Sabtu, 15 Juli 2017



Hujan Musim Semi yang Merah

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg









"Yajibei tak ada di sini?" tanya Kojiro keras.

Para penjudi begitu tenggelam dalam permainan, dan orang-orang yang menangis sedang tenggelam dalam kenangan tentang masa kecil mereka, hingga tak seorang pun menjawab.

Ia pergi mendapatkan Juro yang sedang menelentang dengan mata tertutup tangan, katanya, "Boleh aku tanya, apa yang terjadi di sini?"

"Oh, saya tidak tahu Anda yang datang tadi." Di sana-sini, orang-orang buru-buru menghapus mata dan membuang ingus, ketika Juro dan lainlainnya bangkit berdiri dan membungkuk malu-malu kepada guru pedang mereka.

"Kau menangis?" tanya Kojiro.

"Ya, ya. Maksud saya... tidak."

"Aneh sekali kau ini."

Yang lain-lain pergi menjauh, dan Juro bercerita tentang peristiwa yang dialaminya, bertemu dengan Musashi. Ia merasa senang ada pokok soal yang dapat mengalihkan perhatian Kojiro dari keadaan di kamar para pemuda itu. "Karena majikan pergi," katanya, "kami tidak tahu apa yang mesti dilakukan, dan Osugi memutuskan pergi sendiri untuk bicara dengan Anda."

Mata Kojiro menyala-nyala. "Musashi menginap di penginapan Bakurocho?"

"Betul, tapi sekarang dia tinggal di rumah Zushino Kosuke."

"Oh, ini peristiwa kebetulan yang menarik."

"Apa betul begitu?"

"Kebetulan aku mengirimkan Galah Pengeringku pada Zushino buat digarap. Sebetulnya sekarang ini harus selesai. Aku datang kemari hari ini buat mengambilnya."

"Anda sudah pergi ke sana?"

"Belum. Kupikir, aku singgah beberapa menit dulu ke sini."

"Untung sekali. Kalau mendadak memperlihatkan diri, Musashi bisa menyerang Anda."

"Aku tidak takut padanya. Tapi bagaimana mungkin aku bicara dengan wanita tua itu, kalau dia tak ada di sini?"

"Saya kira dia belum sampai Isarago. Akan saya kirim pelari yang baik, buat mem-bawanya kembali."

Dalam sidang perang yang diadakan malam itu, Kojiro mengemukakan pendapat bahwa tak ada alasan untuk menanti kembalinya Yajibei. Ia sendiri akan bertindak selaku pembantu Osugi, hingga Osugi akhirnya dapat melakukan balas dendam. Juro dan Koroku minta ikut, tapi lebih banyak untuk gengsi daripada untuk membantu. Sekalipun sadar akan reputasi Musashi sebagai petarung, tak pernah mereka membayangkan bahwa ia sebanding dengan guru mereka yang gemilang itu.

Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa malam itu. Osugi memang bersemangat sekali, tapi ia sangat lelah dan mengeluh sakit punggung. Maka mereka memutuskan melaksanakan rencana mereka itu malam berikutnya.

Sore keesokan harinya, Osugi mandi air dingin, menghitamkan gigi, dan mencat rambutnya. Senja hari itu, ia melakukan persiapan menghadapi pertempuran, mula-mula mengenakan jubah dalam putih yang dibelinya untuk pakaian mati dan sudah dibawa ke mana-mana bertahun-tahun lamanya itu. Ia sudah mencapkan jubah itu, demi nasib baik, di setiap tempat suci dan kuil yang ia kunjungi-Sumiyoshi di Osaka, Oyama Hachiman dan Kiyomizudera di Kyoto, Kuil Kannon di Asakusa, dan berlusin-lusin bangunan keagamaan yang kurang menonjol di berbagai bagian negeri ini. Cap-cap suci yang tertera di jubah itu sudah membuatnya menyerupai kimono celup ikat. Osugi merasa lebih aman dengan jubah itu daripada, misalnya, dengan baju besi.

Dengan hati-hati ia sisipkan surat kepada Matahachi ke dalam sabuk di bawah obi-nya, bersama satu salinan Sutra tentang Cinta Agung Orangtua. Juga sepucuk surat lain yang selalu disimpannya dalam kantung uang kecil. Surat itu berbunyi, Walaupun aku sudah tua, sudah menjadi nasibku mengembara di seluruh negeri ini, dalam usaha melaksanakan satu harapan besar. Tak mungkin aku mengetahui kesudahannya, tapi aku mungkin terbunuh oleh musuh bebuyutanku, atau mati karena penyakit di pinggir jalan. Sekiranya ini nasib yang menimpa, kuminta para pejabat dan orang-orang yang berkemauan baik menggunakan uang dalam kantung ini untuk mengirim tubuhku pulang. Osugi, janda Hon'iden, Kampung Yoshino, Provinsi Mimasaka.

Sesudah pedang terletak pada tempatnya, tulang kering sudah terbungkus kain pembalut kaki warna putih, tangan sudah mengenakan sarung tangan tanpa jari, dan obi yang berjahit kasar sudah erat mengikat kimononya yang tak berlengan itu, maka persiapan yang dilakukannya hampir sempurna. Sebuah mangkuk berisi air diletakkannya di meja tulis, lalu ia berlutut di depannya, dan katanya, "Aku pergi sekarang." Kemudian ia memejamkan mata dan duduk tak bergerak-gerak, menujukan seluruh pikirannya kepada Paman Gon.

Juro membuka shoji sedikit dan mengintip. "Sudah siap, Nek?" tanyanya. "Sudah waktunya kita berangkat. Kojiro menunggu."

"Aku siap."

Ia menggabungkan diri dengan yang lain-lain, memasuki tempat kehormatan yang mereka sediakan di depan ceruk kamar. Koroku mengambil mangkuk dari meja, meletakkannya ke tangan Osugi, dan dengan hati-hati mengisinya dengan sake. Kemudian dituangkannya juga untuk Kojiro dan Juro. Ketika keempat orang itu sudah minum, lampu mereka padamkan, dan mereka berangkat.

Beberapa orang Hangawara minta dibawa serta, tapi Kojiro menolak, karena rombongan besar tidak hanya akan menarik perhatian, tapi juga membebani mereka nanti dalam pertempuran.

Ketika mereka sedang keluar dari pintu gerbang, seorang anak muda berseru kepada mereka untuk menunggu. Ia kemudian menyalakan api dengan batu api, sebagai tanda nasib baik. Di luar itu, di bawah langit yang kelam oleh awan mendung, burung-burung bulbul menyanyi.

Selagi mereka menempuh jalan-jalan gelap dan sunyi, anjing-anjing mulai menyalak, kemudian menyingkir, barangkali karena secara naluriah mereka merasa keempat manusia itu sedang melaksanakan misi yang menakutkan.

"Apa itu?" tanya Koroku sambil menatap ke belakang, ke arah jalan sempit.

"Apa kau melihat sesuatu?"

"Ada orang mengikuti kita."

"Barangkali salah seorang dari rumah kita," kata Kojiro. "Mereka semua begitu ingin ikut kita."

"Mereka lebih suka cekcok daripada makan."

Mereka mengikuti belokan jalan, dan Kojiro berhenti di bawah tepian atap sebuah rumah, katanya, "Toko Kosuke di sekitar sini, kan?" Suara mereka beralih menjadi bisikan.

"Di jalan ini, di pinggir sana."

"Apa yang mesti kita lakukan sekarang?" kata Koroku.

"Terus seperti rencana. Kalian bertiga sembunyi dalam bayangan. Aku masuk toko."

"Bagaimana kalau Musashi menyelinap keluar dari pintu belakang?"

"Jangan kuatir. Kurang kemungkinannya dia lari dariku, seperti aku juga dari dia. Kalau dia lari, habislah riwayatnya sebagai pemain pedang."

"Tapi barangkali kita mesti menempatkan diri di kedua sisi yang berhadapan sekitar rumah itu, buat berjaga-jaga."

"Baik. Nah, seperti kita setujui, akan kubawa Musashi ke luar, dan aku akan berjalan bersamanya. Kalau nanti kami sampai dekat Osugi, aku akan mencabut pedang dan mengejutkannya. Itulah saatnya Osugi keluar dan menyerang."

Osugi sampai lupa diri karena bersyukur. "Terima kasih, Kojiro. Kau begitu baik terhadapku. Kau tentunya inkarnasi Hachiman yang Agung." Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, seakan-akan ia berhadapan dengan dewa perang sendiri.

Dalam hati, Kojiro sepenuhnya yakin bahwa apa yang ia lakukan itu benar. Rasanya manusia biasa takkan bisa membayangkan betapa besar perasaan benar diri yang dimiliki Kojiro saat ia naik menuju pintu Kosuke itu.

Semula, ketika Musashi dan Kojiro masih muda belia, penuh semangat, dan berhasrat memperlihatkan keunggulan, sebetulnya tidak ada alasan yang dalam untuk terjadinya permusuhan di antara mereka. Memang benar ada persaingan, tapi hanya pergesekan yang biasa muncul antara dua petarung yang kuat perkasa dan hampir sebanding. Tetapi, yang kemudian menyayat hati Kojiro, adalah karena Musashi lambat laun memperoleh kemasyhuran sebagai pemain pedang. Dari pihak Musashi sendiri, ia menghormati keterampilan Kojiro yang luar biasa itu, terkecuali wataknya, dan ia selalu menghadapi Kojiro dengan cukup hati-hati. Namun tahun-tahun berlalu, dan mereka mendapati diri mereka saling berselisih mengenai berbagai soal Keluarga Yoshioka, nasib Akemi, peristiwa janda Hon'iden. Sekarang sudah tak mungkin lagi untuk berdamai.

Dan kini, ketika Kojiro memutuskan untuk menjadi pelindung Osugi, jalannya peristiwa sudah menjadi nasib yang tak terelakkan lagi.

"Kosuke!" Kojiro mengetuk-ngetuk pintu dengan pelan. "Apa kau masih jaga?" Cahaya lampu menerobos sebuah celah, tapi tak ada tanda kehidupan lain di dalam rumah.

Beberapa saat kemudian, terdengar pertanyaan. "Siapa?"

"Iwama Kakubei menggosokkan pedangku padamu. Aku datang mengambilnya."

"Pedang yang besar panjang itu?"

"Buka dulu, biar aku masuk."

"Tunggu sebentar."

Pintu terbuka, dan kedua orang itu saling pandang. Kosuke menghalangi jalan, katanya singkat, "Pedang itu belum selesai."

"Oh, begitu." Kojiro mendesak melewati Kosuke, dan duduk di anak tangga yang menuju toko. "Kapan selesainya?"

"Nah, coba ya...." Kosuke menggosok dagunya dan menarik sudut-sudut matanya ke bawah, membuat wajahnya jadi tampak lebih sedih lagi.

Kojiro merasa dirinya dipermainkan. "Apa menurutmu tidak terlalu lama kau menggarap pedangku?"

"Sudah saya katakan dengan terang sekali pada Kakubei, saya tak bisa menjanjikan kapan selesainya."

"Aku tak bisa lagi tanpa pedang itu."

"Kalau begitu, Anda ambillah kembali."

"Apa pula ini?" Kojiro tercengang. Tukang tidak biasa bicara demikian kepada samurai. Tapi Kojiro tidak mencoba mencari ketegasan mengenai apa yang melatarbelakangi sikap orang itu, melainkan langsung mengambil kesimpulan bahwa kunjungannya itu sudah diketahui terlebih dulu. Karena menurut pendapatnya ia mesti bertindak cepat, maka katanya, "Omong-omong, kudengar Miyamoto Musashi dari Mimasaka tinggal di sini denganmu."

"Dari mana Anda dengar itu?" kata Kosuke, tampak waspada. "Kebetulan dia memang tinggal dengan kami."

"Bisa tolong panggilkan dia? Sudah lama aku tidak ketemu dia, sejak kami di Kyoto."

"Siapa nama Anda?"

"Sasaki Kojiro. Dia tahu siapa aku."

"Akan saya sampaikan bahwa Anda di sini, tapi saya tak tahu apakah dia mau menjumpai Anda."

"Tunggu sebentar."

"Ya?"

"Barangkali lebih baik kujelaskan. Kebetulan aku mendengar di rumah Yang Dipertuan Hosokawa bahwa orang yang wajahnya seperti Musashi tinggal di sini. Aku datang dengan maksud mengundang Musashi ke luar, untuk minum dan bicara sedikit."

"Saya mengerti." Kosuke membalikkan tubuh dan pergi ke belakang rumah.

Kojiro menimbang-nimbang, apa yang akan dilakukannya kalau Musashi menaruh kecurigaan dan menolak menjumpainya. Dua-tiga muslihat terpikir olehnya, tapi sebelum sempat mengambil keputusan, ia sudah dikejutkan oleh jeritan panjang menghebohkan.

Ia melompat seperti orang yang baru ditendang dengan kasar. Ia salah perhitungan. Strateginya telah diketahui—tidak hanya diketahui, melainkan telah berbalik menge-nainya. Musashi tentu telah menyelinap dari pintu belakang, menikung ke depan, dan menyerang. Tapi siapa yang menjerit tadi? Osugi? Juro? Koroku?

"Kalau begini jadinya...," pikir Kojiro muram ketika ia berlari ke luar. Otot-ototnya menegang, darahnya berpacu, dan dalam sekejap ia sudah siap menghadapi segalanya. "Biar bagaimana, cepat atau lambat aku mesti bertempur dengannya," pikirnya. Ia tahu itu, semenjak terjadinya peristiwa di celah Gunung Hiei. Sekarang tibalah waktunya! Kalau Osugi sudah dirobohkan, Kojiro bersumpah, darah Musashi akan menjadi persembahan bagi kedamaian abadi jiwa orang tua itu.

Baru saja melewati jarak sekitar sepuluh langkah, ia mendengar namanya dipanggil dari sisi jalan. Suara yang terdengar kesakitan itu seolah menghentikan larinya.

"Koroku, ya?"

"S-saya ke-kena!"

"Juro! Di mana Juro?"

"D-dia juga!"

"Di mana dia?" Sebelum datang balasan, Kojiro sudah melihat sosok Juro yang basah kuyup oleh darah, sekitar dua puluh meter jauhnya. Seluruh tubuhnya lalu siap siaga menjaga keselamatan dirinya. Tuturnya, "Koroku! Ke mana perginya Musashi?"

"Bukan... bukan... Musashi!" Koroku menggelengkan kepalanya ke kirike kanan, karena tak mampu mengangkatnya.

"Apa katamu? Kaubilang bukan Musashi yang menyerangmu?"

"Bukan... bukan... Musa..."

"Siapa itu tadi?"

Pertanyaan itu tidak terjawab oleh Koroku.

Dengan pikiran kacau, Kojiro berlari mendekati Juro dan menariknya berdiri pada kerah kimononya yang merah lengket. "Juro, coba katakan, siapa itu tadi? Ke mana perginya?"

Tetapi Juro bukannya menjawab, melainkan meratap dengan napas terakhir yang berurai air mata, "Ibu... maafkan... mestinya tak..."

"Apa yang kau omongkan itu?" dengus Kojiro sambil melepaskan pakaian yang basah oleh darah itu.

"Kojiro! Kojiro! Kau itu, ya?"

Kojiro berlari ke arah suara Osugi, dan di situ dilihatnya perempuan tua itu tergeletak tanpa daya di selokan, wajah dan rambutnya penuh dengan jerami dan kupasan sayuran. "Keluarkan aku dari sini," mohonnya.

"Apa kerja Ibu di air kotor itu?"

Suara Kojiro lebih terdengar marah daripada bersimpati. Direnggutkannya Osugi dengan serta-merta ke jalan, dan di situ Osugi roboh seperti gombal. "Ke mana perginya orang itu?" tanya Osugi, mendahului kata-kata yang akan diucapkan Kojiro.

"Orang yang mana? Siapa yang menyerang Ibu tadi?"

"Aku tidak tahu betul kejadiannya, tapi aku yakin orang yang mengikuti kita tadi itu."

"Apa dia menyerang tiba-tiba?"

"Ya! Entah dari mana, macam tiupan angin. Tak sempat lagi bicara. Dia melompat dari tempat gelap, dan menyerang Juro dulu. Begitu Koroku menarik pedang, dia sudah luka juga."

"Ke mana dia pergi?'

"Dia dorong aku ke samping, jadi aku tak melihatnya, tapi langkah kakinya ter-dengar ke sana." Osugi menuding ke sungai.

Kojiro berlari melintasi lapangan kosong, tempat orang biasa menyelenggarakan pasar kuda, dan sampai di tanggul Yanagihara. Di situ ia berhenti dan menoleh ke sekitar. Tak jauh dari situ, ia melihat beberapa tumpukan kayu, lampu, dan orang. Ketika sudah dekat, ia lihat orang-orang itu adalah pemikul joli. "Dua teman saya dipukul orang di jalan cabang, tak jauh dari sini," katanya. "Tolong ambil mereka dan bawa ke rumah Hangawara Yajibei di daerah tukang kayu. Bersama mereka ada seorang perempuan tua. Bawa dia juga."

"Apa mereka diserang penyamun?"

"Apa di sekitar sini ada penyamun?"

"Banyak sekali. Kami sendiri mesti hati-hati."

"Mestinya tadi ada orang lari dari sudut sana. Apa kalian tak melihatnya?"

"Maksud Tuan, baru saja?"

"Ya."

"Saya berangkat sekarang," kata pemikul joli itu. la dan teman-temannya mengangkat tiga joli dan bersiap berangkat. "Bagaimana bayarannya?" tanya seorang. "Minta saja kalau sudah sampai sana."

Kojiro cepat memeriksa tepi sungai dan sekitar tumpukan kayu. Sambil memeriksa, ia memutuskan untuk kembali ke rumah Yajibei. Tak banyak gunanya bertemu dengan Musashi tanpa Osugi. Dan lagi kurang bijaksana menghadapi orang itu dalam keadaan pikiran seperti sekarang.

Ia kembali dan sampai di sebuah tempat terbuka yang sempit. Salah satu sisi tempat terbuka itu ditumbuhi sebaris pohon paulownia. Ia memandangnya sebentar, kemudian, ketika membalik, ia melihat kilas pedang di antara pepohonan itu. Sebelum ia menyadarinya, setengah lusin daun sudah runtuh. Pedang itu diarahkan ke kepalanya.

"Pengecut tak punya hati!" teriaknya.

"Bukan!" terdengar balasannya, ketika pedang untuk kedua kalinya menebas dari kegelapan.

Kojiro berpusing dan melompat balik sejauh tiga meter penuh. "Kalau kau Musashi, kenapa tidak pakai cara..." Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pedang itu sudah menyerang lagi. "Siapa kau!" teriaknya. "Apa kau tidak salah sasaran?"

Tebasan ketiga dapat ia elakkan dengan baik. Si penyerang terengah-engah. Sebelum mencoba menebas untuk keempat kalinya, sadarlah ia bahwa usaha yang dilakukannya sia-sia saja. Ia mengubah taktik dan mulai mendesak ke depan, sambil menyorongkan pedang. Matanya memancarkan api. "Diam kau!" teriaknya. "Tak ada yang salah sama sekali! Tapi akan menyegarkan ingatanmu kalau kau tahu namaku. Aku Hojo Shinzo."

"Oh, jadi kau salah seorang murid Obata?"

"Kau sudah menghina guruku dan membunuh beberapa kawanku."

"Tapi, menurut sopan santun prajurit, kau bebas menantangku terang-terangan, kapan saja. Sasaki Kojiro tak biasa main petak umpet."

"Kubunuh kau."

"Silakan, coba saja."

Sambil memperhatikan orang itu makin mendekat-empat meter, diam-diam Kojiro pun melonggarkan bagian atas kimononya dan melekatkan tangan kanannya ke pedang. "Ayo!" teriaknya.

Tantangan itu ternyata menimbulkan keraguan pada Shinzo, kesangsian sesaat. Tubuh Kojiro membungkuk ke depan, lengannya mendetak seperti busur, dan terdengar dering logam. Detik berikutnya pedangnya sudah mendetak tajam, masuk kembali ke sarungnya. Yang tampak tadi hanya sebaris kilasan cahaya.

Shinzo masih berdiri, kakinya terbuka lebar. Tidak ada darah yang keluar, tapi jelas ia sudah terluka. Walaupun pedangnya masih terulur setinggi mata, tangan kirinya dengan refleks sudah memegang leher.

"Oh!" Terdengar suara tergagap dari depan dan belakang Shinzo—dari Kojiro dan dari orang yang berlari mendekat dari arah belakang Shinzo. Bunyi langkah kaki dan suara itu menyebabkan Kojiro lari ke dalam gelap.

"Apa yang terjadi?" teriak Kosuke. la menggapai untuk membantu Shinzo, tapi tubuh orang itu roboh dengan seluruh bobotnya ke tangannya.

"Oh, gawat ini!" teriak Kosuke, "Tolong! Hei! Tolong!"

Sekeping daging yang tak lebih besar dari kerang remis jatuh dari leher Shinzo. Darah menyembur, semula membasahi lengan Shinzo, kemudian tepi kimononya, dan terus ke kakinya.


Potongan Kayu









BLUK. Satu lagi buah prem yang masih hijau jatuh dari pohon di kebun gelap di luar. Musashi tidak menghiraukannya, itu pun kalau ia mendengarnya. Dalam cahaya lampu yang terang namun bergoyang-goyang itu. rambutnya yang kusut tampak berat dan tegak, kelihatan kering dan kemerahan.

"Bukan main sukarnya anak ini!" demikian ibunya dulu sering mengeluh. Watak keras kepala yang demikian sering menyebabkan si ibu mencucurkan air mata itu masih melekat padanya, sama teguhnya dengan bekas luka di kepalanya. Sisa sebuah bisul besar selagi ia kecil dulu.

Kenangan tentang ibunya kini mengapung di dalam angannya. Sekali-sekali, wajah yang sedang diukirnya mirip sekali dengan wajah ibunya.

Beberapa menit sebelum itu, Kosuke datang ke pintunya. Setelah ragu-ragu sebentar, ia berseru, "Anda masih kerja? Ada orang datang. Namanya Sasaki Kojiro. Katanya ingin ketemu. Dia menunggu di bawah. Anda mau bicara dengannya, atau saya katakan saja Anda sudah tidur?"

Musashi hanya samar-samar menyadari bahwa Kosuke sudah mengulang-ulang pesan itu, tapi ia sendiri tak yakin apakah sudah menjawab.

Meja kecil, lutut Musashi, dan lantai di sekitar itu sudah penuh serpihan kayu. Ia sedang berusaha menyelesaikan patung Kannon yang ia janjikan pada Kosuke sebagai ganti pedang itu. Tugas itu lebih menantang lagi. karena merupakan pesanan khusus dari Kosuke, orang yang jelas sekali sikap suka atau tidak sukanya.

Ketika pertama kali Kosuke mengeluarkan potongan kayu sepanjang duapuluh lima sentimeter dari sebuah lemari, dan pelan-pelan menyerahkan kepadanya, Musashi melihat bahwa kayu itu mestinya sudah enam atau tujuh ratus tahun umurnya. Kosuke memperlakukan kayu itu seperti pusaka, karena kayu itu berasal dari sebuah kuil abad delapan di kubur Pangeran Shotoku di Shinaga.

"Waktu itu saya melakukan perjalanan ke sana," Kosuke menjelaskan, "ketika mereka sedang membetulkan bangunan-bangunan tua itu. Beberapa biarawan dan tukang kayu bodoh mengampaki balok-balok tua itu untuk kayu api. Saya tak tahan melihat kayu itu disia-siakan demikian, karena itu saya minta mereka memotongkan kayu ini buat saya."

Urat kayu itu baik, begitu juga sentuhan kayu itu pada pisau, tapi karena Kosuke demikian tinggi menilai hartanya itu, Musashi jadi gugup. Kalau ia membuat kesalahan sedikit saja, pasti ia merusak bahan yang tak tergantikan lagi itu.

Ia mendengar debam keras yang kedengarannya seperti angin mengempaskan gerbang sampai terbuka di pagar halaman. Ia menengadah dari pekerjaannya, barangkali untuk pertama kalinya semenjak ia mulai mengukir, dan pikirnya, "Apa mungkin Iori?" Ia menelengkan kepala, menanti.

"Kenapa berdiri menganga saja?" teriak Kosuke pada istrinya. "Apa kau tidak lihat, orang ini luka parah? Tak ada bedanya kamar yang mana!"

Di belakang Kosuke, orang-orang yang mengangkut Shinzo sibuk menawarkan pertolongan.

"Ada minuman keras buat membasuh luka? Kalau tak ada, saya akan pulang mengambil."

"Saya akan memanggil dokter."

Sesudah keributan itu mereda sedikit, kata Kosuke, "Saya ucapkan terima kasih kepada Anda sekalian. Saya pikir kita sudah menyelamatkan hidupnya. Tak perlu kuatir lagi." Ia membungkuk rendah kepada masing-masing orang itu, ketika mereka meninggalkan rumah.

Akhirnya mulai sadarlah Musashi bahwa ada sesuatu yang telah terjadi, dan Kosuke terlibat dalam kejadian itu. Ia mengibaskan serpihan kayu dari pangkuannya, menuruni tangga yang tersusun dari peti-peti penyimpanan yang bertingkat-tingkat, dan pergi ke kamar tempat Kosuke dan istrinya sedang berdiri menekuri orang yang terluka itu.

"Oh, Anda masih jaga?" tanya si penggosok pedang, sambil menyingkir memberikan tempat pada Musashi.

Musashi duduk dekat bantal orang itu, memperhatikan wajahnya baikbaik, dan tanyanya. "Siapa dia?"

"Saya sendiri terkejut bukan main. Saya tidak mengenalinya, sampai kami sudah membawanya kemari. Ini Hojo Shinzo, anak Yang Dipertuan Hojo dari Awa. Dia pemuda yang sangat berbakti, yang beberapa tahun lamanya belajar di bawah pimpinan Obata Kagenori."

Hati-hati Musashi mengangkat ujung pembalut putih di sekitar leher Shinzo, memeriksa luka yang sudah dibakar, dan kemudian dicuci dengan alkohol. Gumpal daging sebesar kerang remis itu teriris rapi sekali, hingga kelihatan nadi lehernya yang berdetik-detik. Maut sudah demikian dekat.

"Siapa?" Musashi bertanya-tanya dalam hati. Melihat bentuk lukanya, ada kemungkinan pedangnya sedang mengayun ke atas dalam pukulan layang-layang terbang. Pukulan layang-layang terbang? Ini ciri khas Kojiro.

"Anda tahu kejadiannya?" tanya Musashi.

"Belum."

"Saya juga tidak tahu, tentu saja, tapi saya dapat mengatakan ini." Ia mengangguk-kan kepala, penuh keyakinan. "Ini ulah Sasaki Kojiro."

Sampai di kamarnya sendiri, Musashi berbaring di atas tatami, berbantalkan tangan, tanpa menghiraukan barang-barang yang berantakan di sekitarnya. Kasurnya telah dihamparkan, tapi tak dihiraukannya, sekalipun ia sudah lelah.

Hampir empat puluh delapan jam berturut-turut ia bekerja membuat patung itu. Karena ia bukan pematung, maka ia tak punya keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah-masalah sulit, dan ia juga tidak dapat membuat goresan-goresan cekatan untuk mengoreksi kesalahan. Tak ada yang menjadi pegangannya, kecuali gambaran Kannon yang disimpannya dalam hati. Satu-satunya teknik baginya adalah bagaimana menjernihkan otaknya dari pikiran-pikiran sampingan, dan berusaha keras untuk secara tulus memindahkan gambaran itu ke dalam kayunya.

Sejenak ia mengira patung itu sudah berbentuk, tapi ternyata bentuk itu salah. Gambaran dalam pikirannya salah dituangkan oleh kerja belati di tangannya. Kali lain ia merasa mendapat kemajuan lagi, tapi kembali ukiran itu meleset. Sesudah berkali-kali membuat kesalahan, potongan kayu kuno itu pun surut, tinggal sepanjang sepuluh senti.

Ia mendengar burung bulbul berbunyi dua kali, dan ia tertidur selama sekitar satu jam. Ketika terbangun, tubuhnya yang kuat kembali menggelembung penuh kekuatan, dan pikirannya jernih sejernih-jernihnya. Ia bangkit, dan pikirnya, "Kali ini pasti berhasil." Ia pergi ke sumur di belakang rumah, membasuh wajah, dan meneguk air banyak-banyak. Dengan badan segar kembali, ia duduk di samping lampu lagi dan mulai bekerja dengan tenaga baru.

Pisau itu sekarang terasa lain. Melalui urat kayu, ia rasakan sejarah berabad-abad termuat dalam potongan kayu itu. Ia tahu bahwa kalau kali ini ukirannya salah lagi, takkan ada yang tertinggal kecuali timbunan serpihan kayu yang tak berguna. Beberapa jam berikutnya, ia memusatkan perhatian dengan saksama. Tidak sekali pun punggungnya ditegakkan, dan ia juga tidak berhenti untuk minum air. Langit menjadi terang, burung-burung mulai menyanyi, dan semua pintu rumah itu dibuka agar rumah dapat dibersihkan, tapi pintu Musashi sendiri tetap tertutup. Perhatiannya terus terpusat pada ujung pisaunya.

"Musashi, Anda tak apa-apa?" tanya tuan rumah dengan nada kuatir, ketika ia membuka shoji dan masuk kamar.

"Tidak bagus," keluh Musashi. Ia menegakkan badan dan melemparkan belati ke samping. Potongan kayu itu tinggal seukuran ibu jari manusia. Kayu di sekitar kakinya bertebaran seperti saiju.

"Tidak bagus?"

"Tidak bagus."

"Bagaimana kayunya?"

"Habis.... Tak dapat saya menampilkan bentuk bodhisatwa itu." Ia meletakkan tangan di belakang kepala, dan baru merasa dirinya kembali ke bumi, sesudah tergantung-gantung di antara khayal dan pencerahan dalam jangka waktu tak menentu. "Betul-betul tidak bagus. Sudah waktunya melupakan dan bersemedi."

Ia berbaring menelentang, memejamkan mata, dan gangguan-gangguan terasa menyingkir, digantikan oleh kabut yang membutakan. Lambat laun pikirannya terisi oleh gagasan tunggal tentang kehampaan tak terbatas.



Kebanyakan tamu yang meninggalkan penginapan pagi itu adalah pedagang kuda. Mereka pulang sesudah berakhirnya pasar empat hari pada hari sebelumnya. Selama beberapa minggu mendatang, penginapan tidak akan mendapat banyak pengunjung.

Melihat Iori menaiki tangga, pemilik penginapan memanggilnya dari kantor.

"Ada apa?" tanya Iori. Dan tempat yang menguntungkan itu, ia dapat melihat bagian botak yang disamarkan dengan baik di kepala perempuan itu.

"Mau ke mana kau?"

"Ke atas, ke tempat guru saya. Apa ada yang salah?"

"Lebih dari itu," jawab perempuan itu dengan pandangan jengkel. "Kapan kau meninggalkan tempat ini?"

Iori menghitung dengan jari, dan menjawab, "Hari sebelum kemarin dulu, saya pikir."

"Jadi, tiga hari yang lalu?"

"Betul."

"Kau berlambat-lambat, ya? Apa yang terjadi? Apa ada rubah menenungmu?"

"Bagaimana kau bisa tahu? Kau sendiri mestinya rubah." Ion pun mengikik mendengar kata-kata tangkisannya sendiri, kemudian mulai naik lagi.

"Gurumu tak ada di situ lagi."

"Aku tak percaya." la lari mendaki tangga, tapi segera berbalik dengan pandangan cemas. "Apa dia ganti kamar?"

"Ada apa denganmu ini? Sudah kukatakan, dia sudah pergi."

"Betul-betul pergi?" Dalam suara Iori terdengar nada panik. "Kalau kau tak percaya, lihat saja dulu rekeningnya. Lihat, tidak?"

"Tapi kenapa? Kenapa dia pergi sebelum aku pulang?"

"Karena kau pergi terlalu lama."

"Tapi... tapi..." Iori menangis. "Ke mana dia pergi? Ayolah, kasih tahu."

"Dia tidak bilang ke mana perginya. Kurasa dia meninggalkanmu karena kau begitu tak berguna."

Wajah Iori berubah warha, dan ia menyerbu ke jalan. la melihat ke timur, ke barat, kemudian ke langit. Air matanya bercucuran.

Sambil menggaruk kepalanya yang botak dengan sisir, pecahlah tawa garau perempuan itu. "Jangan nangis lagi," serunya. "Aku cuma membohongimu. Gurumu tinggal di rumah penggosok pedang di sana itu." Baru saja ia selesai bicara, sebuah ladam jerami melayang masuk kantor itu.



Dengan takut-takut, Iori duduk bersila di dekat Musashi, dan dengan suara ditekan melaporkan, "Saya sudah kembali."

Ia melihat suasana murung menyelimuti rumah. Serpihan kayu belum dibersihkan, dan lampu yang sudah padam masih terletak di tempatnya semalam.

"Saya sudah kembali," ulang Iori, tapi tidak lagi keras seperti tadi. "Siapa ini?" gumam Musashi, sambil pelan-pelan membuka mata. "Iori."

Musashi cepat duduk. Ia merasa lega melihat anak itu kembali dengan selamat, tapi satu-satunya yang diucapkannya adalah, "Oh, kau, ya?"

"Minta maaf, begitu lama saya pergi." Kata-kata itu tak terbalas. "Maafkan saya." Permintaan maaf maupun bungkukan sopan tidak mendatangkan balasan.

Musashi mengetatkan obi-nya, katanya, "Buka jendela-jendela, dan bersihkan kamar."

Ia keluar kamar, dan baru Iori sempat berkata, "Baik, Pak." Musashi pergi ke kamar bawah di belakang, dan bertanya pada Kosuke, bagaimana keadaan si sakit pagi itu.

"Kelihatannya sudah bisa beristirahat lebih baik."

"Anda mestinya lelah. Apa saya mesti kembali sesudah makan pagi. supaya Anda dapat beristirahat?"

Kosuke menjawab tak ada perlunya. "Ada satu hal yang perlu dilakukan." tambahnya. "Saya pikir, kita mesti kasih tahu Perguruan Obata tentang ini. tapi tak ada orang yang bisa saya suruh."

Musashi menawarkan pergi sendiri atau menyuruh Iori, kemudian ia kembali ke kamarnya sendiri, yang kini sudah rapi. Ia duduk, dan katanya. "Iori, apa ada balasan suratku?"

Karena lega tidak dimarahi, anak itu tersenyum. "Ya, saya membawa balasan. Ada di sini." Dengan wajah penuh kemenangan, ia mengambil surat dari dalam kimononya.

"Bawa sini."

Iori maju berlutut dan meletakkan kertas lipatan itu ke tangan Mushasi yang diulurkan.

Dengan permintaan maaf, terpaksa saya sampaikan, tulis Sukekuro, bahwa Yang Dipertuan Munenori sebagai guru shogun tidak dapat melakukan pertarungan dengan Anda, sebagaimana Anda kehendaki. Namun kalau Anda datang berkunjung dengan tujuan lain, ada kemungkinan Yang Dipertuan menyambut Anda di dojo. Kalau Anda masih merasa ingin sekali mencoba tangan Anda melawan Gaya Yagyu, saya pikir yang terbaik adalah Anda menghadapi Yagyu Hyogo. Namun dengan menyesal perlu saya sampaikan bahwa ia berangkat ke Yamato kemarin, untuk mendampingi Yang Dipertuan Sekishusai yang sakit keras. Karena demikian keadaannya, terpaksa saya mohon Anda mengundurkan kunjungan Anda sampai lain hari. Pada waktu lain, saya senang dapat mengatur segala sesuatunya.



Sambil pelan-pelan menggulung kembali gulungan panjang itu, Musashi tersenyum. Karena merasa lebih aman, Iori melunjurkan kakinya dengan enak, katanya, "Rumah itu bukan di Kobikicho, tapi di tempat yang namanya Higakubo. Rumah itu besar sekali, bagus sekali, dan Kimura Sukekuro memberi saya banyak makanan yang enak-enak."

Dengan alis melengkung, yang menyatakan tak setuju dengan sikap akrab itu, Musashi berkata muram, "Iori."

Kaki anak itu cepat bergerak kembali pada kedudukan yang wajar, yaitu bersimpuh di bawahnya, "Ya, Pak."

"Biarpun kau tersesat, apa tiga hari itu tidak terlalu lama menurutmu? Apa yang terjadi?"

"Saya kena tenung rubah."

"Rubah?"

"Ya, Pak, rubah."

"Bagaimana mungkin anak macam kau, yang lahir dan dibesarkan di desa, kena tenung rubah?"

"Saya tidak tahu, tapi setelah itu saya tak ingat, di mana tadinya saya berada selama setengah hari setengah malam."

"Hmm. Aneh sekali."

"Ya, Pak. Tap pikir saya sendiri begini. Barangkali rubah di Edo lebih dendam kepada orang banyak daripada yang ada di kampung."

"Kukira benar begitu." Melihat sikap sungguh-sungguh anak itu, Musashi tak sampai hati memakinya, tapi ia merasa perlu mengejar maksudnya. "Tapi kukira," sambungnya, "kau waktu itu akan melakukan sesuatu yang tak semestinya."

"Tapi rubah itu mengikuti saya, dan supaya dia tidak menenung saya, saya lukai dia dengan pedang saya. Dan akibatnya dia menghukum saya."

"Ah, tak mungkin."

"Tak mungkin, ya?"

"Tidak. Bukan rubah yang menghukummu. Itu hati nuranimu sendiri yang tidak kelihatan. Sekarang duduklah di situ, dan pikirkan hal itu sebentar. Kalau nanti aku kembali, ceritakan padaku, apa arti semua itu menurutmu."

"Baik, Pak. Apa Bapak mau pergi sekarang?"

"Ya, ke suatu tempat dekat Tempat Suci Hirakawa, di Kojimachi."

"Bapak kembali petang hari, kan?"

"Ha, ha. Tentunya, kecuali kalau rubah menangkapku."

Musashi berangkat, meninggalkan Iori untuk merenungkan hati nuraninya. Di luar, langit digelapkan oleh awan suram, awan musim hujan di tengah musim panas.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP