Persembahan untuk
yang Mati
KETIKA Oda Nobunaga
akhirnya kehilangan kesabaran terhadap intrik politik para pendeta, ia
menyerang bangunan Budhis kuno di Gunung Hiei, dan dalam satu malam yang
menghebohkan itu hampir semua dari tiga ribu kuil dan tempat keramat di sana
habis dimakan api. Sekalipun empat dasawarsa telah berlalu dan balai utama
serta sejumlah kuil tambahan telah dibangun kembali, kenangan malam itu masih
terus mengawang, seperti selubung di atas gunung. Lembaga itu sekarang tercabut
dari kekuasaannya, dan para pendeta kembali mencurahkan waktu kepada
tugas-tugas keagamaan.
Di puncak paling
selatan, yang memungkinkan orang meninjau kuil-kuil lain dan juga Kyoto
sendiri, terdapat sebuah kuil kecil terpencil yang dikenal dengan nama Mudoji.
Dalam hat ketenangan, kuil itu jarang diganggu oleh bunyi yang lebih keras
daripada gemerecik air sungai atau kicau burung-burung kecil.
Dari ceruk di dalam
kuil terdengar suara lelaki membacakan kata-kata Kannon, Dewi Belas Kasihan,
seperti terwahyukan di dalam Sutra Bunga Seroja. Suara yang monoton itu
pelan-pelan meninggi sebentar, kemudian seolah-olah si pembaca tiba-tiba ingat
akan dirinya, dan suara itu tiba-tiba menurun.
Seorang pembantu
pendeta berjubah putih berjalan menyusuri gang yang lantainya hitam legam,
membawa baki setinggi mata, berisi makanan sederhana tanpa daging, seperti
biasa dihidangkan di tempat-tempat keagamaan. Masuk ke kamar tempat asal suara
itu, ia meletakkan baki di sudut, berlutut sopan, dan katanya, "Selamat
siang, Pak."
Sang tamu tidak
mendengar salam anak itu. Ia mencondongkan badan sedikit ke depan, tenggelam
dalam pekerjaannya.
"Pak," kata
pembantu pendeta dengan suara sedikit dikeraskan, "saya membawakan makan
siang. Kalau Bapak tidak keberatan, akan saya tinggalkan di sudut ini."
"Oh, terima
kasih," kata Musashi sambil meluruskan badan. "Terima kasih
banyak." Ia menoleh dan membungkuk.
"Apa Bapak mau
makan sekarang?"
"Ya."
"Kalau begitu,
akan saya hidangkan nasi."
Musashi menerima
mangkuk nasi dan mulai makan. Pembantu pendeta mula-mula memperhatikan potongan
kayu di samping Musashi, kemudian pisau kecil di belakangnya. Keping-keping dan
kerat-kerat kayu cendana putih yang harum baunya berserakan di sekitar. "Bapak
mengukir apa?" tanya pembantu pendeta.
"Rencananya
patung suci."
"Sang Budha
Amida?"
"Bukan. Kannon.
Sayang sekali aku tak tahu apa-apa tentang seni pahat. Pahat ini lebih banyak
mengenai tanganku daripada kayunya." Ia memperlihatkan beberapa jarinya yang
tertakik sebagai bukti, tapi anak itu rupanya lebih tertarik kepada perban
putih pada lengan bawah Musashi.
"Bagaimana
luka-luka Bapak?" tanyanya.
"Karena
perawatan yang baik di sini, sudah hampir sembuh sekarang. Tolong sampaikan
kepada pendeta kepala, aku sangat berterima kasih."
"Kalau Bapak
mengukir patung Kannon, Bapak mesti datang ke balai utama. Di situ ada patung
Kannon yang dibuat oleh seorang pemahat terkenal. Kalau Bapak mau, bisa saya
antar ke sana. Tidak jauh, cuma kira-kira setengah kilo."
Gembira menerima
tawaran itu, Musashi pun menyelesaikan makannya. lalu kedua orang itu berangkat
ke balai utama. Dalam sepuluh hari semenjak ia tiba dalam keadaan berlumuran
darah dan bertopang pedangnya sebagai tongkat, Musashi belum keluar rumah lagi.
Baru mulai bisa berjalan, ia merasa luka-lukanya belum sembuh seluruhnya,
seperti semula ia sangka. Lutut kirinya sakit, angin yang lembut dan sejuk
terasa menghunjam ke dalam luka tangannya. Namun keadaan di luar menyenangkan.
Bunga-bunga sakura yang jatuh dari pohonnya yang berayun-ayun gemulai itu
menari-nari di udara, seperti keping-keping salju. Langit menujukkan tandatanda
warna biru laut awal musim panas. Otot-otot Musashi membengkak seperti kuncup
yang akan segera membuka.
"Bapak
mempelajari seni perang, ya?"
"Betul."
"Kalau begitu,
kenapa Bapak membuat patung Kannon?" Musashi tidak segera menjawab.
"Daripada
memahat, apa tidak lebih baik menggunakan waktu Bapak untuk berlatih main
pedang?"
Pertanyaan itu
membuat Musashi merasa lebih sakit. Pembantu pendeta itu seumur Genjiro, dan
hampir sama besar.
Berapa banyak orang
telah terbunuh atau luka pada hari yang menentukanm itu? Ia hanya dapat
mengira-ngira. Ia bahkan tidak begitu ingat, bagaimana ia meloloskan diri dari
pertempuran dan menemukan tempat persembunyian itu. Dua hal yang tergambar
jelas dalam pikirannya dan mengejar-ngejar dalam tidurnya yaitu jerit ketakutan
Genjiro dan tubuhnya yang tak berkepala.
Dan untuk kesekian
kalinya selama beberapa hari ini, terpikir olehnya ketetapan yang sudah
tertulis dalam buku catatannya: ia tidak akan melakukan sesuatu yang kemudian
disesalinya. Sekiranya ia beranggapan bahwa apa yang telah ia lakukan itu
memang telah menjadi sifat Jalan Pedang, onak duri yang melintang di jalan yang
dipilihnya, berarti ia terpaksa menyimpulkan bahwa masa depannya bakal suram
dan tidak manusiawi.
Dalam suasana kuil
yang damai itu, pikirannya menjadi jernih. Dan manakala ingatan tentang darah
yang tercurah dan darah beku itu mulai memudar, ia terbenam dalam rasa iba
kepada anak yang telah dibantainya.
Sambil kembali
memikirkan pertanyaan pembantu pendeta itu, katanya, "Tapi pendeta-pendeta
besar seperti Kobo Daishi dan Genshin menciptakan banyak patung sang Budha dan Bodhisatwa,
kan? Aku tahu beberapa patung Gunung Hiei ini diukir oleh pendeta. Apa
pendapatmu tentang itu?"
Sambil menelengkan
kepala, anak itu berkata ragu-ragu, "Saya tidak begitu yakin, tapi
pendeta-pendeta memang suka membuat lukisan keagamaan dan patung."
"Mari
kuceritakan sebabnya. Dengan membuat lukisan atau mengukir patung sang Budha,
mereka dapat menjadi lebih dekat kepadanya. Seorang pemain pedang dapat
memurnikan jiwanya dengan cara seperti itu juga. Kita manusia ini semua melihat
satu bulan saja, tetapi banyak jalan yang dapat kita tempuh untuk sampai ke
puncak yang terdekat dengannya. Kadang-kadang, kalau kita tersesat, kita
memutuskan untuk mencoba jalan orang lain, tapi tujuan akhirnya menemukan
penyempurnaan hidup."
Musashi berhenti,
seakan-akan masih ada yang hendak dikatakannya lagi, tapi pembantu pendeta itu
berlari mendahului dan menuding sebuah batu yang hampir tersembunyi di dalam
rumput. "Lihat," katanya. "Prasasti ini dibuat oleh Jichin. Dia
seorang pendeta-pendeta terkenal."
Musashi membaca
kata-kata yang terukir pada batu yang terbalut rumput liar itu:
Air Hukum
Akan segera menjadi
dangkal.
Pada akhirnya Angin
dingin muram akan melanda
Puncak-puncak Hiei
yang gersang
Ia terkesan sekali
oleh daya ramal penulis itu. Angin yang melanda Gunung Hiei memang dingin dan
muram, semenjak terjadinya gempuran Nobunaga yang tak kenal ampun itu. Ada
desas-desus bahwa sebagian kaum pendeta masih mendambakan zaman lama,
mendambakan tentara perkasa, pengaruh politik, dan hak-hak khusus, namun
kenyataannya mereka tidak pernah dapat memilih kepala biara baru tanpa
menimbulkan banyak intrik dan pertentangan intern yang buruk. Memang gunung
suci itu untuk menyelamatkan orang berdosa, tapi kenyataannya ia tergantung
pada derma dan sumbangan orang berdosa agar dapat hidup terus. Suatu keadaan
yang sama sekali tak menyenangkan, demikian renung Musashi.
"Mari
terus," kata anak itu tak sabar.
Ketika mereka mulai
meneruskan perjalanan, seorang pendeta Mudoji datang berlari-lari menyusul
mereka. "Seinen!" serunya, memanggil anak itu. "Ke mana engkau
pergi?"
"Ke balai utama.
Beliau ingin melihat patung Kannon."
"Apa tak bisa
lain waktu saja?"
"Maafkan saya
karena membawa anak ini, padahal barangkali ada pekerjaan lain yang mesti
diselesaikannya," kata Musashi. "Nah, ajaklah dia kembali. Saya dapat
pergi ke balai utama kapan saja."
"Saya datang
bukan untuk memanggilnya. Saya ingin Anda kembali bersama saya, kalau tidak
keberatan."
"Saya?"
"Ya, saya minta
maaf telah mengganggu Anda, tapi..."
"Apa ada orang
mencari saya?" tanya Musashi, sama sekali tidak kaget.
"Nah, ya. Sudah
saya katakan juga pada mereka Anda sedang tak ada. tapi mereka bilang baru saja
melihat Anda bersama Seinen. Dan mereka mendesak saya datang mengajak
Anda."
Dalam perjalanan
kembali ke Mudoji, Musashi bertanya kepada pendeca itu, siapa para tamunya, dan
tahulah ia bahwa mereka itu dari Sannoin, salah satu kuil cabang.
Jumlah mereka sekitar
sepuluh orang, mengenakan jubah hitam dan kepala cokelat. Wajah mereka yang
merah menunjukkan bahwa mereka golongan pendeta prajurit zaman lama yang
ditakuti itu, sebangsa tukang gertak angkuh yang mengenakan jubah pendeta.
Meskipun sayapnya sudah terpotong, kelihatannya mereka telah membangun sarang
kembali. Orangorang yang tak mampu mengambil keuntungan dari pelajaran Nobunaga
ini berkeliaran ke sana kemari menyandang pedang besar, berbuat seolah-olah
berkuasa atas orang-orang lain dan menyebut diri mereka Sarjana Hukum Budhis,
padahal sesungguhnya mereka adalah bajingan-bajingan intelektual.
"Itu dia!"
kata salah seorang.
"Dia?"
tanya yang lain, mencibir.
Mereka menatap dengan
sikap permusuhan yang tak disembunyikan. Seorang pendeta berbadan tegap dan
besar mendekati para pengantar Musashi dengan lembingnya, dan katanya,
"Terima kasih. Kalian tidak dibutuhkan sekarang. Boleh masuk kuil?"
Kemudian katanya lagi dengan kasar, "Anda Miyamoto Musashi?"
Dalam kata-kata itu
tidak ada sikap sopan. Musashi menjawab pendek, tanpa membungkuk.
Pendeta lain muncul
dari belakang. Pendeta pertama, berdeklamasi, seakan-akan membacakan teks,
"Akan saya sampaikan pada Anda keputusan yang telah diturunkan oleh
pengadilan Enryakuji. Bunyinya, "Gunung Hiei adalah pekarangan murni dan
suci, yang tidak diperkenankan dipakai sebagai tempat berlindung oleh mereka
yang menyimpan permusuhan dan dendam. Tidak pula dapat ditawarkan sebagai
tempat pelarian bagi orangorang hina yang terlibat pertentangan tidak terhormat.
Mudoji telah diperintahkan mengusir Anda segera dari gunung ini. Kalau Anda
membangkang, Anda akan dihukum keras, sesuai dengan undang-undang biara."'
"Saya akan
melakukan apa yang diputuskan biara," jawab Musashi dengan nada lunak.
"Tetapi karena sekarang sudah lewat tengah hari dan saya belum
bersiap-siap, saya mohon Anda mengizinkan saya tinggal sampai besok pagi. Juga,
saya ingin mengajukan pertanyaan, apakah keputusan ini datang dari penguasa
sipil, atau dari pendeta sendiri. Mudoji sudah melaporkan kedatangan saya. Saya
mendapat pemberitahuan tidak ada keberatan bahwa saya tinggal di sini. Saya
tidak mengerti, kenapa hal itu berubah demikian mendadak."
"Kalau Anda
memang ingin tahu," jawab pendeta pertama, "akan saya terangkan.
Semula kami dengan senang hati menawarkan keramahtamahan kami, karena Anda
bertempur sendirian melawan sejumlah besar orang. Namun kemudian kami mendapat
laporan-laporan buruk mengenai Anda, yang memaksa kami meninjau kembali
keputusan kami. Dan kami pun memutuskan tidak dapat lagi menyediakan tempat
berlindung bagi Anda."
"Laporan-laporan
buruk?" pikir Musashi dengan jengkel. Mestinya ia sudah menduga hal itu.
Perguruan Yoshioka pasti akan menjelek-jelekkannya di seluruh Kyoto. Tapi tak
ada perlunya ia mencoba mempertahankan diri.
"Baiklah,"
katanya dingin, "saya akan pergi besok pagi, pasti."
Tapi ketika ia
memasuki gerbang kuil, pendeta-pendeta itu mulai bicara yang bukan-bukan.
"Coba lihat dia,
si celaka jahat itu!"
"Dasar
biadab!"
"Biadab? Orang
dungu, itulah dia!"
Sambil menoleh dan
menatap orang-orang itu, Musashi bertanya tajam, "Apa kata kalian?"
"Oh, jadi engkau
mendengar?" tanya seorang pendeta menantang.
"Ya. Dan ada
satu hal yang mesti kalian ketahui. Saya akan menuruti keinginan kaum pendeta,
tapi saya takkan menenggang penghinaan dari orang-orang macam kalian. Apa
kalian menghendaki perkelahian?"
"Sebagai abdi
sang Budha, kami tidak ingin perkelahian," terdengar jawaban sok suci.
"Saya hanya membuka mulut, dan kata-kata saya keluar begitu saja."
"Dan itu
tentunya suara langit," kata pendeta lain.
Sejenak kemudian,
mereka semua sudah mengepung Musashi sambil menyumpah, mengejek, bahkan
meludahi Musashi. Musashi tidak tahu sampai berapa lama ia dapat mengendalikan
diri. Walaupun pendeta prajurit telah kehilangan banyak kekuatan, wakil-wakil
mereka yang baru itu rupanya belum lagi kehilangan kecongkakannya.
"Lihat!"
cemooh salah seorang pendeta. "Dan omongan orang kampung, tadinya kupikir
dia samurai yang punya rasa hormat diri. Sekarang aku tahu, dia cuma orang
bebal tak berotak! Dia tidak marah, dia bahkan tidak tahu bagaimana bicara atas
namanya sendiri."
Semakin Musashi diam,
semakin jahat lidah mereka bergoyang. Akhirnya, dengan wajah sedikit merah,
Musashi berkata, "Kalian bicara tentang suara langit lewat seorang
manusia?"
"Ya,
kenapa?"
"Kalian
mengatakan langit bicara menentangku?"
"Kau sudah
mendengar sendiri keputusan kami. Apa kau belum mengerti?"
"Belum."
"Dan kukira kau
takkan mengerti! Karena pengertianmu tak lebih dari yang kaupunyai itu,
sebetulnya kau ini mesti dikasihani. Tapi aku berani mengatakan, dalam
kehidupanmu yang akan datang, kau akan mendapat pikiran sehatmu!"
Dan ketika Musashi
tidak mengatakan sesuatu, pendeta itu melanjutkan, "Lebih baik kau
hati-hati sesudah meninggalkan gunung ini. Reputasimu tak bisa
dibanggakan."
"Apa peduliku
kata orang-orang itu?"
"Coba dengar!
Dia masih menyangka dirinya benar."
"Apa yang
kulakukan memang benar! Tak ada aku membuat aib atau bersikap pengecut dalam
pertempuran melawan orang Yoshioka."
"Kau cuma omong
kosong!"
"Apa ada
perbuatanku yang mesti membuatku malu? Coba sebutkan satu!"
"Oh, jadi kau
masih punya nyali mengatakan itu?"
"Kuperingatkan
kau. Hal-hal lain akan kuabaikan, tapi aku tak akin membiarkan orang meremehkan
pedangku!"
"Baiklah, tapi
aku ingin tahu, apakah kau dapat menjawab satu penamaan ini. Kami tahu kau
sanggup bertempur melawan kekuatan berlipat ganda. Kami mengagumi kekuatan
kasarmu. Kami memuji keberanianmu bertahan menghadapi demikian banyak orang.
Tapi kenapa kaubunuh anak yang baru tiga belas tahun umurnya? Bagaimana mungkin
kau begitu kejam, sampai membantai seorang anak?"
Wajah Musashi menjadi
pucat, tubuhnya tiba-tiba lemas.
Pendeta itu
melanjutkan. "Sesudah kehilangan tangan, Seijuro menjadi pendeta.
Denshichiro kaubunuh. Genjiro satu-satunya yang akan menggantikan mereka.
Dengan membunuh dia, engkau mengakhiri Keluarga Yoshioka. Walaupun misalnya hal
itu kaulakukan demi Jalan Samurai, perbuatan itu kejam, pengecut. Tak cukup
baik kalau kau dilukiskan sebagai orang biadab atau setan. Apa kau menganggap
dirimu manusia? Apa kau membayangkan dirimu mesti disejajarkan dengan samurai?
Bahkan apa kau termasuk milik negeri bunga sakura yang besar ini?
"Tidak! Karena
itulah kaum pendeta mengusirmu. Apa pun keadaannya, membantai anak kecil tidak
bisa diampuni. Seorang samurai sejati takkan melakukan kejahatan macam itu.
Makin kuat seorang samurai, makin lembut dan makin berbudi dia terhadap yang
lemah. Seorang samurai memahami dan menunjukkan perasaan belas kasihan.
"Sekarang
pergilah kau dari sini, Miyamoto Musashi! Selekas-lekasnya! Gunung Hiei
menolakmu!"
Sesudah melampiaskan
kemarahan, para pendeta itu beramai-ramai pergi.
Musashi menahan hujan
penghinaan yang terakhir itu dengan diam, tapi itu bukan karena ia tak punya
jawaban terhadap tuduhan-tuduhan mereka. "Apa pun yang mereka katakan, aku
yang benar," pikirnya. "Aku melakukan satu-satunya yang dapat
kulakukan untuk melindungi keyakinanku yang tidak salah."
Dengan tulus ia
percaya akan berlakunya prinsip-prinsip itu. Karena orang-orang Yoshioka
menggunakan Genjiro sebagai pembawa panji-panji mereka, tidak ada pilihan lain
kecuali membunuhnya. Dialah jenderal mereka. Selama ia masih hidup, Perguruan
Yoshioka akan tetap belum dikalahkan. Musashi dapat membunuh sepuluh, dua
puluh, atau tiga puluh orang, tapi selama Genjiro belum mati, orang-orang yang
masih hidup akan selalu menuntut kemenangan. Dengan membunuh anak itu lebih
dulu, Musashi menjadi pemenang, sekalipun misalnya kemudian ia terbunuh dalam
pertempuran.
Menurut hukum
permainan pedang, tidak ada yang kurang pada logika ini. Dan bagi Musashi,
hukum itu mutlak.
Sekalipun demikian,
ingatan kepada Genjiro betul-betul mengganggunya, menimbulkan kesangsian,
kesedihan, dan kepedihan. Bagi dirinya sendiri pun, kekejaman itu merupakan
perbuatan menjijikan.
"Apakah aku
harus membuang pedangku dan hidup seperti orang biasa?" tanyanya pada diri
sendiri. Ini bukanlah pertanyaan pertama baginya. Di bawah langit awal petang
yang jernih itu, bunga-bunga sakura putih jatuh di sana-sini, seperti
serpih-serpih saiju. Pepohonan tampak rentan, sebagaimana ia rasakan sekarang,
rentan terhadap kesangsian tentang apakah ia takkan mengubah jalan hidupnya.
"Kalau aku membuang pedang ini, aku dapat hidup dengan Otsu,"
pikirnya. Tapi kemudian teringat olehnya kehidupan santai orang-orang kota
Kyoto dan dunia yang dihuni Koetsu dan Shoyu.
"Itu bukan
duniaku," katanya mantap.
Ia melewati gerbang
dan masuk kamar. Ia duduk dekat lampu, mengambil kembali pekerjaannya yang
setengah jadi, dan mulai mengukir lagi cepat-cepat. Penting sekali baginya
menyelesaikan patung itu. Entah hasilnya bagus atau tidak, ia ingin sekali
meninggalkan sesuatu di sini, untuk menyenangkan arwah Genjiro yang telah
pergi.
Lampu memudar dan ia
pun merapikan sumbunya. Dalam ketenangan malam itu, bunyi potongan-potongan
kecil kayu yang jatuh ke atas tatami terdengar jelas. Konsentrasinya
menyeluruh, dan seluruh dirinya terpusat dengan kepekatan sempurna pada titik
kontak dengan kayu itu. Memang sekali ia mulai menugaskan dirinya, sudah sifat
alamiahnya untuk menenggelamkan diri di dalamnya sampai tugas itu selesai, tak
peduli ia bosan atau kelelahan.
Nada-nada bacaan
sutra itu timbul dan tenggelam. Tiap kali selesai merapikan sumbu lampu,
Musashi mulai lagi dengar pekerjaannya, dengan bakti dan takzim, seperti
pemahat-pemahat kuno yang kabarnya membungkuk tiga kali kepada sang Budha
sebelum mengambil pahat-pahat untuk mengukir sebuah patung. Patung Kannon yang
dibuat Musashi ini menjadi semacam doa untuk kebahagiaan Genjiro dalam
kehidupan berikutnya, dan dalam makna tertentu juga merupakan permintaan maaf
yang rendah hati untuk jiwanya sendiri.
Akhirnya ia bergumam,
"Kupikir cukuplah ini." Ketika ia meluruskan badan dan memeriksa
patung itu, lonceng pagoda timur berbunyi sebagai tanda jaga malam kedua, yang
dimulai jam sepuluh. "Sudah larut sekarano.pikirnya, lalu ia segera pergi
untuk menyatakan hormat kepada pendeta kepala, dan memintanya menyimpan patung
itu. Patung itu kasar pahatannya. tetapi Musashi telah mencurahkan seluruh
jiwanya ke dalamnya, menangis menyatakan penyesalan selagi berdoa untuk arwah
anak yang meninggal itu.
Baru saja ia keluar
dari ruangan itu, Seinen sudah datang menyapu lantai. Ketika ruangan sudah
bersih kembali, ia tebarkan kasur Musashi. lalu sambil memanggul sapu ia
berjalan kembali ke dapur. Tanpa diketahui Musashi, ketika ia masih mengukir
tadi, sesosok tubuh yang seperti kucing telah merayap masuk Mudoji lewat
pintu-pintu yang tidak pernah dikunci, dan masuk beranda. Sesudah Seinen tidak
kelihatan lagi, shoji yang menuju beranda terbuka pelan-pelan, dan kemudian
tertutup pelan-pelan juga.
Musashi kembali
sambil membawa kenang-kenangan untuk keberangkatannya, sebuah topi anyaman dan
sepasang sandal jerami. Sesudah meletakkan keduanya di samping bantal, ia
mematikan lampu dan merangkak masuk tempat tidur. Pintu-pintu luar terbuka dan
angin bertiup lembut lewat cukup terang, hingga shoji jadi berona kelabu pucat.
Bayang-bayang pohon berayun-ayun lembut seperti ombak laut terbuka yang tenang.
Musashi mendengkur
pelan. Semakin dalam tidurnya, semakin pelan napasnya. Tanpa suara, ujung tirai
kecil di sudut ruangan bergerak ke depan, dan sesosok tubuh gelap merangkak
mencuri-curi. Suara dengkuran berhenti, dan sosok hitam itu cepat bertiarap ke
lantai. Ketika napas Musashi mulai mantap lagi, si penyerbu maju sesenti demi
sesenti, dengan sabar, hati-hati, dan menyesuaikan gerak-geriknya dengan napas
yang berirama itu.
Sekonyong-konyong bayangan
itu bangkit seperti gumpalan sutra kasar hitam dan menerkam Musashi sambil
berteriak. "Mati kau!" Sebilah pedang pendek menyapu ke arah leher
Musashi. Tetapi seketika itu juga senjata itu berdentang ke samping, sementara
sosok hitam itu melayang ke belakang dan terempas ke shoji. Si penyerbu
melolong keras dan terjerembap bersama shoji ke dalam kegelapan di luar kuil.
Ketika melontarkan
orang itu, terpikir oleh Musashi bahwa orang dalam tangannya itu ringan seperti
anak kucing. Wajahnya berbalut kain, tapi sekilas terlihat olehnya rambutnya
yang putih. Tanpa beristirahat untuk memikirkan penglihatannya itu, ia
menyambar pedangnya dan berlari ke beranda.
"Berhenti!"
teriaknya. "Susah-susah kalian datang kemari, kenapa tidak kalian beri aku
kesempatan menyambut kalian baik-baik?" Ia meloncat ke tanah dan lari
kencang ke arah bunyi langkah-langkah yang menjauh. Tapi hatinya tak lagi di
situ. Beberapa detik kemudian ia berhenti, dan sambil tertawa memperhatikan
menghilangnya beberapa orang pendeta ke dalam kegelapan.
Osugi merasa
tulangnya remuk karena jatuh, dan kini ia terbaring di tanah, merintih
kesakitan. "Lho, Nenek ini tadi, ya?" seru Musashi. Ia terkejut
karena penyerangnya bukan orang Yoshioka, dan bukan juga para pendeta yang
berang itu. Dirangkulnya perempuan tua itu dan dibantunya berdiri.
"Sekarang baru
aku tahu," katanya. "Jadi, Nenek yang menyampaikan hal-hal jelek
kepada para pendeta itu, kan? Dan kukira karena cerita itu datang dari wanita
tua yang gagah berani dan tulus, mereka percaya setiap ucapan Nenek."
"Oh, punggungku
sakit!" Osugi tidak membenarkan dan tidak juga membantah tuduhan itu. Ia
menggeliat sedikit, tapi tak ada tenaga untuk mengadakan perlawanan. Dengan
lemah ia berkata, "Musashi, karena sudah begini jadinya, tak ada gunanya
mempersoalkan benar atau salah. Keluarga Hon'iden tidak beruntung dalam perang,
jadi tebaslah kepalaku sekarang."
Musashi merasa
kata-kata itu diucapkan tidak semata-mata untuk menunjukkan sikap dramatis.
Kata-kata itu terdengar sebagai ucapan seorang perempuan yang sudah berjalan
sejauh kemampuannya, dan kini ingin mengakhiri perjalanan itu.
"Sakit,
ya?" tanya Musashi yang tak hendak menerima kata-kata Osugi secara
sungguh-sungguh. "Di mana yang sakit? Nenek dapat tinggal di sini malam
ini, jadi tak perlu kuatir." Diangkatnya perempuan itu, dibawanya ke
dalam, dan diletakkannya di kasurnya. Sepanjang malam dirawatnya perempuan itu
sambil duduk di sampingnya.
Ketika hari terang,
Seinen membawakan Musashi bekal makan yang dimintanya, diiringi pesan pendeta
kepala yang minta maaf atas sikapnya yang kasar, dan mendesak Musashi untuk
pergi selekas mungkin.
Musashi mengirimkan
pesan juga, menerangkan bahwa ia sekarang menanggung seorang perempuan tua yang
sudah sakit-sakitan. Pendeta tak ingin Osugi tinggal di kuil itu, dan
menyampaikan sebuah saran. Rupanya seorang saudagar dari kota Otsu telah datang
ke kuil itu, membawa seekor lembu dan meninggalkan binatang itu untuk diurus
pendeta kepala, sementara ia pergi ke tempat lain. Pendeta menawarkan kepada
Musashi untuk menggunakan binatang itu. Katanya, Musashi dapat menyuruh Osugi
naik lembu itu untuk turun gunung. Di Otsu, lembu dapat ditinggalkan di
dermaga, atau di salah satu rumah penjualan borongan di sekitar tempat itu.
Musashi menerima
tawaran itu dengan ucapan terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar