Rabu, 12 Juli 2017



Pemberian Uang

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







PIKIRAN pertama yang menggugah Musashi adalah tentang Otsu dan Jotaro. Walaupun ia dan Geki bercakap-cakap ramah sambil makan pagi, masalah bagaimana menemukan mereka berdua itulah yang paling menyita pikirannya. Keluar dari penginapan, tanpa disadarinya ia perhatikan betul-betul setiap wajah yang dijumpainya di jalan raya. Sekali-dua kali dikiranya ia melihat Otsu di depan, tapi ternyata ia keliru.

"Anda rupanya mencari seseorang," kata Geki.

"Memang. Teman-teman saya terpisah dari saya di jalan, dan sekarang saya kuatir dengan nasib mereka. Saya pikir, lebih baik saya melepaskan keinginan pergi ke Edo, dan mencari jalan lain."

Dengan kecewa, kata Geki, "Sayang sekali. Saya ingin sekali berjalan bersama Anda. Saya harap Anda tidak mengubah keinginan mengunjungi Sendai, gara-gara saya bicara terlalu banyak semalam."

Sikap Geki yang terus terang dan jantan itu merangsang Musashi. "Anda baik sekali," katanya. "Saya harap saya punya kesempatan nanti."

"Saya ingin Anda menyaksikan sendiri, bagaimana samurai kami membawa diri. Dan kalau Anda tidak tertarik soal itu, nah, anggap saja itu sekadar tamasya. Anda dapat mendengarkan lagu-lagu setempat, dan mengunjungi Matsushima. Tempat itu terkenal pemandangannya."

Geki minta diri, dan lekas-lekas menuju Celah Wada.

Musashi membalikkan badan dan kembali ke persimpangan Nakasendo, pangkal jalan raya Koshu. Selagi ia berdiri di sana, merencanakan apa yang hendak diperbuatnya, segerombolan pekerja harian dan Suwa mendatanginya. Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka kuli, tukang kuda, atau pemikul joli yang bisa dipergunakan orang di daerah itu. Mereka datang pelan-pelan dengan tangan terlipat, kelihatannya seperti segerombolan kepiting.

Mata mereka dengan kasar menyelidik tubuh Musashi. Seorang dari mereka berkata, "Pak, kelihatannya Anda sedang mencari seseorang. Seorang wanita cantik atau pesuruh?"

Musashi menggelengkan kepala, mengusir mereka dengan isyarat agak meremehkan, lalu menyingkir. Tak tahu ia, apakah akan pergi ke timur atau barat, tapi akhirnya ia putuskan untuk menghabiskan waktu hari itu dengan melihat-lihat apa yang dapat ia temukan di sekitar tempat itu. Kalau pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil, selanjutnya ia dapat pergi ke ibu kota shogun dengan hati bersih.

Salah seorang pekerja menyela pikirannya. "Kalau memang mencari seseorang, kami dapat membantu," katanya. "Itu lebih baik daripada berdiridiri di bawah sinar matahari. Bagaimana tampang orangnya?"

Yang lain menambahkan, "Kami bahkan tidak menentukan tarif jasa kami. Kami serahkan pada Tuan."

Akhirnya Musashi mengalah. Ia bahkan melukiskan Otsu dan Jotaro secara terperinci.

Sesudah berunding dengan teman-temannya, orang pertama tadi mengatakan, "Kami belum pernah melihat mereka, tapi kalau kami membentuk kelompok-kelompok, kami yakin akan menemukan mereka. Penculik-penculik itu tentunya masuk salah satu dari tiga jalan antara Suwa dan Shiojiri. Anda tak kenal daerah ini, tapi kami kenal."

Musashi tidak begitu optimis tentang kemungkinan berhasil di medan yang demikian sukar, tapi katanya, "Baik, pergilah cari mereka."

"Jadi," teriak orang-orang itu.

Sekali lagi mereka berkerumun, berpura-pura sedang memutuskan bagian pekerjaan masing-masing. Kemudian pimpinan mereka maju ke depan dan menggosok-gosok tangan dengan sikap hormat. "Cuma masih ada satu soal kecil, Pak. Begini... saya kurang suka menyebutkan ini, tapi kami ini cuma pekerja tak berduit. Tak ada di antara kami yang sudah makan hari ini. Apa tak dapat Anda memberi persekot buat setengah hari pembayaran, dengan sedikit tambahan? Saya jamin akan menemukan teman-teman Anda itu sebelum matahari tenggelam."

"Tentu. Saya memang mau memberi."

Orang itu menyebut suatu jumlah, tapi sesudah Musashi menghitung uangnya, ternyata jumlah itu lebih tinggi dari uang yang dimilikinya. Musashi bukan orang yang tidak hirau dengan nilai uang, tapi karena ia hidup sendirian, tanpa tanggungan, sikapnya terhadap uang boleh dikata masa bodoh. Teman-teman dan orang-orang yang kagum padanya kadang-kadang menyumbangnya untuk perjalanan, dan ada kuil-kuil yang sering dapat memberikan penginapan gratis kepadanya. Pada kesempatan lain, ia dapat tidur di udara terbuka, atau pergi tanpa mesti makan secara normal. Dengan berbagai cara, ia selalu dapat mengatasi soal itu.

Dalam perjalanan ini, ia telah menyerahkan soal uang kepada Otsu yang mendapat hadiah besar berupa uang perjalanan dari Yang Dipertuan Karasumaru. Otsu-lah yang telah membayar macam-macam rekening dan memberinya uang saku tiap pagi, seperti biasa dilakukan seorang istri.

Sesudah menyisihkan sedikit untuk diri sendiri, Musashi pun membagikan sisa uangnya pada orang-orang itu. Walaupun sebetulnya mereka mengharapkan jumlah yang lebih besar, mereka setuju melakukan pencarian sebagai "pertolongan khusus".

"Nantikan kami dekat gerbang bertingkat dua di Tempat Suci Suwa Myojin," nasihat si juru bicara. "Petang nanti, kami kembali membawa berita." Dan mereka berangkat ke beberapa jurusan.

Musashi tidak membuang-buang waktu percuma, tapi pergi melihat Benteng Takashima dan kota Shimosuwa, juga berhenti di sana-sini untuk mencatat ciri-ciri topografi setempat, yang mungkin di masa depan ada gunanya, dan memperhatikan cara-cara pengairan di sana. Beberapa kali ia bertanya apakah di daerah itu ada ahli militer terkemuka, tapi tak ada jawaban menarik yang didengarnya.

Ketika matahari semakin terbenam, ia pergi ke tempat suci dan duduk di tangga batu yang menuju gerbang bertingkat dua. Badannya lelah tak bersemangat. Tak seorang pun memperlihatkan hidung, karena itu ia berjalan mengitari pekarangan kecil yang luas itu. Namun ketika kembali di pintu gerbang, tetap tidak ada orang.

Bunyi kuda yang mengentak-entakan kaki ke tanah mulai menekan sarafnya, walaupun bunyi itu tidak keras. Ia turun tangga dan tiba di sebuah gubuk yang hanya remang-remang kelihatan akibat tertutup pepohonan. Seorang perawat kuda tua sedang memberi makan kuda putih suci milik tempat suci.

Orang itu menatap Musashi dengan sikap curiga. "Ada apa?" tanyanya kasar "Apa urusanmu dengan kuil ini?"

Ketika orang itu mendengar alasan Musashi ada di sana, ia tertawa terpingkal-pingkal. Karena sama sekali tidak merasa lucu, Musashi tidak berusaha menyembunyikan amarahnya. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, orang tua itu berkata, "Tak bisa kau jalan sendirian di jalan ini. Kau terlalu polos. Apa kau percaya betul, hama-hama jalanan itu akan menghabiskan waktu seharian buat mencari teman-temanmu? Kalau kau bayar mereka di muka, kau takkan melihat mereka lagi."

"Maksud Bapak, mereka cuma pura-pura waktu membentuk kelompok-kelompok dan berangkat itu?"

Kim wajah si perawat kuda berubah bersimpati. "Kau sudah ditipu!" katanya. "Aku dengar ada sekitar sepuluh orang gelandangan minum-minum dan berjudi di balik bukit sebelah sana hari ini. Kemungkinan besar mereka itulah orangnya. Hal-hal ini sering terjadi." Kemudian ia menyampaikan beberapa cerita tentang musafir-musafir yang ditipu uangnya oleh pekerja-pekerja bejat itu, tetapi ia menyimpulkan dengan lunak, "Yah, demikianlah dunia ini. Lebih baik mulai sekarang kau lebih berhati-hati."

Setelah memberikan nasihat bijaksana itu, ia mengambil ember kosong dan pergi meninggalkan Musashi yang merasa dirinya tolol. "Sudah terlambat melakukan sesuatu sekarang," keluhnya. "Aku membanggakan diri karena mampu tidak memberikan peluang sedikit pun pada lawan, tapi sekarang aku dapat ditipu oleh gerombolan pekerja buta huruf." Bukti tentang mudahnya dirinya ditipu orang itu datang seperti tamparan pada wajahnya. Kekurangan-kekurangan seperti itu dapat dengan mudah mengeruhkan latihannya dalam Seni Perang. Bagaimana mungkin orang yang demikian mudah ditipu oleh orang-orang yang lebih rendah darinya dapat secara efektif memimpin pasukan? Sambil naik pelan-pelan menuju gerbang. ia memutuskan untuk mencurahkan lebih banyak perhatian pada cara-cara yang dipakai dunia sekitarnya.

Salah seorang pekerja menoleh ke sana kemari dalam gelap. Begitu melihat Musashi, ia memanggilnya dan berlari turun tangga.

"Saya senang dapat ketemu Anda," katanya. "Saya sudah dapat berita tentang seorang dari orang-orang yang Anda cari itu."

"Oh," Musashi keheranan, karena baru saja ia memarahi dirinya atas kenaifannya. Ia senang mengetahui bahwa tidak semua orang di dunia ini penipu. "Yang kau maksud seorang dari mereka itu anak lelaki atau perempuan?"

"Anak lelaki. Dia bersama Daizo dari Narai, dan saya sudah tahu di mana Daizo berada, atau setidak-tidaknya ke mana dia pergi."

"Ke mana?"

"Saya kira orang-orang yang bersama saya tadi pagi takkan memenuhi janji mereka. Mereka sudah memutuskan menghabiskan waktu hari ini dengan berjudi, tapi saya kasihan pada Anda. Saya pergi dari Shiojiri ke Seba, dan bertanya pada semua orang yang saya temui. Tak seorang pun tahu tentang gadis itu, tapi saya dengar dari pelayan di penginapan tempat saya makan bahwa Daizo lewat Suwa sekitar tengah hari ini, dalam perjalanan ke Celah Wada. Gadis pelayan itu mengatakan Daizo bersama seorang anak lelaki."

Dengan rasa malu, kata Musashi sedikit resmi, "Terima kasih kau sudi memberitahukan hal itu padaku." Ia keluarkan kantong uangnya, walaupur. ia tahu isinya hanya cukup untuk makannya sendiri. Sesaat ia ragu-ragu, tapi karena pikirnya kejujuran tak boleh tidak mendapat ganjaran, maka ia serahkan uang terakhir miliknya kepada pekerja itu.

Senang mendapat imbalan, orang itu mengangkat uang tersebut ke dahinya sebagai tanda terima kasih, dan pergi dengan gembira.

Melihat uangnya dibawa pergi, Musashi merasa telah menggunakan uang itu untuk tujuan yang lebih berharga daripada sekadar pengisi perut. Barangkali sesudah mengetahui bahwa tingkah laku yang benar dapat mendatangkan keuntungan, hari berikutnya pekerja itu akan mau menolong musafir lain lagi.

Hari sudah gelap, tapi Musashi memutuskan untuk tidak tidur di bawah tepian atap rumah petani, melainkan akan melintasi Celah Wada. Kalau sepanjang malam ia berjalan terus, ia dapat menyusul Daizo. Ia berangkatdan sekali lagi ia senang bahwa pada malam hari ia berada di jalan sepi. Ada sesuatu yang mengimbau nalurinya dalam suasana itu. Seraya menghitung langkah kakinya dan mendengarkan suara langit di atas sana, ia melupakan segalanya dan bergirang atas kehadirannya di dunia ini. Apabila dikelilingi kumpulan orang yang sibuk, ia sering kali merasa sedih dan terpencil, tapi sekarang ia merasa hidup dan ringan hati. Ia dapat memikirkan hidup ini dengan kepala dingin dan objektif, bahkan dapat menyanjung dirinya sebagaimana ia menyanjung orang yang tak dikenalnya sama sekali.

Sebentar setelah tengah malam, renungannya terganggu oleh seberkas cahaya di kejauhan. Sesudah menyeberangi jembatan Sungai Ochiai, ia mendaki terus dengan mantap. Satu celah sudah dilaluinya. Celah berikutnya yaitu Celah Wada, membayang di langit berbintang di atasnya, dan di sebelahnya terdapat penyeberangan yang lebih tinggi lagi, di Daimon. Cahaya itu terdapat di dalam sebuah lubang yang sejajar letaknya dengan kedua punggung pegunungan itu.

"Kelihatannya seperti api unggun," pikirnya, dan untuk pertama kali selama berjam-jam itu, perutnya terasa lapar. "Barangkali di sana aku bisa mengeringkan lengan baju dan makan sedikit bubur atau yang lain."

Ketika sudah dekat, ternyata cahaya itu bukan dari api di luar rumah, melainkan dari warung teh kecil di pinggir jalan. Ada empat-lima pancang untuk menambatkan kuda, tapi tak ada kuda. Rasanya mustahil ada orang di tempat seperti itu, malam-malam begini, namun ia mendengar suarasuara serak bercampur kemeretak bunyi api. Beberapa menit lamanya ia berdiri ragu-ragu di bawah tepian atap. Kalau rumah itu gubuk petani atau penebang kayu, ia tak akan ragu minta tempat berteduh atau sisa makanan, tapi ini rumah usaha.

Bau makanan membuatnya lebih lapar daripada sebelumnya. Asap hangat menyelimutinya. Ia tak dapat lagi meninggalkan tempat itu. "Yah, kalau kujelaskan keadaanku, barangkali mereka mau menerima patung untuk pembayaran." Yang disebutnya "patung" itu adalah patung Kannon yang telah dipahatnya dari kayu prem tua.

Begitu ia masuk warung, para tamu terkejut dan berhenti berbicara. Bagian dalam warung itu sederhana, lantainya dari tanah, dengan perapian dan kerudung api di tengah. Di sekitarnya berkerumun tiga orang lelaki yang duduk di bangku. Di dalam kuali sedang direbus daging babi hutan campur lobak besar. Sebuah guci sake dihangatkan di dalam abu. Tukang warung berdiri membelakangi mereka, mengiris-iris acar sambil mengobrol dengan ramahnya.

"Mau apa?" tanya salah seorang tamu, seorang lelaki bermata tajam bercambang panjang.

Musashi terlampau lapar, hingga tak mendengar. Ia lewati orang-orang itu, dan sambil duduk di ujung bangku, katanya pada tukang warung, "Kasih saya makan, cepat. Nasi acar cukuplah. Apa saja."

Orang itu menuangkan sedikit kuah ke nasi dingin di mangkuk, dan meletakkannya di depan Musashi. "Anda mau lewat Celah malam ini?" tanyanya.

"Ya," gumam Musashi, yang waktu itu sudah mengambil supit dan sudah akan menyerbu makanan dengan bergairah. Sesudah dua kali menyuap. ia bertanya, "Barangkali Bapak tahu, apa orang yang namanya Daizo dari Narai ada lewat tempat ini sore tadi, menuju Celah? Dia bersama seorang anak lelaki."      

"Menyesal sekali saya tak dapat membantu Anda." Kemudian kata si pemilik warung pada orang-orang yang lain, "Toji, apa kau atau orangorangmu melihat orang tua jalan dengan anak lelaki?"

Sesudah saling berbisik, ketiga orang itu menjawab tidak dan serempak menggeleng.

Sesudah kenyang dan merasa hangat oleh makanan panas itu, Musashi mulai kuatir memikirkan pembayarannya. Ia ragu-ragu bicara dengan tukang warung, karena hadirnya orang-orang lain, tapi sekejap pun ia tidak merasa sedang mengemis. Cuma menurutnya kebutuhan perutnya lebih penting untuk diatasi terlebih dahulu. Ia memutuskan bahwa jika tukang warung tidak mau menerima patungnya, ia akan menawarkan belatinya.

"Saya minta maaf," katanya memulai, "karena saya sama sekali tak punya uang tunai. Tapi harap maklum, saya bukannya minta makan tanpa bayar. Saya punya barang yang dapat saya tawarkan, kalau Bapak mau menerimanya."

Di luar dugaan, sikap tukang warung ternyata ramah. Jawabannya, "Saya kira bisa saja. Apa barangnya?"

"Patung Kannon."

"Patung benar-benar?"

"Ah, tapi bukan karya pemahat terkenal—cuma hasil pahatan sendiri. Harganya takkan cukup buat semangkuk nasi, tapi biar bagaimana  silakan Bapak lihat dulu."

Ketika ia mulai melepas tali-tali tas yang bertahun-tahun dibawanya itu ketiga orang lain meninggalkan minuman mereka dan memusatkan perhatian kepada tangan Musashi. Disamping patung, tas itu berisi juga sepasang pakaian dalam untuk ganti, dan perangkat alat tulis. Begitu dikosongkan isinya, ada barang yang jatuh ke tanah dengan bunyi mendenting. Tamutamu lain menahan napas, karena barang yang tergeletak di kaki Musashi itu ternyata kantong uang, dan dari kantong itu keluar beberapa mata uang emas dan perak. Musashi sendiri membelalak heran tanpa kata.

"Oh, dari mana ini datangnya?" tanyanya heran.

Orang-orang lain menjulurkan leher untuk melongok harta kekayaannya. Musashi merasa ada barang lain lagi dalam tas itu, dan ketika dikeluarkannya ternyata sepucuk surat. Surat berisi satu baris kalimat, bunyinya :

Untuk sementara, ini dapat menutup biaya perjalananmu, dan ditandatangani, Geki.

Mengertilah Musashi apa artinya. Itulah cara Geki berusaha membeli jasanya, demi Yang Dipertuan Date Masamune dari Sendai Benteng Aoba. Kemungkinan bakal terjadinya benturan terakhir antara Keluarga Tokugawa dan Keluarga Toyotomi memang semakin besar, hingga para daimyo besar itu semakin merasakan pentingnya memperoleh pesilat cakap dalam jumlah besar. Cara yang disenangi dalam persaingan tajam merebut samurai yang benar-benar terkemuka adalah mencoba memaksa mereka berutang, walaupun hanya dalam jumlah kecil, dan kemudian memperoleh persetujuan diam-diam untuk mengadakan kerja sama di masa mendatang.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Toyotomi Hideyori memberikan uang dalam jumlah besar pada Goto Matabei dan Sanada Yukimura. Walaupun Yukimura berpura-pura mengundurkan diri di Gunung Kudo, sekian banyak emas perak dikirimkan kepadanya dari Benteng Osaka, hingga Ieyasu melancarkan pemeriksaan besar-besaran. Karena kebutuhan pribadi seorang jenderal yang sudah mengundurkan diri di pertapaan itu sederhana sekali, pastilah uang itu kemudian diteruskan pada beberapa ribu ronin miskin yang kerjanya menghabis-habiskan waktu di kota-kota besar dan kecil yang berdekatan, sambil menanti pecahnya permusuhan.

Menemukan seorang pesilat cakap seperti diyakini oleh Geki itu, dan memikatnya untuk bekerja pada tuannya, adalah satu di antara jasa paling berharga yang dapat dilakukan seorang abdi. Dan justru karena alasan ini, Musashi tak punya minat terhadap uang Geki. Menggunakan uang itu berarti menanggung kewajiban yang tak diinginkannya. Dalam beberapa detik saja ia sudah memutuskan untuk mengabaikan pemberian itu, dan berpura-pura bahwa uang itu tidak ada.

Tanpa berkata-kata, ia membungkuk memungut kantong uang itu dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Kepada tukang warung ia berkata, seakan-akan tidak terjadi sesuatu, "Baiklah, akan saya tinggalkan patung ini buat pembayaran."

Tapi orang itu menolak keras. "Saya tak bisa menerimanya."

"Lho, apa salahnya patung ini? Saya memang tidak menamakan diri pemahat, tapi..."

"Oh, patung ini tidak jelek, dan saya mau saja menerimanya, kalau Tuan tak punya uang seperti Tuan bilang tadi, tapi nyatanya Tuan punya banyak uang. Kenapa pula Tuan lempar-lemparkan uang tunai Tuan hingga orang banyak melihatnya, kalau Tuan ingin dikira sudah bangkrut?"

Tamu-tamu lain pun jadi sadar dan tergetar melihat emas itu, dan mereka mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda setuju. Karena sadar akan sia-sia mengatakan uang itu bukan uangnya, Musashi mengeluarkan sekeping uang perak dan menyerahkannya kepada tukang warung.

"Ini terlalu banyak, Tuan," keluh tukang warung. "Apa tak ada uang kecil?"

Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa keping-keping uang dalam kantong Musashi itu beberapa macam nilainya, tapi tak ada yang kecil. "Tak usah kuatir soal kembaliannya," kata Musashi. "Bapak boleh ambil."

Karena tak dapat lagi berpegang pada khayal bahwa uang itu tidak ada, Musashi memasukkan tempat uang itu ke dalam kantong bagian perut untuk keamanannya.

Kemudian ia panggul bungkusannya dan menghilang dalam gelap, sekalipun ia banyak mendengar desakan untuk tinggal lebih lama. Karena sudah makan dan pulih kesehatannya, menurut perhitungannya ia dapat sampai di Celah Daimon waktu matahari terbit. Siang hari ia dapat melihat di sekitarnya bunga-bunga dataran tinggi dalam jumlah melimpah-rhodo dendron, gentian, krisan liar-tapi pada malam hari, di tengah lautan luas kegelapan itu, yang tampak olehnya hanyalah kabut seperti kapas yang bergayut ke tanah.

Baru sekitar dua mil dari warung teh itu, seorang dari orang-orang yang dilihatnya di warung berseru kepadanya, "Tunggu! Ada yang Anda lupa." Sesudah dekat Musashi, orang itu berkata sambil terengah-engah, "Minta ampun, jalan Anda cepat sekali! Sesudah Anda pergi, saya temukan uang ini, dan saya bawa kemari. Tentunya milik Anda."

Ia keluarkan keping uang perak yang ditolak oleh Musashi, dengan mengatakan uang itu pasti bukan uangnya. Tapi orang itu berkeras mengatakan uang itu milik Musashi. "Uang ini tentunya menggelinding ke sudut waktu kantong uang Anda jatuh."

Karena memang tidak menghitung uang itu, Musashi tidak dapat membuktikan bahwa orang itu keliru. Disertai ucapan terima kasih, ia terima uang perak itu dan ia masukkan ke dalam lengan kimononya. Namun, karena alasan tertentu, ia sama sekali tidak tergerak oleh pameran kejujuran ini.

Walaupun tugas orang itu sudah selesai, masih juga ia berjalan di samping Musashi dan mulai bicara sedikit.

"Barangkali tak boleh saya menanyakan ini, tapi apa Anda belajar main pedang pada guru terkenal?"

"Tidak, saya pakai gaya saya sendiri."

Jawaban Musashi yang acuh tak acuh tidak membikin mundur orang itu. Ia menyatakan dirinya samurai juga, dan tambahnya, "Tapi untuk sementara saya terpaksa tinggal di pegunungan ini."

"Begitu?"

"Ya. Dua teman saya itu juga. Kami bertiga samurai. Sekarang kami hidup dari menebang pohon dan mengumpulkan ramuan. Kami ini seperti naga yang menanti saat baik di sebuah kolam, seperti kata pepatah. Tak bisa saya berpura-pura menjadi Sano Genzaemon, tapi kalau tiba waktunya nanti, saya akan mengambil pedang tua saya, mengenakan ketopong usang itu, dan pergi berperang demi seorang daimyo terkenal. Sekarang sava menunggu datangnya waktu itu!"

"Anda berpihak pada Osaka atau Edo?"

"Bukan soal. Yang penting, saya berada pada salah satu pihak. Kalau tidak, bisa habis waktu saya buat berkeliaran di sini."

Musashi tertawa sopan. "Terima kasih atas uang ini."

Kemudian, dalam usaha meninggalkan orang itu, ia mulai membuat langkah-langkah panjang dan cepat. Tapi orang itu tetap juga ikut di sampingnya. Langkah yang diambilnya sama dengan langkah Musashi. Ia terus berkeras berada di sisi kiri Musashi, suatu gangguan yang pasti dianggap mencurigakan oleh pemain pedang mana pun yang berpengalaman. Namun Musashi tidak berbuat apa-apa untuk melindungi sisi kirinya, agar tidak memperlihatkan sikap waspada. Akibatnya sisi itu terbuka lebar.

Orang itu semakin bersahabat sikapnya. "Boleh saya memberi saran? Kalau Anda mau, bagaimana kalau menginap di tempat kami? Sesudah Celah Wada, Anda masih akan melewati Daimon. Anda bisa meneruskan jalan ke sana pagi hari, tapi jalannya terjal sekali-sukar sekali untuk orang yang tidak biasa dengan daerah ini."

"Terima kasih. Saya terima undangan itu."

"Ya, tentu, tentu. Cuma, kami tak dapat menawarkan apa-apa dalam bentuk makanan atau hiburan."

"Tapi saya senang dapat berbaring. Di mana rumah Anda?"

"Sekitar setengah mil ke kiri, dan sedikit ke atas."

"Berarti Anda betul-betul tinggal di pedalaman gunung, ya?"

"Seperti saya katakan tadi, sampai datangnya waktu yang baik, kami tinggal bersembunyi, mengumpulkan ramuan, berburu, yah, melakukan halhal seperti itu. Saya tinggal serumah dengan dua yang lain tadi."

"Kebetulan Anda menyebutkannya, tapi bagaimana dengan mereka itu?"

"Mereka barangkali masih minum. Tiap kali kami pergi ke sana, mereka mabuk, dan akhirnya saya yang mengangkat mereka pulang. Malam ini saya putuskan meninggalkan saja mereka.... Awas! Ada turunan tajam di situ-di bawah sana ada sungai. Bahaya sekali."

"Apa kita mesti menyeberang sungai?"

"Ya. Di sini sempit dan ada titian balok di bawah kita ini. Sesudah menyeberang, kita membelok ke kanan dan mendaki menyusuri tepi sungai."

Musashi merasa orang itu sudah berhenti jalan, tapi ia tidak menoleh ke belakang. Ia temukan balok itu, dan mulai menyeberang. Sesaat kemudian, orang itu melompat ke depan dan mengangkat ujung balok untuk melontarkan Musashi ke dalam sungai.

"Apa maksudmu?"

Teriakan itu datang dari bawah, tapi orang itu menengadah ke atas dengan heran. Karena sudah tahu terlebih dahulu gerak pengkhianatan orang itu, Musashi sempat melompat dari balok dan mendarat dengan ringannya di atas batu besar. Penyerangnya yang terkejut, menjatuhkan balok ke dalam sungai. Sebelum tirai air yang muncrat jatuh kembali ke tanah, Musashi sudah melompat kembali ke tepi sungai dengan pedang terhunus, dan memotong penyerangnya. Semua itu terjadi demikian cepat, hingga orang itu bahkan tak melihat Musashi menarik pedang.

Mayat itu menyentak-nyentak sesaat-dua saat, kemudian diam. Musashi bahkan tak hendak memandangnya. Ia kini mengambil jurus yang baru, sebagai persiapan atas serangan berikut, karena ia yakin akan ada serangan lagi. Sementara ia memantapkan jurusnya, rambutnya berdiri seperti garuda.

Sunyi sesaat, kemudian terdengar bunyi berdebam yang cukup keras, yang dapat menghancurkan ngarai itu. Tembakan bedil itu rupanya datang dari suatu tempat di pinggir lain. Musashi mengelak, dan peluru yang jitu arahnya itu mendesis melintasi ruangan yang tadi ditempatinya, dan mengubur diri dalam tanggul di belakangnya. Sambil menjatuhkan diri seakan terluka, Musashi memandang ke seberang. Ia melihat bunga-bunga api merah beterbangan di udara, seperti kunang-kunang. Terlihat olehnya dua sosok tubuh yang merangkak hati-hati ke depan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP