Rabu, 12 Juli 2017



Peringatan Ibu


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg




"Bu," kata Gonnosuke, "Ibu ini sudah keterlaluan. Apa Ibu tak lihat aku sendiri juga jengkel?" Waktu itu ia menangis, dan kata-kata itu keluar tersendat-sendat.

"Ssst! Nanti dia bangun." Suara ibunya pelan, tapi tegas. Nadanya seperti mengomeli anak umur tiga tahun. "Kalau kau memang merasa kecewa, satu-satunya yang mesti kaulakukan adalah kendalikan dirimu dan ikuti Jalan itu dengan segenap hatimu. Menangis tak banyak gunanya. Dan lagi tak pantas. Hapus mukamu itu."

"Pertama-tama, Ibu berjanji memaafkan aku atas kegagalan kemarin."

"Memang tak mungkin Ibu tidak mengomelimu, tapi Ibu kira bagaimanapun soal ini soal keterampilan. Orang bilang, makin lama orang tidak menghadapi tantangan, makin lemah dia. Sudah sewajarnya kalau kau kalah."

"Mendengar pendapat Ibu, membuat soal ini lebih berat lagi. Ibu sudah memberikan dorongan padaku, tapi aku kalah. Aku tahu sekarang, tak ada bakat atau semangatku menjadi petarung sejati. Terpaksa aku meninggalkan seni perang, dan puas menjadi petani saja. Lebih banyak aku dapat berbuat untuk Ibu dengan cangkul daripada dengan tongkat."

Musashi sudah terjaga. Ia duduk tegak, dan kagum mengetahui bahwa pemuda dan ibunya menanggapi perkelahian itu demikian sungguh-sungguh. Ia sendiri sudah melupakan-nya, menganggapnya sebagai kesalahan dirinva dan Gonnosuke. "Tinggi sekali rasa kehormatan mereka," gumamnya. Diam-diam ia merangkak ke kamar sebelah. Ia pergi ke ujung kamar dan mengintip dari celah papan shoji.

Dalam cahaya samar matahari terbit, tampak ibu Gonnosuke duduk membelakangi altar Budha. Gonnosuke berlutut dengan patuh di depannya, matanya memandang ke bawah dan wajahnya basah oleh air mata.

Sambil mencengkeram bagian belakang kerah anaknya, kata ibu berapi-api, "Apa katamu tadi? Apa pula itu, mau hidup sebagai petani' " Sambil menarik anaknya ke dekatnya, hingga kepala Gonnosuke terletak di lututnya, ia melanjutkan dengan nada sakit hati, "Cuma satu pegangan Ibu menempuh tahun-tahun ini, yaitu agar dapat menjadikanmu seorang samurai untuk memulihkan nama baik keluarga kita. Karena itu kuminta kau membaca semua buku itu dan mempelajari seni perang. Dan itu sebabnya Ibu bisa hidup bertahun-tahun ini dalam serba kekurangan. Tapi sekarang... sekarang kaubilang akan membuang semua itu?"

Si ibu sendiri mulai menangis. "Semenjak kau membiarkan dia mengunggulimu, di situ kau mesti sudah ada niat memperbaiki namamu. Dia masih di sini. Kalau nanti dia bangun, tantang dia mengadakan pertarungan lagi. Itulah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kembali kepercayaan dirimu."

Sambil mengangkat muka, kata Gonnosuke sedih, "Sekiranya aku dapat melakukannya, Bu, tak akan aku merasa seperti sekarang ini."

"Apa yang terjadi denganmu? Tak wajar sikapmu ini. Di mana semangatmu?"

"Tadi malam, ketika aku pergi dengannya ke empang, kubuka selalu mataku lebar-lebar, mencari kesempatan menyerangnya, tapi aku tak dapat melakukannya. Meskipun pada diri sendiri terus kubisikkan dia cuma seorang ronin tak bernama, tapi saat kuperhatikan dia baik-baik, tanganku menolak bergerak."

"Itu karena kau berpikir seperti pengecut."

"Terserah. Aku tahu dalam diriku mengalir darah samurai Kiso. Dan aku belum lupa bagaimana aku berdoa di depan Dewa Ontake dua puluh satu hari lamanya."

"Kau sudah bersumpah di depan Dewa Ontake akan menggunakan tongkatmu untuk menciptakan perguruan sendiri, kan?"

"Ya, tapi kukira aku terlalu puas diri. Tak pernah aku memikirkan bahwa orang lain pun tahu cara bertarung. Kalau aku sementah seperti kutunjukkan kemarin, bagaimana mungkin aku mendirikan perguruan sendiri? Daripada aku hidup dalam kemiskinan dan menyaksikan Ibu kelaparan, lebih baik kupatahkan tongkatku dan kulupakan dia."

"Belum pernah sebelum ini kau kalah, dan kau sudah mengalami sejumlah pertandingan. Barangkali Dewa Ontake bermaksud memberikan pelajaran kepadamu dengan kekalahan kemarin itu. Barangkali kau dihukum karena merasa terlalu yakin. Meninggalkan tongkat untuk lebih mencurahkan perhatian pada Ibu bukan cara untuk membuat Ibu bahagia. Kalau ronin itu bangun, tantang dia. Kalau kau kalah lagi, baru boleh kau mematahkan tongkat dan melupakan ambisimu."

Musashi kembali ke kamarnya untuk memikirkan persoalan itu. Kalau Gonnosuke menantangnya, terpaksa ia berkelahi. Dan kalau ia berkelahi, ia pasti menang. Gonnosuke akan hancur, dan ibunya akan patah hati.

"Tak ada jalan lain kecuali menghindarinya," simpulnya. Tanpa menimbulkan bunyi, dibukanya pintu ke beranda, dan ia keluar.



Matahari pagi menumpahkan cahaya keputihan lewat pepohonan. Di sudut pekarangan, di dekat gudang, lembu itu berdiri, bersyukur atas datangnya hari baru dan atas rumput yang tumbuh di kakinya. Setelah diam-diam mengucapkan selamat tinggal pada binatang itu, Musashi pergi melintasi pohon-pohon penahan angin dan menempuh jalan setapak yang berkelokkelok melintasi perladangan.

Gunung Koma hari itu tampak dari puncak sampai ke kakinya. Gumpalar awan tak terhitung jumlahnya, kecil-kecil seperti kapas, masing-masing berlainan bentuknya, dan semua bermain dengan bebasnya di tengah angin.

"Jotaro masih muda, dan Otsu lemah," kata Musashi pada diri sendiri.

"Tapi ada saja orang yang memiliki kebaikan hati untuk membela orang yang masih muda dan lemah. Kekuatan di alam semesta ini yang akan menentukan, apakah aku akan menemukan mereka atau tidak." Semangatnya yang kacau semenjak pengalaman di air terjun itu rupanya sudah terancam bahaya kehilangan jalan. Namun sekarang semangat itu kembali menapaki jalan yang mesti ditempuhnya. Pada pagi seperti ini, berpikir semata-mata tentang Otsu dan Jotaro rasanya seperti katak di bawah tempurung. Biarpun mereka itu penting baginya, ia mesti tetap mencurahkan perhatian ke Jalan yang menurut sumpahnya akan diikutinya sepanjang hidup ini dan hidup berikutnya.

Narai, yang dicapainya sebentar selepas tengah hari itu, adalah masyarakat yang sedang berkembang. Satu toko memperagakan aneka warna kulit bulu di depan pintunya. Yang lain khusus menjual sisir Kiso.

Dengan maksud menanyakan jalan, Musashi melongokkan kepala ke sebuah toko yang menjual obat dari empedu beruang. Ada papan nama yang bunyinya "Beruang Besar", dan di dekat pintu masuk terdapat seekor beruang besar dalam kandang.

Sambil membalikkan badan, pemilik toji yang baru selesai menuangka,n teh ke cangkirnya mengatakan, "Cari apa, Pak?"

"Apa Anda tahu toko milik orang yang namanya Daizo?"

"Daizo? Turun sana, di persimpangan satu lagi." Orang itu keluar toko sambil memegang cangkir tehnya, dan menuding jalan itu. Tapi ketika dilihatnya magangnya pulang dari melakukan suruhan, ia pun memanggilnnya "Sini kamu! Bapak ini mau ke tempat Daizo. Barangkali dia tidak mengenali toko itu, karena itu lebih baik kauantar ke sana."

Magang itu gundul, tapi berkuncung di depan dan belakang. Ia jalan bergegas, diikuti Musashi. Musashi merasa bersyukur atas kebaikan itu. Ia membayangkan bahwa Daizo tentunya sangat dihormati orang-orang sekotanya.

"Di sana," kata anak itu. Ia menuding bangunan di sebelah kiri, dan segera pergi.

Musashi heran, karena sebelumnya ia menyangka akan melihat cokel seperti yang biasa menjual barang-barang perbekalan musafir. Jendela etalasenya yang berjeruji panjangnya enam meter, dan di belakang toko itu terdapat dua gudang. Rumahnya besar dan tampak memanjang ke belakang. Tembok tinggi mengelilingi pekarangan, berpintu masuk mengesankan. Pintu itu tertutup.

Dengan sikap ragu-ragu, Musashi membuka pintu dan berseru, "Selamat siang!" Bagian dalam rumah yang luas dan remang-remang itu mengingatkannya pada bagian dalam tempat pembuatan sake. Karena lantainya terbuat dari tanah, udaranya sejuk menyenangkan.

Seorang lelaki berdiri di depan meja pemegang buku di dalam kantor. Kantor itu berupa ruangan yang lantainya ditinggikan dan tertutup tatami.

Sesudah menutup pintu di belakangnya, Musashi menjelaskan maksudnya. Belum lagi ia selesai bicara, kerani itu sudah mengangguk, katanya, "Ya, ya, jadi Anda datang menjemput anak itu." Ia membungkuk dan menawarkan bantalan pada Musashi. "Maaf kalau saya katakan Anda terlambat. Dia muncul di sini tengah malam, ketika kami sedang mempersiapkan keberangkatan majikan kami. Rupanya perempuan teman jalannya diculik orang, dan dia ingin majikan kami membantu menemukannya. Majikan mengatakan dengan senang hati akan mencoba, tapi beliau tak dapat memberikan jaminan apa-apa. Kalau perempuan itu diambil bromocorah atau bandit dari sekitar tempat ini, takkan ada masalah. Tapi rupanya yang mengambil itu musafir lain, dan orang itu pasti menghindari jalan-jalan utama. Tadi pagi Majikan mengirim orang-orang untuk melihat, tapi mereka tidak menemukan petunjuk. Anak itu menangis mendengarnya, karena itu Majikan menasihatkan supaya dia ikut saja. Dengan begitu, mereka dapat mencari perempuan itu di jalan, atau bahkan berjumpa dengan Anda. Anak itu kelihatan ingin sekali pergi, dan tak lama sesudah itu, mereka berangkat. Saya kira sudah sekitar empat jam sampai sekarang. Sayang sekali Anda terlambat!"

Musashi merasa kecewa, walau ia tahu tak mungkin ia tiba pada waktunya, biarpun misalnya Ia berangkat lebih dini dan berjalan lebih cepat. Tinggallah ia menghibur diri, dengan pendapat bahwa masih ada hari esok.

"Ke mana Daizo pergi?" tanyanya.

"Sukar saya mengatakan. Kami tidak buka toko dalam arti biasa. Ramuan ini disiapkan di pegunungan dan dibawa kemari. Dua kali setahun, musim semi dan musim gugur, para pedagang menimbunnya di sini dan pergi meninggalkannya. Karena tak banyak yang mesti dilakukan, Majikan sering melakukan perjalanan, kadang-kadang ke kuil-kuil atau tempat-tempat suci, kadang-kadang juga ke tempat-tempat yang terkenal pemandangannya. Sekarang ini saya kira dia pergi ke Zenkoji, mengelilingi Echigo, kemudian ke Edo. Tapi itu cuma dugaan. Tak pernah dia menyebutkan ke mana akan pergi.... Apa Anda suka teh?"

Sementara teh segar diambil dari dapur, Musashi menanti dengan tak sabar dan gelisah di tengah lingkungan yang demikian rupa itu. Ketika teh datang, ia menanyakan penampilan Daizo.

"Oh, kalau melihatnya, Anda akan segera mengenalinya. Umurnya lima puluh dua tahun, sangat tegap juga tampak kuat, mukanya agak persegi, merah sehat, sedikit bopeng. Pelipis kanannya agak botak."

"Berapa tingginya?"

"Rata-rata, saya kira.”

"Bagaimana pakaiannya?"

"Kebetulan Anda bertanya. Saya kira itulah jalan terbaik untuk mengenalinya. Dia memakai kimono katun Cina bergaris-garis yang dipesannya dari Sakai, khusus untuk perjalanan ini. Kain itu sangat tidak biasa. Saya sangsi ada orang lain yang memakainya."

Musashi mendapat kesan tersendiri tentang watak dan penampilan orang itu. Karena alasan kesopanan, ia berlama-lama tinggal di situ, menghabiskan tehnya. Ia tidak dapat menyusul mereka sebelum matahari terbenam, tapi menurut perhitungannya, kalau ia berjalan malam, pada waktu fajar ia akan sampai di Celah Shiojiri dan dapat menanti mereka di sana.

Waktu ia sampai di kaki celah itu, matahari sudah menghilang dan kabut petang turun dengan lembutnya ke jalan raya. Waktu itu musim semi, lampu rumah-rumah sepanjang jalan menegaskan sepinya pegunungan. Tempat itu masih lima mil jauhnya dari puncak celah. Musashi mendaki terus tanpa berhenti, sampai tiba di Inojigahara, suatu tempat tinggi dan rata dekat celah. Di sini ia berbaring di antara bintang-bintang, membiarkan pikirannya mengelana. Tak lama kemudian, ia tertidur lelap.



Kuil kecil Sengen menandai puncak bukit karang yang berdiri menjulang seperti bisul di atas dataran tinggi. Itulah titik tertinggi wilayah Shiojiri.

Tidur Musashi terganggu suara-suara orang. "Naik sini," teriak seseorang. "Dari sini kita dapat melihat Gunung Fuji." Musashi duduk dan memandang ke sekitar, tapi tak melihat seorang pun.

Cahaya pagi itu memesona. Dan di sana kelihatan segi tiga merah Gunung Fuji yang mengapung di lautan awan, masih mengenakan mantel salju musim dinginnya. Pemandangan itu melantunkan pekik kegembiraan kekanak-kanakan dari bibir Musashi. Ia telah menyaksikan banyak lukisan tentang gunung yang terkenal ini dan memiliki gambaran tersendiri tentangnya, tapi baru pertama kali inilah ia benar-benar menyaksikannya. Gunung itu hampir seratus lima puluh kilometer jauhnya, tapi seperti terletak pada dataran yang sama dengan dataran tempatnya berdiri.

"Indah sekali!" desahnya, dan dibiarkannya air mata mengambang pada matanya yang tidak berkedip.

Ia tertegun oleh kekecilannya sendiri, dan sedih memikirkan betapa tak berarti dirinya di tengah keluasan alam semesta. Semenjak kemenangannya di pohon pinus lebar itu, diam-diam ia sudah berani berpikir bahwa hanya ada beberapa orang, itu pun kalau benar-benar ada, yang seperti dirinya, memenuhi syarat untuk disebut pemain pedang besar. Hidupnya di bumi ini pendek, terbatas, tetapi keindahan dan kemegahan Gunung Fuji itu abadi. Jengkel dan murung, ia bertanya pada diri sendiri, bagaimana ia dapat memberikan arti kepada prestasi-prestasi dengan pedangnya itu.

Ada hal yang tak terhindarkan dalam cara alam itu menjulang dengan anggun dan garang di atas dirinya. Wajarlah bahwa ia ditakdirkan tetap berada di bawahnya. Maka ia berlutut di hadapan gunung itu, berharap agar kecongkakannya diampuni, lalu ia menangkupkan tangan untuk berdoa demi ketenangan abadi ibunya dan demi keselamatan Otsu dan Jotaro. Ia menyatakan terima kasih kepada negerinya dan mohon diizinkan menjadi besar, sekalipun misalnya ia tidak dapat ambil bagian dalam kebesaran alam.

Tetapi selagi berlutut, berbagai pikiran datang berlomba dalam otaknya. Apakah yang menyebabkan ia berpikir bahwa manusia itu sendiri kecil? Tidakkah alam itu sendiri besar hanya apabila dicerminkan oleh mata manusia? Tidakkah dewa-dewa sendiri ada hanya apabila mereka mengadakan hubungan dengan hati makhluk hidup? Manusia adalah jiwa-jiwa hidup, bukannya batu karang mati yang melaksanakan perbuatan-perbuatan terbesar.

"Sebagai manusia," katanya pada dirinya, "aku tidak begitu jauh dari dewa-dewa dan alam semesta. Aku dapat menyentuh mereka dengan pedang semeter yang kubawa ini. Tapi itu tak akan terjadi seandainya aku masih merasakan perbedaan yang begitu besar antara alam dan manusia. Dan seandainya aku tetap jauh dari dunia empu sejati, manusia yang berkembang penuh."

Renungannya terganggu oleh ocehan beberapa saudagar yang sudah naik ke tempat yang tak jauh darinya, dan sedang memandang puncak gunung itu. "Mereka benar. Kita dapat melihatnya."

"Tapi tak sering kita dapat membungkuk di hadapan gunung suci itu dari tempat ini."



Para musafir masuk seperti barisan semut dari dua jurusan, sambil memikul beraneka warna muatan. Cepat atau lambat, Daizo dan Jotaro akan sampai di atas bukit ini. Sekiranya ia kebetulan gagal menemukan mereka di antara para musafir itu, pasti mereka melihat papan pernyataan yang ditinggalkannya di kaki batu karang: Kepada Daizo dari Narai. Saya ingin sekali bertemu dengan Anda apabila lewat tempat ini. Saya nantikan Anda di kuil atas. Musashi, guru Jotaro.

Matahari sudah tinggi sekarang. Selama itu, Musashi terus mengawasi jalan, seperti seekor burung elang, tapi tak ada tanda-tanda Daizo. Di sisi lain celah itu, jalan terbagi menjadi tiga. Satu langsung menuju Edo, lewat Koshu. Jalan kedua, yang merupakan jalan utama, melewati Celah Usui dan memasuki Edo dari utara. Jalan ketiga membelok ke provinsi-provinsi utara. Apakah Daizo menuju utara ke Zenkoji atau menuju timur ke Edo, ia tetap mesti menggunakan celah ini. Namun, seperti disadari Musashi, orang tidak selamanya bepergian dengan cara yang diharapkan. Pedagang besar itu bisa saja pergi ke suatu tempat yang jauh dari jalan yang biasa ditempuh orang, atau dapat juga ia menginap satu malam lagi di kaki gunung. Musashi memutuskan tidak ada jeleknya kembali ke sana untuk bertanya tentang Daizo.

Baru saja ia menuruni pintasan yang menuju karang terjal, didengarnya suara serak yang dikenalnya, "Itu dia di atas!" Seketika itu juga teringat olehnya tongkat yang sudah menyerempet tubuhnya dua malam sebelum itu.

"Turun dari sana!" teriak Gonnosuke. Ia menatap Musashi dengan tongkat di tangan. "Kau lari! Kau sudah menduga aku akan menantangmu dan kau lari ke luar! Turun sini, dan ayo lawan aku sekali lagi!"

Musashi berhenti di antara dua batu, bersandar pada salah satu darinya dan menatap Gonnosuke tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Gonnosuke menyimpulkan bahwa Musashi takkan datang, karena itu katanya pada ibunya, "Ibu tunggu di sini. Aku akan naik dan melemparkannya ke bawah. Lihat saja!"

"Tunggu!" cela ibunya yang waktu itu naik lembu. "Itulah kesalahanmu. Kau tidak sabaran. Kau mesti belajar membaca pikiran musuhmu sebelum masuk dalam pertempuran. Sekiranya dia melemparkan batu besar padamu. apa yang akan terjadi?"

Musashi mendengar suara mereka, tapi kata-katanya tak jelas. Tentang dirinya, ia merasa sudah menang. Ia sudah mengerti bagaimana Gonnosuke menggunakan tongkatnya. Yang terasa mengganggu adalah kebencian mereka dan keinginan mereka untuk membalas dendam. Kalau Gonnosuke kalah lagi, mereka akan jauh lebih dendam lagi. Dari pengalamannya dengan Keluarga Yoshioka, ia kenal jeleknya pertarungan yang mengakibatkan permusuhan lebih besar lagi. Lebih gawat dari itu adalah ibu orang itu yang menurut penglihatan Musashi adalah Osugi kedua, seorang perempuan yang mencintai anak lelakinya secara membuta dan akan menaruh dendam abadi pada siapa saja yang merugikan anaknya.

Ia membalikkan badan dan mulai mendaki.     

"Tunggu!"      

Tertahan oleh daya suara perempuan tua itu, Musashi berhenti dan membalikkan badan.

Perempuan itu turun dari lembu dan berjalan ke kaki batu. Ketika merasa yakin bahwa Musashi memperhatikan, ia berlutut meletakkan kedua tangannya ke tanah dan membungkuk rendah.         

Musashi belum pernah melakukan apa pun yang menyebabkan perempuan itu menghinakan diri di hadapannya, namun ia balas membungkuk sebaik-baiknya di jalan setapak berbatu itu. Tangannya dikedepankan, seakan hendak menolong perempuan itu berdiri.

"Samurai yang baik!" seru perempuan itu. "Saya malu muncul di hadapan Anda seperti ini. Saya yakin Anda tidak menyimpan perasaan lain terhadap saya, selain perasaan mencemoohkan karena sifat keras kepala saya. Tapi saya bertindak seperti ini bukan karena benci, dengki, atau niat jahat. Saya harap Anda menaruh kasihan pada anak saya. Sepuluh tahun lamanya dia berlatih sendirian tanpa guru, tanpa teman, tanpa lawan yang benar-benar bernilai. Saya mohon Anda memberikan kepadanya pelajaran sekali lagi dalam seni pertarungan."

Musashi mendengarkan tanpa berkata-kata.

"Saya gusar melihat Anda meninggalkan kami seperti ini," sambung perempuan itu dengan penuh perasaan. "Prestasi anak saya dua hari lalu itu jelek sekali. Kalau dia tidak melakukan sesuatu untuk membuktikan kemampuannya, baik dia maupun saya takkan dapat menghadapi nenek moyang kami. Sekarang ini, dia tak lebih dari seorang petani yang kalah berkelahi. Karena dia sudah mendapat peruntungan baik berjumpa dengan petarung setaraf Anda, sungguh sayang kalau dia tidak mengambil keuntungan dari pengalaman itu. Itu sebabnya saya bawa dia kemari. Saya mohon Anda memperhatikan permintaan saya ini dan menerima tantangannya."

Selesai berbicara, ia membungkuk lagi, hampir seperti sedang memuja di kaki Musashi.

Musashi turun bukit, memegang tangannya dan membantunya kembali naik lembu. "Gonnosuke," katanya, "ambil tali ini. Mari kita bicara sambil jalan. Akan kupertimbangkan aku berkelahi denganmu atau tidak."

Musashi berjalan agak di depan mereka. Tak sepatah kata pun diucapkannya, sekalipun ia menyarankan bicara tentang soal itu. Gonnosuke terus memandang punggung Musashi dengan sikap curiga, sekali-sekali dengan iseng menjentikkan cambuk pada kaki lembu. Ibunya tampak gelisah dan kuatir.

Ketika mereka telah berjalan sekitar satu kilometer, Musashi menggerutu dan menoleh ke belakang. "Baik, aku akan berkelahi!" katanya.

Sambil melepaskan tali, Gonnosuke berkata, "Kau siap sekarang?" Ia menoleh ke sekitar untuk memeriksa posisinya, seakan-akan ia hendak menyelesaikan perkara itu seketika itu juga.

Musashi mengabaikan saja pemuda itu, dan sebaliknya menyapa ibunya, "Apa Ibu siap menghadapi yang terburuk? Pertarungan macam ini sama saja dengan perkelahian sampai mati, sekalipun senjatanya tidak sama."

Untuk pertama kalinya perempuan tua itu tertawa. "Tak perlu berkata begitu. Kalau dia kalah dari orang yang lebih muda seperti Anda, dia dapat meninggalkan seni perang sama sekali. Dan kalau dia memang meninggalkannya, tak ada lagi gunanya hidup. Kalau itu yang terjadi, saya takkan dendam pada Anda."

"Kalau memang begitu pikir Ibu, baik." Musashi mengambil tali yang tadi dijatuhkan Gonnosuke. "Kalau kita tetap di jalan, orang banyak akan datang. Mari kita ikatkan lembu ini, dan saya akan berkelahi sampai kapan pun."

Sebatang pohon besar tumbuh di tengah tanah datar tempat mereka berdiri. Musashi menudingnya dan mengajak mereka ke sana.

"Siapkan dirimu, Gonnosuke," katanya tenang.

Gonnosuke tidak memerlukan dorongan lagi. Seketika itu ia sudah berdiri di hadapan Musashi, dengan tongkat dihadapkan ke tanah.

Musashi berdiri dengan tangan kosong, lengan dan bahunya kendur. "Kau tidak bersiap?" tanya Gonnosuke.

"Buat apa?"   

Kemarahan Gonnosuke menggejolak. "Ambil senjata untuk berkelahi. Apa saja."

"Aku siap."

"Tanpa senjata?"

"Senjataku di sini," jawab Musashi, meletakkan tangan kirinya ke gagang pedang.

"Kau berkelahi dengan pedang?"

Jawaban Musashi hanya senyuman kecil miring pada sudut mulutnya. Mereka sampai pada tahap yang tak memungkinkan penghamburan percakapan kecil.

Ibu Gonnosuke duduk di bawah pohon, sambil memperhatikan seperti Budha dari batu. "Jangan berkelahi dulu. Tunggu!" katanya.

Tapi keduanya tidak mendengar kata-kata itu. Mereka saling menatap, tanpa membuat gerakan sekecil apa pun. Tongkat Gonnosuke ada di bawah lengannya, menanti kesempatan memukul. Tongkat itu seakan-akan telah menghirup seluruh udara dataran tinggi itu, dan siap mengembuskannya dalam suatu pukulan besar bercampur jeritan. Tangan Musashi menempel ke bagian bawah gagang pedangnya, matanya seakan menembus tubuh Gonnosuke. Secara mental pertempuran sudah dimulai, karena mata dapat mendatangkan kerusakan lebih hebat kepada manusia daripada pedang atau tongkat. Sesudah sayatan pembukaan dilakukan dengan mata, barulah pedang atau tongkat menyelinap masuk dengan mudah.

"Tunggu!" seru si ibu lagi.

"Ada apa?" tanya Musashi sambil melompat mundur dua-tiga meter ke tempat aman.

"Anda berkelahi dengan pedang sungguhan?"

"Cara saya tidak membedakan pedang kayu atau pedang sungguhan."

"Saya bukannya mau menghentikan Anda."

"Saya minta Ibu mengerti. Dari kayu atau baja, pedang itu mutlak. Dalam pertarungan yang betul-betul, tidak ada ukuran setengah jalan. Satu-satunya cara untuk menghindari bahaya adalah lari."

"Anda benar sekali, tapi menurut saya dalam pertandingan sepenting ini Anda mesti menyatakan diri secara resmi. Masing-masing dari kalian menghadapi lawan yang jarang kalian temui. Pada waktu perkelahian selesai semuanya sudah terlambat."

"Benar."

"Gonnosuke, sebutkan dulu namamu."

Gonnosuke membungkuk resmi kepada Musashi. "Moyang jauh kami kabarnya Kakumyo yang pernah berjuang di bawah panji-panji prajurit besar dari Kiso, Minamoto no Yoshinaka. Sesudah kematian Yoshinaka, Kakumyo menjadi pengikut Honen yang kudus. Ada kemungkinan, kami berasal dari keluarga yang sama dengan dia. Berabad-abad nenek moyang kami hidup di wilayah ini, tapi pada angkatan ayahku kami menderita bencana yang takkan kusebutkan di sini. Dalam kekecewaanku, aku pergi dengan ibuku ke Kuil Ontake dan bersumpah secara tertulis bahwa aku akan memulihkan nama baik kami dengan mengikuti Jalan Samurai. Di hadapan dewa Kuil Ontake, aku memperoleh teknik penggunaan tongkat. Aku sebut itu Gaya Muso, artinya Gaya Wahyu, karena aku memperolehnya di kuil itu. Orang menyebutku Muso Gonnosuke."

Musashi balas membungkuk. "Keluargaku diturunkan oleh Hirata Shogen. Keluargaku cabang dari Keluarga Akamatsu dari Harima. Aku anak tunggal Shimmen Munisai yang tinggal di desa Miyamoto, di Mimasaka. Aku mendapat nama Miyamoto Musashi. Aku tak punya keluarga dekat, dan aku membaktikan hidupku pada Jalan Pedang. Kalau aku gugur oleh tongkat, tak perlu kau susah payah mengurus mayatku."

Ia kembali pada jurus awalnya. Teriaknya, "Siap!"

"Siap!"

Perempuan tua itu kelihatan hampir tak bernapas. Bukannya membiarkan bahaya datang pada dirinya dan anaknya, ia justru pergi mencari-cari bahaya itu, dan dengan sengaja menempatkan anaknya di hadapan pedang Musashi yang berkilau. Jalan yang ditempuhnya itu sungguh tak terpikirkan untuk seorang ibu biasa, tapi ia percaya sepenuhnya bahwa yang diperbuatnya itu benar. Sekarang ia duduk dalam sikap resmi, bahunya sedikit dikedepankan dan tangannya disusun di pangkuan dengan santun. Tubuhnya seperti mengecil dan mengisut. Sukar dipercaya bahwa ia telah melahirkan beberapa anak. Semuanya meninggal kecuali seorang, tapi ia bertekad menempuh berapa pun kesulitan yang ada untuk menjadikan anaknya yang masih hidup itu seorang petarung.

Mata perempuan itu memperlihatkan kilas cahaya, seakan-akan semua dewa dan bodhisatwa di alam semesta berkumpul dalam dirinya untuk menyaksikan pertempuran itu.

Begitu Musashi mencabut pedangnya, bulu roma Gonnosuke meremang. Secara naluriah ia merasa bahwa berhadapan dengan pedang Musashi, nasibnya sudah ditentukan. Yang ia lihat di hadapannya ini adalah orang yang belum pernah ia saksikan. Dua hari sebelumnya, ia perhatikan Musashi dalam sikap santai dan luwes, bagaikan garis-garis lembut mengalir pada tulisan kaligrafi.

Ia tak siap menghadapi orang yang kini ia hadapi. Orang yang bisa menjadi contoh dalam soal kecermatan, seperti huruf yang ditulis persegi dan rapi sekali, di mana garis dan titik terletak pada tempat yang tepat.

Karena sadar telah salah menilai lawan, ia merasa tak dapat mengayunkan serangan hebat seperti yang ia lakukan sebelumnya. Tongkatnya tetap dalam kedudukan seimbang, tapi tidak berdaya di atas kepalanya.

Selagi kedua orang itu berhadapan dalam diam, kabut pagi terakhir telah menghilang. Seekor burung terbang malas di antara mereka dan pegunungan tampak kabur di kejauhan. Sekonyong-konyong sebuah jeritan membelah udara, seakan-akan burung itu terjungkal ke bumi. Sukar sekali dikatakan bunyi itu berasal dari pedang atau dari tongkat. Bunyi itu seperti tak nyata, seperti tepukan sebelah tangan, menurut istilah para pemeluk Zen.

Serentak dengan itu, dua tubuh yang bergerak seirama senjata masing-masing, mengubah posisi. Perubahan itu terjadi lebih cepat daripada beralihnya gambaran dari mata ke otak. Pukulan Gonnosuke tidak mengenai sasaran. Secara defensif, Musashi memutar lengan bawahnya dan menyapukannya ke atas dari sisi Gonnosuke, ke suatu titik di atas kepalanya, hingga hampir saja mengenai bahu kanan dan pelipisnya. Sesudah itu Musashi melepaskan pukulan balik yang hebat, suatu pukulan yang sebelumnya telah menyebabkan semua lawannya kerepotan. Tetapi Gonnosuke menahan pedang itu di atas kepala dengan tongkat yang dipegang dekat kedua ujungnya.

Sekiranya pedang itu tidak miring saat mengenai kayu, senjata Gonnosuke pasti terbelah dua. Seraya beranjak, Gonnosuke menusukkan siku kiri ke depan dan mengangkat siku kanan, dengan maksud memukul jaringan saraf simpatis Musashi. Tetapi pada saat yang seharusnya mendatangkan dampak menentukan itu, ujung tongkat ternyata masih kurang satu inci dari tubuh Musashi.

Karena pedang dan tongkat bersilang di atas kepala Gonnosuke, maka mereka sama-sama tak dapat maju atau mundur. Keduanya tahu bahwa gerakan keliru berarti maut mendadak. Sekalipun posisi waktu itu serupa jalan buntu: perisai-pedang, lawan, perisai-pedang, namun Musashi sadar akan perbedaan penting antara pedang dan tongkat. Tongkat jelas tak punya perisai, tak punya lempengan, tak punya gagang, tak punya ujung, tetapi di tangan seorang ahli seperti Gonnosuke, bagian mana pun dari senjata sepanjang empat kaki itu dapat menjadi lempengan, ujung, atau gagang. Dengan demikian, tongkat itu jauh lebih serbaguna daripada pedang, dan bahkan dapat dipergunakan sebagai lembing pendek.

Karena tak dapat meramalkan reaksi Gonnosuke, Musashi tak dapat menarik senjatanya. Gonnosuke, sebaliknya, berada pada posisi lebih berbahaya: senjatanya hanya memainkan peranan pasif untuk menahan lempengan pedang Musashi. Jika ia membiarkan semangatnya guncang sesaat saja, pedang akan membelah kepalanya.

Wajah Gonnosuke pucat. Ia menggigit bibir bawahnya, dan keringat berkilau di sekitar sudut-sudut matanya yang menengadah. Kedua senjata yang bersilang itu mulai berguncang, dan napas Gonnosuke menjadi berat.

"Gonnosuke!" teriak ibunya. Wajahnya lebih pucat lagi. Ia mengangkat tubuhnya dan menampar pahanya sendiri. "Pahamu terlalu tinggi!" teriaknya. Kemudian ia menjatuhkan diri ke depan. Kesadaran seakan-akan meninggalkan dirinya. Terdengar suara seolah ia muntah darah.

Tampak seolah pedang dan tongkat akan tetap berpaut sampai kedua petarung itu berubah menjadi batu. Mendengar teriakan perempuan tua itu, kedua petarung berpisah dengan kekuatan lebih mengerikan daripada ketika mereka berpaut.

Sambil mengentakkan tumit ke tanah, Musashi melompat mundur tiga meter jauhnya. Jarak itu dalam sekejap ditutup Gonnosuke beserta panjang tongkatnya. Hampir Musashi tak berhasil melompat ke samping.

Karena serangan maut mi, Gonnosuke terhuyung ke depan dan kehilangan keseimbangan, hingga punggungnya terbuka untuk serangan. Musashi bergerak dengan kecepatan elang pemburu, dan kilat cahaya kecil pun mengenai otot-otot punggung musuhnya; musuh terhuyung dan jatuh tengkurap, diiringi embik anak sapi ketakutan. Musashi duduk bergedebuk di rumput, sambil menangkupkan tangan di perut.

"Aku menyerah," teriaknya.

Tidak terdengar suara apa pun dari pihak Gonnosuke. Ibunya hanya menatap kosong ke sosok yang tak berdaya itu. Ia terlalu takjub, hingga tak dapat berbicara.

"Cuma punggung pedang yang saya pakai tadi," kata Musashi kepadanya. Tapi karena kelihatannya ibu itu tidak memahaminya, katanya lagi, "Bawakan dia air. Lukanya tidak begitu parah."

"Apa?" teriak perempuan itu tak percaya. Melihat bahwa pada tubuh anaknya tak ada darah, ia berjalan tertatih-tatih ke sisinya dan memeluknya. Ia sebut nama anaknya, ia bawakan air, dan kemudian ia guncang-guncangkan sampai Gonnosuke sadar kembali.

Gonnosuke memandang kosong pada Musashi beberapa menit lamanya, kemudian datang mendekat dan membungkukkan kepala sampai ke tanah. "Maaf," katanya pendek. "Anda terlalu baik buat saya."

Musashi, yang seperti baru tersadar dari keadaan kesurupan, meraih tangannya, katanya, "Kenapa begitu? Kau tidak kalah, akulah yang kalah." Ia buka bagian depan kimononya. "Lihat ini!" Ia tuding noda merah bekas pukulan tongkat. "Sedikit saja lagi, aku terbunuh." Dalam suaranya terasa getar guncangan, karena sesungguhnya ia belum dapat membayangkan kapan dan bagaimana ia mendapat luka itu.

Gonnosuke dan ibunya menatap tanda merah itu, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Musashi menutup kembali kimononya, dan bertanya kepada perempuan tua itu, kenapa ia memperingatkan ada yang keliru atau berbahaya dalam jurus anaknya?

"Saya bukan ahli dalam soal-soal ini, tapi ketika saya perhatikan dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan pedang Anda, terasa oleh saya dia kehilangan kesempatan. Dia tak dapat maju, tak dapat mundur, padahal dia terlampau bergairah waktu itu. Tapi saya melihat sekiranya dia mau menurunkan pahanya saja, sedangkan letak tangan tetap dipertahankan, ujung tongkat dengan sendirinya dapat memukul dada Anda. Semua itu terjadi cuma sesaat. Waktu itu saya sendiri tak sadar akan apa yang saya katakan."

Musashi mengangguk. Ia menganggap dirinya beruntung, menerima pelajaran bermanfaat tanpa mesti membayar dengan hidupnya. Gonnosuke pun mendengarkan dengan takzim. Ia juga memperoleh wawasan baru. Apa yang baru saja dialaminya itu bukannya wahyu, melainkan perjalanan ke perbatasan hidup dan mati. Ibunya, yang mengerti bahwa ia berada di ambang bencana, telah memberikan pelajaran bagaimana bertahan hidup.

Bertahun-tahun kemudian, sesudah Gonnosuke memantapkan gayanya sendiri dan menjadi terkenal di mana-mana, ia mencatat teknik yang ditemukan ibunya saat itu. Walaupun ia menulis cukup panjang tentang kesetiaan ibunya dan pertandingannya dengan Musashi, ia tetap menahan diri dan tidak mengatakan ia menang. Sebaliknya, untuk selanjutnya kepada orang banyak ia mengatakan kalah, walaupun kekalahan itu merupakan pelajaran yang tidak ternilai baginya.

Sesudah menyampaikan harapannya akan kesehatan yang baik bagi ibu dan anak, Musashi melanjutkan perjalanan dari Inojigahara ke Kamisuwa. Ia tidak tahu bahwa ia terus diikuti oleh samurai yang di sepanjang jalan itu terus menanyai tukang kuda di pos kuda dan semua musafir lain. apakah mereka melihat Musashi.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP