Rabu, 12 Juli 2017



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg
 Jembatan Besar di Jalan Gojo
 
"LAPANGAN RENDAIJI... hari kesembilan bulan pertama...."

Membaca kata-kata itu membuat darah Musashi menggelegak.

Namun perhatiannya terganggu oleh rasa nyeri tajam dan menikam pada mata kirinya. Ketika ia mengangkat tangan setinggi kelopak mata, kelihatan ada jarum kecil menancap pada lengan kimononya, dan ketika lebih saksama diperhatikannya ternyata ada empat ataulima lagi bersarang seperti potongan-potongan es kena cahaya pagi.

"Oh, ini dia!" serunya sambil mencabut satu di antaranya dan mengamat-amatinya. Besarnya seperti jarum jahit kecil, tapi tak berlubang, dan bentuknya bukan bulat, tapi segi tiga. "Anjing perempuan!" katanya jijik sambil menatap ke arah perahu. "Aku sudah dengar tentang jarum semburan macam ini, tapi siapa sangka perempuan jelek tua itu yang menembakkannya? Sungguh nyaris."

Rasa ingin tahu seperti biasa muncul. Ia kumpulkan jarum-jarum itu satu demi satu, kemudian ia sisipkan baik-baik dalam kerahnya, dengan maksud mempelajarinya kemudian. Ia mendengar bahwa di antara para prajurit terdapat dua aliran yang berlawanan mengenai senjata kecil ini. Yang satu berpendapat bahwa jarum itu dapat dengan efektif dipergunakan sebagai alat penangkis dengan menyemburkannya ke wajah lawan, sedangkan yang lain menyatakan bahwa itu omong kosong.

Golongan pendukung senjata itu menyatakan bahwa cara yang sudah sangat tua dalam menggunakan jarum itu dikembangkan dari permainan para penjahit dan pemintal yang pindah dari Tiongkok ke Jepang pada abad enam atau tujuh. Sekalipun tidak dianggap sebagai alat penyerang, menurut mereka senjata itu dipergunakan sampai zaman ke-shogun-an Ashikaga sebagai alat persiapan untuk melindungi diri terhadap lawan.

Pihak lain bahkan sampai menyatakan tak pernah ada teknik kuno dalam hal itu, sekalipun mereka membenarkan semburan jarum itu pernah dipergunakan untuk permainan. Mereka membenarkan, orang-orang perempuan mungkin saja bermain-main dengan itu, tapi mereka tetap menolak bahwa semburan jarum dapat dikembangkan sampai taraf dapat menimbulkan luka. Mereka juga menyatakan bahwa air ludah memang dapat menahan panas, dingin, atau keasaman tertentu, tapi sedikit saja dapat menahan rasa nyeri akibat jarum yang menusuk bagian dalam mulut. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja bahwa dengan latihan yang cukup, orang dapat menyimpan jarum-jarum dalam mulutnya tanpa merasa sakit dan meluncurkannya dengan lidah, dengan ketepatan dan kekuatan tinggi. Itu cukup untuk membutakan orang.

Orang-orang yang tak percaya membantah. Mereka berpendapat bahwa sekalipun jarum itu dapat disemburkan dengan keras dan cepat, kemungkinan untuk dapat melukai seseorang sangat minim.

Bagaimanapun, menurut mereka bagian wajah yang lemah terhadap serangan itu hanyalah mata, sedangkan kemungkinan jarum itu mengenai mata tidak begitu besar, biarpun dalam kondisi paling menguntungkan. Dan kerusakan yang ditimbulkannya tidaklah berarti.

Mendengar banyak argumentasi pada waktu yang berlain-lainan, Musashi cenderung memihak orang-orang yang menyangsikannya. Tapi sesudah mendapat pengalaman sendiri, ia pun sadar bahwa penilaiannya terlampau tergesa-gesa dan bahwa penggal-penggal pengetahuan yang diperoleh secara sembarangan saja dapat terbukti sangat penting dan bermanfaat.

Jarum-jarum itu tidak mengenai biji matanya, tapi matanya kini berair. Ketika ia sedang meraba-raba pakaiannya untuk mencari sesuatu yang dapat dipergunakannya mengeringkannya, didengarnya bunyi kain disobek. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya seorang gadis sedang merobek secarik kain merah dari lengan baju dalamnya.

Akemi datang berlari kepadanya. Rambutnya tidak ditata untuk perayaan Tahun Baru dan kimononya acak-acakan. Ia mengenakan sandal, tapi tanpa kaus. Musashi menyipitkan mata memandang kepadanya dan bergurnam. Walau gadis itu tidak asing baginya, tapi tak dapat ia mengenali wajahnya.

"Ini aku, Takezo... eh, Musashi," kata Akemi ragu-ragu sambil menawarkan kain merah itu. "Matamu kelilipan, ya? Jangan gosok. Bisa lebih sakit. Pakai ini."

Musashi menerima kebaikannya tanpa mengatakan sesuatu, lalu menutup matanya dengan kain itu. Kemudian ia menatap wajah Akemi dengan saksama.

"Kau tak ingat aku?" tanya Akemi tak percaya. "Kau harus ingat!" Wajah Musashi betul-betul kosong.

"Harus!"

Sikap diam Musashi itu membobol tanggul penahan emosi Akemi yang sudah lama terpendam. Jiwanya yang sudah demikian terbiasa dengan kesedihan dan kekejaman itu telanjur bergayut pada harapan terakhir ini, dan kini fajar sudah menyingsing, karena itu semuanya jadi tak lebih dari khayal yang telah diciptakannya sendiri. Di dalam dadanya terbentuk gumpalan keras, dan terdengarlah ia tercekik. Sekalipun ia menutup mulut dan hidung untuk menindas sedu-sedannya, namun bahunya menggeletar tak terkendalikan lagi.

Caranya memandang sewaktu menangis itu mengingatkan Musashi kepada sikap gadis polos di zaman Ibuki. Ketika itu anak itu menggantungkan giring-giring pada obi-nya. Musashi melingkarkan tangannya ke bahu yang tipis dan lemah itu.

"Kamu Akemi, tentu saja. Ya, aku ingat. Bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa yang terjadi dengan ibumu?" Pertanyaan-pertanyaan Musashi itu seperti mata kail, dan yang paling berat adalah penyebutan nama Oko, yang dengan sendirinya mengingatkannya pada teman lamanya. "Apa kau masih tinggal dengan Matahachi? Dia mestinya datang kemari pagi ini. Apa kebetulan kau tidak bertemu dengannya?"

Setiap patah kata itu menambah penderitaan Akemi. Di dalam pelukan Musashi, tak ada lagi yang diperbuatnya selain menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.

"Apa Matahachi takkan datang?" tanya Musashi lagi. "Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana aku bisa mengerti, kalau kamu cuma menangis?"

"Dia... dia... dia takkan datang. Dia tak pernah... tak pernah terima pesan-mu." Dan Akemi pun menekankan wajahnya ke dada Musashi dan kembali menangis mengejang-ngejang.

Ia ingin mengatakan... bercerita... tapi setiap gagasan mati dalam otaknya yang demam. Bagaimana ia dapat menceritakan kepada Musashi nasib ngeri yang dideritanya karena ibunya? Bagaimana mungkin ia mengutarakannya dalam kata-kata, apa yang telah terjadi di Sumiyoshi atau pada hari-hari sesudah itu?


Jembatan itu bermandikan matahari Tahun Baru, dan semakin banyak orang berlalu lalang. Gadis-gadis berkimono baru cemerlang pergi melakukan sembahyang Tahun Baru di Kuil Kiyomizudera. Laki-laki berpakaian jubah resmi mulai melakukan kunjungan Tahun Baru. Hampir tersembunyi di tengah mereka itu ada Jotaro dengan rambut awut-awutan seperti biasa. Hampir sampai tengah jembatan, baru ia melihat Musashi dan Akemi.

"Apa pula ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kupikir dia bersama Otsu. Tapi itu bukan Otsu!" Ia berhenti dan wajahnya berubah.

Ia betul-betul terpukau. Sebetulnya tidak apa-apa, kalau tak ada orang memperhatikan. Tapi di sana mereka beradu dada dan saling peluk di jalan ramai. Seorang lelaki dan seorang perempuan saling dekap di depan umum? Itu tak kenal malu. Ia tak dapat percaya bahwa orang dewasa dapat berlaku demikian memalukan, lebih-lebih sensei-nya sendiri yang dipujanya. Jantung Jotaro berdentam hebat. Ia merasa sedih dan sekaligus sedikit cemburu. Dan marah, begitu marah, hingga ia ingin memungut batu dan melempar mereka.

"Aku pernah melihat perempuan itu," pikirnya. "Ah... ya, dialah yang menyampaikan pesan Musashi untuk Matahachi. Ya... dia itu gadis warung teh, jadi tak heran. Tapi bagaimana pula mereka bisa saling kenal? Rasanya ini mesti kusampaikan pada Otsu!"

Ia menengok ke sana kemari di jalan itu, mengintai dari susuran jembatan, tapi tak ada tanda-tanda Otsu.

Malam kemarin, karena yakin akan bertemu Musashi hari berikutnya, Otsu mengeramasi rambutnya dan tetap jaga sampai jam-jam pertama Tahun Baru karena menata rambutnya secara layak. Kemudian ia mengenakan kimono hadiah Keluarga Karasumaru, dan sebelum fajar ia pergi memberikan penghormatan ke Kuil Gion dan Kiyomizudera, dan akhirnya pergi ke Jalan Gojo. Jotaro ingin mengawaninya, tapi ia menolak.

Menurut Otsu, pada hari biasa tidak apalah, tapi hari ini Jotaro akan merupakan gangguan. "Kamu diam di sini," katanya. "Pertama, aku mau bicara dengan Musashi sendiri. Kamu boleh pergi ke jembatan sesudah hari terang, tapi tak perlu buru-buru. Dan jangan kuatir; aku berjanji akan menantimu di sana dengan Musashi, waktu kamu datang."

Jotaro lebih dari sekadar jengkel. Tidak hanya ia merasa sudah cukup dewasa untuk memahami perasaan Otsu, ia pun menghargai perasaan saling tertarik antara lelaki dan perempuan. Pengalaman berguling-guling di jerami dengan Kocha di Koyagyu itu belum luntur dari kenangannya; sekalipun begitu, aneh baginya bahwa seorang perempuan dewasa seperti Otsu pergi ke sana kemari bermuram durja dan menangisi seorang lelaki.

Walau sudah berusaha setengah mati, ia tak dapat menemukan Otsu. Sementara ia sedang resah itu, Musashi dan Akemi pergi ke ujung jembatan, agaknya supaya tidak tampak terlalu mencolok. Musashi melipatkan lengan dan bersandar pada susuran jembatan. Akemi berdiri di sampingnya, memandang ke sungai. Mereka tidak melihat Jotaro ketika ia menjelinap lewat di sisi lain jembatan itu.

"Kenapa begini lama? Berapa lama orang bisa berdoa buat Kannon?" Sambil menggerutu, Jotaro berjingkat dan menatapkan pandangan ke ujung Jalan Gojo.

Sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya terdapat empat atau lima pohon liu yang tak berdaun. Sering kali kawanan bangau putih berkumpul sepanjang sungai itu, mencari ikan, tapi hari ini tak seekor pun kelihatan. Seorang pemuda berkuncung panjang bersandar pada cabang pohon liu yang menjulur ke tanah seperti naga yang sedang tidur.

Di jembatan, Musashi mengangguk ketika Akemi berbisik bergairah kepadanya. Akemi membuang jauh-jauh harga dirinya dan sedang bercerita kepada Musashi tentang segalanya, dengan harapan dapat meyakinkan Musashi agar menjadi miliknya seorang. Sukarlah meneliti, apakah kata-kata yang diucapkannya menembus telinga Musashi. Musashi memang terkadang mengangguk, tapi pandangan matanya bukan pandangan seorang kekasih yang sedang mengucapkan kata-kata manis kosong kepada kekasihnya.

Sebaliknya biji matanya bersinar tanpa warna dan tanpa panas, dan terpusat terus pada sesuatu. Akemi tak menyadari ini. Karena tenggelam sepenuhnya, ia sampai tercekik sedikit ketika mencoba menguraikan perasaan yang dikandungnya.

"Nah," demikian keluhnya, "sudah kuceritakan padamu semua yang bisa kuceritakan. Tak ada sama sekali yang kusembunyikan." Sambil beringsut mendekati Musashi, katanya prihatin, "Empat tahun sudah lewat sejak Sekigahara itu. Tubuh dan jiwaku sudah berubah." Kemudian sambil mencucurkan air mata, "Tapi tidak! Aku tidak betul-betul berubah. Perasaanku padamu tak berubah sedikit pun. Aku yakin betul. Kau mengerti, Musashi? Mengerti bagaimana perasaanku?"

"Mm. Mm."

"Cobalah kau mengerti! Aku sudah menceritakan segalanya. Aku bukan bunga liar yang tanpa dosa seperti ketika kita pertama bertemu di kaki Gunung Ibuki. Aku cuma perempuan biasa yang sudah diperkosa.... Tapi kesucian itu persoalan tubuh atau pikiran? Apa seorang perawan yang berpikiran cabul itu suci?... Aku sudah kehilangan keperawanan gara-gara... tak dapat aku menyebut namanya, tapi gara-gara lelaki tertentu, tapi hatiku masih murni."

"Mm. Mm."

"Apa kau tidak menyimpan rasa tertentu padaku? Tak bisa aku menyimpan rahasia kepada orang yang kucintai. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang akan kukatakan, ketika aku melihatmu. Haruskah aku mengatakan semuanya atau tidak? Tapi kemudian jelas soalnya buatku. Tak dapat aku menipumu, biarpun aku menghendakinya. Kuharap kau mengerti! Katakanlah! Katakan kau memaafkan aku. Atau, apa menurut pendapatmu aku tercela?"

"Mm. Ah....

"Kalau kupikirkan hal itu lagi, aku jadi begitu marah!" Akemi pun menurunkan wajahnya ke susuran jembatan. "Oh, malu aku memintamu mencintaiku. Aku tak punya hak berbuat begitu. Tapi... tapi... dalam hatiku aku masih perawan. Aku masih menilai cinta pertamaku ini seperti sebutir mutiara. Aku belum kehilangan kekayaan itu, dan aku tak mau, tak peduli aku menjalani hidup macam apa, atau ke tengah laki-laki macam apa aku tercebur!"

Tiap helai rambut di kepalanya bergetar bersama sedu-sedannya. Di bawah jembatan tempat jatuhnya air matanya, sungai yang berkilauan dalam matahari Tahun Baru itu mengalir terus seperti impian Akemi tentang keabadian harapan.

"Mm. Mm." Kepedihan cerita Akemi sering kali mendapat anggukan dan sambutaan suara rendah, tapi mata Musashi tetap terpusat pada titik di kejauhan. Ayahnya pernah mengatakan, "Kau ini tidak seperti aku. Mataku hitam, sedang matamu cokelat tua. Orang bilang, kakekmu, Hirata Shogen, matanya cokelat mengerikan, jadi barangkali kau meniru dia." Pada waktu itu, dalam sinar matahari yang mencondong, mata Musashi seperti batu koral murni tak bercacat.


"Tentunya dia," pikir Sasaki Kojiro, orang yang bersandar pada pohon liu itu. Berkali-kali ia mendengar tentang Musashi, tapi inilah untuk pertama kali ia melihatnya.

Musashi bertanya-tanya, "Siapa gerangan orang itu?"

Semenjak mata mereka beradu, diam-diam mereka menyelidik. Masing-masing menaksir dalamnya semangat pihak lain. Dalam melaksanakan Seni Perang, kata orang, kita harus mengukur kemampuan musuh dari ujung pedangnya. Justru inilah yang dilakukan kedua orang itu. Mereka seperti pegulat yang saling mengukur lawan sebelum akhirnya saling cekam. Dan masing-masing punya alasan untuk memandang lawan dengan penuh kecurigaan.

"Aku tak suka," pikir Kojiro, mendidih darahnya oleh perasaan tak suka. Ia merawat Akemi sejak menyelamatkannya dari Gunung Amida yang rusak itu. Percakapan intim antara Akemi dan Musashi mengesalkannya. "Barangkali dia jenis orang yang biasa memangsa perempuan-perempuan tak berdosa. Dan Akemi! Akemi tak mengatakan tadi ke mana perginya, tapi sekarang dia ada di sana, menangis di bahu seorang lelaki!" Sedang ia sendiri ada di sini karena mengikutinya.

Nada permusuhan dalam mata Kojiro itu tidak hilang begitu saja. Musashi menyadari terjadinya konflik sesaat yang khas itu, yaitu konflik kemauan yang timbul apabila seorang shugyosha bertemu dengan shugyosha lain. Dan tak ada keraguan pula bahwa Kojiro merasakan semangat menantang yang terlontar dari ekspresi Musashi.

"Siapa dia gerangan?" pikir Musashi lagi. "Kelihatannya dia memang jagoan. Tapi kenapa ada pandangan dengki pada matanya? Lebih baik aku mengamatinya."

Kehebatan kedua lelaki itu bukan bersumber pada mata mereka, tapi pada inti diri mereka. Kembang api seperti akan meloncat dari biji mata mereka. Dilihat dari penampilannya, Musashi tampak setahun atau dua tahun lebih muda dari Kojiro, tapi mungkin juga sebaliknya. Apa pun kenyataannya, mereka berdua memiliki kesamaan: keduanya dalam umur yang ditandai rasa sok, yaitu bahwa mereka merasa yakin tahu segala yang mesti diketahui mengenai politik, masyarakat, Seni Perang, dan semua persoalan lain. Seperti anjing galak yang menggeram apabila melihat anjing galak lainnya, demikianlah Musashi maupun Kojiro. Secara naluriah masing-masing tahu bahwa pihak lain berbahaya.

Kojiro-lah yang pertama melepaskan pandangannya, dan itu dilakukannya disertai gerutu kecil. Musashi yakin sekali bahwa ia menang, sekalipun ia merasakan ada nada ejekan dalam profil Kojiro. Lawan menyerah kepada pandangan matanya, kepada daya kemampuannya, dan ini membuat Musashi merasa bahagia.

"Akemi," katanya sambil meletakkan tangan ke bahu Akemi.

Akemi masih tersedu-sedu. Wajahnya menempel di susuran jembatan. la tak menjawab.

"Siapa lelaki di sana itu? Dia kenal kamu, kan? Maksudku pemuda yang tampak seperti calon prajurit itu. Siapa dia?"

Akemi diam saja. Sampai waktu itu, ia belum melihat Kojiro. Ketika melihatnya, wajahnya yang bengkak oleh air mata itu menjadi bingung. "Oh... maksudmu orang jangkung di sana itu?"

"Ya. Siapa dia?"

"Oh, dia... anu... dia... aku tidak begitu kenal dia."

"Tapi kamu kenal dia, kan?"

"Ya, ya."

"Bawa pedang sebesar dan sepanjang itu, dan pakaiannya memikat perhatian orang-tentunya dia merasa sudah pemain pedang besar! Bagaimana kamu bisa kenal?"

"Beberapa hari lalu," kata Akemi cepat, "aku digigit anjing, dan darah tak mau berhenti, karena itu aku pergi ke dokter, dan di situ kebetulan dia tinggal. Dia merawatku beberapa hari ini."

"Dengan kata lain, kamu tinggal serumah dengan dia?"

"Ya, ya, aku memang tinggal di sana, tapi itu tak ada artinya. Tak ada apa-apa antara kami." Bicaranya lebih tegas sekarang.

"Kalau begitu, kukira kamu tak banyak tahu tentang dia. Apa kamu tahu namanya?"

"Namanya Sasaki Kojiro. Dipanggil juga Ganryu."

"Ganryu?" Musashi pernah mendengar nama itu.. Walaupun nama itu tidak terlalu terkenal, tapi dikenal oleh para prajurit di sejumlah provinsi.

Ternyata ia lebih muda dari yang pernah dibayangkan Musashi, dan ia memandang orang itu lagi sekarang.

Kemudian terjadilah sesuatu yang ganjil. Sepasang lesung pipit muncul di pipi Kojiro.

Musashi membalas senyumnya. Namun komunikasi diam ini tidaklah penuh sinar perdamaian dan persahabatan, seperti senyum yang dipertukarkan oleh sang Budha dan muridnya Ananda selagi mereka meremas bunga dengan jemari mereka. Dalam senyuman Kojiro terasa cemooh menantang dan unsur ironi.

Sementara itu, senyuman Musashi tidak hanya bersifat menerima tantangan Kojiro, melainkan juga menyampaikan kehendak yang dashyat untuk bertempur.

Akemi terperangkap di antara dua orang yang berkemauan keras itu. Ia hendak mulai mencurahkan perasaannya kembali, tapi sebelum terlaksana,Musashi sudah menyatakan, "Nah, Akemi, kupikir lebih baik kamu kembali ke tempat penginapanmu dengan orang itu. Sebentar lagi aku akan datang menemuimu. Jangan kuatir."

"Betul-betul kamu akan datang?"

"Ya, tentu."

"Nama penginapan itu Zuzuya, di depan biara Jalan Rokujo!"

"Baik."

Sikap sambil lalu dalam jawaban Musashi itu kurang memuaskan Akemi. Ia tarik tangan Musashi dari susuran jembatan dan ia pilin penuh perasaan di belakang lengan kimononya. "Kamu betul-betul akan datang, kan? Janji?"

Jawaban Musashi tenggelam dalam ledakan tawa yang memekakkan telinga. "Ha, ha, ha, ha, ha! Oh! Ha, ha, ha, ha! Oh..." Kojiro membalikkan punggungnya dan pergi baik-baik, membawa kegembiraannya yang tak terkendalikan itu.

Jotaro memandang masam dari ujung sana, pikirnya, "Tak ada yang seaneh itu!" Ia sendiri muak dengan dunia ini, terutama dengan gurunya yang seenaknya, dan juga dengan Otsu.

"Ke mana pula perginya Otsu?" tanyanya lagi sambil melangkah marah ke arah kota. Baru saja beberapa langkah, terlihat wajah Otsu yang putih di antara roda-roda kereta sapi di pangkalan jalan itu. "Itu dia!" teriaknya. Karena tergesa-gesa hendak menangkap Otsu, ia tertumbuk ke hidung sapi.

Lain dari biasanya, hari itu Otsu mengenakan sedikit gincu. Riasannya masih sedikit amatir, tapi baunya enak, sedangkan kimononya merupakan setelan musim semi yang manis, dengan sulaman pola putih dan hijau pada latar belakang merah muda. Jotaro mendekap dari belakang. Ia tak peduli tindakannya mengacaukan rambut Otsu atau mengotorkan pupur putih di lehernya.

"Kenapa Kakak sembunyi di sini? Berjam-jam aku menunggu. Ayo ikut aku, cepat!"

Otsu tak menjawab.

"Ayo, sekarang juga!" mohonnya sambil mengguncang-guncangkan bahu Otsu. "Musashi ada di sini juga. Lihat, Kakak dapat melihat dari sini. Aku marah juga sama dia, tapi biar bagaimana ayolah. Kalau kita tidak buru-buru, dia akan pergi!" Ia pegang pergelangan Otsu dan mencoba menarik Otsu berdiri, tapi ia lihat tangan Otsu basah. "Wah! Kakak menangis?"

"Jo, sembunyilah di belakang kereta ini seperti aku. Ayolah!"

"Kenapa?"

"Tak usah tanya kenapa."

"Nah, inilah..." Jotaro melontarkan kemarahannya. "Inilah yang kubenci pada perempuan. Mereka suka bikin hal-hal yang aneh! Kakak selalu bilang ingin ketemu Musashi, dan di mana-mana nangis mencari dia. Tapi sekarang, ketika dia ada di depan mata, Kakak putuskan sembunyi. Malahan Kakak suruh aku sembunyi! Apa tidak aneh? Ha-oh, ketawa pun aku tak bisa."

Kata-kata itu menyengat seperti cambuk. Sambil mengangkat matanya yang merah bengkak, Otsu berkata, "Jangan kamu bicara begitu, Jotaro. Aku mohon. Dan jangan kejam padaku juga!"

"Kenapa menuduh aku kejam? Apa yang kulakukan?"

"Diamlah. Dan rundukkan badan di sini denganku."

"Aku tak mau. Ada tahi sapi di tanah itu. Kakak tahu sendiri, kata orang, kalau kita nangis pada Tahun Baru, burung gagak pun akan menertawakan kita."

"Oh, aku tak peduli. Aku cuma..."

"Nah, kalau begitu aku akan menertawakan Kakak! Tertawa macam samurai beberapa menit lalu itu. Ini ketawaku yang pertama pada Tahun Baru. Cocok buat Kakak?"

"Ya. Tertawalah! Tertawalah keras-keras!"

"Tidak bisa," kata Jotaro sambil menghapus hidungnya. "Berani bertaruh, aku tahu apa soalnya. Kakak cemburu, karena Musashi bicara dengan perempuan itu."

"Bukan... bukan itu! Sama sekali bukan!"

"Memang! Aku tahu, memang itu. Perbuatan itu bikin aku marah juga. Tapi kan masih banyak alasan lain untuk datang dan bicara dengannya? Kakak kan belum mengerti apa-apa."

Otsu tidak memperlihatkan tanda-tanda akan berdiri, tapi Jotaro menyentakkan pergelangannya demikian keras, hingga akhirnya ia terpaksa berdiri.

"Berhenti!" teriak Otsu. "Sakit! Jangan dendam begitu. Kaubilang aku tak mengerti apa-apa, padahal kau sama sekali tak mengerti perasaanku."

"Aku tahu betul apa yang Kakak rasakan. Kakak cemburu!"

"Bukan hanya itu."

"Diamlah. Ayo pergi!"

Otsu keluar dari belakang kereta, walau enggan. Anak itu menariknya, dan kaki Otsu mencakar-cakar tanah. Jotaro terus menarik-narik dan menjulurkan leher, melihat ke arah jembatan. "Lihat!" kata Jotaro. "Akemi tak ada lagi."

"Akemi? Siapa itu Akemi?"

"Gadis yang diajak bicara Musashi tadi.... Nah, nah! Musashi pergi sekarang. Kalau tak dikejar, dia bisa hilang." Jotaro melepaskan Otsu dan berjalan ke arah jembatan.

"Tunggu!" teriak Otsu sambil melontarkan pandangan ke jembatan, untuk mendapatkan kepastian bahwa Akemi tidak terlihat lagi. Setelah yakin bahwa saingannya benar-benar sudah pergi, ia tampak puas sekali dan dahinya tidak mengerut lagi. Tapi ia kembali ke belakang kereta untuk mengeringkan matanya yang bengkak dengan lengan kimono, merapikan rambut, dan meluruskan kimono.

"Cepat, Otsu!" seru Jotaro tak sabar. "Musashi turun ke sungai. Ini bukan waktunya berdandan!"

"Ke mana?"

"Turun ke sungai. Saya tak tahu kenapa, tapi dia ke sana." Keduanya berlari bersama ke ujung jembatan. Sambil meminta-minta maaf, Jotaro merintis jalan di tengah orang banyak, menuju susuran jembatan.


Musashi masih berdiri dekat perahu tempat Osugi menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari ikatan.

"Maaf, Nek," katanya, "tapi rupanya Matahachi takkan datang sama sekali. Saya berharap dapat ketemu dengannya tak lama lagi dan mencoba mengobarkan keberanianya. Sementara itu, Nenek sendiri mesti mencoba menemukannya dan membawanya pulang sebagai anak yang baik. Itu cara yang jauh lebih baik untuk menyatakan rasa terima kasih Nenek kepada leluhur, daripada mencoba memotong kepala saya."

Ia selipkan tangannya ke bawah tikar, dan dengan pisau kecil diputuskannya talinya.

"Kau bicara terlalu banyak, Musashi! Aku tak butuh nasihatmu! Susun pikiranmu yang bodoh itu, apa yang mau kaulakukan. Kau mau bunuh aku atau dibunuh?"

Nadi-nadi biru cemerlang muncul di seluruh wajah Osugi ketika ia meronta melepaskan diri dari bawah tikar, tapi ketika ia berdiri, Musashi sudah menyeberang sungai, melompat-lompat seperti kodok menyeberangi karang dan beting. Dalam waktu singkat ia sudah mencapai seberang dan mendaki puncak tanggul.

Jotaro melihatnya dan berteriak, "Lihat, Otsu! Itu dia!" Anak itu langsung turun tanggul dan Otsu mengikuti.

Bagi Jotaro yang cekatan, sungai dan pegunungan tak berarti apa-apa, tetapi Otsu yang mengenakan kimono bagus itu tiba-tiba berhenti di tepi sungai. Musashi tak kelihatan sekarang, tapi Otsu berdiri di situ, menjeritkan namanya berulang-ulang dengan sekuat paru-parunya.

"Otsu!" terdengar jawaban dari tempat yang tak diduga-duga. Osugi tak sampai seratus kaki dari situ.

Ketika Otsu melihat siapa orang itu, ia berteriak, sesaat menutup wajahnya dan lari.

Perempuan tua itu tak membuang-buang waktu, dan mengejar. Rambutnya yang putih melambai-lambai oleh angin. "Otsu!" jeritnya dengan suara yang dapat membelah air Sungai Kamo. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!"

Perempuan tua yang curiga sifatnya itu mulai mereka-reka sendiri dalam pikirannya tentang hadirnya Otsu. Ia yakin Musashi mengikatnya karena Musashi hendak bertemu dengan gadis itu dan tak ingin kelihatan olehnya. Kemudian, demikian pikirnya, kata-kata Otsu menyinggung perasaannya dan Musashi meninggalkannya. Tidak sangsi lagi, itulah sebabnya Otsu memanggil Musashi kembali.

"Gadis itu tak dapat diperbaiki lagi!" katanya. Kebenciannya pada Otsu jadi lebih besar lagi daripada kebenciannya pada Musashi. Di dalam pikirannya, Otsu sudah sah menjadi menantunya, tak peduli apakah perkawinan sudah berlangsung atau belum. Janji sudah diberikan, dan kalau calon istri ini membenci anaknya, mestinya la membenci juga mertuanya sendiri.

"Tunggu!" jeritnya lagi, hingga mulutnya terbuka lebar dari telinga kiri ke telinga kanan.

Kerasnya jeritan itu mengagetkan Jotaro yang waktu itu berada di sampingnya, maka dicengkeramnya perempuan itu, dan pekiknya, "Kamu mau apa, tukang sihir tua?"

"Menyingkir kamu!" teriak Osugi menepiskan Jotaro.

Jotaro tidak tahu siapa perempuan itu dan kenapa Otsu lari melihatnya, tapi ia merasa bahaya mengancam darinya. Sebagai anak Aoki Tanzaemon dan murid satu-satunya Miyamoto Musashi, ia tak mau disingkirkan dengan siku kurus seorang perempuan tua jelek.

"Oh, kau tak boleh memperlakukan aku begitu!" Dikejarnya perempuan tua itu dan hinggaplah ia di punggungnya.

Osugi cepat mengibaskannya, dan sambil memitingnya dijatuhkannya tamparan keras beberapa kali. "Setan kecil kamu! Ini pelajaran buat orang yang suka mengganggu!"

Sementara Jotaro berjuang melepaskan diri, Otsu berlari terus dengan pikiran kacau. Ia masih muda, dan seperti kebanyakan oang muda, ia masih penuh harapan dan tidak terbiasa menangisi nasibnya yang sial. Ia melahap setiap hari baru, seakan-akan cahaya itu bunga-bunga di kebun Yang disinari matahari. Kesedihan dan kekecewaan memang menjadi kenyataan hidup, rapt semuanya itu tidak membebaninya terlalu lama. Begitu pula ia tak dapat membayangkan kesenangan yang sepenuhnya terpisah dari rasa pedih.

Tapi hari ini ia dipaksa melepaskan optimismenya, bukan satu kali, melainkan dua kali. Kenapa ia sampai datang kemari pagi ini? Demikianlah ia bertanya pada diri sendiri.

Tak ada air mata atau kemarahan yang dapat menghilangkan guncangan itu. Sepintas-lintas terpikir olehnya untuk bunuh diri, kemudian dikutuknya semua lelaki sebagai pembohong kejam. Berganti-ganti ia berang dan sengsara, benci kepada dunia, benci kepada diri sendiri, terlalu tak berdaya untuk mencari kelegaan dalam air mata ataupun berpikir dengan jelas tentang segala sesuatu. Darahnya mendidih karena cemburu, dan kegoyahan yang ditimbulkannya membuat ia mencaci diri sendiri atas begitu banyak kekurangan yang ia miliki, termasuk tak adanya sikap tenang pada waktu ini. Berulang-ulang ia menyuruh dirinya tetap tenang dan sedikit demi sedikit ia menekan berbagai dorongan dari bawah tabir harga dirt yang sewajarnya dimiliki kaum perempuan.

Selama gadis asing itu berada di samping Musashi, Otsu tidak dapat bergerak. Tapi ketika Akemi pergi, kesabarannya habis. Otsu merasa harus bertemu Musashi dan mencurahkan segala yang dirasakannya. Sekalipun tidak tahu di mana harus memulai, ia sudah memutuskan untuk membukakan hatinya dan menceritakan segalanya kepada Musashi.

Tetapi hidup ini penuh dengan kecelakaan kecil. Satu langkah keliru saja—salah hitung kecil yang dibuat di tengah gejolak peristiwa—dapat mengubah bentuk persoalan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun mendatang. Justru karena membiarkan Musashi lepas dari pandangan sedetik itu maka Otsu dapat ditemukan Osugi. Pada pagi Tahun Baru yang mulia ini, kebun kegembiraan Otsu dilanda kawanan ular.

Ini sama dengan mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Dalam banyak mimpinya yang kacau ia sudah bertemu dengan wajah Osugi yang menatap jahat, dan inilah kini kenyataan telanjang itu.

Sesudah berlari beberapa ratus meter, Otsu kehabisan napas sama sekali. Ia berhenti dan menoleh ke belakang. Untuk sesaat napasnya berhenti sama sekali. Osugi yang berada sekitar seratus meter dari situ sedang memukuli dan mengayun-ayunkan Jotaro ke kiri dan ke kanan.

Jotaro melawan, menendang tanah, menendang udara, sekali-sekali memukul kepala penangkapnya.

Otsu melihat bahwa sebentar lagi Jotaro berhasil menarik pedang kayunya. Dan bila demikian, pasti perempuan itu akan menghunus pedang pendeknya dan takkan menyesal menggunakannya. Pada saat itu, Osugi bukan orang yang akan menunjukkan belas kasihan. Jotaro bahkan bisa terbunuh.

Otsu dalam keadaan sulit luar biasa. Jotaro mesti diselamatkan, tapi ia tak berani mendekati Osugi.

Jotaro memang berhasil meloloskan pedang kayu dari obi-nya, tapi tidak berhasil meloloskan kepalanya dari cengkeraman Osugi yang seperti catok itu. Segala tendangan dan ayunan tangannya hanya merugikan dirinya, karena semua menambah keyakinan diri perempuan tua itu.

"Anak bandel!" teriaknya menghina. "Apa yang mau kaulakukan? Niru kodok?" Giginya yang merongos membuat bibirnya tampak seperti bibir kelinci, tetapi air mukanya memperlihatkan kemenangan tersembunyi. Selangkah demi selangkah ia mengingsut mendekati Otsu.

Melihat gadis yang ketakutan itu, sifat liciknya tampil. Dalam sekejap terpikir olehnya bahwa ia menempuh jalan yang salah. Sekiranya lawannya itu Musashi, kecohan takkan mempan. Musuh di depannya sekarang Otsu—yang halus, yang polos—yang barangkali dapat dibuat percaya akan segalanya, asalkan disampaikan dengan lemah lembut dan dengan nada tulus. Pertama ia mesti diikat dengan kata-kata, demikian pikir Osugi, dan kemudian dipanggang untuk makan malam.

"Otsu!" panggilnya dengan nada betul-betul pedih. "Kenapa kau lari? Apa yang membuatmu lari begitu melihatku? Kau lari juga waktu di dimaafkan, tapi masih ada Matahachi yang mesti dipertimbangkan. Apa kau tak mau bertemu lagi dengannya dan bicara dengannya? Sejak dia lari dengan perempuan lain atas kemauan sendiri, menurutku dia takkan minta kamu kembali padanya. Sebetulnya aku tak suka dia melakukan sesuatu yang hanya mementingkan diri sendiri, tapi..."

"Apa?"

"Apa setidaknya kamu tak mau bertemu dengannya? Nanti, kalau kalian sudah berdua, akan kuceritakan padanya bagaimana duduk perkaranya. Dengan begitu, aku dapat menunaikan tugasku sebagai ibu. Aku akan merasa sudah melaksanakan segalanya semampuku."

"Saya mengerti," jawab Otsu. Dari pasir di sampingnya, seekor kepiting kecil merangkak ke luar, lalu bergegas lari ke belakang batu. Jotaro menangkapnya, kemudian pergi ke belakang Osugi dan menjatuhkannya ke atas kepalanya.

Kata Otsu, "Tapi biar bagaimana, saya merasa sesudah terjadi semua peristiwa itu, lebih baik saya tidak bertemu Matahachi."

"Aku bersamamu. Apa tidak lebih baik untukmu kalau kamu bertemu dengannya dan mengutarakan segalanya?"

"Ya, tapi..."

"Nah, kalau begitu lakukanlah itu. Kukatakan ini demi masa depanmu sendiri."

"Kalau saya setuju... bagaimana kita bisa bertemu dengan Matahachi. Apa Nenek tahu di mana dia?"

"Aku dapat cepat menemukan dia. Cepat sekali... kau tahu, baru-baru ini aku bertemu dengannya di Osaka. Lagi ngumbar napsu, dan ditinggalkannya aku di Sumiyoshi. Tapi biasanya kalau dia berbuat seperti itu, dia akan menyesal. Tak lama lagi dia pasti muncul di Kyoto mencariku."

Otsu merasa kurang enak, karena menurutnya Osugi berbohong. Tapi hanyut juga ia oleh rasa sayang orang tua itu kepada anaknya yang brengsek. Namun yang menyebabkan ia menyerah sepenuhnya adalah keyakinan bahwa yang diusulkan Osuugi itu benar dan wajar.

"Bagaimana kalau saya pergi membantu Nenek mencari Matahachi." demikian tanyanya.

"Oh, kau mau?" teriak Osugi, menggenggam tangan gadis itu.

"Ya, saya pikir saya mesti pergi."

"Baiklah, ikutlah denganku sekarang ke penginapan. Uh! Apa ini?" Sambil berdiri ia meraba belakang kerahnya dan menangkap kepiting itu.

Ia gemetar, serunya, "Oh, bagaimana dia bisa sampai di sini?" Ia mengulurkan tangannya, kemudian mengibaskan kepiting itu dari jari-jarinya.

Jotaro yang berada di belakangnya menahan gelaknya, tapi Osugi tak dapat dikibuli. Dengan mata menyala ia menoleh dan menatap Jotaro. "Perbuatanmu itu, aku yakin!"

"Bukan aku. Aku tidak melakukannya." Jotaro lari mendekati tanggul menyelamatkan diri, dan serunya, "Otsu, Kakak akan pergi dengan dia ke penginapan, ya?"

Sebelum Otsu dapat menjawab sendiri, Osugi sudah mengatakan, "Ya, dia ikut aku. Aku tinggal di penginapan dekat kaki Bukit Sannen. Selamanya aku tinggal di sana jika datang di Kyoto. Kami tak butuh kamu. Kembalilah kau ke tempatmu sendiri."

"Baik, aku tinggal di rumah Karasumaru. Kakak datang ke sana juga, kalau sudah selesai urusannya."

Waktu itu Otsu merasakan denyutan kekuatiran. "Jo, tunggu!" Ia berlari cepat naik tanggul, karena enggan melepaskan Jotaro pergi. Karena takut gadis itu akan mengubah pikiran dan melarikan diri, Osugi cepat mengikutinya, tapi beberapa saat lamanya Otsu dan Jotaro sempat sendirian.

"Kupikir aku mesti pergi dengan dia," kata Otsu. "Tapi aku akan datang ke tempat Yang Dipertuan Karasumaru, begitu ada kesempatan. Jelaskan semuanya pada mereka dan mohonlah tinggal di sana sampai aku selesai dengan urusanku."

"Jangan kuatir. Aku akan menunggu Kakak."

"Cari Musashi selama kau menunggu, ya?"

"Nah, ke situ lagi Kakak ini maunya! Waktu Kakak menemukan dia, Kakak sembunyi. Dan sekarang Kakak menyesal. Jangan Kakak bilang aku tidak memperingatkan."

Osugi datang dan berdiri di antara keduanya. Ketiganya berjalan kembali ke jembatan. Pandangan Osugi yang seperti jarum itu berulang-ulang menghujam ke arah Otsu. Ia tak berani mempercayai gadis itu. Walau tak sedikit pun menduga bencana yang menghadangnya, namun Otsu merasa sudah terperangkap.

Sampai di jembatan, matahari sudah tinggi di atas pohon liu dan pinus, jalan-jalan sudah penuh orang-orang yang berbondong-bondong merayakan Tahun Baru, Satu gerombolan besar di antaranya berkerumun di depan papan yang terpasang di Jembatan.

"Aku tak pernah dengar tentang dia."

"Tentunya jagoan boleh juga, kalau berani menghadapi orang-orang Yoshioka. Menarik juga untuk ditonton."

Otsu berhenti dan memandang, Osugi dan Jotaro juga berhenti dan memandang sambil mendengarkan bisik-bisik orang yang memantul-mantul pelan di sana-sini. Seperti riak-riak air yang digerakkan ikan-ikan mino di bering, nama Musashi menyebar ke tengah orang banyak itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP