Sabtu, 15 Juli 2017



Elang Pemburu dan Perempuan

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg











KETIKA berlangsungnya Pertempuran Sekigahara, Kokura menjadi benteng yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Mori Katsunobu dari Iki. Sejak itu benteng dibangun kembali dan diperbesar, dan memperoleh tuan yang baru. Menara-menara dan dinding-dindingnya yang putih berkilau mengungkapkan keperkasaan dan martabat Keluarga Hosokawa yang kini dikepalai Tadatoshi, pengganti ayahnya, Tadaoki.

Dalam waktu singkat sesudah kedatangan Kojiro, Gaya Ganryu yang dikembangkan atas dasar yang ia pelajari dari Toda Seigen dan Kanemaki Jisai telah melanda seluruhKyushu. Orang bahkan datang dari Shikoku untuk belajar di bawah pimpinannya, dengan harapan bahwa sesudah setahun-dua tahun berlatih, mereka akan mendapat sertifikat dan memperoleh persetujuan pulang sebagai guru gaya baru itu.

Kojiro memperoleh penghormatan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Tadatoshi yang kabarnya menyatakan dengan rasa puas, "Saya melihat sendiri, dia pemain pedang yang sangat baik." Di seluruh penjuru rumah tangga Hosokawa yang luas itu, orang sependapat bahwa Kojiro adalah orang yang "berwatak menonjol". Apabila berjalan antara rumahnya dan benteng, ia lakukan itu dengan penuh gaya, diiringi tujuh pemain lembing. Orang banyak pun mendekat dan menyatakan hormat.

Sebelum ia datang, Ujiie Magoshiro, pelatih Gaya Shinkage, merupakan instruktur pedang utama bagi klan itu. Bintangnya meredup cepat, bersamaan dengan semakin cemerlangnya bintang Kojiro. Kojiro bicara tentangnya dengan kata-kata muluk. Kepada Yang Dipertuan Tadatoshi ia mengatakan, "Bapak tak perlu melepaskan Ujiie. Gayanya memang tidak mencolok, tapi dia memiliki kematangan tertentu, yang tidak dimiliki orang-orang muda semacam kami." Ia menyarankan agar dirinya dan Magoshiro memberikan pelajaran di dojo benteng berselang-seling hari, dan usul ini dilaksanakan.

Suatu ketika Tadatoshi berkata, "Kojiro berkata metode Magoshiro tidak menonjol, tapi matang. Magoshiro berkata Kojiro seorang jenius, dan dengannya dia tak dapat beradu pedang. Siapa yang benar? Aku ingin melihat demonstrasinya."

Kedua orang itu setuju untuk saling berhadapan dengan pedang kayu, yang dihadiri Yang Dipertuan. Pada kesempatan pertama, Kojiro membuang senjatanya. Sambil duduk di kaki lawannya ia menyatakan, "Saya bukan lawan Bapak. Maafkan kelancangan saya."

"Jangan terlalu merendahkan diri," jawab Magoshiro, "sayalah yang bukan lawan yang pantas."

Para saksi mata terbagi dua apakah Kojiro berbuat demikian atas dasar iba, atau atas dasar kepentingan sendiri. Tapi, bagaimanapun, dengan sikapnya itu reputasinya menjadi lebih tinggi lagi.

Sikap Kojiro terhadap Magoshiro tetap toleran, tapi manakala orang menyinggung tentang makin masyhurnya Musashi di Edo dan Kyoto, ia lekas mengoreksinya.

"Musashi?" katanya meremehkan. "Memang dia cukup pintar mencari nama untuk diri sendiri. Saya dengar dia bicara tentang Gaya Dua Pedang. Dia memang punya kecakapan alamiah tertentu. Saya sangsi ada orang di Kyoto atau Osaka yang dapat mengalahkannya." Kojiro sengaja menampakkan bahwa ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi.

Seorang petarung berpengalaman yang bertamu ke rumah Kojiro pada suatu hari mengatakan, "Saya belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi orang bilang Miyamoto Musashi itu pemain pedang terbesar sejak Koizumi dan Tsukahara, tentu saja dengan perkecualian Yagyu Sekishusai. Setiap orang rupanya berpendapat, kalau dia bukan pemain pedang terbesar, setidak-tidaknya sudah mencapai taraf ahli."

Kojiro tertawa, wajahnya memerah. "Yah, orang-orang itu buta," katanya dengan tajam. "Saya kira sebagian orang menganggapnya orang besar atau pemain pedang ahli. Ini menjadi bukti bagi Anda, betapa merosotnya sudah Seni Perang dalam hal gaya maupun tingkah laku perorangan. Jadi, pada zaman ini seorang pencari publisitas yang pintar bisa saja menjadi tenar, setidaknya di hadapan orang-orang awam.

"Tak perlu saya nyatakan bahwa saya punya pandangan berbeda dalam hal ini. Saya melihat bagaimana Musashi mencoba menjual diri di Kyoto beberapa tahun lalu. Dia memamerkan kebrutalan dan kepengecutannya dalam pertarungan melawan Perguruan Yoshioka di Ichijoji. Sifat pengecut bukan kata yang cukup hina untuknya. Memang waktu itu dia kalah dalam jumlah, tapi apa yang dilakukannya? Dia angkat kaki seribu, begitu melihat kesempatan. Mengingat masa lalunya dan ambisinya yang luar biasa, saya memandangnya sebagai orang yang diludahi pun cak pantas.... Ha, ha…..kalau orang yang menghabiskan hidupnya dengan mencoba belajar Seni Perang adalah seorang ahli, saya kira Musashi memang seorang ahli. Tapi ahli pedang? Oh, bukan!"

Jelas Kojiro menganggap pujian kepada Musashi sebagai penghinaan terhadap dirinya. Usahanya untuk mencoba menggiring setiap orang untuk menerima pandangannya itu demikian hebat, hingga para pengagumnya yang paling setia pun mulai bertanya-tanya. Akhirnya beredar cerita bahwa antara Musashi dan Kojiro memang sudah lama berlangsung permusuhan. Dan tak lama kemudian, desas-desus tentang pertarungan pun menyebar.

Atas perintah Yang Dipertuan Tadatoshi, Kojiro akhirnya mengeluarkan tantangan. Beberapa bulan kemudian, seluruh perdikan Hosokawa disibukkan oleh spekulasi tentang kapan perkelahian akan diadakan dan bagaimana kira-kira hasilnya.

Iwama Kakubei yang kini sudah lanjut usia, datang mengunjungi Kojiro pagi dan petang, kapan saja ia dapat menemukan alasan sekecil apa pun. Pada suatu sore di bulan keempat, ketika bunga sakura bermahkota ganda warna merah muda sudah gugur, Kakubei berjalan melintasi halaman depan Kojiro, lewat bunga-bunga azalea merah cemerlang yang berkembang dalam bayangan batu-batu hias. Ia dipersilakan ke kamar dalam, yang hanya diterangi cahaya redup matahari petang.

"Ah, Bapak Guru Iwama, saya senang berjumpa dengan Bapak," kata Kojiro yang waktu itu berdiri agak di luar, memberi makan elang pemburu yang bertengger di atas tinjunya.

"Aku punya berita buatmu," kata Kakubei yang masih berdiri. "Dewan klan sudah membicarakan tempat pertarungan hari ini, dihadiri oleh Yang Dipertuan, dan sudah mencapai keputusan."

"Kami persilakan duduk," kata seorang abdi dari kamar sebelah.

Dengan gumam terima kasih, Kakubei duduk, dan melanjutkan, "Sejumlah tempat sudah disarankan, di antaranya Kikunonagahama dan tepi Sungai Murasaki, tapi semuanya ditolak, karena tempat-tempat itu terlalu kecil atau terlalu mudah dicapai orang banyak. Memang kita dapat membuat pagar bambu, tapi itu pun takkan mencegah tepi sungai itu dikerumuni orang-orang yang mencari hiburan menggetarkan."

"Saya paham," jawab Kojiro. Ia masih memperhatikan mata dan paruh elang pemburu itu.

Kakubei semula berharap beritanya akan diterima dengan napas tertahan, dan kini ia kecewa. Seorang tamu biasanya tidak melakukan hal ini, tapi Kakubei melakukannya, katanya, "Mari masuk. Ini bukan soal yang bisa dibicarakan sambil berdiri di sini."

"Sebentar," kata Kojiro sambil lalu. "Mau saya selesaikan dulu memberi makan burung ini."

"Apa ini elang yang diberikan Yang Dipertuan Tadatoshi sesudah kalian pergi berburu bersama-sama musim gugur lalu?"

"Ya. Namanya Amayumi. Makin saya terbiasa, makin saya suka padanya." Kojiro membuang sisa makanan, dan sambil memutar tali berumbai merah yang dikenakan pada leher burung itu, ia berkata pada pembantu muda di belakangnya, "Ini, Tatsunosuke... kembalikan ke sangkarnya."

Burung pun beralih tempat dari kepalan Kojiro ke kepalan si pembantu, dan Tatsunosuke mulai menyeberangi halaman luas. Di sebelah bukit kecil buatan manusia itu terdapat rumpun pinus. Di sisi rumpun dibatasi pagar. Pekarangan itu terletak sepanjang Sungai Itatsu. Banyak pengikut Hosokawa lain tinggal di sekitar tempat itu.

"Maaf, Bapak harus menunggu," kata Kojiro.

"Sudahlah! Aku ini kan bukan orang luar? Kalau aku datang kemari, itu hampir seperti datang ke rumah anakku sendiri."

Seorang pelayan berumur sekitar dua puluh tahun masuk, dan dengan anggun menuangkan teh. Sambil melontarkan pandang kepada tamu, ia mempersilakannya minum.

Kakubei menggeleng dengan nada kagum. "Senang sekali melihatmu lagi, Omitsu. Kau masih tetap cantik."

Omitsu memerah sampai ke bagian leher kimononya. "Dan Bapak selalu membuat saya gembira," jawabnya sebelum menyelinap cepat keluar ruangan.

Kata Kakubei, "Kaubilang, makin terbiasa dengan elang itu, makin kau suka kepadanya. Bagaimana dengan Omitsu? Apa tidak lebih baik kau didampingi dia, daripada burung pemburu? Sudah lama aku ingin bertanya tentang niatmu terhadap gadis itu."

"Apa diam-diam dia mengunjungi rumah Bapak?"

"Kuakui, dia memang datang untuk berbicara denganku."

"Perempuan bodoh! Dia sama sekali tidak bilang soal itu pada saya." Dan Kojiro melontarkan pandangan marah ke shoji putih itu.

"Tak usah hal itu menjengkelkanmu. Dan tak ada alasan kenapa dia tak boleh datang kepadaku." Kakubei menanti, sampai menurutnya mata Kojiro melunak sedikit, lalu lanjutnya, "Wajar kalau seorang perempuan merasa kuatir. Menurutku, bukannya dia sangsi akan rasa sayangmu terhadapnya, tapi siapa pun yang berada pada kedudukan macam dia itu akan menguatirkan masa depannya. Maksudku, apa yang bakal terjadi dengan dirinya?"

"Kalau begitu, dia sudah menceritakan segalanya pada Bapak?"

"Kenapa tidak? Itu hal yang biasa sekali terjadi di dunia ini, antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Tak lama lagi kau perlu menikah. Kau punya rumah besar dan banyak pembantu. Kenapa tidak?"

"Apa Bapak tak dapat membayangkan apa kata orang, kalau saya mengawini gadis yang sebelumnya bekerja sebagai pelayan di rumah saya?"

"Apa pula bedanya? Kau tentu takkan dapat menyingkirkan dia sekarang. Sekiranya dia bukan calon istri yang cocok buatmu, memang janggal, tapi dia dari keluarga yang baik, bukan? Orang bilang, dia kemenakan Ono Tadaaki."

"Betul."

"Dan kau bertemu dengannya waktu kau masuk dojo Tadaaki dan membuka matanya bahwa perguruan pedangnya berada dalam keadaan menyedihkan."

"Ya. Saya tidak bangga atas hal itu, dan saya tak dapat merahasiakannya dari orang sedekat Bapak. Cepat atau lambat, sudah saya rencanakan untuk menyampaikan seluruh ceritanya pada Bapak... Seperti Bapak katakan, hal itu terjadi sesudah pertarungan saya dengan Tadaaki. Hari sudah gelap waktu saya berangkat pulang, dan Omitsu—dia tinggal dengan pamannya waktu itu—membawa lentera kecil dan menyertai saya turun Lereng Saikachi. Tanpa pikir panjang, saya goda dia sedikit, tapi dia menanggapi dengan serius. Sesudah Tadaaki menghilang, dia datang menemui saya, dan..."

Sekarang giliran Kakubei yang menjadi malu. Ia mengibaskan tangan, sebagai tanda bahwa ia sudah cukup mendengar tentang itu. Padahal baru belakangan ini saja ia tahu bahwa Kojiro sudah memasukkan gadis itu sebelum ia meninggalkan Edo menuju ke Kokura. Ia terkejut, tidak hanya karena kenaifannya sendiri, tapi juga karena menyaksikan kemampuan Kojiro memikat perempuan, bercintaan, dan merahasiakan segalanya.

"Serahkan semua itu padaku," katanya. "Saartini kurang sesuai buatmu mengumumkan perkawinan. Dahulukan yang penting. Itu bisa dilakukan sesudah pertarungan." Seperti banyak orang lain, ia merasa yakin bahwa pemantapan terakhir bagi kemasyhuran dan kedudukan Kojiro akan terjadi dalam beberapa hari lagi.

Teringat kembali maksud kedatangannya, ia melanjutkan, "Seperti kukatakan tadi, dewan sudah memutuskan tempat buat pertarungan. Karena salah satu syaratnya adalah tempat itu harus dalam wilayah Yang Dipertuan Tadatoshi, dan tak dapat dengan mudah didatangi orang banyak, maka disetujui sebuah pulau merupakan tempat ideal. Yang terpilih adalah pulau kecil bernama Funashima, antara Shimonoseki dan Moji."

Ia tampak merenung sebentar, kemudian katanya, "Terpikir olehku, apa tidak bijaksana kalau kita melihat medan itu sebelum Musashi datang. Itu dapat memberikan keuntungan tertentu padamu." Alasannya, kalau mengetahui letak tanahnya, seorang pemain pedang bisa mendapat gambaran tentang bagaimana ia memanfaatkan medan dan kedudukan matahari. Ia bisa memperoleh gambaran tentang jalannya pertarungan nanti, dan seberapa erat ia harus mengikat tali sandalnya. Setidaknya, Kojiro akan memiliki rasa aman, yang tidak mungkin diperolehnya apabila ia mendatangi tempat itu untuk pertama kali.

Ia sarankan agar mereka menyewa perahu nelayan dan pergi melihat Funashima hari berikutnya.

Kojiro tidak setuju. "Yang terpenting dalam Seni Perang adalah cepat memanfaatkan peluang. Biarpun orang sudah mengambil tindakan berjagajaga, sering terjadi lawan sudah bisa menebak lebih dulu, dan mendapat cara untuk mengimbangi. Jauh lebih baik melakukan pendekatan dengan pikiran terbuka, dan bergerak dengan kebebasan sempurna."

Karena merasa argumentasi Kojiro memang logis, Kakubei tidak menyebutnyebut lagi soal pergi ke Funashima.

Atas panggilan Kojiro, Omitsu menghidangkan sake untuk mereka, dan kedua orang itu minum-minum dan mengobrol sampai larut malam. Dari cara santai Kakubei dalam menghirup sake, jelas kelihatan ia senang dengan hidupnya, dan bahwa ia merasa usahanya membantu Kojiro telah membawa hasil.

Seperti seorang ayah yang besar hati, Kakubei berkata, "Kupikir ini bisa disampaikan pada Omitsu. Kalau semua ini sudah lewat, kita dapat mengundang sanak keluarga dan teman-temannya kemari untuk merayakan perkawinan. Memang bagus kalau kau setia kepada pedangmu, tapi kau juga harus punya keluarga, kalau namamu hendak kaulanjutkan. Kalau kau sudah menikah, aku merasa kewajibanku terhadapmu sudah terlaksana."

Tidak seperti si abdi tua yang bahagia dan sudah bertahun-tahun mengabdi itu, Kojiro tidak memperlihatkan tanda-tanda mabuk. Namun akhir-akhir ini ia memang cenderung berdiam diri. Begitu pertarungan diputuskan, Kakubei menyarankan, dan Tadacoshi menyetujui, untuk membebaskan Kojiro dari kewajiban-kewajibannya. Semula ia dapat menikmati waktu senggang yang tidak biasa itu, tapi ketika harinya semakin dekat dan makin banyak orang datang berkunjung, ia merasa dirinya terpaksa melayani mereka. Belakangan ini waktu istirahatnya semakin sedikit. Namun ia enggan mengurung diri atau menyuruh menolak orang di pintu gerbang. Kalau ia melakukan hal itu, orang banyak akan mengira ia sudah kehilangan kemantapan.

Yang ia inginkan adalah pergi ke pedesaan tiap hari, dengan elang pemburu di tangan. Dalam cuaca bagus, berjalan-jalan di ladang dan gunung bertemankan burung itu bisa meningkatkan semangatnya

Manakala mata elang yang biru waspada itu melihat korban di langit, Kojiro melepaskannya. Kemudian matanya sendiri, yang sama waspadanya, mengikuti burung itu, sampai akhirnya burung itu membubung, dan kemudian menukik menerkam buruannya. Sebelum bulu korban bertaburan ke bumi, ia tetap tak bernapas, terpaku, seakan-akan ia sendirilah elang itu.

"Bagus! Begitu mestinya!" serunya apabila elang itu berhasil membunuh. la banyak belajar dari burung pemburu ini, dan sebagai akibat dari acara berburu itu, hari demi hari wajahnya makin menampakkan keyakinan.

Pulang petang hari, ia disambut mata Omitsu yang bengkak karena menangis. Pedih hatinya, melihat Omitsu berusaha menyembunyikan hal itu. Baginya kalah oleh Musashi sungguh tak terpikirkan. Namun terpikir juga olehnya, apa yang akan terjadi dengan gadis itu, sekiranya ia terbunuh.

Ia juga teringat wajah almarhumah ibunya, yang selama bertahun-tahun hampir tak diingatnya. Dan setiap malam, saat ia jatuh tertidur, bayangan mata elang yang biru dan mata Omitsu yang bengkak itu datang mengunjunginva, bercampur aduk dengan kenangan selintas tentang wajah ibunya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP