Jembatan Besar di
Jalan Gojo
"LAPANGAN
RENDAIJI... hari kesembilan bulan pertama...."
Membaca kata-kata itu
membuat darah Musashi menggelegak.
Namun perhatiannya
terganggu oleh rasa nyeri tajam dan menikam pada mata kirinya. Ketika ia
mengangkat tangan setinggi kelopak mata, kelihatan ada jarum kecil menancap
pada lengan kimononya, dan ketika lebih saksama diperhatikannya ternyata ada
empat ataulima lagi bersarang seperti potongan-potongan es kena cahaya pagi.
"Oh, ini
dia!" serunya sambil mencabut satu di antaranya dan mengamat-amatinya.
Besarnya seperti jarum jahit kecil, tapi tak berlubang, dan bentuknya bukan
bulat, tapi segi tiga. "Anjing perempuan!" katanya jijik sambil
menatap ke arah perahu. "Aku sudah dengar tentang jarum semburan macam
ini, tapi siapa sangka perempuan jelek tua itu yang menembakkannya? Sungguh
nyaris."
Rasa ingin tahu
seperti biasa muncul. Ia kumpulkan jarum-jarum itu satu demi satu, kemudian ia
sisipkan baik-baik dalam kerahnya, dengan maksud mempelajarinya kemudian. Ia
mendengar bahwa di antara para prajurit terdapat dua aliran yang berlawanan
mengenai senjata kecil ini. Yang satu berpendapat bahwa jarum itu dapat dengan
efektif dipergunakan sebagai alat penangkis dengan menyemburkannya ke wajah
lawan, sedangkan yang lain menyatakan bahwa itu omong kosong.
Golongan pendukung
senjata itu menyatakan bahwa cara yang sudah sangat tua dalam menggunakan jarum
itu dikembangkan dari permainan para penjahit dan pemintal yang pindah dari
Tiongkok ke Jepang pada abad enam atau tujuh. Sekalipun tidak dianggap sebagai
alat penyerang, menurut mereka senjata itu dipergunakan sampai zaman
ke-shogun-an Ashikaga sebagai alat persiapan untuk melindungi diri terhadap
lawan.
Pihak lain bahkan
sampai menyatakan tak pernah ada teknik kuno dalam hal itu, sekalipun mereka
membenarkan semburan jarum itu pernah dipergunakan untuk permainan. Mereka
membenarkan, orang-orang perempuan mungkin saja bermain-main dengan itu, tapi
mereka tetap menolak bahwa semburan jarum dapat dikembangkan sampai taraf dapat
menimbulkan luka. Mereka juga menyatakan bahwa air ludah memang dapat menahan
panas, dingin, atau keasaman tertentu, tapi sedikit saja dapat menahan rasa
nyeri akibat jarum yang menusuk bagian dalam mulut. Jawaban atas pertanyaan ini
tentu saja bahwa dengan latihan yang cukup, orang dapat menyimpan jarum-jarum
dalam mulutnya tanpa merasa sakit dan meluncurkannya dengan lidah, dengan
ketepatan dan kekuatan tinggi. Itu cukup untuk membutakan orang.
Orang-orang yang tak
percaya membantah. Mereka berpendapat bahwa sekalipun jarum itu dapat
disemburkan dengan keras dan cepat, kemungkinan untuk dapat melukai seseorang
sangat minim.
Bagaimanapun, menurut
mereka bagian wajah yang lemah terhadap serangan itu hanyalah mata, sedangkan
kemungkinan jarum itu mengenai mata tidak begitu besar, biarpun dalam kondisi
paling menguntungkan. Dan kerusakan yang ditimbulkannya tidaklah berarti.
Mendengar banyak
argumentasi pada waktu yang berlain-lainan, Musashi cenderung memihak
orang-orang yang menyangsikannya. Tapi sesudah mendapat pengalaman sendiri, ia
pun sadar bahwa penilaiannya terlampau tergesa-gesa dan bahwa penggal-penggal
pengetahuan yang diperoleh secara sembarangan saja dapat terbukti sangat
penting dan bermanfaat.
Jarum-jarum itu tidak
mengenai biji matanya, tapi matanya kini berair. Ketika ia sedang meraba-raba
pakaiannya untuk mencari sesuatu yang dapat dipergunakannya mengeringkannya,
didengarnya bunyi kain disobek. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya seorang gadis
sedang merobek secarik kain merah dari lengan baju dalamnya.
Akemi datang berlari
kepadanya. Rambutnya tidak ditata untuk perayaan Tahun Baru dan kimononya
acak-acakan. Ia mengenakan sandal, tapi tanpa kaus. Musashi menyipitkan mata
memandang kepadanya dan bergurnam. Walau gadis itu tidak asing baginya, tapi
tak dapat ia mengenali wajahnya.
"Ini aku,
Takezo... eh, Musashi," kata Akemi ragu-ragu sambil menawarkan kain merah
itu. "Matamu kelilipan, ya? Jangan gosok. Bisa lebih sakit. Pakai
ini."
Musashi menerima
kebaikannya tanpa mengatakan sesuatu, lalu menutup matanya dengan kain itu.
Kemudian ia menatap wajah Akemi dengan saksama.
"Kau tak ingat
aku?" tanya Akemi tak percaya. "Kau harus ingat!" Wajah Musashi
betul-betul kosong.
"Harus!"
Sikap diam Musashi
itu membobol tanggul penahan emosi Akemi yang sudah lama terpendam. Jiwanya
yang sudah demikian terbiasa dengan kesedihan dan kekejaman itu telanjur
bergayut pada harapan terakhir ini, dan kini fajar sudah menyingsing, karena
itu semuanya jadi tak lebih dari khayal yang telah diciptakannya sendiri. Di
dalam dadanya terbentuk gumpalan keras, dan terdengarlah ia tercekik. Sekalipun
ia menutup mulut dan hidung untuk menindas sedu-sedannya, namun bahunya
menggeletar tak terkendalikan lagi.
Caranya memandang
sewaktu menangis itu mengingatkan Musashi kepada sikap gadis polos di zaman
Ibuki. Ketika itu anak itu menggantungkan giring-giring pada obi-nya. Musashi
melingkarkan tangannya ke bahu yang tipis dan lemah itu.
"Kamu Akemi,
tentu saja. Ya, aku ingat. Bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa yang terjadi
dengan ibumu?" Pertanyaan-pertanyaan Musashi itu seperti mata kail, dan
yang paling berat adalah penyebutan nama Oko, yang dengan sendirinya
mengingatkannya pada teman lamanya. "Apa kau masih tinggal dengan
Matahachi? Dia mestinya datang kemari pagi ini. Apa kebetulan kau tidak bertemu
dengannya?"
Setiap patah kata itu
menambah penderitaan Akemi. Di dalam pelukan Musashi, tak ada lagi yang
diperbuatnya selain menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.
"Apa Matahachi
takkan datang?" tanya Musashi lagi. "Apa yang terjadi dengannya?
Bagaimana aku bisa mengerti, kalau kamu cuma menangis?"
"Dia... dia...
dia takkan datang. Dia tak pernah... tak pernah terima pesan-mu." Dan
Akemi pun menekankan wajahnya ke dada Musashi dan kembali menangis
mengejang-ngejang.
Ia ingin
mengatakan... bercerita... tapi setiap gagasan mati dalam otaknya yang demam.
Bagaimana ia dapat menceritakan kepada Musashi nasib ngeri yang dideritanya
karena ibunya? Bagaimana mungkin ia mengutarakannya dalam kata-kata, apa yang
telah terjadi di Sumiyoshi atau pada hari-hari sesudah itu?
Jembatan itu
bermandikan matahari Tahun Baru, dan semakin banyak orang berlalu lalang.
Gadis-gadis berkimono baru cemerlang pergi melakukan sembahyang Tahun Baru di
Kuil Kiyomizudera. Laki-laki berpakaian jubah resmi mulai melakukan kunjungan
Tahun Baru. Hampir tersembunyi di tengah mereka itu ada Jotaro dengan rambut
awut-awutan seperti biasa. Hampir sampai tengah jembatan, baru ia melihat
Musashi dan Akemi.
"Apa pula
ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kupikir dia bersama Otsu. Tapi itu
bukan Otsu!" Ia berhenti dan wajahnya berubah.
Ia betul-betul
terpukau. Sebetulnya tidak apa-apa, kalau tak ada orang memperhatikan. Tapi di
sana mereka beradu dada dan saling peluk di jalan ramai. Seorang lelaki dan
seorang perempuan saling dekap di depan umum? Itu tak kenal malu. Ia tak dapat
percaya bahwa orang dewasa dapat berlaku demikian memalukan, lebih-lebih
sensei-nya sendiri yang dipujanya. Jantung Jotaro berdentam hebat. Ia merasa
sedih dan sekaligus sedikit cemburu. Dan marah, begitu marah, hingga ia ingin
memungut batu dan melempar mereka.
"Aku pernah
melihat perempuan itu," pikirnya. "Ah... ya, dialah yang menyampaikan
pesan Musashi untuk Matahachi. Ya... dia itu gadis warung teh, jadi tak heran.
Tapi bagaimana pula mereka bisa saling kenal? Rasanya ini mesti kusampaikan
pada Otsu!"
Ia menengok ke sana
kemari di jalan itu, mengintai dari susuran jembatan, tapi tak ada tanda-tanda
Otsu.
Malam kemarin, karena
yakin akan bertemu Musashi hari berikutnya, Otsu mengeramasi rambutnya dan
tetap jaga sampai jam-jam pertama Tahun Baru karena menata rambutnya secara
layak. Kemudian ia mengenakan kimono hadiah Keluarga Karasumaru, dan sebelum
fajar ia pergi memberikan penghormatan ke Kuil Gion dan Kiyomizudera, dan
akhirnya pergi ke Jalan Gojo. Jotaro ingin mengawaninya, tapi ia menolak.
Menurut Otsu, pada
hari biasa tidak apalah, tapi hari ini Jotaro akan merupakan gangguan.
"Kamu diam di sini," katanya. "Pertama, aku mau bicara dengan
Musashi sendiri. Kamu boleh pergi ke jembatan sesudah hari terang, tapi tak
perlu buru-buru. Dan jangan kuatir; aku berjanji akan menantimu di sana dengan
Musashi, waktu kamu datang."
Jotaro lebih dari
sekadar jengkel. Tidak hanya ia merasa sudah cukup dewasa untuk memahami
perasaan Otsu, ia pun menghargai perasaan saling tertarik antara lelaki dan
perempuan. Pengalaman berguling-guling di jerami dengan Kocha di Koyagyu itu
belum luntur dari kenangannya; sekalipun begitu, aneh baginya bahwa seorang
perempuan dewasa seperti Otsu pergi ke sana kemari bermuram durja dan menangisi
seorang lelaki.
Walau sudah berusaha
setengah mati, ia tak dapat menemukan Otsu. Sementara ia sedang resah itu,
Musashi dan Akemi pergi ke ujung jembatan, agaknya supaya tidak tampak terlalu
mencolok. Musashi melipatkan lengan dan bersandar pada susuran jembatan. Akemi
berdiri di sampingnya, memandang ke sungai. Mereka tidak melihat Jotaro ketika
ia menjelinap lewat di sisi lain jembatan itu.
"Kenapa begini
lama? Berapa lama orang bisa berdoa buat Kannon?" Sambil menggerutu,
Jotaro berjingkat dan menatapkan pandangan ke ujung Jalan Gojo.
Sekitar sepuluh
langkah dari tempat berdirinya terdapat empat atau lima pohon liu yang tak
berdaun. Sering kali kawanan bangau putih berkumpul sepanjang sungai itu,
mencari ikan, tapi hari ini tak seekor pun kelihatan. Seorang pemuda berkuncung
panjang bersandar pada cabang pohon liu yang menjulur ke tanah seperti naga
yang sedang tidur.
Di jembatan, Musashi
mengangguk ketika Akemi berbisik bergairah kepadanya. Akemi membuang jauh-jauh
harga dirinya dan sedang bercerita kepada Musashi tentang segalanya, dengan
harapan dapat meyakinkan Musashi agar menjadi miliknya seorang. Sukarlah
meneliti, apakah kata-kata yang diucapkannya menembus telinga Musashi. Musashi
memang terkadang mengangguk, tapi pandangan matanya bukan pandangan seorang
kekasih yang sedang mengucapkan kata-kata manis kosong kepada kekasihnya.
Sebaliknya biji
matanya bersinar tanpa warna dan tanpa panas, dan terpusat terus pada sesuatu.
Akemi tak menyadari ini. Karena tenggelam sepenuhnya, ia sampai tercekik
sedikit ketika mencoba menguraikan perasaan yang dikandungnya.
"Nah,"
demikian keluhnya, "sudah kuceritakan padamu semua yang bisa kuceritakan.
Tak ada sama sekali yang kusembunyikan." Sambil beringsut mendekati
Musashi, katanya prihatin, "Empat tahun sudah lewat sejak Sekigahara itu.
Tubuh dan jiwaku sudah berubah." Kemudian sambil mencucurkan air mata,
"Tapi tidak! Aku tidak betul-betul berubah. Perasaanku padamu tak berubah
sedikit pun. Aku yakin betul. Kau mengerti, Musashi? Mengerti bagaimana
perasaanku?"
"Mm. Mm."
"Cobalah kau
mengerti! Aku sudah menceritakan segalanya. Aku bukan bunga liar yang tanpa
dosa seperti ketika kita pertama bertemu di kaki Gunung Ibuki. Aku cuma
perempuan biasa yang sudah diperkosa.... Tapi kesucian itu persoalan tubuh atau
pikiran? Apa seorang perawan yang berpikiran cabul itu suci?... Aku sudah
kehilangan keperawanan gara-gara... tak dapat aku menyebut namanya, tapi
gara-gara lelaki tertentu, tapi hatiku masih murni."
"Mm. Mm."
"Apa kau tidak
menyimpan rasa tertentu padaku? Tak bisa aku menyimpan rahasia kepada orang
yang kucintai. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang akan kukatakan,
ketika aku melihatmu. Haruskah aku mengatakan semuanya atau tidak? Tapi
kemudian jelas soalnya buatku. Tak dapat aku menipumu, biarpun aku
menghendakinya. Kuharap kau mengerti! Katakanlah! Katakan kau memaafkan aku.
Atau, apa menurut pendapatmu aku tercela?"
"Mm. Ah....
"Kalau
kupikirkan hal itu lagi, aku jadi begitu marah!" Akemi pun menurunkan
wajahnya ke susuran jembatan. "Oh, malu aku memintamu mencintaiku. Aku tak
punya hak berbuat begitu. Tapi... tapi... dalam hatiku aku masih perawan. Aku
masih menilai cinta pertamaku ini seperti sebutir mutiara. Aku belum kehilangan
kekayaan itu, dan aku tak mau, tak peduli aku menjalani hidup macam apa, atau
ke tengah laki-laki macam apa aku tercebur!"
Tiap helai rambut di
kepalanya bergetar bersama sedu-sedannya. Di bawah jembatan tempat jatuhnya air
matanya, sungai yang berkilauan dalam matahari Tahun Baru itu mengalir terus
seperti impian Akemi tentang keabadian harapan.
"Mm. Mm."
Kepedihan cerita Akemi sering kali mendapat anggukan dan sambutaan suara
rendah, tapi mata Musashi tetap terpusat pada titik di kejauhan. Ayahnya pernah
mengatakan, "Kau ini tidak seperti aku. Mataku hitam, sedang matamu
cokelat tua. Orang bilang, kakekmu, Hirata Shogen, matanya cokelat mengerikan,
jadi barangkali kau meniru dia." Pada waktu itu, dalam sinar matahari yang
mencondong, mata Musashi seperti batu koral murni tak bercacat.
"Tentunya
dia," pikir Sasaki Kojiro, orang yang bersandar pada pohon liu itu.
Berkali-kali ia mendengar tentang Musashi, tapi inilah untuk pertama kali ia
melihatnya.
Musashi
bertanya-tanya, "Siapa gerangan orang itu?"
Semenjak mata mereka
beradu, diam-diam mereka menyelidik. Masing-masing menaksir dalamnya semangat
pihak lain. Dalam melaksanakan Seni Perang, kata orang, kita harus mengukur
kemampuan musuh dari ujung pedangnya. Justru inilah yang dilakukan kedua orang
itu. Mereka seperti pegulat yang saling mengukur lawan sebelum akhirnya saling
cekam. Dan masing-masing punya alasan untuk memandang lawan dengan penuh
kecurigaan.
"Aku tak
suka," pikir Kojiro, mendidih darahnya oleh perasaan tak suka. Ia merawat
Akemi sejak menyelamatkannya dari Gunung Amida yang rusak itu. Percakapan intim
antara Akemi dan Musashi mengesalkannya. "Barangkali dia jenis orang yang
biasa memangsa perempuan-perempuan tak berdosa. Dan Akemi! Akemi tak mengatakan
tadi ke mana perginya, tapi sekarang dia ada di sana, menangis di bahu seorang
lelaki!" Sedang ia sendiri ada di sini karena mengikutinya.
Nada permusuhan dalam
mata Kojiro itu tidak hilang begitu saja. Musashi menyadari terjadinya konflik
sesaat yang khas itu, yaitu konflik kemauan yang timbul apabila seorang
shugyosha bertemu dengan shugyosha lain. Dan tak ada keraguan pula bahwa Kojiro
merasakan semangat menantang yang terlontar dari ekspresi Musashi.
"Siapa dia
gerangan?" pikir Musashi lagi. "Kelihatannya dia memang jagoan. Tapi
kenapa ada pandangan dengki pada matanya? Lebih baik aku mengamatinya."
Kehebatan kedua
lelaki itu bukan bersumber pada mata mereka, tapi pada inti diri mereka.
Kembang api seperti akan meloncat dari biji mata mereka. Dilihat dari
penampilannya, Musashi tampak setahun atau dua tahun lebih muda dari Kojiro,
tapi mungkin juga sebaliknya. Apa pun kenyataannya, mereka berdua memiliki
kesamaan: keduanya dalam umur yang ditandai rasa sok, yaitu bahwa mereka merasa
yakin tahu segala yang mesti diketahui mengenai politik, masyarakat, Seni
Perang, dan semua persoalan lain. Seperti anjing galak yang menggeram apabila
melihat anjing galak lainnya, demikianlah Musashi maupun Kojiro. Secara
naluriah masing-masing tahu bahwa pihak lain berbahaya.
Kojiro-lah yang
pertama melepaskan pandangannya, dan itu dilakukannya disertai gerutu kecil.
Musashi yakin sekali bahwa ia menang, sekalipun ia merasakan ada nada ejekan
dalam profil Kojiro. Lawan menyerah kepada pandangan matanya, kepada daya
kemampuannya, dan ini membuat Musashi merasa bahagia.
"Akemi,"
katanya sambil meletakkan tangan ke bahu Akemi.
Akemi masih
tersedu-sedu. Wajahnya menempel di susuran jembatan. la tak menjawab.
"Siapa lelaki di
sana itu? Dia kenal kamu, kan? Maksudku pemuda yang tampak seperti calon
prajurit itu. Siapa dia?"
Akemi diam saja.
Sampai waktu itu, ia belum melihat Kojiro. Ketika melihatnya, wajahnya yang
bengkak oleh air mata itu menjadi bingung. "Oh... maksudmu orang jangkung
di sana itu?"
"Ya. Siapa
dia?"
"Oh, dia...
anu... dia... aku tidak begitu kenal dia."
"Tapi kamu kenal
dia, kan?"
"Ya, ya."
"Bawa pedang
sebesar dan sepanjang itu, dan pakaiannya memikat perhatian orang-tentunya dia
merasa sudah pemain pedang besar! Bagaimana kamu bisa kenal?"
"Beberapa hari
lalu," kata Akemi cepat, "aku digigit anjing, dan darah tak mau
berhenti, karena itu aku pergi ke dokter, dan di situ kebetulan dia tinggal.
Dia merawatku beberapa hari ini."
"Dengan kata
lain, kamu tinggal serumah dengan dia?"
"Ya, ya, aku
memang tinggal di sana, tapi itu tak ada artinya. Tak ada apa-apa antara
kami." Bicaranya lebih tegas sekarang.
"Kalau begitu,
kukira kamu tak banyak tahu tentang dia. Apa kamu tahu namanya?"
"Namanya Sasaki
Kojiro. Dipanggil juga Ganryu."
"Ganryu?"
Musashi pernah mendengar nama itu.. Walaupun nama itu tidak terlalu terkenal,
tapi dikenal oleh para prajurit di sejumlah provinsi.
Ternyata ia lebih
muda dari yang pernah dibayangkan Musashi, dan ia memandang orang itu lagi
sekarang.
Kemudian terjadilah
sesuatu yang ganjil. Sepasang lesung pipit muncul di pipi Kojiro.
Musashi membalas
senyumnya. Namun komunikasi diam ini tidaklah penuh sinar perdamaian dan
persahabatan, seperti senyum yang dipertukarkan oleh sang Budha dan muridnya
Ananda selagi mereka meremas bunga dengan jemari mereka. Dalam senyuman Kojiro
terasa cemooh menantang dan unsur ironi.
Sementara itu, senyuman
Musashi tidak hanya bersifat menerima tantangan Kojiro, melainkan juga
menyampaikan kehendak yang dashyat untuk bertempur.
Akemi terperangkap di
antara dua orang yang berkemauan keras itu. Ia hendak mulai mencurahkan
perasaannya kembali, tapi sebelum terlaksana,Musashi sudah menyatakan,
"Nah, Akemi, kupikir lebih baik kamu kembali ke tempat penginapanmu dengan
orang itu. Sebentar lagi aku akan datang menemuimu. Jangan kuatir."
"Betul-betul
kamu akan datang?"
"Ya,
tentu."
"Nama penginapan
itu Zuzuya, di depan biara Jalan Rokujo!"
"Baik."
Sikap sambil lalu
dalam jawaban Musashi itu kurang memuaskan Akemi. Ia tarik tangan Musashi dari
susuran jembatan dan ia pilin penuh perasaan di belakang lengan kimononya.
"Kamu betul-betul akan datang, kan? Janji?"
Jawaban Musashi
tenggelam dalam ledakan tawa yang memekakkan telinga. "Ha, ha, ha, ha, ha!
Oh! Ha, ha, ha, ha! Oh..." Kojiro membalikkan punggungnya dan pergi
baik-baik, membawa kegembiraannya yang tak terkendalikan itu.
Jotaro memandang
masam dari ujung sana, pikirnya, "Tak ada yang seaneh itu!" Ia
sendiri muak dengan dunia ini, terutama dengan gurunya yang seenaknya, dan juga
dengan Otsu.
"Ke mana pula
perginya Otsu?" tanyanya lagi sambil melangkah marah ke arah kota. Baru
saja beberapa langkah, terlihat wajah Otsu yang putih di antara roda-roda
kereta sapi di pangkalan jalan itu. "Itu dia!" teriaknya. Karena
tergesa-gesa hendak menangkap Otsu, ia tertumbuk ke hidung sapi.
Lain dari biasanya,
hari itu Otsu mengenakan sedikit gincu. Riasannya masih sedikit amatir, tapi
baunya enak, sedangkan kimononya merupakan setelan musim semi yang manis,
dengan sulaman pola putih dan hijau pada latar belakang merah muda. Jotaro
mendekap dari belakang. Ia tak peduli tindakannya mengacaukan rambut Otsu atau
mengotorkan pupur putih di lehernya.
"Kenapa Kakak
sembunyi di sini? Berjam-jam aku menunggu. Ayo ikut aku, cepat!"
Otsu tak menjawab.
"Ayo, sekarang
juga!" mohonnya sambil mengguncang-guncangkan bahu Otsu. "Musashi ada
di sini juga. Lihat, Kakak dapat melihat dari sini. Aku marah juga sama dia,
tapi biar bagaimana ayolah. Kalau kita tidak buru-buru, dia akan pergi!"
Ia pegang pergelangan Otsu dan mencoba menarik Otsu berdiri, tapi ia lihat
tangan Otsu basah. "Wah! Kakak menangis?"
"Jo, sembunyilah
di belakang kereta ini seperti aku. Ayolah!"
"Kenapa?"
"Tak usah tanya
kenapa."
"Nah,
inilah..." Jotaro melontarkan kemarahannya. "Inilah yang kubenci pada
perempuan. Mereka suka bikin hal-hal yang aneh! Kakak selalu bilang ingin
ketemu Musashi, dan di mana-mana nangis mencari dia. Tapi sekarang, ketika dia
ada di depan mata, Kakak putuskan sembunyi. Malahan Kakak suruh aku sembunyi!
Apa tidak aneh? Ha-oh, ketawa pun aku tak bisa."
Kata-kata itu
menyengat seperti cambuk. Sambil mengangkat matanya yang merah bengkak, Otsu
berkata, "Jangan kamu bicara begitu, Jotaro. Aku mohon. Dan jangan kejam
padaku juga!"
"Kenapa menuduh
aku kejam? Apa yang kulakukan?"
"Diamlah. Dan
rundukkan badan di sini denganku."
"Aku tak mau.
Ada tahi sapi di tanah itu. Kakak tahu sendiri, kata orang, kalau kita nangis
pada Tahun Baru, burung gagak pun akan menertawakan kita."
"Oh, aku tak
peduli. Aku cuma..."
"Nah, kalau
begitu aku akan menertawakan Kakak! Tertawa macam samurai beberapa menit lalu
itu. Ini ketawaku yang pertama pada Tahun Baru. Cocok buat Kakak?"
"Ya. Tertawalah!
Tertawalah keras-keras!"
"Tidak
bisa," kata Jotaro sambil menghapus hidungnya. "Berani bertaruh, aku
tahu apa soalnya. Kakak cemburu, karena Musashi bicara dengan perempuan
itu."
"Bukan... bukan
itu! Sama sekali bukan!"
"Memang! Aku
tahu, memang itu. Perbuatan itu bikin aku marah juga. Tapi kan masih banyak
alasan lain untuk datang dan bicara dengannya? Kakak kan belum mengerti
apa-apa."
Otsu tidak memperlihatkan
tanda-tanda akan berdiri, tapi Jotaro menyentakkan pergelangannya demikian
keras, hingga akhirnya ia terpaksa berdiri.
"Berhenti!"
teriak Otsu. "Sakit! Jangan dendam begitu. Kaubilang aku tak mengerti
apa-apa, padahal kau sama sekali tak mengerti perasaanku."
"Aku tahu betul
apa yang Kakak rasakan. Kakak cemburu!"
"Bukan hanya
itu."
"Diamlah. Ayo
pergi!"
Otsu keluar dari
belakang kereta, walau enggan. Anak itu menariknya, dan kaki Otsu
mencakar-cakar tanah. Jotaro terus menarik-narik dan menjulurkan leher, melihat
ke arah jembatan. "Lihat!" kata Jotaro. "Akemi tak ada
lagi."
"Akemi? Siapa
itu Akemi?"
"Gadis yang
diajak bicara Musashi tadi.... Nah, nah! Musashi pergi sekarang. Kalau tak
dikejar, dia bisa hilang." Jotaro melepaskan Otsu dan berjalan ke arah
jembatan.
"Tunggu!"
teriak Otsu sambil melontarkan pandangan ke jembatan, untuk mendapatkan
kepastian bahwa Akemi tidak terlihat lagi. Setelah yakin bahwa saingannya
benar-benar sudah pergi, ia tampak puas sekali dan dahinya tidak mengerut lagi.
Tapi ia kembali ke belakang kereta untuk mengeringkan matanya yang bengkak
dengan lengan kimono, merapikan rambut, dan meluruskan kimono.
"Cepat,
Otsu!" seru Jotaro tak sabar. "Musashi turun ke sungai. Ini bukan
waktunya berdandan!"
"Ke mana?"
"Turun ke
sungai. Saya tak tahu kenapa, tapi dia ke sana." Keduanya berlari bersama
ke ujung jembatan. Sambil meminta-minta maaf, Jotaro merintis jalan di tengah
orang banyak, menuju susuran jembatan.
Musashi masih berdiri
dekat perahu tempat Osugi menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari
ikatan.
"Maaf,
Nek," katanya, "tapi rupanya Matahachi takkan datang sama sekali.
Saya berharap dapat ketemu dengannya tak lama lagi dan mencoba mengobarkan
keberanianya. Sementara itu, Nenek sendiri mesti mencoba menemukannya dan
membawanya pulang sebagai anak yang baik. Itu cara yang jauh lebih baik untuk
menyatakan rasa terima kasih Nenek kepada leluhur, daripada mencoba memotong
kepala saya."
Ia selipkan tangannya
ke bawah tikar, dan dengan pisau kecil diputuskannya talinya.
"Kau bicara
terlalu banyak, Musashi! Aku tak butuh nasihatmu! Susun pikiranmu yang bodoh
itu, apa yang mau kaulakukan. Kau mau bunuh aku atau dibunuh?"
Nadi-nadi biru
cemerlang muncul di seluruh wajah Osugi ketika ia meronta melepaskan diri dari
bawah tikar, tapi ketika ia berdiri, Musashi sudah menyeberang sungai,
melompat-lompat seperti kodok menyeberangi karang dan beting. Dalam waktu
singkat ia sudah mencapai seberang dan mendaki puncak tanggul.
Jotaro melihatnya dan
berteriak, "Lihat, Otsu! Itu dia!" Anak itu langsung turun tanggul
dan Otsu mengikuti.
Bagi Jotaro yang
cekatan, sungai dan pegunungan tak berarti apa-apa, tetapi Otsu yang mengenakan
kimono bagus itu tiba-tiba berhenti di tepi sungai. Musashi tak kelihatan
sekarang, tapi Otsu berdiri di situ, menjeritkan namanya berulang-ulang dengan
sekuat paru-parunya.
"Otsu!"
terdengar jawaban dari tempat yang tak diduga-duga. Osugi tak sampai seratus
kaki dari situ.
Ketika Otsu melihat
siapa orang itu, ia berteriak, sesaat menutup wajahnya dan lari.
Perempuan tua itu tak
membuang-buang waktu, dan mengejar. Rambutnya yang putih melambai-lambai oleh
angin. "Otsu!" jeritnya dengan suara yang dapat membelah air Sungai
Kamo. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!"
Perempuan tua yang
curiga sifatnya itu mulai mereka-reka sendiri dalam pikirannya tentang hadirnya
Otsu. Ia yakin Musashi mengikatnya karena Musashi hendak bertemu dengan gadis
itu dan tak ingin kelihatan olehnya. Kemudian, demikian pikirnya, kata-kata
Otsu menyinggung perasaannya dan Musashi meninggalkannya. Tidak sangsi lagi,
itulah sebabnya Otsu memanggil Musashi kembali.
"Gadis itu tak
dapat diperbaiki lagi!" katanya. Kebenciannya pada Otsu jadi lebih besar
lagi daripada kebenciannya pada Musashi. Di dalam pikirannya, Otsu sudah sah
menjadi menantunya, tak peduli apakah perkawinan sudah berlangsung atau belum.
Janji sudah diberikan, dan kalau calon istri ini membenci anaknya, mestinya la
membenci juga mertuanya sendiri.
"Tunggu!"
jeritnya lagi, hingga mulutnya terbuka lebar dari telinga kiri ke telinga
kanan.
Kerasnya jeritan itu
mengagetkan Jotaro yang waktu itu berada di sampingnya, maka dicengkeramnya
perempuan itu, dan pekiknya, "Kamu mau apa, tukang sihir tua?"
"Menyingkir
kamu!" teriak Osugi menepiskan Jotaro.
Jotaro tidak tahu
siapa perempuan itu dan kenapa Otsu lari melihatnya, tapi ia merasa bahaya
mengancam darinya. Sebagai anak Aoki Tanzaemon dan murid satu-satunya Miyamoto
Musashi, ia tak mau disingkirkan dengan siku kurus seorang perempuan tua jelek.
"Oh, kau tak
boleh memperlakukan aku begitu!" Dikejarnya perempuan tua itu dan
hinggaplah ia di punggungnya.
Osugi cepat
mengibaskannya, dan sambil memitingnya dijatuhkannya tamparan keras beberapa kali.
"Setan kecil kamu! Ini pelajaran buat orang yang suka mengganggu!"
Sementara Jotaro
berjuang melepaskan diri, Otsu berlari terus dengan pikiran kacau. Ia masih
muda, dan seperti kebanyakan oang muda, ia masih penuh harapan dan tidak
terbiasa menangisi nasibnya yang sial. Ia melahap setiap hari baru, seakan-akan
cahaya itu bunga-bunga di kebun Yang disinari matahari. Kesedihan dan
kekecewaan memang menjadi kenyataan hidup, rapt semuanya itu tidak membebaninya
terlalu lama. Begitu pula ia tak dapat membayangkan kesenangan yang sepenuhnya
terpisah dari rasa pedih.
Tapi hari ini ia
dipaksa melepaskan optimismenya, bukan satu kali, melainkan dua kali. Kenapa ia
sampai datang kemari pagi ini? Demikianlah ia bertanya pada diri sendiri.
Tak ada air mata atau
kemarahan yang dapat menghilangkan guncangan itu. Sepintas-lintas terpikir
olehnya untuk bunuh diri, kemudian dikutuknya semua lelaki sebagai pembohong
kejam. Berganti-ganti ia berang dan sengsara, benci kepada dunia, benci kepada
diri sendiri, terlalu tak berdaya untuk mencari kelegaan dalam air mata ataupun
berpikir dengan jelas tentang segala sesuatu. Darahnya mendidih karena cemburu,
dan kegoyahan yang ditimbulkannya membuat ia mencaci diri sendiri atas begitu
banyak kekurangan yang ia miliki, termasuk tak adanya sikap tenang pada waktu
ini. Berulang-ulang ia menyuruh dirinya tetap tenang dan sedikit demi sedikit
ia menekan berbagai dorongan dari bawah tabir harga dirt yang sewajarnya
dimiliki kaum perempuan.
Selama gadis asing
itu berada di samping Musashi, Otsu tidak dapat bergerak. Tapi ketika Akemi
pergi, kesabarannya habis. Otsu merasa harus bertemu Musashi dan mencurahkan
segala yang dirasakannya. Sekalipun tidak tahu di mana harus memulai, ia sudah
memutuskan untuk membukakan hatinya dan menceritakan segalanya kepada Musashi.
Tetapi hidup ini
penuh dengan kecelakaan kecil. Satu langkah keliru saja—salah hitung kecil yang
dibuat di tengah gejolak peristiwa—dapat mengubah bentuk persoalan selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun mendatang. Justru karena membiarkan Musashi
lepas dari pandangan sedetik itu maka Otsu dapat ditemukan Osugi. Pada pagi
Tahun Baru yang mulia ini, kebun kegembiraan Otsu dilanda kawanan ular.
Ini sama dengan mimpi
buruk yang menjadi kenyataan. Dalam banyak mimpinya yang kacau ia sudah bertemu
dengan wajah Osugi yang menatap jahat, dan inilah kini kenyataan telanjang itu.
Sesudah berlari
beberapa ratus meter, Otsu kehabisan napas sama sekali. Ia berhenti dan menoleh
ke belakang. Untuk sesaat napasnya berhenti sama sekali. Osugi yang berada
sekitar seratus meter dari situ sedang memukuli dan mengayun-ayunkan Jotaro ke
kiri dan ke kanan.
Jotaro melawan,
menendang tanah, menendang udara, sekali-sekali memukul kepala penangkapnya.
Otsu melihat bahwa
sebentar lagi Jotaro berhasil menarik pedang kayunya. Dan bila demikian, pasti
perempuan itu akan menghunus pedang pendeknya dan takkan menyesal
menggunakannya. Pada saat itu, Osugi bukan orang yang akan menunjukkan belas
kasihan. Jotaro bahkan bisa terbunuh.
Otsu dalam keadaan
sulit luar biasa. Jotaro mesti diselamatkan, tapi ia tak berani mendekati
Osugi.
Jotaro memang
berhasil meloloskan pedang kayu dari obi-nya, tapi tidak berhasil meloloskan
kepalanya dari cengkeraman Osugi yang seperti catok itu. Segala tendangan dan
ayunan tangannya hanya merugikan dirinya, karena semua menambah keyakinan diri
perempuan tua itu.
"Anak
bandel!" teriaknya menghina. "Apa yang mau kaulakukan? Niru
kodok?" Giginya yang merongos membuat bibirnya tampak seperti bibir
kelinci, tetapi air mukanya memperlihatkan kemenangan tersembunyi. Selangkah
demi selangkah ia mengingsut mendekati Otsu.
Melihat gadis yang
ketakutan itu, sifat liciknya tampil. Dalam sekejap terpikir olehnya bahwa ia
menempuh jalan yang salah. Sekiranya lawannya itu Musashi, kecohan takkan
mempan. Musuh di depannya sekarang Otsu—yang halus, yang polos—yang barangkali
dapat dibuat percaya akan segalanya, asalkan disampaikan dengan lemah lembut
dan dengan nada tulus. Pertama ia mesti diikat dengan kata-kata, demikian pikir
Osugi, dan kemudian dipanggang untuk makan malam.
"Otsu!"
panggilnya dengan nada betul-betul pedih. "Kenapa kau lari? Apa yang
membuatmu lari begitu melihatku? Kau lari juga waktu di dimaafkan, tapi masih
ada Matahachi yang mesti dipertimbangkan. Apa kau tak mau bertemu lagi
dengannya dan bicara dengannya? Sejak dia lari dengan perempuan lain atas
kemauan sendiri, menurutku dia takkan minta kamu kembali padanya. Sebetulnya
aku tak suka dia melakukan sesuatu yang hanya mementingkan diri sendiri,
tapi..."
"Apa?"
"Apa setidaknya
kamu tak mau bertemu dengannya? Nanti, kalau kalian sudah berdua, akan
kuceritakan padanya bagaimana duduk perkaranya. Dengan begitu, aku dapat
menunaikan tugasku sebagai ibu. Aku akan merasa sudah melaksanakan segalanya
semampuku."
"Saya
mengerti," jawab Otsu. Dari pasir di sampingnya, seekor kepiting kecil
merangkak ke luar, lalu bergegas lari ke belakang batu. Jotaro menangkapnya,
kemudian pergi ke belakang Osugi dan menjatuhkannya ke atas kepalanya.
Kata Otsu, "Tapi
biar bagaimana, saya merasa sesudah terjadi semua peristiwa itu, lebih baik
saya tidak bertemu Matahachi."
"Aku bersamamu.
Apa tidak lebih baik untukmu kalau kamu bertemu dengannya dan mengutarakan
segalanya?"
"Ya,
tapi..."
"Nah, kalau
begitu lakukanlah itu. Kukatakan ini demi masa depanmu sendiri."
"Kalau saya
setuju... bagaimana kita bisa bertemu dengan Matahachi. Apa Nenek tahu di mana
dia?"
"Aku dapat cepat
menemukan dia. Cepat sekali... kau tahu, baru-baru ini aku bertemu dengannya di
Osaka. Lagi ngumbar napsu, dan ditinggalkannya aku di Sumiyoshi. Tapi biasanya
kalau dia berbuat seperti itu, dia akan menyesal. Tak lama lagi dia pasti
muncul di Kyoto mencariku."
Otsu merasa kurang
enak, karena menurutnya Osugi berbohong. Tapi hanyut juga ia oleh rasa sayang
orang tua itu kepada anaknya yang brengsek. Namun yang menyebabkan ia menyerah
sepenuhnya adalah keyakinan bahwa yang diusulkan Osuugi itu benar dan wajar.
"Bagaimana kalau
saya pergi membantu Nenek mencari Matahachi." demikian tanyanya.
"Oh, kau
mau?" teriak Osugi, menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, saya pikir
saya mesti pergi."
"Baiklah,
ikutlah denganku sekarang ke penginapan. Uh! Apa ini?" Sambil berdiri ia
meraba belakang kerahnya dan menangkap kepiting itu.
Ia gemetar, serunya,
"Oh, bagaimana dia bisa sampai di sini?" Ia mengulurkan tangannya,
kemudian mengibaskan kepiting itu dari jari-jarinya.
Jotaro yang berada di
belakangnya menahan gelaknya, tapi Osugi tak dapat dikibuli. Dengan mata
menyala ia menoleh dan menatap Jotaro. "Perbuatanmu itu, aku yakin!"
"Bukan aku. Aku
tidak melakukannya." Jotaro lari mendekati tanggul menyelamatkan diri, dan
serunya, "Otsu, Kakak akan pergi dengan dia ke penginapan, ya?"
Sebelum Otsu dapat
menjawab sendiri, Osugi sudah mengatakan, "Ya, dia ikut aku. Aku tinggal
di penginapan dekat kaki Bukit Sannen. Selamanya aku tinggal di sana jika
datang di Kyoto. Kami tak butuh kamu. Kembalilah kau ke tempatmu sendiri."
"Baik, aku tinggal
di rumah Karasumaru. Kakak datang ke sana juga, kalau sudah selesai
urusannya."
Waktu itu Otsu
merasakan denyutan kekuatiran. "Jo, tunggu!" Ia berlari cepat naik
tanggul, karena enggan melepaskan Jotaro pergi. Karena takut gadis itu akan
mengubah pikiran dan melarikan diri, Osugi cepat mengikutinya, tapi beberapa
saat lamanya Otsu dan Jotaro sempat sendirian.
"Kupikir aku
mesti pergi dengan dia," kata Otsu. "Tapi aku akan datang ke tempat
Yang Dipertuan Karasumaru, begitu ada kesempatan. Jelaskan semuanya pada mereka
dan mohonlah tinggal di sana sampai aku selesai dengan urusanku."
"Jangan kuatir.
Aku akan menunggu Kakak."
"Cari Musashi
selama kau menunggu, ya?"
"Nah, ke situ
lagi Kakak ini maunya! Waktu Kakak menemukan dia, Kakak sembunyi. Dan sekarang
Kakak menyesal. Jangan Kakak bilang aku tidak memperingatkan."
Osugi datang dan
berdiri di antara keduanya. Ketiganya berjalan kembali ke jembatan. Pandangan
Osugi yang seperti jarum itu berulang-ulang menghujam ke arah Otsu. Ia tak
berani mempercayai gadis itu. Walau tak sedikit pun menduga bencana yang
menghadangnya, namun Otsu merasa sudah terperangkap.
Sampai di jembatan,
matahari sudah tinggi di atas pohon liu dan pinus, jalan-jalan sudah penuh
orang-orang yang berbondong-bondong merayakan Tahun Baru, Satu gerombolan besar
di antaranya berkerumun di depan papan yang terpasang di Jembatan.
"Aku tak pernah
dengar tentang dia."
"Tentunya jagoan
boleh juga, kalau berani menghadapi orang-orang Yoshioka. Menarik juga untuk
ditonton."
Otsu berhenti dan
memandang, Osugi dan Jotaro juga berhenti dan memandang sambil mendengarkan
bisik-bisik orang yang memantul-mantul pelan di sana-sini. Seperti riak-riak
air yang digerakkan ikan-ikan mino di bering, nama Musashi menyebar ke tengah
orang banyak itu.
0 komentar:
Posting Komentar