Rabu, 12 Juli 2017




 Sakit Hati

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg

DALAM dua hari salju mencair dan angin musim semi yang hangat mendorong lautan kuncup daun untuk berkembang sepenuhnya. Matahari demikian panas, hingga pakaian katun pun tak enak dipakai.

Seorang biarawan muda Zen yang belakang kimononya terpercik lumpur setinggi pinggang berdiri di depan pintu masuk kediaman Yang Dipertuan Karasumaru. Karena seruan yang berulang-ulang diucapkannya tidak mendapat jawaban, ia berjalan memutar ke tempat kediaman para pelayan. Berjinjit ia mengintip lewat jendela.

"Ada apa, Pak Pendeta?" tanya Jotaro.

Biarawan itu memutar badan dan ternganga. Tak terbayang olehnya apa yang dikerjakan oleh anak telantar macam itu di halaman rumah Karasumaru Mitsuhiro.

"Kalau mau mengemis, Pendeta mesti memutar ke dapur," kata Jotaro.

"Aku di sini bukan mengemis," jawab si biarawan. Ia mengeluarkan kotak surat dari kimononya. "Aku dari Nansoji di Provinsi Izumi. Surat ini buat Takuan Soho, aku tahu dia tinggal di sini. Apa kau salah seorang suruhan di sini?"

"Tentu saja bukan. Aku tamu seperti Takuan."

"Oh, begitu? Kalau begitu, boleh aku minta tolong disampaikan kepada Takuan, aku ada di sini?"

"Tunggu di sini. Aku akan memanggilnya."

Jotaro melompat ke pendapa, tapi terinjak olehnya kaki tirai kayu, dan jeruk-jeruk keprok yang tersimpan dalam kimononya berjatuhan ke lantai. Jeruk-jeruk itu cepat dipungutnya kembali, lalu ia bergegas ke arah ruangan .ialam.

Beberapa menit kemudian, ia kembali dan memberitahu biarawan itu bahwa Takuan sedang pergi. "Orang bilang dia di Daitokuji."

"Kau tahu kapan dia kembali?"

"Mereka bilang sebentar lagi."

"Apa bisa aku menunggu tanpa mengganggu orang lain?"

Jotaro meloncat ke halaman dan mengantar biarawan itu langsung ke gudang. "Bapak bisa menunggu di sini," katanya. "Di sini Bapak takkan mengganggu orang lain."

Gudang itu penuh jerami, roda-roda kereta, tahi lembu, dan segala macam barang lain, tapi sebelum si pendeta sempat mengatakan sesuatu. Jotaro sudah lari menyeberang halaman, menuju rumah kecil di ujung barat pekarangan.

"Otsu!" panggilnya. "Aku bawa jeruk."

Dokter Yang Dipertuan Karasumaru mengatakan pada Otsu tak ada yang perlu dikuatirkan. Otsu percaya kepadanya. Walau hanya dengan meletakkan tangan ke wajah pun ia sudah tahu betapa kurus badannya. Demam yang dideritanya terus juga berlangsung, dan nafsu makannya tidak juga pulih, tapi tadi pagi itu ia berbisik pada Jotaro bahwa ia ingin jeruk.

Sesudah meninggalkan posnya di samping tempat tidur Otsu, Jotaro pergi ke dapur, tapi di situ diketahuinya bahwa di rumah itu tidak ada jeruk. Karena di warung bumbu atau di warung-warung makanan yang lain pun tidak ada, pergilah ia ke pasar terbuka di Kyogoku. Berbagai macam barang dapat dibeli di sana-benang sutra, barang-barang dari katun. minyak lampu, bulu binatang, dan lain-lain-tapi tak ada jeruk keprok. Sesudah meninggalkan pasar, beberapa kali harapannya bangkit melihat buah warna jingga di dalam tembok-kebun pribadi, tapi ternyata buah itu jeruk pahit.

Sesudah menjalani hampir setengah kota, barulah ia berhasil mendapatkan jeruk, dengan mencuri. Sesajen di depan tempat suci Shinto terdiri atas onggokan kentang, wortel, dan jeruk. Dijejalkannya buah itu ke dalam kimononya dan ia menoleh ke sekitar untuk meyakinkan diri bahwa tak ada orang memperhatikannya. Karena takut bahwa dewa yang disakiti hatinya dapat muncul setiap saat, sepanjang jalan kembali ke rumah Karasumaru ia berdoa, "Jangan hukum aku. Aku sendiri takkan makan jeruk ini."

Ia membariskan jeruk-jeruk itu, menawarkan sebuah pada Otsu, dan mengupaskannya. Otsu menoleh, tak mau menyentuhnya.

"O-ho, ada apa?"

Ketika Jotaro memajukan wajahnya untuk memandang muka Otsu. Otsu menyembunyikan kepalanya lebih dalam ke bantal. "Tak ada apa-apa," sedunya.

"Jadi, Kakak mulai nangis lagi, ya?" kata Jotaro sambil mendecapkan lidah. "Maaf."

"Tak usah minta maaf, makan saja satu ini."

"Nanti."

"Paling tidak, makan yang sudah kukupas ini. Ayolah."

"Jo, aku hargai perhatianmu, tapi sekarang ini aku belum bisa makan apa-apa."

"Itu karena Kakak nangis terlalu banyak. Kenapa Kakak begini sedih."

"Aku menangis karena bahagia, karena kau begitu baik padaku."

"Aku tak suka melihat Kakak begini. Bikin aku mau nangis juga."

"Aku janji akan berhenti nangis. Maafkan aku, ya?"

"Asal Kakak mau jeruk ini. Kalau Kakak tidak makan apa-apa, nanti Kakak mati."

"Nanti. Kamu saja makan ini."

"Ah, tidak." Dan Jotaro menelan ludah dengan berat. Terbayang olehnya mata berang dewa.

"Baiklah, masing-masing kita ambil satu."

Otsu mengubah pikirannya dan mulai membuang serat-serat putih panjang pada daging buah itu dengan jari-jarinya yang halus.

"Di mana Takuan?" tanyanya kosong.

"Mereka bilang dia di Daitokuji."

"Apa benar dia melihat Musashi dua malam yang lalu?"

"Kakak dengar?"

"Ya. Aku ingin tahu, apa dia bilang aku ada di sini?"

"Kukira begitu."

"Takuan bilang dia akan mengundang Musashi datang kemari hari-hari ini. Apa dia cerita tentang itu padamu?"

"Tidak."

"Apa dia tidak lupa?"

"Apa perlu aku tanya?"

"Ya, tanyakan," jawab Otsu, dan untuk pertama kalinya ia tersenyum. "Tapi jangan tanya dia di depanku."

"Kenapa tidak?"

"Takuan keterlaluan. Dia bilang aku menderita 'sakit Musashi'."

"Kalau Musashi datang, Kakak mau berdiri dan jalan ke sana kemari, kan?"

"Kamu pun mengucapkan hal-hal macam itu!" Walaupun begitu, kelihatan Otsu betul-betul bahagia.

"Apa Jotaro di situ?" seru salah seorang samurai Mitsuhiro.

"Ya, aku di sini."

"Takuan mencarimu. Sini ikut aku."

"Lihat sana apa maunya," desak Otsu. "Dan jangan lupa pembicaraan kita tadi. Tanya dia, ya?" Rona merah muda menjalari pipinya yang pucat, sementara ia menarik selimut sampai ke setengah wajahnya.

Takuan sedang ada di kamar duduk, berbicara dengan Yang Dipertuan Mitsuhiro. Jotaro mengempaskan pintu hingga terbuka dan katanya,

"Pak Pendeta mencariku?"

"Ya, coba kemari."

Mitsuhiro memandang anak itu dengan senyum ramah, walaupun anak itu tidak menampakkan kesopanan.

Jotaro duduk, dan katanya kepada Takuan, "Seorang pendeta seperti Bapak ini datang kemari. Dia bilang dia dari Nansoji. Bagaimana kalau kupanggil dia?"

"Tak usah. Aku sudah tahu. Dia mengeluh, katanya kamu anak nakal."

"Aku?"

"Kaupikir wajar membawa tamu ke gudang dan meninggalkannya di sana?"

"Tapi dia bilang akan menunggu di suatu tempat, supaya tidak mengganggu orang lain!"

Mitsuhiro tertawa sampai lututnya berguncang. Tapi hampir seketika itu juga ia kembali tenang, dan tanyanya kepada Takuan, "Engkau akan langsung pergi ke Tajima tanpa kembali ke Izumi?"

Takuan mengangguk. "Surat itu agak menggelisahkan, jadi kupikir aku mesti berbuat demikian. Tak perlu aku melakukan persiapan. Aku berangkat hari ini."

"Bapak akan pergi?" tanya Jotaro.

"Ya, aku mesti pulang secepatnya."

"Kenapa?"

"Aku baru mendengar ibuku serius sekali keadaannya."

"Bapak punya ibu?" Anak itu tak percaya dengan pendengarannya.

"Tentu."

"Lalu kapan kembali?"

"Tergantung kesehatan ibuku."

"Apa... apa yang mesti kulakukan tanpa Bapak di sini?" gerutu Jotara. "Artinya kami takkan melihat Bapak lagi?"

"Bukan begitu. Kita segera bertemu lagi. Aku sudah mengatur kalian berdua tinggal terus di sini, dan aku ingin kau mengawasi Otsu. Usahakan agar dia berhenti merenung dan supaya sembuh. Yang dia butuhkan daripada obat adalah ketabahan yang lebih besar."

"Aku tak cukup kuat buat memberi ketabahan. Dia takkan sembuh sebelum bertemu Musashi."

"Dia pasien yang sukar, aku yakin. Aku tidak iri kau punya teman jalan macam dia."

"Bapak ketemu Musashi di mana?"

"Nah...?" Takuan memandang Yang Dipertuan Mitsuhiro dan tertawa malu-malu.

"Kapan dia datang kemari? Bapak bilang akan membawa dia kemari, itu satu-satunya yang dipikirkan Otsu sekarang."

"Musashi?" kata Mitsuhiro sambil lalu. "Apa bukan dia ronin yang bersama kita di Ogiya itu?"

Kata Takuan kepada Jotaro, "Aku belum lupa apa yang kukatakan pada Otsu. Dalam perjalanan kembali dari Daitokuji, aku singgah di rumah Koetsu buat melihat apa Musashi ada di sana. Koetsu bilang tidak melihat Musashi. Menurutnya barangkali Musashi masih di Ogiya. Dia bilang ibunya begitu kuatir dengan Musashi, hingga menulis surat pada Yoshino Dayu, minta supaya Musashi segera dikirim pulang."

"Ha?" seru Yang Dipertuan Mitsuhiro sambil mengangkat kening, setengah heran setengah iri. "Jadi, dia masih dengan Yoshino?"

"Musashi tentunya tak lebih dari lelaki seperti yang lain-lain. Sekalipun orang-orang itu kelihatan lain ketika masih muda, selamanya mereka kemudian sama."

"Yoshino itu perempuan aneh. Apa yang dipandangnya pada pemain pedang kasar itu?"

"Aku tak akan berpura-pura bisa memahaminya. Dan aku pun tidak memahami Otsu. Kesimpulannya, aku tidak memahami perempuan pada umumnya. Dari pihakku, mereka tampak sedikit sakit. Mengenai Musashi, kukira sudah saatnya sekarang ini dia mencapai musim semi hidupnya. Latihannya yang sebenarnya baru sekarang dimulai. Mari kita harapkan agar dia lepas dari anggapannya bahwa perempuan lebih berbahaya dari pedang. Namun demikian, orang lain tidak dapat memecahkan masalah­masalahnya. Aku sendiri pun tak bisa apa-apa selain dari membiarkannya sendiri."

Takuan merasa kurang enak juga berbicara begitu banyak di depan lotaro, maka ia bergegas menyatakan terima kasih dan minta diri pada tuan rumah, serta sekali lagi mohon kepada tuan rumah agar mengizinkan Otsu dan Jotaro tinggal lebih lama sedikit.

Peribahasa tua yang menyatakan bahwa perjalanan mesti dimulai di waktu pagi tidak ada artinya bagi Takuan. Ia sudah siap berangkat, dan ia memang berangkat, sekalipun matahari sudah turun ke barat dan senja mulai menyelimuti.

Jotaro berlari di sampingnya sambil menarik-narik lengan bajunya. "Pak, kembali dulu, dan bicara sedikit dengan Otsu! Dia baru saja nangis, dan aku tak dapat menghiburnya sama sekali."

"Apa kalian berdua bicara tentang Musashi?"

"Dia minta aku tanya pada Bapak, kapan Musashi datang. Kalau Musashi tak datang, aku takut dia mati."

"Kamu tak usah kuatir. Tinggalkan dia sendiri."

"Takuan, siapa Yoshino Dayu itu?"

"Apa gunanya kamu tahu itu?"

"Bapak bilang Musashi bersama dia. Ya, kan?"

"Coba dengar. Aku tidak bermaksud kembali dan mencoba mengobati penyakit Otsu, tapi kuminta kamu menyampaikan padanya atas namaku."

"Menyampaikan apa?"

"Suruh dia makan yang wajar."

"Aku sudah mengatakan itu seratus kali."

"Sudah? Ya, itulah yang sebaik-baiknya mesti dikatakan kepadanya. Kalau tak mau mendengarkan, lebih baik kausampaikan padanya yang sebenarnya."

"Apa itu?"

"Musashi sudah terpikat seorang pelacur bernama Yoshino, dan sudah dua hari dua malam dia tidak meninggalkan rumah pelacuran. Tolol Otsu, kalau dia mau terus mencintai lelaki macam itu!"

"Ah, bohong!" protes Jotaro. "Dia sensei-ku! Dia samurai! Dia tidak seperti itu. Kalau kukatakan itu pada Otsu, dia bisa bunuh diri! Bapak sendiri yang tolol, Takuan. Bapak tolol, besar, tua!"

"Ha, ha, ha!"

"Bukan urusan Bapak mengatakan yang jelek-jelek tentang Musashi atau mengatakan Otsu sinting."

"Kamu anak baik, Jotaro," kata Takuan sambil menepuk bahu Jotaro.

Jotaro merunduk menghindari tangan Takuan. "Cukup bicara dengan Bapak! Tak akan aku minta tolong lagi. Aku akan cari Musashi sendiri. Akan kubawa dia kembali pada Otsu!"

"Apa kamu tahu tempatnya?"

"Tidak, tapi aku bisa menemukannya."

"Bolehlah kamu lancang semaumu, tapi takkan mudah kamu menemukan tempat Yoshino. Mau kuberitahu?"

"Tak perlu susah-susah."

"Jotaro! Aku ini bukan musuh Otsu, juga tak ada masalah dengan Musashi. Jauh dari itu! Bertahun-tahun aku mendoakan supaya mereka berdua dapat hidup dengan baik bersama."

"Kalau begitu, kenapa Bapak selalu mengucapkan yang jelek-jelek macam itu?"

"Apa begitu kelihatannya olehmu? Barangkali kau benar. Tapi pada waktu itu kedua-duanya memang sakit. Kalau Musashi dibiarkan sendiri. penyakitnya akan pergi, tapi Otsu membutuhkan bantuan. Sebagai pendeta. aku sudah mencoba menolongnya. Kami para pendeta memang diharapkan dapat mengobati penyakit hati, tepat seperti para dokter mengobati penyakit tubuh. Sayang sekali aku tidak dapat melakukannya untuk Otsu, dan aku menyerah sekarang. Kalau Otsu tak dapat menyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan, hal terbaik yang dapat kulakukan hanyalah menganjurkannya makan wajar."

"Tak usah kuatir soal itu. Otsu takkan minta tolong pada orang palsu macam Bapak."

"Kalau kau tidak mempercayai aku, pergi sana ke Ogiya di Yanagimachi. dan lihat sendiri, sedang apa Musashi di sana. Kemudian kau pulang dan ceritakan pada Otsu apa yang kaulihat. Otsu akan patah hati sebentar, tapi itu akan membuka matanya."

Jotaro menyumbat telinganya dengan jari. "Tutup mulut, penipu berkepala buah ek!"

"Lho, kamu yang mengejar-ngejarku, kan? Apa kau lupa?"

Ketika Takuan berjalan pergi meninggalkannya, Jotaro berdiri di tengah jalan, mengulang-ulang nyanyian kurang ajar yang biasa digunakan anak-anak jalanan untuk mengejek-ejek pendeta pengemis. Tapi begitu Takuan tidak tampak lagi, ia tercekik. Air matanya bercucuran dan ia menangis sejadi-jadinya. Tapi ketika akhirnya ia dapat mengendalikan diri kembali, ia menghapus matanya, dan seperti anak anjing sesat yang tibatiba ingat jalan pulang, ia mulai mencari Ogiya.

Orang pertama yang ditemuinya seorang perempuan. Orang itu memakai kerudung dan ternyata seorang nyonya rumah tangga biasa. Jotaro lari mendapatkannya, dan tanyanya, "Bagaimana caranya pergi ke Yanagimachi?"

"Itu daerah lokalisasi, kan?"

"Apa daerah lokalisasi itu?"

"Minta ampun!"

"Coba terangkan, apa kerja orang-orang di situ!"

"Oh, kamu...!" Perempuan itu menatapnya marah sejenak, kemudian bergegas pergi.

Tanpa gentar Jotaro meneruskan jalannya. Satu demi satu ditanyainya orang-orang lain, di mana letak Ogiya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP