Rabu, 12 Juli 2017



Air Terjun Jantan dan Betina


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg






"HUU, PANAS!" seru Jotaro. "Belum pernah saya berkeringat macam ini waktu naik gunung. Di mana kita sekarang?"

"Dekat Celah Magome," kata Musashi. "Orang bilang, ini bagian paling sukar dari jalan raya ini."

"Ah, saya tak tahu, tapi ini memang berat. Senang rasanya sampai Edo. Di sana banyak orang-betul, Otsu?"

"Memang banyak, tapi aku takkan buru-buru sampai di sana. Lebih baik aku menghabiskan waktu di jalan sepi macam ini."

"Itu karena Kakak naik lembu. Akan lain pendapat Kakak kalau jalan kaki. Lihat! Ada air terjun di sana!"

"Mari kita istirahat," kata Musashi.

Ketiga orang itu masuk jalan setapak yang sempit. Di mana-mana tanah berselimut bunga-bungaan liar, dan masih lembap oleh embun pagi. Sampai di sebuah gubuk kosong, pada sebuah batu yang menghadap ke air terjun, mereka berhenti. Jotaro membantu Otsu turun dari lembu, kemudian mengikatkan binatang itu ke sebatang pohon.

"Lihat, Musashi," kata Otsu. Ia menuding sebuah papan nama, bunyinya: "Meoto no Taki". Alasan nama itu, yang berarti "Air Terjun Jantan dan Betina", mudah dimengerti karena batu-batu karang membelah air terjun itu menjadi dua bagian, yang besar tampak sangat jantan, yang lain kecil lembut.

Lembah dan riam di bawah air terjun itu merangsang tenaga baru dalam tubuh Jotaro. Sambil setengah melompat setengah menari ia turun ke pinggir yang terjal, ia berseru bersemangat ke atas, "Ada ikan di bawah sini!"

Beberapa menit kemudian ia berteriak, "Saya bisa menangkapnya! Saya lempar dengan batu, dan satu terguling mati."

Tak lama sesudah itu, suaranya yang hampir tidak kedengaran akibat deru air terjun menggema dari jurusan lain lagi.

Musashi dan Otsu duduk dalam bayangan gubuk kecil, di antara pelangi kecil yang tak terhitung jumlahnya, yang diciptakan oleh matahari yang bersinar ke rumput basah.

"Ke mana perginya anak itu menurutmu?" tanya Otsu. "Dia sukar sekali diatur."

"Begitu pendapatmu? Oh, aku lebih gawat daripada itu waktu seumur dia. Tapi Matahachi sebaliknya, betul-betul berkelakuan baik. Heran juga aku, di mana dia sekarang. Aku lebih kuatir tentang dia daripada tentang Jotaro."

"Aku senang dia tak ada di sini. Sekiranya dia di sini, aku terpaksa menyembunyikan diri."

"Kenapa? Kupikir dia akan mengerti kalau kita menjelaskan."

"Tapi aku sangsi. Dia dan ibunya itu tidak macam orang-orang lain."

"Otsu, apa betul kau takkan mengubah pikiranmu?"

"Tentang apa?"

"Maksudku, apa tak mungkin kau memutuskan ingin kawin dengan Matahachi?"

Wajah Otsu mengejang karena guncangan. "Tentu saja tidak!" jawabnya berang. Kelopak matanya berubah menjadi merah muda bunga anggrek. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, sementara getar kecil pada kerahnya yang putih seolah meneriakkan, "Aku milikmu, dan bukan milik siapa-siapa lagi!"

Musashi menyesali kata-katanya, dan menoleh memandang Otsu. Selama beberapa hari itu, ia telah memperhatikan permainan cahaya pada tubuh Otsu-pada malam hari seperti sinar lampu yang berkelip-kelip, pada siang hari seperti sinar hangat matahari. Melihat kulit Otsu yang berkilau oleh keringat, teringat olehnya kembang teratai. Karena dengan kasur jerami Otsu ia hanya dipisahkan oleh tabir rapuh, ia dapat mencium harum samar rambut hitam Otsu. Sekarang deru air menjadi satu dengan dentam darahnya, dan ia merasa dirinya tertelan oleh suatu dorongan perkasa.

Mendadak ia berdiri dan pergi ke tempat yang diterangi matahari, di mana rumput musim dingin masih tinggi, kemudian duduk dengan beratnya dan menarik keluh panjang.

Otsu datang dan berlutut di sampingnya, merangkul lututnya dan menjulurkan lehernya untuk menengok wajah Musashi yang diam dan takut.

"Ada apa?" tanyanya. "Ada kata-kataku yang membuatmu marah? Maafkan aku, aku menyesal."

Semakin tegang Musashi, dan semakin tajam pandangan matanya, semakin erat Otsu bergayut padanya. Kemudian tiba-tiba Otsu memeluknya. Keharuman serta kehangatan tubuhnya menguasai Musashi.

"Otsu!" teriak Musashi tak sabar, sambil menangkap Otsu dengan tangannya yang berotot, lalu mendorongnya sampai telentang di rumput.

Kerasnya pelukan Musashi membuat Otsu sesak napas. Ia memberontak untuk membebaskan diri, lalu meringkuk di samping Musashi.

"Tak boleh! Tak boleh kau melakukan itu!" jeritnya serak. "Bagaimana mungkin kau melakukan itu? Lebih-lebih kau..." Dan menangislah ia tersedu-sedu.

Nafsu Musashi yang menyala-nyala tiba-tiba mendingin oleh nada nyeri dan ngeri yang terpancar dari mata Otsu, dan mendadak sontak sadarlah Musashi akan dirinya. "Kenapa?" teriaknya. "Kenapa?" Karena malu dan marah, ia sendiri hampir saja menangis.

Kemudian Otsu pergi meninggalkan kantong bedak yang terjatuh dari kimononya. Sambil menatap kosong ke arahnya, Musashi mengerang, kemudian menunduk ke tanah dan membiarkan air mata nyeri dan kecewa jatuh ke rumput layu.

Ia merasa Otsu telah memperolok-olokkannya, menipunya, mengalahkannya, menyiksanya, dan mempermalukannya. Tidakkah kata-kata Otsu bibirnya, matanya, rambutnya, tubuhnya—telah mengundangnya? Tidakkah Otsu telah berusaha keras menyalakan api di dalam hatinya? Tapi ketika api telah menyala, ia lari ketakutan?

Ditinjau dari sudut logika yang salah, kelihatannya segala usahanya untuk menjadi manusia super telah gagal, dan segala perjuangan serta kesengsaraan yang dialaminya jadi tidak berarti sama sekali. la membenamkan wajahnya ke rumput. Dikatakannya pada diri sendiri bahwa tak ada perbuatannya yang salah, tetapi hati nuraninya tak terpuaskan.

Apa arti keperawanan bagi seorang gadis, yang hanya bisa memilikinya selama periode singkat dalam hidupnya—betapa berharga dan indahnya keperawanan itu baginya-sama sekali tak pernah terpikirkan oleh Musashi.

Tapi sementara bernapas dalam bau tanah itu, berangsur-angsur Musashi memperoleh kembali kendali dirinya. Dan ketika akhirnya ia memaksa dirinya berdiri, api yang mengamuk itu sudah lenyap dari matanya, dan wajahnya sudah bebas dari nafsu. Tak sengaja ia menginjak kantong bedak, dan berdiri memandang tanah dengan saksama, seakan-akan sedang mendengarkan suara pegunungan. Alisnya yang hitam lebat terjalin menjadi satu, seperti waktu ia terjun ke tengah pertempuran di bawah pohon pinus lebar itu.

Matahari bersembunyi di balik awan, dan jerit tajam seekor burung membelah udara. Angin berubah, dan secara tak kentara mengubah bunyi air yang jatuh.

Dengan hati berdebar, seperti hati burung layang-layang yang ketakutan, Otsu memperhatikan penderitaan Musashi itu dari balik pohon. Sadar bahwa ia telah melukainya dalam-dalam, ia ingin Musashi berada di sampingnya lagi, tapi betapa ingin pun ia berlari mendapatkan Musashi dan memohon maaf, tubuhnya tak hendak menurut. Untuk pertama kali ia sadar bahwa kekasih yang telah diserahi hatinya itu bukanlah pria penuh kebajikan seperti pernah dibayangkannya. Menemukan binatang yang telanjang itu, berupa daging, darah, dan nafsu, matanya suram oleh kesedihan dan ketakutan.

Ia tadi lari, tapi baru dua puluh langkah, cinta telah menangkap dan menghentikan-nya. Sekarang, sesudah sedikit lebih tenang, ia mulai membayangkan bahwa nafsu Musashi itu berbeda dengan nafsu laki-laki lain. Lebih dari apa pun di dunia ini, ia ingin meminta maaf dan meyakinkan Musashi bahwa ia tidak tersinggung oleh perbuatan Musashi.

"Dia masih marah," pikirnya takut, tapi tiba-tiba sadarlah ia bahwa Musashi tidak ada lagi di depan matanya. "Oh, apa yang mesti kulakukan?"

Dengan gugup ia kembali ke gubuk kecil itu, tetapi di sana hanya ada kabut putih dingin dan gemuruh air yang seolah mengguncang pohon-pohonan, mengacau segala getaran di sekitarnya.

"Otsu! Ada kejadian mengerikan! Musashi menceburkan diri ke air!" Teriakan kalut Jotaro itu datang dari tanjung yang menghadap lembah, sesaat sebelum ia mencekal batang wisteria dan mulai turun, berayun dari dahan ke dahan, seperti monyet.

Otsu tidak begitu jelas mendengar kata-kata Jotaro, tapi ia merasakan gentingnya kata-kata itu. Ia mengangkat kepala dan mulai merangkak menuruni jalan setapak yang terjal, tergelincir-gelincir oleh rumput liar, dan berpegangan pada batu-batuan.

Sosok tubuh yang tampak lewat cipratan dan kabut air itu menyerupai sebuah batu besar, tetapi itulah tubuh Musashi yang telanjang. Kedua tangannya terkatup dan kepalanya tunduk. Tubuh itu tampak kerdil dibandingkan air setinggi dua puluh meter yang mengempaskannya.

Setengah jalan, Otsu berhenti dan menatap ngeri. Di seberang sungai, Jotaro juga berdiri terpaku.

"Sensei!'

"Musashi!"

Teriakan mereka tak pernah sampai ke telinga Musashi. Seribu naga perak bagaikan menggigit kepala dan bahunya, sedangkan mata seribu setan air meledak di sekitarnya. Kisaran-kisaran air menarik-narik kakinya, siap menyeretnya ke arah maut. Satu kekeliruan saja dalam bernapas, satu kesalahan saja dalam detak jantung, maka tumitnya akan kehilangan pegangan lemah atas dasar sungai yang berselimut ganggang itu, tubuhnya akan tersapu ke dalam aliran dahsyat, dan takkan ada jalan kembali. Paru-paru dan jantungnya seolah runtuh oleh beban tak terhitung—seluruh massa Pegunungan Magome—yang jatuh ke tubuhnya.

Hasratnya akan Otsu mati pelan-pelan, karena hasrat itu bersaudara dekat dengan watak pemarahnya. Tanpa watak itu, tak mungkin ia ikut Pertempuran Sekigahara atau melaksanakan satu pun dari segala prestasinya yang luar biasa. Tetapi bahayanya justru terletak pada kenyataan bahwa pada taraf tertentu, bertahun-tahun masa latihannya bisa menjadi tak berdaya menghadapi hasrat itu, dan menenggelamkannya kembali ke taraf binatang liar yang tidak berbudi. Dan melawan musuh seperti ini, musuh yang tak berbentuk dan tersembunyi, pedangnya sama sekali tak berguna.

Dengan bingung, kacau, dan sadar akan kekalahan besar yang dideritanya, ia berdoa semoga air yang menggila itu dapat mengembalikan kepadanya tuntutan disiplin yang sedang dikejarnya.

"Sensei! Sensei!" teriakan Jotaro berubah menjadi lolongan bercampur tangis. "Kakak tak boleh mati! Kakak jangan mati!" Ia ikut mengatupkan tangan di depan dada. Wajahnya berubah bentuk, seakan-akan ia ikut menanggung beban air itu, sengatannya, nyerinya, dan dinginnya.

Melihat ke seberang sungai itu, Jotaro tiba-tiba merasa lemas. Ia tak mengerti sama sekali apa yang dilakukan Musashi; rupanya Musashi bertekad tinggal di bawah aliran deras itu sampai mati, tapi sekarang Otsu... di mana Otsu? Ia yakin Otsu telah meloncat sampai mati ke sungai di bawah.

Tapi kemudian ia dengar suara Musashi mengatasi bunyi air. Kata-katanya tidak jelas. Ia pikir mungkin kata-kata itu dari kitab sutra, tapi kemudian... barangkali juga kata-kata itu sumpah serapah marah, umpatan pada diri sendiri.

Suara itu penuh kekuatan dan hidup. Bahu Musashi yang lebar dan tubuhnya yang berotot memancarkan kemudaan dan kekuatan, seakan-akan jiwanya telah dicuci, dan sekarang siap untuk memulai hidup kembali.

Jotaro mulai merasakan bahwa apa pun yang telah terjadi sudah lewat. Ketika cahaya matahari petang membentuk pelangi di atas air terjun, ia berseru, "Otsu!" Ia berharap Otsu telah meninggalkan sisi batu karang itu, karena menduga Musashi tidak berada dalam bahaya nyata. "Kalau dia yakin Musashi sehat-sehat saja," pikirnya, "tak ada yang mesti kukuatirkan. Dia kenal Musashi lebih baik dariku, sampai ke dasar hatinya."

Jotaro melompat-lompat dengan riangnya turun ke sungai. Ia menemukan tempat aliran yang sempit. Ia menyeberanginya dan naik ke tepi yang lain. Ia mendekat diam-diam, dan terlihat olehnya Otsu ada di dalam gubuk, meringkuk di lantai sambil mendekap kimono dan pedang Musashi ke dadanya.

Jotaro merasa air mata Otsu yang tak disembunyikan itu bukanlah air mata biasa. Dan walau tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, ia merasa itu urusan Otsu. Beberapa menit kemudian, ia menyelinap diam-diam kembali ke tempat lembu berbaring di rumput yang keputihan, dan menelentangkan diri di sampingnya.

"Dengan kecepatan begini, entah kapan bisa sampai di Edo," katanya. ?

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP