Pemberian Uang
PIKIRAN pertama yang
menggugah Musashi adalah tentang Otsu dan Jotaro. Walaupun ia dan Geki
bercakap-cakap ramah sambil makan pagi, masalah bagaimana menemukan mereka
berdua itulah yang paling menyita pikirannya. Keluar dari penginapan, tanpa
disadarinya ia perhatikan betul-betul setiap wajah yang dijumpainya di jalan
raya. Sekali-dua kali dikiranya ia melihat Otsu di depan, tapi ternyata ia
keliru.
"Anda rupanya
mencari seseorang," kata Geki.
"Memang.
Teman-teman saya terpisah dari saya di jalan, dan sekarang saya kuatir dengan
nasib mereka. Saya pikir, lebih baik saya melepaskan keinginan pergi ke Edo,
dan mencari jalan lain."
Dengan kecewa, kata
Geki, "Sayang sekali. Saya ingin sekali berjalan bersama Anda. Saya harap
Anda tidak mengubah keinginan mengunjungi Sendai, gara-gara saya bicara terlalu
banyak semalam."
Sikap Geki yang terus
terang dan jantan itu merangsang Musashi. "Anda baik sekali,"
katanya. "Saya harap saya punya kesempatan nanti."
"Saya ingin Anda
menyaksikan sendiri, bagaimana samurai kami membawa diri. Dan kalau Anda tidak
tertarik soal itu, nah, anggap saja itu sekadar tamasya. Anda dapat
mendengarkan lagu-lagu setempat, dan mengunjungi Matsushima. Tempat itu
terkenal pemandangannya."
Geki minta diri, dan
lekas-lekas menuju Celah Wada.
Musashi membalikkan
badan dan kembali ke persimpangan Nakasendo, pangkal jalan raya Koshu. Selagi
ia berdiri di sana, merencanakan apa yang hendak diperbuatnya, segerombolan
pekerja harian dan Suwa mendatanginya. Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka
kuli, tukang kuda, atau pemikul joli yang bisa dipergunakan orang di daerah
itu. Mereka datang pelan-pelan dengan tangan terlipat, kelihatannya seperti
segerombolan kepiting.
Mata mereka dengan
kasar menyelidik tubuh Musashi. Seorang dari mereka berkata, "Pak,
kelihatannya Anda sedang mencari seseorang. Seorang wanita cantik atau
pesuruh?"
Musashi menggelengkan
kepala, mengusir mereka dengan isyarat agak meremehkan, lalu menyingkir. Tak
tahu ia, apakah akan pergi ke timur atau barat, tapi akhirnya ia putuskan untuk
menghabiskan waktu hari itu dengan melihat-lihat apa yang dapat ia temukan di
sekitar tempat itu. Kalau pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil,
selanjutnya ia dapat pergi ke ibu kota shogun dengan hati bersih.
Salah seorang pekerja
menyela pikirannya. "Kalau memang mencari seseorang, kami dapat
membantu," katanya. "Itu lebih baik daripada berdiridiri di bawah
sinar matahari. Bagaimana tampang orangnya?"
Yang lain
menambahkan, "Kami bahkan tidak menentukan tarif jasa kami. Kami serahkan
pada Tuan."
Akhirnya Musashi
mengalah. Ia bahkan melukiskan Otsu dan Jotaro secara terperinci.
Sesudah berunding
dengan teman-temannya, orang pertama tadi mengatakan, "Kami belum pernah
melihat mereka, tapi kalau kami membentuk kelompok-kelompok, kami yakin akan
menemukan mereka. Penculik-penculik itu tentunya masuk salah satu dari tiga
jalan antara Suwa dan Shiojiri. Anda tak kenal daerah ini, tapi kami
kenal."
Musashi tidak begitu
optimis tentang kemungkinan berhasil di medan yang demikian sukar, tapi
katanya, "Baik, pergilah cari mereka."
"Jadi,"
teriak orang-orang itu.
Sekali lagi mereka
berkerumun, berpura-pura sedang memutuskan bagian pekerjaan masing-masing.
Kemudian pimpinan mereka maju ke depan dan menggosok-gosok tangan dengan sikap
hormat. "Cuma masih ada satu soal kecil, Pak. Begini... saya kurang suka
menyebutkan ini, tapi kami ini cuma pekerja tak berduit. Tak ada di antara kami
yang sudah makan hari ini. Apa tak dapat Anda memberi persekot buat setengah
hari pembayaran, dengan sedikit tambahan? Saya jamin akan menemukan teman-teman
Anda itu sebelum matahari tenggelam."
"Tentu. Saya
memang mau memberi."
Orang itu menyebut
suatu jumlah, tapi sesudah Musashi menghitung uangnya, ternyata jumlah itu
lebih tinggi dari uang yang dimilikinya. Musashi bukan orang yang tidak hirau
dengan nilai uang, tapi karena ia hidup sendirian, tanpa tanggungan, sikapnya
terhadap uang boleh dikata masa bodoh. Teman-teman dan orang-orang yang kagum
padanya kadang-kadang menyumbangnya untuk perjalanan, dan ada kuil-kuil yang
sering dapat memberikan penginapan gratis kepadanya. Pada kesempatan lain, ia
dapat tidur di udara terbuka, atau pergi tanpa mesti makan secara normal.
Dengan berbagai cara, ia selalu dapat mengatasi soal itu.
Dalam perjalanan ini,
ia telah menyerahkan soal uang kepada Otsu yang mendapat hadiah besar berupa
uang perjalanan dari Yang Dipertuan Karasumaru. Otsu-lah yang telah membayar
macam-macam rekening dan memberinya uang saku tiap pagi, seperti biasa dilakukan
seorang istri.
Sesudah menyisihkan
sedikit untuk diri sendiri, Musashi pun membagikan sisa uangnya pada
orang-orang itu. Walaupun sebetulnya mereka mengharapkan jumlah yang lebih
besar, mereka setuju melakukan pencarian sebagai "pertolongan
khusus".
"Nantikan kami
dekat gerbang bertingkat dua di Tempat Suci Suwa Myojin," nasihat si juru
bicara. "Petang nanti, kami kembali membawa berita." Dan mereka
berangkat ke beberapa jurusan.
Musashi tidak
membuang-buang waktu percuma, tapi pergi melihat Benteng Takashima dan kota
Shimosuwa, juga berhenti di sana-sini untuk mencatat ciri-ciri topografi
setempat, yang mungkin di masa depan ada gunanya, dan memperhatikan cara-cara
pengairan di sana. Beberapa kali ia bertanya apakah di daerah itu ada ahli
militer terkemuka, tapi tak ada jawaban menarik yang didengarnya.
Ketika matahari
semakin terbenam, ia pergi ke tempat suci dan duduk di tangga batu yang menuju
gerbang bertingkat dua. Badannya lelah tak bersemangat. Tak seorang pun
memperlihatkan hidung, karena itu ia berjalan mengitari pekarangan kecil yang
luas itu. Namun ketika kembali di pintu gerbang, tetap tidak ada orang.
Bunyi kuda yang
mengentak-entakan kaki ke tanah mulai menekan sarafnya, walaupun bunyi itu
tidak keras. Ia turun tangga dan tiba di sebuah gubuk yang hanya remang-remang
kelihatan akibat tertutup pepohonan. Seorang perawat kuda tua sedang memberi
makan kuda putih suci milik tempat suci.
Orang itu menatap
Musashi dengan sikap curiga. "Ada apa?" tanyanya kasar "Apa
urusanmu dengan kuil ini?"
Ketika orang itu
mendengar alasan Musashi ada di sana, ia tertawa terpingkal-pingkal. Karena
sama sekali tidak merasa lucu, Musashi tidak berusaha menyembunyikan amarahnya.
Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, orang tua itu berkata, "Tak bisa kau
jalan sendirian di jalan ini. Kau terlalu polos. Apa kau percaya betul,
hama-hama jalanan itu akan menghabiskan waktu seharian buat mencari
teman-temanmu? Kalau kau bayar mereka di muka, kau takkan melihat mereka
lagi."
"Maksud Bapak,
mereka cuma pura-pura waktu membentuk kelompok-kelompok dan berangkat
itu?"
Kim wajah si perawat
kuda berubah bersimpati. "Kau sudah ditipu!" katanya. "Aku
dengar ada sekitar sepuluh orang gelandangan minum-minum dan berjudi di balik
bukit sebelah sana hari ini. Kemungkinan besar mereka itulah orangnya. Hal-hal
ini sering terjadi." Kemudian ia menyampaikan beberapa cerita tentang
musafir-musafir yang ditipu uangnya oleh pekerja-pekerja bejat itu, tetapi ia
menyimpulkan dengan lunak, "Yah, demikianlah dunia ini. Lebih baik mulai
sekarang kau lebih berhati-hati."
Setelah memberikan
nasihat bijaksana itu, ia mengambil ember kosong dan pergi meninggalkan Musashi
yang merasa dirinya tolol. "Sudah terlambat melakukan sesuatu
sekarang," keluhnya. "Aku membanggakan diri karena mampu tidak memberikan
peluang sedikit pun pada lawan, tapi sekarang aku dapat ditipu oleh gerombolan
pekerja buta huruf." Bukti tentang mudahnya dirinya ditipu orang itu
datang seperti tamparan pada wajahnya. Kekurangan-kekurangan seperti itu dapat
dengan mudah mengeruhkan latihannya dalam Seni Perang. Bagaimana mungkin orang
yang demikian mudah ditipu oleh orang-orang yang lebih rendah darinya dapat
secara efektif memimpin pasukan? Sambil naik pelan-pelan menuju gerbang. ia
memutuskan untuk mencurahkan lebih banyak perhatian pada cara-cara yang dipakai
dunia sekitarnya.
Salah seorang pekerja
menoleh ke sana kemari dalam gelap. Begitu melihat Musashi, ia memanggilnya dan
berlari turun tangga.
"Saya senang
dapat ketemu Anda," katanya. "Saya sudah dapat berita tentang seorang
dari orang-orang yang Anda cari itu."
"Oh,"
Musashi keheranan, karena baru saja ia memarahi dirinya atas kenaifannya. Ia
senang mengetahui bahwa tidak semua orang di dunia ini penipu. "Yang kau
maksud seorang dari mereka itu anak lelaki atau perempuan?"
"Anak lelaki.
Dia bersama Daizo dari Narai, dan saya sudah tahu di mana Daizo berada, atau
setidak-tidaknya ke mana dia pergi."
"Ke mana?"
"Saya kira
orang-orang yang bersama saya tadi pagi takkan memenuhi janji mereka. Mereka
sudah memutuskan menghabiskan waktu hari ini dengan berjudi, tapi saya kasihan
pada Anda. Saya pergi dari Shiojiri ke Seba, dan bertanya pada semua orang yang
saya temui. Tak seorang pun tahu tentang gadis itu, tapi saya dengar dari
pelayan di penginapan tempat saya makan bahwa Daizo lewat Suwa sekitar tengah
hari ini, dalam perjalanan ke Celah Wada. Gadis pelayan itu mengatakan Daizo
bersama seorang anak lelaki."
Dengan rasa malu,
kata Musashi sedikit resmi, "Terima kasih kau sudi memberitahukan hal itu
padaku." Ia keluarkan kantong uangnya, walaupur. ia tahu isinya hanya
cukup untuk makannya sendiri. Sesaat ia ragu-ragu, tapi karena pikirnya
kejujuran tak boleh tidak mendapat ganjaran, maka ia serahkan uang terakhir
miliknya kepada pekerja itu.
Senang mendapat imbalan,
orang itu mengangkat uang tersebut ke dahinya sebagai tanda terima kasih, dan
pergi dengan gembira.
Melihat uangnya
dibawa pergi, Musashi merasa telah menggunakan uang itu untuk tujuan yang lebih
berharga daripada sekadar pengisi perut. Barangkali sesudah mengetahui bahwa
tingkah laku yang benar dapat mendatangkan keuntungan, hari berikutnya pekerja
itu akan mau menolong musafir lain lagi.
Hari sudah gelap,
tapi Musashi memutuskan untuk tidak tidur di bawah tepian atap rumah petani,
melainkan akan melintasi Celah Wada. Kalau sepanjang malam ia berjalan terus,
ia dapat menyusul Daizo. Ia berangkatdan sekali lagi ia senang bahwa pada malam
hari ia berada di jalan sepi. Ada sesuatu yang mengimbau nalurinya dalam
suasana itu. Seraya menghitung langkah kakinya dan mendengarkan suara langit di
atas sana, ia melupakan segalanya dan bergirang atas kehadirannya di dunia ini.
Apabila dikelilingi kumpulan orang yang sibuk, ia sering kali merasa sedih dan
terpencil, tapi sekarang ia merasa hidup dan ringan hati. Ia dapat memikirkan
hidup ini dengan kepala dingin dan objektif, bahkan dapat menyanjung dirinya
sebagaimana ia menyanjung orang yang tak dikenalnya sama sekali.
Sebentar setelah
tengah malam, renungannya terganggu oleh seberkas cahaya di kejauhan. Sesudah
menyeberangi jembatan Sungai Ochiai, ia mendaki terus dengan mantap. Satu celah
sudah dilaluinya. Celah berikutnya yaitu Celah Wada, membayang di langit
berbintang di atasnya, dan di sebelahnya terdapat penyeberangan yang lebih
tinggi lagi, di Daimon. Cahaya itu terdapat di dalam sebuah lubang yang sejajar
letaknya dengan kedua punggung pegunungan itu.
"Kelihatannya
seperti api unggun," pikirnya, dan untuk pertama kali selama berjam-jam
itu, perutnya terasa lapar. "Barangkali di sana aku bisa mengeringkan
lengan baju dan makan sedikit bubur atau yang lain."
Ketika sudah dekat,
ternyata cahaya itu bukan dari api di luar rumah, melainkan dari warung teh
kecil di pinggir jalan. Ada empat-lima pancang untuk menambatkan kuda, tapi tak
ada kuda. Rasanya mustahil ada orang di tempat seperti itu, malam-malam begini,
namun ia mendengar suarasuara serak bercampur kemeretak bunyi api. Beberapa
menit lamanya ia berdiri ragu-ragu di bawah tepian atap. Kalau rumah itu gubuk
petani atau penebang kayu, ia tak akan ragu minta tempat berteduh atau sisa
makanan, tapi ini rumah usaha.
Bau makanan
membuatnya lebih lapar daripada sebelumnya. Asap hangat menyelimutinya. Ia tak
dapat lagi meninggalkan tempat itu. "Yah, kalau kujelaskan keadaanku,
barangkali mereka mau menerima patung untuk pembayaran." Yang disebutnya
"patung" itu adalah patung Kannon yang telah dipahatnya dari kayu
prem tua.
Begitu ia masuk
warung, para tamu terkejut dan berhenti berbicara. Bagian dalam warung itu
sederhana, lantainya dari tanah, dengan perapian dan kerudung api di tengah. Di
sekitarnya berkerumun tiga orang lelaki yang duduk di bangku. Di dalam kuali
sedang direbus daging babi hutan campur lobak besar. Sebuah guci sake
dihangatkan di dalam abu. Tukang warung berdiri membelakangi mereka, mengiris-iris
acar sambil mengobrol dengan ramahnya.
"Mau apa?"
tanya salah seorang tamu, seorang lelaki bermata tajam bercambang panjang.
Musashi terlampau
lapar, hingga tak mendengar. Ia lewati orang-orang itu, dan sambil duduk di
ujung bangku, katanya pada tukang warung, "Kasih saya makan, cepat. Nasi
acar cukuplah. Apa saja."
Orang itu menuangkan
sedikit kuah ke nasi dingin di mangkuk, dan meletakkannya di depan Musashi.
"Anda mau lewat Celah malam ini?" tanyanya.
"Ya," gumam
Musashi, yang waktu itu sudah mengambil supit dan sudah akan menyerbu makanan
dengan bergairah. Sesudah dua kali menyuap. ia bertanya, "Barangkali Bapak
tahu, apa orang yang namanya Daizo dari Narai ada lewat tempat ini sore tadi,
menuju Celah? Dia bersama seorang anak lelaki."
"Menyesal sekali
saya tak dapat membantu Anda." Kemudian kata si pemilik warung pada
orang-orang yang lain, "Toji, apa kau atau orangorangmu melihat orang tua
jalan dengan anak lelaki?"
Sesudah saling
berbisik, ketiga orang itu menjawab tidak dan serempak menggeleng.
Sesudah kenyang dan
merasa hangat oleh makanan panas itu, Musashi mulai kuatir memikirkan
pembayarannya. Ia ragu-ragu bicara dengan tukang warung, karena hadirnya
orang-orang lain, tapi sekejap pun ia tidak merasa sedang mengemis. Cuma
menurutnya kebutuhan perutnya lebih penting untuk diatasi terlebih dahulu. Ia
memutuskan bahwa jika tukang warung tidak mau menerima patungnya, ia akan
menawarkan belatinya.
"Saya minta
maaf," katanya memulai, "karena saya sama sekali tak punya uang
tunai. Tapi harap maklum, saya bukannya minta makan tanpa bayar. Saya punya
barang yang dapat saya tawarkan, kalau Bapak mau menerimanya."
Di luar dugaan, sikap
tukang warung ternyata ramah. Jawabannya, "Saya kira bisa saja. Apa
barangnya?"
"Patung
Kannon."
"Patung
benar-benar?"
"Ah, tapi bukan
karya pemahat terkenal—cuma hasil pahatan sendiri. Harganya takkan cukup buat
semangkuk nasi, tapi biar bagaimana
silakan Bapak lihat dulu."
Ketika ia mulai
melepas tali-tali tas yang bertahun-tahun dibawanya itu ketiga orang lain
meninggalkan minuman mereka dan memusatkan perhatian kepada tangan Musashi.
Disamping patung, tas itu berisi juga sepasang pakaian dalam untuk ganti, dan
perangkat alat tulis. Begitu dikosongkan isinya, ada barang yang jatuh ke tanah
dengan bunyi mendenting. Tamutamu lain menahan napas, karena barang yang
tergeletak di kaki Musashi itu ternyata kantong uang, dan dari kantong itu
keluar beberapa mata uang emas dan perak. Musashi sendiri membelalak heran tanpa
kata.
"Oh, dari mana
ini datangnya?" tanyanya heran.
Orang-orang lain
menjulurkan leher untuk melongok harta kekayaannya. Musashi merasa ada barang
lain lagi dalam tas itu, dan ketika dikeluarkannya ternyata sepucuk surat.
Surat berisi satu baris kalimat, bunyinya :
Untuk sementara, ini
dapat menutup biaya perjalananmu, dan ditandatangani, Geki.
Mengertilah Musashi
apa artinya. Itulah cara Geki berusaha membeli jasanya, demi Yang Dipertuan
Date Masamune dari Sendai Benteng Aoba. Kemungkinan bakal terjadinya benturan
terakhir antara Keluarga Tokugawa dan Keluarga Toyotomi memang semakin besar,
hingga para daimyo besar itu semakin merasakan pentingnya memperoleh pesilat
cakap dalam jumlah besar. Cara yang disenangi dalam persaingan tajam merebut
samurai yang benar-benar terkemuka adalah mencoba memaksa mereka berutang,
walaupun hanya dalam jumlah kecil, dan kemudian memperoleh persetujuan
diam-diam untuk mengadakan kerja sama di masa mendatang.
Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa Toyotomi Hideyori memberikan uang dalam jumlah besar
pada Goto Matabei dan Sanada Yukimura. Walaupun Yukimura berpura-pura
mengundurkan diri di Gunung Kudo, sekian banyak emas perak dikirimkan kepadanya
dari Benteng Osaka, hingga Ieyasu melancarkan pemeriksaan besar-besaran. Karena
kebutuhan pribadi seorang jenderal yang sudah mengundurkan diri di pertapaan
itu sederhana sekali, pastilah uang itu kemudian diteruskan pada beberapa ribu
ronin miskin yang kerjanya menghabis-habiskan waktu di kota-kota besar dan
kecil yang berdekatan, sambil menanti pecahnya permusuhan.
Menemukan seorang
pesilat cakap seperti diyakini oleh Geki itu, dan memikatnya untuk bekerja pada
tuannya, adalah satu di antara jasa paling berharga yang dapat dilakukan
seorang abdi. Dan justru karena alasan ini, Musashi tak punya minat terhadap
uang Geki. Menggunakan uang itu berarti menanggung kewajiban yang tak
diinginkannya. Dalam beberapa detik saja ia sudah memutuskan untuk mengabaikan
pemberian itu, dan berpura-pura bahwa uang itu tidak ada.
Tanpa berkata-kata,
ia membungkuk memungut kantong uang itu dan memasukkannya kembali ke dalam
tasnya. Kepada tukang warung ia berkata, seakan-akan tidak terjadi sesuatu,
"Baiklah, akan saya tinggalkan patung ini buat pembayaran."
Tapi orang itu
menolak keras. "Saya tak bisa menerimanya."
"Lho, apa
salahnya patung ini? Saya memang tidak menamakan diri pemahat, tapi..."
"Oh, patung ini
tidak jelek, dan saya mau saja menerimanya, kalau Tuan tak punya uang seperti
Tuan bilang tadi, tapi nyatanya Tuan punya banyak uang. Kenapa pula Tuan
lempar-lemparkan uang tunai Tuan hingga orang banyak melihatnya, kalau Tuan
ingin dikira sudah bangkrut?"
Tamu-tamu lain pun
jadi sadar dan tergetar melihat emas itu, dan mereka mengangguk-anggukkan
kepala sebagai tanda setuju. Karena sadar akan sia-sia mengatakan uang itu
bukan uangnya, Musashi mengeluarkan sekeping uang perak dan menyerahkannya
kepada tukang warung.
"Ini terlalu
banyak, Tuan," keluh tukang warung. "Apa tak ada uang kecil?"
Pengamatan sepintas
menunjukkan bahwa keping-keping uang dalam kantong Musashi itu beberapa macam
nilainya, tapi tak ada yang kecil. "Tak usah kuatir soal
kembaliannya," kata Musashi. "Bapak boleh ambil."
Karena tak dapat lagi
berpegang pada khayal bahwa uang itu tidak ada, Musashi memasukkan tempat uang
itu ke dalam kantong bagian perut untuk keamanannya.
Kemudian ia panggul
bungkusannya dan menghilang dalam gelap, sekalipun ia banyak mendengar desakan
untuk tinggal lebih lama. Karena sudah makan dan pulih kesehatannya, menurut
perhitungannya ia dapat sampai di Celah Daimon waktu matahari terbit. Siang
hari ia dapat melihat di sekitarnya bunga-bunga dataran tinggi dalam jumlah
melimpah-rhodo dendron, gentian, krisan liar-tapi pada malam hari, di tengah
lautan luas kegelapan itu, yang tampak olehnya hanyalah kabut seperti kapas
yang bergayut ke tanah.
Baru sekitar dua mil
dari warung teh itu, seorang dari orang-orang yang dilihatnya di warung berseru
kepadanya, "Tunggu! Ada yang Anda lupa." Sesudah dekat Musashi, orang
itu berkata sambil terengah-engah, "Minta ampun, jalan Anda cepat sekali!
Sesudah Anda pergi, saya temukan uang ini, dan saya bawa kemari. Tentunya milik
Anda."
Ia keluarkan keping
uang perak yang ditolak oleh Musashi, dengan mengatakan uang itu pasti bukan
uangnya. Tapi orang itu berkeras mengatakan uang itu milik Musashi. "Uang
ini tentunya menggelinding ke sudut waktu kantong uang Anda jatuh."
Karena memang tidak
menghitung uang itu, Musashi tidak dapat membuktikan bahwa orang itu keliru.
Disertai ucapan terima kasih, ia terima uang perak itu dan ia masukkan ke dalam
lengan kimononya. Namun, karena alasan tertentu, ia sama sekali tidak tergerak
oleh pameran kejujuran ini.
Walaupun tugas orang
itu sudah selesai, masih juga ia berjalan di samping Musashi dan mulai bicara
sedikit.
"Barangkali tak
boleh saya menanyakan ini, tapi apa Anda belajar main pedang pada guru
terkenal?"
"Tidak, saya
pakai gaya saya sendiri."
Jawaban Musashi yang
acuh tak acuh tidak membikin mundur orang itu. Ia menyatakan dirinya samurai
juga, dan tambahnya, "Tapi untuk sementara saya terpaksa tinggal di
pegunungan ini."
"Begitu?"
"Ya. Dua teman
saya itu juga. Kami bertiga samurai. Sekarang kami hidup dari menebang pohon
dan mengumpulkan ramuan. Kami ini seperti naga yang menanti saat baik di sebuah
kolam, seperti kata pepatah. Tak bisa saya berpura-pura menjadi Sano Genzaemon,
tapi kalau tiba waktunya nanti, saya akan mengambil pedang tua saya, mengenakan
ketopong usang itu, dan pergi berperang demi seorang daimyo terkenal. Sekarang
sava menunggu datangnya waktu itu!"
"Anda berpihak
pada Osaka atau Edo?"
"Bukan soal.
Yang penting, saya berada pada salah satu pihak. Kalau tidak, bisa habis waktu
saya buat berkeliaran di sini."
Musashi tertawa
sopan. "Terima kasih atas uang ini."
Kemudian, dalam usaha
meninggalkan orang itu, ia mulai membuat langkah-langkah panjang dan cepat.
Tapi orang itu tetap juga ikut di sampingnya. Langkah yang diambilnya sama
dengan langkah Musashi. Ia terus berkeras berada di sisi kiri Musashi, suatu
gangguan yang pasti dianggap mencurigakan oleh pemain pedang mana pun yang
berpengalaman. Namun Musashi tidak berbuat apa-apa untuk melindungi sisi
kirinya, agar tidak memperlihatkan sikap waspada. Akibatnya sisi itu terbuka
lebar.
Orang itu semakin
bersahabat sikapnya. "Boleh saya memberi saran? Kalau Anda mau, bagaimana
kalau menginap di tempat kami? Sesudah Celah Wada, Anda masih akan melewati
Daimon. Anda bisa meneruskan jalan ke sana pagi hari, tapi jalannya terjal
sekali-sukar sekali untuk orang yang tidak biasa dengan daerah ini."
"Terima kasih.
Saya terima undangan itu."
"Ya, tentu,
tentu. Cuma, kami tak dapat menawarkan apa-apa dalam bentuk makanan atau
hiburan."
"Tapi saya
senang dapat berbaring. Di mana rumah Anda?"
"Sekitar
setengah mil ke kiri, dan sedikit ke atas."
"Berarti Anda
betul-betul tinggal di pedalaman gunung, ya?"
"Seperti saya
katakan tadi, sampai datangnya waktu yang baik, kami tinggal bersembunyi,
mengumpulkan ramuan, berburu, yah, melakukan halhal seperti itu. Saya tinggal
serumah dengan dua yang lain tadi."
"Kebetulan Anda
menyebutkannya, tapi bagaimana dengan mereka itu?"
"Mereka
barangkali masih minum. Tiap kali kami pergi ke sana, mereka mabuk, dan
akhirnya saya yang mengangkat mereka pulang. Malam ini saya putuskan
meninggalkan saja mereka.... Awas! Ada turunan tajam di situ-di bawah sana ada
sungai. Bahaya sekali."
"Apa kita mesti
menyeberang sungai?"
"Ya. Di sini
sempit dan ada titian balok di bawah kita ini. Sesudah menyeberang, kita
membelok ke kanan dan mendaki menyusuri tepi sungai."
Musashi merasa orang
itu sudah berhenti jalan, tapi ia tidak menoleh ke belakang. Ia temukan balok
itu, dan mulai menyeberang. Sesaat kemudian, orang itu melompat ke depan dan
mengangkat ujung balok untuk melontarkan Musashi ke dalam sungai.
"Apa
maksudmu?"
Teriakan itu datang
dari bawah, tapi orang itu menengadah ke atas dengan heran. Karena sudah tahu
terlebih dahulu gerak pengkhianatan orang itu, Musashi sempat melompat dari
balok dan mendarat dengan ringannya di atas batu besar. Penyerangnya yang
terkejut, menjatuhkan balok ke dalam sungai. Sebelum tirai air yang muncrat
jatuh kembali ke tanah, Musashi sudah melompat kembali ke tepi sungai dengan pedang
terhunus, dan memotong penyerangnya. Semua itu terjadi demikian cepat, hingga
orang itu bahkan tak melihat Musashi menarik pedang.
Mayat itu
menyentak-nyentak sesaat-dua saat, kemudian diam. Musashi bahkan tak hendak
memandangnya. Ia kini mengambil jurus yang baru, sebagai persiapan atas
serangan berikut, karena ia yakin akan ada serangan lagi. Sementara ia
memantapkan jurusnya, rambutnya berdiri seperti garuda.
Sunyi sesaat,
kemudian terdengar bunyi berdebam yang cukup keras, yang dapat menghancurkan
ngarai itu. Tembakan bedil itu rupanya datang dari suatu tempat di pinggir
lain. Musashi mengelak, dan peluru yang jitu arahnya itu mendesis melintasi
ruangan yang tadi ditempatinya, dan mengubur diri dalam tanggul di belakangnya.
Sambil menjatuhkan diri seakan terluka, Musashi memandang ke seberang. Ia
melihat bunga-bunga api merah beterbangan di udara, seperti kunang-kunang.
Terlihat olehnya dua sosok tubuh yang merangkak hati-hati ke depan.
0 komentar:
Posting Komentar