Rabu, 12 Juli 2017




Persembahan untuk yang Mati

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg







KETIKA Oda Nobunaga akhirnya kehilangan kesabaran terhadap intrik politik para pendeta, ia menyerang bangunan Budhis kuno di Gunung Hiei, dan dalam satu malam yang menghebohkan itu hampir semua dari tiga ribu kuil dan tempat keramat di sana habis dimakan api. Sekalipun empat dasawarsa telah berlalu dan balai utama serta sejumlah kuil tambahan telah dibangun kembali, kenangan malam itu masih terus mengawang, seperti selubung di atas gunung. Lembaga itu sekarang tercabut dari kekuasaannya, dan para pendeta kembali mencurahkan waktu kepada tugas-tugas keagamaan.

Di puncak paling selatan, yang memungkinkan orang meninjau kuil-kuil lain dan juga Kyoto sendiri, terdapat sebuah kuil kecil terpencil yang dikenal dengan nama Mudoji. Dalam hat ketenangan, kuil itu jarang diganggu oleh bunyi yang lebih keras daripada gemerecik air sungai atau kicau burung-burung kecil.

Dari ceruk di dalam kuil terdengar suara lelaki membacakan kata-kata Kannon, Dewi Belas Kasihan, seperti terwahyukan di dalam Sutra Bunga Seroja. Suara yang monoton itu pelan-pelan meninggi sebentar, kemudian seolah-olah si pembaca tiba-tiba ingat akan dirinya, dan suara itu tiba-tiba menurun.

Seorang pembantu pendeta berjubah putih berjalan menyusuri gang yang lantainya hitam legam, membawa baki setinggi mata, berisi makanan sederhana tanpa daging, seperti biasa dihidangkan di tempat-tempat keagamaan. Masuk ke kamar tempat asal suara itu, ia meletakkan baki di sudut, berlutut sopan, dan katanya, "Selamat siang, Pak."

Sang tamu tidak mendengar salam anak itu. Ia mencondongkan badan sedikit ke depan, tenggelam dalam pekerjaannya.

"Pak," kata pembantu pendeta dengan suara sedikit dikeraskan, "saya membawakan makan siang. Kalau Bapak tidak keberatan, akan saya tinggalkan di sudut ini."

"Oh, terima kasih," kata Musashi sambil meluruskan badan. "Terima kasih banyak." Ia menoleh dan membungkuk.

"Apa Bapak mau makan sekarang?"

"Ya."

"Kalau begitu, akan saya hidangkan nasi."

Musashi menerima mangkuk nasi dan mulai makan. Pembantu pendeta mula-mula memperhatikan potongan kayu di samping Musashi, kemudian pisau kecil di belakangnya. Keping-keping dan kerat-kerat kayu cendana putih yang harum baunya berserakan di sekitar. "Bapak mengukir apa?" tanya pembantu pendeta.

"Rencananya patung suci."

"Sang Budha Amida?"

"Bukan. Kannon. Sayang sekali aku tak tahu apa-apa tentang seni pahat. Pahat ini lebih banyak mengenai tanganku daripada kayunya." Ia memperlihatkan beberapa jarinya yang tertakik sebagai bukti, tapi anak itu rupanya lebih tertarik kepada perban putih pada lengan bawah Musashi.

"Bagaimana luka-luka Bapak?" tanyanya.

"Karena perawatan yang baik di sini, sudah hampir sembuh sekarang. Tolong sampaikan kepada pendeta kepala, aku sangat berterima kasih."

"Kalau Bapak mengukir patung Kannon, Bapak mesti datang ke balai utama. Di situ ada patung Kannon yang dibuat oleh seorang pemahat terkenal. Kalau Bapak mau, bisa saya antar ke sana. Tidak jauh, cuma kira-kira setengah kilo."

Gembira menerima tawaran itu, Musashi pun menyelesaikan makannya. lalu kedua orang itu berangkat ke balai utama. Dalam sepuluh hari semenjak ia tiba dalam keadaan berlumuran darah dan bertopang pedangnya sebagai tongkat, Musashi belum keluar rumah lagi. Baru mulai bisa berjalan, ia merasa luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, seperti semula ia sangka. Lutut kirinya sakit, angin yang lembut dan sejuk terasa menghunjam ke dalam luka tangannya. Namun keadaan di luar menyenangkan. Bunga-bunga sakura yang jatuh dari pohonnya yang berayun-ayun gemulai itu menari-nari di udara, seperti keping-keping salju. Langit menujukkan tandatanda warna biru laut awal musim panas. Otot-otot Musashi membengkak seperti kuncup yang akan segera membuka.

"Bapak mempelajari seni perang, ya?"

"Betul."

"Kalau begitu, kenapa Bapak membuat patung Kannon?" Musashi tidak segera menjawab.

"Daripada memahat, apa tidak lebih baik menggunakan waktu Bapak untuk berlatih main pedang?"

Pertanyaan itu membuat Musashi merasa lebih sakit. Pembantu pendeta itu seumur Genjiro, dan hampir sama besar.

Berapa banyak orang telah terbunuh atau luka pada hari yang menentukanm itu? Ia hanya dapat mengira-ngira. Ia bahkan tidak begitu ingat, bagaimana ia meloloskan diri dari pertempuran dan menemukan tempat persembunyian itu. Dua hal yang tergambar jelas dalam pikirannya dan mengejar-ngejar dalam tidurnya yaitu jerit ketakutan Genjiro dan tubuhnya yang tak berkepala.

Dan untuk kesekian kalinya selama beberapa hari ini, terpikir olehnya ketetapan yang sudah tertulis dalam buku catatannya: ia tidak akan melakukan sesuatu yang kemudian disesalinya. Sekiranya ia beranggapan bahwa apa yang telah ia lakukan itu memang telah menjadi sifat Jalan Pedang, onak duri yang melintang di jalan yang dipilihnya, berarti ia terpaksa menyimpulkan bahwa masa depannya bakal suram dan tidak manusiawi.

Dalam suasana kuil yang damai itu, pikirannya menjadi jernih. Dan manakala ingatan tentang darah yang tercurah dan darah beku itu mulai memudar, ia terbenam dalam rasa iba kepada anak yang telah dibantainya.

Sambil kembali memikirkan pertanyaan pembantu pendeta itu, katanya, "Tapi pendeta-pendeta besar seperti Kobo Daishi dan Genshin menciptakan banyak patung sang Budha dan Bodhisatwa, kan? Aku tahu beberapa patung Gunung Hiei ini diukir oleh pendeta. Apa pendapatmu tentang itu?"

Sambil menelengkan kepala, anak itu berkata ragu-ragu, "Saya tidak begitu yakin, tapi pendeta-pendeta memang suka membuat lukisan keagamaan dan patung."

"Mari kuceritakan sebabnya. Dengan membuat lukisan atau mengukir patung sang Budha, mereka dapat menjadi lebih dekat kepadanya. Seorang pemain pedang dapat memurnikan jiwanya dengan cara seperti itu juga. Kita manusia ini semua melihat satu bulan saja, tetapi banyak jalan yang dapat kita tempuh untuk sampai ke puncak yang terdekat dengannya. Kadang-kadang, kalau kita tersesat, kita memutuskan untuk mencoba jalan orang lain, tapi tujuan akhirnya menemukan penyempurnaan hidup."

Musashi berhenti, seakan-akan masih ada yang hendak dikatakannya lagi, tapi pembantu pendeta itu berlari mendahului dan menuding sebuah batu yang hampir tersembunyi di dalam rumput. "Lihat," katanya. "Prasasti ini dibuat oleh Jichin. Dia seorang pendeta-pendeta terkenal."

Musashi membaca kata-kata yang terukir pada batu yang terbalut rumput liar itu:



Air Hukum

Akan segera menjadi dangkal.

Pada akhirnya Angin dingin muram akan melanda

Puncak-puncak Hiei yang gersang



Ia terkesan sekali oleh daya ramal penulis itu. Angin yang melanda Gunung Hiei memang dingin dan muram, semenjak terjadinya gempuran Nobunaga yang tak kenal ampun itu. Ada desas-desus bahwa sebagian kaum pendeta masih mendambakan zaman lama, mendambakan tentara perkasa, pengaruh politik, dan hak-hak khusus, namun kenyataannya mereka tidak pernah dapat memilih kepala biara baru tanpa menimbulkan banyak intrik dan pertentangan intern yang buruk. Memang gunung suci itu untuk menyelamatkan orang berdosa, tapi kenyataannya ia tergantung pada derma dan sumbangan orang berdosa agar dapat hidup terus. Suatu keadaan yang sama sekali tak menyenangkan, demikian renung Musashi.

"Mari terus," kata anak itu tak sabar.

Ketika mereka mulai meneruskan perjalanan, seorang pendeta Mudoji datang berlari-lari menyusul mereka. "Seinen!" serunya, memanggil anak itu. "Ke mana engkau pergi?"

"Ke balai utama. Beliau ingin melihat patung Kannon."

"Apa tak bisa lain waktu saja?"

"Maafkan saya karena membawa anak ini, padahal barangkali ada pekerjaan lain yang mesti diselesaikannya," kata Musashi. "Nah, ajaklah dia kembali. Saya dapat pergi ke balai utama kapan saja."

"Saya datang bukan untuk memanggilnya. Saya ingin Anda kembali bersama saya, kalau tidak keberatan."

"Saya?"

"Ya, saya minta maaf telah mengganggu Anda, tapi..."

"Apa ada orang mencari saya?" tanya Musashi, sama sekali tidak kaget.

"Nah, ya. Sudah saya katakan juga pada mereka Anda sedang tak ada. tapi mereka bilang baru saja melihat Anda bersama Seinen. Dan mereka mendesak saya datang mengajak Anda."

Dalam perjalanan kembali ke Mudoji, Musashi bertanya kepada pendeca itu, siapa para tamunya, dan tahulah ia bahwa mereka itu dari Sannoin, salah satu kuil cabang.

Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, mengenakan jubah hitam dan kepala cokelat. Wajah mereka yang merah menunjukkan bahwa mereka golongan pendeta prajurit zaman lama yang ditakuti itu, sebangsa tukang gertak angkuh yang mengenakan jubah pendeta. Meskipun sayapnya sudah terpotong, kelihatannya mereka telah membangun sarang kembali. Orangorang yang tak mampu mengambil keuntungan dari pelajaran Nobunaga ini berkeliaran ke sana kemari menyandang pedang besar, berbuat seolah-olah berkuasa atas orang-orang lain dan menyebut diri mereka Sarjana Hukum Budhis, padahal sesungguhnya mereka adalah bajingan-bajingan intelektual.

"Itu dia!" kata salah seorang.

"Dia?" tanya yang lain, mencibir.

Mereka menatap dengan sikap permusuhan yang tak disembunyikan. Seorang pendeta berbadan tegap dan besar mendekati para pengantar Musashi dengan lembingnya, dan katanya, "Terima kasih. Kalian tidak dibutuhkan sekarang. Boleh masuk kuil?" Kemudian katanya lagi dengan kasar, "Anda Miyamoto Musashi?"

Dalam kata-kata itu tidak ada sikap sopan. Musashi menjawab pendek, tanpa membungkuk.

Pendeta lain muncul dari belakang. Pendeta pertama, berdeklamasi, seakan-akan membacakan teks, "Akan saya sampaikan pada Anda keputusan yang telah diturunkan oleh pengadilan Enryakuji. Bunyinya, "Gunung Hiei adalah pekarangan murni dan suci, yang tidak diperkenankan dipakai sebagai tempat berlindung oleh mereka yang menyimpan permusuhan dan dendam. Tidak pula dapat ditawarkan sebagai tempat pelarian bagi orangorang hina yang terlibat pertentangan tidak terhormat. Mudoji telah di­perintahkan mengusir Anda segera dari gunung ini. Kalau Anda membangkang, Anda akan dihukum keras, sesuai dengan undang-undang biara."'

"Saya akan melakukan apa yang diputuskan biara," jawab Musashi dengan nada lunak. "Tetapi karena sekarang sudah lewat tengah hari dan saya belum bersiap-siap, saya mohon Anda mengizinkan saya tinggal sampai besok pagi. Juga, saya ingin mengajukan pertanyaan, apakah keputusan ini datang dari penguasa sipil, atau dari pendeta sendiri. Mudoji sudah melaporkan kedatangan saya. Saya mendapat pemberitahuan tidak ada keberatan bahwa saya tinggal di sini. Saya tidak mengerti, kenapa hal itu berubah demikian mendadak."

"Kalau Anda memang ingin tahu," jawab pendeta pertama, "akan saya terangkan. Semula kami dengan senang hati menawarkan keramahtamahan kami, karena Anda bertempur sendirian melawan sejumlah besar orang. Namun kemudian kami mendapat laporan-laporan buruk mengenai Anda, yang memaksa kami meninjau kembali keputusan kami. Dan kami pun memutuskan tidak dapat lagi menyediakan tempat berlindung bagi Anda."

"Laporan-laporan buruk?" pikir Musashi dengan jengkel. Mestinya ia sudah menduga hal itu. Perguruan Yoshioka pasti akan menjelek-jelekkannya di seluruh Kyoto. Tapi tak ada perlunya ia mencoba mempertahankan diri.

"Baiklah," katanya dingin, "saya akan pergi besok pagi, pasti."

Tapi ketika ia memasuki gerbang kuil, pendeta-pendeta itu mulai bicara yang bukan-bukan.

"Coba lihat dia, si celaka jahat itu!"

"Dasar biadab!"

"Biadab? Orang dungu, itulah dia!"

Sambil menoleh dan menatap orang-orang itu, Musashi bertanya tajam, "Apa kata kalian?"

"Oh, jadi engkau mendengar?" tanya seorang pendeta menantang.

"Ya. Dan ada satu hal yang mesti kalian ketahui. Saya akan menuruti keinginan kaum pendeta, tapi saya takkan menenggang penghinaan dari orang-orang macam kalian. Apa kalian menghendaki perkelahian?"

"Sebagai abdi sang Budha, kami tidak ingin perkelahian," terdengar jawaban sok suci. "Saya hanya membuka mulut, dan kata-kata saya keluar begitu saja."

"Dan itu tentunya suara langit," kata pendeta lain.

Sejenak kemudian, mereka semua sudah mengepung Musashi sambil menyumpah, mengejek, bahkan meludahi Musashi. Musashi tidak tahu sampai berapa lama ia dapat mengendalikan diri. Walaupun pendeta prajurit telah kehilangan banyak kekuatan, wakil-wakil mereka yang baru itu rupanya belum lagi kehilangan kecongkakannya.

"Lihat!" cemooh salah seorang pendeta. "Dan omongan orang kampung, tadinya kupikir dia samurai yang punya rasa hormat diri. Sekarang aku tahu, dia cuma orang bebal tak berotak! Dia tidak marah, dia bahkan tidak tahu bagaimana bicara atas namanya sendiri."

Semakin Musashi diam, semakin jahat lidah mereka bergoyang. Akhirnya, dengan wajah sedikit merah, Musashi berkata, "Kalian bicara tentang suara langit lewat seorang manusia?"

"Ya, kenapa?"

"Kalian mengatakan langit bicara menentangku?"

"Kau sudah mendengar sendiri keputusan kami. Apa kau belum mengerti?"

"Belum."

"Dan kukira kau takkan mengerti! Karena pengertianmu tak lebih dari yang kaupunyai itu, sebetulnya kau ini mesti dikasihani. Tapi aku berani mengatakan, dalam kehidupanmu yang akan datang, kau akan mendapat pikiran sehatmu!"

Dan ketika Musashi tidak mengatakan sesuatu, pendeta itu melanjutkan, "Lebih baik kau hati-hati sesudah meninggalkan gunung ini. Reputasimu tak bisa dibanggakan."

"Apa peduliku kata orang-orang itu?"

"Coba dengar! Dia masih menyangka dirinya benar."

"Apa yang kulakukan memang benar! Tak ada aku membuat aib atau bersikap pengecut dalam pertempuran melawan orang Yoshioka."

"Kau cuma omong kosong!"

"Apa ada perbuatanku yang mesti membuatku malu? Coba sebutkan satu!"

"Oh, jadi kau masih punya nyali mengatakan itu?"

"Kuperingatkan kau. Hal-hal lain akan kuabaikan, tapi aku tak akin membiarkan orang meremehkan pedangku!"

"Baiklah, tapi aku ingin tahu, apakah kau dapat menjawab satu penamaan ini. Kami tahu kau sanggup bertempur melawan kekuatan berlipat ganda. Kami mengagumi kekuatan kasarmu. Kami memuji keberanianmu bertahan menghadapi demikian banyak orang. Tapi kenapa kaubunuh anak yang baru tiga belas tahun umurnya? Bagaimana mungkin kau begitu kejam, sampai membantai seorang anak?"

Wajah Musashi menjadi pucat, tubuhnya tiba-tiba lemas.

Pendeta itu melanjutkan. "Sesudah kehilangan tangan, Seijuro menjadi pendeta. Denshichiro kaubunuh. Genjiro satu-satunya yang akan menggantikan mereka. Dengan membunuh dia, engkau mengakhiri Keluarga Yoshioka. Walaupun misalnya hal itu kaulakukan demi Jalan Samurai, perbuatan itu kejam, pengecut. Tak cukup baik kalau kau dilukiskan sebagai orang biadab atau setan. Apa kau menganggap dirimu manusia? Apa kau membayangkan dirimu mesti disejajarkan dengan samurai? Bahkan apa kau termasuk milik negeri bunga sakura yang besar ini?

"Tidak! Karena itulah kaum pendeta mengusirmu. Apa pun keadaannya, membantai anak kecil tidak bisa diampuni. Seorang samurai sejati takkan melakukan kejahatan macam itu. Makin kuat seorang samurai, makin lembut dan makin berbudi dia terhadap yang lemah. Seorang samurai memahami dan menunjukkan perasaan belas kasihan.

"Sekarang pergilah kau dari sini, Miyamoto Musashi! Selekas-lekasnya! Gunung Hiei menolakmu!"

Sesudah melampiaskan kemarahan, para pendeta itu beramai-ramai pergi.

Musashi menahan hujan penghinaan yang terakhir itu dengan diam, tapi itu bukan karena ia tak punya jawaban terhadap tuduhan-tuduhan mereka. "Apa pun yang mereka katakan, aku yang benar," pikirnya. "Aku melakukan satu-satunya yang dapat kulakukan untuk melindungi keyakinanku yang tidak salah."

Dengan tulus ia percaya akan berlakunya prinsip-prinsip itu. Karena orang-orang Yoshioka menggunakan Genjiro sebagai pembawa panji-panji mereka, tidak ada pilihan lain kecuali membunuhnya. Dialah jenderal mereka. Selama ia masih hidup, Perguruan Yoshioka akan tetap belum dikalahkan. Musashi dapat membunuh sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh orang, tapi selama Genjiro belum mati, orang-orang yang masih hidup akan selalu menuntut kemenangan. Dengan membunuh anak itu lebih dulu, Musashi menjadi pemenang, sekalipun misalnya kemudian ia terbunuh dalam pertempuran.

Menurut hukum permainan pedang, tidak ada yang kurang pada logika ini. Dan bagi Musashi, hukum itu mutlak.

Sekalipun demikian, ingatan kepada Genjiro betul-betul mengganggunya, menimbulkan kesangsian, kesedihan, dan kepedihan. Bagi dirinya sendiri pun, kekejaman itu merupakan perbuatan menjijikan.

"Apakah aku harus membuang pedangku dan hidup seperti orang biasa?" tanyanya pada diri sendiri. Ini bukanlah pertanyaan pertama baginya. Di bawah langit awal petang yang jernih itu, bunga-bunga sakura putih jatuh di sana-sini, seperti serpih-serpih saiju. Pepohonan tampak rentan, sebagaimana ia rasakan sekarang, rentan terhadap kesangsian tentang apakah ia takkan mengubah jalan hidupnya. "Kalau aku membuang pedang ini, aku dapat hidup dengan Otsu," pikirnya. Tapi kemudian teringat olehnya kehidupan santai orang-orang kota Kyoto dan dunia yang dihuni Koetsu dan Shoyu.

"Itu bukan duniaku," katanya mantap.

Ia melewati gerbang dan masuk kamar. Ia duduk dekat lampu, mengambil kembali pekerjaannya yang setengah jadi, dan mulai mengukir lagi cepat-cepat. Penting sekali baginya menyelesaikan patung itu. Entah hasilnya bagus atau tidak, ia ingin sekali meninggalkan sesuatu di sini, untuk menyenangkan arwah Genjiro yang telah pergi.

Lampu memudar dan ia pun merapikan sumbunya. Dalam ketenangan malam itu, bunyi potongan-potongan kecil kayu yang jatuh ke atas tatami terdengar jelas. Konsentrasinya menyeluruh, dan seluruh dirinya terpusat dengan kepekatan sempurna pada titik kontak dengan kayu itu. Memang sekali ia mulai menugaskan dirinya, sudah sifat alamiahnya untuk menenggelamkan diri di dalamnya sampai tugas itu selesai, tak peduli ia bosan atau kelelahan.

Nada-nada bacaan sutra itu timbul dan tenggelam. Tiap kali selesai merapikan sumbu lampu, Musashi mulai lagi dengar pekerjaannya, dengan bakti dan takzim, seperti pemahat-pemahat kuno yang kabarnya membungkuk tiga kali kepada sang Budha sebelum mengambil pahat-pahat untuk mengukir sebuah patung. Patung Kannon yang dibuat Musashi ini menjadi semacam doa untuk kebahagiaan Genjiro dalam kehidupan berikutnya, dan dalam makna tertentu juga merupakan permintaan maaf yang rendah hati untuk jiwanya sendiri.

Akhirnya ia bergumam, "Kupikir cukuplah ini." Ketika ia meluruskan badan dan memeriksa patung itu, lonceng pagoda timur berbunyi sebagai tanda jaga malam kedua, yang dimulai jam sepuluh. "Sudah larut sekarano.pikirnya, lalu ia segera pergi untuk menyatakan hormat kepada pendeta kepala, dan memintanya menyimpan patung itu. Patung itu kasar pahatannya. tetapi Musashi telah mencurahkan seluruh jiwanya ke dalamnya, menangis menyatakan penyesalan selagi berdoa untuk arwah anak yang meninggal itu.

Baru saja ia keluar dari ruangan itu, Seinen sudah datang menyapu lantai. Ketika ruangan sudah bersih kembali, ia tebarkan kasur Musashi. lalu sambil memanggul sapu ia berjalan kembali ke dapur. Tanpa diketahui Musashi, ketika ia masih mengukir tadi, sesosok tubuh yang seperti kucing telah merayap masuk Mudoji lewat pintu-pintu yang tidak pernah dikunci, dan masuk beranda. Sesudah Seinen tidak kelihatan lagi, shoji yang menuju beranda terbuka pelan-pelan, dan kemudian tertutup pelan-pelan juga.

Musashi kembali sambil membawa kenang-kenangan untuk keberangkatannya, sebuah topi anyaman dan sepasang sandal jerami. Sesudah meletakkan keduanya di samping bantal, ia mematikan lampu dan merangkak masuk tempat tidur. Pintu-pintu luar terbuka dan angin bertiup lembut lewat cukup terang, hingga shoji jadi berona kelabu pucat. Bayang-bayang pohon berayun-ayun lembut seperti ombak laut terbuka yang tenang.

Musashi mendengkur pelan. Semakin dalam tidurnya, semakin pelan napasnya. Tanpa suara, ujung tirai kecil di sudut ruangan bergerak ke depan, dan sesosok tubuh gelap merangkak mencuri-curi. Suara dengkuran berhenti, dan sosok hitam itu cepat bertiarap ke lantai. Ketika napas Musashi mulai mantap lagi, si penyerbu maju sesenti demi sesenti, dengan sabar, hati-hati, dan menyesuaikan gerak-geriknya dengan napas yang berirama itu.

Sekonyong-konyong bayangan itu bangkit seperti gumpalan sutra kasar hitam dan menerkam Musashi sambil berteriak. "Mati kau!" Sebilah pedang pendek menyapu ke arah leher Musashi. Tetapi seketika itu juga senjata itu berdentang ke samping, sementara sosok hitam itu melayang ke belakang dan terempas ke shoji. Si penyerbu melolong keras dan terjerembap bersama shoji ke dalam kegelapan di luar kuil.

Ketika melontarkan orang itu, terpikir oleh Musashi bahwa orang dalam tangannya itu ringan seperti anak kucing. Wajahnya berbalut kain, tapi sekilas terlihat olehnya rambutnya yang putih. Tanpa beristirahat untuk memikirkan penglihatannya itu, ia menyambar pedangnya dan berlari ke beranda.

"Berhenti!" teriaknya. "Susah-susah kalian datang kemari, kenapa tidak kalian beri aku kesempatan menyambut kalian baik-baik?" Ia meloncat ke tanah dan lari kencang ke arah bunyi langkah-langkah yang menjauh. Tapi hatinya tak lagi di situ. Beberapa detik kemudian ia berhenti, dan sambil tertawa memperhatikan menghilangnya beberapa orang pendeta ke dalam kegelapan.

Osugi merasa tulangnya remuk karena jatuh, dan kini ia terbaring di tanah, merintih kesakitan. "Lho, Nenek ini tadi, ya?" seru Musashi. Ia terkejut karena penyerangnya bukan orang Yoshioka, dan bukan juga para pendeta yang berang itu. Dirangkulnya perempuan tua itu dan dibantunya berdiri.

"Sekarang baru aku tahu," katanya. "Jadi, Nenek yang menyampaikan hal-hal jelek kepada para pendeta itu, kan? Dan kukira karena cerita itu datang dari wanita tua yang gagah berani dan tulus, mereka percaya setiap ucapan Nenek."

"Oh, punggungku sakit!" Osugi tidak membenarkan dan tidak juga membantah tuduhan itu. Ia menggeliat sedikit, tapi tak ada tenaga untuk mengadakan perlawanan. Dengan lemah ia berkata, "Musashi, karena sudah begini jadinya, tak ada gunanya mempersoalkan benar atau salah. Keluarga Hon'iden tidak beruntung dalam perang, jadi tebaslah kepalaku sekarang."

Musashi merasa kata-kata itu diucapkan tidak semata-mata untuk menunjukkan sikap dramatis. Kata-kata itu terdengar sebagai ucapan seorang perempuan yang sudah berjalan sejauh kemampuannya, dan kini ingin mengakhiri perjalanan itu.

"Sakit, ya?" tanya Musashi yang tak hendak menerima kata-kata Osugi secara sungguh-sungguh. "Di mana yang sakit? Nenek dapat tinggal di sini malam ini, jadi tak perlu kuatir." Diangkatnya perempuan itu, dibawanya ke dalam, dan diletakkannya di kasurnya. Sepanjang malam dirawatnya perempuan itu sambil duduk di sampingnya.

Ketika hari terang, Seinen membawakan Musashi bekal makan yang dimintanya, diiringi pesan pendeta kepala yang minta maaf atas sikapnya yang kasar, dan mendesak Musashi untuk pergi selekas mungkin.

Musashi mengirimkan pesan juga, menerangkan bahwa ia sekarang menanggung seorang perempuan tua yang sudah sakit-sakitan. Pendeta tak ingin Osugi tinggal di kuil itu, dan menyampaikan sebuah saran. Rupanya seorang saudagar dari kota Otsu telah datang ke kuil itu, membawa seekor lembu dan meninggalkan binatang itu untuk diurus pendeta kepala, sementara ia pergi ke tempat lain. Pendeta menawarkan kepada Musashi untuk menggunakan binatang itu. Katanya, Musashi dapat menyuruh Osugi naik lembu itu untuk turun gunung. Di Otsu, lembu dapat ditinggalkan di dermaga, atau di salah satu rumah penjualan borongan di sekitar tempat itu.

Musashi menerima tawaran itu dengan ucapan terima kasih.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP