ia tidak berusaha menghapus ingus yang mengucur dari hidung ke
kumisnya yang tipis.
Ia duduk di
sana beberapa menit, sebelum akhirnya teringat bahwa ia masih menyimpan sedikit
sake sisa malam sebelumnya. Sambil menggumam sendiri ia berjalan menyusuri gang
panjang ke kamar perapian di bagian belakang rumah itu. Di siang hari terdapat
lebih banyak kamar di rumah itu daripada yang kelihatan waktu malam hari, tapi
pendeta itu dapat menemukan jalannya tanpa kesulitan. Tetapi alangkah heran ia,
karena guci sake sudah tidak ada di tempat-nya.
Sebagai
gantinya ada seorang asing di dekat perapian, kepalanya berbantalkan satu
lengan dan air liur menetes dari mulutnya. Ia tidur nyenyak. Maka jelaslah ke
mana larinya sake itu.
Tentu saja
bukan hanya sake yang hilang. Setelah pemeriksaan cepat, terbukti tak sedikit
pun tertinggal bubur beras yang maksudnya untuk sarapan. Pendeta itu merah
padam oleh amarah; tanpa sake ia masih tak apa-apa, tetapi nasi adalah soal
hidup dan mati. Sambil memekik seru ditendangnya si penidur itu sekuat-kuatnya,
tapi Matahachi hanya berkomat-kamit sambil mengantuk, kemudian menarik tangan
dari bawah badannya dan dengan malas mengangkat kepala.
"Kamu...
kamu...!" gagap pendeta itu dan menendang sekali lagi.
"Apa
pula ini?" teriak Matahachi. Urat-urat nadi menggelembung pada wajahnya
yang mengantuk itu ketika ia melompat berdiri. "Jangan menendang macam
itu!"
"Oh,
tendangan saja belum cukup! Siapa bilang kamu boleh masuk rumah ini dan mencuri
nasi dan sake-ku?"
"Oh,
jadi nasi dan sake itu punyamu?"
"Tentu
saja punyaku!"
"Maaf."
"Maaf?
Apa gunanya itu buatku?"
"Saya
minta maaf."
"Kamu
mesti berbuat lebih dari itu!"
"Apa
yang mesti saya lakukan?"
"Kembalikan
nasi dan sake itu!"
"Ah!
Dua-duanya sudah dalam perut saya dan sudah memperpanjang hidup saya satu
malam. Tak bisa saya mengembalikannya sekarang!"
"Tapi
aku mesti hidup juga, kan? Paling banyak yang kudapat dari keliling-keliling
main musik di pintu gerbang orang banyak itu cuma sedikit beras atau beberapa
tetes sake. Dungu kamu! Kaukira aku bisa berdiri saja diam-diam dan
membiarkanmu mencuri makananku? Kuminta kembalikan barang itu!" Nada yang
dipergunakannya mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal itu penuh paksaan,
dan suaranya bagi Matahachi terdengar seperti suara setan lapar yang langsung
datang dari neraka.
"Janganlah
begitu kikir," kata Matahachi dengan sikap meremehkan. "Buat apa pula
mesti jengkel hanya karena sedikit nasi dan kurang dari setengah guci sake kelas
tiga."
"Keledai
kamu! Mungkin kamu menampik nasi sisa, tapi buatku itu makanan sehari-hidup
sehari!" Pendeta itu menggeram dan mencengkeram pergelangan tangan
Matahachi. "Takkan kulepaskan kamu begitu saja!"
"Jangan
seperti orang sinting begitu!" bentak Matahachi. Ditariknya lengan-nya
keras-keras sampai lepas dari cengkeraman, dan dicengkeramnya rambut orang tua
yang sudah jarang itu, lain ia coba melontarkan orang itu dengan sentakan
cepat. Tapi alangkah terkejutnya ia karena tubuh yang kelaparan itu tidak
beranjak. Pendeta itu mencengkeram erat leher Matahachi dan tak hendak
melepaskannya.
"Bajingan
kamu!" salak Matahachi sambil menaksir kekuatan lawannya.
Tapi sudah
terlambat. Pendeta itu menghujamkan kakinya mantap-mantap ke lantai, dan dengan
sekali tolak saja Matahachi pun terguling. Suatu gerakan cekatan, dengan
menggunakan kekuatan Matahachi sendiri. Dan Matahachi pun terus berguling,
sampai akhirnya berdebam menghantam dinding plester di sisi luar kamar sebelah.
Karena tiang-tiang dan galar-galar sudah lapuk, sebagian besar dinding itu
runtuh menghujani Matahachi dengan kotoran. Sambil meludah semulut penuh
Matahachi bangkit berdiri, menghunus pedang, dan menyerang orang tua itu.
Si pendeta
sudah siap menangkis serangan dengan shakuhachi-nya, tetapi belum-belum ia
sudah tersengal-sengal mencari udara.
"Nah.
lihat sekarang akibat ulahmu sendiri!" pekik Matahachi sambil mengayun
pedang. Ayunan pedang tidak mengenai sasaran, tapi terus juga ia mengayun tanpa
kenal ampun dan tidak memberikan kesempatan kepada pendeta itu untuk memperoleh
papas kembali. Muka orang tua itu tampak seperti hantu. Berkali-kali ia
melompat mundur. Lompatan itu tidak melenting. dan ia rupanya sudah hampir
pingsan. Setiap kali ia mengelak, terdengar teriakan sedih, seperti rengek
orang yang sedang sekarat. Namun karena ia terus-menerus beralih kedudukan,
maka tak mungkin Matahachi menebaskan pedangnya.
Akhirnya
Matahachi celaka oleh kecerobohannya sendiri. Ketika pendeta itu melompat ke
kebun, Matahachi mengikutinya dengan membabi-buta, namun begitu kakinya
menginjak lantai beranda yang lapuk, papan-papan berderak dan patah. Matahachi
jatuh telentang, sebelah kakinya terayun-ayun masuk ke sebuah lubang.
Si pendeta
melompat menyerang. Ditangkapnya bagian depan kimono Matahachi dan dipukulinya
kepala Matahachi, pelipis dan tubuhnya-mana raja yang dapat dikenai
shakuhachi-nya. Dan setiap kali menghantam, ia menggeram keras. Karena sebelah
kakinya terjerat, Matahachi tak berdaya. Kepalanya tampak membengkak sampai
sebesar tong, tapi beruntunglah ia karena pada detik itu keping-keping emas dan
perak mulai berjatuhan dari kimononya. Setiap jatuhnya pukulan diikuti bunyi
gemerincing mata uang yang jatuh ke lantai.
"Apa
itu?" seru si pendeta tersengal-sengal, lalu melepaskan korbannya.
Matahachi segera membebaskan kakinya dan melompat meloloskan diri, tapi waktu
itu orang tua itu sudah tidak marah lagi. Biarpun tinjunya sakit dan napasnya
sesak, tak dapat ia tidak menatap uang itu dengan heran.
Sambil
memegang kepalanya yang berdenyut-denyut, Matahachi berseru, "Lihat tidak,
orang tua sinting? Tak perlu kamu naik darah cuma karena nasi dan sake sedikit
saja. Uang bisa kubuang-buang! Ambillah kalau kau mau! Tapi sebagai gantinya
kau mesti menerima kembali pukulan yang sudah kauberikan padaku. Keluarkan
kepalamu yang tolol itu, dan akan kubayar kamu dengan bunganya untuk ganti nasi
dan minumanmu itu!"
Si pendeta
bukannya menjawab cacian itu, melainkan meletakkan wajahnya ke lantai dan mulai
menangis. Kemarahan Matahachi mereda sedikit, tapi katanya berbisa, "Coba
lihat dirimu itu! Begitu melihat uang, terus saja berantakan."
"Oh,
sungguh memalukan diriku!" lolong sang pendeta. "Kenapa aku jadi
begini tolol!" Seperti halnya kekuatan yang baru saja dipakainya untuk
berkelahi, sikap mencela diri sendiri itu lebih hebat daripada yang dimiliki
kebanyakan orang. "Sungguh aku keledai!" sambungnya. "Apa belum
juga sadar aku akan diriku? Pada umur ini? Juga sesudah terbuang dari
masyarakat dan tenggelam sedalam-dalamnya?"
Ia menoleh ke
tiang hitam di sampingnya, dan mulailah ia membenturbenturkan kepalanya pada
tiang itu. Rintihnya, "Kenapa aku memainkan shakuhachi ini? Apa untuk
mengusir khayalanku, kebodohanku, kegairahanku, sikapku yang mementingkan diri
sendiri, dan nafsu-nafsu jahatku lewat kelima lubangnya? Bagaimana mungkin aku
mengizinkan diriku terlibat dalam pertarungan hidup-mati hanya demi secuil
makanan dan minuman? Dan dengan orang yang pantas menjadi anakku pula?"
Belum pernah
Matahachi melihat orang seperti ini. Orang tua itu menangis beberapa waktu
lamanya, kemudian membenturkan kepala lagi ke tiang. Ia rupanya bermaksud
menghantamkan dahinya sampai belah menjadi dua. Sampai sedemikian jauh, hukuman
yang dijatuhkannya pada diri sendiri lebih banyak jumlahnya daripada pukulan
yang dijatuhkannya kepada Matahachi. Sebentar kemudian darah mulai mengalir
dari keningnya.
Matahachi
merasa berkewajiban mencegahnya menyiksa diri lebih lanjut. "Hai! katanya,
"Hentikan! Apa-apaan kamu ini."
"Biarkan
aku sendiri," pinta si pendeta.
"Tapi
ada apa kau ini?"
"Tak ada
apa-apa."
"Pasti
ada. Apa kau sakit?"
"Tidak."
"Kalau
begitu apa?"
"Aku
muak dengan diriku. Aku mau memukul badanku yang jahat ini sampai mati dan
menyuruh burung-burung gagak memakannya, tapi tak mau aku mati seperti orang
bebal yang bodoh. Aku ingin kuat dan jujur seperti orang lain, sebelum aku
membuang daging ini. Kehilangan kendali diri telah membuat diriku marah.
Kupikir kau dapat menamakan ini penyakit."
Karena merasa
kasihan kepadanya, Matahachi memungut uang yang jatuh itu dan mencoba
memasukkan sebagian ke tangan si pendeta. "Sebagian karena
kesalahanku," katanya dengan nada minta maaf. "Kuberikan ini padamu,
dan barangkali kamu akan memaafkan aku."
"Aku tak
ingin!" teriak pendeta sambil cepat menarik tangannya. "Aku tak perlu
uang. Aku tak perlu uang, kataku!" Meskipun sebelum itu telah meledak
kemarahannya gara-gara secuil bubur nasi, sekarang ia pandang uang itu dengan
penuh kejijikan. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan hebat, ia
membalikkan badan dan masih terus berlutut.
"Aneh
juga kau ini," kata Matahachi.
"Kukira
tidak."
"Tapi
kau berbuat aneh."
"Tak
usahlah kamu kuatir."
"Kau
rupanya dari provinsi barat, ya? Kentara dari tekanan katamu."
"Kukira
begitu. Aku lahir di Himeji."
"Betul?
Aku dari sana juga—Mimasaka."
"Mimasaka?"
ulang si pendeta sambil menatap Matahachi. "Di mana di Mimasaka? "
"Kampung
Yoshino. Tepatnya Miyamoto."
Orang tua itu
tampak santai. Sambil menundukkan diri di beranda, katanya tenang,
"Miyamoto? Oh, itu nama yang membawa kenang-kenangan. Pernah aku bertugas
jaga di Benteng Hinagura. Aku kenal betul daerah itu."
"Kalau
begitu, Anda pernah jadi samurai di tanah perdikan Himeji?"
"Ya.
Kukira sekarang tampangku sudah tak pantas lagi, tapi waktu itu aku menjadi
semacam prajurit. Namaku Aoki Tan..."
Sampai di
situ mendadak ia berhenti, kemudian tiba-tiba pula melanjutkan. "Ah, itu
tidak betul. Aku cuma mengarang-ngarang. Lupakan bahwa aku pernah mengatakan
sesuatu." Ia berdiri, katanya, "Aku akan pergi ke kota, main
shakuhachi, dan mencari sesuap nasi." Sampai di situ ia membalikkan badan
dan berjalan cepat menuju ladang miskantus.
Sesudah orang
tua itu pergi, mulailah Matahachi berpikir-pikir, apakah benar sikapnya
menawarkan uang yang berasal dari pundi-pundi samurai yang telah mati kepada pendeta
itu? Tapi segera kemudian ia sudah dapat memecahkan dilema itu dengan
mengatakan pada diri sendiri bahwa mungkin tak ada salahnya meminjam uang itu
sedikit, asalkan tidak banyak. "Kalau kusampaikan uang itu ke rumah orang
yang mati itu seperti dimintanya," demikian pikirnya, "aku pasti
membutuhkan biaya, dan pilihan apa lagi yang ada padaku, kalau bukan
mengambilnya dari kantong yang kubawa ini?" Sikap membenarkan diri sendiri
yang sederhana itu demikian menyenangkan, hingga semenjak hari itu mulailah ia
menggunakan uang itu sedikit demi sedikit.
Tinggallah
kini persoalan surat keterangan Sasaki Kojiro. Orang itu agaknya ronin, tapi
tak mungkinkah misalnya ia bekerja pada seorang daimyo? Matahachi tidak
menemukan jawaban atas soal dari manakah asal orang itu. Karena itu pula ia tak
tahu ke mana harus membawa surat itu. Satu-satunya harapan, demikian
diputuskannya, adalah menemukan guru pedang Kanemaki Jisai, yang pasti tahu
segala sesuatu tentang Sasaki.
Dalam
perjalanan dari Fushimi ke Osaka, di tiap warung teh, rumah makan, dan rumah
penginapan, Matahachi bertanya apakah ada yang mengetahui tentang Jisai. Semua
jawaban yang diperolehnya negatif. Bahkan tambahan keterangan bahwa Jisai murid
yang diakui Toda Seigen tidak mendatangkan tanggapan.
Akhirnya
seorang samurai yang kebetulan dikenalnya di jalan memberikan titik terang.
"Saya pernah mendengar tentang Jisai, tapi kalau dia masih hidup, pasti
dia sudah sangat tua. Ada yang bilang dia pergi ke timur dan menjadi pertapa di
sebuah desa di Kozuke atau di tempat lain lagi. Kalau Anda ingin tahu lebih
banyak tentang dia, Anda mesti pergi ke Puri Osaka dan bicara dengan orang yang
namanya Tomita Mondonosho."
Mondonosho
agaknya salah seorang guru Hideyori dalam seni perang, dan orang yang
memberikan keterangan kepada Matahachi merasa cukup yakin bahwa orang itu
keluarga yang sama dengan Seigen.
Walaupun
kecewa karena tidak terangnya petunjuk yang pertama didapatnya itu, Matahachi
memutuskan untuk mengikutinya. Setibanya di Osaka, ia menyewa kamar di sebuah
rumah penginapan murah di salah satu jalan ramai, dan segera sesudah beres ia
bertanya pada pemilik rumah penginapan, apakah orang itu tahu orang yang
bernama Tomita Mondonosho di Puri Osaka.
"Ya,
saya sudah pernah mendengar nama itu," jawab pemilik rumah penginapan.
"Saya percaya dia cucu Toda Seigen. Dia bukan instruktur pribadi Yang
Dipertuan Hideyori, tapi dia memang mengajarkan ilmu pedang pada sejumlah
samurai di puri itu. Atau setidaknya pernah mengajarkannya. Saya pikir, boleh
jadi dia sudah kembali ke Echizen beberapa tahun yang lalu. Ya, itulah yang dia
lakukan.
"Anda
bisa pergi ke Echizen dan mencari dia di sana, tapi tidak ada jaminan apakah
dia masih ada di sana. Daripada mengadakan perjalanan begitu jauh hanya
berpegangan dugaan, apa tidak lebih mudah menjumpai Ito Ittosai? Saya agak
yakin dia mempelajari Gaya Chujo pada Jisai, sebelum mengembangkan gaya
sendiri."
Saran pemilik
rumah penginapan itu tampaknya masuk akal, tapi ketika Matahachi mulai mencari
Ittosai, ia menemukan dirinya berada di jalan buntu lain lagi. Sejauh yang
dapat diketahuinya, orang itu sampai baru-baru ini masih tinggal di sebuah
gubuk kecil di Shirakawa di sebelah timur Kyoto, tapi sekarang sudah tidak
tinggal lagi di sana, dan beberapa waktu lamanya sudah tidak kelihatan lagi di
Kyoto atau Osaka.
Tak lama
kemudian tekad Matahachi pun merosot, dan ia bermaksud meninggalkan seluruh
urusan itu. Kesibukan dan kegairahan kota itu menyulut kembali ambisinya dan
menggelitik jiwa mudanya. Di sebuah kota yang terbuka lebar seperti ini, kenapa
pula ia menghabiskan waktu dengan mencari keluarga orang mati? Banyak hal dapat
dilakukan di sini. Orang mencari para pemuda seperti dirinya. Di Puri Fushimi,
para pejabat secara tulus-ikhlas melaksanakan kebijaksanaan pemerintah
Tokugawa. Namun di sini para jenderal yang menguasai Puri Osaka mencari ronin
untuk dijadikan tentara. Tentu saja tidak secara terang-terangan, namun cukup
terbuka, hingga sudah umum diketahui ronin lebih diterima dan dapat hidup lebih
baik di sini daripada di kota puri mana pun di negeri ini.
Desas-desus
sembarangan beredar di antara penduduk kota. Dikatakan misalnya, Hideyori
diam-diam menyediakan dana untuk para daimyo pelarian seperti Goto Matabei,
Sanada Yukimura, Akashi Kamon, dan bahkan Chosokabe Morichika yang berbahaya,
yang sekarang tinggal di sebuah rumah sewaan di jalan sempit di luar kota.
Sekalipun
masih muda, Chosokabe telah mencukur kepalanya seperti pendeta Budha dan
mengubah namanya menjadi Ichimusai "Manusia dengan impian tunggal".
Ini suatu pernyataan bahwa peristiwa dunia yang mengambang ini tidak lagi
menjadi perhatiannya, dan secara pura-pura ia menghabiskan waktu dengan tingkah
laku sembrono yang perlente. Namun umum diketahui bahwa ada tujuh atau delapan
ratus ronin bekerja padanya, semuanya teguh dalam keyakinan bahwa apabila tiba
saatnva, ia akan bangkit membela nama baik mendiang Hideyoshi yang pernah
bersikap dermawan kepadanya. Didesas-desuskan bahwa biaya hidupnya, termasuk gaji
untuk para ronin-nya, semua keluar dari kantong pribadi Hideyori.
Dua bulan
lamanya Matahachi berkeliaran di Osaka, dan makin lama ia makin yakin bahwa
inilah tempat baginya. Di sinilah ia akan meraih kesempatan menuju sukses.
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun ia merasa seberani dan
setak-kenal-takut seperti ketika berangkat perang dulu. la merasa sehat dan
hidup kembali, tak gentar oleh semakin menipisnya uang samurai yang sudah mati
itu, karena ia percaya bahwa akhirnya nasib baik telah beralih kepadanya.
Setiap hari baru adalah kebahagiaan, kegembiraan. Ia yakin bahwa ia akan
terantuk pada sebuah batu dan muncul bertimbun uang. Keberuntungan sedang
mencarinya.
Pakaian baru!
Itulah yang dia perlukan. Ia pun membeli pakaian lengkap yang baru, dan dengan
hati-hati memilih bahan yang cocok untuk cuaca di musim dingin yang sudah
mendekat. Kemudian, karena menurut anggapannya hidup di sebuah rumah penginapan
terlampau mahal, ia menyewa sebuah kamar kecil milik seorang tukang sadel di
sekitar Parit Junkei dan mulai makan di luar. Ia melihat apa yang ingin
dilihatnya, dan pulang apabila ingin pulang. Sering ia pergi sepanjang malam,
apabila semangat menghendakinya. Sambil hidup bersenang-senang, ia terus
mencari seorang teman, seorang penghubung yang akan mengantarkannya ke
kedudukan dengan gaji besar pada seorang daimyo besar.
Sebetulnya
Matahachi perlu mengendalikan diri untuk tetap hidup dalam batas-batas
kemampuannya. Tetapi ia merasa sudah berlaku lebih baik daripada kapan pun
sebelumnya. Berulang-ulang ia merasa tergugah oleh cerita tentang samurai ini
atau itu yang belum lama masih menyeret kotoran dari wilayah pembangunan, namun
sekarang sudah tampak mengendarai kuda dengan megahnya, melintasi kota bersama
dua puluh pegawai dan seekor kuda cadangan.
Pada waktu
lain ia merasakan sisa-sisa patah had yang dialaminya. "Dunia ini dinding
batu," demikian pikirnya. "Dan batu-batu itu sudah disusun demikian
rapat, hingga tak ada satu pun celah yang dapat dilewatinya." Namun
kekecewaan ini selalu menyingkir. "Apa yang kubicarakan ini? Memang
begitulah kelihatannya, kalau kita masih belum mendapat kesempatan. Selamanya
sukar masuknya, tapi sekali kutemukan peluang..."
Ketika ia
bertanya kepada pembuat sadel apakah ia tahu kedudukan seperti itu, tukang
sadel menjawab dengan penuh optimisme, "Kamu muda dan kuat. Kalau kamu
mengajukan permohonan di puri, pasti kamu mendapat tempat."
Tetapi
menemukan pekerjaan yang tepat tidaklah semudah itu. Bulan terakhir tahun itu
Matahachi masih juga menganggur, sedang uangnya tinggal separuh.
Di bawah
sinar matahari musim dingin pada bulan yang paling sibuk tahun itu,
mengherankan juga gerombolan orang yang berbondong-bondong menelusuri jalan
tampak tidak terburu-buru. Di pusat kota ada bidangbidang tanah kosong, dan
pagi-pagi benar rumput di situ putih oleh embun beku. Semakin siang jalan-jalan
semakin berlumpur, dan suasana musim dingin terusir oleh suara para pedagang
yang menjajakan barang dagangannya diiringi suara gong bertalu-talu dan
genderang berdentumdentum. Tujuh atau delapan kios yang dikelilingi tikar
jerami lusuh, untuk mencegah orang luar menengok ke dalam, berusaha memikat
orang banyak dengan bendera-bendera kertas dan lembing yang dihias aneka warna
bulu untuk mereklamekan pertunjukan yang sedang diadakan di dalam.
Tukang-tukang teriak berlomba dengan suara lantang memikat orang lewat yang
iseng untuk memasuki teater mereka yang rapuh.
Bau kecap
murah mengambang di udara. Lelaki-lelaki dengan kaki berbulu dan mulut penuh
makanan meringkik seperti kuda di toko-toko, dan waktu senja wanita-wanita
berbaju lengan panjang dan berbedak tersenyum-senyum tolol seperti biri-biri,
berjalan bergerombol-gerombol sambil mengunyah penganan kacang panggang.
Pada suatu
petang terjadi perkelahian antara para pembeli sebuah warung sake yang
menempatkan beberapa bangku di tepi jalan. Belum lagi dapat dikatakan siapa
yang menang, orang-orang yang berkelahi itu sudah balik kanan dan angkat kaki,
meninggalkan jejak tetesan darah.
"Terima
kasih, Tuan," kata penjual sake kepada Matahachi. Berkat penampilan
Matahachi yang menyilaukan, orang-orang kota yang sedang berkelahi itu
melarikan diri. "Kalau Tuan tak ada di sini, pasti mereka sudah bikin
pecah semua pinggan saya." Orang itu membungkuk beberapa kali, kemudian
menghidangkan satu guci sake lagi pada Matahachi. Menurutnya sake itu sudah
dihangatkan sampai pada suhu yang tepat. Ia menghidangkan juga sejumlah makanan
kecil sebagai tanda penghargaan.
Matahachi
merasa puas dengan dirinya. Percekcokan meletus antara dua pekerja, dan ketika
ia memandang marah kepada mereka dan mengancam akan membunuh keduanya kalau
mereka menimbulkan kerusuhan di kios itu, mereka melarikan diri.
"Banyak
sekali orang sekitar sini, ya?" ucapnya bersahabat.
"Ini
akhir tahun, Tuan. Mereka tinggal sebentar di sini, kemudian pergi lagi. Tapi
ada saja yang datang lagi."
"Bagus
sekali cuaca bertahan begini."
Wajah
Matahachi merah oleh minuman. Ketika mengangkat mangkuk, ingatlah ia akan
sumpahnya untuk berhenti minum sebelum ia pergi bekerja di Fushimi, dan
samar-samar sadarlah ia betapa ia mulai minum lagi. "Ah, tapi apa
salahnya?" pikirnya. "Kalau orang lelaki tak boleh minum sekali-sekali..."
"Satu
lagi, kawan," katanya keras.
Orang yang
duduk diam di bangku di samping Matahachi juga seorang ronin. Pedangnya yang
panjang dan pendek tampak mengesankan. Orangorang kota cenderung menyingkir,
sekalipun ia tidak mengenakan jubah penutup kimono; sekitar leher kimono itu
sangat kotor.
"Hei,
bawakan juga aku satu, dan cepat!" serunya. Sambil mengganjalkan kaki
kanan ke lutut kirinya, ia memperhatikan Matahachi dari bawah ke atas. Ketika
matanya sampai pada wajah Matahachi, ia pun tersenyum, katanya,
"Halo."
"Halo,"
kata Matahachi. "Boleh coba ini punyaku, sementara menunggu punyamu
dihangatkan."
"Terima
kasih," kata orang itu sambil mengangkat mangkuk. "Sungguh memalu-kan
menjadi pemabuk, ya? Kulihat kamu duduk di sini menghadapi sake. Bau harumnya
mengambang di udara dan menarik-narikku kemari, sepertinya lengan bajuku ini
yang ditariknya." Ia mengosongkan isi mangkuknva sekali teguk.
Matahachi
suka melihat gayanya. Orang itu kelihatan bersahabat, dan ada sesuatu yang
memikat dalam dirinya. Ia biasa minum juga. Beberapa menit kemudian ia sudah
menenggak lima guci, sedangkan Matahachi baru menghabiskan satu guci. Dan orang
itu masih juga sadar.
"Berapa
banyak biasanya kau minum?" tanya Matahachi.
"Ah, tak
tahulah aku," jawab orang itu asal saja. "Sepuluh atau dua belas
guci, kalau sedang mau."
Akhirnya
mulailah mereka bicara tentang situasi politik, dan sebentar kemudian ronin itu
mengangkat bahu, dan katanya, "Siapa pula Ieyasu itu? Omong kosong saja
kalau dia bisa mengabaikan tuntutan Hideyori dan ke sana kemari menyebut
dirinya 'Maharaja Agung'. Tanpa Honda Masazumi dan beberapa pendukung lamanya
yang lain, apanya yang tinggal? Cuma darah dingin, kelicikan, dan sedikit saja
kemampuan politik—maksudku yang dipunyainya itu cuma bakat politik tertentu,
yang biasanya tak ada pada orang-orang militer.
"Secara
pribadi aku mengharap Ishida Mitsunari yang menang di Sekigahara, tapi dia
terlalu berjiwa besar untuk mengorganisir para daimyo, sedangkan statusnya
tidak cukup tinggi." Sesudah menyatakan penilaiannya itu, tiba-tiba la
bertanya, "Kalau nanti Osaka bentrok dengan Edo lagi, pihak mana yang akan
kaupilih?"
Disertai
sikap ragu-ragu, Matahachi menjawab, "Osaka."
"Bagus!"
Orang itu berdiri memegang guci sake. "Engkau seorang dari kami. Mari kita
minum! Dari daerah mana... oh, tapi kukira tak boleh aku menanyakan itu,
sebelum aku memberitahukan siapa diriku. Namaku Akakabe Yasoma. Aku dari Gamo.
Barangkali kau pernah mendengar tentang Ban Dan'emon? Aku sahabatnya. Kami akan
berkumpul lagi harihari ini. Aku juga teman Susukida Hayato Kanesuke, jenderal
ternama dari Puri Osaka. Kami pernah mengadakan perjalanan bersama ketika dia
masih menjadi ronin. Aku juga pernah bertemu dengan Ono Shurinosuke tiga atau
empat kali, tapi menurutku dia terlalu murung, walaupun dia memang memiliki
lebih banyak pengaruh politik daripada Kanesuke."
Ia mundur,
diam sebentar, karena agaknya menimbang kembali apakah ia berbicara terlalu
banyak, kemudian tanyanya, "Kau sendiri siapa?"
Matahachi
memang tidak mempercayai segala yang dikatakan orang itu, namun ia merasa bahwa
untuk sementara ia dipaksa kalah pengaruh.
"Apa kau
tahu Toda Seigen?" tanyanya. "Orang yang menemukan Gaya Tomita?"
"Aku
pernah mendengar nama itu."
"Nah,
guruku pertapa Kanemaki Jisai yang agung dan tak mementingkan diri sendiri,
yang telah menerima Gaya Tomita sejati dari Seigen dan kemudian mengem-bangkan
Gaya Chujo."
"Kalau
begitu, kau ini tentunya pemain pedang tulen."
"Betul,"
jawab Matahachi. Dan ia mulai menikmati permainan itu.
"Percaya
tidak," kata Yasoma, "sebetulnya aku sudah dari tadi menyangka
begitu. Tubuhmu tampak terdisiplin, dan terasa ada kemampuan padamu. Siapa
namamu waktu kau mendapat latihan di bawah pimpinan Jisai? Maksudku, kalau
pantas aku menanyakan hal ini."
"Namaku
Sasaki Kojiro," kata Matahachi dengan wajah sungguh-sungguh. "Ito
Yagoro, pencipta Gaya Itto, adalah murid senior dari sekolah yang sama
itu."
"Apa
betul begitu?" kata Yasoma heran.
Untuk sesaat
yang penuh kegelisahan, Matahachi terpikir akan menarik kembali segala
keterangannya itu, tapi sudah terlambat. Yasoma sudah berlutut di tanah dan
membungkuk dalam. Tak ada lagi jalan kembali.
"Maafkan
saya," katanya beberapa kali. "Saya sudah sering mendengar Sasaki Kojiro
pemain pedang yang baik sekali, dan saya harus minta maaf karena tadi tidak
berbicara lebih sopan. Tapi saya memang tak bisa tahu tadi, siapa sesungguhnya
Anda."
Matahachi
lega luar biasa. Sekiranya Yasoma kebetulan teman atau kenalan Kojiro, ia terpaksa
berkelahi demi hidupnya.
"Tak
perlu engkau membungkuk seperti itu," kata Matahachi dengan murah hati.
"Kalau kau berkeras mengambil sikap resmi, tak akan dapat kita bicara
sebagai teman."
"Tapi
Anda tentunya tersinggung oleh bualan saya tadi itu."
"Kenapa?
Aku tak punya status dan kedudukan khusus. Aku cuma pemuda yang tak banyak
kenal dengan dunia ini."
"Ya,
tapi Anda pemain pedang besar. Sudah banyak kali saya mendengar nama Anda.
Sekarang, sesudah saya pikirkan lagi, jelaslah buat saya, Andalah Sasaki
Kojiro." Ia memandang Matahachi baik-baik. "Tapi saya pikir tidak
betul kalau Anda tak punya kedudukan resmi."
Matahachi
menjawab polos, "Yah, aku telah membaktikan diriku dengan tulus ikhlas
kepada pedangku, hingga tak banyak waktuku untuk bersahabat dengan orang
banyak."
"Oh,
begitu. Apakah itu berarti Anda tidak berminat menemukan kedudukan yang
baik?"
"Tidak,
aku selalu berpikir bahwa pada suatu hari aku akan terpaksa mencari seorang
tuan untuk kuabdi. Tapi sekarang belum sampai aku pada ritik itu."
"Oh,
soal itu gampang sekali. Anda punya nama baik yang didukung pedang, dan itulah
yang membuat Anda berbeda. Tentu saja, kalau Anda tetap diam, berapa banyak pun
bakat yang Anda punyai, tak seorang pun akan mencari Anda. Cobalah pikir, saya
bahkan tak tahu siapa Anda, sebelum Anda menyatakan pada saya. Saya betul-betul
terkejut."
Yasoma
berhenti, kemudian katanya, "Sekiranya Anda menghendaki saya membantu,
saya akan senang melakukannya. Terus terang, saya sudah minta teman saya,
Susukida Kanesuke, mencarikan kedudukan buat saya juga. Saya ingin dimasukkan
Puri Osaka, biarpun barangkali gajinya tidak banyak. Saya yakin Kanesuke akan
senang merekomendasikan orang seperti Anda kepada pihak berwenang di sana.
Kalau Anda suka, dengan senang hati saya akan bicara dengannya."
Sementara
Yasoma bertambah gembira dengan prospek-prospek yang dihadapinya, Matahachi
sendiri tak dapat menghindari perasaan bahwa ia telah tercebur langsung ke
dalam suatu kancah, dan tidak akan mudah ia keluar dari sana. Ia memang ingin
sekali mendapat pekerjaan, tapi ia takut membuat kesalahan kalau membawakan
diri sebagal Sasaki Kojiro. Sebaliknya, kalau ia mengatakan bahwa ia Hon'iden
Matahachi, seorang samurai kampungan dari Mimasaka, Yasoma tak akan menawarkan
bantuan kepadanya. Barangkali Yasoma akan memandang rendah kepadanya. Tak bisa
dihindari nama Sasaki Kojiro telah menimbulkan kesan kuat.
Tapi....
adakah sesuatu yang benar-benar perlu dikuatirkan? Kojiro yang sebenarnya sudah
mati, dan Matahachi satu-satunya orang yang mengetahui hal itu, karena ia yang
menyimpan surat keterangan yang merupakan satu-satunva pengenal orang yang
telah mati itu. Tanpa surat keterangan itu tidak ada jalan bagi penguasa untuk
mengetahui siapakah si ronin itu. Dan kecil kemungkinan mereka akan bersusah
payah melakukan penyelidikan. Lagi pula, siapakah orang itu, kalau bukan
seorang "mata-mata" yang telah dilempari batu sampai matt? Maka,
sementara Matahachi sedikit-sedikit meyakinkan dirinya bahwa rahasianya itu
tidak akan diketahui orang, terbentuklah dengan pasti rencana berani dalam
kepalanya: ia akan menjadi Sasaki Kojiro. Semenjak saat ini.
"Mana
rekeningnya," serunya sambil mengeluarkan beberapa mata uang dari
pundi-pundinya.
Matahachi
bangkit akan meninggalkan tempat itu, dan Yasoma jadi bingung, ujarnya,
"Bagaimana dengan usul saya itu?"
"Oh,"
jawab Matahachi, "aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau bicara
dengan temanmu itu atas namaku, tapi kita tak dapat membicarakan soal macam itu
di sini. Mari kita pergi ke tempat lain yang tenang, di mana kita dapat tinggal
berdua saja."
"Oh,
tentu, tentu," kata Yasoma yang kelihatan lega sekali. Agaknya menurutnya
wajar sekali, kalau Matahachi membayar rekeningnya juga.
Segera
kemudian mereka sudah berada di sebuah daerah lain, beberapa jauh dari
jalan-jalan utama itu.
Matahachi
semula bermaksud membawa teman yang baru ditemukannya itu ke sebuah tempat
minum yang mentereng, tapi Yasoma menyarankan untuk pergi ke tempat lain yang
lebih murah dan lebih menarik. Sambil menyanyikan puji-pujian pada daerah lampu
merah, ia membawa Matahachi ke daerah yang supaya enak disebut Kota Pendeta
Wanita. Kata orang, dan ini cuma sedikit saja dibesar-besarkan, di sana
terdapat seribu rumah hiburan dengan perdagangan yang demikian berkembang,
hingga dalam satu malam saja dihabiskan seratus barel minyak lampu. Matahachi
semula sedikit enggan, tapi segera ia tertarik oleh kegembiraan suasana di
situ.
Tidak jauh
dari sana terdapat parit kuil yang biasa dialiri air banjiran dari teluk. Kalau
orang memperhatikan dengan saksama, terlihat kutu ikan dan kepiting sungai yang
merayap ke sana kemari di bawah jendela-jendela menonjol dan lentera-lentera
merah. Matahachi memang memperhatikan baik-baik, dan akhirnya ia pun merasa
sedikit kurang enak, karena keduanya itu mengingatkannya pada kalajengking
pembawa maut.
Daerah itu
sebagian besar dihuni oleh perempuan yang tebal pupurnya. Di antara mereka
sekali-sekali memang tampak wajah yang manis, tapi yang terbanyak kelihatan
sudah berumur lebih dari empat puluh tahun. Perempuanperempuan ini biasa
mengarungi jalan-jalan, yang meskipun dengan mata muram, kepala terbungkus kain
penolak dingin, dan gigi yang sudah hitam, tetap mencoba dengan lesunya
menggelitik hati lelaki yang berkumpul di sana.
"Banyak
juga mereka," kata Matahachi mengeluh.
"Sudah
saya katakan tadi," jawab Yasoma, bersusah payah membela para wanita itu.
"Dan mereka ini lebih baik daripada pelayan warung teh atau gadis penyanyi
di rumah sebelah yang kemungkinan mengawani Anda.
Orang
cenderung menolak gagasan tentang penjualan seks, tapi kalau kita lewatkan satu
malam di musim dingin dengan seorang dari mereka dan bicara dengannya tentang
keluarganya dan sebagainya, kemungkinan besar kita akan menemukan bahwa dia
sama seperti wanita lain. Dan mereka tak dapat betul-betul dipersalahkan karena
sudah menjadi sundal.
"Sebagian
dari mereka pernah menjadi gundik shogun, dan banyak di antaranya yang ayahnya
pernah menjadi pegawai daimyo yang sudah kehilangan kekuasaan. Ini terjadi pada
abad-abad ketika Taira jatuh ke tangan Minamoto. Jadi, Anda akan melihat bahwa
di dalam selokan dunia yang mengambang ini, banyak di antara sampah itu terdiri
atas bunga-bunga yang sudah gugur."
Mereka masuk
sebuah rumah, dan Matahachi menyerahkan segalanya kepada Yasoma yang
kelihatannya berpengalaman. Ia tahu bagaimana memesan sake dan menghadapi
gadis-gadis. Ia betul-betul tanpa cela. Matahachi merasa pengalaman itu sangat
menyenang-kan.
Mereka
menginap di sana, namun pada tengah hari berikutnya Yasoma belum juga
memperlihatkan kelelahan. Matahachi merasa dalam batas-batas tertentu ia telah
mendapat ganti dari perlakuan terhadapnya ketika ia digusur ke kamar belakang
di Yomogi itu. Tetapi ia mulai merasa lunglai.
Akhirnya ia
mengaku sudah cukup banyak minum. Katanya, "Aku tak mau lagi minum. Ayo
kita pergi."
Tapi Yasoma
tak hendak pergi. "Tinggallah dengan saya sampai malam," katanya.
"Ada
apa?"
"Saya
punya janji menemui Susukida Kanesuke. Terlalu pagi sekarang ini, kalau kita
pergi ke rumahnya, dan lagi tak bisa saya membicarakan keadaan Anda sebelum
saya mendapat gagasan yang lebih baik tentang apa yang Anda kehendaki."
"Aku tak
akan minta upah terlalu besar sebagai permulaan."
"Tak ada
alasan menjual diri terlalu murah bagi Anda. Seorang samurai sekaliber Anda ini
dapat menerima jumlah berapa saja yang Anda sebut. Kalau Anda mengatakan
bersedia menerima kedudukan seperti dulu, berarti Anda merendahkan diri
sendiri. Bagaimana kalau saya katakan kepadanya bahwa Anda menginginkan upah
dua ribu lima ratus gantang? Seorang samurai yang yakin dirinya baik, selalu
dibayar dan diperlakukan lebih baik. Anda tak boleh memberikan kesan bahwa Anda
puas dengan jumlah berapapun."
Sementara
malam datang, jalan-jalan yang terletak di dalam bayangan besar Puri Osaka itu
cepat menjadi gelap. Sesudah meninggalkan bordil itu, Matahachi dan Yasoma
pergi melintasi kota, menuju salah satu wilayah pemukiman samurai yang lebih
eksklusif. Mereka berdiri membelakangi parit, sementara angin dingin terusir
akibat sake yang telah mereka masukkan he dalam tubuh sepanjang hari itu.
"Di sana
rumah Susukida," kata Yasoma.
"Yang
gerbangnya pakai atap kurung itu?"
"Bukan,
rumah sudut di sampingnya itu."
"Hmm,
besar, ya?"
"Kanesuke
sudah dapat nama. Sebelum umur sekitar tiga puluh, tak seorang pun pernah
mendengar tentangnya, tapi sekarang..."
Matahachi
berpura-pura tidak mencurahkan perhatian pada apa yang dikatakan Yasoma.
Bukannya ia tidak percaya. Sebaliknya, ia sudah demikian bulat mempercayai
Yasoma, hingga ia tidak lagi mengajukan pertanyaan tentang apa yang dikatakan
orang itu. Namun ia merasa harus tetap acuh tak acuh. Sementara memandang
rumah-rumah semayam para daimyo yang mengitari purl besar itu, semangat mudanya
yang mentah berkata, "Aku pun akan tinggal di tempat seperti itu—tak lama
lagi."
"Sekarang,"
kata Yasoma, "saya akan bertemu dengan Kanesuke dan bicara dengannya
supaya dia mempekerjakan Anda. Tapi sebelum itu, bagaimana dengan soal uang?"
"Oh,
tentu," kata Matahachi, sadar bahwa suap memang umum. Ketika mengeluarkan
pundi-pundi dari dadanya, tahulah ia bahwa isinya sudah susut sampai sekitar
sepertiga dari jumlah semula. Sambil mengeluarkan seluruh isinya, ia berkata,
"Hanya ini yang kupunyai. Apa ini cukup?"
"Oh,
tentu, cukup sekali."
"Apa tak
perlu kau membungkusnya?"
"Tidak,
tidak. Kanesuke bukan satu-satunya orang di tempat ini yang menerima bayaran
karena mencarikan kedudukan untuk seseorang. Semua orang melakukannya, dan sangat
terbuka. Tak perlu malu."
Matahachi
mengambil kembali sebagian kecil dari uang tunai itu, tapi sesudah menyerahkan
selebihnya, mulailah ia merasa tidak tenang. Ketika Yasoma pergi, ia mengikuti
beberapa langkah. "Usahakan sebaik-baiknya," mohonnya.
"Jangan
kuatir. Kalau kelihatannya ada kesulitan, saya cuma harus menyimpan kembali
uang ini dan mengembalikannya pada Anda. Dia bukan satu-satunya orang
berpengaruh di Osaka. Dengan mudah saya dapat minta bantuan pada Ono atau Goto.
Saya punya banyak koneksi."
"Kapan
aku mendapat jawaban?"
"Kita
lihat nanti. Anda bisa menanti saya, tapi tentunya Anda tak hendak berdiri
berangin-angin di sini, kan? Nanti orang-orang bisa curiga Anda akan melakukan
sesuatu yang buruk. Mari kita ketemu lagi besok."
"Di
mana?"
"Datanglah
ke tempat kosong, tempat orang mengadakan pertunjukan-pertunjukan tambahan
itu."
"Baik."
"Yang
paling baik kalau Anda menanti di warung sake tempat kita pertama kali
bertemu."
Sesudah
menetapkan waktu pertemuan, Yasoma melambaikan tangan dan berjalan gagah
melintasi gerbang rumah persemayaman itu sambil mengayunkan bahunya, tanpa
menunjukkan sedikit pun keraguan. Karena sudah terkesan, Matahachi merasa
Yasoma tentunya sudah mengenal Kanesuke semenjak zaman ia kurang makmur.
Keyakinan betul-betul sudah melingkupinya. Malam itu ia bermimpi tentang masa
depannya yang menyenangkan.
Pada waktu
yang ditentukan, Matahachi berjalan melintasi udara beku yang sedang mencair di
tempat terbuka itu. Seperti hari sebelumnya, angin terasa dingin dan banyak
orang di sana. Ia menanti sampai matahari terbenam, tapi tak melihat
tanda-tanda Akakabe Yasoma.
Hari
sesudahnya Matahachi pergi lagi ke sana. "Tentunya ada yang
menahannya," pikirnya bermurah hati, sambil menatap wajah orang banyak
berlalu. "Dia pasti datang hari ini." Tapi sekali lagi matahari
tenggelam. Yasoma tetap tak tampak.
Hari ketiga,
Matahachi mengatakan pada si penjual sake dengan agak malu, "Saya di sini
lagi."
'Anda menanti
seseorang?"
"Ya,
saya berjanji bertemu dengan orang yang namanya Akakabe Yasoma. Saya jumpa
dengan dia hari itu." Matahachi lalu menjelaskan keadaannya
sejelas-jelasnya.
"Si
bajingan itu?" sengal penjual sake. "Jadi, dia mengatakan pada Anda
akan mencarikan kedudukan yang baik dan kemudian mencuri uang Anda?"
"Dia
bukan mencurinya. Saya berikan uang kepadanya untuk diberikan kepada orang yang
namanya Susukida Kanesuke. Saya menunggu dia di sini untuk mengetahui
hasilnya."
"Sungguh
malang Anda! Anda bisa menunggu seratus tahun, tapi saya berani mengatakan,
Anda tak akan melihatnya lagi."
"A-apa?
Kenapa Anda berkata begitu?"
"Oh, dia
itu bajingan yang terkenal jahat! Daerah ini penuh benalu macam dia. Kalau
mereka melihat orang yang tampak sedikit polos, mereka pun menerkamnya. Tadinya
saya mau memperingatkan Anda, tapi tak ingin saya ikut campur. Saya pikir Anda
akan tahu dari cara dia memandang dan bertindak, macam apa wataknya. Sekarang
Anda sudah telanjur kehilangan uang. Sayang sekali!"
Orang itu
bersimpati sekali pada Matahachi. Ia mencoba meyakinkan Matahachi bahwa tidak
memalukan ditipu pencuri-pencuri yang beroperasi di sana. Namun sesungguhnya
bukan rasa malu itu yang mengganggu Matahachi, melainkan kenyataan bahwa
uangnya hilang, dan beserta uang itu hilang pula harapan-harapannya yang besar;
itulah yang membuat darahnya mendidih. Ia memandang putus asa kepada orang
banyak yang bergerak di sekitarnya.
"Saya
sangsi apakah akan ada gunanya," kata penjual sake, "tapi Anda bisa
mencoba bertanya di sana, di kios tukang sulap. Orang-orang jembel di tempat
ini sering berkumpul di belakang sana untuk berjudi. Kalau Yasoma mendapat
uang, kemungkinan dia akan mencoba menggandakannya."
"Terima
kasih," kata Matahachi sambil melompat bersemangat. "Yang mana kios
tukang sulap itu?"
Rumah yang
dituding orang itu dikelilingi pagar bambu runcing. Di depan, orang
berkaok-kaok untuk menarik pengunjung, dan bendera-bendera yang terpasang di
dekat gerbang kayu mengumumkan nama-nama beberapa artis sulap terkenal. Dari
balik tirai dan lembar-lembar tikar jerami yang mengitari pagar terdengar bunyi
musik aneh bercampur suara para tukang sulap yang keras dan cepat, serta tepuk
tangan para penonton.
Matahachi
berjalan menikung ke belakang, dan di sana menemukan gerbang lain. Ketika ia
melongok ke dalam, seorang pengintai bertanya kepadanya, "Anda kemari mau
berjudi?"
Ia
mengangguk, dan orang itu membiarkannya masuk. Ia mendapati dirinya berada di
sebuah ruangan yang dikelilingi tenda, tapi terbuka atapnya.
Sekitar dua
puluh orang yang semuanya dari jenis tak pernah puas, duduk melingkar bermain.
Semua mata menoleh kepada Matahachi, dan satu orang diam-diam menyedia-kan
ruang kepadanya untuk duduk.
"Apa
Akakabe Yasoma ada di sini?" tanya Matahachi.
"Yasoma?"
ulang seorang penjudi dengan nada heran. "Aku jadi sadar, dia tidak di
sini akhir-akhir ini. Kenapa?"
"Apa
menurut Anda dia akan datang?"
"Mana
aku tahu? Silakan duduk, dan main."
"Saya
datang bukan untuk main."
"Apa
kerjamu di sini kalau tak mau main?"
"Aku
mencari Yasoma. Maaf mengganggu."
"Kenapa
tak mau cari di tempat lain lagi?"
"Aku
sudah minta maaf tadi," kata Matahachi sambil lekas-lekas keluar.
"Berhenti!"
perintah seorang dari para penjudi seraya berdiri dan meng-ikutinya. "Tak
bisa kamu pergi hanya dengan bilang minta maaf. Biar kamu tidak main, kamu
mesti bayar buat tempat duduk."
"Aku tak
punya uang."
"Tak ada
uang! Begitu, ya? Jadi, cuma tunggu kesempatan menyikat uang, ya? Pencuri
terkutuk."
"Aku
bukan pencuri! Tak boleh kamu menyebut begitu!" Matahachi mendorongkan
gagang pedangnya ke depan, tapi perbuatan itu hanya membuat girang si penjudi.
"Goblok!"
salaknya. "Kalau ancaman dari orang-orang macam kau bisa bikin aku takut,
tak mungkin aku tinggal hidup di Osaka sehari saja. Gunakan pedangmu kalau kau
berani!"
"Kuperingatkan
kau, aku bicara sungguh-sungguh!"
"Oh, kau
bicara sungguh-sungguh, ya?"
"Apa kau
tahu siapa aku?"
"Kenapa
pula mesti tahu?"
"Aku
Sasaki Kojiro, pengganti Toda Seigen dari Kampung Jokyoji di Echizen. Dia yang
menciptakan Gaya Tomita." Matahachi menyatakan hal itu dengan penuh
kebanggaan, dan menduga bahwa pengumuman itu saja akan membuat orang melarikan
diri. Tapi ternyata tidak. Penjudi itu meludah dan kembali masuk kalangan.
"Hei,
dengar kalian semua! Orang ini baru saja menyebut dirinya dengan nama yang
hebat. Kelihatannya mau mencabut pedang lawan kita. Mari kita lihat
kecakapannya main pedang. Mestinya menyenangkan juga."
Melihat orang
itu sedang lengah, Matahachi tiba-tiba menarik pedangnya, menyabetkannya
melintang pantatnya.
Orang itu
melompat tegak ke udara. "Anak anjing!" jeritnya.
Matahachi
menyelam ke tengah orang banyak. Dengan jalan menyuruk aari kawanan orang satu
ke kawanan lain ia bisa bersembunyi, tapi setiap muka yang dilihatnya tampak
sebagai muka salah seorang penjudi. Karena menurut pendapatnya ia tidak dapat
menyembunyikan diri selamanya seperti itu, maka ia menoleh ke sekitar untuk
mencari tempat berlindung yang lebih mantap.
Tepat di
depannya tergantung tirai bergambar macan besar pada pagar aambunya. Pada pintu
gerbang terdapat juga panji-panji dengan gambar acmbing bercabang dua dan
kepala bermata ular, dan seorang tukang teriak berdiri di atas kotak kosong
sambil berseru-seru parau, "Saksikan macan! Silakan masuk dan saksikan
macan! Adakan perjalanan sejauh seribu mil! Macan ini, saudara-saudara,
ditangkap sendiri oleh jenderal besar Kato Kiyomasa di Korea. Jangan lewatkan
macan ini!" Seruan yang diucapkannya itu terdengar ingar-bingar, berirama.
Matahachi
melontarkan sebentuk mata uang dan langsung menerobos pintu masuk. Karena
merasa relatif aman, ia melihat ke sana kemari, mencari binatang itu. Di ujung
tenda itu terpentang kulit macan besar, seperti cucian yang sedang dikeringkan
pada papan kayu. Para penonton menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar.
Mereka tidak merasa kecewa bahwa makhluk itu ternyata tidak utuh dan tidak pula
hidup.
"Jadi,
inilah yang dinamakan macan itu," kata satu orang.
"Besar,
ya?" kagum yang lain.
Matahachi
berdiri agak di sisi kulit macan itu, dan tiba-tiba terpandang olehnya seorang
lelaki tua dan seorang perempuan. Mendengar suara percakapan mereka, telinganya
pun tegak tak percaya.
"Paman
Gon," kata perempuan itu, "macan itu mati, kan?"
Samurai tua
itu menjulurkan tangan ke atas pagar bambu dan meraba kulit itu, lalu jawabnya
murung, "Tentu saja mati. Ini cuma kulitnya."
"Tapi
orang di luar itu bicaranya seolah-olah macan itu masih hidup."
"Itulah
barangkali yang namanya tukang bual," kata lelaki itu sambil tertawa
kecil.
Osugi tidak
gampang saja menerima hal itu. Sambil memonyongkan mulutnya ia memprotes,
"Jangan seperti orang tolol! Kalau macan ini bukan macan betulan, tanda di
luar mesti mengatakan begitu juga. Kalau yang akan kulihat cuma kulit macan,
lebih baik aku melihat gambar. Ayo kita ambil uang kita kembali."
"Jangan
bikin ribut, Nek. Orang menertawakan kamu nanti."
"Biar.
Aku tak senang. Kalau kau tak mau pergi, aku akan pergi sendiri." Ketika
ia mulai berjalan kembali melalui para penonton lain, Matahachi merunduk, tapi
terlambat. Paman Gon sudah melihatnya.
"Hei,
Matahachi! Kamu, ya?" serunya.
Osugi yang
sudah tidak begitu awas matanya itu menggagap, "A-apa katamu, Paman
Gon?"
"Apa kau
tidak lihat? Matahachi berdiri di belakangmu itu!"
"Tak
mungkin!"
"Dia di
sana tadi, tapi dia lari."
"Di
mana? Ke mana?"
Keduanya
berlari keluar dari gerbang kayu, ke tengah orang banyak yang sudah bermandikan
cahaya petang berwarna-warni. Matahachi terus bertumbuk-tumbuk orang, tapi
selalu dapat membebaskan diri kembali dan berlari terus.
"Tunggu,
Nak, tunggu!" teriak Osugi.
Matahachi
menoleh ke belakang dan melihat ibunya mengejarnya seperti perempuan gila.
Paman Gon pun melambai-lambaikan tangan dengan hebatnya.
"Matahachi!"
teriaknya. "Kenapa kau lari? Kau kenapa? Matahachi! Matahachi!"
Karena merasa
tak dapat lagi menangkapnya, Osugi menjulurkan lehernya yang keriput itu ke
depan, dan dengan sekuat paru-paru ia pun menjerit, "Berhenti, pencuri!
Perampok! Tangkap dia!"
Seketika itu
juga orang-orang di sekitarnya mengambil alih pengejaran, dan orang-orang yang
di depan segera menyerang Matahachi dengan tongkat bambu.
"Tahan
dia di sana!"
"Bajingan!"
"Hajar
dulu!"
Orang banyak
berhasil mengepung Matahachi, dan beberapa orang malahan sudah meludahinya.
Osugi tiba bersama Paman Gon, cepat menguasai keadaan dan balik mendamprat para
penyerang Matahachi. Sambil mengusir mereka, ia pegang gagang pedang pendeknya
serta menyeringaikan giginya.
"Apa
yang kalian lakukan ini?" teriaknya. "Kenapa kalian serang orang
ini?"
"Dia
pencuri!"
"Dia
bukan pencuri! Dia anakku."
"Anakmu?"
"Ya, dia
anakku, anak seorang samurai, dan kalian tak punya hak memukulnya. Kalian hanya
orang kota kebanyakan. Kalau kalian sentuh dia lagi, akan ku... akan kuhadapi
kalian semua!"
"Kau
berkelakar, ya? Siapa yang teriak 'pencuri' semenit lalu?"
"Memang
aku, itu tak kusangkal. Aku seorang ibu yang setia, dan kupikir, kalau aku
berteriak 'pencuri', anakku akan berhenti lari. Tapi siapa yang menyuruh
kalian, orang-orang bebal, memukulnya? Itu tak patut!"
Heran melihat
perubahan haluan yang sekonyong-konyong ini, orang banvak itu pelan-pelan
bubar. Mereka kagum akan keberanian perempuan itu. Osugi mencekal kerah anaknya
yang tak patut itu dan menyeretnya ke pekarangan kuil tak jauh dari sana.
Beberapa
menit lamanya Paman Gon hanya berdiri memandang dari gerbang kuil itu, tapi
kemudian ia mendekati mereka dan katanya, "Nek, jangan perlakukan Matahachi
seperti kanak-kanak lagi." Ia mencoba menarik tangan Osugi dari kerah
Matahachi, tapi perempuan tua itu menepiskannya dengan kasar.
"Jangan
kamu ikut campur! Dia anakku, dan aku akan menghukumnya dengan hukuman yang
menurutku cocok, tanpa bantuanmu. Kau diam saja dan urusi urusanmu sendiri!...
Matahachi, anak yang tak tahu diuntung... Akan kuperlihatkan padamu!"
Orang
mengatakan makin tua seseorang makin sederhana dan makin langsung sikapnya.
Melihat tindakan Osugi itu, orang tak bisa berbuat lain daripada menyetujui
pendapat itu. Kalau ibu-ibu lain tentunya sudah menangis karena gembira, maka
Osugi mendidih darahnya karena berang.
Ia membanting
Matahachi ke tanah dan membenturkan kepalanya ke sana. "Gagasan apa itu!
Lari dari ibu sendiri! Kau bukan lahir dari selangkangan pohon, orang kampung!
Kau anakku!" Dan mulailah ia menampar anaknya, seakan-akan Matahachi masih
anak-anak. "Tak terpikir olehku bahwa kau masih hidup, tapi ternyata di Osaka
ini kau bergelandangan! Memalukan! Manusia tak tahu malu, manusia sampah....
Kenapa kau tidak pulang menyatakan hormat kepada leluhur sebagaimana mestinya?
Kenapa kau tak mau menunjukkan muka, biar cuma sekali, kepada ibumu yang sudah
tua? Apa kau tidak tahu, semua sanak keluarga kuatir dengan dirimu?"
"Ibu,"
mohon Matahachi seperti bayi. "Maafkan aku. Maafkan aku, Bu! Aku minta
maaf. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Justru karena tahu sudah menelantarkan
Ibu, maka tak dapat aku pulang. Aku bukan bermaksud lari dari Ibu. Aku begitu
kaget melihat Ibu, dan tanpa pikir lagi aku lari. Aku malu dengan cara hidupku,
sampai aku tak dapat menghadapi Ibu dan Paman Gon." Ia menutup wajahnya
dengan tangan.
Hidung Osugi
mengerut dan ia mulai menangis, tapi hampir seketika itu juga ia menghentikan
tangisnya. Terlalu bangga ia akan dirinya untuk memperlihatkan kelemahannya dan
ia memperbaharui serangannya. Katanya mengejek, "Kalau kau begitu malu
dengan dirimu sendiri dan merasa sudah mempermalukan leluhurmu, tentunya kau
sudah berbuat tak baik selama ini.
Karena tak
dapat lagi menahan diri, Paman Gon memohon, "Cukuplah itu. Kalau
kauteruskan juga, pasti akan rusak tabiat anak ini."
"Sudah
kubilang simpan nasihatmu itu untuk diri sendiri. Kau ini lelaki; tak boleh kau
bersikap begitu lunak. Sebagai ibunya, aku harus sekeras ayahnya, seandainya
dia masih hidup. Aku akan menghukumnya, dan aku belum lagi selesai!...
Matahachi! Duduk kamu yang tegak! Pandang mukaku."
Ia duduk
resmi di tanah dan menunjuk tempat yang harus diduduki Matahachi.
"Baik,
Bu," kata Matahachi menurut. la mengangkat bahunya yang terkena kotoran,
dan berlutut. Ia memang takut kepada ibunya. Ibunya dapat kadang-kadang
memanjakan, tapi sikapnya yang selalu siap mengungkit persoalan tentang
kewajiban terhadap leluhur itu membuat Matahachi tak betah.
"Betul-betul
kularang kamu menyembunyikan apa pun," kata Osugi. "Sekarang apa
persisnya yang telah kaukerjakan sejak lari ke Sekigahara? Jelaskan dan jangan
berhenti sampai aku sudah mendengar semua yang ingin kudengarkan."
"Jangan
kuatir, aku takkan menyembunyikan apa pun," Matahachi memulai. Ia sudah
kehilangan keinginan untuk melawan. Tepat seperti yang dikatakannya, ia
muntahkan seluruh ceritanya sampai sekecil-kecilnya: tentang bagaimana ia
meloloskan diri dari Sekigahara, bersembunyi di Ibuki, tersangkut dengan Oko,
dan hidup darinya—sekalipun ia membencinyabeberapa tahun lamanya. Juga tentang
bagai-mana ia kini menyesali dengan setulus-tulusnya apa yang telah ia lakukan.
Semua itu meringankan dirinya, seperti melepas empedu dari dalam perut, dan ia
merasa jauh lebih ringan sesudah melakukan pengakuan itu.
"Hmm...,"
gumam Paman Gon berkali-kali.
Osugi mendecapkan
lidahnya, katanya, "Sungguh aku terguncang oleh kelakuan-mu. Dan apa yang
kaulakukan sekarang? Kelihatannya kau dapat pakaian bagus. Apa kau sudah
mendapat kedudukan yang cukup upahnya?"
"Ya,"
kata Matahachi. Jawaban itu meluncur begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu,
kemudian ia terburu-buru membetulkannya. "Maksudku, tidak, aku tak punya
kedudukan."
"Kalau
begitu, dari mana kau mendapat uang buat hidup?"
"Pedangku—aku
mengajar main pedang." Ada nada kebenaran dalam cara ia mengatakannya dan
hal itu menimbulkan akibat yang memang dikehendaki.
"Betul
begitu?" tanya Osugi penuh minat. Untuk pertama kali, cahaya kegembiraan
muncul pada wajah Osugi. "Main pedang, ya? Tidak heran kalau anakku
menyediakan waktu buat menyempurnakan kecakapannya main pedang—meskipun
menempuh hidup seperti sekarang ini. Kaudengar, Paman Gon! Biar bagaimana, dia
anakku."
Paman Gon
mengangguk bersemangat. Ia merasa bersyukur melihat semangat perempuan tua itu
naik lagi. "Sudah sewajarnya kalau kita mengetahui ini," katanya.
"Itu menunjukkan bahwa dia memang menyimpan darah leluhur Hon'iden dalam
nadinya. Tak ada salahnya dia tersesat sebentar. Jelas sekarang, dia punya
semangat yang benar!"
"Matahachi,"
kata Osugi.
"Ya,
Bu."
"Di
daerah ini, di bawah pimpinan siapa kau belajar ilmu pedang?"
"Kanemaki
Jisai."
"Betul?
Dia termasyhur." Osugi memperlihatkan wajah bahagia. Karena ingin lebih
menggembirakan ibunya lagi, Matahachi mengeluarkan sertifikat dan membuka
gulungannya, tapi ia menutup nama Sasaki itu dengan jempolnya.
"Bu,
lihat ini," katanya.
"Coba
kulihat," kata Osugi. Ia hendak mengambil gulungan itu, tapi Matahachi
mencekamnya.
"Bu,
lihat, tak perlu Ibu kuatir denganku."
Osugi
mengangguk. "Ya, ini betul-betul bagus. Lihat ini, Paman Gon. Apa ini
tidak hebat? Aku selamanya berpendapat, juga waktu dia masih bayi, dia lebih
cerdas dan lebih mampu daripada Takezo dan anak-anak lelaki lain."
Demikian gembira perempuan itu, hingga sementara berbicara ia mulai meludah-ludah.
Tapi justru
pada waktu itu tangan Matahachi terpeleset, dan nama pada gulungan itu jadi
kelihatan.
"Tunggu
sebentar," kata Osugi. "Kenapa 'Sasaki Kojiro'?"
"Oh,
itu? Itu nama perang."
"Nama
perang? Buat apa kamu memerlukan itu? Apa Hon'iden Matahachi tidak cukup
untukmu?"
"Ya,
bagus!" jawab Matahachi sesudah berpikir cepat. "Tapi sesudah
kutimbang-timbang, kuputuskan untuk tidak menggunakan nama sendiri. Karena masa
laluku memalukan, aku takut mengaibkan leluhurku."
"Oh,
begitu. Kukira jalan pikiran yang baik. Kau tidak tahu apa pun tentang apa yang
sudah terjadi di kampung, karena itu aku akan bercerita. Sekarang perhatikan.
Ini penting."
Osugi dengan
bersemangat mulai memberikan uraian tentang peristiwa yang telah terjadi di
Miyamoto. Ia memilih kata-kata yang diperhitungkannya dapat memacu Matahachi
untuk beraksi. Ia menjelaskan bagaimana Keluarga Hon'iden dihinakan, bagaimana
ia dan Paman Gon bertahun-tahun lamanya mencari Otsu dan Takezo. Ia coba untuk
bersikap tidak emosional, tapi bagaimanapun terbawa juga ia oleh ceritanya
sendiri. Matanya basah dan suaranya menjadi berat.
Matahachi
mendengarkan dengan kepala tertunduk, dan ia terpukau oleh gamblangnya cerita
ibunya. Pada waktu-waktu seperti ini, ia merasa mudah menjadi anak yang baik
dan penurut. Tapi kalau yang menjadi perhatian utama ibunya adalah kehormatan
keluarga dan semangat samurai, Matahachi sendiri tergerak sedalam-dalamnya oleh
hal lain: kalau benar yang dikatakan oleh ibunya, Otsu tidak mencintainya lagi.
Inilah untuk pertama kalinya ia mendengarnya. "Apa benar begitu?"
tanyanya.
Melihat warna
wajah Matahachi berubah, Osugi mengambil kesimpulan yang keliru bahwa kuliahnya
tentang kehormatan dan semangat itu sudah mencapai hasil. "Kalau kaupikir
itu bohong," katanya, "tanya Paman Gon. Perempuan jalang itu sudah
meninggalkanmu dan lari bersama Takezo. Dengan kata lain, kau bisa mengatakan,
karena tahu kau tak akan kembali beberapa lama, maka Takezo memikat Otsu untuk
pergi dengannya. Apa tidak betul begitu, Paman Gon?"
"Ya.
Ketika Takezo diikat di atas pohon itu, dia mendapat pertolongan dari Otsu
untuk melarikan diri, dan keduanya lalu lari sama-sama. Semua orang mengatakan
antara mereka sudah terjadi sesuatu."
Kata-kata itu
menimbulkan akibat paling buruk pada Matahachi, dan timbul reaksi baru terhadap
kawan masa kecilnya itu.
Menyadari hal
tersebut, ibunya mengipasi bunga api itu, "Kaulihat sekarang, Matahachi!
Kau mengerti, kenapa Paman Gon dan Ibu meninggalkan kampung? Kami mau membalas
dendam pada mereka. Sebelum aku membunuh mereka, aku tak dapat memperlihatkan
muka lagi di kampung atau berdiri di depan tanda peringatan leluhur kita."
"Aku
mengerti."
"Jadi,
kau mengerti. Kecuali kita sudah membalas dendam, kau pun tak dapat kembali ke
Miyamoto?"
"Aku tak
akan kembali. Aku tak akan pernah kembali."
"Bukan
itu soalnya. Kau mesti membunuh kedua orang itu. Mereka musuh bebuyutan
kita."
"Ya,
kukira begitu."
"Kedengarannya
kau tidak begitu bersemangat. Ada apa? Apa kau tidak merasa cukup kuat untuk
membunuh Takezo?"
"Tentu
saja cukup kuat," protes Matahachi.
Paman Gon
buka suara. "Jangan kuatir, Matahachi. Aku akan selalu di
samping-mu."
"Dan
ibumu yang sudah tua ini pun demikian," tambah Osugi. "Mari kita bawa
kepala mereka pulang ke kampung sebagai tanda mata buat orang banyak. Apa itu
bukan gagasan yang baik, Nak? Kalau itu kita lakukan, kau dapat jalan terus dan
mencari istri, dan menetap. Kau membersihkan dirimu sebagai seorang samurai,
dan juga mendapat nama baik. Tak ada nama yang lebih baik di seluruh daerah
Yoshino daripada Hon' iden, dan kau akan membuktikan itu pada setiap orang, tak
sangsi lagi. Bisa kau melakukan itu, Matahachi? Mau kau melakukannya?"
"Ya,
Bu."
"Itu
namanya anak baik. Paman Gon, jangan berdiri saja di situ, ucapkan selamat pada
anak ini. Dia sudah bersumpah akan membalas dendam kepada Takezo dan
Otsu." Begitulah, akhirnya ia kelihatan puas, dan mulailah ia bangkit dari
tanah dengan susah payah. "Oh, sakit rasanya!" teriaknya.
"Ada
apa?" tanya Paman Gon.
"Tanah
ini dingin sekali. Perut dan pinggulku sakit."
"Wah,
kurang baik itu. Apa wasirmu kumat lagi?"
Untuk
menunjukkan bakti seorang anak, Matahachi mengatakan, "Naiklah ke punggungku,
Ibu."
"Oh, kau
mau menggendongku? Senang sekali aku!" Sambil memegang bahu anaknya, Osugi
menangis karena gembira. "Sudah berapa tahun lewat, ya? Lihat, Paman Gon,
Matahachi menggendongku."
Ketika air
mata jatuh ke leher Matahachi, Matahachi merasakan kegembiraan yang aneh.
"Paman Gon, di mana kalian tinggal?" tanyanya.
"Kita
mesti mencari rumah penginapan sekarang. Di mana saja bisa. Man kita
mencarinya."
"Baik." Sementara berjalan, Matahachi
melambung-lambungkan sedikit ibunya di punggungnya. "Ringan, Bu! Ringan
sekali! Jauh lebih ringan daripada batu!"
MUSASHI
karya : EIJI
YOSHIKAWA
0 komentar:
Posting Komentar