Sabtu, 15 Juli 2017



Percakapan dengan Pengikut

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





SEBELUM makan pagi, Yang Dipertuan Hosokawa Tadatoshi memulai acara hariannya dengan mempelajari buku-buku klasik Kong Hu-Cu. Kewajiban-kewajiban resmi yang sering kali menuntut kehadirannya di Benteng Edo menghabiskan sebagian besar waktunya, tetapi manakala ia dapat memasukkannya dalam jadwal acaranya, ia berlatih seni bela diri. Malam hari, manakala mungkin, ia habiskan bersama para samurai muda yang bekerja padanya.

Suasana di antara mereka agak seperti suasana keluarga yang harmonis, duduk melingkari kepala keluarga. Tentu saja tidak sepenuhnya tidak resmi, karena memang tidak hendak ditanamkan bahwa Yang Dipertuan sederajat dengan mereka. Namun tata krama yang biasanya keras itu dikendurkan sedikit. Tadatoshi, yang bersantai mengenakan kimono dari kain rami ringan, mengundang pertukaran pendapat, yang sering kali mencakup desas-desus terakhir.

"Okatani," kata Yang Dipertuan, khusus kepada salah seorang lelaki yang paling tegap.

"Ya, Pak."

"Kudengar kau cukup mahir main lembing sekarang."

"Betul. Bahkan mahir sekali."

"Ha, ha. Jelas sekali kau bukan orang yang suka pura-pura rendah hati!"

"Kalau semua orang menyatakan demikian, kenapa mesti saya tolak?"

"Hari-hari ini aku akan lihat sendiri, sampai di mana kemajuan teknikmu sesungguhnya."

"Saya selalu menunggu kesempatan itu, tapi tak pernah datang rupanya."

"Kau beruntung kesempatan tidak datang."

"Kalau boleh tanya, apa Bapak pernah mendengar lagu yang sekarangdinyanyikan semua orang?"

"Apa itu?"

"Bunyinya begini:



Ada pemain lembing dan pemain lembing, Segala macam pemain lembing, Tapi yang paling besar Adalah Okatani Goroji... "



Tadatoshi tertawa. "Tak bisa kau begitu saja mempermainkan aku. Itu kan lagu tentang Nagoya Sanzo."

Yang lain-lain ikut tertawa.

"Oh, jadi Bapak tahu?"

"Kau akan heran kalau melihat apa yang kuketahui." la sudah hampir memberikan bukti lebih lanjut tentang itu, tapi kemudian dipertimbangkannya kembali. Ia suka mendengarkan apa yang dipikirkan dan dibicarakan orang-orangnya, dan ia beranggapan bahwa tahu keadaan adalah kewajiban, namun barangkali kurang cocok kalau ia mengungkapkan berapa banyak yang sebenarnya ia ketahui. Maka sebaliknya ia bertanya, "Berapa banyak di antara kalian mengkhususkan diri dalam lembing, dan berapa dalam pedang?"

Dari tujuh orang, ada lima yang belajar lembing, dan hanya dua yang belajar pedang.

"Kenapa begitu banyak yang lebih menyukai lembing?" tanya Tadatoshi. Para pemain lembing sepakat bahwa lembing lebih efektif untuk pertempuran.

"Dan bagaimana pendapat pemain pedang?"

Salah satu dari kedua orang itu menjawab, "Pedang lebih baik. Keahlian bermain pedang menyiapkan diri kita untuk keadaan damai maupun perang."

Ini memang soal yang selalu menjadi pembicaraan, dan perdebatan biasanya berlangsung hidup.

Salah seorang pemain lembing menyela, "Makin panjang lembing itu, makin baik, asalkan tidak terlalu panjang untuk ditangani secara efisien. Lembing dapat dipakai untuk memukul, menusuk, atau membabat, dan kalau mengalami kegagalan, kita dapat beralih pada pedang. Kalau kita hanya menggunakan pedang dan pedang itu patah... nah!"

"Barangkali benar begitu," balas seorang wakil seni pedang, "tapi kerja seorang samurai tidak terbatas pada medan tempur. Pedang adalah jiwanya. Melatih seni pedang berarti menghaluskan dan mendisiplinkan semangat kita. Dalam arti seluas-luasnya, pedang adalah dasar semua latihan militer, apa pun kekurangan pedang dalam pertempuran. Kalau kita menguasai makna yang dalam dari Jalan Samurai, disiplin pedang itu dapat diterapkan pada lembing, atau bahkan juga senapan. Kalau kita mengenal pedang, kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan yang bodoh atau kena serangan mendadak. Permainan pedang adalah seni yang dapat diterapkan menyeluruh."

Perdebatan itu bisa berlangsung terus, tanpa batas, tapi Tadatoshi yang mendengarkan tanpa berpihak itu berkata, "Mainosuke, apa yang baru kaukatakan itu kedengarannya ucapan orang lain."

Matsushita Mainosuke bertahan. "Tidak, Pak. Itu pendapat saya sendiri."

"Ayolah, jujur saja."

"Ya, terus terang, saya mendengar yang serupa itu ketika saya mengunjungi Kakubei baru-baru mi. Sasaki Kojiro bicara soal itu juga. Tapi ucapan itu cocok sekali dengan pikiran saya sendiri.... Saya tak mau menipu siapa-siapa. Cuma Sasaki dapat menguraikannya dengan lebih baik daripada saya."

"Aku juga berpikir begitu," kata Tadatoshi disertai senyum maklum. Disebutkannya nama Kojiro mengingatkan dirinya bahwa ia belum mengambil keputusan, apakah akan menerima rekomendasi Kakubei.

Kakubei menyarankan karena Kojiro belum begitu tua, kepadanya dapat ditawarkan sekitar seribu gantang. Tapi ada yang jauh lebih penting daripada persoalan penghasilan. Tadatoshi sudah berkali-kali diberitahu ayahnya bahwa yang paling penting pada waktu mempekerjakan samurai, pertama-tama adalah melakukan penilaian yang baik, dan baru memperlakukan mereka dengan baik. Sebelum menerima seorang calon, sangat ditekankan untuk tidak hanya menaksir keterampilannya, melainkan juga wataknya. Betapapun orang itu diinginkan, kalau ia tidak dapat bekerja sama dengan para abdi yang telah membentuk suasana dalam Keluarga Hosokawa sekarang mi, orang itu tidak akan berguna.

Tanah perdikan itu seperti benteng yang dibangun dari banyak batu, demikian nasihat Hosokawa tua. Batu yang tidak dapat dipotong agar sesuai dengan batu-batuan yang lain, akan melemahkan hubungan keseluruhan, sekalipun batu itu sendiri ukuran dan mutunya mengagumkan. Para daimyo zaman baru meninggalkan batu-batuan yang tidak cocok di pegunungan dan ladang, karena jumlah batu-batuan macam itu melimpah. Tantangan paling besar adalah bagaimana menemukan batu besar yang akan memberikan sumbangan menonjol kepada tembok. Ditinjau dari pemikiran itu, Tadatoshi merasa bahwa umur muda Kojiro itu cocok untuknya. Pemuda itu sedang dalam tahun-tahun pembentukan diri, sehingga masih dapat menerima sejumlah pengaruh.

Tapi Tadatoshi juga teringat akan seorang ronin lain. Nagaoka Sado sudah menyebutkan Musashi lebih dahulu dalam salah satu pertemuan malam seperti itu. Sado membiarkan Musashi lolos dari tangannya, tapi Tadatoshi tidak melupakannya. Kalau keterangan Sado memang tepat, Musashi adalah prajurit yang lebih baik daripada Kojiro, dan sekaligus orang yang cukup luas wawasannya, dan itu diperlukan sekali dalam pemerintahan.

Kalau ia bandingkan kedua orang itu, ia mesti mengakui bahwa kebanyakan daimyo akan lebih menyukai Kojiro. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah mempelajari Seni Perang secara menyeluruh. Sekalipun masih muda, ia sudah mengembangkan gayanya sendiri yang hebat, dan sudah memperoleh kemasyhuran sebagai petarung. Cerita tentang kekalahan "gemilang" orang-orang Akademi Obata di tepi Sungai Sumida dan sekali lagi di tanggul Sungai Kanda itu sudah dikenal orang.

Sementara itu, tak ada orang mendengar tentang Musashi. Kemenangannya di Ichijoji memang menciptakan nama baik baginya. Tapi hal itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan segera sesudahnya tersebar berita bahwa cerita itu cuma dibesar-besarkan. Bahwa Musashi adalah pengejar kemasyhuran yang hanya membuat-buat perkelahian, kemudian melakukan serangan kilat dan melarikan diri ke Gunung Hiei. Setiap kali Musashi melakukan sesuatu yang patut dipuji, banjir desas-desus pun menyusul, mencemarkan watak dan kemampuannya. Hal itu sudah mencapai puncaknya, hingga kalau nama Musashi diucapkan orang saja, biasanya segera disambut dengan kecaman. Atau orang mengabaikannya sama sekali. Sebagai anak prajurit yang tak dikenal di Pegunungan Mimasaka, garis keturunannya tidaklah menonjol. Ada orang-orang lain yang sederhana asal-usulnya—yang paling menonjol di antaranya, Toyotomi Hideyoshi dari Nakamura di Provinsi Owari—telah mencapai kemuliaan belum lama ini, namun orang banyak itu secara keseluruhan bersikap sadar kelas, dan tidak menghiraukan orang dengan latar belakang seperti Musashi.

Sementara Tadatoshi merenungkan persoalan itu, ia memandang ke sekitarnya dan bertanya, "Apa ada di antara kalian yang kenal samurai bernama Miyamoto Musashi?"

"Musashi?" terdengar jawaban terkejut. "Mustahil kalau orang tidak mendengar tentang dia. Namanya disebut-sebut orang di seluruh kota." Jelas kelihatan, mereka semua kenal baik dengan nama itu.

"Kenapa begitu?" Pandangan penuh harap tampak pada wajah Tadatoshi.

"Banyak papan pengumuman dipasang tentang dia," ujar seorang pemuda dengan nada agak enggan.

Seorang samurai lain bernama Mori menimpali, "Orang banyak menyalin papan pengumuman itu, termasuk saya. Ada saya bawa sekarang. Boleh saya bacakan?"

"Ya, bacalah."

"Oh, ini dia," kata Mori sambil membuka sobekan kertas yang sudah kusut.

"'Ditujukan kepada Miyamoto Musashi yang sudah balik gagang dan lari..."' Orang-orang mengangkat alis dan mulai tersenyum, tapi wajah Tadatoshi murung. "Cuma itu?"

"Tidak." Mori membaca selebihnya, dan katanya, "Papan-papan itu dipasang gerombolan dari daerah tukang kayu. Orang menganggap ini menarik sekali, karena soalnya bajingan jalanan menjewer hidung seorang samurai."

Tadatoshi mengerutkan kening sedikit, dan merasa bahwa kata-kata yang memfitnah Musashi itu menyebabkan penilaiannya sendiri perlu dipertanyakan kembali. Ini berbeda sekali dengan gambarannya sendiri tentang Musashi. Namun ia tidak hendak menerima apa yang didengarnya itu begitu saja. "Hmm," gumamnya. "Aku ingin tahu juga, apa Musashi betul-betul orang macam itu."

"Saya kira dia itu orang kampung yang tidak ada harganya," ujar Mori, dan pendapatnya itu sama dengan pendapat yang lain-lain. "Atau paling sedikit, seorang pengecut. Kalau tidak, kenapa dia membiarkan namanya terseret dalam lumpur?"

Jam berbunyi, dan orang-orang pergi, tetapi Tadatoshi masih terus duduk sambil berpikir, "Ada yang menarik pada orang ini." Sebagai orang yang tak mau diombang-ambingkan oleh pendapat umum, ia ingin tahu cerita itu dari pihak Musashi.

Pagi harinya, sesudah mendengarkan kuliah tentang kesusastraan klasik Cina, ia keluar dari kamar belajarnya, masuk beranda, dan melihat Sado di halaman.

"Selamat pagi, kawan tua," serunya.

Sado menoleh, dan dengan sopan membungkuk sebagai ucapan selamat pagi.

"Apa Anda masih mencari?" tanya Tadatoshi.

Heran mendapat pertayaan itu, Sado hanya menatap balik.

"Maksud saya, apa Anda masih juga mencari Miyamoto Musashi?"

"Betul, Pak." Sado menundukkan mata.

"Kalau Anda sudah menemukan dia, bawa dia kemari. Saya ingin lihat, orang macam apa dia."

Tak lama sesudah tengah hari, pada hari itu juga, Kakubei mendekati Tadatoshi di lapangan memanah dan mendesakkan rekomendasinya tentang Kojiro.

Yang Dipertuan Muda memungut busur, dan katanya tenang, "Maaf, aku lupa. Bawa dia kapan saja kemari. Aku ingin melihatnya. Entah dia akan diterima menjadi abdi atau tidak, itu soal lain. Kau kan tahu."

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP