Pohon Lokus
MATAHACHI membuka
mata dan memandang ke sekitar, lalu bangkit dan melongokkan kepalanya ke pintu
belakang. "Akemi!" panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Ada sesuatu yang mendorongnya
untuk membuka lemari dinding. Belum lama Akemi selesai membuat kimononya yang
baru. Tapi kimono itu tidak ada.
Maka ia pergi ke
rumah sebelah, yaitu rumah Umpei, kemudian ia menyusuri jalan kecil yang menuju
jalan besar. Dengan penuh kekuatiran ia tanyai semua orang yang ia jumpai,
apakah mereka melihat Akemi. "Saya melihat dia tadi pagi," kata istri
tukang arang. "Betul? Di mana?"
"Dia berpakaian
rapi. Saya tanya, mau ke mana dia pergi, dan katanya menengok keluarga di
Shinagawa."
"Shinagawa?"
"Apa dia tak
punya keluarga di sana?" tanya perempuan itu ragu-ragu.
Matahachi hendak
mengatakan tidak, tapi seketika itu juga tersadar. "Oh, ya, tentu saja.
Jadi, dia pergi ke sana."
Apakah ia akan
mengejar Akemi? Sesungguhnya ikatannya dengan Akemi tidak terlalu kuat, dan ia
lebih merasakan jengkel daripada apa pun yang lain. Menghilangnya Akemi
meninggalkan rasa pahit-manis kepadanya.
Ia meludah dan
melontarkan satu-dua makian, kemudian berjalan ke pantai, di sisi lain jalan
raya Shibaura. Naik sedikit dari tepi air itu, berserakan rumah-rumah nelayan.
Sudah menjadi kebiasaannya tiap pagi datang kemari selagi Akemi memasak nasi,
dan di situ ia mencari ikan. Biasanya, paling tidak lima-enam ekor ikan ia
dapat dengan jaringnya, dan ia pulang tepat pada waktunya, hingga ikan itu
dapat dimasak untuk makan pagi. Hari ini la abaikan saja ikan itu.
"Ada apa,
Matahachi?" Pemilik rumah gadai di jalan utama itu menepuk bahunya.
"Selamat
pagi," kata Matahachi.
"Enak sekali
keluar pagi-pagi, ya? Aku senang melihatmu keluar berjalan-jalan tiap pagi. Itu
baik sekali untuk kesehatanmu."
"Bapak
berkelakar, saya kira. Barangkali kalau saya kaya seperti Bapak, saya akan
berjalan-jalan untuk kesehatan saya. Untuk saya, berjalan ini pekerjaan!"
"Kelihatannya
kau kurang sehat. Ada apa?"
Matahachi mengambil
segenggam pasir, dan membuangnya sedikit-sedikit bersama angin. Ia maupun Akemi
kenal baik dengan pemilik rumah gadai, yang pernah membantu mereka dalam
beberapa keadaan darurat.
Tanpa menghiraukan
penerimaan Matahachi, orang itu melanjutkan, "Kau tahu, ada yang ingin
kubicarakan padamu, tapi belum pernah ada kesempatan. Apa kau akan pergi kerja
hari ini?"
"Ah, buat apa
repot-repot? Jual semangka itu kan tak boleh disebut penghidupan?"
"Ayo menangkap
ikan denganku."
Matahachi menggaruk
kepalanya dan menampakkan wajah minta maaf. "Terima kasih, tapi saya
betul-betul tak ingin menangkap ikan."
"Nah, kalau kau
tak ingin, tak perlu kau menangkap ikan. Tapi ayolah pergi. Nanti kau akan
merasa lebih ringan. Di sana itu perahuku. Kau bisa mendayung, kan?"
"Saya kira
bisa."
"Ayo pergi. Akan
kuceritakan padamu, bagaimana cara mendapatkan uang banyak-barangkali seribu
keping emas! Nah, bagaimana pendapatmu?"
Tiba-tiba Matahachi
berminat sekali menangkap ikan.
Sekitar seribu meter
dari pantai, air masih cukup dangkal, hingga dasarnya dapat disentuh dengan
dayung. Sambil menghanyutkan perahu, tanya Matahachi, "Bagaimana cara
mendapat uang itu?"
"Sebentar lagi
akan kuceritakan padamu." Pemilik rumah gadai memperbaiki letak badannya
yang besar sekali di tempat duduk di pinggir perahu. "Ada baiknya kalau
kau memegang joran di atas air."
"Kenapa
begitu?"
"Lebih baik
kalau orang mengira kita memancing. Dua orang berdayung sampai sejauh ini,
hanya untuk berbicara, akan kelihatan mencurigakan."
"Kalau begini,
bagaimana?"
"Bagus."
Pemilik rumah gadai mengeluarkan pipa bermangkuk keramik, mengisinya dengan tembakau
mahal, dan menyalakannya. "Sebelum menyampaikan apa yang ada dalam
pikiranku, izinkan aku mengajukan pertanyaan. Apa kata para tetanggamu tentang
diriku?"
"Tentang
Bapak?"
"Ya, tentang
Daizo dari Narai."
"Yah, pemilik
rumah gadai mestinya jahat, tapi semua orang mengatakan Bapak ini baik sekali
dalam meminjamkan uang. Mereka bilang, Bapak orang yang mengerti
kehidupan."
"Yang kumaksud
bukan praktek usahaku. Aku ingin tahu pendapat mereka tentang diriku
pribadi."
"Mereka
berpendapat Bapak orang baik, orang yang punya hati. Saya bukan menjilat Bapak.
Memang itulah yang mereka katakan."
"Apa tak pernah
mereka berkomentar bahwa aku orang yang religius?"
"Oh, ya, tentu
saja. Semua orang kagum melihat kedermawanan Bapak."
"Apa orang-orang
dari kantor hakim pernah datang bertanya tentang
aku?"
"Tidak. Buat apa
pula?"
Daizo tertawa kecil.
"Kukira kau merasa pertanyaan-pertanyaanku ini bodoh, tapi persoalannya
adalah aku ini bukan betul-betul pemilik rumah gadai."
"Apa?"
"Matahachi,
barangkali kau takkan pernah punya kesempatan lain untuk mendapat uang banyak
sekaligus."
"Bapak
barangkali benar."
"Nah, kau
ingin?"
"Ingin
apa?"
"Pohon
uang."
"A-apa yang
mesti saya lakukan?" "Berjanji padaku dan melaksanakannya."
"Cuma itu?"
"Cuma itu. Tapi
kalau kau mengubah pikiran kemudian, boleh dibilang
kau mati. Aku tahu
kau membutuhkan uang, tapi pikirkan dulu baik-baik,
sebelum kau
memberikan jawaban terakhir."
"Lalu apa yang
mesti saya lakukan?" tanya Matahachi curiga. "Kau mesti jadi penggali
sumur. Cuma itu." "Di Benteng Edo?"
Daizo melayangkan
pandang ke teluk. Kapal-kapal berisi bahan bangunan dan mengibarkan bendera
beberapa keluarga besar-Todo, Arima, Kato, Date, Hosokawa-berbaris
hampir-hampir bersinggung haluan dan buritan.
"Cepat sekali
daya tangkapmu, Matahachi." Pemilik rumah gadai itu mengisi kembali
pipanya. "Benteng Edo itulah yang justru kupikirkan. Kalau aku tak salah,
Umpei sudah sering mendesakmu supaya kau mau menggali sumur. Wajar sekali kalau
kau memutuskan menerima tawarannya itu."
"Cuma itu yang
mesti saya lakukan?... Bagaimana mungkin menjadi penggali sumur bisa mendapat
uang banyak?"
"Sabarlah. Akan
kuceritakan semuanya!"
Ketika mereka kembali
ke pantai, Matahachi gembira sekali. Mereka berpisah dengan suatu janji. Malam
itu ia mesti menyelinap tanpa dilihat orang, dan masuk rumah Daizo untuk
menerima panjar tiga puluh keping emas.
Ia pulang, tidur, dan
bangun beberapa jam kemudian. Terbayang olehnya uang dalam jumlah besar yang
akan segera menjadi miliknya itu menarinari di depan matanya.
Uang yang jumlahnya
fantastis itu bisa menebus semua nasib buruk yang dideritanya sampai waktu itu.
Dan cukup untuk hidup seterusnya. Tapi yang lebih menggembirakan lagi adalah
nantinya ia dapat menunjukkan pada orang banyak bahwa mereka keliru, dan bahwa
akhirnya ia toh berhasil.
Terserang oleh demam
uang, ia tidak dapat lagi tenang. Mulutnya terasa kering, bahkan sedikit kaku.
la keluar, berdiri di jalan kosong yang menghadap rumpun bambu di belakang
rumah, dan pikirnya, "Siapa dia sebetulnya? Apa yang mau
dilakukannya?" Lalu ia mulai mengingat kembali percakapannya dengan Daizo.
Para penggali sumur
waktu itu bekerja di Goshinjo, benteng baru di lingkaran barat. Daizo
mengatakan padanya, "Kau mesti menunggu kesempatan, sampai kesempatan itu
datang sendiri, dan waktu itulah kau mesti menembak shogun baru itu dengan
bedil." Senapan dan amunisinya ada di pekarangan benteng, di bawah pohon lokus
besar yang sudah berabad-abad umurnya, dekat gerbang belakang, di kaki Bukit
Momiji.
Tak perlu disebutkan
lagi, bahwa kaum buruh mendapat pengawasan ketat, tapi Hidetada suka
berkeliling dengan para pembantunya, memeriksa pekerjaan. Gampang sekali melaksanakan
tujuan itu. Dalam hiruk-pikuk yang kemudian terjadi, Matahachi dapat
menyelamatkan diri dengan melompat ke parit luar, dan dari situ para pengikut
Daizo akan menyelamatkannya. "Pasti," demikian dikatakannya.
Matahachi kembali ke
kamarnya, dan menatap langit-langit. Seolah-olah ia mendengar suara Daizo
membisikkan kata-kata tertentu berulang kali, dan teringat olehnya bagaimana
bibirnya sendiri bergetar ketika ia mengatakan, "Ya, akan saya
lakukan." Dengan bulu roma meremang, ia bangkit berdiri. "Oh, ini
mengerikan! Aku akan pergi ke sana sekarang juga, dan mengatakan padanya, tak
ingin aku ambil bagian."
Kemudian diingatnya
kata-kata lain yang diucapkan Daizo, "Nah, sesudah kuceritakan semua ini
padamu, berarti kau sudah terikat. Aku tak suka ada sesuatu terjadi denganmu,
tapi kalau kau ingkar, teman-temanku yang akan mengambil kepalamu-paling lama
tiga hari." Tatapan mata Daizo yang dingin menusuk waktu mengucapkan
kata-kata itu terbayang kembali di mata Matahachi.
Matahachi berjalan
menempuh jarak singkat menyusuri Jalan Nishikubo, menuju sudut jalan raya
Takanawa, tempat berdirinya rumah gadai. Teluk yang sudah terselimut kegelapan
berada di ujung jalan samping. Ia masuki jalan kecil di sisi gudang yang
dikenalnya itu, kemudian ia dekati pintu belakang toko yang tidak menarik
perhatian itu, dan mengetuk pelan.
"Tidak
dikunci," segera terdengar balasannya.
"Daizo?"
"Ya. Aku senang
kau datang. Mari masuk gudang."
Sebuah tirai hujan
dibiarkan terbuka. Matahachi masuk gang luar dan berjalan mengikuti pemilik
rumah gadai itu.
"Duduk,"
kata Daizo sambil meletakkan lilin di atas peti pakaian panjang dari kayu.
Sambil duduk menyilangkan tangan, tanya Daizo, "Kau sudah bertemu
Umpei?"
"Ya."
"Kapan dia akan
membawamu ke benteng?"
"Lusa. Waktu itu
dia mesti membawa sepuluh buruh baru. Dia bilang, saya masuk rombongan
itu."
"Jadi, semua
sudah beres?"
"Tapi kepala
daerah dan lima anggota rukun tetangga masih harus
membubuhkan cap pada
dokumen-dokumennya."
"Bukan soal.
Kebetulan aku anggota perkumpulan itu."
"Betul?
Bapak?"
"Apa yang
mengherankan? Aku salah seorang pengusaha berpengaruh di lingkungan ini. Musim
semi yang lalu, kepala daerah mendesakku menjadi anggota."
"Oh, saya tidak
heran. Saya... saya cuma tidak tahu. Itu saja."
"Ha, ha. Aku
tahu betul apa yang kaupikirkan. Menurut pikiranmu, sungguh skandal besar bahwa
orang macam aku duduk dalam pengurus yang kerjanya mengurusi lingkungan. Nah,
baik kusampaikan saja padamu, kalau kita punya uang, semua orang akan
mengatakan kita orang baik. Tak dapat kita menolak menjadi pemimpin setempat,
biarpun kita mencobanya. Nah, pikirkan, Matahachi. Tak lama lagi, kau pun akan
punya uang banyak."
"Ya-y-ya,"
kata Matahachi, terbata-bata, tak mampu menekan gemetarnya. "B-b-bapak mau
kasih saya panjar sekarang?"
"Tunggu
dulu."
Daizo mengambil lilin
dan pergi ke bagian belakang gudang. Dari sebuah kotak perhiasan di atas rak,
ia hitung tiga puluh keping emas. Ia kembali, dan katanya, "Ada yang bisa
kaupakai membungkus?"
"Tidak."
"Pakai
ini." Ia pungut gombal katun dari lantai dan la lemparkan pada Matahachi.
"Lebih baik kaumasukkan dalam kantong perutmu, dan jaga baik-baik."
"Apa mestinya
saya berikan tanda terima?"
"Tanda
terima?" kata Daizo, disertai tawa di luar kemauannya. "Astaga,
betul-betul orang jujur kau ini! Tidak, aku tak butuh tanda terima. Tapi kalau
kau berbuat kekeliruan, kusita kepalamu."
Matahachi
mengedip-ngedip, "Saya kira, lebih baik saya pergi sekarang."
"Jangan buru-buru. Ada beberapa kewajiban, sesudah kauterima uang itu. Kau
ingat semua yang kuceritakan tadi pagi?"
"Ya, ya, ada
satu hal. Bapak bilang bedil itu ada di bawah pohon lokus. Siapa yang akan
menaruhnya di sana?" Karena menurutnya sukar sekali bagi buruh biasa
memasuki pekarangan benteng itu, ia pun heran bahwa ada orang yang dapat
menyelundupkan bedil dan amunisinya. Dan bagaimana mungkin orang yang tanpa
kekuatan supranatural dapat menguburkan keduanya itu supaya siap dan menanti
setengah bulan lamanya dari sekarang?
"Itu bukan
urusanmu. Kau cuma mesti melakukan yang sudah kausetujui. Kau gugup sekarang,
karena belum biasa dengan jalan pikiran ini. Sesudah beberapa minggu di sana,
kau akan biasa."
"Saya harap
begitu."
"Pertama, kau
mesti membulatkan pikiran bahwa kau dapat menyelesaikan tugasmu. Kemudian kau
mesti mencari saat yang tepat."
"Saya
mengerti."
"Aku tidak
menghendaki kekeliruan. Sembunyikan uang itu, supaya tak seorang pun dapat
menemukannya. Dan tinggalkan di situ, sampai sesudah kau melaksanakan misimu.
Kalau proyek macam ini gagal, biasanya itu karena uang."
"Jangan kuatir.
Saya sudah memikirkan hal itu. Tapi izinkan saya mengajukan satu pertanyaan:
bagaimana mungkin saya percaya bahwa sesudah saya melakukan tugas saya, Bapak
takkan menolak membayar kelebihannya?"
"Oh!
Kedengarannya kata-kataku ini seperti bualan, tapi uang sebetulnya soal yang
paling ringan buatku. Boleh kau memuaskan matamu memandangi peti-peti
itu." Ia naikkan lilin itu, hingga Matahachi bisa melihat lebih baik. Di
seluruh kamar itu terdapat peti-peti-untuk nampan pernis, untuk baju zirah, dan
untuk banyak keperluan lain. "Masing-masing peti itu berisi seribu keping
emas."
Tanpa
memperhatikannya secara teliti, Matahachi berkata dengan nada minta maaf,
"Saya tidak menyangsikan janji Bapak, tentu saja."
Percakapan rahasia
itu berlangsung sekitar satu jam lagi. Akhirnya, dengan perasaan lebih mantap,
Matahachi pulang lewat jalan belakang.
Daizo pergi ke kamar
sebelah dan melihat ke dalam. "Kau di situ, Akemi?" panggilnya.
"Kupikir dari sini dia akan langsung pergi menyembunyikan uang itu. Lebih
baik kauikuti dia."
Sesudah beberapa kali
berkunjung ke rumah gadai itu, Akemi terpesona oleh kepribadian Daizo, dan
mengungkapkan beban pikirannya kepadanya. Ia mengeluh tentang keadaannya
sekarang, dan menyatakan keinginannya untuk mencapai hidup yang lebih baik.
Beberapa hari sebelum itu, Daizo sudah mengemukakan bahwa ia membutuhkan
seorang perempuan yang akan mengurus rumahnya. Akemi datang ke pintunya
pagi-pagi sekali hari itu. Daizo mempersilakan masuk dan minta Akemi jangan
kuatir, karena Matahachi akan ia "urus".
Calon pembunuh yang
betul-betul tak sadar bahwa dirinya diikuti itu pun kembali pulang. Sambil
memegang cangkul, ia naik ke puncak Bukit Nishikubo, lewat belukar di belakang
rumah, dan menguburkan kekayaannya di sana.
Selesai melihat semua
itu, Akemi melaporkannya kepada Daizo, dan Daizo segera berangkat ke Bukit
Nishikubo. Hampir fajar, ia kembali ke gudang dan menghitung keping-keping emas
yang baru digalinya. Ia menghitungnya dua kali, tiga kali, dan tak salah lagi.
Hanya ada dua puluh delapan keping.
Daizo menggelengkan
kepala dan mengerutkan kening. la betul-betul tak suka kalau orang mencuri
uangnya.
0 komentar:
Posting Komentar