Air Terjun Jantan dan
Betina
"HUU,
PANAS!" seru Jotaro. "Belum pernah saya berkeringat macam ini waktu
naik gunung. Di mana kita sekarang?"
"Dekat Celah
Magome," kata Musashi. "Orang bilang, ini bagian paling sukar dari
jalan raya ini."
"Ah, saya tak
tahu, tapi ini memang berat. Senang rasanya sampai Edo. Di sana banyak
orang-betul, Otsu?"
"Memang banyak,
tapi aku takkan buru-buru sampai di sana. Lebih baik aku menghabiskan waktu di
jalan sepi macam ini."
"Itu karena
Kakak naik lembu. Akan lain pendapat Kakak kalau jalan kaki. Lihat! Ada air
terjun di sana!"
"Mari kita
istirahat," kata Musashi.
Ketiga orang itu
masuk jalan setapak yang sempit. Di mana-mana tanah berselimut bunga-bungaan
liar, dan masih lembap oleh embun pagi. Sampai di sebuah gubuk kosong, pada
sebuah batu yang menghadap ke air terjun, mereka berhenti. Jotaro membantu Otsu
turun dari lembu, kemudian mengikatkan binatang itu ke sebatang pohon.
"Lihat,
Musashi," kata Otsu. Ia menuding sebuah papan nama, bunyinya: "Meoto
no Taki". Alasan nama itu, yang berarti "Air Terjun Jantan dan
Betina", mudah dimengerti karena batu-batu karang membelah air terjun itu
menjadi dua bagian, yang besar tampak sangat jantan, yang lain kecil lembut.
Lembah dan riam di
bawah air terjun itu merangsang tenaga baru dalam tubuh Jotaro. Sambil setengah
melompat setengah menari ia turun ke pinggir yang terjal, ia berseru
bersemangat ke atas, "Ada ikan di bawah sini!"
Beberapa menit
kemudian ia berteriak, "Saya bisa menangkapnya! Saya lempar dengan batu,
dan satu terguling mati."
Tak lama sesudah itu,
suaranya yang hampir tidak kedengaran akibat deru air terjun menggema dari
jurusan lain lagi.
Musashi dan Otsu
duduk dalam bayangan gubuk kecil, di antara pelangi kecil yang tak terhitung
jumlahnya, yang diciptakan oleh matahari yang bersinar ke rumput basah.
"Ke mana
perginya anak itu menurutmu?" tanya Otsu. "Dia sukar sekali
diatur."
"Begitu pendapatmu?
Oh, aku lebih gawat daripada itu waktu seumur dia. Tapi Matahachi sebaliknya,
betul-betul berkelakuan baik. Heran juga aku, di mana dia sekarang. Aku lebih
kuatir tentang dia daripada tentang Jotaro."
"Aku senang dia
tak ada di sini. Sekiranya dia di sini, aku terpaksa menyembunyikan diri."
"Kenapa? Kupikir
dia akan mengerti kalau kita menjelaskan."
"Tapi aku
sangsi. Dia dan ibunya itu tidak macam orang-orang lain."
"Otsu, apa betul
kau takkan mengubah pikiranmu?"
"Tentang
apa?"
"Maksudku, apa
tak mungkin kau memutuskan ingin kawin dengan Matahachi?"
Wajah Otsu mengejang
karena guncangan. "Tentu saja tidak!" jawabnya berang. Kelopak
matanya berubah menjadi merah muda bunga anggrek. Ia menutup wajahnya dengan
kedua tangan, sementara getar kecil pada kerahnya yang putih seolah
meneriakkan, "Aku milikmu, dan bukan milik siapa-siapa lagi!"
Musashi menyesali
kata-katanya, dan menoleh memandang Otsu. Selama beberapa hari itu, ia telah
memperhatikan permainan cahaya pada tubuh Otsu-pada malam hari seperti sinar
lampu yang berkelip-kelip, pada siang hari seperti sinar hangat matahari.
Melihat kulit Otsu yang berkilau oleh keringat, teringat olehnya kembang
teratai. Karena dengan kasur jerami Otsu ia hanya dipisahkan oleh tabir rapuh,
ia dapat mencium harum samar rambut hitam Otsu. Sekarang deru air menjadi satu
dengan dentam darahnya, dan ia merasa dirinya tertelan oleh suatu dorongan
perkasa.
Mendadak ia berdiri
dan pergi ke tempat yang diterangi matahari, di mana rumput musim dingin masih
tinggi, kemudian duduk dengan beratnya dan menarik keluh panjang.
Otsu datang dan
berlutut di sampingnya, merangkul lututnya dan menjulurkan lehernya untuk
menengok wajah Musashi yang diam dan takut.
"Ada apa?"
tanyanya. "Ada kata-kataku yang membuatmu marah? Maafkan aku, aku
menyesal."
Semakin tegang
Musashi, dan semakin tajam pandangan matanya, semakin erat Otsu bergayut
padanya. Kemudian tiba-tiba Otsu memeluknya. Keharuman serta kehangatan
tubuhnya menguasai Musashi.
"Otsu!"
teriak Musashi tak sabar, sambil menangkap Otsu dengan tangannya yang berotot,
lalu mendorongnya sampai telentang di rumput.
Kerasnya pelukan
Musashi membuat Otsu sesak napas. Ia memberontak untuk membebaskan diri, lalu
meringkuk di samping Musashi.
"Tak boleh! Tak
boleh kau melakukan itu!" jeritnya serak. "Bagaimana mungkin kau
melakukan itu? Lebih-lebih kau..." Dan menangislah ia tersedu-sedu.
Nafsu Musashi yang
menyala-nyala tiba-tiba mendingin oleh nada nyeri dan ngeri yang terpancar dari
mata Otsu, dan mendadak sontak sadarlah Musashi akan dirinya.
"Kenapa?" teriaknya. "Kenapa?" Karena malu dan marah, ia
sendiri hampir saja menangis.
Kemudian Otsu pergi
meninggalkan kantong bedak yang terjatuh dari kimononya. Sambil menatap kosong
ke arahnya, Musashi mengerang, kemudian menunduk ke tanah dan membiarkan air
mata nyeri dan kecewa jatuh ke rumput layu.
Ia merasa Otsu telah
memperolok-olokkannya, menipunya, mengalahkannya, menyiksanya, dan
mempermalukannya. Tidakkah kata-kata Otsu bibirnya, matanya, rambutnya,
tubuhnya—telah mengundangnya? Tidakkah Otsu telah berusaha keras menyalakan api
di dalam hatinya? Tapi ketika api telah menyala, ia lari ketakutan?
Ditinjau dari sudut
logika yang salah, kelihatannya segala usahanya untuk menjadi manusia super
telah gagal, dan segala perjuangan serta kesengsaraan yang dialaminya jadi
tidak berarti sama sekali. la membenamkan wajahnya ke rumput. Dikatakannya pada
diri sendiri bahwa tak ada perbuatannya yang salah, tetapi hati nuraninya tak
terpuaskan.
Apa arti keperawanan
bagi seorang gadis, yang hanya bisa memilikinya selama periode singkat dalam
hidupnya—betapa berharga dan indahnya keperawanan itu baginya-sama sekali tak
pernah terpikirkan oleh Musashi.
Tapi sementara
bernapas dalam bau tanah itu, berangsur-angsur Musashi memperoleh kembali
kendali dirinya. Dan ketika akhirnya ia memaksa dirinya berdiri, api yang
mengamuk itu sudah lenyap dari matanya, dan wajahnya sudah bebas dari nafsu.
Tak sengaja ia menginjak kantong bedak, dan berdiri memandang tanah dengan
saksama, seakan-akan sedang mendengarkan suara pegunungan. Alisnya yang hitam
lebat terjalin menjadi satu, seperti waktu ia terjun ke tengah pertempuran di
bawah pohon pinus lebar itu.
Matahari bersembunyi
di balik awan, dan jerit tajam seekor burung membelah udara. Angin berubah, dan
secara tak kentara mengubah bunyi air yang jatuh.
Dengan hati berdebar,
seperti hati burung layang-layang yang ketakutan, Otsu memperhatikan
penderitaan Musashi itu dari balik pohon. Sadar bahwa ia telah melukainya
dalam-dalam, ia ingin Musashi berada di sampingnya lagi, tapi betapa ingin pun
ia berlari mendapatkan Musashi dan memohon maaf, tubuhnya tak hendak menurut.
Untuk pertama kali ia sadar bahwa kekasih yang telah diserahi hatinya itu
bukanlah pria penuh kebajikan seperti pernah dibayangkannya. Menemukan binatang
yang telanjang itu, berupa daging, darah, dan nafsu, matanya suram oleh
kesedihan dan ketakutan.
Ia tadi lari, tapi
baru dua puluh langkah, cinta telah menangkap dan menghentikan-nya. Sekarang,
sesudah sedikit lebih tenang, ia mulai membayangkan bahwa nafsu Musashi itu
berbeda dengan nafsu laki-laki lain. Lebih dari apa pun di dunia ini, ia ingin
meminta maaf dan meyakinkan Musashi bahwa ia tidak tersinggung oleh perbuatan
Musashi.
"Dia masih
marah," pikirnya takut, tapi tiba-tiba sadarlah ia bahwa Musashi tidak ada
lagi di depan matanya. "Oh, apa yang mesti kulakukan?"
Dengan gugup ia
kembali ke gubuk kecil itu, tetapi di sana hanya ada kabut putih dingin dan
gemuruh air yang seolah mengguncang pohon-pohonan, mengacau segala getaran di
sekitarnya.
"Otsu! Ada
kejadian mengerikan! Musashi menceburkan diri ke air!" Teriakan kalut
Jotaro itu datang dari tanjung yang menghadap lembah, sesaat sebelum ia
mencekal batang wisteria dan mulai turun, berayun dari dahan ke dahan, seperti
monyet.
Otsu tidak begitu
jelas mendengar kata-kata Jotaro, tapi ia merasakan gentingnya kata-kata itu.
Ia mengangkat kepala dan mulai merangkak menuruni jalan setapak yang terjal,
tergelincir-gelincir oleh rumput liar, dan berpegangan pada batu-batuan.
Sosok tubuh yang
tampak lewat cipratan dan kabut air itu menyerupai sebuah batu besar, tetapi
itulah tubuh Musashi yang telanjang. Kedua tangannya terkatup dan kepalanya
tunduk. Tubuh itu tampak kerdil dibandingkan air setinggi dua puluh meter yang
mengempaskannya.
Setengah jalan, Otsu
berhenti dan menatap ngeri. Di seberang sungai, Jotaro juga berdiri terpaku.
"Sensei!'
"Musashi!"
Teriakan mereka tak
pernah sampai ke telinga Musashi. Seribu naga perak bagaikan menggigit kepala
dan bahunya, sedangkan mata seribu setan air meledak di sekitarnya.
Kisaran-kisaran air menarik-narik kakinya, siap menyeretnya ke arah maut. Satu
kekeliruan saja dalam bernapas, satu kesalahan saja dalam detak jantung, maka
tumitnya akan kehilangan pegangan lemah atas dasar sungai yang berselimut
ganggang itu, tubuhnya akan tersapu ke dalam aliran dahsyat, dan takkan ada
jalan kembali. Paru-paru dan jantungnya seolah runtuh oleh beban tak
terhitung—seluruh massa Pegunungan Magome—yang jatuh ke tubuhnya.
Hasratnya akan Otsu
mati pelan-pelan, karena hasrat itu bersaudara dekat dengan watak pemarahnya.
Tanpa watak itu, tak mungkin ia ikut Pertempuran Sekigahara atau melaksanakan
satu pun dari segala prestasinya yang luar biasa. Tetapi bahayanya justru
terletak pada kenyataan bahwa pada taraf tertentu, bertahun-tahun masa
latihannya bisa menjadi tak berdaya menghadapi hasrat itu, dan
menenggelamkannya kembali ke taraf binatang liar yang tidak berbudi. Dan
melawan musuh seperti ini, musuh yang tak berbentuk dan tersembunyi, pedangnya sama
sekali tak berguna.
Dengan bingung,
kacau, dan sadar akan kekalahan besar yang dideritanya, ia berdoa semoga air
yang menggila itu dapat mengembalikan kepadanya tuntutan disiplin yang sedang
dikejarnya.
"Sensei!
Sensei!" teriakan Jotaro berubah menjadi lolongan bercampur tangis.
"Kakak tak boleh mati! Kakak jangan mati!" Ia ikut mengatupkan tangan
di depan dada. Wajahnya berubah bentuk, seakan-akan ia ikut menanggung beban
air itu, sengatannya, nyerinya, dan dinginnya.
Melihat ke seberang
sungai itu, Jotaro tiba-tiba merasa lemas. Ia tak mengerti sama sekali apa yang
dilakukan Musashi; rupanya Musashi bertekad tinggal di bawah aliran deras itu
sampai mati, tapi sekarang Otsu... di mana Otsu? Ia yakin Otsu telah meloncat
sampai mati ke sungai di bawah.
Tapi kemudian ia
dengar suara Musashi mengatasi bunyi air. Kata-katanya tidak jelas. Ia pikir
mungkin kata-kata itu dari kitab sutra, tapi kemudian... barangkali juga
kata-kata itu sumpah serapah marah, umpatan pada diri sendiri.
Suara itu penuh
kekuatan dan hidup. Bahu Musashi yang lebar dan tubuhnya yang berotot
memancarkan kemudaan dan kekuatan, seakan-akan jiwanya telah dicuci, dan
sekarang siap untuk memulai hidup kembali.
Jotaro mulai
merasakan bahwa apa pun yang telah terjadi sudah lewat. Ketika cahaya matahari
petang membentuk pelangi di atas air terjun, ia berseru, "Otsu!" Ia
berharap Otsu telah meninggalkan sisi batu karang itu, karena menduga Musashi
tidak berada dalam bahaya nyata. "Kalau dia yakin Musashi sehat-sehat
saja," pikirnya, "tak ada yang mesti kukuatirkan. Dia kenal Musashi
lebih baik dariku, sampai ke dasar hatinya."
Jotaro
melompat-lompat dengan riangnya turun ke sungai. Ia menemukan tempat aliran
yang sempit. Ia menyeberanginya dan naik ke tepi yang lain. Ia mendekat
diam-diam, dan terlihat olehnya Otsu ada di dalam gubuk, meringkuk di lantai
sambil mendekap kimono dan pedang Musashi ke dadanya.
Jotaro merasa air
mata Otsu yang tak disembunyikan itu bukanlah air mata biasa. Dan walau tak
sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, ia merasa itu urusan Otsu. Beberapa menit
kemudian, ia menyelinap diam-diam kembali ke tempat lembu berbaring di rumput
yang keputihan, dan menelentangkan diri di sampingnya.
"Dengan
kecepatan begini, entah kapan bisa sampai di Edo," katanya. ?
0 komentar:
Posting Komentar