Sabtu, 15 Juli 2017




Pohon Lokus

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ95ro2H1KZzcaNdwVRBRZIvv9Wa9fRNiaeH-jpaDOAgB-93Bn0aZqhhfd5sXcOe-0TCFLYEkOkvZlQgRdxjXpAa0oyoPb5qnIpPBn7tSF3MDvSw7Guzx5BbW-Oewz4r9Ebvc2mMrKVrs/s1600/Musashi.jpg





MATAHACHI membuka mata dan memandang ke sekitar, lalu bangkit dan melongokkan kepalanya ke pintu belakang. "Akemi!" panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Ada sesuatu yang mendorongnya untuk membuka lemari dinding. Belum lama Akemi selesai membuat kimononya yang baru. Tapi kimono itu tidak ada.

Maka ia pergi ke rumah sebelah, yaitu rumah Umpei, kemudian ia menyusuri jalan kecil yang menuju jalan besar. Dengan penuh kekuatiran ia tanyai semua orang yang ia jumpai, apakah mereka melihat Akemi. "Saya melihat dia tadi pagi," kata istri tukang arang. "Betul? Di mana?"

"Dia berpakaian rapi. Saya tanya, mau ke mana dia pergi, dan katanya menengok keluarga di Shinagawa."

"Shinagawa?"

"Apa dia tak punya keluarga di sana?" tanya perempuan itu ragu-ragu.

Matahachi hendak mengatakan tidak, tapi seketika itu juga tersadar. "Oh, ya, tentu saja. Jadi, dia pergi ke sana."

Apakah ia akan mengejar Akemi? Sesungguhnya ikatannya dengan Akemi tidak terlalu kuat, dan ia lebih merasakan jengkel daripada apa pun yang lain. Menghilangnya Akemi meninggalkan rasa pahit-manis kepadanya.

Ia meludah dan melontarkan satu-dua makian, kemudian berjalan ke pantai, di sisi lain jalan raya Shibaura. Naik sedikit dari tepi air itu, berserakan rumah-rumah nelayan. Sudah menjadi kebiasaannya tiap pagi datang kemari selagi Akemi memasak nasi, dan di situ ia mencari ikan. Biasanya, paling tidak lima-enam ekor ikan ia dapat dengan jaringnya, dan ia pulang tepat pada waktunya, hingga ikan itu dapat dimasak untuk makan pagi. Hari ini la abaikan saja ikan itu.

"Ada apa, Matahachi?" Pemilik rumah gadai di jalan utama itu menepuk bahunya.

"Selamat pagi," kata Matahachi.

"Enak sekali keluar pagi-pagi, ya? Aku senang melihatmu keluar berjalan-jalan tiap pagi. Itu baik sekali untuk kesehatanmu."

"Bapak berkelakar, saya kira. Barangkali kalau saya kaya seperti Bapak, saya akan berjalan-jalan untuk kesehatan saya. Untuk saya, berjalan ini pekerjaan!"

"Kelihatannya kau kurang sehat. Ada apa?"

Matahachi mengambil segenggam pasir, dan membuangnya sedikit-sedikit bersama angin. Ia maupun Akemi kenal baik dengan pemilik rumah gadai, yang pernah membantu mereka dalam beberapa keadaan darurat.

Tanpa menghiraukan penerimaan Matahachi, orang itu melanjutkan, "Kau tahu, ada yang ingin kubicarakan padamu, tapi belum pernah ada kesempatan. Apa kau akan pergi kerja hari ini?"

"Ah, buat apa repot-repot? Jual semangka itu kan tak boleh disebut penghidupan?"

"Ayo menangkap ikan denganku."

Matahachi menggaruk kepalanya dan menampakkan wajah minta maaf. "Terima kasih, tapi saya betul-betul tak ingin menangkap ikan."

"Nah, kalau kau tak ingin, tak perlu kau menangkap ikan. Tapi ayolah pergi. Nanti kau akan merasa lebih ringan. Di sana itu perahuku. Kau bisa mendayung, kan?"

"Saya kira bisa."

"Ayo pergi. Akan kuceritakan padamu, bagaimana cara mendapatkan uang banyak-barangkali seribu keping emas! Nah, bagaimana pendapatmu?"

Tiba-tiba Matahachi berminat sekali menangkap ikan.

Sekitar seribu meter dari pantai, air masih cukup dangkal, hingga dasarnya dapat disentuh dengan dayung. Sambil menghanyutkan perahu, tanya Matahachi, "Bagaimana cara mendapat uang itu?"

"Sebentar lagi akan kuceritakan padamu." Pemilik rumah gadai memperbaiki letak badannya yang besar sekali di tempat duduk di pinggir perahu. "Ada baiknya kalau kau memegang joran di atas air."

"Kenapa begitu?"

"Lebih baik kalau orang mengira kita memancing. Dua orang berdayung sampai sejauh ini, hanya untuk berbicara, akan kelihatan mencurigakan."

"Kalau begini, bagaimana?"

"Bagus." Pemilik rumah gadai mengeluarkan pipa bermangkuk keramik, mengisinya dengan tembakau mahal, dan menyalakannya. "Sebelum menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku, izinkan aku mengajukan pertanyaan. Apa kata para tetanggamu tentang diriku?"

"Tentang Bapak?"

"Ya, tentang Daizo dari Narai."

"Yah, pemilik rumah gadai mestinya jahat, tapi semua orang mengatakan Bapak ini baik sekali dalam meminjamkan uang. Mereka bilang, Bapak orang yang mengerti kehidupan."

"Yang kumaksud bukan praktek usahaku. Aku ingin tahu pendapat mereka tentang diriku pribadi."

"Mereka berpendapat Bapak orang baik, orang yang punya hati. Saya bukan menjilat Bapak. Memang itulah yang mereka katakan."

"Apa tak pernah mereka berkomentar bahwa aku orang yang religius?"

"Oh, ya, tentu saja. Semua orang kagum melihat kedermawanan Bapak."

"Apa orang-orang dari kantor hakim pernah datang bertanya tentang

aku?"

"Tidak. Buat apa pula?"

Daizo tertawa kecil. "Kukira kau merasa pertanyaan-pertanyaanku ini bodoh, tapi persoalannya adalah aku ini bukan betul-betul pemilik rumah gadai."

"Apa?"

"Matahachi, barangkali kau takkan pernah punya kesempatan lain untuk mendapat uang banyak sekaligus."

"Bapak barangkali benar."

"Nah, kau ingin?"

"Ingin apa?"

"Pohon uang."

"A-apa yang mesti saya lakukan?" "Berjanji padaku dan melaksanakannya." "Cuma itu?"

"Cuma itu. Tapi kalau kau mengubah pikiran kemudian, boleh dibilang

kau mati. Aku tahu kau membutuhkan uang, tapi pikirkan dulu baik-baik,

sebelum kau memberikan jawaban terakhir."

"Lalu apa yang mesti saya lakukan?" tanya Matahachi curiga. "Kau mesti jadi penggali sumur. Cuma itu." "Di Benteng Edo?"

Daizo melayangkan pandang ke teluk. Kapal-kapal berisi bahan bangunan dan mengibarkan bendera beberapa keluarga besar-Todo, Arima, Kato, Date, Hosokawa-berbaris hampir-hampir bersinggung haluan dan buritan.

"Cepat sekali daya tangkapmu, Matahachi." Pemilik rumah gadai itu mengisi kembali pipanya. "Benteng Edo itulah yang justru kupikirkan. Kalau aku tak salah, Umpei sudah sering mendesakmu supaya kau mau menggali sumur. Wajar sekali kalau kau memutuskan menerima tawarannya itu."

"Cuma itu yang mesti saya lakukan?... Bagaimana mungkin menjadi penggali sumur bisa mendapat uang banyak?"

"Sabarlah. Akan kuceritakan semuanya!"



Ketika mereka kembali ke pantai, Matahachi gembira sekali. Mereka berpisah dengan suatu janji. Malam itu ia mesti menyelinap tanpa dilihat orang, dan masuk rumah Daizo untuk menerima panjar tiga puluh keping emas.

Ia pulang, tidur, dan bangun beberapa jam kemudian. Terbayang olehnya uang dalam jumlah besar yang akan segera menjadi miliknya itu menarinari di depan matanya.

Uang yang jumlahnya fantastis itu bisa menebus semua nasib buruk yang dideritanya sampai waktu itu. Dan cukup untuk hidup seterusnya. Tapi yang lebih menggembirakan lagi adalah nantinya ia dapat menunjukkan pada orang banyak bahwa mereka keliru, dan bahwa akhirnya ia toh berhasil.

Terserang oleh demam uang, ia tidak dapat lagi tenang. Mulutnya terasa kering, bahkan sedikit kaku. la keluar, berdiri di jalan kosong yang menghadap rumpun bambu di belakang rumah, dan pikirnya, "Siapa dia sebetulnya? Apa yang mau dilakukannya?" Lalu ia mulai mengingat kembali percakapannya dengan Daizo.

Para penggali sumur waktu itu bekerja di Goshinjo, benteng baru di lingkaran barat. Daizo mengatakan padanya, "Kau mesti menunggu kesempatan, sampai kesempatan itu datang sendiri, dan waktu itulah kau mesti menembak shogun baru itu dengan bedil." Senapan dan amunisinya ada di pekarangan benteng, di bawah pohon lokus besar yang sudah berabad-abad umurnya, dekat gerbang belakang, di kaki Bukit Momiji.

Tak perlu disebutkan lagi, bahwa kaum buruh mendapat pengawasan ketat, tapi Hidetada suka berkeliling dengan para pembantunya, memeriksa pekerjaan. Gampang sekali melaksanakan tujuan itu. Dalam hiruk-pikuk yang kemudian terjadi, Matahachi dapat menyelamatkan diri dengan melompat ke parit luar, dan dari situ para pengikut Daizo akan menyelamatkannya. "Pasti," demikian dikatakannya.

Matahachi kembali ke kamarnya, dan menatap langit-langit. Seolah-olah ia mendengar suara Daizo membisikkan kata-kata tertentu berulang kali, dan teringat olehnya bagaimana bibirnya sendiri bergetar ketika ia mengatakan, "Ya, akan saya lakukan." Dengan bulu roma meremang, ia bangkit berdiri. "Oh, ini mengerikan! Aku akan pergi ke sana sekarang juga, dan mengatakan padanya, tak ingin aku ambil bagian."

Kemudian diingatnya kata-kata lain yang diucapkan Daizo, "Nah, sesudah kuceritakan semua ini padamu, berarti kau sudah terikat. Aku tak suka ada sesuatu terjadi denganmu, tapi kalau kau ingkar, teman-temanku yang akan mengambil kepalamu-paling lama tiga hari." Tatapan mata Daizo yang dingin menusuk waktu mengucapkan kata-kata itu terbayang kembali di mata Matahachi.

Matahachi berjalan menempuh jarak singkat menyusuri Jalan Nishikubo, menuju sudut jalan raya Takanawa, tempat berdirinya rumah gadai. Teluk yang sudah terselimut kegelapan berada di ujung jalan samping. Ia masuki jalan kecil di sisi gudang yang dikenalnya itu, kemudian ia dekati pintu belakang toko yang tidak menarik perhatian itu, dan mengetuk pelan.

"Tidak dikunci," segera terdengar balasannya.

"Daizo?"

"Ya. Aku senang kau datang. Mari masuk gudang."

Sebuah tirai hujan dibiarkan terbuka. Matahachi masuk gang luar dan berjalan mengikuti pemilik rumah gadai itu.

"Duduk," kata Daizo sambil meletakkan lilin di atas peti pakaian panjang dari kayu. Sambil duduk menyilangkan tangan, tanya Daizo, "Kau sudah bertemu Umpei?"

"Ya."

"Kapan dia akan membawamu ke benteng?"

"Lusa. Waktu itu dia mesti membawa sepuluh buruh baru. Dia bilang, saya masuk rombongan itu."

"Jadi, semua sudah beres?"

"Tapi kepala daerah dan lima anggota rukun tetangga masih harus

membubuhkan cap pada dokumen-dokumennya."

"Bukan soal. Kebetulan aku anggota perkumpulan itu."

"Betul? Bapak?"

"Apa yang mengherankan? Aku salah seorang pengusaha berpengaruh di lingkungan ini. Musim semi yang lalu, kepala daerah mendesakku menjadi anggota."

"Oh, saya tidak heran. Saya... saya cuma tidak tahu. Itu saja."

"Ha, ha. Aku tahu betul apa yang kaupikirkan. Menurut pikiranmu, sungguh skandal besar bahwa orang macam aku duduk dalam pengurus yang kerjanya mengurusi lingkungan. Nah, baik kusampaikan saja padamu, kalau kita punya uang, semua orang akan mengatakan kita orang baik. Tak dapat kita menolak menjadi pemimpin setempat, biarpun kita mencobanya. Nah, pikirkan, Matahachi. Tak lama lagi, kau pun akan punya uang banyak."

"Ya-y-ya," kata Matahachi, terbata-bata, tak mampu menekan gemetarnya. "B-b-bapak mau kasih saya panjar sekarang?"

"Tunggu dulu."

Daizo mengambil lilin dan pergi ke bagian belakang gudang. Dari sebuah kotak perhiasan di atas rak, ia hitung tiga puluh keping emas. Ia kembali, dan katanya, "Ada yang bisa kaupakai membungkus?"

"Tidak."

"Pakai ini." Ia pungut gombal katun dari lantai dan la lemparkan pada Matahachi. "Lebih baik kaumasukkan dalam kantong perutmu, dan jaga baik-baik."

"Apa mestinya saya berikan tanda terima?"

"Tanda terima?" kata Daizo, disertai tawa di luar kemauannya. "Astaga, betul-betul orang jujur kau ini! Tidak, aku tak butuh tanda terima. Tapi kalau kau berbuat kekeliruan, kusita kepalamu."

Matahachi mengedip-ngedip, "Saya kira, lebih baik saya pergi sekarang." "Jangan buru-buru. Ada beberapa kewajiban, sesudah kauterima uang itu. Kau ingat semua yang kuceritakan tadi pagi?"

"Ya, ya, ada satu hal. Bapak bilang bedil itu ada di bawah pohon lokus. Siapa yang akan menaruhnya di sana?" Karena menurutnya sukar sekali bagi buruh biasa memasuki pekarangan benteng itu, ia pun heran bahwa ada orang yang dapat menyelundupkan bedil dan amunisinya. Dan bagaimana mungkin orang yang tanpa kekuatan supranatural dapat menguburkan keduanya itu supaya siap dan menanti setengah bulan lamanya dari sekarang?

"Itu bukan urusanmu. Kau cuma mesti melakukan yang sudah kausetujui. Kau gugup sekarang, karena belum biasa dengan jalan pikiran ini. Sesudah beberapa minggu di sana, kau akan biasa."

"Saya harap begitu."

"Pertama, kau mesti membulatkan pikiran bahwa kau dapat menyelesaikan tugasmu. Kemudian kau mesti mencari saat yang tepat."

"Saya mengerti."

"Aku tidak menghendaki kekeliruan. Sembunyikan uang itu, supaya tak seorang pun dapat menemukannya. Dan tinggalkan di situ, sampai sesudah kau melaksanakan misimu. Kalau proyek macam ini gagal, biasanya itu karena uang."

"Jangan kuatir. Saya sudah memikirkan hal itu. Tapi izinkan saya mengajukan satu pertanyaan: bagaimana mungkin saya percaya bahwa sesudah saya melakukan tugas saya, Bapak takkan menolak membayar kelebihannya?"

"Oh! Kedengarannya kata-kataku ini seperti bualan, tapi uang sebetulnya soal yang paling ringan buatku. Boleh kau memuaskan matamu memandangi peti-peti itu." Ia naikkan lilin itu, hingga Matahachi bisa melihat lebih baik. Di seluruh kamar itu terdapat peti-peti-untuk nampan pernis, untuk baju zirah, dan untuk banyak keperluan lain. "Masing-masing peti itu berisi seribu keping emas."

Tanpa memperhatikannya secara teliti, Matahachi berkata dengan nada minta maaf, "Saya tidak menyangsikan janji Bapak, tentu saja."

Percakapan rahasia itu berlangsung sekitar satu jam lagi. Akhirnya, dengan perasaan lebih mantap, Matahachi pulang lewat jalan belakang.

Daizo pergi ke kamar sebelah dan melihat ke dalam. "Kau di situ, Akemi?" panggilnya. "Kupikir dari sini dia akan langsung pergi menyembunyikan uang itu. Lebih baik kauikuti dia."

Sesudah beberapa kali berkunjung ke rumah gadai itu, Akemi terpesona oleh kepribadian Daizo, dan mengungkapkan beban pikirannya kepadanya. Ia mengeluh tentang keadaannya sekarang, dan menyatakan keinginannya untuk mencapai hidup yang lebih baik. Beberapa hari sebelum itu, Daizo sudah mengemukakan bahwa ia membutuhkan seorang perempuan yang akan mengurus rumahnya. Akemi datang ke pintunya pagi-pagi sekali hari itu. Daizo mempersilakan masuk dan minta Akemi jangan kuatir, karena Matahachi akan ia "urus".

Calon pembunuh yang betul-betul tak sadar bahwa dirinya diikuti itu pun kembali pulang. Sambil memegang cangkul, ia naik ke puncak Bukit Nishikubo, lewat belukar di belakang rumah, dan menguburkan kekayaannya di sana.

Selesai melihat semua itu, Akemi melaporkannya kepada Daizo, dan Daizo segera berangkat ke Bukit Nishikubo. Hampir fajar, ia kembali ke gudang dan menghitung keping-keping emas yang baru digalinya. Ia menghitungnya dua kali, tiga kali, dan tak salah lagi. Hanya ada dua puluh delapan keping.

Daizo menggelengkan kepala dan mengerutkan kening. la betul-betul tak suka kalau orang mencuri uangnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

ARSIP